• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAI di Sekolah dan Madrasah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PAI di Sekolah dan Madrasah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

CORAK PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KURIKULUM MADRASAH DAN SEKOLAH

Dosen: Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

Disusun oleh

Yudhi Fachrudin 2112011000010

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Pendahuluan

Statement tentang pendidikan agama sebagai sumber nilai atau pedoman, ternyata belum mewarnai lingkungan dan atmosfer kehidupan sekolah atau madrasah pada umumnya. Sejak awal kemerdekaan, pendidikan agama berlaku dualistis pendidikan, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Dalam perkembangannya terjadi upaya integrasi kedua

sistem tersebut menjadi “satu sistem pendidikan nasional”, begitu juga butuh perjuangan

yang besar memasukkan pendidikan agama sebagai bagian pengajaran dalam sistem pendidikan nasional, sampai lahirlah penetapan pendidikan agama Islam wajib diajarkan di semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan. Dalam praktiknya di madrasah dan di sekolah terjadi perbedaan karakter dan model pendidikan agama di lembaga formal pendidikan nasional ini.

(3)

Pembahasan

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Dari segi etimologi atau bahasa, kata pendidikan berasal kata “didik” yang mendapat awalan pe- dan akhiran-an sehingga pengertian pendidikan adalah sistem cara mendidik atau memberikan pengajaran dan peranan yang baik dalam akhlak dan kecerdasan berpikir.

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1

Sedangkan pengertian Pendidikan agama dalam UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2 disebutkan: merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Tujuan PAI: (1) memperkuat iman dan takwa, (2) menghormati agama lain, (3) memelihara kerukunan antarumat beragama, dan (4) mewujudkan persatuan nasional.

Di dalam GBPP PAI 1999 di sekolah umum, dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertakwa kepada Allah swt dan berakhlak mulia.

Agama tidak bisa dilepaskan dalam konteks negara Indonesia. Negara mengakomodir dan memfasilitasi tumbuh kembang agama melalui pendidikan. Pewarisan nilai-nilai Agama terlembagakan dengan baik dalam pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi sistem dalam pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia sendiri agama menjadi bagian penting dalam membangun bangsanya.

1

(4)

Pendidikan Agama Islam itu adalah usaha berupa bimbingan, baik jasmani maupun rohani kepada anak didik menurut ajaran Islam, agar kelak dapat berguna menjadi pedoman hidupnya untuk mencapai kebahagiaan hidup serta berguna bagi bangsa dan agamanya. B. Porsi dan Posisi Pendidikan Agama Islam

Dilihat secara kuantitatif, porsi pendidikan agama Islam di sekolah memang hanya tiga jam pelajaran untuk SD dan dua jam pelajaran untuk SMP atau SMA/K, dengan tuntutan pencapaian standar kompetensi lulusan yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas Nomor 23 Tahun 2006.

Secara kualitatif pendidikan agama sebenarnya merupakan “core” atau inti kurikulum

pendidikan di sekolah. Hal ini didasarkan atas falsafah negara “Pancasila”, di mana core Pancasila adalah sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pancasila jika dianalisis dengan menggunakan pendekatan filsafat, Ketuhanan Yang Maha Esa masuk ke dalam prinsip sila-sila yang empatnya lagi, yaitu: (1) kemanusiaan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) persatuan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa; (3) kerakyatan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan (4) keadilan yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung makna bahwa inti Pancasila adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sasaran utama pendidikan agama. 2

Di dalam GBPP mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1994 pada dasarnya mencakup tujuh unsur pokok, yaitu, Al-Qur’an dan Hadis, keimanan/akidah, akhlak, fiqh (hukum Islam), dan tarikh (sejarah) yang menekankan pada perkembangan politik. Pada kurikulum tahun 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu; Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fiqih dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.3 Meskipun masing-masing aspek tersebut dalam praktiknya saling terkait (mengisi dan melengkapi), tetapi jika dilihat secara teoritis masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Aspek Al-Qur’an-Hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis yang benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek akidah, menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan

2

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hal.259 3

(5)

nilai al-asma’ al-husna. Aspek akhlak, menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek fiqh, menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Sedangkan aspek tarikh & kebudayaan Islam, menekankan pada kemampuan mengambil ibrah (contoh/hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ipteks, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.

Kelima aspek PAI tersebut dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual, yang intinya selalu mengaitkan pembelajaran PAI dengan konteks dan pengalaman-pengalaman hidup peserta didik yang beraneka ragam atau konteks masalah-masalah serta situasi-situasi riil kehidupannya. Melalui interaksi dengan lingkungan dan menginterpretasi terhadap pengetahuan dan pengalaman hidup tersebut, maka peserta didik dapat mengkonstruksi makna dan nilai-nilai Islam yang perlu diinternalisasikan dalam dirinya.

Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya lebih diorientasikan pada tataran

moral action yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten tetapi sampai memiliki kemauan, dan kebiasaan dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.4

Pendidikan Agama Islam di sekolah termasuk dalam pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum (sekolah) sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja dengan nama pelajaran Pendidikan Agama Islam. Pengajarannya memiliki kurikulum tersendiri. Kurikulum PAI berarti seperangkat rencana kegiatan dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran PAI serta cara yang digunakan dan segenap kegiatan yang dilakukan oleh guru agama untuk membantu seorang atau sekelompok siswa dalam memahai, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dan/atau menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam.5

Pendidikan agama di sekolah umum terselenggara sebagai upaya pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem sekolah yang kurikulumnya berorientasi pada pengetahuan umum. Perubahan yang perlu dilakukan dalam sistem pendidikan Islam memasukkan

4

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, hal.33-34 5

(6)

pendidikan agama ke dalam pendidikan umum. Hal ini merupakan langkah penyesuaian bagi tercapainya fungsi pendidikan dalam memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat modern.

Sedangkan pendidikan agama Islam di madrasah aspek-aspek pendidikan agama di sekolah umum menjadi sub mata pelajaran-mata pelajaran. Mata pelajaran Al-Qur’an Hadis, mata pelajaran Aqidah Akhlak, mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, Fiqih, dan Bahasa Arab,

Pasca keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri pada tanggal 24 Maret 1975 yang disepakati oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah. Dengan konsekuensi, mata pelajaran agama terdistorsi porsinya menjadi 30% dan materi pelajaran umum mendominasi dengan prosentase 70%.6 Madrasah yang tadinya belajar ilmu-ilmu agama (ulumuddin) para siswanya belajar juga ilmu-ilmu-ilmu-ilmu umum, matematika, sosial dan alam.

Berikut perubahan kurikulum yang diajarkan di madrasah dan pesantren

Periode Pesantren

dan Madrasah Diniyah Madrasah

Sampai 1906 Kurikulum tradisional 100% Agama. -

1906-1945 Kurikulum tradisional mandiri 100%. Kurikulum mandiri, agama dan umum

1945-1975 Kurikulum mandiri 100% Agama. Kurikulum mandiri, 70% agama dan 30% umum. 1975-1989 Kurikulum mandiri 100% agama. Kurikulum Depag 70% umum dan 30% agama. 1989-2003 Kurikulum mandiri dan agama masih

mendominasi.

Kurikulum Depag memadukan antara kurikulum umum dan agama.

2003-2005 Kurikulum mandiri dan mengikutsertakan pelajaran umum (Matemática, IPA, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Seni Budaya).7

Kurikulum Depag 100% umum dan 5 bidang mata pelajaran PAI.

Seiring perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam konteks negara, pelaksanaan pendidikan agama pada umumnya serta pen didikan agama Islam pada khususnya di

6

Zakiah Darajat, Gigih Memperjuangkang Madrasah, dalam Amir Hamzah Wiryosukarto dan Ahmad Fuad Efendi, Biografi KH. Imam Zarkasyi di Mata Umat. (Ponorogo: Gontor Press, 1996). Hal. 630

7

Lihat Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Diniyah Ula, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya (Pesantren

(7)

sekolah umum dan madrasah tersebut semakin kokoh dengan berbagai terbitnya perundang-undangan dan peraturan pemerintah.

Sedangkan periode 2005 memuat struktur dan muatan kurikulum diantaranya pendidikan Agama Islam. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa struktur dan muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut;

1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia

2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian 3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi 4. Kelompok mata pelajaran estetika

5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan

Dengan cakupan kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia: Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentu peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.

Selanjutnya dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan pula bahwa; kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kearganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, alokasi waktu jam pembelajaran mata pelajaran agama menjadi 4 jam (dari 3 menjadi 4 jam pelajaran setiap minggu).

Muatan Kurikulum

Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menegaskan bahwa kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi Pendidikan Agama Islam

(8)

- Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

- Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Ruang lingkup PAI menekankan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas 1, semester 1

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Al Qur’an

1. Menghafal Al Qur’an surat pendek pilihan

1.1 Melafalkan QS Al-Fatihah dengan lancar 1.2 Menghafal QS Al-Fatihah dengan lancar Aqidah

2. Mengenal Rukun Iman 2.1 Menunjukkan ciptaan Allah SWT melalui ciptaan-Nya

2.2 Menyebutkan enam Rukun Iman 2.3 Menghafal enam Rukun Iman Akhlak

3. Membiasakan perilaku terpuji 3.1 Membiasakan perilaku jujur

3.2 Membiasakan perilaku bertanggung jawab 3.3 Membiasakan perilaku hidup bersih 3.4 Membiasakan perilaku disiplin Fiqih

4. Mengenal tata cara bersuci (thaharah)

(9)

5. Mengenal Rukun Iman 5.1 Menirukan ucapan Rukun Iman 5.2 Menghafal Rukun Iman

Kelas 1, Semester 2

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Al Qur’an

6. Menghafal Al Qur’an surat-surat pendek pilihan

6.1 Menghafal QS Al-Kautsar dengan lancar 6.2 Menghafal QS An-Nashr dengan lancar 6.3 Menghafal QS Al-‘Ashar dengan lancar Aqidah

7. Mengenal dua kalimat syahadat 7.1 Melafalkan syahadat tauhid dan syahadat rasul

7.2 Menghafal dua kalimat syahadat 7.3 Mengartikan dua kalimat syahadat Akhlak

8. Membiasakan perilaku terpuji

8.1 Menampilkan perilaku rajin

8.2 Menampilkan perilaku tolong-menolong 8.3 Menampilkan perilaku hormat terhadap

orangtua

8.4 Menampilkan adab makan dan minum 8.5 Menampilkan adab belajar

Fiqih 8.6

9. Membiasakan bersuci (thaharah)

9.1 Menyebutkan tata cara berwudhu 9.2 Mempraktikkan tata cara berwudhu

(10)

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk madrasah dikembangkan lebih lanjut oleh Kementerian Agama.8

C. Peraturan Kebijakan Pendidikan Agama

a. UU No. 4 Tahun 1950 jo UU NO. 12 Tahun 1954

Peraturan Kebijakan Pendidikan Masa Demokrasi Liberal (1950-1959) tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia. Isi undang-undang terkait dengan pertama, peran orang tua yang dominan khususnya dalam menentukan pelajaran agama apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut, dimulai kelas 4.

kedua, cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang melibatkan dua kementriaan, kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, dan kementerian Agama, tentu dalam praktikkanya ada persinggungan antar kepentingan. b. TAP MPRS No. II/1960 Bab yang sama (Bab II) pasal 3, menetapkan Pendidikan Agama

menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Rakyat sampai dengan Universitas-universitas Negeri, dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali/murid dewasa menyatakan keberatannya.

Penyebutan Sekolah sampai Perguruan tinggi kata “Negeri” berimplikasi pengajaran mata pelajaran Pendidikan Agama hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan negeri, maka sekolah-sekolah swasta tidak ada keharusan menyelenggarakan “Pendidikan

Agama”. Begitu juga pengajaran agama bagi siswa diserahkan pilihannya kepada orang tua, apakah orang tua menghendaki atau tidak anaknya mempelajari agama. Mata pelajaran Agama bersifat komplementer, masih sukarela dan bukan mata pelajaran yang wajib diikuti oleh setiap siswa dan mahasiswa.

c. TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966

Khususnya Pasal 1 menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Universitas-universitas Negeri. Tap MPRS ini hanya mewajibkan pendidikan agama di sekolah dan universitas berstatus Negeri. Selanjutnya, Tap MPRS ini juga menghapus kata-kata “dengan pengertian bahwa murid berhak untuk tidak ikut apabila wali murid/murid dewasa menyatakan

keberatannya”. Maka pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang wajib diikuti

oleh anak didik.

8

Amri, Sofan, Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah: dalam Teori, Konsep, dan

(11)

Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 bertujuan; a. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. b. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan. c. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

d. SKB 3 Menteri nomor 6 Tahun 1975

SKB yang ditanda tangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berisi; (1). Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat. (2). Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas. Dan (3). Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Setelah SKB 3 menteri ini lahir, maka disusun pula kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama di madrasah.

e. UU No. 2 Tahun 1989

Undang-undang tentang sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU No.4 Tahun 1950 jo. UU No.12 Tahun 1954. Khususnya pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain pendidikan agama. Pada pasal 20 bahwa pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan pancasila merupakan mata pelajaran wajib di sekolah umum. 9 f. UU No. 20 tahun 2003

Melalui UU Sisdiknas ini pendidikan keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan keagamaan masuk ke dalam bagian pendidikan formal, nonformal dan atau informal. Dalam UU ini juga sebagai pengakuan terhadap bentuk-bentuk pendidikan lainnya, seperti pondok pesantren dan pendidikan diniyah (keagamaan) semakin eksplisit sebagai bagian sistem pendidikan nasional.10 Dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Pendidikan agama bersifat wajib “kurikulum pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama”. Pada Pasal 12 ayat (1) huruf a; “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh

pendidik yang seagama; dengan penjelasan Pasalnya “Pendidik dan/atau guru agama yang

seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh pemerintah atau

9

Samsul Nizar, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), cet.1, hal.47 10

(12)

pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal

41 ayat (3)”.

g. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional/PP No. 55 Tahun 2005 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pendidikan agama wajib diajarkan pada semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan (negeri dan swasta).

h. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah

Tahapan-tahapan ini menunjukkan kesadaran bangsa mengenai pentingnya pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu perwujudan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia merupakan hasil pergulatan besar umat Islam sendiri dalam konteks sistem pendidikan nasional. Kini posisi Pendidikan Agama Islam di dalam sistem pendidikan Indonesia semakin kuat. PAI termasuk sebagai mata pelajaran dalam pendidikan nasional.

Selain pemberian pendidikan agama di sekolah diperintahkan dan diatur oleh Undang-undang, tetapi juga dituntut oleh peraturan perundangan lainnya yang mengatur tentang HAM. Pendidikan agama dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Terdapat dua pasal penting dalam Undang-undang no.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan soal agama dan bimbingan orang tua atau wali tentang agama, yaitu Pasal 22 dan Pasal 55. Pasal 22 berbunyi,

“(1) setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing untuk beribadah menurut agamnaya dan kepercayaannya itu.”.

Pasal 55 berbunyi, “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamnya, berpikir dan

berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua

dan atau wali”.

Begitu juga pendidikan agama dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak terdapat sejumlah pasal yang secara ekplisit ingin menjamin kebebasan beragama anak dan perkembangan agama anak sesuai dengan agama orang tuanya terdapat pada Pasal 6, 8, 19, 33, 37, 39, 42. Berikut bunyi Pasal 6, “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekpresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam

bimbingan orang tua.”. Pasal 8 berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan

(13)

Pasal 19 berbunyi, “Setiap anak berkewajiban untuk: (a). Menghormati orang tua, wali, dan

guru; (b). Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, (c). Mencintai tanah air, bangsa, dan negara. (d). Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (e). Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.11

D. Keberhasilan pendidikan agama di sekolah umum

Penilaian secara moderat, pendidikan agama di sekolah umum berhasil, tetapi dalam beberapa hal masih mengalami hambatan dan kendala. Diantara keberhasilannya itu;

pertama, dengan dilakukan program pendidikan agama di sekolah umum, dilihat dari perspektif cita-cita pendidikan nasional, usaha Departemen Agama dalam membina pendidikan agama di sekolah umum telah berhasil mewujudkan cita-cita konvergensi. Para siswa sekolah umum mengenal dan mempelajari agama di sekolahnya masing-masing selain pelajaran-pelajaran umum. Kedua, sekolah sepenuhnya tidak bersifat sekuler, karena peserta didik belajar agama dan mengamalkannya. Ketiga, di sisi lain, madrasah dan sekolah-sekolah agama tidak lagi menganggap ilmu-ilmu umum hal yang bersifat dunia yang diharamkan untuk dipelajari, sekarang ilmu-ilmu umum dipelajari oleh siswa-siswa madrasah dan sekolah agama.12

Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai penyelenggara pendidikan agama memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselnenggarakan, setidaknya ada empat pilihan; 1. Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din, seperti yang ada dalam tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantren salafiyah), dengan muatan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. 2. Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag. Madrasah semula merupakan

“pendidikan agama plus umum”, tetapi sesuai UUSPN 1989 madrasah adalah “sekolah umum berciri agama”. 3. Sekolah Islam “plus” atau “unggulan” yang mengikuti kurikulum Diknas, yang pada dasarnya adalah “pendidikan umum plus agama”. 4. Pendidikan ketrampilan (vocational training), apakah mengikuti model “STM” atau MA/SMU ketrampilan.

Keempat pilihan tersebut, menjawab sejumlah harapan masyarakat kepada pendidikan Islam di era globalisasi. Harapan pertama, Pendidikan Islam berperan dalam tiga hal pokok; pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge).

Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi

11

M. Atho Mudzhar, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai..,hal.103-104

12

(14)

(calon-calon) ulama (reproduction of “ulama”). Harapan kedua, aagar para peserta didik tidak hanya mengentahui ilmu agama, tetapi juga ilmu umum atau sebaliknya sehingga diharapkan terjadi mobilitas pendidikan. Harapan ketiga, agar para anak didik memiliki ketrampilan, keahlian atau life skills khususnya dalam bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan ciri masa globalisasi.13

E. Kelemahan pembelajaran PAI di sekolah-sekolah

Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikanya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.

Muhaimin menuliskan indikator-indikator kelemahan pelaksanaan PAI di sekolah-sekolah;

1. PAI kurang bisa mengubah pengetahuan agama yag kognitif menjadi “makna” dan

“nilai” atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik.

2. PAI kurang dapat berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan nonagama;

3. PAI kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial budaya, dan/atau bersifat sttis kontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai-nilai yang hidup dalam keseharian.14

Ahmad Tafsir menyebutkan 12 kelemahan PAI di sekolah; 1. Kurangnya dukungan orang tua murid

2. PAI kurang diminati 3. Kurikulum PAI terlalu luas

4. Pelajaran agama kurang brguna bagi kehidupan material

13

Azyumardi Azra, Pendidikan islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai.., hal.19

14

(15)

5. Tidak di UN kan

6. Kurang peneladanan dari guru 7. Kurangnya pembiasaan dari sekolah 8. Penampilan guru agama kurang menarik 9. Budaya global

10.Spiritualisme melawan materialisme 11.PAI tidak menyatu dalam sistem

12.PAI tidak dijadikan fokus dalam kehidupan sehari-hari. 15

Berbagai kritik atas kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat normatif, teoritis dan kognitif, serta kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya dan bersifat statis tidak kontekstual serta lepas dari sejarah, sehingga peserta didik urang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian; dan lain-lain. Aspek yang disoroti adalah menyangkut muatan kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana pendidikan agama, termasuk di dalamnya buku-buku dan bahan-bahan ajar pendidikan agama. 16

Persoalan sebenarnya bukanlah terletak pada persoalan mata pelajaran apa yang lebih mungkin mampu membentuk perilaku atau pribadi siswa secara efektif. Pendidikan budi pekerti sekalipun, andaikata diajarkan secara kognitif akan melahirkan problem yang sama. Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan, melainkan bersifat saling komplementer. Dalam hal ini, penyempurnaan sistem pendidikan agama terutama dalam orientasi dan penekanan aspek kompetensi yang harus diajarkan menjadi hal yang sangat penting. Materi pendidikan agama, harus diorientasikan kepada penguasaan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai dan norma ajaran agama secara komprehensif sehingga kelak mampu membentuk kepribadian yang utuh. Pendidikan agama harus disajikan dengan pendekatan yang tepat sesuai ideologi pembangunan yang telah dirumuskan pemerintah dan tuntutan pembenetukan kepribadian peserta didik sesuai perkembangan tantangan zamannya. Kesalahan pendekatan pendidikan agama, ternyata tidak

15

Ahmad Tafsir, Penelitian pada Pendidikan Agama Islam, Studium General, Program Magister PAI UIN Jakarta, 6 November 2013.

16

(16)

hanya menyebabkan “prestasi” sekolah yang rendah, namun dapat menyebabkan pula

terbentuknya perilaku yang tidak diharapkan.17

Pendekatan Pembelajaran PAI menumbuhkan karakter siswa

Pada dasarnya karakter lebih bermuatan aspek afektif. Dengan mengacu Taksonomi belajaran menurut Benyamin S. Bloom cakupan domain afektif terdiri dari;

a. Penerimaan (Receiving)

b. Sambutan (Responding) c. Penilaian (Valuing)

d. Pengorganisasian (Organization)

e. Karakterisasi (Characterization)

Dengan kerang pikir ini, Abuddin Nata menawarkan pendekatan pembelajaran PAI dalam rangka menumbuhkan karakter bagi siswanya.18

a. Modeling – Imitating; pendekatan pembelajaran PAI dengan menghadirkan perilaku yang baik dipraktikkan di lingkungan sekolah. Kepala sekolah, guru, orang tua sebagai contoh dan model dimana siswa dapat melihat, mengamati, mempraktikkan perilaku yang baik mereka. Dengan pemberian contoh yang baik-Uswatun Hasanah atau Qudwah Hasanah-, menguatkan materi yang dipelajari siswa di kelas. Materi PAI tidak sebatas materi belaka sifatnya abstrak, tetapi siswa mendapat pembuktian secara praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dengan apa yang dilihatnya dari orang-orang di sekitarnya semakin memberi keinginan untuk mempraktikkan materi-materi yang telah dipelajarinya.

b. Reflecting; pendekatan yang bertujuan, siswa mampu mendapatkan sebuah pantulan atau masukan dengan apa yang telah dipelajarinya. Materi yang dipelajari tidak begitu saja lewat dan dilupakan tanpa meninggalkan bekas apa-apa yang bermanfaat setelah itu. Berefleksi berarti mencoba menilai perbuatan diri sendiri. Apakah proses pembelajaran yang dilakukannya sudah memberi sesuatu hal positif bagi dirinya. Dalam refleksinya, ternyata materi-materi PAI yang telah dipelajarinya, mengandung nilai-nilai universal, komprehensif, serta aplikatif yang berguna bagi kesuksesan hidupnya di dunia maupun di akhirat.

17

M. Atho Mudzhar, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai..,hal.108

18

(17)

c. Problem Solving; pendekatan dengan melibatkan siswa dari setiap pembelajaran PAI. Guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu terhadap sebuah masalah. Objek materi yang dipelajari sebagai sebuah masalah yang harus dipecahkah dan dicarikan solusi. Dari sini timbul pemahaman, terhadap sebuah masalah, masing-masing siswa akan memiliki pendapat yang berbeda dan bermacam-macam. Keikut partisipasian semua siswa dalam memecahkan sebuah masalah, kemudian dirumuskan jalan solusinya, secara tidak langsung menuntut tanggung jawab atas semua hal yang telah mereka lalui.

d. Deep Discussion; pendekatan pembelajaran PAI yang menuntun masing-masing siswa berdiskusi secara mendalam, analisis, kritis terhadap pemaman ajaran Islam. Dari sini, Islam sebagai sebagai sebuah horizon ilmu pengetahuan yang ilmiah dan komprehensif. Pemamahan menggali kembali dari sumber ajaran Alquran dan Hadis, membaca pendapat para ulama, serta melihat hasil penemuan-penemuan ilmiah terkini. Pemamahan siswa terhadap Islam yang dibangun, bereferensi yang otoritatif argumentasi yang rasional dan empirikal, serta memberi kemaslahatan bagi semesta. e. Socialization; pendekatan pembelajaran PAI sebagai sesuatu proses implementasi

yang dialami bagaimana sebuah ajaran atau nilai (PAI) bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada pertentangan. PAI sebagai sebuah materi penuh nilai, untuk bisa menjadi sebuah karakter yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, ada tahapan dan proses yang harus dilalui. Dimulai dari adaptasi, proses penyesuaian terhadap sesuatu hal yang baru (nilai PAI) dengan lingkungan sekitar, kemudian terjadi Asimilasi yaitu saling pengaruh mempengaruhi antar yang sudah ada (lingkungan sekitar) dengan yang baru, kemudian terjadi kolaborasi, kedua unsur yang sudah ada dan baru bisa saling kerjasama sehingga selanjutnya terjadi integrasi, yakni perbauran yang masuk diantara kedua unsur (nilai PAI dan lingkungan sekitar) dengan lancar dan saling mengisi.

(18)

F. Kendala Praktik Pendidikan Agama Islam Di Sekolah beserta Solusinya

Dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, banyak sekali muncul problematika-problematika. Berbagai problematika yang muncul, bisa berkenaan dengan masalah yang bersifat internal, maupun eksternal. Faktor internal sekolah, misalnya guru yang belum berkompeten, maupun sarana prasarana yang tidak mendukung.

Sedangkan permasalahan dari eksternal, bisa datang dari kurangnya dukungan masyarakat (orang tua murid), ataupun kurangnya dukungan dari pemerintah daerah setempat. Untuk mempermudah pemaparan, maka berikut akan ditampilkan problematika-problematika Pendidikan Agama Islam di sekolah beserta solusi yang ditawarkan, dilihat dari ruang lingkupnya sebagai berikut; 19

19

Dedi Noviyanto, Aspek-Aspek PAI Di Sekolah, sumber http://dedinoviyanto.wordpress.com/my-papers/tentang-pendidikan/aspek-aspek-pai-di-sekolah-karakteristik-problematika-dan-solusinya/, diakses

1. Evaluasi harus diubah, yaitu lebih menekankan kepada penerapan, misalnya dengan pembelajaran penerapan langsung.

2. Mengaitkannya dengan sosok/tokoh masa kini 5 Fiqih 1. Penilaian seringkali lebih

menekankan kemampuan

(19)

Salah satu masalah yang dihadapi pengajaran agama Islam di sekolah adalah adanya kekurangan jam pelajaran agama Islam yang disediakan di sekolah-sekolah. Abuddin Nata menawarkan solusi untuk mengatasinya. Pertama, dengan merubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula bersifat subject matter oriented, yakni dari yang semula berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan mengahafal ajaran agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentuk sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai dengan agama. Kedua, dengan cara menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Penambahannya itu dengan bentuk ekstrakurikuler dengan

kegaitan shalat berjama’ah, pendalaman agama melalui pesantren kilat, qiyamul lail,

berpuasa sunah, memberikan santunan kepada fakir miskin, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. ketiga, dengan cara meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan yang diberikan oleh kedua orang tua di rumah. Keempat, melaksanakan tradisi ke-Islaman yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Sunah yang disertai dengan penghayatan akan makna dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Kelima, pembinaan sikap keagamaan tersebut dapat pula dilakukan dengan memanfaatkan berbagai mass media yang tersedia, seperti radio surat kabar, buku bacaan, televisi, dan lain sebagainya.20

20

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Kencana, 2003), cet. I, hal.23-31

kognitif.

2. Kurangnya sarana prasarana

2. Bekerjasama dengan lembaga keagamaan di sekotar sekolah

6 SKI

1. Seringkali hanya bersifat narasi dan hafalan. 2. Kurangnya minat siswa

1. Menekankan kepada pengambilan hikmah. 2. Ditampilkan suasana yang

(20)

Penutup

Perlunya perubahan paradigma pendidikan agama di sekolah dan madrasah yaitu pendidikan agama bukan sebatas pengajaran dan penguasaan materi terhadap ilmu-ilmu agama, tetapi juga mampu anak didik mampu memahami dan memaknai nilai-nilai agama sebagai bekal motivasi untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama Islam di sekolah menjadi aspek pokok pendidikan agama Islam, sedangkan aspek-aspek pokok pendidikan agama Islam di sekolah umum menjadi sub mata pelajaran-mata pelajaran di madrasah.

(21)

Daftar Pustaka

Amri, Sofan, Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah: dalam Teori, Konsep, dan Analisis, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2013), cet.1

Azra, Azyumardi, Pendidikan islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dalam

Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), cet.1

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2009), cet.1 ---, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2012), cet.v ---, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), cet.1

Mudzhar, M. Atho, Pendidikan Agama di Sekolah dalam Persfektif HAM, dalam Mereka Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), cet.1

Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Kencana, 2003), cet. I.

---, Sesi perkuliahan pada tanggal 30 Desember 2013

Nizar, Samsul, Isu-Isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), cet.1

Saridjo, Marwan, Prolog Pendidikan Islam dan Beribu Kata berjawab, dalam Mereka

Bicara Pendidikan Islam: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), cet.1

Tafsir, Ahmad, Penelitianpada Pendidikan Agama Islam, Studium General, Program Magister PAI UIN Jakarta, 6 November 2013.

Noviyanto, Dedi, Aspek-Aspek PAI Di Sekolah, sumber

http://dedinoviyanto.wordpress.com/my-papers/tentangpendidikan/aspek-aspek-paidi

sekolah-karakteristik-problematika-dan-solusinya/, dikutip tanggal 14 November

Referensi

Dokumen terkait

ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF DARI KEHAMILAN, PERSALINAN, BAYI BARU LAHIR (BBL), NIFAS DAN PERENCANAAN KELUARGA BERENCANA (KB) PADA NY. Dalam penyusunan Karya Tulis

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mereduksi keadaan cemas ini adalah melakukan self healing dengan mengguna- kan energi reiki.. Self healing mengguna-

1. The pattern performed by the teacher and the students in SMA Kolese De Britto Yogyakarta. 1) Interactional Pattern Teacher and Student by IRF Table 2. the pattern of IRF on

"parkir motor ^PJntu keluar kendaraan bermotor fpfntu keluar/masuk pejalan kakl S clupturo ^PJntu masuk kendaraan bermotor Gambar site plan ini me imperii hat kar layout ruang

Bupati sebagai Kepala Daerah atau Pejabat yang berwenang melakukan Deportasi ke daerah asal terhadap setiap orang yang terlibat dalam perbuatan asusila baik mucikari, Wanita Tuna

Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak dari Direktur Jenderal Pajak tanggal 19 Agustus 2008, Perusahaan menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) untuk masa pajak Januari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecemasan terhadap status lajang pada perempuan dewasa awal ditinjau dari harga diri. Jenis metode yang

Penulis menerapkan metode analisa dan metode perancangan, meliputi survei sistem yang berjalan, survei kebutuhan user dengan wawancara terhadap pihak yang bersangkutan,