1 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
KENDALA PENERIMAAN KEHADIRAN
PENDIDIKAN SENI (RUPA) DI SEKOLAH UMUM
Oho Garha
dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
Abstrak
Ada tiga kendala penerimaan kehadiran pendidikan seni di sekolah u m u m ( S D , S L T P , d a n S M U ) . K e n d a l a y a n g p e r t a m a i a l a h kekurangpahaman para pendidik, masyarakat, dan pemerintah terhadap konsep pendidikan seni (rupa) yang sebenarnya. Kendala yang kedua ialah pewarisan nilai-nilai keindahan seni tradisional. Penanaman nilai-nilai keindahan seni tradisional menjadi salah satu kendala, sebab pendidik dihadapkan pada persoalan ekspresi anakanak yang memiliki dasar kebebasan dan pewarisan nilai-nilai lama. Kendala ketiga ialah strategi politik bangsa kita yang 'seakan-akan' menekan pengembangan pendidikan seni yang berazaskan 'kebebasan berekspresi'. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan seni yang sebenarnya bersifat liberal, sehingga jika dikaji perkembangan kurikulum pendidikan seni sejak jaman penjajahan hingga sekarang, ternyata pendidikan mengalami kemunduran.
2 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
Pendahuluan
Pada tahun 1857 Ruskin menerbitkan makalah yang berjudul "The Elements of Drawing". Judul sederhana itu berisi temuan yang canggih, yang besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan, khususnya Pendidikan Seni.
Pengaruh itu antara lain terjadi di Italia 30 tahun berikutnya yaitu terbitnya buku "L'arte dei bambini" (Seni Rupa Anak-anak) karya Corrado Ricci.
Namun kenyataan terutama di negara kita, hingga saat ini Pendidikan Seni Rupa
belum mengalami perubahan yang berarti apalagi Pendidikan M u s i k , P e n d i d i k a n T a x i d a n Pendidikan Teater. Pendidikan Musik, Pendidikan Taxi dan Pendidikan Teater, mungkin saja tidak sulit diterima seperti munculnya kata Pendidikan Bahasa, Pendidikan Matematika, meskipun sesungguhnya tidak semudah itu mengganti kata pelajaran
dengan kata
3 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
menjadi k e s a n k e r e n d a n t i d a k s a m p a i menyentuh prinsip yang sebenarnya. Mungkin hingga saat ini pun masih banyak pihak yang ragu -ragu untuk menerima kebenaran bahwa selama prestasi anak dijadikan sebagai tolok ukur utama dalam evaluasi salama itu pula kata pendidikan tidak dapat dijadikan sebagai pengganti kata pelajaran suatu mata pelajaran. Sampai saat ini pun mungkin evaluasi d a l a m P e n d i d i d k a n S e n i d a n Pendidikan Olahraga dan Kesehatan masih menempatkan prestasi anak sebagai tolok ukurnya. Lalu timbul pertanyaan, jika demikian apa tolok
ukurnya apabila bukan prestasi yang dijadikan tolok ukur evaluasinya ? Bilamana Pendidikan Seni Rupa yang m e n j a d i p e n e r a t a s j a l a n d a l a m menempatkan seni
rupa sebagai
pendidikan, sementara
Pendidikan M u s i k ,
P e n d i d i k a n T a r i
d a n Pendidikan Teater
baru kemudian
m e n y u s u l ,
s e s u n g g u h n y a t i d a k
b a n y a k f a k t o r
y a n g m e n j a d i
penyebabnya, namun
faktor-faktor itu cukup sulit untuk difahami.
4 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
anak-anak masih belum
dikenal sebagian besar
para pendidik; pewarisan
nilai-nilai keindahan seni tradisional; dan politik.
Seni Anak-anak yang Masih Asing
Visit any primary
school and you are
likely to observ e
children making art
painting, writing poems
and so on. But you may
not observe anyone
composing. Why is
this ? The simplest
answer is that music in
school traditionally has
stressed performing
and listening at the
expense of composing
(Mills, 1991 23-4).
Bahkan kenyataan itu
lebih keras lagi disesali
oleh Schafer
(1975:228) sebagai berikut:
"But we could not
spend some of our
energies in teaching to
make t h i n g s h a p pen
? I s t h i s n o t a
question worth
considering ? The only
way we can turn the
past tense subject of
music ito a present
tense activity is by
creating."
Mengapa demikian ? Salah satunya adalah
tradisi Eropa yang
demikian kuat
berpengaruh kepada
pendidikan seni musik
5 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
m e n g e n y a m p i n g k a n
c o m p o s i n g (present tense aktivity) yang
tidak kurang penting
artinya bagi
perkembangan anak -anak terutama d a l a m
u p a y a
m e n g e m b a n g k a n
kreativitas mereka sedan
usia dini. Kejadian ini
terutama disebabkan oleh
masih asingnya seni musik
anak-anak bagi para pendidik.
Baru tahun 60-an pendidikan musik yang
berlaku bagi semua anak
yang menempatkan
musik sebagai alat
pendidikan seperti juga
dalam seni rupa yang
mengutamakan
pembinaan kreativitas.
Swanwick (1991:14) antara
lain menyatakan demikian.
Throughout the
1960s, this theoretical
perspective was further
developed and
refinised, stressing the
creativyti of children
rather than received
traditions. In Britain
during the late 1960s
and early 1970s,
aninfluential advocate
was John Paynter. In
Canada, another
c o m p o s e r , M u r r a y
S c h a f e r , developed
a similar position;
while in the USA,
detailed implications for
the school music
curriculum were
articulated by Ronald
Thomas in the
Manhattenfille
6 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
(1970)
Dalam seni tari pun
demikian, hanya lebih
awal daripada dalam
musik. Pendidikan seni
tari baru dikenal seusai
Perang Dunia II saat
Labon - penemu notasi tari - mengenalkan p e n d i d i k a n s e n i
t a r i s e p e r t i
dikemukakan Bruce
(dalam Kraus, 1969,158)
demikian : "Laban's
work has been taken
most directly into the
teaching of modern
educational dance
Mudah untuk difahami mengapa hal itu
demikian keadaannya. Pertamatama ditentukan oleh sifat seni rupa itu sendiri yang berbeda dan
cabang seni yang lainnya dimana penciptaan ser ta pe n ya j ian d i la kuk an o leh seniman dan sekaligus menghasilkan rekaman dan dapat bertahan lama.
Jika dalam musik ada
komponis dan ada
penyaji (penyanyi atau
pemain instrumen), atau
dalam seni tari ada
koreografer dan penari,
dalam seni rupa
"senirupawan"
melaksanakan keduanya
tanpa harus melibatkan
pihak lain, terutama dalam
penciptaan seni murni.
Jika kehadiran musik
dan tari lebih banyak
ditentukan oleh durasi,
maka perekamannya
7 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
terjadi. Untuk itu
diperlukan alat perekam
yang juga terikat oleh
durasi itu. Alat perekam
yang demikian barn
ditemukan tahun 1888
saat Emile Berliner
untuk pertama kalinya
mengenalkan cara
merekam suara pada
piringan hitam (Oho
Garha, 1994).
Sesungguhnya alat
perekam gambar
bergerak sudah lebih dulu
ditemukan yaitu tahun
1870 saat Eadweard
Muybridge melakukan
s e r e n t e t a n
p e r c o b a a n u n t u k
menganalisis gerak
binatang dan manusia
dengan menempatkan
24 buah kamera
sepanjang jalur tempat
pacuan kuda. Kemudian
pada tahun 1 8 8 0
J u l e s E t i e n n e
M a r e y menemukan
"photograpic gun" yang mirip senapan otomatis yang dapat memotret sebanyak 12 hingga 120 gambar dalam tempo satu menit (Encyclopedia
Americana, 1985). Kenyataan ini menjadi salah satu penghambat dikenalnya seni musik dan seni tari anak kecil, karena p e n g e n a l a n i t u m e m e r l u k a n
pengkajian cermat dan teliti terhadap karya
8 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
saja tak ada seorang jua pun yang dapat merekam musik atau tari orsinil ciptaan anak kecil. Lain dengan seni rupa, karya ciptaan jaman batu tua saja sudah dapat dikenal oleh m a n u s i a m o d e r n s e p e r t i y a n g dikemukakan Gross (1992:593) sebagai berikut ini:
"The first discovery in
the west of Paleothic
cave art occurred in
1879 w h e n a y o u n g
g i r l , M a r i a d e
Soutualo was
wandering in the
cave near her home in
Altamaria, Spain.
Maria found the
ceilling of grotto
covered with images of
large animal painted
invivid colors".
Berbicara tentang karya
seni rupa anak kecil,
siapa saja yang tertarik
kepada gambar-gambar
atau lukisan karya anak
kecil dengan mudah
mereka dapat
mengkoleksi dan
kemudian menelitinya
seperti yang untuk
pertama kalinya
dilakukan oleh Ruskin
pada tahun 1857.
In 1857 The Elements
of Drawing was
published, and in this
and subsequent
works Ruskin first
drew attention to
what might be called
the educational
possibilities of drawing
9 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
his in the Elements
of Drawing i n s p i r e d
a n E n g l i s h t e a c h e r ,
Ebenezer Cooke, to
reconsider the
principles of art
teaching in the
schools, and teo
articles which Cooke
contributed to the
Journal of Education at
the end of 1885 and
beginning of 1886
are the first
d o c u m e n t s i n a
l o n g a n d
increasingly
complicated process of
research (Read,
1970:116).
Sejak itulah muncul
buku yang
mengenalkan seni rupa
anak-anak seperti yang
ditulis oleh Corrado Ricci
yang berjudul "L'arte
dei bambini" (seni
rupa anak-anak)
terbitan Bologna tahun
1887 dan setahun
kemudian terbit pula di
Penis "L'art rt la poesie
chez I'enfant" (seni rupa
dan pui s i a n ak-a n ak)
bu ah t an ga n Bernard
Perez. Sejak itulah terjadi
reformasi dalam pendidikan seni rupa yang dimulai di Eropa Barat, yang menempatkan seni rupa sebagai alat pendidikan.
Di Indonesia
pengaruhnya kepada
pendidikan formal baru
timbul tahun
1 9 7 5 s a a t s e c a r a
10 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
memuat Pendidikan Kesenian sebagai sebuah mata pelajaran yang meliputi Pendidikan Seni Rupa, Pendidikan Seni Musik, Pendidikan Seni Tan dan Pendidikan Seni Drama. Sayang pembaruan itu hingga saat ini tidak meninggalkan jejak yang berarti bagi lembaga pendidikan umum karena seni anak-anak -kunci utama untuk
memahami pendidikan
seni - masih a s i n g b a g i s e b a g i a n b e s a r p a r a
pendidik, bahkan secara
berangsurangsur
Pendidikan Seni
menjadi korban
perampingan isi GBPP.
Pewarisan Nilai-nilai
Seni Tradisional
Tak dapat dibantah
bahwa nilai-nilai
keindahan seni
tradisional yang
menjadi warisan
kebudayaan dari
g e n e r a s i t e r d a h u l u
p e r l u k i t a lestarikan.
Lebih-lebih bagi bangsa
kita yang relatif masih
muda usia, yang masih
perlu mengenalkan ciri
k e p r i b a d i a n
b a n g s a n y a k e p a d a
negara/bangsa lain.
Akan tetapi mestikah
upaya ini diberikan
sejak dini kepada anak
kecil, sementara
mereka masih berada di
dalam dunia seninya yang
nyata-nyata berbeda dari
dunia seni orang dewasa
?
11 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
walau tidak sepenuhnya
tepat bahwa nilai-nilai
keindahan itu dapat
diteruskan kepada anak
kecil. Cara itu dapat kita
ibaratkan tugas
menggambar bagi anak
TK dengan menggunakan
sablon sebagai polanya.
Dengan alat itu anak TK
dapat menghasilkan
gambar yang bentuknya
sesuai dengan keinginan
guru seperti konturnya
dipolakan dengan sablon
itu.
Hingga saat ini upaya
yang dikiaskan
seperti itu masih tetap berkembang, terutama
dalam pendidikan seni tari.
Pelaku pengajaran
seperti ini tidak merasa
berdosa, sebab nyatanya
apa yang dikehendakinya
dapat terwujud, lebih
-lebih dan terutama
karena is belum
mengenal dunia seni tari
anak-anak.
A p a y a n g
d i g a m b a r k a n d i a t a s
ternyata tidak hanya
terjadi di negara kita saja.
Bandingkan kenyataan
ini dengan apa yang
terjadi di Inggris dan
negara-negara lain yang
menggunakan bahasa
Inggris sebagai
linguafrankanya seperti
Amerika Serikat dan
Australia. Swanwick
(1991:10 - 11)
memaparkan demikian.
P e r h a p s t h e o l d e s t
12 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
e s t a b k i s h e d t h e o r y
o f m u s i c education is that which emphasizes
that puplis are inheritors
of a set of c u l tu r a l
v a l u e s an g p r a ct i c e s ,
needing to master relevant skills and
information in order to
take part in musical
affair. Schools and
c o l l a g e s c a n b e
s e e n t o b e important
agents in this process of
t ra n mi s si on.
A cc o rd ing to th i s
t h e o r y , t h e t a s k o f
t h e m u s i c educator is
primarily to initiate
students into recognizable
music traditions. This is
position that was until
recently well established
and generally accepted.
Tak dapat disangkal
bahwa upaya itu dapat
dilaksanakan, terutama
kepada anak-anak yang
berbakat musik. Akan
tetapi tentu cara itu tidak
berlaku bagi semua anak,
padahal pendidikan seni
ha ru s be r la ku ba gi
s em ua ana k seperti
diketengahkan Mills
(1991:3) demikian. In
short, music is an active
subject consisting of
the activities of Pen
composing performing
and listening; for
children, for all teachers,
fun".
Oleh sebab itu Schafer
(1969:228)
m e n g e l u h k a n c a r a
i t u s e p e r t i dinyatakan
13 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
The big problem with
education is o n e o f
t e n s e . E d u c a t i o n
traditionally deals with
the past tense. You
can only teach things
that have already
happened. (In many
cases they happened a
very long time ago).
It is the tense
questions that has kept
artists and institutions
apart, for artists,
t h o u g h a c t s o f
c r e a t i o n , a r e
concerned whit the
present and f u t u r e
r a t h e r t h a n t h e
p a s t . Education is
neither news nor
prophecy, neither
present nor future.
To perform, to
interpret m u s i c i s
t o e n g a g e i n a
reconstruction of the
past, which may
certainly be a desirable
and useful experience.
Apabila pewarisan nilai nilai
keindahan seni
diibaratkan sebagai
lomba lari estafet, apabila
kita ingin
mem enangkan lomba
itu tentu tongkat
estafetnya harus kita
teruskan kepada pihak
yang telah mampu
untuk berlari cepat dan
berbakat pula.
Sehubungan dengan
misal itu mau berlomba
dengan siapakah ?
Siapakah yang patut
menerima tongkat estafet
14 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
Politik
Apabila kita berani berterus
terang, benarkan negara
kita ini negara demokratis ?
Bagi mereka yang kini
berusia di atas 60 an dan
berani menyatakan dengan
jujur, is akan
menyatakan benar,
tetapi hanya berlangsung
sebentar. Tampaknya
konsep demokratisasi
yang ditanamkan oleh
Presiden pertama
datang terlalu pagi untuk
diterapkan kepada
masyarakat yang lama
sekali terjajah dan
memiliki tradisi kerajaan
kecil-kecil, sementara tahap
pendidikan pun masih
sangat heterogen. Negara
kita hanya sampai awal 50
an berdiri sebagai negara
demokratis. Selanjutnya
dengan dibatasinya jumlah
partai yang boleh berkoar
itu pun dibatasi ruang
geraknya, semakin tampak
hilangnya ciri
demokratisnya negara
kita ini. R a k ya t
t e r u t a m a y a n g p i n t a r ,
merasakan kekurangan
itu, namun apalah daya
mereka tidak dapat b
erb u at banyak.
Dalam dunia pendidikan
keadaan demikian lebih
disadari oleh mereka
yang berkecimpung
serta besar perhatiannya
kepada pendidikan seni.
Tidak pada tempatnya
dalam makalah ini penulis
memberikan penilaian,
kecuali menunjukkan
perkembangan
15 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
menurun apabila kita
mem b andingican silabus
untuk pendidikan seni
sejak jaman akin ir
penjajahan Belanda
hingga jaman Orde Baru.
Menjelang berakhirnya
penjajahan Belanda
pendidikan seni, yang
pada sa a t i t u
d i go l o n gk a n k e
d a l am e x p r e s s i e v a k
( m a t a p e l a j a r a n
ekspresi) hanya meliputi
dua buah mata pelajaran
yaitu menggambar dan
seni suara atau
menyanyi. Di samping
itu ada juga pelajaran
kerajinan tangan yang
juga menempati
kedudukan sebagai
sebuah mata pelajaran
dalam kurikulum
Sekolah Rakyat.
Bagaimana perhatian
Belanda sebagai p
enjajah kepada mata
pelajaran kerajinan
tangan. Adjat Sakri (dalam
"Sanggar Melati Suci
1974 - 1994")
sehubungan dengan itu
antara lain menyatakan
demikian :
Dalam tahun ke dua puluhan R Adolf, seorang pejabat tinggi Belanda di Indonesia, mencoba menghidupkan kembali tujuan
k e b e r a d a a n
p e l a j a r a n
menggambar dengan
maksud hendak
16 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
pelajaran pekerjaan tangan. Karena ia melihat anak pribumi memiliki daya cipta, ia memberi k eb eba san k epad a m u r idnya untuk mencipta sendiri hiasan d e n g a n
b e r s u m b e r p a d a tumbuhan. Gambar hiasan yang d i b u a t d a l a m
p e l a j a r a n m e n g g a m b a r i t u k e m u d i a n diterapkan pada barang pakai dalam pelajaran pekerjaan
tangan. Sampai sekarang cara membuat
h ia san m enu ru t Ad olf m a si h diajarkan di sekolah kita tetapi tidak dilaksanakan sebagai
-mana dimaksudkan semula.
Pada jaman penjajahan
Jepang tidak terjadi
perubahan yang berarti.
Pada jaman itu tradisi
warisan Belanda dalam pelajaran menggambar dan menyanyi dilanjutkan seutuhnya.
Pada jaman awal
kemerdekaan pun
p e m e r i n t a h b e l u m
s e m p a t
memperhatikan pendidikan
seni. Oleh karena itu
cara yang dirintis oleh
Belanda yang diteruskan
oleh Jepang masih
diteruskan hingga awal
tahun 60 an.
Pada tahun 1964 lahirlah
kurikulum baru yang
17 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
pengelompokan mata
pelajaran atau p an c a
w a r d h a n a y a n g
m e l i p u t i perkembangan
moral, intelegensi,
e m o s i o n a l ,
k e p r i g e l a n , d a n
perkembangan jasmani
yang masingmasing saling
isi mengisi dan lengkap
melengkapi.
Pendidikan seni
tergolong pada
wardhana perkembangan
emosional/ artistik yang
mencakup seni suara,
seni lukis/rupa, seni tan
dan seni sastra/drama.
Di SD keempat mata
pelajaran itu mungkin
dianggap sebagai
sebuah mata pelajaran
saja yang terbukti di
kelas satu dan dua
diberikan selama dua
jam pelajaran untuk
keempat mata pelajaran
itu dan di kelas tiga
sampai enam diberikan
selama em p at jam
pelajaran. S ej ak inilah
pendidikan kesenian
mendapat jatah waktu
yang sangat terbatas.
P a d a j a m a n O r d e B a r u t e r j a d i perubahan kurikulum yang di SD mulai dikenalkan Pendidikan Kesenian yang isi dan
jatah waktunya
melanjutkan penetapan Kurikulum 1964. Itulah
yang dikenal dengan kurikulum 1968.
Pada tahun 1975 secara
menyeluruh pendidikan
kesenian menjadi bagian
dari kurikulum SD, SMP
18 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
1984 kurikulum ini
disempurnakan. Dalam
pendidikan kesenian tidak
banyak perubahan
berarti, kecuali namanya
menjadi Pendidikan Seni.
Empat tahun menjelang
berakhirnya k e k u a s a a n
O r d e B a r u , l a h i r
Kurikulum 1994 yang
namanya khusus untuk
tingkat pendidikan dasar
menjadi Kerajinan Tangan
dan Kesenian suatu nama
yang oleh beberapa
kalangan dianggap
rancu. Pendidikan seni
pada kurikulum itu
semakin kurang jatah
waktunya, apalagi di
SMU yang hanya
diberikan di kelas satu
saja selama 2 jam
pelajaran perminggu untuk
empat sub mata pelajaran.
Apabila kita bandingkan
perkembangan
Pendidikan Seni sejak
jaman penjajahan
Belanda hingga jaman
Orde Baru, nyatanya
perkembangannya
semakin merosot bahkan
menjadi korban
peram pingan isi
GBPP. Mengapa
demikian ?
Salah satu jawaban yang
paling tepat adalah karena
pendidikan seni adalah
19 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.1 Maret 2001
Daftar Pustaka
Adjat Sakri, 1994, Masalah Pendidikan Seni Rupa, Yogyakarta : Aquarius Offset
Encyclopedia Americna, 1985, Connecticut: Glorierincorporate
Gross, Danirl R, 1992, Discovering Anthropology, London : Mayfield Publising Company
Kraus, Richard, 1969, History of the Dance in Artt an Education, New Jersey : Prentice Hallm Inc
Mi lls , J ane t , 19 9 1, M u s ic in th e Pr imar y Schoo l, Camb ridge : Cambridge University Press.
Oho Garha, 1994, Tabir Penghalang Musik Anak -anak, Bandung : Harian Umum Pikiran Rakyat terbitan 20 Maret 1994
Re ad , He rbe rt , 1 970 , Ed u c atio n through Art, London : Faber and Faber
Schafer, R. Murray, 1976, Creative Music Education, New York : Schimer Books
Swanwick, Keith, 1991, Music, Mind and Education, London Routledge