• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI ROMAN SACUWIL DALAM SASTRA JAWA MODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI ROMAN SACUWIL DALAM SASTRA JAWA MODERN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI

ROMAN SACUWIL

DALAM SASTRA JAWA MODERN

The Existence ofRoman Sacuwilin the Modern Javanese Literature

Darni

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, Jalan Lidah Wetan, Surabaya

(Makalah diterima tanggal 5 April 2011—Disetujui tanggal 8 November 2011)

Abstrak:Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hakikatroman sacuwil sebagai karya sastra, mendeskripsikan kondisi lingkungan cerita tersebut lahir, yakni penerbit dan pengarangnya, dan mendeskripsikan nilai dan fungsi roman sacuwilbagi pembacanya. Untuk mencapai ketiga hal tersebut digunakan pendekatan struktural dan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data pene-litian ini adalah delapan puluh tiga cerita Roman Sacuwil hasil karya sepuluh pengarang pro-duktif yang terbit tahun 2001—2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakikat roman sacu-wil merupakan sastra remaja yang memiliki mutu populer. Unsur-unsur pembangunnya diolah secara ngambang. Meskipun ada beberapa karya yang diolah dengan bagus, namun tidak mam-pu mengangkat roman sacuwil. Roman sacuwilmemiliki ciri khusus, yakni dihuni oleh tokoh muda-mudi, bercerita tentang cinta dan persahabatan. Para pengarang roman sacuwil sebagian besar hanya mengarang di rubrik tersebut. Nilai-nilai persahabatan muda-mudi yang terkandung dalamroman sacuwilmerupakan media pendidikan bagi muda-mudi dalam membentuk karak-ter pergaulan muda-mudi Jawa yang jauh dari pergaulan bebas seperti di Barat.

Kata-Kata Kunci: sastra remaja, hakikat, nilai, fungsi

Abstract: This paper aims to describe the essence of roman sacuwil as a literary work, background of roman sacuwil i.e. the publisher and the author, and value and the function of roman sacuwilfor the reader. To capture those problems, structural approach and the theory of sociology of literature are used in the analysis. The data of this research are eighty three works ofroman sacuwil, written by ten authors that published in 2001—2005. The research shows that roman sacuwilis a teenage literature which is potentially enough to be quite popular. However, the elements of the story in roman sacuwil are not written well, that make the development indolence. Roman sacuwil has specific characteristics such as the character is teenager and the theme is about love and friendship. Therefore, roman sacuwilhas its own rubric inJaya Baya. The glorious value of friendship among teenager is a media to educate and build a good characteristic of the young generations.

Key Words:teenage literature, the essence, the value, the function.

PENDAHULUAN

Sastra Jawa modern adalah sastra Jawa yang hidup di masyarakat Jawa saat ini. Kehadiran sastra Jawa modern secara ru-tin tertuang dalam majalah-majalah ber-bahasa Jawa. Menurut pengamatan bebe-rapa ahli (Hutomo, 1975; Ras, 1985; Quinn, 1992; Widati, 2001) sastra Jawa modern sejak kemerdekaan merupakan sastra majalah.

(2)

“Sing Lucu”, “Dredah lan Masalah”, dan “Sari Warta”. Rubrik–rubrik yang me-muat karya sastra, antara lain “Taman Geguritan” (puisi Jawa modern), “Carita Cekak” (Cerpen), “Carita Sambung” (Cersam), “Carita Misteri”, “Carita Rak-yat”, dan “Roman Sacuwil”.

Roman sacuwil merupakan cerita pendek yang diasuh dalam rubrik ‘Ro-mansa’ di majalahJaya Baya. Bentuk fi-sik roman sacuwil mirip cerita pendek atau carita cekak. Bentuknya pendek, habis dibaca sekali duduk. Selain ben-tuknya yang pendek, seperti diungkap-kan oleh Nurgiantoro (1995:12), carita cekak menyajikan tema dan plot tunggal serta penokohan yang ringkas dan im-plisit. Secara sekilas, roman sacuwil di-dominasi oleh cerita remaja yang ber-kisar pada masalah percintaan. Roman sacuwil juga hadir dalam setiap Minggu, seperti rubrik sastra yang lain.

Roman sacuwil memiliki kemiripan dengan bentuk sastra Jawa modern yang berkembang tahun 1960-an, yang disebut roman panglipur wuyung, cerita penghi-bur kesedihan. Dilihat dari ciri–ciri unsur pembangunnya, roman panglipur wu-yung merupakan roman picisan, karya sastra yang mutunya sangat rendah. Ce-ritanya berkisar pada cerita remaja, cinta, dan masalah rumah tangga, tokohnya di-gambarkan secara hitam putih. Ciri yang paling menonjol adalah adanya pengha-raman makna ganda. Roman panglipur wuyung melelapkan pembacanya dalam dunia yang sudah diakrabinya, disukai-nya, bukan pada makna ganda yang menggelisahkan, tidak memerlukan pe-nafsiran dan tanggapan (Darni, 2004). Ciri-ciri tersebut mirip dengan sastra po-puler yang dikemukan oleh Kaplan (Damono, 1987:53), yakni memiliki mu-tu rendah dan dicetak dalam kertas yang sederhana.

Bagaimana hakikat roman sacuwil, siapa pengarangnya, dan adakah nilai dan fungsinya? Apakah roman sacuwil, seperti namanya yang menggambarkan

cerita cinta, hanya mengeksploitasi tema cinta?

TEORI

Untuk mejawab pertanyaan mengenai eksistensiroman sacuwildigunakan teori struktural. Teori struktural memang ber-tujuan menunjukkan keterjalinan antar-unsur dalam strukturnya (Moriarty, 1991; Tyson, 1998; Eagleton, 2006). Namun, untuk tujuan mengenali mutu roman sacuwilsebagai sebuah karya sas-tra, analisis struktur akan dipusatkan pa-da masing-masing unsurnya.

Roman sacuwil sebagai karya sastra Jawa modern tidak lepas dari hakikatnya sebagai karya rekaan, seperti dikemuka-kan oleh Kennedy (2002:4—10) bahwa sebuah karya rekaan, khususnya fiksi, mengandung unsur-unsur pembangun se-perti sudut pandang, karakter, nada dan gaya, tema, dan simbol. Nurgiantoro (1995:23) mengelompokkan unsur pem-bangun fiksi menjadi dua bagian besar yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Un-sur intrinsik merupakan unUn-sur pem-bangun fiksi yang kita jumpai pada saat membacanya, seperti tema, peristiwa, ce-rita, plot, penokohan, sudut pandang, dan bahasa, sedangkan unsur ekstrinsik ada-lah unsur-unsur di luar karya sastra yang secara tidak langsung ikut membangun karya sastra. Wellek dan Warren (2001:124) menyebut unsur ekstrinsik tersebut sebagai unsur subjektivitas pengarang, seperti biografi pengarang, sikap pengarang, pandangan hidup pengarang, psikologi pengarang, dan lingkungan pengarang. Ketiga pandang-an ahli tersebut tidak semupandang-anya diguna-kan sebagai patodiguna-kan dalam mengamati dan menentukan hakikat roman sacuwil sebagai karya seni. Akan diambil unsur-unsur umum yang mudah dilihat dalam sebuah karya sastra, seperti tema, alur, tokoh, dan latar. Keempat unsur tersebut merupakan unsur inti pembangun fiksi.

(3)

Pengkajian roman sacuwil secara intrin-sik, yaitu secara struktural, diharapkan akan dapat mengungkap eksistensinya sebagai karya sastra. Apakah keseluruh-annya merupakan karya sastra pop, atau-kah ada beberapa pengecualian? Kajian secara intrinsik ini juga ditujukan untuk menggali nilai dan fungsi yang terkan-dung dalam roman sacuwil, sedangkan kajian secara ekstrinsik dilakukan untuk menggali hal-hal di luar roman sacuwil yang ikut membentuk dan melahirkan karya tersebut, seperti penerbit, penga-rang, dan sosio budaya pembaca. Damono (1979:7) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara utuh apabila dipisahkan dari masyarakat-nya. Kajian terhadap karya sastra sema-cam itu disebut kajian sosiologi sastra. Swingewood (1972:13—22) mengemu-kakan dua macam pendekatan dalam so-siologi sastra. Pendekatan pertama me-nekankan aspek dokumenter sastra. Pen-dekatan ini menyatakan bahwa sastra mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai. Pendekatan kedua bergeser dari pe-nekanan pada karya sastra ke arah segi produksi, khususnya pada situasi sosial penulis. Pada pendekatan kedua, masa-lah pelindung dan biaya produksi menggantikan teks sastra sebagai pusat diskusi. Dalam penelitian ini, teks sastra tetap dianggap sebagai teks utama dalam pengkajian dengan pendekatan sosiologi sastra ini. Penulis dan penerbit yang di-jadikan sumber data dalam penelitian ini digunakan untuk mendukung penggalian terhadap eksistensi roman sacuwilsecara lebih lengkap. Jadi, penekanan tidak ber-geser sedemikian jauh dari teks sastra.

METODE

Penelitian ini menggunakan model pene-litian kualitatif. Menurut Aminuddin (1990:117), metode yang digunakan da-lam penelitian kualitatif bidang sastra memiliki sifat deskriptif, analitis, dan komparatif. Namun, ketiga sifat tersebut tidak semuanya dimanfaatkan dalam

penelitian ini. Dua sifat yang disebut pertama, yakni bersifat deskriptif dan analitis, yang digunakan dalam peneliti-an ini. Penelitipeneliti-an ini memberi penjelaspeneliti-an secara sistematis dari fakta sasaran ka-jian yang disusun berdasarkan pendekat-an, teori, dan cara kerja tertentu, untuk memperoleh identitas dan eksistensi ro-man sacuwilsebagai bentuk sastra dalam khazanah sastra Jawa modern.

Sumber data penelitian ini adalah karya sastra yang mirip dengan cerita pendek yang diberi nama khusus yakni roman sacuwil. Karya tersebut hanya ter-bit dalam majalah Jaya Baya setiap minggu dalam rubrikroman sacuwil. Ro-man sacuwil yang diambil sebagai sum-ber data dalam penelitian ini adalah kar-ya kar-yang terbit setelah tahun 2000 sampai kurun waktu lima tahun. Waktu lima ta-hun merupakan waktu yang cukup untuk melihat perkembangan roman sacuwil. Tidak semua karya yang muncul dalam kurun waktu tersebut dijadikan sumber data. Dari sederet nama pengarang yang muncul akan diambil pengarang yang berhasil menerbitkan karyanya minimal lima karya.

Pada tahap pengumpulan sumber data ditemukan sembilanpuluh lima pe-ngarang yang telah berhasil menulis ro-man sacuwil pada periode tahun 2001— 2005. Setelah melalui tahap klasifikasi sumber data berdasarkan konsep penen-tuan sumber data seperti dijelaskan di atas, sumber data penelitian ini terdiri atas 10 pengarang dengan 83 karya. Analisis data dilakukan dengan menggu-nakan teori struktural untuk mengetahui hakikatnya dan sosiologi sastra untuk menggali pengarang, penerbit, dan so-siologi isi karyaroman sacuwilberkaitan dengan nilai dan fungsiroman sacuwil.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hakikat Roman Sacuwil Sastra Ja-wa Modern

(4)

pada empat unsur pembangunnya, yaitu tema, alur, tokoh, dan latar cerita. Pem-bicaraan secara terpisah dan detail terse-but dilakukan untuk memeriksa secara detail, kemudian menentukan hakikat ro-man sacuwil, bukan hanya mencari kepa-duan unsur dalam menciptakan keutuhan makna. Meskipun tidak secara cermat, kepaduan makna tersebut memang tetap diwujudkan.

1.1 Tema

Tidak semua cerita roman sacuwil berte-makan cinta. Dari 83 karya yang diteliti, terdapat 24 cerita yang bertemakan per-sahabatan. Persahabatan yang terjalin an-tara lain persahabatan antarkaum perem-puan, persahabatan antarkaum laki-laki, dan persabatan laki-laki dengan perem-puan. Di antara ketiga macam persaha-batan tersebut, persahapersaha-batan antarkaum perempuan menduduki persentase tinggi. Dari 24 cerita persahabatan, ter-dapat 10 cerita bertemakan persabahatan antarperempuan. Ketiga topik tersebut dibicarakan dalam pembahasan berikut ini.

1.1.1 Persahabatan Antarkaum Pe-rempuan

Persahabatan yang terjalin antarkaum pe-rempuan ini terjadi di antara cinta mau-pun tanpa cinta. Persahabatan yang ter-jadi dengan cinta adalah persahabatan antarperempuan yang tetap terjalin mes-kipun mereka dihadapkan pada perma-salahan cinta, misalnya cinta segitiga. Akan tetapi, juga ada cerita persahabatan yang tidak disertai romantika cinta, mur-ni persahabatan antarkaum perempuan dalam kehidupan remaja.

Ada 8 dari 10 cerita persahabatan yang menyajikan persahabatan murni an-tarkaum perempuan. Persahabatan terse-but mengambil latar pergaulan remaja di tingkat SMU maupun mahasiswa. Salah satu cerita tersebut adalah karangan Titik Kartitiani yang menyajikan persa-habatan antarperempuan yang diawali

dengan saling tidak suka. Ketidaksukaan tokoh Desi kepada Ning dalam cerita “Kembang Alang-Alang” disebabkan oleh ketidaknyamanan Desi terhadap si-kap Ning. Ning yang sudah menikah jus-tru sangat manja dan bersikap seperti anak kecil, seperti terlihat pada kutipan berikut ini.

”Aku njegreg bareng nyawang ka-mar sing wis kosong mlompong iku. Aku bingung kudu ngapa...Aku nemu kadho...Ana kembang alang-alang dita-leni benang emas...Kembang alang-alang tak gegem kenceng, kaya aku nggegem kekancanku karo Mbak Ning...” (Kartitiani, 2002:44).

‘Aku terpana melihat kamar yang sudah tidak berpenghuni itu. Aku bingung...aku menemukan sebuah ka-do...ada kembang alang-alang dihiasi pita dari benang emas... kembang alang-alang kugenggam erat-erat, se-perti aku ketulusan persahabatanku dengan mbak Ning’.

Tokoh Desi menyesal telah berpra-sangka buruk kepada Ning. Ternyata, Ning sahabat yang pengertian, memberi-kan kenang-kenangan berupa sesuatu yang tidak bisa dimilikinya namun disu-kainya.

1.1.2 Persahabatan antara Perempu-an dPerempu-an Laki-laki

Ada sepuluh cerita yang menyajikan per-sahabatan antarakaum laki-laki dan pe-rempuan yang tidak ditandai adanya ja-linan cinta. Persahabatan mereka ber-macam-macam tingkatannya. Ada persa-habatan antara guru dan siswa-siswanya. Persahabatan antara kakak dan calon adik angkatnya. Namun, sebagian besar adalah persahabatan antara laki-laki dan perempuan remaja yang sebaya.

(5)

bercanda ria santai dengan para siswa-siswinya. Mereka dapat menjalin hu-bungan dengan santai tanpa terlalu diba-tasi oleh kecanggungan. Hal itu dapat di-perhatikan pada kutipan berikut ini.

...Pak Bayu kuwi gurune, wonge apikan, sabar lan ora gampang nesu. Uga sering menehi pitutur, lan gelem andum pengalaman. Ya pak guru iki sing kerep mbombong semangate sasu-wene iki(Nugroho, 2004:37)

‘...Pak Bayu itu gurunya, orangnya baik, penyabar dan tidak mudah marah. Juga sering memberi nasihat,dan mau berbagi pengalaman. Ya pak guru itu-lah yang sering membesarkan hati dan semangatnya selama ini’.

Hubungan antara guru dan murid semacam itu layak untuk disebut persa-habatan. Mereka saling bercanda, mem-beri nasihat, dan semangat untuk kebaik-an pihak ykebaik-ang lain.

1.1.3 Persahabatan Antarkaum Le-laki

Hanya ada tiga cerita yang bertemakan persahabatan antarkaum lelaki. Salah sa-tunya berjudul “Simbokku Ora Ana” (2003) karya Menur. Cerita tersebut me-nyajikan persahabatan antara tokoh Dimas dan Sukma. Sukma bisa membe-rikan ketenangan dan ketentraman kepa-da sahabatnya, Dimas, di saat sahabatnya tersebut dirundung kesedihan. Kesedihan Dimas berasal dari penderitaannya kare-na ditinggal ibunya menikah lagi dengan lelaki lain. Perhatian Sukma kepada sa-habatnya itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Critane Dimas kandheg. Tak cekel pundhake supaya bisa aweh keten-treman ing atine. ”Aku ngerti kuwi ka-beh ora entheng, Dim. Sing penting saiki kowe wis bisa mbukak atimu kanggo simbokmu.”(Menur, 2003:44)

‘Cerita Dimas terhenti. Kupegang bahunya untuk memberikan ketente-raman di hatinya. ”Aku tahu bahwa se-mua itu tidak ringan bagimu, Dim. Yang penting kamu sekarang sudah bi-sa membuka pintu hatimu untuk ibu-mu” ’.

Sukma berusaha menenangkan hati sahabatnya. Ia juga berusaha mengerti beban perasaan yang ditanggung Dimas. Berusaha mengerti penderitaan orang lain bukan sesuatu yang mudah. Namun, bagi seorang sahabat, hal itu merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada seorang teman.

1.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan dua istilah yang sering digunakan. Keduanya merupakan dua pengertian yang tidak sa-ma namun berhubungan. Tokoh menun-juk pada orang atau pelaku cerita. Dite-gaskan oleh Abrams (dalam Nurgiantoro, 1995:165) bahwa tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan da-lam suatu karya naratif atau drama. To-koh juga berkaitan dengan karakter, se-dangkan penokohan menunjuk pada cara penggambaran tokoh, karakter yang di-miliki tokoh.

Tokoh cerita roman sacuwil semua-nya adalah muda-mudi yang masih bu-jang atau labu-jang. Memang ada tokoh yang sudah menikah, namun tokoh terse-but tidak berperan sebagai tokoh utama. Tokoh Ning dalam cerita “Kembang Alang-alang” (2002) karya Titik Kartitiani memang merupakan tokoh pe-rempuan dewasa yang sudah berkeluar-ga. Namun, tokoh tersebut bukan tokoh utama. Tokoh utama dalam cerita terse-but adalah Desi, mahasiswi tingkat akhir di kota Solo.

(6)

dengan jelas, seperti IKIP Surabaya yang berkampus di Ketintang maupun di Lidah Wetan. Cerita Candra Dyah Pambayun banyak menyebut kampus Ketintang seperti kutipan berikut ini.

...Tekan prapatan Ketintang ana bo-cah lanang sing nyegat anggone mlaku. ”Ning, aku butuh ngomong karo awakmu,” kandhane Bayu sambi nja-gang sepeda motore.

”...Nek kowe arep nggodha Ningsih, kudu ngadhepi aku,” Sulung nyam-bungi kandhane Bayu (Pambayun, 2002:47).

‘...Sampai perempatan Ketintang ada lelaki yang menghadang jalannya.

”Ning, aku ingin bicara denganmu,” kata Bayu sambil menyandarkan sepe-da motor.

”...Kalau kamu ingin menggoda Ningsih, coba hadapi aku dulu,” Sulung menyambung pembicaraan Bayu’.

Ketintang yang dimaksud adalah ja-lan di lokasi kampus Unesa. Ketiga orang tersebut mahasiswa Unesa, yang baru pulang menghadiri acara sastra. Ja-di, ketiga tokoh tersebut dengan jelas dapat diketahui identitasnya, yakni ma-hasiswa Unesa Ketintang. Tokoh rekaan F. Wahyu Nugroho sebagian besar juga merupakan mahasiswa yang sedang me-nempuh kuliah. Namun, identitas secara jelas tidak dijelaskan. Begitu juga dengan pengarang yang lain. Tokoh re-kaan Titik Kartitiani juga mahasiswa, ju-rusan pertanian. Cerita “Memo ing Ring Basket” (2001), Titik Kartitiani me-nampilkan tokoh Julian, mahasiswa pe-main basket dari jurusan pertanian. Mengenai identitas secara jelas tidak di-sebutkan.

Muda-mudi yang dijadikan tokoh utama dalam roman sacuwil adalah pe-rempuan yang cantik dan lelaki yang tampan. Hanya ada satu cerita, yakni “Saritem oh Saritem” (2002) karya

Angin N. Hidayat yang menyajikan to-koh perempuan yang tidak terlalu cantik, berkulit hitam manis tetapi justru yang berhasil menggaet hati lelaki tampan idaman. Sebagian besar dari mereka me-rupakan mahasiswa. Hanya ada sebelas cerita yang menyajikan liku-liku percin-taan dan persahabatan anak SMU.

Dari sisi penokohan, cara atau tek-nik yang digunakan pengarang untuk menggambarkan perwatakan tokohnya, roman sacuwil menunjukkan suatu kesa-maan antara pengarang satu dengan yang lain. Sekitar sembilanpuluh persen peng-gambaran tokoh dilakukan dengan cara langsung. Pengarang langsung mengurai-kan sifat dan karakter para tokoh rekaan-nya secara langsung selalui narasi.

Pengarang terproduktif F. Wahyu Nugroho menggambarkan karakter tokoh Shinta dalam cerita “Prau-prau Layar” (2004) secara langsung melalui sudut pandang penceritaan orang ketiga. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

...Ning Shinta dhewe pancen ya pa-dha ngerti, dheweke iku tansah grap-yak semanak marang sapa wae. Bocah wadon iku ora tau mbedak-mbedakake ing antaraning kanca siji lan sijine. Lan yen paribasane dagangan ngono, Shinta kuwi regane mesthi larang alias dhuwur...(Nugroho, 2005:36)

‘...Tetapi semua teman tahu siapa Shinta. Ia selalu ramah kepada siapa saja. Gadis tersebut tidak pernah mem-beda-bedakan teman satu dengan lain-nya. Ibarat barang dagangan, Shinta termasuk barang mahal’.

Secara langsung, pengarang mem-beritahukan sifat gadis bernama Shinta. Tokoh perempuan tersebut memiliki sifat yang baik, ramah, dan cantik.

(7)

karakter para tokohnya dapat dilihat pa-da penggambaran karakter tokoh Atok dalam cerita “Tukang Ojek iku Duwe Paklik” (2001) kutipan berikut.

”Sampeyan ki sapa ta, Dhik? Kok Paklikmu kenal aku?” pangoyake Inta.

”Kula niki nggih Atok. Anake sim-bok. Simbok kula niku estri, kados bu-like niku,” wangsulane si tukang ojek karo nudingi wong wadon ing pinggir dalan arep nyabrang.

Sakala kupinge Inta njeprak loro-lorone, nalika diwangsuli kaya ngono iku(Hesty, 2001:33)

‘”Adik ini siapa? Kok Paklikmu kenal aku?” tanya Inta.

”Saya ini ya Atok. Anak Ibu. Ibu sa-ya itu perempuan, seperti bibi itu,” ja-wab si tukang ojek sambil menunjuk seorang perempuan di pinggir jalan yang akan menyeberang.

Seketika kuping Inta mendadak ka-ku mendengar jawaban seperti itu’.

Karakter tokoh Atok yang ceplas-ceplos, lucu tersebut digambarkan mela-lui dialog dan sikapnya yang memang dapat memberi gambaran karakter yang polos. Kemarahan Inta terhadap kenakal-an Atok tidak ditunjukkkenakal-an secara lkenakal-ang- lang-sung melainkan melalui kondisi kuping yang kaku, yang menunjukkan kemarah-an seseorkemarah-ang. Sifat Atok ykemarah-ang ceplas-ceplos terus digambarkan secara tidak langsung melalui dialog dan peristiwa.

1.3 Alur

Sebagian besar cerita roman sacuwil, pa-ra tokoh muda-mudinya pada umumnya menjalani fase liku-liku perkenalan, ke-mudian “jadian”. Bangunan cerita yang lurus, progresif, maju tersebut menjadi-kan cerita mudah dipahami dan mudah ditebak peristiwa selanjutnya, bahkan akhir ceritanya. Hanya sebagian kecil sa-ja cerita yang menampilkan susunan pe-ristiwa secara flashbackatau sorot balik dan alur campuran. Hanya 13 cerita dari 83 cerita yang disusun dengan alur tidak

lurus. Ada tiga cerita yang disusun dengan alur sorot balik, sedangkan se-lebihnya menggunakan alur campuran. Hanya enam pengarang dari sepuluh pe-ngarang yang menciptakan karyanya dengan alur sorot balik maupun cam-puran, yaitu: F. Wahyu Nugroho, Candra Dyah Pambayun, Hesty Indra W., Titik Kartitiani, A. Adi, dan Menur.

Penyelesaian didominasi oleh keba-hagiaan. Muda-mudi yang berkenalan atau lama berpisah di akhir cerita mene-mukan kebahagiaan, bisa bersanding dengan pasangan yang dirindukannya. Ada 47 cerita yang berakhir dengan ke-bahagiaan, sedangkan yang berakhir dengan kesedihan ada 31 cerita. Kese-dihan tersebut dialami oleh tokoh utama. Mereka gagal mendapatkan gadis atau lelaki yang diidamkannya. Lima cerita lainnya berakhir dengan menggantung.

Pengembangan alur dalam sebuah cerita merupakan salah satu hal yang penting dalam fiksi. Pengembangan alur yang menarik, memberikan kebaruan, akan tampak adanya kaidah-kaidah se-perti yang dikemukakan oleh Kenny (dalam Nurgiantoro, 1995:130), yaitu plausibility, surprise, suspense, dan unity.

Keseluruhan cerita roman sacuwil memiliki plausibilityatau dapat diperca-ya diperca-yang tinggi. Cerita-ceritaroman sacu-wil memiliki kausalitas yang jelas. Plau-sibility atau plausibilitas juga dapat di-kaitkan dengan realitas kehidupan. Ceri-taroman sacuwilsecara keseluruhan me-miliki akar sosial yang jelas. Tokoh dan dunia kehidupan yang digambarkan me-miliki kesesuaian dengan dunia manusia dan kehidupan yang ada saat ini.

(8)

Sebagian besar suspense tidak di-bangun secara maksimal. Dalam cerita “Langit Mendhung Tulungagung” (2001), Pambayun memang mengajak pembaca untuk terus bertanya-tanya atau membayangkan peristiwa apa yang akan dihadapi oleh tokoh Anik. Anik yang ti-dak datang di kampus pada waktu yang seharusnya membuat tokoh aku tidak te-nang. Apa yang terjadi dengan Anik? Namun, kerisauan tersebut lebih menon-jol dirasakan oleh tokoh aku, bukan pada pembaca.

Surprise atau kejutan merupakan kaidah pemplotan yang sangat berarti. Kejutan bisa memberikan kebahagiaan namun juga kesedihan bagi tokoh mau-pun pembaca. Peristiwa yang tidak ter-bayangkan akan terjadi justru terjadi di akhir cerita. Dari 83 cerita yang diteliti hanya ada 18 yang menunjukkan adanya surprise. Namun, dari delapanbelas ceri-ta tersebut tidak semuanya menunjukkan surprise yang maksimal. Ada delapan cerita yang memiliki kejutan kurang me-ngejutkan. Letak kekurangannya sebagi-an karena keterkejutsebagi-an itu hsebagi-anya dirasa-kan oleh tokoh, budirasa-kan oleh pembaca. Misalnya, dalam cerita “Raras” (2004) karya Aili, keterkejutan terhadap peristi-wa diselenggarakannya pernikahan adik Raras tanpa sepengetahuan Raras lebih dirasakan oleh tokoh Bulik daripada pembaca. Sepuluh cerita dari lima pe-ngarang menyajikan alur dengan diakhiri kejutan secara maksimal. Hesty Indra W merupakan pengarang yang paling banyak menyajikan kejutan, yakni dengan empat cerita.

1.4 Latar

Latar merupakan salah satu unsur pem-bangun fiski yang berkaitan dengan wak-tu, tempat, dan suasana. Latar dalam ro-man sacuwil, latar material khususnya, hanyalah merupakan latar netral. Tempat dan waktu yang ditunjuk dalam cerita hanyalah nama tempat saja, tanpa mem-berikan efek khusus pada cerita. Salah

satu cerita yang menggunakan judul waktu, yaitu “Sawise Sewindu” (2003) karya Adi. Waktu sewindu dalam cerita tersebut juga hanya merupakan latar ne-tral belaka. Latar waktu tidak memegang peranan penting dalam cerita. Latar tem-pat, seperti kampus, sekolah, dan kos-kosan juga digambarkan hanya sekadar tempat kejadian peristiwa saja. Namun, ada hal positif yang dapat dipetik dari la-tar tempat dan wakturoman sacuwil. La-tar tempat cerita roman sacuwil adalah tempat-tempat umum yang terang, bukan tempat-tempat sepi dan gelap yang men-dorong muda-mudi berbuat tidak pantas. Demikian juga latar waktu, sebagian be-sar cerita terjadi pada siang hari. Hanya ada delapan cerita yang dilatari oleh waktu malam hari. Tidak ada peristiwa sebab akibat yang bersumber dari waktu malam hari yang menyebabkan penilaian negatif atau tidak baik pada muda-mudi. Peristiwa yang terjadi pada malam hari tersebut hanya merupakan peristiwa se-lingan, tidak membentuk peristiwa sebab akibat. Oleh Barthes (Moriarty, 1991:103) peristiwa seperti itu disebut katalisator.

Latar sosial cerita roman sacuwil adalah pergaulan muda-mudi dalam usia remaja dan dewasa. Seperti dalam pem-bahasan mengenai tema, pergaulan ter-sebut sebagian besar merupakan pergaul-an cinta dpergaul-an sebagipergaul-an kecil merupakpergaul-an pergaulan persahabatan. Pergaulan cinta muda-mudi roman sacuwil merupakan pergaulan biasa atau wajar, tidak melam-paui batas-batas pergaulan remaja yang masih lajang. Tampak dalam pembahas-an terdahulu, yaitu pembahaspembahas-an menge-nai cinta dan kemesraan, bahwa kemes-raan yang dilukiskan oleh penulis hanya sebatas berpegangan tangan, cium pipi, dan berpelukan. Tidak ada kemesraan yang mengundang atau menimbulkan nafsu birahi antar lawan jenis.

(9)

(2002) karya F. Wahyu Nugroho, tetapi isinya juga tidak seseram judulnya. Se-lingkuh yang dimaksud adalah perseling-kuhan dalam pacaran. Tokoh Safi’ me-miliki pacar dua orang gadis. Karena ke-serakahannya, Safi justru ditinggalkan oleh kedua pacarnya. Jadi, selingkuh yang dimaksud adalah menduakan pacar atau memiliki dua pacar. Tidak ada per-gaulan melebihi batas dalam cerita terse-but. Bahkan, adegan kemesraan saja ti-dak ada.

Bila dilihat dari ciri-ciri tersebut, yakni dominasi tema cinta, tokohnya di-huni oleh para muda-mudi, dan latarnya mengenai dunia remaja, maka roman sa-cuwil dapat digolongkan sebagai sastra remaja. Sesuai yang disampaikan oleh Ridwansyarif (2005) bahwa karya re-maja mengungkapkan kehidupan dunia mereka, mayoritas tentang hubungan laki-laki–perempuan yang sesuai dengan tingkatan umur mereka. Dunia sekolah, cinta, remaja dalam kehidupan keluarga, dan hubungan pertemanan yang ber-hubungan dengan dunia remaja.

2. Redaksi dan Pengarang Roman Sacuwil

Pembicaraan unsur-unsur di luar karya sastra secara sosiologis, yakni pengarang dan redaksi diharapkan dapat memperje-las eksistensi roman sacuwil. Penggalian nilai dan fungsi roman sacuwil dikaitkan dengan nilai-nilai pergaulan dalam mas-yarakat Jawa dapat menunjukkan man-faatroman sacuwilbagi pendukungnya.

Redaksi memiliki peran yang pen-ting terhadap terbitnya sebuah cerita. Re-daksi berhak memutuskan sebuah cerita diterbitkan atau tidak. Redaksi berpenda-pat bahwa rubrik roman sacuwil menem-pati suatu ruang dan dunia tersendiri, yang berbeda dengan carita cekak. Ro-man sacuwil memiliki kekhasan yakni bercerita tentang romantika cinta muda-mudi. Mengenai mutu, redaksi tidak membedakannya dengancerkak.

Pengarang roman sacuwil memiliki dunianya sendiri. Roman sacuwil dika-rang khusus oleh pengadika-rangroman sacu-wil. Tidak ada nama pengarang dari gen-re lain, misalnya carita cekakataucarita sambung, seperti Suparto Brata, Suwardi Endraswara, dan Sunarko mengarang ro-man sacuwil. Dari sepuluh pengarang yang produktif di tahun 2001—2005 ti-dak ada pengarang seperti disebut di atas.

Sebaliknya, nama-nama pengarang yang muncul di rubrik roman sacuwil ju-ga hanya menju-garang di rubrikroman sa-cuwil. Kesepuluh nama yang produktif yang dijadikan sumber data dalam pene-litian ini juga tidak akrab dengan rubrik yang lain, seperti rubrik-rubrik yang di-sebutkan di atas. Hal tersebut menandas-kan bahwa roman sacuwil memiliki du-nia yang khas, terutama dalam pembica-raan ini masih berkaitan dengan penga-rangnya.

Namun, tidak semua nama penga-rang tersebut merupakan nama asli. Ada nama samaran yang digunakan oleh pe-ngarang tatkala ia mepe-ngarang di rubrik roman sacuwil. Salah satu pengarang da-ri kesepuluh pengarang yang dijadikan data penelitian ini, yakni Candra Dyah Pambayun, merupakan nama samaran dari pengarang bernama Sumono Sandi Asmara. Pengarang tersebut merupakan pengarang yang produktif. Tulisannya berada di berbagai rubrik majalah Jaya Bayamaupun Panjebar Semangat. Ia se-ring menulis di rubrik carita cekak, ca-rita sambung, caca-rita rakyat,danguritan.

(10)

Bahasanya juga harus menggunakan ba-hasa yang lugas dan gaul. Penggarapan roman sacuwillebih ringan daripada cer-kaksehingga mudah dipahami oleh pem-bacanya. Sebagai pengarang yang serba bisa, Sumono membedakan mengarang untuk para pembaca yang memiliki sele-ra yang berbeda. Di saat berhadapan dengan rubrik roman sacuwil, ia akan mengarang dengan menu dan cara yang berbeda dengan waktu ia berhadapan de-ngan rubrikcarita cekak.

Penggunaan nama samaran Candra Dyah Pambayun dilakukan secara total. Sumono menjiwai sosok pengarang pe-rempuan tersebut secara maksimal. So-sok Sumono Sandy Asmara sebagai pe-ngarang cerkak tidak tampak. Pada mu-lanya, penulis juga tidak mengenali so-sok Sumono dalam roman sacuwil. Pe-nokohan yang ditampilkan misalnya, menggunakan teknik yang sangat seder-hana. Karakter tokohnya banyak digam-barkan dengan teknik langsung. Tokoh utamanya juga seorang perempuan.

3. Nilai dan FungsiRoman Sacuwil

Cerita percintaan yang disuguhkan ro-man secuwil merupakan percintaan yang berada dalam batas-batas norma yang di-anut oleh orang Jawa. Norma-norma per-gaulan seperti yang dikemukakan oleh Kartodirdjo (1993) tentang pergaulan muda-mudi masih relevan dengan per-gaulan muda-mudi dalam roman sacu-wil. Perempuan dan laki-laki dalam men-jalani liku-liku percintaannya tidak cen-derung didorong oleh nafsu.

Dari 83 cerita dalam penelitian ini hanya ada 10 cerita yang menunjukkan adanya adegan bersentuhan anggota tu-buh antara laki-laki dan perempuan. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang sangat sedikit, hanya sebelas persen dari keseluruhan cerita. Dari sepuluh cerita tersebut hanya satu cerita yang tokoh utamanya mengalami kehamilan di luar nikah. Tokoh tersebut bernama Pepi da-lam cerita “Lumpuh Ngider Jagad”

(2005) karya Menur. Kehamilan itupun tidak digambarkan adanya adegan yang merangsang dalam cerita. Tokoh Pepi ti-ba-tiba sudah hamil. Di samping itu, da-lam cerita tidak ada adegan erotis yang merangsang nafsu pembaca. Penggam-baran tokoh Pepi sebagai perempuan yang berganti-ganti pacar tanpa alasan yang pasti mendukung niat pengarang untuk memberikan pelajaran akan ke-waspadaan dan keseriusan bagi muda-mudi dalam menjalin pergaulan cinta.

Nilai-nilai kesopan yang ingin di-sampaikan dalam roman sacuwil sampai pada nilai keagungan cinta. Tokoh Prasetya dalam cerita “Kebogiro Phobia” (2004) karya A. Adi juga berhasil men-cegah adanya adegan kemesraan yang dilandasi oleh nafsu birahi sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

...Ruruh nguculi benik klambine siji-siji... terus wiwit nguculi ngisorane... Aku unjal ambegan lan bola-bali istig-far, nyoba ngipatake setan kang wiwit manjing ing uteg lan atiku...

“Aja Ruh. Mengko bojomu bakal rumangsa kapusan. Kowe bakal diina, disiya-siya lan diasorake. Yen kowe nganti sengsara, aku bakal rumangsa dosa selawase urip.”(Adi, 2004:37)

‘...Ruruh membuka kancing bajunya satu persatu...lalu mulai membuka baju bagian bawah... Aku menarik nafas dan berulang-ulang menyebut kalimat istighfar, mencoba mengusir setan yang mulai merambati otak dan pikiranku...

“Jangan Ruh. Nanti suamimu akan merasa ditipu. Kamu akan dihina dan disia-siakan. Kalau kamu sampai seng-sara, aku akan merasa berdosa seumur hidupku.” ‘

(11)

terangsang dengan adegan telanjang yang disuguhkan oleh pacarnya. Apalagi, Ruruh dengan sepenuh hati akan mem-persembahkan kesuciaannya. Namun, Prasetya bisa mengendalikan hawa naf-sunya. Ia bisa mengusir setan yang mulai menghinggapi pikirannya. Nilai ke-agungan sikap lelaki tersebut tidak hanya pada kemampuannya mengendalikan ha-wa nafsunya, tetapi juga pada pendiri-annya terhadap cintanya kepada Ruruh. Prasetya tidak mau menikmati madu ke-bahagiaan di atas kekecewaan lelaki lain, apalagi di atas penderitaan gadis yang sangat dicintainya. Cinta yang dimiliki Prasetya kepada Ruruh merupakan cinta sejati, cinta yang tidak ditunggangi oleh tujuan dan nafsu setan.

Pergaulan cinta muda-mudi dalam roman sacuwil masih menganut nilai-ni-lai luhur yang diamanatkan oleh nenek moyang orang Jawa. Adegan-adegan erotis yang merangsang nafsu masih di-anggap sebagai hal yang tabu. Secara eksplisit hal itu dapat dilihat dari cerita “Nalika Semboja Ngrontogake Kem-bange” (2004) karya A. Adi. Hal itu da-pat diperhatikan pada kutipan berikut ini.

“Kowe iki kok manis banget, sing ngakon sapa, ta?” bisike Ari.

“Apa?” Reni tumenga. Ari gagean ngesun pipine.

“Ari....!!!” Reni njelih, gitare digle-thakake, terus nguber si duratmaka. Bareng keandhak, langsung diciweli nganti bocahe sambat-sambat kapok... (Menur, 2004:37).

‘“Kamu kok manis, siapa yang nyu-ruh?” Bisik Ari.

“Apa?” Reni menengadah. Ari dengan cepat mencium pipinya.

‘Ari...!!!” Reni menjerit, gitar dile-takkan, langsung mengejar si pencuri. Setelah berhasil, langsung dicubit-cubit sampai Ari berteriak-teriak kapok...’

Adegan tersebut menggambarkan terbatasnya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Si laki-laki mencium

pacarnya dengan mencuri-curi, sedang-kan si perempuan juga tidak dengan rela dicium. Ia bahkan mengejar orang yang telah menciumnya dan mencubitnya sampai kesakitan. Di samping itu, tidak ada unsur kesengajaan dari kedua pihak dan tidak ada nafsu yang menggebu da-lam adegan tersebut. Yang terasa adalah ciuman dari luapan perasaan sayang.

Adegan berpegangan tangan antar-muda-mudi merupakan adegan yang banyak dilakukan dalam sepuluh cerita yang disebut di atas. Pegangan tangan tersebut juga beraneka tingkat kemesra-annya. Pegangan tangan tanpa disertai kemesraan yang berlebihan tampak da-lam cerita “Senthir Lenga Patra” (2003) karya Pambayun. Tangan Pipit yang me-nerima hadiah jam tangan dari Pamor ke-mudian dipegang erat oleh Pamor. Genggaman tangan tersebut tidak lantas diikuti adegan kemesraan yang lebih se-rius. Pegangan tangan tersebut justru di-sambut dengan tetesan air mata karena terharu.

Hanya satu adegan pelukan dalam cerita roman sacuwil dalam penelitian ini. Pelukan itupun tidak dilakukan dengan kesengajaan dari kedua muda-mudi. Pelukan dalam cerita “Mung Ko-we Kok Fit” (2005) karya A. Adi ini di-lakukan oleh tokoh Fitri kepada pacar-nya, Lutfi sebagaimana tampak pada ku-tipan berikut ini.

Fitri ngekep aku sangsaya kenceng. Eluhe nelesi klambiku, tembus ing ati-ku. Rasane kaya disiran banyu se-windu. Bagya, mulya...(Adi, 2005:37).

‘Fitri memelukku semakin erat. Air matanya membasahi kemejaku, tembus ke dalam hatiku. Rasanya seperti disi-ram air sewindu. Bahagia, sangat baha-gia...’

(12)

sehati. Air mata Fitri menyejukkan hati Lutfi.

Adegan ciuman tanpa disertai hasrat yang menggebu juga menghiasi roman sacuwil karya Pambayun dalam cerita “Ing Tawang Ana Rembulan” (2004). Tokoh Sandy mencium Diana dengan penuh perasaan. Namun, ciuman itu bu-kan ciuman yang disertai gairah oleh ke-dua muda-mudi. Ciuman tersebut dilaku-kan Sandy sebagai ungkapan cintanya kepada Dinda. Ciuman tidak dibalas dengan ciuman oleh Dinda. Dinda mem-balasnya dengan meletakkan kepalanya di atas pangkuan Sandy. Kedua adegan tersebut sangat memungkinkan memicu terjadinya kemesraan yang lebih dari itu. Namun, pengarang membatasinya dengan memberikan suasana sakral pada adegan tersebut. Adegan tersebut meru-pakan tanda terjalinnya hubungan cinta antara Sandy dan Diana.

Roman sacuwil menyampaikan ni-lai-nilai keagungan dalam percintaan. Percintaan muda-mudi tidak dihiasi de-ngan nafsu. Pegade-ngan tade-ngan, pelukan, dan ciuman tidak disertai nafsu dan tidak diikuti oleh adegan-adegan yang mendo-rong kearah terpancingnya nafsu muda-mudi menuju perbuatan yang dilarang oleh agama.

SIMPULAN

Pada hakikatnya, roman sacuwil meru-pakan salah satu genre sastra Jawa mo-dern. Dari segi mutu, roman sacuwil bermutu populer, namun bukan picisan. Roman sacuwil termasuk sastra remaja. Dari segi tema, roman sacuwil tidak ha-nya berbicara cinta muda-mudi, namun terdapat pula tema persahabatan. Para to-koh roman sacuwil adalah para muda-mudi yang sedang menuju, menjalani, dan mengakhiri sebuah cerita cinta dan menjalin sebuah persahabatan yang se-jati. Penggambaran tokohroman sacuwil sebagian besar dilakukan secara lang-sung. Hanya sebagian kecil penggambar-an tokohnya dilakukpenggambar-an secara tidak

langsung. Dari segi alur, roman sacuwil didominasi oleh alur progresif. Hanya sebagian kecil cerita yang menyuguhkan kejutan dan suspensecara maksimal. La-tarroman sacuwil, terutama latar materi-al hanya digarap secara sangat sederha-na. Tempat dan waktu hanya merupakan nama belaka, tidak memiliki peran yang penting dalam cerita. Latar sosial roman sacuwil adalah pergaulan cinta dan per-sahabatan muda-mudi yang duduk di bangku kuliah.

Roman sacuwil benar-benar menempati dunia tersendiri dalam sastra Jawa modern. Para pengarang roman sacuwil juga khas. Nama-nama mereka hanya dijumpai di roman sacuwil. Candra Dyah Pambayun yang merupakan nama samaran Sumono Sandi Asmara juga menunjukkan sosok yang berbeda dan khas.

Redaksi memiliki peran yang besar dalam membangun duniaroman sacuwil. Roman sacuwil diutamakan pada karya-karya yang bertema cinta dan persahabatan muda-mudi. Secara mutu, menurut redaksi, roman sacuwil tidak jauh berbeda dengan carita cekak. Hal tersebut terbukti dengan adanya karya-karya Hesti Indra W. yang menyuguhkan penokohan dan alur yang bagus, namun tetap masuk di rubrikroman sacuwil, be-gitu pula adanya karya-karya F. Nugroho dan Candra Dyah Pambayun yang dapat menyuguhkansuspenseyang menarik.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. “Metode Kualitatif dalam Penelitian Karya Sastra” da-lam Aminuddin (Ed.). Pengem-bangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan 3 A.

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Balai Bahasa.

______. 1987. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.Jakarta: Pusat Bahasa. Darni. 2004. “Roman Panglipur

Wu-yung: Roman Picisan Berbahasa Ja-wa”. Jurnal Ilmiah Prasasti. UNESA.

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra. Yogyakarya: Jalasutra.

Hutomo, Suripan Sadi. 1975.Telaah Ke-susasteraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Bahasa.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Perkem-bangan Peradaban Priyayi. Yogya-karta: Gadjah Mada University Press.

Kennedy, X.J. 2002. Literature: An In-troduction to Fiction, Poetry, and

Drama. Boston: Little Brown and Company.

Moriarty, Michael. 1991. Roland Barthes. Cambridge: Polity Press. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori

Peng-kajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Quinn, George. 1992. The Novel In Javanese. Leiden: KITLV Press. Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra

Jawa Muktakhir. Jakarta: Grafiti Press.

Ridwansyarif. 2005. “Ideologi Sastra Remaja” dalam http://www.sinarharapan.co.id/hibu ran/budaya/2005/0226/bud2.html Swingewood, Alan dan Diana

Laurenson. 1972. Sociologi of Lite-rature. London: Paldin.

Tyson, Lois. 1998. Critical Theory To-day: A User-Friendly Guide. New York: Garland Publishing Inc. Wellek, Rene dan Austin Warren. 2001.

Teori Kesusasteraan (Diindonesia-kan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

XY, rancangan naskah di tingkat unit disebut Panduan Mutu Tingkat Unit yaitu untuk departemen Human Resource (HRD), rancangan naskah di tingkat individu disebut

Oleh karena itu diperlukan pupuk yang dapat menjaga pH tanah agar tidak terlalu asam atau basa. Biasanya para

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Kas Dividen Pada Perusahaan Food and Beverages yang Tercatat di Bursa Efek Indonesia” disusun untuk memenuhi

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara efektivitas kerja Humas Pemerintahan Kota Cimahi melalui program “pesduk” terhadap sikap masyarakatnya

Bila krisis ekonomi melanda, perusahaan nasional maupun perusahaan swasta yang didukung pemerintah akan lebih mungkin di- bail out oleh negara, seperti yang

At the LIDAR point cloud, two different methods are implemented and evaluated using initially the normals and the roughness values afterwards: (1) the proposed scan

Pada tahap pengklasifikasian data ini, peneliti mengklasifikasikan berita mana saja yang mengandung kohesi aspek gramatikal dan leksikal yang ada dalam wacana

Renstra Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Bogor Tahun 2013-2018 merupakan dokumen perencanaan periode 5 (lima) tahunan yang memuat visi, misi, tujan,