EVALUASI PROGRAM SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI PUSKESMAS
LEPO-LEPO KOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2017
1Nining Pebriani La Ode Ali Imran Ahmad2 Wa Ode Sitti Nurzalmariah3 123Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Ole
1[email protected]1[email protected]2[email protected]3 ABSTRAK
Evaluasi Program Surveilans DBD adalah proses pengumpulan data, pengolahan kemudian menganalisis serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui input, proses dan output program Surveilans DBD di Puskesmas Lepo-lepo Kota Kendari tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, pemeriksaan dokumen, dan dokumentasi dengan peneliti berperan sebagai instrumen utama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tenaga (Man)surveilans DBD pada program P2DBD sudah terpenuhinya kriteria dalam evaluasi yang meliputi jumlah dan latarbelakang pendidikan tenaga surveilans DBD. Sarana dan prasarana (material-machine)pelaksanaan surveilans DBD yang sudah sesuai dengan juknis. Pendanaan (money)dalam pelaksanaan surveilans DBD jumlah dana sudah mencukupi dan sumber dana program DBD berasal dari dana BOK. Sasaran (market)dalam pelaksanaan surveilans DBD meliputi data rawat jalan dan rawat inap. Metode (method)surveilans DBD yang terdiri dari ketersediaan pedoman evaluasi surveilans DBD dan ketersediaan SOP surveilans DBD sudah sesuai pedoman. Proses pengumpulan data ketersediaan formulir sudah cukup dan sesuai dengan pedoman. Proses pengolahan data tersebut direkapitulasi, diolah, dan diringkas menjadi tabel dan grafik menggunakan program excel. Proses Analisis Data menggunakan jenis pengukuran epidemiologi dengan perbandingan jumlah kasus dan jumlah penduduk. Proses penyebarluasan informasi dari unit pelayanan kesehatan tingkat bawah ke tingkat tertinggi. Pelaporan hasil surveilans sudah sesuai dengan pedoman dikarenakan data yang dibutuhkan oleh pengguna informasi surveilans DBD baik internal maupun eksternal meliputi: data jumlah kasus DBD dan data wilayah terkena DBD.
Kata kunci:Evaluasi Program Surveilans DBD, Input, Proses dan Output
EVALUATION OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) SURVEILLANCE PROGRAM IN THE LEPO-LEPO PUBLIC HEALTH CENTER OF KENDARI PROVINCE OF SOUTHEAST SULAWESI IN 2017
ABSTRACT
Evaluation of DHF Surveillance Program is the process of collecting data, processing then analyzing and disseminating information to the program organizer. This research aims to find out the input, process and output of DHF Surveillance Program at Lepo-Lepo Public Health Center of Kendari City in 2017. This research was a qualitative research with phenomenological approach using data collection method through in-depth interview, observation, document examination, and documentation with researcher as the main instrument of research. The result of the research shows that the manpower of DHF surveillance in P2DBD program has fulfilled the criteria in the evaluation which include the number and education background of DHF surveillance personnel. Facilities and infrastructure (material-machine) the implementation of DHF surveillance that is in accordance with the technical guidelines. Funding (money) in the implementation of DHF surveillance the amount of funds was sufficient and the source of DHF fund program comes from BOK funds. The target (market) in the implementation of DHF surveillance includes outpatient and inpatient data. DHF surveillance methods consisting of the availability of DHF surveillance evaluation guidelines and the availability of DHF surveillance SOPs are in accordance with the guidelines. The process of collecting data the availability of the forms is sufficient and in accordance with the guidelines. Subsequent data processing is recapitulated, processed, and shorted into tables and graphs using excel program. Data Analysis Process type of epidemiological measurement with the ratio of the number of cases to the population.
The process of disseminating information from lower level health service units to the highest level. Reporting of surveillance is in accordance with the guidance as data required by DHF surveillance users, both internal and external, include: data on the number of DHF cases and DHF area data.
PENDAHULUAN
Penyakit Demam BerdarahDengue(DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegepti yang masih menyerang penduduk dunia saat ini. World Health Organization (WHO) memperkirakan Insiden DBD telah tumbuh meningkat secara dramatis di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Angka-angka yang sebenarnya dari kasus DBD yang tidak dilaporkan dan banyak kasus yang kesalahan klasifikasi. Salah satu perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa infeksi DBD sebesar 390 juta per tahun. Penelitian lain, memperkirakan 3,9 milyar orang, di 128 negara, berada pada daerah yang beresiko terinveksi virusdengue1.
Strategi pemberantasan DBD yang dilakukan secara menyeluruh baik di tingkat pusat dan tingkat daerah belum menunjukkan hasil yang maksimal, seharusnya semakin di optimalkan kembali, salah satunya adalah dengan menerapkan atau mengadopsi sistem pencegahan negara-negara lain yang terbukti efektif dalam menurunkan angka kejadian DBD, salah satunya strategi pencegahan dan penanggulan DBD di Negara Kuba. Negara Amerika Latin ini mampu mengendalikan kasus DBD di negaranya dengan meminimalisir masyarakat secara konsisten melakukan pemberantasan sarang nyamuk di seluruh negeri, secara terus-menerus dan serentak sepanjang tahun serta penemuan biolarvasida labiofam, sebuah vaksin yang terbuat dari bakteri, efektif menurunkan angka penderita demam berdarah2..
Indonesia pada tahun 2013 jumlah penderita DHF sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal sebanyak 871 penderita, dan di tahun 2014 sebanyak 71.668 orang dan 641 diantaranya meninggal dunia (Kemenkes, 2015). Walaupun penderita DHF di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2013 ke tahun 2014, kasus ini masih menjadi pusat perhatian. Dikarenakan DHF merupakan penyakit yang bersifat endemis, Indonesia yang merupakan negara tropis, dan sebagian besar warga Indonesia yang kurang peduli dengan kebersihan lingkungan. Perkembangan DHF terjadi karena perubahan lingkungan global, perubahan dari musim kemarau ke musim hujan. Selain itu faktor resiko lain adalah tingkat imunitas host, kepadatan penduduk, interaksi vektor dan host dan virulensi virus3. Jumlah kasus DBD di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013 berjumlah 1.168 kasus, IR DBD pada tahun 2013 adalah 50 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 2,14%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kasus dibandingkan dengan tahun 2012 berjumlah 419 kasus dengan IR sebesar 18 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013, Kabupaten yang melaporkan kasus DBD
tertinggi adalah Kabupaten Bombana (342 kasus) dan Kota Kendari (231 kasus). Pada tahun 2014, jumlah penderita DBD di Sulawesi Tenggara yang dilaporkan sebanyak 854 kasus IR sebesar 35 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 1,1%. Angka ini jauh menurun bila dibandingkan dengan tahun 2013, sebaran kasus DBD menurut Kabupaten/Kota di mana dari 14 Kabupaten hanya 3 Kabupaten yang bebas DBD pada tahun 2014, dengan jumlah tertinggi dialami Kolaka dengan 441 kasus dan Bombana 114 kasus4
. Data kasus DBD di Kota Kendari pada tahun 2011 yaitu 33 kasus dengan IR 13 per 100.000 penduduk, tahun 2012 kejadian penyakit DBD meningkat dengan jumlah kasus mencapai 114 kasus dengan IR 39 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013 terus mengalami peningkatan yang mencapai 231 kasus dengan IR 80 per 100.000 penduduk, Pada tahun 2014 kembali menurun dengan jumlah kasus DBD yakni 30 kasus dengan IR sebesar 10 per 100.000 penduduk. Sementara pada tahun 2015, dari bulan Januari sampai bulan September tercatat penderita DBD di Kota Kendari mengalami peningkatan yaitu sebanyak 73 kasus dengan IR sebesar 25 per 100.000 penduduk5.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan indepth interviewdengan pendekatan fenomenologis yang bertujuan untuk menganalisis secara mendalam yang ada di lapangan mengenai Evaluasi program surveilans DBD di puskesmas Lepo-lepo Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2017. Peneliti berperan sebagai instrumen utama penelitian, sementara informan kunci berperan sebagai instrumen pendukung dengan menggunakan alat bantu panduan wawancara sekaligus observasi dan alat rekam suara atau video (kamera digital/Hp). Peneiliti bersikap aktif dan bertindak sebagai pengamat untuk mewawancarai, mengobservasi secara langsung, sekaligus sebagai partisipan untuk melakukan interaksi dengan obyek penelitian di lapangan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam (Indepth interview) pada informan. Data sekunder merupakan data pendukung yang berguna sebagai penunjang dan pelengkap data primer dan masih berhubungan dengan penelitian ini. Data ini diperoleh dari laporan evaluasi, profil Puskesmas Lepo-lepo dan data penyakit di Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan sesuai dengan petunjuk pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini dan selanjutnya dianalisis dengan metode “content analysis” kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam bentuk narasi7.
HASIL
1. Input Program Surveilans DBD
a. Tenaga (Man) dalam Pelaksanaan Program surveilans DBD
Berdasarkan hasil wawancara informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa petugas P2M sebanyak 6 orang yang diantaranya 5 orang ahli epidemiolog terampil dan 1 orang lainnya sarjana keperawatan. Hal senada juga disampaikan oleh Rahayu bahwa untuk dapat menjalankan pelayanan kesehatan yang bermutu dibutuhkan jenis, jumlah dan kualifikasi dari tenaga kesehatan8.
b. Pembagian Tugas dalam Program DBD
Berdasarkan hasil wawancara informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa Pembagian tugas di program P2DBD, 1 orang bertugas sebagai pemegang program dan pelaksana program P2DBD dan 4 orang bertugas sebagai pelaksana program P2DBD. Di samping itu, 1 orang tenaga surveilans
DBD juga merangkap sebagai pemegang program penyakit lain di Puskesmas Lepo-lepo. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Frans bahwa petugas mengerjakan tugas rangkap, hal ini membuat kegiatan surveilans tidak sesuai dengan semestinya dan menyebabkan waktu mereka menjadi terbagi sehingga menyebabkan pelaksanaan semua komponen dari sistem surveilans menjadi kurang optimal9.
c. Sarana dan Prasarana dalam Pelaksanaan Program Surveilans DBD
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi terhadap input sarana dan prasarana (material-machine) dalam pelaksanaan surveilans DBD di Puskesmas Lepo-lepo meliputi: evaluasi terhadap ketersediaan alat tulis kantor (ATK), evaluasi terhadap ketersediaan perangkat komputer/laptop, evaluasi terhadap ketersediaan alat komunikasi sudah sesuai dengan juknis. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu menyatakan bahwa dalam upaya pencapaian tujuan kebijakan harus didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Tanpa sarana dan prasarana tugas pekerjaan spesifik tidak dapat diselesaikan sebagaimana seharusnya, pekerjaan tidak mungkin dapat dilakukan bahkan akan mengalami hambatan.
d. Pendanaan (Money)dalam Pelaksanaan Program Surveilans DBD
Hasil wawancara dengan beberaa informan kunci dan informan biasa data disimpulkan bahwa di Puskesmas Lepo-lepo pendanaan surveilans DBD sudah sesuai karena jumlah dana sudah mencukupi dan sumber dana program surveilans berasal dari BOK program surveilans DBD. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu bahwa tersedianya dana yang cukup dapat menyebabkan maksimalnya pelaksanaan kegiatan.
e. Sasaran dalamPelaksanaan Program Surveilans DBD
dokter dan kami melakukan pencatatan dan pelaporan kemudian diserahkan ke pihak Dinas Kesehatan Kota Kendari untuk ditindak lanjuti.
Berdasarkan KEPMENKES RI NO 116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan KEPMENKES RI NO 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu menyatakan bahwa sasaaran menurut variabel data berdasarkan umur dan jenis kelamin, rawat jalan, rawat inap dan kematian, variabel waktu kunjungan kasus, variabel total kunjungan dan variabel kelengkapan dan ketepatan laporan10.
f. Methode dalam Pelaksanaan Program Surveilans DBD
Hasil wawancara dengan beberaa informan kunci dan informan biasa dapat disimpulkan bahwa pedoman evaluasi dalam bentuk peraturan yang meliputi: KMK RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular
Terpadu dan KMK RI Nomor
1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan masih tersedia. Walaupun peraturan tersebut telah tersedia tetapi tidak lagi menjadi acuan utama evaluasi surveilans DBD. Sedangkan pedoman evaluasi surveilans DBD yang berupa pedoman seperti: Modul pengendalian DBD tahun 2011 masih tersedia dan tetap digunakan menjadi acuan evaluasi surveilans DBD. Selain dengan menggunakan pedoman tersebut, kegiatan evaluasi surveilans DBD di Puskesmas Lepo-lepo juga dilakukan melalui rapat-rapat koordinasi. Menurut Direktorat KGM Bappenas (2006), pedoman dalam evaluasi surveilans dibagi dalam 2 bentuk yaitu dalam bentuk pedoman dan peraturan. Dalam bentuk pedoman meliputi: Buku PEP Depkes RI 2003, Modul Pengendalian DBD 2011, Buku Penyelidikan dan Penangulangan KLB (Pedoman epidemiologi penyakit) Dirjen PP dan PL 2007, Sedangkan dalam bentuk peraturan meliputi: KMK RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu dan KMK RI Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
2. Proses Program Surveilans DBD
a. Pengumpulan Data dalam Pelaksanaan Program Surveilans DBD
Hasil wawancara dengan beberapa informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa formulir yang tersedia dan digunakan oleh petugas pemegang program P2DBD dalam melaksanakan surveilans DBD terdiri dari: form DP-DBD, KDRS, dan K-DBD serta W1 dan W2. Jumlah formulir yang tersedia dan yang digunakan sudah mencukupi Tidak ada kriteria khusus mengenai jumlah formulir surveilans DBD. Menurut Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tahun 2011, formulir pelaporan surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kab./Kota terdiri dari DP-DBD, form KDRS, form K-DBD, form W1 dan form W2. Formulir DP-DBD digunakan untuk laporan data perorangan penderita DD, DBD, SSD yang disampaikan tiap bulan. Formulir KD-RS merupakan formulir dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang diberikan kepada rumah sakit dan diisi oleh pihak rumah sakit yang digunakan untuk tindakan penanggulangan. Formulir K-DBD berisi jumlah penderita/kematian DD, DBD, SSD termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan setiap bulan yang dilaporkan ke Dinas Kesehatan provinsi. Formulir W1 digunakan apabila terjadi KLB DBD yang harus segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan provinsi. Formulir W2 merupakan laporan mingguan yang berisi jumlah penderita DBD dan SSD setiap minggu yang disampaikan ke Dinas Kesehatan provinsi11.
b. Pengolahan data dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
penyajian data hanya terbatas pada tabel dan grafik.
c. Hambatan Dalam Pengolahan Data
Hasil wawancara dengan beberapa informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa hambatan dalam pengolahan data di Puskesmas Lepo-lepo kurangnya pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kota maupun Dinas Kesehatan Propinsi terkait masalah pelaksanaan surveilans epidemiologi di Puskesmas. Prinsipnya kegiatan pengolahan data surveilans akan terlaksana dengan baik jika didukung oleh sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat. Saat ini, kurangnya petugas kesehatan yang dimiliki Puskesmas sehingga tidak dapat dilakukan pengolahan data dengan baik.
d. Analisis data dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari informan tentang analisis dan interpretasi data, di Puskesmas Lepo-lepo data analisis dengan menggunakan jenis pengukuran epidemiologi proporsi dan rate dengan perbandingan jumlah kasus dengan jumlah penduduk, data diinterpretasikan berdasarkan perhitungan bulanan dan tahunan, untuk laporan tidak dilakukan dengan alasan dilakukan pada saat rekapan data bulanan berdasarkan tempat (kelurahan/desa), orang (jenis kelamin), dan umur (golongan balita dan semua umur). Namun, penentuan pemetaan dan stratifikasi wilayah kerja yang rawan belum dilakukan oleh petugas kesehatan, hanya melalui perhitungan penemuan penderita, untuk grafik pada analisis data biasanya digunakan pada saat evaluasi program, dan adanya analisis trend penyakit. e. Penyebaran Informasi dalam Pelaksanaan
Surveilans DBD
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Puskesmas Lepo-lepo memperlihatkan bahwa petugas kesehatan Puskesmas di Lepo-lepo dalam menyebarluaskan data/informasi kasus sudah mulai memanfaatkan teknologi seperti layanan internet dan sms. Akan tetapi hal ini hanya terbatas pada pelaporan kasus-kasus tertentu, untuk saat ini masih menggunakan penyebaran informasi secara manual yaitu biasanya petugas melaporkan kasus penyakit melalui pencatatan dan pelaporan saja untuk dilaporkan ke unit-unit kesehatan lain guna dilakukan tindak lanjut. Bentuk penyebarluasan
informasi yang dilakukan yakni dari unit pelayanan kesehatan tingkat bawah ke tingkat tertinggi mulai dari Posyandu, Poskesdes, Pustu, dan Puskesmas.
3. Output Program Surveilans DBD
a. Laporan Kegiatan dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Hasil wawancara dengan informan kunci dan informan biasa di atas dapat disimpulkan bahwa pengguna informasi hasil surveilans DBD terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah pengguna informasi internal Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang meliputi: Subbag Perencanaan dan Keuangan, Bidang Promkes dan Penyehatan Lingkungan. Bagian kedua adalah pengguna informasi eksternal yang meliputi rumah sakit, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan wartawan. Data/informasi yang dibutuhkan oleh pengguna informasi surveilans DBD baik di Dinas Kesehatan Kota Kendari maupun lembaga/instansi di luar Dinas Kesehatan Kota Kendari meliputi: data jumlah kasus DBD dan data wilayah terkena DBD. Hal yang sama juga disampaikan oleh Kartiawan bahwa penyebarluasan informasi yang dimaksud adalah menyebarkan data yang sudah diolah menjadi informasi kepada pengambil kebijakan di lingkungan Dinas Kesehatan yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pendukung keputusan dan kegiatan perencanaan12.
DISKUSI 1. Input
Input yaituKegiatan surveilans epidemiologi membutuhkan input untuk dapat berjalan optimal seperti: dokumen perencanaan tahunan, sarana (komputer, ATK, perlengkapan surveilans, dan lain-lain), dana (dana program dan bantuan), sumber daya manusia, metode dan marketing.
a. Tenaga dalam Pelaksanaan Program DBD
dalam organisasi tidak akan berjalan tanpa ada sumber daya manusianya. Di Puskesmas Lepo-lepo terdapat 6 orang P2M sebanyak 6 orang yang diantaranya 5 orang ahli epidemiolog terampil dan 1 orang lainnya sarjana keperawatan dan kemudian para petugas P2M membagi lagi bagi siapa yang terlibat dalam program-program P2M.
b. Pembagian Tugas dalam Program DBD
Pembagian tugas untuk program DBD terdiri dari 2 orang yaitu Kepala Penaggungjawab P2M dan staf petugas kesehatan kemudian petugas kesehatan merekap data rawat jalan dan data rawat inap yang ada di puskesmas lepo-lepo untuk melihat dan memilih di daerah mana saja yang terjadi wabah untuk penyakit DBD dan jika merek menemukan maka pihak dari Kepala Penaggungjawab P2M dan lainnya turun ke lapangan untuk melihat langsung dan untuk pelaporannya pihak puskesmas lepo-lepo membuat secara akurat agar dari Dinas Kesehatan bisa menindaklanjuti kembali.
c. Sarana dan Prasarana dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Sarana dan prasarana dalam pelaksanaan Surveilans DBD yaitu ketersediaan alat tulis kantor (ATK), evaluasi terhadap ketersediaan perangkat komputer/laptop, evaluasi terhadap ketersediaan alat komunikasi itu sudah sesuai dengan juknis. Jika tanpa sarana dan prasarana yang cukup dan memadai maka pekerjaan akan mengalami hambatan.
d. Pendanaan dalam Pelaksanaan Pogram Surveilans DBD
Adapun dana yang digunakan dalam program surveilans DBD berasal dari sumber dana BOK dan menurut penjelasan informan dana yang disediakan sudah mencukupi dan dana tersebut yang akan digunakan dalam engadaan saran dan prsarna dalam program DBD maupun program yang lainnya.
e. Sasaran dalam Pelaksanaan Pogram Surveilans DBD
Sasaran dalam pelaksanaan program Surveilnas DBD di Puskesmas Lepo-lepo yaitu data rawat jalan data dan rawat inap
selanjutnya data rawat jalan dijadikan laporan mingguan kemudian para petugas kesehatan mengumpulkan laporan tersebut ke Dinas Kesehatan Kota Kendari untuk ditindaklanjuti.
f. Methode dalam Pelaksanaan Pogram Surveilans DBD
Adapun acuan atau dasar yang digunakan oleh puskesmas lepo-lepo yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan laporan program DBD yaitu berdasarkan juknis disesuaikan dengan target yang ada di SPM.
2. Proses
Kegiatan surveilans epidemiologi
dilaksanakan sesuai dengan yang telah diusulkan melalui perencanaan tahunan. Jenis kegiatan terdiri dari: pengumpulan, pengolahan dan analisis data, diseminasi informasi, penyelidikan KLB, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKDKLB), seminar dan surveilans AFP, campak, TN, PTM, IN, HVB dan pariwisata. Terdapat perbedaan proses pelaksanaan kegiatan surveilans yang dilakukan di setiap tempat/nstansi
a. Pengumpulan Data dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan diperoleh informasi bahwa pengumpulan data dalam pelaksanaan Surveilans DBD yaitu formulir yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Kendari sudah mencukupi.
b. Pengolahan Data dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
c. Hambatan Dalam Pengolahan Data
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa hambatan dalam pelaksanaan pengeolahan data di Puskesmas Lepo-lepo ada hambatan yaitu kurangnya pelatihan dari Dinas Kesehatan Kota Kendari dan itu mengakibatkan para petugas tidak begitu paham dalam mengolah data sehingga menyebabkan laporan program DBD maupun program lainnya sering mengalami keterlambatan.
d. Analisis Data dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Penggunaan analisis data dan interpretasi data tergantung pada tingkat unit kesehatan yang bersangkutan, sehingga dapat di analisis. Hasil analisa dan interpretasi data disebarluaskan pada unit-unit yang berkepentingan agar dapat digunakan untuk perencanaan tindak lanjut. Data diinterpretasikan dengan membandingkan data bulanan jika evaluasi pada saat kegiatan minlok namun membandingkan dengan data tahunan pada kegiatan evaluasi tingkat Kota yang dilakukan setiap tahun
.
e. Penyebaran Informasi dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Bentuk penyebarluasan informasi yang dilakukan di puskesmas Lepo-lepo yakni dari unit pelayanan kesehatan tingkat bawah ke tingkat tertinggi mulai dari Posyandu, Poskesdes, Pustu, dan Puskesmas. Petugas kesehatan merampungkan semua data dalam bentuk laporan yang akan dipresentasikan dalam pertemuan rutin atau minilokakarya (Minlok).
3. Output
Keluaran yang dihasilkan pada kegiatan surveilans adalah laporan khusus, data dan informasi yang disebarluaskan dalam bentuk buletin epidemiologi, media elektronik, seminar, jurnal serta surat edaran.
a. Laporan Kegiatan dalam Pelaksanaan Surveilans DBD
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pengguna informasi hasil surveilans DBD terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah pengguna informasi internal Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang meliputi: Subbag Perencanaan dan Keuangan, Bidang Promkes dan
Penyehatan Lingkungan. Bagian kedua adalah pengguna informasi eksternal yang meliputi rumah sakit, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan wartawan. Menurut Dirjen PP dan PL tahun 2003 tentang Surveilans Epidemiologi Penyakit (PEP), salah satu kegiatan dalam surveilans epidemiologi adalah penyebarluasan informasi hasil pelaksanaan surveilans ke instansi yang membutuhkan13.
SIMPULAN
1. Input Program Surveilans DBD
a. Tenaga (man) surveilans DBD pada program P2DBD Puskesmas Lepo-lepo sudah sesuai dengan pedoman. Hal itu didasarkan sudah terpenuhinya kriteria dalam evaluasi yang meliputi jumlah dan dan latarbelakang pendidikan tenaga surveilans DBD serta belum terpenuhinya ketersediaan tenaga terlatih dalam manajemen dan teknis pengendalian DBD b. Sarana dan prasarana (material-machine) pelaksanaan surveilans DBD pada program P2DBD di Puskesmas Lepo-lepo yang sudah sesuai dengan pedoman adalah ketersediaan ATK (alat tulis kantor), ketersediaan alat komunikasi, ketersediaan perangkat komputer atau laptop.
c. Pendanaan (money) dalam pelaksanaan surveilans DBD di Puskesmas Lepo-lepo sudah sesuai karena jumlah dana sudah mencukupi dan sumber dana program surveilans berasal dari dana BOK. d. Evaluasi sasaran dalam pelaksanaan
surveilans DBD meliputi evaluasi terhadap variabel rawat jalan dan variabel rawat inap.
2. Proses Program Surveilans DBD
a. Pada Evaluasi Proses Pengumpulan data ketersediaan formulir sudah cukup dan sesuai dengan pedoman di puskesmas Lepo-lepo, tidak ada kriteria khusus mengenai jumlah formulir surveilans DBD. Jumlah formulir disesuaikan dengan kebutuhan setiap kondisi. Meskipun tidak ada kriteria khusus tetapi diharapkan formulir surveilans DBD dalam kondisi selalu tersedia.
b. Pada Proses Pengolahan Data di Puskesmas Lepo-lepo diketahui bahwa pengolahan yang dilakukan oleh petugas kesehatan masih berupa data mentah yang bersumber dari daftar register (kunjungan pasien, lapangan, pustu, dan laporan masyarakat). Selanjutnya, data tersebut direkapitulas, diolah, dan diringakas menjadi tabel dan grafik menggunakan program excel pada komputer sehingga dapaat memudahkan untuk dianalisis. Hambatan dalam c. Pada Proses Analisis Data di Puskesmas
Lepo-lepo data analisis dengan menggunakan jenis pengukuran epidemiologi proporsi dan rate dengan perbandingan jumlah kasus dengan jumlah penduduk, data diinterpretasikan berdasarkan perhitungan bulanan dan tahunan, untuk laporan tidak dilakukan dengan alasan dilakukan pada saat rekapan data bulanan berdasarkan tempat (kelurahan/desa), orang (jenis kelamin), dan umur (golongan balita dan semua umur).
d. Pada Proses Bentuk penyebarluasan informasi yang dilakukan oleh Pihak Puskesmas Lepo-lepo yakni dari unit pelayanan kesehatan tingkat bawah ke tingkat tertinggi mulai dari Posyandu, Poskesdes, Pustu, dan Puskesmas. Petugas kesehatan merampungkan semua data dalam bentuk laporan yang akan dipresentasikan dalam pertemuan rutin atau minilokakarya (Minlok). 3. Output Program Surveilans DBD
a. Pelaporan hasil surveilans yang didistribusikan oleh pemegang program P2DBD sudah sesuai dengan pedoman dikarenakan data/informasi yang dibutuhkan oleh pengguna informasi surveilans DBD baik di Dinas Kesehatan
Kota Kendari maupun lembaga/instansi di luar Dinas Kesehatan Kota Kendari meliputi: data jumlah kasus DBD dan data wilayah terkena DBD.
SARAN
1. Bagi pihak Kepala Dinas Kesehatan Kota Kendari menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi orang yang terlibat dalam pengendalian DBD di Puskesmas Lepo-lepo.
2. Bagi Kepala Seksi Pemberantasan Dinas Kesehatan Kota Kendari harus melakukan pembagian tugas yang tidak membebani petugas pemegang program penyakit. Maksimal 1 orang petugas di seksi pemberantasan penyakit memegang 2 (dua) program penyakit, melakukan evaluasi secara rutin baik menggunakan pedoman evaluasi maupun melalui rapat koordinasi terhadap pelaksanaan surveilans DBD di Puskesmas Lepo-lepo. 3. Bagi petugas Pemegang Program P2M
Puskesmas Lepo-lepo meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mengenai pengendalian DBD dengan mengikuti pelatihan-pelatihan pengendalian DBD, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan tugas sebagai pemegang program P2DBD agar tidak bercampur dengan program penyakit lain, melakukan evaluasi secara rutin baik menggunakan pedoman evaluasi maupun melalui rapat koordinasi terhadap pelaksanaan surveilans DBD khususnya dan pengendalian DBD pada umumnya di Puskesmas Lepo-lepo.
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO, 2011, Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. WHO-Regional South East Asia, India(Diakses ada 05Maret 2017)
2. Mufidz, Maulana. 2014. Evaluasi Input Sistem Surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang. 3. Amiruddin, R, 2013, Surveilans Kesehatan
Masyarakat, IPB Press, Bogor.
5. Dinkes Kota Kendari. 2014.Profil Kesehatan Kota Kendari.Dinkes Provinsi Sultra. Sulawesi Tenggara. 6. Dinkes Kota Kendari, 2015,Data Kasus DBD tahun 2015-2016, Dinkes Provinsi Sultra. Sulawesi Tenggara.
7. Riyanto, A. 2011.Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Penerbit Nuha Medika.
8. Rahayu, Tri, 2012, Evaluasi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang 2. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
9. Frans, YS, Antonius S, Dibyo, P, 2010, Evaluasi dan Implementasi Sistem Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Singkawang Kalimantan Barat tahun 2010,
10. Depkes RI, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor
1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu, Depkes RI, Jakarta.
11. Dirjen PP dan PL Kemenkes RI, 2011, Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue, Kemenkes RI, Jakarta.
12. Kartiawan, 2009, Evaluasi Sistem Surveilans Sebagai Pendukung Keputusan dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.