S K R I P S I
Y U S T IN U S H A R Y A N T O
P E N C U R IA N K A Y U H U T A N D l W I L A Y A H
K A B U P A T E N T U B A N , S U A T U T IN J A U A N
S O S IO - K R IM IN O L O G IK
M I L I K P E R P L S T A K . V \ N
‘ U N I V i O H v ^ . l ' S u a v ’
b L K , \ l J . \ U
F A K U L T A S H U K U M U N I V E R S I T A S A 1R L A N G G A
SUATU T1NJAUAN: SOSIO-KRLMItfOLOGIK
S K B I P S I
~M 1 L 1
K
\ PERPU ST A K . A A N ^ ’ U N I V B R SI TAS A l R L A N G G AS U R A B A Y A _
OLEH :
Y.USTINUS HARYANTO
FAKULTAS HOKUM. UNIVERSITAS AlRLANGGA
S U R A B A Y A
PENCURIAN KAYU HUTAN DX WILAYAH KABUPATEN TUBAK,
SUATU TINJAUAN SOSIO-KRIMINOLOGIK
A *
tfrt ftL
SKRIPSI
A
DIAJUKAN, UNTUK MELENGKAPI TUGAS
DAN MEMENUHI SYARAT-SYARAT UMTUK
MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM
OLEH [ M 1 L 1 K . j
I PER PU ST A K A A N
YUSTINUS HARYANTO -UNivERSITAS A l R L A N G G A u i R A B A Y A
038111151 I____- — --- —
PEMBIMBIUGL/PENGUJI
SAMPE RiN^>TUMANAN., S.H., M.S.
DRSi DUTA BYANANDARU
PENGUJI
-
-
/ / (Y**
SOEDARTI, S.H.FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AlRLANGGA
SURABAYA
hanya bisa dibangun
di atas batu
keadilan, kebenaran dan kejujuran.,.
Kupersembahkan karya ini :
untuk Ibunda dan saudara-saudaraku tercinta
serta semua orang yang pernah berjasa
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena berkat rahmat serta karuniaNya saya
dapat menyelesaikan sebuah tugas yang telah banyak
menyi-ta waktu, tenaga dan pikiran, yaitu tugae penulisan
skripsi untuk raeraih gelar sarjana hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Airlangga.
Dengan telah selesainya penulisan skripsi ini, sa
ya haturkan sembah dan terima kasih yang tak terhingga
kepada Ibunda dan kakakkakakku tercinta yang telah mem
-berikan dorongan dan bantuan, baik moriil maupun materiil
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini pula, sudah selayaknya saya
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan
ucap-an terima kasih yucap-ang sedalam-dalamnya kepada :
1* Para pimpinan Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang,
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimba
ilmu pengetahuan hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.
2. Para Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas
Airlangga yang telah memberikan pendidikan dalam mema
-hami dan mempelajari ilmu pengetahuan hukum selama masa
perkuliahan.
3. Bapak Sampe Randa Tumanan, S.H., M.S. selaku dosen
kan bimbingan, petunjuk dan pengarahan sejak av/al
sam-pai akhir penulisan skripsi ini.
/f. Kepala Direktorat Sosial Politik Propinsi Jawa Timur
beserta staf yang telah memberikan rekomendasi untuk
melakukan survey di wilayah Kabupaten Tuban*
5. Kepala Rumah Tahanan Negara Tuban beserta staf yang
telah memberikan keleluasaan kepada saya untuk melaku
kan survey guna memperoleh data sebagai kelengkapan
penulisan skripsi ini.
6. Kepala Perum Perhutani Unit II Jawa Timur c.q. KKPH
Jatirogo, KKPR *Euban dan KKPH Parengan beserta staf.
yang telah memberikan banyak data dan keterangan seba
gai bahan penulisan skripsi ini.
7. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Resort Tuban be
-serta.staf yang telah memberikan kesempatan kepada sa
ya guna mendapatkan beberapa informasi sebagaL
tambah-an data dalam penulistambah-an skripsi ini.
8. Ketua Pengadilan Negeri Tuban beserta staf yang telah
memperkenankan saya memperoleh data tambahan dalam pe
nulisan skripsi ini.
Berikutnya ucapan terima kasih saya sampaikan. pula
kepada teman-teman sefakultas, serta semua pihak yang te
lah memberikan bantuan dan kemudahan demi kelancaran pe
-nulisan skripsi ini.
Sebagai penutup kata pengantar ini, saya akhiri
dengan sebuah barapan seraoga penulisan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, walau hanya sedikit.
Surabaya, 25 November 1986.
Penulis,
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR IS I ... .... iv
BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan dan Rumusannya ... 1
2. Penjelasan Judul ... . 8
3* Alasan Pemilihan Judul ... 10
Tujuan Penulisan... .. 10
5. Metodologi a. Pendekatan. masa l a h... ... 11
b. Sumber data ... . 12
c. Prosedur pengumpulan dan pengolah-an d a t a ... ... ... . 12
d. Analisis data ... 12
6. Pertanggungjawaban Sistematika ... 13
BAB II. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG TIMBULNYA PENCURIAN KAYU HUTAN DI WILAYAH KABUPA-TEN TUBAN 1. Pengertian Pencurian Kayu Hutan .... 16
2. Upaya Mencari Sebab Musabab Kejahatan 21 3. Data L a p a n g a n ... 28
if. La tar Belakang Pencurian Kayu Hutan di Wilayah Kabupaten Tuban ... 37
BAB III. LANGKAH-LANGKAH PENANGGULANGAN MASALAH
PENCUBIAN KAYD HUTAN DI WILAYAH
KABUPA-TEN TUBAN
1. Met ode Pengamanan Prevent I f ... 1*7
2. Metode Pengamanan Repreeif... .. 52
3. Langkah-langkah yang Perlu Dltempuh.. 55
BAB IV. PENUTUP
1. Kesimpulan... 56
2. Saran-saran... .. 59
DAFTAR B A C A A N ... ... ... 62
LAMPIRAN
ha la man
PENDAHULUAN
1. La tar. Belakang .Permasalahan.dan JRumusannva
Ada suatu pandangan yang menyatakan bahwa
kejahatan sebagai suatu hal ykejahatang relatif. Namun jika kita meli
-hat hampir di semua negara di dunia, dari waktu ke waktu,
ternyata ada bentukbentuk kejaha.tan yang bersifat uni
-versal, antara lain pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan.
Pencurian sebagai salah satu bentuk kejahatan yang
bersifat universal, dapat kita lihat misalnya dari
tulis-an Marshall B. Clinard dtulis-an Dtulis-aniel J. Abbott?"^, ytulis-ang
meng-ungkapkan terutama kejahatan terhadap harta benda, pada
umumnya pencurian, terlihat adanya kecenderungan mening
-kat di negara-negara berkembang.
Bukti lain tentang hal ini, di negeri kita sendiri
sekitar 600 tahun yang silam, pada zaman kerajaan
Majapa-hit. Pada masa tersebut telah diakui bahwa pencurian (ja
wa: ‘corah1) termasuk salah satu bentuk kejahatan yang
tergolong berat. Saya katakan demikian karena terhadap
kejahatan ini dapat diancam eanksi pidana sampai pada
hu-2. )
kuman mati walaupun itu hanya pencurian biasa, tanpa
^"Marshall B. Clinard and Daniel J. Abbott, Crime in Developing Countries. A Comparative Perspective,, John Wiley & Sons,.'Kew York, 1973, h. 35-37.
2
Slametmuljana, Perundang-undanean Madiapahit. Bfaratara, Jakarta, 1967, h. 78-79«'
didahului atau disertai dengan kekerasan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita
yang berlaku hingga saat ini (yang berasal dari "Wetboek
van Strafrech voor Nederlandsch-Indie", Stbl. 1915 Nomor
732, dengan segala penambahan dan perubahannya), tindak
kejahatan pencurian ini diatur dalam Buku Kedua Bab XXII
pasal 362 - 367 KUHP.
Di samping pencurian masih terdapat bentuk-bentuk
kejahatan lain yang tergolong dalam kejahatan terhadap
harta benda, yaitu ; pemerasan dan pengancaman (pasal
368 371 KUHP), penggelapan (pasal 372 377 KUHP), pe
nipuan atau perbuatan curang (pasal 378 395 KUHP), me
-rugikan orang yang berpiutang atau yang berhak (pasal
396 - ^05 KUHP) dan menghancurkan atau merusak barang
orang lain (pasal if06 - 412 KUHP).
Masalah pencurian kayu hutan, sesungguhnya tidak
berbeda dengan tindak kejahatan pencurian pada umumnya.
Hanya dalam hal ini, yang menjadi objek pencurian adalah
kayu hutan yang untuk pulau Jawa di bawah pengelolaan
Perum Perhutani.
Kalau kita memantau laporan yang dibuat oleh Perum
Perhutani, pencurian kayu hutan hanyalah salah satu ben
tuk gangguan keamanan hutan. Di samping itu masih dijum
-pai adanya bentuk-bentuk gangguan keamanan hutan yang.la
in di antaranya kebakaran hutan, pembabatan tanaman di
bibrikan hutan (pemakaian/pemilikan lahan hutan tanpa se
izin Perum Perhutani), bencana alam dan sebagainya.
Bamun selama ini, di antara gangguan keamanan hu
-tan yang ada, pencurian dianggap paling berbahaya dan.
me-niobulkan nilai kerugian paling besar*
Sejumlah kasus yang terjadi di Perum Perhutani
Unit I Jawa T e n g a h ^ , pencurian kayu hutan ini dilakukan
oleh kelompok-kelompok yang jumlahnya cukup besar. Lagi
pula tidak jarang di antara mereka yang berani melawan
petugas. Hal ini mengingatkan kita pada jenis pencurian
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 3^5 KUHP, yakni
pencu^-rian dengan kekerasan.
Modus operandi pencurian kayu hutan. ini
bermacam-macam, berkembang sejalan dengan bertambahnya pengetahuan.,
bertambahnya kemampuan berorganisasi para pelaku
perbuat-an tersebut, kemajuperbuat-an teknologi serta kondisi geografis
daerah setempat.
Pencurian kayu hutan. ini dari tahun ke tahun (khu
sus untuk Perum Perhutani Unit IX Jawa Timur sampai tahun
1983) masih menunjukkan adanya peningkatan.
Pencurian kayu hutan, walaupun korbannya secara
langsung bukan orang perorangan, namun secara tidak
lang-sung adalah merugikan masyarakat. Sebab apa? Hasil hutan
merupakan salah satu devisa negara, tentunya dari sini
akan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
rakyat. Dengan demikian, tindakan tersebut sangat
merugi-kan bangsa dan negara serta menghambat pembangunan
nasio-nal.
Disamping itu, dengan adanya gangguan keamanan
hutan, usaha peningkatan daya dukung lingkungan hidup pun
akan menjadi harapan yang siasia. Apabila hal ini diba
-rengi dengan perusakan lahan hidup yang lain, maka akan
terancam pulalah kelestarian hidup dan kesejahteraan umat
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Berbicara tentang pencurian kayu hutan di wilayah
Kabupaten Tuban, sebagai suatu masalah yang menjadi ren
-cana dalam penulisan skripsi saya, ada baiknya jika saya
kemukakan terlebih dahulu sekilas tentang keadaan wilayah
Daerah Tingkat II Kabupaten Tuban di mana saya akan men
-coba mengangkat permasalahan tersebut.
Wilayah Kabupaten Tuban, secara geografis terletak
antara 1110 30’ BT dan 112° 12’ BT serta 6° 42* LS dan
7° 6‘ IS. Di sebelah utara berbatasan dengan Eaut Jawa,
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, sebe
lah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan
di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Propinsi Dae
-rah Tingkat I Jawa Tengah.
Luas wilayah Kabupaten Tuban yang meliputi 1*812, 2
-di 328 desa. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 1980
tercatat memiliki jumlah penduduk 871.898 jiwa, dengan
pertumbuhan rata-rata 1,69 dan kepadatan penduduk 458 ji-2
wa per km . Keadaan ini jika dipandang dari luas
wilayah-nya, dibandingkan dengan kotamadya dan kabupaten lain di
Jawa Timur masih tergolong memiliki kepadatan yang ren
-d a h ^.
Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur, yang memi
-liki daratan seluas 4.792.202 ha atau 47.922,02 km2 ,
28,38
%
di antaranya berupa areal hutan yang hingga saatini menjadi areal pengelolaan Perum Perhutani Unit II
Ja-wa Timur •
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dalam mengelola
areal hutan ini membagi dalam 23 Kesatuan Pemangkuan Eu
-tan (selanjutnya disingkat: KPH). Dari ke-23 KPH ini yang
memiliki areal terluas adalah berturut-turut KPH Jember,
KPH Malang dan KPH K e d i r i ^ .
Berkaitan dengan pembagian areal oleh Perum Perhu
tani Unit IX Jawa Timur, yang termasuk dalam wilayah Ka
-bupaten Tuban adalah KPH Jatirogo seluas 18.763,7 ha
(1,38 %), KPH Tuban seluas 33.244,7 ha (2,44
%)
dan KPH^Data dan angka dalam uraian ini saya kutip dari buku Mengenal Hutan di Jawa Timurf Edisi ke II, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, 1983, h. 25-26.
5Ibid., h. 19.
Parengan seluas 17*646,7 ha (1,30 % )• Keseluruhan hanya
meliputi 69*656,1 ha atau 5,12 % dari seluruh areal hutan
di Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.
Walaupun ketiga KPH yang termasuk dalam wilayah
Kabupaten Tuban meliputi areal yang relatif kecil dan
Ka-bupaten Tuban berpenduduk tidak terlampau padat, namun
dalam hal gangguan keamanan hutan (70 % lebih di antara
-nya disebabkan karena pencurian), mulai tahun 1978
menun-jukkan angka yang relatif tinggi. Bahkan salah satu KPH,
yakni KPH Jatirogo yang berbatasan dengan wilayah
Propin-si Jawa Tengah, dalam tiga tahun berturut~turut, mulai
tahun 1980 ~ tahun 1982 menderita kerugian paling parah
di antara ke-23 KPH lainnya .
Secara finansial nilai kerugian yang diderita oleh
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur akibat gangguan
kea-manan hutan ini rata-rata setiap tahun sekitar 1,2 milyar
rupiah. Dari jumlah tersebut tidak kurang dari 900 juta
rupiah adalah akibat pencurian kayu hutan^^.
Wilayah Kabupaten Tuban, yang hampir eeluruh areal
hutannya berupa hutan jati, selama satu Pelita terakhir
(tahun 1979 - tahun 1983) menderita kerugian sebesar
fy 2.317*956*000,00 akibat gangguan keamanan hutan atau
7
VBuku Saku Statistik Tahunan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, tahun 1977-1981 (h. L0-Ll\T tahun 1Q80-1984 (h. 42-43).
8m d .
setiap tahun menderita kerugian rata-rata sekitar 463.
591.200,00. Suatu jumlah yang tidak sedidkit bila berha
-Q )
sil diselamatkan untuk pembangunan Negeri kita tercinta •
Perum Perhutani dengan segenap daya dan kemampuan
telah berusaha mengatasi hal ini, dalam rangka mencapai
sasaran yang telah ditetapkan dalam mengemban tugas yang
dilimpahkan Hegara di bidang kehutanan. Upaya tersebut
baik berupa metode pengamanan yang bersifat preventif
maupun represif.
Secara preventif misalnya mengadakan peningkatan
perondaan hutan, pengadaan pos-pos pemeriksa hasil hutan,
pengadaan kegiatan prosperity approach, mengadakan pende
katan dengan masyarakat desa sekitar hutan melalui kerja
sama Mantri dan Lurah (MALU), Pembangunan Masyarakat Desa
sekitar Hutan (PMDH), penerangan dan penyuluhan dan
seba-gainya.
Secara represif dilakukan tindakan-tindakan sesuai
dengan jalur hukum, termasuk mengadakan operasi pelacakan
dan penggeledahan, penangkapan serta penuntutan perkara
melalui proses pengadilan.
Segala upaya di atas merupakan langkah-langkah
yang patut dihargai dan pantas pula untuk diharapkan ha
-silnya. Namun untuk mencapai hasil yang maksimal dalam
memberantas suatu kejahatan, mungkinkah dapat tercapai
tanpa mengetahui sebab musabab, latar belakang serta
fe-nomena yang melekat pada kejahatan tersebut, termasuk
adanya faktor-faktor khusus yang justru memberi peluang
bagi timbulnya kejahatan.
Beranjak dari uraian di atas, secara ringkas saya
rumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong timbulnya kejahat
an pencurian kayu hutan di wilayah Kabupaten Tuban?.
2. Bagaimanakah usaha yang efektif dalam upaya menanggu
langi masalah pencurian kayu hutan di wilayah Kabupa
-ten Tuban?.
Bertolak dari permasalahan tersebut, saya akan me
lakukan suatu pembahasan dalam bentuk sebuah skripsi de
-ngan judul : PENCURIAN KAYU HUTAN DI WILAYAH KABUPATEN
TUBAN. SUATU TINJAUAN 50SI0-KRIMIN0L0GIK.
2. Pen.ielasan Judul
Dari judul yang saya ajukan perlu kiranya saya
je-laskan beberapa istilah yang penting, agar tidak menimW
bulkan konotasi yang berbeda dari pengertian yang saya
maksud. Penjelasan ini juga saya maksudkan untuk membatasi
permasalahan yang saya tulis.
Pertama, istilah "pencurian” . Walaupun telah
diketahui secara umum bahwa pencurian merupakan tindak keja
-hatan, namun dalam pembahasan ini saya mempergunakan
Undang-KUHP. Secara umunr^ tarda pat dalam perumusan pasal 362
KUHP, bahwa pencurian adalah perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang dengan mengambil barang sesuatu milik
orang lain, baik itu sebagian ataupun seluruhnya, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Kedua, istilah "kayu hutan”, adalah semua jenis
kayu yang dihasilkan dari suatu areal yang telah
ditetap-kan Pemerintah dengan undang-undang sebagai hutan.
Terma-suk dalam pengertian ini semua jenis kayu yang dengan
se-ngaja dirubah bentuknya menjadi kayu pertukangan, meubel,
kerangka rumah dan sebagainya.
Ketiga, istilah "Wilayah Kabupaten Tuban", adalah
wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Tuban.
Na-mun dalam hal ini saya lebih menekankan pada yurisdiksl
badan peradilannya, berkaitan dengan proses penyelesaian
perkara, karena masalah yang saya bahas menyangkut latar
belakang suatu kejahatan serta langkahlangkah penanggu
-langannya.
Terakhir, istilah "tinjauan Sosio-Kriminologik1'.
Istilah ini saya artikan sebagai pendekatan suatu masalah
dengan mempergunakan disiplin ilmu Kriminologi, sebagai
ilmu yang bersifat faktual, dengan bantuan dan dalam
kaitannya dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya.
10
3« Alasan Pemllihan Judul
Sesuai dengan latar belakang permasalahan yang, te
lah saya uraikan, yakni pertama, masalah ini menyangkut
kepentingan umum. Kedua, saya memiliki minat untuk mene
liti dan menulia masalah ini. Ketiga, sepanjang pengeta
-huan saya, masalah pencurian kayu hutan ini belum pernah
dikupas terutama dari sudut Kriminologik. Terakhir, saya
pilih Kabupaten Tuban karena wilayah ini merupakan vila
-yah yang menderita kerugian paling parah di antara
wila-yah-wilayah lain dalam Perum Perhutani Unit II Jawa Timur,
Kemudian, dengan dilandasi tujuan penulisan skripsi ini
dan dengan mempergunakan disiplin ilmu, yang menurut he
mat saya tepat untuk mengupas masalah ini, maka saya me
milih dan menetapkan judul skripsi : "Pencurian Kayu Hu
-tan di Wilayah Kabupaten Tuban, Suatu Tinjauan
Sosio-Kri-minologik".
Tu.iuan Penulisan
Secara singkat dapat saya kemukakan di sini bahwa
tujuan penulisan skripsi ini adalah : (1). Untuk meleng
-kapi tugas dan memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sar-jana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
(2). Mencoba mengupas suatu permasalahan, yang menurut
pendapat saya menyangkut kepentingan umum, kesejahteraan
datang. (3)* Mencoba memberikan sumbangan pemikiran
seca-ra pseca-raktis dalam seca-rangka menanggulangi masalah pencurian
kayu hutan di wilayah Kabupaten Tuban khususnya dan
wila-yah-wilayah lain pada umumnya.
5* Metodologi
a. Pendekatan masalah.
Seperti kita ketahui, setiap gejala sosial yang
terjadi dalam masyarakat sebagian besar bersifat kompleks.
Sebab musababnya pun hampir tidak pernah berdiri secara
tunggal. Ini adalah suatu fakta yang tak dapat dipungkiri.
Demikian pula masalah pencurian kayu hutan yang akan say a
bahas ini.
Kriminologi merupakan disiplin. yang, bersifat fak
-tual (membahas s'esuatu masalah berxiasarkan. kenyataan yang
terjadi), sekalipun hal-hal yang bersifat normatif tidak
terlepas dari jangkauan Kriminologi. Di dalam membahas
suatu masalah pun. Kriminologi tidak bisa lepas dari
kait-annya dan bantuan ilmu-ilmu sosial lain.
Oleh karena itu, dalam penulisan ini saya memper
gunakan tinjauan SosioKriminologik sebagai upaya pende
-katan dalam rangka memecahkan masalah ini. Tinjauan yang
saya maksudkan di sini adalah pendekatan suatu masalah
dengan mempergunakan Kriminologi sebagai disiplin ilmu
yang bersifat faktual, untuk mengupas latar belakang ma
-paten Tuban, dengan bantuan dan dalam kaitannya dengan
ilmu-ilmu sosial lain.
b. Sumber data.
Sumber data dalam penulisan skripsi ini akan saya
cari dan telusuri melalui instansi dan lembaga yang
mena-ngani masalah pencurian kayu hutan ini, antara lain
Kepo-lisian Republik Indonesia Resort Tuban, Pengadilan Negeri
Tuban, Rumah Tahanan Negara Tuban dan Perum Perhutani
Unit II Jawa Timur (di lapangan saya memperoleh data dari
KPE Jatirogp, KPH Tuban dan KPH Parengan)• Sedangkan
ben-tuk sumber data berupa hasil wawancara dan observasi,
berkas surat keputusan, buku (bahan) laporan dan lain- .
lain.
c. Prosedur pengumpulan dan pengolahan data.
Dari berbagai instansi yang menangani masalah
pen-curian kayu hutan ini, saya akan berusaha memperoleh data
sebagai kelengkapan skripsi dengan mempergunakan metode
"wawancara" dan "studi dokumen" serta ditambah metode
"observasi" sebagai pelengkap.
Dari data yang terkumpul akan saya teliti kembali
untuk memilih data yang relevan. Kemudian saya buat daf
-tar atau tabel berdasarkan faktor-faktor temuan yang ada
untuk menentukan kadar relevansi terhadap masalah yang
saya kemukakan.
12
d. Analisis data.
Fvii r t r c
P ER PI! ST A K A A K
' U N IV ER SIT A S AIRF-tA KCj’ Cf A “
Berdasarkan pengelompokan data yang saya buat da
lam bentuk tabel, dengan dilandasi berbagai teori dan
pandangan, terutama dalam Kriminologi, maka saya berharap
bahwa hal ini dapat menjadi kerangka acuan dalam
mengana-lisis masalah yang saya ajukan, sehingga dapat. diperoleh
kesimpulan yang benar dan objektif. Dengan demikian saya
mempergunakan deskriptif analitis dalam mengupas masalah
ini,
6. Pertanggung.lawaban Sistematika
Dasar penulisan skripsi ini, berupa uraian latar
belakang permasalahan, yang diakhiri dengan rumusan per
-masalahan.dan judul skripsi, sebagaimana lazimnya saya
tempatkan pada bagian aval tulisan ini, yakni dalam sub
bab pertama Bab I (Pendahuluan)♦ Subbab ini kemudian di
ikuti dengan subbabsubbab berikutnya berupa uraian ten
-tang penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan
penulisan dan metodologi, yang dibagl dalam empat subsub
-bab, yaitu pendekatan masalah, sumber data, prosedur
pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data. Ba
-terakhir dari Pendahuluan adalah subbab pertanggungjawab-.
an sistematika ini sendiri.
Pada bab berikutnya, yaitu Bab II, yang saya beri
judul bahasan "Pengertian dan Latar Belakang Timbulnya
Pencurian Kayu Hutan di Wilayah Kabupaten Tuban11, saya
rian kayu hutan, khususnya yang terjadi di wilayah Kabu
-paten Tuban dengan dasar penjelasan dari batasan pencuri
an dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita.
Sebagai salah satu acuan juga guna mengupas
perma-salahan ini akan saya kemukakan beberapa pandangan dan
teori yang akan saya uraikan dalam subbab kedua dalam Bab
II ini, dengan judul bahasan subbab "Upaya mencari sebab
musabab Kejahatan". Dalam bal ini saya letakkan
pengerti-an bahwa "latar belakpengerti-ang" mempunyai cakuppengerti-an ypengerti-ang lebih
luas dari "sebab musabab", walaupun keduanya secara umum
berarti sebagai faktor-faktor yang mendorong suatu
tindak-an.
Data lapangan skripsi ini saya kemukakan dalam
subbab ketiga dari Bab II ini. Kemudian dengan mempergu
-nakan kedua acuan yang saya sebut terdahulu, saya lakukan
analisis data. Analisis data ini saya letakkan pada
subbab terakhir dalam Bab IX ini.
Upaya apa yang telah ditempuh dan harus ditempuh
dalam rangka menanggulangi masalah pencurian kayu hutan,
akan saya bahas dalam Bab III, di bawah judul bahasan
'•Langkah-langkah Penanggulangan Masalah Pencurian Kayu
Hutan di Wilayah Kabupaten Tuban". Bab ini saya bagi dalam
tiga subbab, yaitu subbab Metode Pengamanan Preventif, Me
tode Pengamanan Represif dan Langkah-langkah yang Perlu
Bitempuh.
saran-saran, saya kemukakan sebagai bagian paling akhir
dalam keseluruhan pembahasan permasalahan dalam skripsi
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG TIMBULNYA
PENCURIAN KAYU HUTAN DI WILAYAH KABUPATEN TUBAN BAB II
1. Pengertian Pencurian Kayu Hutan
Dalam Hukum Pidana kita, dalam ketentuan umum yang
mengatur tentang tindak pidana pencurian, yaitu pada pa
-sal 362 KUHP dirumuskan'^ :
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruh -nya atau sebagian kepu-nyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima ta-hun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
12) Dari perumusan di atas, menurut R. Soesilo , da
lam tindak pidana pencurian. harus terpenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
a. perbuatan "mengambil",
b. yang diambil adalah sesuatu "barang",
c. barang itu harus "seluruhnya atau sebagian kepunya an orang lain", dan
d. pengambilan itu harus dilakukan "dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan melawan hukum".
Sehubungan dengan hal ini, saya ingin menjelaskan
pengertian pencurian kayu hutan, khususnya yang terjadi
di wilayah Kabupaten Tuban dengan berlandaskan pada
unsur-unsur tindak pidana pencurian sebagaimana terdapat dalam
pasal 362 KUHP.
11Ibid.
1 2
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan
Umum dan Delik-dellk Khusus. Politeia, Bogor, 1984» h.117*
Dalam tindak pidana pencurian, harus dijumpai
ada-nya unsur perbuatan "mengambil"• Menurut pengertian
seha-ri-hari "mengambil" berarti membawa sesuatu dari suatu
terapat ke tempat lain. Namun dalam permasalahan ini "me
ngambil" saya konotasikan sebagai suatu usaha yang dila
-kukan oleh seseorang untuk memindahkan sesuatu ke dalam
kekuaeaannya.
Dengan demikian, kalau seorang pencuri kayu telah
menebang pohon atau bahkan sedang menebang pohon dan be
-lum sempat mengangkutnyaf namun sudah tertangkap tangan
oleh polisi hutan atau aparat keamanan lain, maka saya
berpendapat bahwa unsur "mengambil" di sini telah terpe
-nuhi, karena dalam tindakan tersebut jelas sudah ada niat
dan tindakan av/al untuk melakukan ke jahatan. Tentang be
lum selesainya perbuatan tersebut dilakukan adalah meru
-pakan persoalan lain dan bukan atas kehendaknya. Perbuat
an demikian dapat dimasukkan kategori kejahatan tertentu,
yakni percobaan melakukan pencurian. Suatu hal yang pasti
perbuatan ini pun diancam dengan pidana, valaupun dalam
ukuran yang lebih ringan (lihat pasal 53 KUHP: tentang
percobaan melakukan kejahatan).
Tentang hal tersebut ada yang berpendapat, yaitu
Prof. S i m o n s ^ , sebagaimana disitir oleh R. Soesilo,
bahwa unsur "mengambil" baru terpenuhi apabila perbuatan
18
tersebut mengakibatkan barang termaksud berpindah tempat.
Dalam praktek peradilan di Pengadilan Negeri Tuban,
dapat diketahui dari berkas putusan yang ada, tidak per
-nah dibedakan antara percobaan melakukan pencurian dan
pencurian yang dilakukan secara sempurna dalam perkara
pencurian kayu jati. Dengan demikian tidak pernah
diterap-kan pasal 53 KUHP terhadap perkara ini.
Termasuk dalam pengertian "mengambil" ini, yaitu
seseorang yang menemukan (istilah setempat 'nemok': dari
kata umum dalam bahasa Jawa ' nemu') sebatang kayu yang
tergeletak, baik dalam areal hutan maupun di luar areal
hutan. Hal seperti ini kadang muncul sebagai masalah, oleh
karena warga desa sekitar hutan kurang menyadari atau sama
sekali tidak tahu bahwa menemukan sebatang kayu, kemudian
kayu tersebut dipergunakan untuk kepentingan pribadi, da
pat dituduh telah melakukan pencurian kayu.
Namun tidak termasuk dalam pengertian "mengambil"
di sini seseorang yang membeli kayu, walaupun dalam hal
ini ada usaha untuk memindahkan sesuatu ke dalam
kekuasa-annya serta dapat diduga kayu tersebut adalah hasil dari
suatu kejahatan (di wilayah Kabupaten Tuban dikenal dengan
istilah 'kayu peteng1). Tindakan ini dalam Hukum Pidana
dapat dikenakan pasal tersendiri di luar pencurian, yakni
tindakan penadahan (pasal ^80 - 482 KUHP).
Tentang unsur kedua, sebagai objek pencurian, yaitu
R. Soesilolif\ "barang" di sini harus segala sesuatu yang
berwujud. Kata "berwujud" ini sering menimbulkan
penafsir-an ypenafsir-ang bermacam-macam. Secara sempit sering hpenafsir-anya
ditaf-sirkan sebagai segala sesuatu yang tampak di mata.
Se-hingga pernah timbul persoalan tentang pencurian aliran
listrik di negeri Belanda (libat arrest H.R. 23 Mei 1921
No. W. 10728).
Menurut hemat saya, kata "berwujud" ini harus di
-artikan sebagai segala sesuatu yang dapat diindera oleh
panca-indera manusia. Dengan demikian bukan hanya aliran
listrik, tetapi juga benda-benda lain, misalnya gas yang
tldak tampak di mata, namun dapat dibau atau dirasa oleh
alat peraba (kulit), dapat juga menjadi objek pencurian.
R. Soesilo Juga menyatakan bahwa barang tersebut
harus merupakan "barang bergerak" (roerend goed), supaya
dapat dipindahkan. Sehubungan dengan permasalahan yang
saya kupas, yang objek pencuriannya berupa kayu hutan,
saya lebih setuju dengan apa yang dikemukakan oleh R.
Moe-15)
g o n o
,
tentang penggunaafc istilah bahwa barang di siniharus dapat dipindahkan (verplaatsbaar) dan bukan
penggu-naan istilah barang bergerak (roerend goed).
1/fIbid., h. 118.
Pohon-pohon jati yang tumbuh di hutan adalah
meru-pakan barang tidak bergerak (onroerend goed), namun dapat
menjadi objek pencurian, yaitu dengan cara menebang dan
mengangkutnya.
Unsur kedua ini erat sekali kaitannya dengan un
-sur berikutnya, yakni barang itu harus "seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain"* Barang yang untuk sebagi
an kepunyaan orang lain, misalnya dua orang atau lebih
membeli sesuatu barang secara bersama-sama atau mendapat
wariean barang dan belum dibagi-bagi.
Pohon-pohon jatl dalam hutan merupakan milik
seluruh bangsa Indonesia, karena dari kekayaan hutan ini di
-hasilkan devisa negarat yang akan dipergunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Maka, jika terjadi sese
orang melakukan pencurian kayu di hutan, kemudian ter
-tangkap, sudah sewajarnya bila dituntut dan diadili
mela-lui proses pengadilan,
Pencurian kayu hutan di wilayah Kabupaten Tuban,
yang menjadi sasaran terutama adalah kayu jati, eebab
mempunyai nilai jual cukup tinggi dan mudah sekali pema
-sarannya•
Unsur terakhir, pengambilan itu harus dilakukan
"dengan maksud hendak meml11ki barang itu dengan melawan
hukum". Ini berarti seseorang bertindak sebagai yang pu
-nya atas sesuatu barang tanpa izin terlebih dahulu dari
dituduh melakukan pencurian kayu jati, maka orang itu ha
rus dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah atae pemilikan
kayu tersebut, kalau memang kayu tersebut bukan hasil ke
jahatan.
Ada pula sementara anggapan masyarakat, bahwa hu
tan merupakan kawasan yang bebas untuk mencari kayu, se
-hingga mereka merasa perbuatan yang mereka lakukan bukan
merupakan tihdak kejahatan pencurian.
i
Dengan mellhat uraian penjelasan tentang
pengerti-an pencuripengerti-an berdasarkpengerti-an unsur-unsur tindak kejahatpengerti-an
pencurian tersebut di atas. Juga berdasarkan asas hukum
yang berlaku di negara kita, yakni apabila suatu
peratur-an telah diundperatur-angkperatur-an dalam lembarperatur-an negara* maka semua
warga dianggap telah mengetahuinya. Dengan demikian, apa
pun dalih yang ada di benak para pelaku pencurian kayu
tersebut. Sadar atau tidak sadar. Secara yuridis formal
mereka bersalah telah melanggar ketentuan yang telah di
-tetapkan dalam undang-undang.
2. U m y a Mencari Sebab Musabab Kejahatan
Sebab musabab suatu kejahatan akan terasa lebih
berarti untuk dijelaskan, apabila kita mengetahui terle
-bih dahulu hakekat kejahatan Itu sendiri.
Berbagai pandangan muncul dalam upaya menjelaskan
hakekat dari kejahatan. Berbagai pandangan tersebut lahir
landasan dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi da
lam masyarakat. Pandangan tentang hal ini antara lain,
seperti apa yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, sebagai
-mana disitir oleh Ny. Hernany H . S . ^ \ yang menyatakan
bahwa kejahatan merupakan gejala yang normal dalam setiap
masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan
sosial, oleh karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan
sampai habis.
Pandangan tersebut bahkan secara lebih tajam di
-ungkapkan oleh Korn & McCorkle, yang ditulis kembali oleh
17)
Sahetapy , bahwa kejahatan bukan hanya sekedar gejala
normal di dalam setiap masyarakat, melainkan suatu hal
yang tak dapat dielakkan sebagai tuntutan dari makin
kom-pleksnya keadaan masyarakat dan kebebasan individu.
Sahetapy, pada kesempatan yang sama^^ juga
mengu-tip pendapat Frank Tannenbaum yang mengatakan : '’Crime is
eternal as eternal as society'1. Dari pandangan ini ti
-dak mengherankan , jika Sahetapy sampai pada suatu
perta-nyaan : "Kalau demikian halnya, masih perlukah dicari dan
diterangkan sebab musababnya terjadi kejahatan?".
22
Ny. Hernany H.S., "Tinjauan Sosiologie Tentang Ma* salah Kejahatan di Negara Berkembang", dalam J.E. Saheta py (ed.), Ke.iahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisj. pllner. cetakan I, Sinar Wijaya, Surabaya, 1983* 79*
17J.E. Sahetapy, Kausa Ke.iahatan dan Beberam Anali-sa Kriminologik. Alumni, Bandung, 1981, h. 10.
Dari sisi lain dalam Sosiologi, kejahatan juga me
rupakan objek permasalahan yang senantiasa hadir dalam
pembahasan. Salah seorang. yang mengungkap masalah keja
hatan ini ialah Soerjono Soekanto”^ dan menulis :
Jiadi pada dasarnya, problema-problema sosial me-nyangkut nilai-nilai sosial dan moral ; problema-problema tersebut merupakan persoalan, oleh karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan de ngan hukum dan bersifat merusak oleh sebab itu pro -blema-problema sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan
bahwa kejahatan memang sebagai suatu hal yang mau tidak
mau harus terjadi. Pandangan yang menyatakan bahwa keja
hatan tidak mungkin diberantas sampai habls, menurut he
-mat saya juga dapat diterima. Yang menjadi masalah,
seka-rang, bagaimana upaya kita untuk menanggulangi dan mene. —
kan angka kriminalitasnya hingga sekecil mungkin. Sebab
bagaimanapun juga setiap bentuk kejahatan selalu
menim-bulkan keresahan, mengganggu ketentraman serta membawa
kerugian bagi masyarakat yang bersangkutan^^.
Sebagaimana halnya dalam menanggulangi
masalahmasalah lain pada umumnya, kita akan selalu terlebih da
-19 .
^Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. ce -takan ketujuh, CV Eajawali, Jakarta, 1986, h. 341.
2 0
Bonger, dalam hal ini menyebut setidak-tidaknya ada dua jenis kerugian yang diderita masyarakat, yaitu kerugian yang bersifat ekonomis dan kesusilaan.
24
hulu mencari sumber timbulnya masalah, sebab musabab
ser-ta laser-tar belakang masalahnya. Upaya semacam Ini dalam
Kriminologi dikenal sebagai bagian yang disebut etiologi
kriminil•
Begitu pentingnya sebab musabab dalam menelaah
kriminalitas, sehingga para ahli kriminologi kontinental
meletakkan etiologi kriminil sebagai bidang yang paling
ditekankan dalam Kriminologi.
Dalam mengupas masalah ini Sahetapy mengungkapkan
hal sebagai berikut2^ :
Menurut hemat saya, masalah kausa tetap merupakan masalah pokok dan yang sangat mendasar serta terus membara dalam kriminologi. Hal ini tampak dalam tu-lisan saya bertalian dengan "Modernisasi dan Kriminalitas” . Di situ saya menulis, antara lain, demiki -an : para filsuf, alim ulama, d-an ilmuw-an dari pelba-gai disiplin sejak dulu hingga masa kini selalu mena-ruh minat kriminalitas. Minat mereka itu tentu berkisar pertamatama pada mengapa dan bagaimana terjadi -nya kejahatan. Dalam yargon kriminologi disebut etio-logi kriminil atau sebab musabab kejahatan. Selanjutnya mereka menaruh perhatian pula pada persoalan me -ngapa kejahatan sukar dicegah (prevensi kriminil) dan bagaimana kejahatan dapat ditanggulangi dengan baik dan jitu (politik dan represi kriminil), sehingga manusia atau masyarakat dapat hidup dengan tentram dan damai.
Dalam sejarah Kriminologi22^, mulai dari zaman
ku-no orang sudah berpikir tentang sebab musabab kejahatan.
Dalam hal ini, Plato berpendapat bahwa emas dan manusia
merupakan sumber dari banyak kejahatan. Juga Aristoteles
2^J.E. Sahetapy, op.cit.. h. 2.
dalam tulisannya menyebut adanya hubungan antara kejahat
an dan masyarakat.
Pada abad pertengahan, Thomas van Aquino juga
mem-berikan beberapa pendapat tentang pengaruh kemisklnan
atas kejahatan. Sedang Thomas More, pada permulaan seja
-rah baru (abad ke-16), berpendapat bahwa kejahatan tidak
dapat diberantas hanya dengan kekerasan dan hukuman berat,
melainkan harus dicari sebab musababnya serta menghapus
-kannya. Lebih lanjut Bonger menulis, mulai abad ke-18,
kemudian pada zaman revolusi Perancis hingga 30 tahun
abad ke-19» para sarjana senantiasa berusaha mencari dan
menjelaskan sebab musabab timbulnya kejahatan, baik sebab
musabab sosial (bersifat kemasyarakatan), sebab musabab
antropologi maupun yang bersifat psykiatri.
Menarik untuk dikemukakan kembali pendapat bebera
pa pemikir besar, mulai dari Voltaire, Rousseau, Beccaria
sampai pada D'Holbach, yang pada dasarnya berpendapat
bahwa kejahatan terhadap harta benda, terutama pencurian,
disebabkan karena kemiskinan, kesengsaraan dan putus asa.
Dari berbagai pandangan tersebut, berkembang hing
ga munculnya teori yang menghebohkan dari Lombroso :
"born criminal theory" (teori tentang penjahat sejak la
hir) dan "type penjahat". Teori ini lahir dalam satu ma
-shab yang dikenal dengan nama ma-shab Italia atau ma-shab
Antropologi. Teori ini pada dasarnya berusaha menjelaskan
(antropolo-gi kriminil), yang pada mulanya dipelopori oleh dua orang tl
ahli phrenologi Gall dan Spurzheim.
Pemikiran Lombroso ini, meskipun diakui sebagai
cikal bakal Kriminologi modern, namun mendapatkan banyak
kritik dari para sarjana. Salah satu contoh adalah
6e-rangan dari Bonger2^ terhadap hypothese atavisme yang
dikemukakannya :
Hypothese ini tidak benar, biarpun disusun secara cerdik. Pertama seperti yang sudah kita ketahui, jika dipandang dari sudut sosiologi-ethnologis pokok pang-kalnya tak dapat dipertahankan, dan oleh karenanya hypothese seluruhnya tidak berlaku. Kedua ia mendapat serangan dari segi anthropologi kedokteran dan dibuk-tikan bahwa fakta-fakta tersebut - belum terhitung kesalahan-kesalahan dan kekurang-telitian yang biasa-nya menandai penyelidikan Lombroso - berdasarkan
interpretasi yang salah.
Kritik lain yang oleh Bonger dikatakan sebagai
kritik yang penghabisan dan paling mendalam terhadap
ajaran antropologis, ialah apa yang disampaikan oleh Ch.
Goring dan berkesimpulan : ".... - our inevitable conclu
sion must be that there is no such thing as a physical
type"2^ .
Melalui Ferry, ajaran Lombroso pun akhirnya
menga-kui faktor lingkungan mempunyai korelasi terhadap
timbul-nya kejahatan.
Berikutnya lahir mashab Lingkungan atau mashab 26
23Ibid., h. 83
Perancis, yang berusaha menjelaskan sebab musabab keja
hatan dari segi kemasyarakatan.
Berkaitan dengan hal ini, Bonger mengupas bebera
-pa unsur sebagai hasil soeiologi kriminil, yang menjadi
penyebab atau mempunyai hubungan dengan terjadinya suatu
kejahatan. Unsurunsur tersebut antara lain : terlantar
nya anakanak, kesengsaraan, nafsu ingin memiliki, demo
-ralisasi seksual, alkoholisme, kurangnya peradaban dan
perang.
Di Indonesia sendiri, sulit untuk ditentukan fak
tor-faktor penyebab suatu kejahatan secara umura. Bentuk
kejahatan yang satu mempunyai latar belakang yang berbeda
dari bentuk kejahatan yang lain. Bahkan ini bisa terjadi
antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, walaupun
bentuk kejahatannya sama. Untuk menjavab hal ini perlu
adanya penelitian yang lebih seksama.
Menurut hemat saya, kejahatan adalah suatu gejala
sosial yang lahir dalam dimensi tertentu dan bertentangan
dengan normanorma yang hidup dalam masyarakat yang ber
-sangkutan. Untuk memahami hakekat kejahatan tidak mungkin
tercapai suatu kesepakatan. Tergantung dari sisi mana ki
ta meoandangnya•
Kejahatan, sebagai suatu gejala sosial, tidak la
-hir dengan sendirinya. Tentu ada faktor-faktor yang
mela-tarbelakangi timbulnya kejahatan tersebut. Maka, untuk
faktor-. 28
faktor apa yang mendorong timbulnya kejahatan itu,
3. Data Lapangan
Mengingat pokok permasalahan yang ingin saya
ung-kap pertama kali adalah mengenai sebab musabab atau latar
belakang timbulnya pencurian kayu hutan, raaka saya meng
ambil data utama tentang hal ini di Rumah Tahanan Negara
Tuban, yaitu dengan mewawancarai para narapidana dan ta
-hanan yang sedang dan akan menjalani masa pemasyarakatan.
Sedangkan data lain, misalnya tentang jumlah perkara dan
sebagainya, saya peroleh dari Kepolisian Resort Tuban.
Tentang nilai kerugian dan langkah-langkah penanggulangan
saya peroleh dari Perum Perhutani. Juga data tambahan la
in yang saya dapatkan dari Pengadilan Negeri Tuban,
Dari Runah Tahanan Negara Tuban, saya memperoleh
sampel responden sebanyak 29 orang. Dari ke-29 sampel ini
tiga buah sampel tidak saya pergunakan, karena perkaranya
bukan termasuk pencurian, melainkan penadahan. Satu sam
-pel lagi tidak saya pergunakan karena tidak jelas
masa-lahnya. Dengan demikian saya tetapkan sampel sebanyak 25
responden.
Di antara ke25 sampel tersebut, ada seorang res
-ponden, yaitu Asan, sesungguhnya bukan kasus pencurian
kayu, melainkan dapat dikategorikan tindakan penadahan.
Namun dengan satu pertiobangan khusus, yakni kasus ini
29
saya masukkan ke dalam daftar ke-25 sampel tersebut.
Dari data tersebut tampak bahwa komposisi respon
den tidak semuanya narapidana, namun sebagian berstatus
tahanan. Ini dikarenakan para pelaku pencurian kayu jati
mendapat hukuman yang ringan, kecuali mereka yang melaku
kan pencurian dalam jumlah yang besar atau sering melaku
kan perbuatan tersebut. Mereka biasanya diputus dengan
masa pemidanaan sedikit lebih lama dari masa tahanan yang
telah dijalaninya, sehingga dalam waktu yang tidak lama
mereka sudah harus dibebaskan karena masa hukumannya t e
lah habis.
Dengan melihat hasil wawancara dalam data umum,
ada hal-hal yang secara keseluruhan (100
%)
sama di antara para pelaku kejahatan ini, yaitu semua pelaku adalah
lakilaki. Hal ini wajar, karena sifat perbuatan dan sa
-saran kejahatan hanya dapat terwujud jika didukung dengan
phisik manusia yang kuat.
Para pelaku semuanya beragama Islam. Ini tidak
mengherankan, sebab mayoritas masyarakat setempat,
seper-ti juga mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam.
Bagi mereka yang kurang menghayati ajaran agama yang
be-nar, kurang bisa mengamalkannya dalam kehidupan
bermasya-rakat, kans (kemungkinan) untuk melakukan kejahatan akan
lebih besar lagi.
Tentang status perkawinan dan mata pencaharian me
reka. Sebagian besar dari mereka (92
%)
berstatus telah^ ' U N l V E R S i T A S A 1 R L A N C 1 G V
■ S U R A B A Y A
M I L ! K
kawin, dan selebihnya (8
%)
berstatus belum kawin. Menu-rut hemat saya, ini ada kaitannya dengan beban anggota
keluarga yang harus mereka tanggung. Pencurian kayu jati
ini, pada umumnya dilakukan oleh penduduk desa sekitar
hutan, yang sebagian besar memiliki mata pencaharian se
bagai petani. Data yang saya peroleh dari hasil wawanca
ra pun demikian. Dari ke-25 responden, 24 (96
%)
mengakusebagai petani dan hanya seorang (4
%)
berpekerjaan sebagai kenek colt. Walaupun di samping petani ada beberapa
yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai buruh maupun
tukang.
Namun perlu diketahui di sini, bahwa status mereka
sebagai petani, adalah bukan petani yang sungguh-sungguh*
Sebagian besar dari mereka sehari-hari melakukan pekerja
an sebagai pencari "kayu rencek" (kayu bakar) di hutan.
Beberapa orang yang saya sebut mempunyai pekerjaan sam
-bilan sebagai buruh, hanyalah kalau panen tiba2^ , seba
gai perontok padi atau buruh di "jubungan" (tempat
pemba-karan gamping). Tanah-tanah pertanian yang mereka miliki
jauh dari batas minimum pemilikan tanah pertanian yang
telah ditetapkan dan diharapkan Pemerintah (Undang-undang
No.
%
PPP Tahun i960), yaitu 2 ha (tabel V).Satu hal yang sulit untuk dikelompokkan adalah
me-nyangkut umur para pelaku kejahatan ini, yaitu tersebar
antara yang termuda 19 tahun dan yang tertua 39 tahun.
Namun ada kecenderungan pencurian kayu jati ini dilakukan
oleh mereka yang berumur antara 25 - 30 tahun.
Tingkat pendidikan yang rendah merupakan hal yang
umum raelekat pada setiap kasus pencurian, termasuk pencu
rian kayu jati ini. Dari ke-25 responden pelaku pencurian
kayu jati yang saya wawancarai, hanya 2 orang (8
%)
yangberhasil menamatkan Sekolah Dasar (SD)f 13 orang (52 %)
tidak pernah sekolah dan 10 orang (40 %) drop out (DO)
pada kelas yang berbeda-beda, baik di bangku SD maupun
Madrasah.
Pada tabel II, data menunjukkan bahwa pasal perka
ra yang dituduhkan kepada masing-masing pelaku, apabila
dikenakan pasal 362 KUHP berarti pencurian kayu itu dila
kukan sendiri dan biasanya jumlah kayu yang dicuri tidak
lebih dari satu batang. Hal ini tidak berarti jika yang
terjadi adalah sebaliknya. Artinya ada kemungkinan pencu
rian kayu jati yang volumenya cukup besar, walau hanya
sebatang, dilakukan oleh lebih dari seorang. Atau, ada
pula seseorang yang dituduh telah melanggar pasal 362
KUHP, namun tercatat melakukan pencurian kayu lebih dari
satu batang (dalam tabel : Tasman melakukan pencurian se
banyak 14 batang). Hal itu dilakukan satu dend satu dan
Gambaran perbandingan mereka yang melanggar pasal
362 KUHP dan pasal 363 KUHP, misalnya tentang jumlah kayu
yang dicuri, lama pidananya dan sebagainya dapat dilihat
dalam tabel II dan seterusnya.
Menurut pengakuan, baik yang berstatus narapidana
maupun tahanan, tak satu pun yang pernah dipidana. Namun
berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Kepolisian
Resort Tuban, ada seorang narapidana yang sudah sering
terlibat dalam pencurian kayu jati ini. Dengan demikian
96
%
responden tidak pernah dipidana dank %
pernah dipidana*
Dari tabel II tertulis seorang tahanan (Asan)
"se-sungguhnya" bukan> kasus pencurian kayu. Berdasarkan haisil
wawancara, pada dasarnya yang bersangkutan membeli seba
-tang kayu jati kepada seorang mandor perhutani seharga
20.000,00. Pada suatu hari di bulan berikutnya terkena
operasi dan mengharuskan Asan berurusan dengan pihak yang
berwajib.
Dalam tabel III, secara sederhana saya kemukakan
data tentang tingkat pendapatan, yang saya silangkan de
ngan data tentang jumlah tanggungan keluarga. Saya ber
pendapat bahwa kedua hal tersebut mempunyai hubungan yang
erat. Dalam tabel ini tingkat pendapatan saya bagi dalam
tiga kelompok, yaitu antara mereka yang tidak
berpengha-silan sampai yang berpenghaberpengha-silan Rp 500,00., lebih dari
Persentase
h
%
16%
0%
12%
16 % 28 % 16%
8%
16 % TABEL IVlebih dari 1.000,00. Walaupun dalam hal ini sulit untuk
memastikan adanya seseorang yang sama sekali tidak
ber-penghasilan atau berber-penghasilan tidak menentu, namun ada
beberapa di antara responden yang berpenghidupan hanya
dari hasil panen jagung 1 kwintal (kalau dijual 100,00
per kg) dan ketela pohon 2 - 3 kwintal (kalau dijual
4*000,00 per kwintal) dalam masa tanam rata-rata 3 bulan.
Dengan demikian, bila dihitung secara kasar, pendapatan
rata-rata per hari tidak lebih dari 200,00 - 300,00.
Pada sisi lain, ada juga tiga orang yang berpenghasilan
fy 2.000,00 - 3*000,00 per hari, dari hasil perhitungan
panen padi. Tetapi ini merupakan hasil kotor dan belum
dikurangi biaya pembelian benih, pupuk, upah buruh dan
sebagainya.
Berbicara tentang pendapatan seseorang, bila
dihu-bungkan dengan cukup tidaknya bagi penghidupan seseorang,
rasanya kita seperti berbicara sesuatu hal yang relatif.
Namun dengan penghasilan yang begitu kecil, dengan jumlah
tanggungan keluarga 2 sampai 3 orang merupakan masalah
yang memprihatinkan.
Tabel IV merupakan gambaran harta milik para res
ponden. Dari data ini saya harapkan dapat pula memberikan
gambaran tentang kondisi sosial-ekonomi mereka.
Dari ke-25 responden hanya seorang (4
%)
yang mempunyai sepeda motor, 4 orang (16
%)
yang memiliki sepeda,TABEL V MODUS OPERANDI
MODUS OPERANDI Frekuensi Persentase
Cara melakukan
- sendiri 6 24
%
- bersama orang lain 19 76
%
Alat yang digunakan
- gergaji 0 0
%
- perkul (kapak) 13 52
%
- perkul dan gergaji 6 24
%
- Iain-lain 6 24
%
Waktu melakukan jpencurian
- pagi 9 36
%
- slang 4 16
%
- sore 5 20
%
- malam 7 28
%
Cara mengangkut
- dipikul/dipanggul 10 40
%
- dipikul dan dengan truk
- lain-lain
6 24
%
9 36 #
yang mempunyai radio transistor, 4 orang (16
%)
yang mempunyai sawah, 7 orang (28
%)
yang mempunyai *tegal', 6orang (24
%)
mempunyai ternak kambing/sapi dan 4 orang(16
%)
yang mempunyai ternak ayam.Dari data hak milik responden tampak bahwa para
pelaku pencurian berada dalam garis kemiskinan. Melihat
bahwa dalam tabel I mereka mempunyai mata pencaharian
sebagai petani, tetapi justru yang memiliki sawah hanya
16
%
dan yang memiliki tegalan 28%•
Ini pun dalam ukuranyang sangat minim. Hasil dari sawah ataupun tegalan seba
gai petani tidaklah dapat mencukupi kebutuhan hidup yang
layak sebagai petani.
Tabel V tersebut di atas menunjukkan hal-hal yang
berhubungan dengan modus operand!, antara lain meliputi
cara mereka melakukan (sendiri atau bersama orang lain),
alat yang digunakan, waktu pencurian dilakukan (pagi,
si-ang atau malara) dan cara mengsi-angkutnya.
Di muka telah saya terangkan, apabila kayu jati
yang dicuri lebih dari satu batang atau satu batang namun
volumenya besar, biasanya mereka melakukan secara bersa
-ma-sama. Dari hasil wawancara saya dengan narapidana dan
tahanan di Rumah Tahanan Negara Tuban, tercatat paling
banyak dilakukan oleh 9 orang. Namun dari berkas yang sa
ya teliti di Pengadilan Negeri Tuban dan informasi dari
Perum Perhutani, hal ini pernah dilakukan oleh 25 - 30
Alat yang mereka pergunakan dalam melakukan pencu
rian kayu ini pada umumnya adalah nperkul" (sejenis ka~
pak). Alat ini digunakan untuk menebang sekaligus 'mema
-cak* (membentuk kayu gelondong menjadi persegi). Jika
pencurian itu dalam jumlah besar, mereka mempergunakan
gergaji. Kadang dipergunakan juga alat sejenis kapak yang
ukurannya kecil, yang disebut 'caluk1 atau 'menthik**
Tentang waktu melakukan pencurian, pagi, siang
atau oalam tidak ada kecenderungan. Sebab menurut penga
-matan saya pribadi, pada siang hari pun hutan dan
seki-tarnya dalam keadaan sepi, Dengan demikian, kesempatan
untuk melakukan pencurian kayu pada siang hari pun tetap
terbuka.
Cara mengangkut kayu hasil curian tersebut, kalau
jumlahnya kecil dan tujuannya dekat, diangkut dengan cara
"memanggul". Tetapi kalau kayu itu dalam jumlah dan volu
me yang besar dan akan dibawa ke luar daerah, biasanya di
angkut dengan truk. Di samping itu sebagai alat bantu un
tuk mengangkut kayu dari tengah hutan ke tepi hutan sering
digunakan bambu dan tali untuk memikul. Ada juga informasi
lain dari Perum Perhutani, pada hutan-hutan yang
berbatasan dengberbatasan alirberbatasan sungai (misalnya KPH Padberbatasangberbatasan, KPH Bojo
-negoro dan KPH Ngawi), kayu hasil curian tersebut diangkut
dengan cara menghanyutkan ke dalam sungai, sekaligus su
dah ada yang mengawalnya.
s a y a tambahkan beberapa catatan data yang saya peroleh
dari Perum Perhutani dan Kepolisian Resort Tuban.
Dari KPH Jatirogo, angka kerugian akibat pencurian
kayu ini dalam lima tahun terakhir (tahun 1981 - tahun
1985
)t
setelah dirata-rata setiap tahun mencapai sekitarfy 254.800.000,00. Di KPH Tuban angka ini mencapai fy 60.
606.000,00. Sedangkan di KPH Parengan ft 90.240.000,00.
Sementara dari Kepolisian Resort Tuban, saya
pero-leh penjelasan tentang jumlah perkara pencurian kayu jati
yang masuk pada tahun 1986. Sampai pada bulan Oktober
1986 tercatat ada 92 perkara. 89 di antaranya telah dia
-jukan ke persidangan. Sedangkan tunggakan perkara dari
tahun-tahun yang lalu sebanyak 57 perkara.
Hal lain yang penting untuk dikemukakan di sini,
masih sekitar pelaku kejahatan pencurian kayu jati, ada
-lah hasil Operasi Reksawana yang diadakan oleh Laksusda
dan Operasi Wana Laga yang diadakan oleh Polri. Keduanya
diadakan pada tahun 1983 dan 1984. Tentunya dalam pelak
-sanaannya mengikutsertakan beberapa instansi yang terkait.
Dari hasil rekapitulasi yang dibuat oleh Perum
Perhutani, menarik untuk dikemukakan yakni tentang iden
-titas "tersangka" pelaku pencurian kayu ini. Di KPH Tuban
dari 20 tersangka, 2 di antaranya menyandang jabatan se
bagai kepala desa, seorang carik dan 2 orang guru. Sele
-bihnya pengusaha dan rakyat biasa.
tersangka setidak-tidaknya raelibatkan 4 orang kepala
de-sa, 2 orang polisi hutan, 2 orang mandor perhutani,
seo-rang karyawan BRI dan seoseo-rang karyawan DPU.
Ada yang janggal dari data hasil Operasi
Reksawa-na di KPH Jatirogo ini. Sejumlah Reksawa-nama dalam daftar t e r
sangka tiba-tiba "menghilang" dalam proses. Artinya,
se-telah saya teliti kembali, nama-nama tersebut tidak saya
jumpai lagi, baik dalam daftar tersangka yang sudah
divo-nis maupun yang belum diproses.
Data tentang identitas tersangka ini tidak ada da
lam rekapitulasi Operasi Wana Laga, baik di KPH Tuban ma
upun di KPH Jatirogo.
Belum saya temui data yang pasti untuk hal terse
-but di atas di KPH Parengan. Namun berdasarkan informasi
yang saya peroleh dari Kepolisian Resort Tuban, ada oknum
ABRI yang terlibat dalam kasus pencurian kayu jati di wi
layah KPH Parengan dan telah disidangkan secara
koneksi-tas2^ •
4. Latar Belakang Pencurian Kayu Butan di Wilayah
Kabupaten Tuban
Dari hasil wawancara saya dengan narapidana dan
tahanan di Rumah Tahanan Negara Tuban, tampak bahwa
tun-tutan kebutuhan hidup merupakan hal yang menonjol sebagai
26
Wawancara dengan Kasatserse Kepolisian Resort Tu -ban, tanggal 31 Oktober 1986.
latar belakang timbulnya pencurian kayu hutan ini.
TABEL VI
SEBAB MUSABAB PENCURIAN KAYU JATI
Sebab musabab Jumlah Persentase
Membutuhkan:kayu untuk
memperbaiki rumah 9 36
%
Dibujuk dengan/janji
diberi imbalan uang 6 24
%
Membutuhkan uang 7 28
%
Membutuhkan kayu untuk
membuat perlengkapan rumah
tangga 2 8
%
Diajak teman 1 4
%
J u m l a h 25 100
%
Dari tabel VI dapat dilihat sebab musabab yang
se-cara langsung mendorong dilakukannya pencurian kayu jati
ini, diukur dalam persentase, berturut-turut sebagai
ber-ikut : kebutuhan mereka akan kayu untuk memperbaiki rumah,
misalnya untuk mengganti tiang rumah yang telah rapuh,
pilar dinding rumah yang rusak dan sebagainya (36 %). Me
reka membutuhkan uang untuk berbagai kebutuhan hidup
(28 %). Dibujuk dengan diberi maupun dengan janji akan
mem-buat perlengkapan rumah tangga, misalnya tempat tidur,
kursi dan lain-lain untuk dipakai sendiri (8
%).
Sebabyang terakhir diajak teman
(k
%).Menurut pendapat saya, semua hal di atas merupakan
sebab musabab yang mendorong para pelaku pencurian kayu
tersebut melakukan kejahatan. Sebab musabab tersebut se
kaligus merupakan Indikasi tentang buruknya kondisi
sosi-al-ekonomi mereka.
Kalau kita rangkum sebab musabab tersebut tidak
lebih sebagai pergulatan untuk memenuhi kebutuhan pokok
phisik manusia, yaitu pangan, papan dan sandang.
Indikasi lain sebagai latar belakang di balik se
-bab musa-bab di atas adalah rendahnya tingkat pendapatan
mereka. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan jutalah
tanggungan keluarga dan terbatasnya lapangan pekerjaan
di desa tempat mereka tlnggal. Untuk hal yang terakhir
saya sebut ini lebih dikuatkan lagi dengan penjelasan
yang saya peroleh dari salah seorang warga desa "Dingil",
yang mengatakan bahwa ladang atau tanah tegalan yang me
-reka miliki kebanyakan diolah oleh me-reka yang tua-tua.
Sedangkan para pemudanya sebagian besar pergi merantau,
ke Surabaya atau ke Jakarta.
Juga tingkat pendidikan mereka yang rendah. Seba
-gian besar dari mereka berpendidikan di bawah SD, baik
yang sama sekali tidak pernah sekolah maupun yang putus