• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Ber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manajemen Pemberitaan Televisi dalam Ber"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Manajemen Pemberitaan Televisi dalam

Berita Terorisme

Fajar Junaedi

dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail fajarjun@gmail.com, twitter @fajarjun

Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Nasional Mengurai Dinamika Komunikasi dan

Peran Media di Tengah Pluralitas Politik dan Agama yang akan diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2011 di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Abstract

Terorisme tidak hanya bisa diartikan sebagai rangkaian tindak kekerasan yang diarahkan untuk kehancuran pihak lain, namun lebih dari sekedar itu. Terorisme adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki akses terbatas pada media massa dan publik. Keterbatasan akses inilah yang menyebabkan para pelaku terror memilih teror sebagai media untuk mengartikulasikan suaranya. Kasus terorisme yang terjadi di Indonesia di berbagai lokasi, sebagaimana yang terjadi pada Gereja Injil Bethel Sepenuh (GBIS) Solo, juga bisa dirujuk sebagai bagian dari komunikasi politik yang dilakukan oleh kelompok teroris yang semakin tersudut pasca operasi pihak keamanan secara massif. Dalam konteks media massa, terutama televisi, ada fenomena menarik mengenai terorisme di Indonesia. Penyergapan teroris yang dilakukan oleh pihak keamanan diekspos secara massif oleh stasiun televisi, bahkan dengan siaran langsung (live). Di sisi yang lain pemberitaan televisi semakin mengarah pada proses menjadikan berita sebagai entertainment, sebagaimana fenomena infotainment. Sebagai media yang menjangkau khalayak paling besar, pemberitaan terorisme di stasiun televisi di Indonesia perlu dikaji agar televisi tidak menjadi kepanjangan tangan teroris dalam mengartikulasikan suaranya. Paper ini akan mengangkat bagaimana seharusnya manajemen pemberitaan televisi dalam berita terorisme.

(2)

Pendahuluan : Televisi dan Terorisme

Terorisme menjadi kata yang akrab dengan publik di Indonesia terutama pasca 1998. Mencuatnya sentimen kelompok berbasis agama, suku dan daerah dengan diiringi upaya dengan jalan kekerasan menjadikan terorisme semakin mencuat. Pemberitaan media massa yang secara massif memberitakan tentang aksi kekerasan yang berhubungan dengan terorisme semakin meneguhkan terorisme sebagai perbincangan publik.

Terorisme menjadi kian akrab dengan publik di Indonesia terutama setelah aksi bom bunuh diri di Bali awal dekade 2000 dan kemudian di ranah internasional berlanjut dengan serangkaian serangan teror yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah yang berafiliasi kepada Al Qaidah, sebuah kelompok Islam radikal yang dibangun oleh Usamah Bin Ladin. Al Qaidah sendiri menjadi kelompok teroris paling diburu dunia internasional terutama setelah serangan menara kembar gedung WTC pada 11 September 2001. Serangan bunuh diri mematikan ini memantik sikap keras Amerika Serikat dan dunia internasional terhadap Al Qaida.

(3)

Sebagai bentuk komunikasi politik, terorisme hanya dapat memiliki nilai signifikansi sebagai tindakan komunikasi jika tindakan terorisme tersebut ditransmisikan melalui media massa kepada khalayak luas (McNair,1999:173). Tanpa ada reportase dari media massa atas aksi terorisme, maka terorisme tidak memiliki makna sosial

Selain makna sosial, tindakan terorisme dilakukan untuk mendapatkan publisitas yang bertujuan mendapatkan tujuan berupa efek psikologis, yaitu demoralisasi terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh, mempertunjukan kekuatan gerakan mereka, mendapatkan simpati publik dan menciptakan kekacauan serta ketakutan. Untuk mencapai hal ini, teroris harus mempublikasikan aksi yang mereka lakukan (McNair,1999:173).

Televisi menjadi bagian utama dari kelompok teroris dalam mendapatkan publisitas. Berbeda dengan media cetak, media televisi memiliki jangkauan yang lebih luas. Dalam berita televisi, terorisme memiliki nilai berita dan ini dapat digunakan sebagai cara untuk melahirkan daya tarik media dan kemudian menimbulkan perhatian publik. Perhatian publik inilah yang bisa dirujuk sebagai perilaku politik (McNair,1999:174). Dalam hal ini, publisitas yang diharapkan oleh kelompok teroris bahkan bisa lebih dari tujuan politik tertentu, namun bisa lebih problematik.

Berita dari aksi terorisme bisa jadi justru memberi keuntungan bagi kelompok teroris yang melakukan tindakan teror dan serempak akan menciptakan rasa takut di masyarakat. Dalam hal ini, televisi akan menjadi pembatas yang menghalangi kebenaran.

(4)

praktek operasi ideologi, yang menghadirkan pandangan selektif atas politik, ekonomi dan masyarakat (Burton,2000:119).

Kelompok teroris dalam kaitan dengan manajemen media ini tidak bisa dianggap sebagai pihak yang abai terhadap pentingnya pemberitaan televisi. Kelompok teroris menyadari bagaimana media televisi dijalankan dalam praktek manajemen media. Kelompok teroris, seperti halnya aktor politik yang lain, telah mengembangkan sistem manajemen media, dan secara bertahap bahkan telah mencapai teknik-teknik utama yang dijalankan oleh profesional public relations (McNair,1999:174-175).

Untuk membuktikan kemampuan kelompok teroris dalam berinteraksi dengan media massa ini kita dapat merujuk pada pernyataan pers yang dibuat oleh kelompok teroris, konferensi pers dan penyebaran video yang berisi pernyataan mereka terhadap aksi terorisme.

Kelompok IRA di Irlandia bisa dirujuk sebagai salah satu kelompok teroris yang terorganisir secara baik dalam berhubungan dengan media massa. Kelompok ini melakukan manajemen media secara rapi dan terorganisir untuk menyuarakan suara mereka dalam melawan pemerintahan Inggris. Di Timur Tengah, PLO dan organisasi perlawanan Palestina lainnya di tahun 1970-an sampai dengan 1980-an juga melakukan tindakan serupa dengan IRA. Serangan teror yang mereka lancarkan terhadap pihak yang mereka anggap sebagai penindas, selalu disebarluaskan melalui media massa.

(5)

rasional dari kelompok teroris yang semakin tersudut oleh operasi aparat keamanan. Serangan bom bunuh diri terhadap GPIS di Solo bisa menjadi salah satu contoh upaya serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris. Selain tempat ibadah, aset-aset yang berhubungan dengan aparat keamanan menjadi sasaran lain dari kelompok teroris. Serangan bom bunuh diri di Masjid Adz Dzikra yang berada di kompleks Kepolisian Resort Cirebon bisa menjadi contoh bagaimana kelompok teroris berusaha menunjukan kekuatannya pada aparat keamanan bahwa mereka masih eksis.

Singkatnya, aksi terorisme di Indonesia juga tidak lepas dari pertimbangan nilai berita. Publisitas dari aksi terorisme di media massa, terutama televisi adalah tujuan dari kelompok teroris. Tempat dari aksi terorisme menjadi faktor yang berusaha diangkat sebagai nilai berita, selain faktor lain. Dalam pemberitaan, faktor utama yang mempengaruhi pemberitaan yang berkaitan dengan kejadian tertentu adalah orang, tempat dan waktu. Yang umumnya adalah kombinasi dari ketiga hal ini (McQuail,2002:279).

Selain berupaya untuk mendapatkan akses pemberitaan televisi selain dengan aksi terorisme yang memiliki nilai berita, kelompok teroris bahkan berusaha mempengaruhi proses produksi berita televisi dengan menjadi bagian dari proses produksi berita. Ini bisa dilihat dari usaha Pepi Fernando yang berusaha berkolaborasi dengan seorang juru kamera GlobalTV dengan memberikan informasi mengenai akan adanya serangan teror di Cirebon awal tahun 2011.

(6)

Pemberitaan di televisi telah menjadi trend utama dalam berbagai jenis pemberitaan. Jika di masa lalu, stasiun televisi menjadi berita sebagai salah satu program dalam strategi programming yang mereka lakukan, maka dewasa ini berbagai stasiun televisi di berbagai belahan dunia menjadikan berita sebagai tayangan utama selama 24 jam. Beberapa stasiun televisi bahkan mengklaim bahwa mereka adalah stasiun televisi berita, sebagaimana MetroTV dan TvOne di Indonesia.

Perkembangan stasiun televisi berita tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan sebuah stasiun televisi yang berasal dari Atalanta, Amerika Serikat, Cable News Network (CNN). Stasiun televisi ini bisa disebut sebagai pelopor dalam perkembangan stasiun televisi berita yang bersiaran selama 24 jam selama 7 hari sehingga sering disebut sebagai stasiun televisi berita 24/7.

Kesuksesan CNN dalam mengembangkan pemberitaannya yang kemudian banyak diadopsi dengan beragam bentuknya di berbagai belahan dunia dikenal sebagai CNNisasi (CNNization), sebuah paradigma pemberitaan yang melintasi berbagai belahan dunia (Bennet dan Vlkmer dalam Thussu,2005:117).

Stasiun televisi berita internasional dari Amerika Serikat ini dikembangkan dari komitmennya untuk selalu menghadirkan berita pertama kali. Komitmen untuk menghadirkan berita yang pertama kali sebelum stasiun televisi lain ini kemudian diwujudkan dengan menjadikan breaking news sebagai berita yang membedakan CNN dengan stasiun televisi yang lain (Shermakle,2005:86). Komitmen inilah yang kemudian banyak diikuti oleh stasiun televisi berita lainya dengan mengadopsi komitmen untuk menghadirkan berita secara cepat, terutama dengan laporan langsung dari lokasi peristiwa. Reportase langsung (live) menjadi ikon terdepan bagi stasiun televisi berita untuk meraih rating.

(7)

Perebutan untuk melakukan reportase secara langsung ini bisa dimaknai sebagai komitmen untuk menjadi yang pertama dalam melakukan reportase.

Dalam konteks Indonesia, laporan langsung yang berkaitan dengan terorisme bisa dipetakan ke dalam beberapa model reportase. Pertama, laporan langsung yang berisi berita tentang keadaan di lokasi yang menjadi target serangan teroris. Dalam reportase seperti ini, reporter stasiun televisi umumnya melaporkan tentang keadaan di lokasi target serangan teroris. Polisi umumnya telah datang datang lebih awal dan membuat garis polisi, sehingga reporter tidak bisa melaporkan dari dekat. Kondisi di lokasi yang masih berantakan akibat serangan teroris menjadi latar belakang (back ground) dari reporter yang live.

Kedua, reporter stasiun televisi melakukan reportase langsung saat peristiwa terjadi. Ini umumnya terjadi ketika aparat kepolisian melakukan penggrebekan dan penyerangan terhadap sasaran yang diduga teroris. Bisa ditebak, stasiun televisi sebelumnya telah dihubungi oleh pihak keamanan sehingga dapat hadir pada saat kejadian. Dalam reportase ini umumnya reporter akan memilih aksi kekerasan yang terjadi antara aparat keamanan dan kelompok teroris sebagai latar saat melakukan reportase. Model reportase kedua ini sepertinya khas Indonesia. Kita bisa membandingkan dengan penyergapan yang dilakukan militer Amerika Serikat terhadap rumah persembunyian Osama Bin Laden. Militer Amerika Serikat memilih untuk tidak mempublikasikan aksi militer mereka sampai operasi benar-benar selesai. Bandingkan dengan polisi di Indonesia yang justru berusaha mengekspos pemberitaan yang massif atas aksi penyergapan yang mereka lakukan terhadap sasaran yang diduga teroris, seperti pada saat penyergapan di Temanggung dan Malang.

(8)

tinggi yang dilakukan secara langsung dari lokasi kejadian. Dalam prakteknya reportase langsung seperti ini membutuhkan persiapan matang. Secara teknis, peralatan yang dibutuhkan juga mahal. Video dan audio ditransmisikan ke seperangkat peralatan yang dinamakan Sattelite News Gathering (SNG). SNG ini berada pada sebuah truk sehingga SNG juga lazim disebut sebagai sat truck. Dari SNG inilah kemudian berita kemudian dikirim ke satelit menuju studio stasiun televisi untuk dipancarkan ke khalayak.

Peristiwa yang berhubungan terorisme memiliki nilai berita tinggi yang secara keekonomian layak disiarkan oleh stasiun televisi kepada khalayak, namun di sisi yang lain reportase langsung dari lokasi peristiwa yang berkaitan dengan terorisme memiliki resiko lebih tinggi daripada reportase lainnya. Beberapa resiko yang bisa muncul dari reportase langsung dari lokasi peristiwa adalah sebagai berikut.

Pertama, kejadian yang berkaitan dengan terorisme adalah kejadian yang tidak direncanakan. Dalam reportase langsung, kejadian yang direportase setidaknya bisa dibagi dua yaitu peristiwa yang terencana seperti pertandingan olahraga, konferensi pers dan sejenisnya serta peristiwa yang tidak terencana seperti serangan yang dilakukan kelompok teroris. Dalam peristiwa yang terencana, stasiun televisi memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan tim yang diturunkan ke lokasi peristiwa, sebaliknya dengan peristiwa yang tidak terencana, stasiun televisi tidak memiliki waktu yang panjang untuk mempersiapkan diri.

Kedua, dalam reportase langsung, kompetensi reporter saat tampil di depan kamera menjadi hal yang paling signifikan. Tidak adanya editing saat reportase langsung mengharuskan reporter memiliki kompetensi yang tinggi dengan menguasai materi reportase. Dalam reportase yang berkaitan dengan terorisme, reporter harus memiliki kemampuan pengetahuan tentang informasi yang berkaitan dengan terorisme.

(9)

bekerja sendiri. Reporter adalah bagian dari tim, dimana posisi tertinggi adalah produser yang memberi keputusan kemana liputan dilakukan, berapa lama liputan dilakukan dan dalam format apa berita disajikan. Pekerjaan ini disusun dalam running orders, yaitu sebuah daftar peristiwa yang diputuskan untuk diliput (Dash,2007:49).

Keempat, dalam pemberitaan live yang berkaitan dengan terorisme, kelompok teroris berusaha mencari celah untuk mendapatkan publisitas. Bagi kelompok teroris, salah satu format berita yang ideal untuk menyuarakan suara politiknya adalah wawancara langsung di stasiun televisi. Wawancara yang dilakukan secara langsung memperkecil kemungkinan editing sebagaimana jika wawancara dilakukan secara rekaman (tapping). Melalui wawancara inilah, kelompok teroris dengan mudah mendapatkan porsi pemberitaan yang besar, walau wawancara hanya dilakukan melalui jaringan telepon. Sebuah wawancara yang dilakukan CNN secara langsung dengan Osama Bin Ladin di tahun 1997 melalui telepon telah mendatangkan perhatian besar dari penonton televisi berita tersebut (Junaedi,2010:24).

Resiko dari berita seperti ini adalah tidak adanya proses gatekeeping. Istilah gatekeeping digunakan sebagai metafor untuk merujuk pada proses dimana seleksi dilakukan dalam kerja media, khususnya berkaitan dengan keputusan tentang layak atau tidaknya berita tertentu diberitakan kepada khalayak (McQuail,2002:277).

(10)

yang eksklusif sebagai nilai berita utama, akurasi dan kedalaman berita akan hilang (MacGregor dalam Thussu,2005:120).

Akurasi Berita dan Gejala Infotainment

Dalam reportase akurasi adalah hal yang penting. Sekali informasi yang tidak akurat disampaikan kepada khalayak maka reputasi stasiun televisi akan jatuh. Berkaitan dengan akurasi, hal lain yang harus diberi perhatian lebih adalah kejujuran (fairness). Dalam pemberitaan tentang terorisme, reporter di lapangan dihadapkan pada situasi yang sulit untuk mendapatkan berita yang mencukupi mengenai aksi terorisme. Kesulitan ini terutama akan dihadapi oleh reporter yang bekerja untuk stasiun televisi berita yang bersiaran selama 24 jam setiap hari, dimana reporter akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan nara sumber (Thussu, 2005:121).

Persoalan lain yang dalam reportase adalah atribusi dan identifikasi terhadap sumber berita. Identifikasi terhadap sumber dari fakta dan sudut pandang haruslah bersifat akurat dan memperhatikan etika. Kebanyakan fakta dari peristiwa yang diberitakan diberikan atribusi beripa nama dari orang yang terlibat dan kemudian juga jika diperlukan adalah perannya adalah peristiwa. Yang harus benar-benar diperhatikan adalah jangan sampai terjadi atribusi yang salah terhadap orang yang menjadi bagian dari peristiwa (Irby,2007:74).

(11)

Sebaliknya, di ruang redaksi, redaksi selalu menginginkan agar reporter membuat berita yng tepat waktu agar tidak ketinggalam dengan stasiun televisi yang lain. Redaksi juga menuntut agar reporter beserta tim liputan yang berada di lokasi peristiwa mampu menghasilkan reportase yang dilengkapi dengan gambar yang dramatis. Dalam dilema seperti ini, bias informasi menjadi semakin mungkin terjadi, padahal tugas reporter sebagai jurnalis adalah menyajikan informasi secara benar (Thussu,2005:120-121).

Penyajian informasi yang tidak akurat akan menyebabkan berita yang disajikan menjadi bias dan justru menyebabkan khalayak kehilangan simpati pada media. Namun harus juga disadari bahwa berita adalah genre dimana didalamnya terjadi pengulangan dan penguatan ide, yang memberi antisipasi dan harapan pada khalayak. Berita di televisi memperkuat ide dari berita yang diulang secara terus menerus. Berita di televisi dapat didefinisikan sebagai tentang elit individu atau elit masyarakat tertentu. Jika berita televisi menghadirkan tentang kelompok sosial lain di luar elit, berita televisi akan mengkonstruksi bagaimana kita memahami kelompok tersebut (Burton,2000:121). Dalam konteks ini, berita televisi tentang terorisme dan kelompok sosial yang terlibat dalam terorisme, akan memberikan konstruksinya tentang bagaimana publik seharusnya memahami tentang terorisme.

Dari sudut pandang ini, televisi memegang peranan penting dalam pemberitaan mengenai terorisme. Melalui berita di televisi, publik memaknai tentang terorisme. Sayangnya dalam lingkungan dunia penyiaran yang berorientasi pada konsumen ini terjadi persaingan ketat antarstasiun televisi untuk memperebutkan pangsa pasar penonton berita televisi. Persaingan ketat ini kemudian justru mengarahkan pemberitaan di stasiun

televisi ke dalam jurnalisme pemberitaan dalam corak infotainment . Kata infotainment

ini mulai populer pada akhir dekade 1980-an yang merujuk pada gabungan dari genre

(12)

televisi, pemberitaan bergaya infotainment ini digunakan untuk menarik penonton muda yang telah terpengaruh oleh estetika visual posmodern (Thussu,2005:122).

Dalam pemberitaan televisi, gejala infotainment ini bisa dilacak dari penggunaan visualisasi yang menarik, animasi komputer, pergantian gambar yang cepat dan headline

yang retorik (Thussu,2005:123). Dalam berita tentang terorisme, gejala infotainment dalam pemberitaan bisa dilihat dari bagaimana stasiun televisi memberitakan terorisme dengan headline yang retorik untuk menarik minat publik melihat berita yang disajikan. Ini terutama dalam berita-berita awal dari peristiwa teror dimana stasiun televisi memiliki gambar terbatas mengenai apa yang terjadi di lapangan sehingga untuk mensiasatinya dengan menggunakan headline berita yang retorik.

Dalam konteks inilah, berita menjadi tontonan atau lebih tepatnya pertunjukan (entertainment). Televisi lebih berada di ranah bisnis di mana para pebisnis memperebutkan pangsa pasar penonton dengan saling berusaha memberikan tayangan yang paling menarik (Thussu,2007:14).

(13)

terjadi di lapangan. Kita bisa melihat bagaimana persaingan stasiun televisi di Indonesia saat memberitakan aksi terorisme dalam format berita ini dari grafik dan animasi yang mereka buat untuk menggambarkan peristiwa terorisme yang terjadi sekaligus menarik minat penonton.

Penutup

Televisi dan terorisme adalah dua ranah yang memiliki relasi erat. Bagi stasiun televisi, berita tentang terorisme adalah berita yang layak dijual kepada khalayak. Sebaliknya, terorisme memerlukan televisi untuk mendapatkan publisitas atas aksi terorisme yang mereka lakukan. Tanpa ada publisitas, terorisme hanya berhenti pada tindakan kekerasan, bukan sebuah tindakan politik.

Dari relasi inilah stasiun televisi seharusnya mampu memberikan informasi yang

berpihak kepada kepentingan publik, bukan menjadi bagian dari agen yang menyebarkan

terorisme. Untuk ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan stasiun televisi dalam pemberitaan tentang terorisme. Pertama, gejala infotainment dalam pemberitaan termasuk di dalamnya pemberitaan terorisme adalah gejala yang harus diwaspadai. Stasiun televisi harus mampu menjaga kualitas pemberitaannya agar tidak terjebak pada gejala ini. Ini bisa dilakukan dengan menghindari penggunaan headline yang bombastis serta grafis yang hiperbolis.

(14)

Di masa sekarang dan masa depan, televisi masih akan menjadi media utama yang akses oleh khalayak. Di ranah lain yang berkaitan, terorisme masih menjadi ancaman bagi peradaban. Adalah tantangan dalam pemberitaan televisi untuk menghadirkan informasi yang aktual dan akurat dalam pemberitaan tentang terorisme untuk memenuhi kewajiban media televisi dalam memenuhi kebutuhan informasi khalayak.

Daftar Pustaka

Burton, Graeme (2000). Talking Television : An Introduction to The Study of Television. London, Arnold

Dash, Ajay (2007). Broadcasting Journalism. New Delhi, Discover Publising House

Irby, John dkk (2007). Reporting That Matters : Public Affairs Coverage. Boston, Pearson Education

Junaedi, Fajar (2010). Relasi Media dan Terorisme, dalam Jurnal Aspikom Volume 1, Nomor 1, Juli 2010

McQuail, Dennis (2002). McQuail’s Mass Communication Theory 4th Edition. London, Sage Publications

Miladi, Noureddine (2005). Mapping Al Jazeera Phenomenon. dalam Thussu, Daya Krisnan dan Freedman, Des (ed) (2005). War and The Media. London, Sage Publication

Reardon, Nancy (2009). On Camera : Menjadi Jurnalis TV Andal dan Profesional. Jakarta, Penerbit Erlangga

Silcock, William (2007). Managing Televison News : A Handbook for Ethical dan Effective Producing. New Jersey, Lawrence Erlbraum

(15)

Thussu, Daya Krisnan (2007). News as Entertainment : The Rise of Global Infotainment. California, Sage Publications

Biodata

Referensi

Dokumen terkait

Seorang manusia selaku anggota masyarakat, selama masih hidup, mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak-hak serta kewajiban terhadap orang-orang dalam

b. Tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) diberikan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Honorarium masing-masing anggota Dewan Komisaris/Dewan

[r]

menitipkan pesan pada sinyal pembawa ( carrier ), agar proses komunikasi dapat berjalan dengan baik.  Saluran merupakan media

Setelah terjadinya Revolusi Industri, generasi ke-3 keluarga Staedtler, yaitu Johan Sebastian Staedtler meneruskan usaha nenek moyangnya dengan mendirikan pabrik pensil pertama di

masyarakat di Aceh Barat, khususnya penduduk asli datang menimba ilmu kepada beliau dan di rundeng tersebut kala itu tercatat sebagai tempat yang sangat baik

Setelah dilakukan penelitian tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada orang dewasa di wilayah kerja UPTDK Puskesmas Simpang

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dan eritrosa 4-fosfat terhadap biomassa dan kadar flavonoid kultur nodus batang sambung