• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memutus Lingkaran Setan antara Pendidika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memutus Lingkaran Setan antara Pendidika"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Parahyangan International Affairs Week Bandung, 1—5 Maret 2013

Memutus Lingkaran Setan antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership: Kajian Multidimensi terhadap Human Security

Ravio Patra Asri 170210110019

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

1 DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... 1

ABSTRACT... 2

Memahami Human Security ... 3

Isu Pendidikan dan Kemiskinan sebagai Kajian Multidimensi dari Human Security ... 5

Menmutus Lingkaran Setan (Vicious Circle) antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership ... 6

1. Governmental Structure ... 8

2. Characteristics of the Society ... 8

3. International Relations... 8

Kesimpulan ... 9

(3)

2 ABSTRACT

Education has now become one of the most basic human needs. With the rapidly-changing

dynamics of today’s economy, it does not get any easier for people with no educational

qualifications; only one of a lot more other reasons to believe that education is heavily

related to the matter of poverty. This correlation creates a circle in which poverty prevents

people from accessing education while at the same time, lack of education is what makes

some people have to live in poverty. Both issues, as they are essential to people’s lives, are

regarded by the concept of human security; as its main concern revolves around how

everyone is granted two varieties of freedoms: namely the freedom from want and freedom

from fear. Currently, with certain countries have actually come up with real efforts to deter

this vicious circle from expanding, the creation of a global partnership, analyzed from

three different levels of analysisgovernmental structure, characteristics of the society,

and international relationscould actually be the ultimate solution that will put an end

once and for allto this unending dilemma.

(4)

3 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dari masa ke masa telah

memungkinkan manusia untuk terus berkembang, baik dalam aspek perilaku maupun pola

pikir, sehingga menimbulkan berbagai dinamika tersendiri. Di antara banyak ilmuwan

yang secara signifikan berkontribusi terhadap kemajuan ini, Albert Einstein, salah satu

ilmuwan terbesar yang pernah ada, pernah berujar bahwa “Everything changed, [therefore]

we shall require a substantially new manner of thinking if mankind is to survive” (United

Nations Development Programme 1994, h. 22) sekenaan dengan penemuan energi nuklir

yang, saat itu, diprediksinya akan menimbulkan perubahan yang sangat krusial terhadap

kehidupan manusia.

Pernyataan Einstein, yang terbukti benar seiring dengan bagaimana energi nuklir

telah menjelma menjadi sumber polemik—semenjak dijatuhkannya bom atom di kota

Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II hingga

kisruh berkepanjangan mengenai pengembangan energi nuklir oleh beberapa negara dalam

tatanan global saat ini—relevan dengan pemahaman manusia mengenai konsep keamanan

yang juga telah bergeser secara signifikan. Saat ini, manusia dihadapkan pada tantangan

bahwa isu keamanan tidak lagi hanya terkungkung di dalam dimensi yang militeristik atau

tradisional, melainkan sudah jauh lebih luas daripada itu; di mana isu-isu keamanan saat ini

menyentuh hingga kepada bagian-bagian terkecil dari kehidupan manusia. Pergeseran

pemahaman mengenai keamanan yang menyentuh hingga ke ruang personal (private

realm) inilah yang digambarkan sebagai konsep human security; yang berorientasi pada

kesejahteraan setiap individu dalam masyarakat secara holistik.

Memahami Human Security

Konsep human security berkembang sebagai suatu tanggapan terhadap ketidakmampuan

konsep traditional security untuk memberikan platform yang luwes dan holistik dalam

proses pemahaman mengenai bagaimana permasalahan keamanan, sebagai salah satu isu

paling krusial dalam kehidupan manusia dari masa ke masa, tidak hanya sekadar berbicara

mengenai persoalan perang dan damai, tapi juga mengangkat isu-isu kesejahteraan

individu.

Dalam Human Development Report yang dipublikasikan oleh United Nations

Development Programme (1994, hh. 24—25), human security didefinisikan sebagai suatu

konsep keamanan dengan tujuh komponen utama, yaitu keamanan ekonomi (economic

(5)

4 keamanan lingkungan (environmental security), keamanan individu (personal security),

keamanan masyarakat (community security), dan keamanan politik (political security).

Ketujuh komponen inilah yang secara simultan dan saling bahu-membahu

memberikan jaminan keamanan bukan hanya secara fisik, namun juga secara psikologis.

Hal ini mungkin tercapai karena tujuh komponen ini dikembangkan sebagai suatu derivasi

dari dua asas utama human security, yaitu keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak

akan dua bentuk kebebasan: freedom from want dan freedom from fear (United Nations

Development Programme 1994, h. 24).

Keberadaan konsep human security yang berangkat dari cita-cita untuk memberikan

kebebasan yang nyata bagi manusia dari terjadinya deprivasi (sejalan dengan prinsip

freedom from want) dan rasa takut (sejalan dengan prinsip freedom from fear), logis karena

proses penemuan human security ditopang oleh dua pondasi utama (United Nations

Development Programme 1994, h. 24), yaitu:

 Pergeseran dari penekanan yang khusus terhadap keamanan teritorial (territorial security) kepada penekanan yang jauh lebih kuat terhadap individu maupun

masyarakat di mana individu-individu saling berinteraksi;

 Pergeseran dari pencapaian keamanan melalui kegiatan persenjataan (armaments) kepada pencapaian keamanan melalui pembangunan manusia yang berkelanjutan

(sustainable human development).

Melalui pemahaman mengenai peranan human security dalam memberikan jaminan

keamanan yang menyeluruh bagi setiap orang, maka permasalahan kemiskinan terkait

dengan ketidaktersediaan akses pada pendidikan yang memadai—sebagai isu yang akan

menjadi fokus analisis dalam tulisan ini—menjadi suatu isu yang dapat dibahas dari sudut

pandang keamanan (security) tanpa melupakan bagaimana isu ini tidak bisa sepenuhnya

disekuritisasi. Premis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan, yang telah

menjelma sebagai salah satu kebutuhan paling mendasar manusia saat ini, memberikan

peluang yang lebih besar bagi manusia untuk dapat memeroleh kesejahteraan secara

ekonomi; sehingga tidaklah mengherankan apabila beberapa negara berkembang, ditambah

dengan kondisi ekonomi yang terus tumbuh dan bergerak maju, mengalami kesulitan

dalam menekan tingkat kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya akses untuk

memeroleh pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan kausalitas, diharapkan dari

analisis yang dilakukan dapat ditemukan solusi untuk mengakhiri vicious circle antara

(6)

5 Isu Pendidikan dan Kemiskinan sebagai Kajian Multidimensi dari Human Security Permasalahan kemiskinan di manapun mestilah dipahami sebagai suatu isu yang bersifat

multidimensional. Meskipun secara langsung kemiskinan adalah sebuah permasalahan

kesejahteraan secara ekonomi, namun banyak isu-isu lain yang muncul sebagai akibat dari

kemiskinan; termasuk di antaranya permasalahan bahwa kemiskinan seringkali membatasi

akses seseorang kepada pendidikan yang memadai; begitu pula sebaliknya, bahwa

pendidikan seringkali menjadi alasan mengapa seseorang gagal memenuhi kebutuhan

ekonominya secara mandiri; sehingga kemudian terjebak di dalam kemiskinan.

Di samping itu, keterkaitan pendidikan dan kemiskinan juga menjadi isu yang

menyentuh berbagai dimensi karena implikasinya terhadap isu-isu lain yang sebenarnya

bukanlah konsekuensi langsung dari permasalahan pendidikan ataupun kemiskinan. Akibat

pendidikan yang rendah, misalnya, selain dapat menjerat seseorang dalam kemiskinan,

juga bisa memicu tingginya tingkat pengangguran (unemployment rate) ataupun tingkat

literasi di dalam masyarakat. Sementara isu kemiskinan bisa jadi berakibat pada

peningkatan tindak kriminal, berbagai permasalahan kesehatan, hingga berbagai masalah

yang ditimbulkan oleh perumahan warga miskin di kawasan kumuh di berbagai tempat.

Hubungan timbal balik antara kemiskinan dan pendidikan inilah yang kemudian

membentuk suatu vicious circle; lingkaran setan yang tidaklah salah apabila dikatakan

sebagai salah satu isu terpenting dalam kajian human security saat ini; karena relevan

dengan dua asas fundamental dari human security, yaitu freedom from want dan freedom

from fear.

Konsep freedom from want menekankan pada bagaimana setiap individu haruslah

terbebas dari deprivasi atau kemiskinan dalam seluruh makna yang mungkin; bukan hanya

dalam konteks ekonomi deprivasi (Institute for International Cooperation 2006, h. xiii).

Oleh karena maknanya yang begitu luas, perlu dipahami bahwa konsep freedom from want

tidaklah dapat dipisahkan dari konsep freedom from fear; terutama karena keduanya

dicapai secara simultan dalam wujud yang saling mengisi, bukan sendiri-sendiri. Hal ini

logis karena konsep deprivasi menggambarkan suatu kondisi yang bukan hanya berkutat

pada ketidakmandirian ekonomi, namun jauh lebih luas daripada itu, sehingga

menimbulkan kerapuhan (vulnerability) di dalam masyarakat. Hal ini bisa dipahami

melalui pemahaman mengenai bagaimana seringkali bagian masyarakat yang dilabeli

sebagai golongan miskin (the have-nots) jauh lebih rentan terhadap berbagai bentuk

ketidakadilan sosial seperti diskriminasi, ketiadaan layanan pendidikan, ketiadaan layanan

(7)

6 want berkaitan sangat erat dengan konsep freedom from fear; karena kebebasan dari

deprivasi selalu membuat seseorang menjadi less vulnerable, sehingga secara logis juga

tidak lagi dibayangi oleh berbagai ketakutan (fears) yang dimiliki ketika belum memeroleh

freedom from want.

Penyelesaian polemik yang berkepanjangan antara problematika pendidikan dan

kemiskinan pun pada dasarnya sejalan dengan definisi lanjutan dari human security

sebagai perlindungan terhadap aspek-aspek vital kehidupan manusia melalui kiat-kiat yang

meningkatkan kebebasan manusia (human freedoms) dan keterpenuhan kebutuhan manusia

(human fulfillment). Dengan memahami visi dari konsep human security, maka

penyelesaian permasalahan-permasalahan terkait bukan hanya sekadar meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, namun juga memperlengkap keamanan negara (complements

state security), meningkatkan pemenuhan hak asasi manusia (enhances the fulfillment of

human rights), serta memperkuat pembangunan manusia (strengthens human development)

(Institute for International Cooperation 2006, h. 3). Hal ini berbanding lurus dengan salah

satu pergeseran paradigma keamanan yang memicu kemunculan human security, yaitu

pergeseran dari pencapaian keamanan melalui persenjataan (armaments) kepada

pencapaian keamanan melalui pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable

human development).

Memutus Lingkaran Setan (Vicious Circle) antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership

Keberadaan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai pemangku kekuasaan di

dalam negara sudah barang tentu merupakan salah satu kunci utama dalam memutus

vicious circle antara pendidikan dan kemiskinan sebagai bagian dari pemenuhan human

security (Kuwajima 2006, h. 29). Pemerintah, sebagai personifikasi dari negara, mestilah

mampu melindungi warga negaranya dari segala bentuk ancaman; termasuk ancaman

kemiskinan, yang di waktu bersamaan mengancam kualitas hidup warga negaranya.

Akan tetapi, lingkaran setan yang mengitari isu pendidikan dan kemiskinan bukanlah

hanya tanggung jawab dari pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu di

dalam masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan masyarakat, terutama di

negara berkembang, yang acapkali memilih untuk membebankan seluruh permasalahan

kepada pemerintah sebagai aparatur negara. Berbeda halnya dengan sebagian kecil dari

masyarakat yang bersifat lebih mandiri sehingga cenderung mengambil tanggung jawab

(8)

7 Hal ini relevan karena banyak negara berkembang berhasil bertransformasi menjadi

negara maju berkat bantuan masyarakatnya yang memiliki sikap responsif terhadap

dinamika dan perubahan yang terjadi. Mentalitas seperti ini sulit ditemukan di

negara-negara berkembang dalam jumlah yang signifikan karena masyarakat yang cenderung

memilih untuk tidak mengambil risiko.

Cina, yang dalam setidaknya tiga dekade terakhir telah mengalami kemajuan begitu

pesat dalam berbagai bidang, misalnya, juga pernah melewati masa-masa permulaan

sebagai negara berkembang. Namun, Cina berhasil melewati fase ini untuk kemudian

menjelma menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia hingga saat ini. Sebagaimana

digambarkan dalam liputan khusus majalah Tempo mengenai Kelas Konsumen Baru (Tim

Liputan Khusus Tempo 2012, h. 60), masyarakat Cina mulai mengubah pola hidup mereka

seiring dengan semakin pesatnya kemajuan ekonomi negara; karena menyadari bahwa

kemajuan ekonomi membuat pasar semakin kompetitif sehingga dibutuhkan kompetensi

yang semakin lebih baik pula. Pola pikir seperti inilah yang memicu kelompok demografis

muda di Cina memilih untuk menghabiskan hampir sepanjang hari untuk memeroleh

pendidikan; mulai dari pendidikan formal di sekolah-sekolah pada pagi hingga siang hari

hingga kursus keterampilan tambahan seperti olahraga, bahasa, dan seni. Dengan kiat

seperti ini, masyarakat Cina tidak selalu mesti bergantung pada ketersediaan lapangan

kerja, namun mampu berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan; salah satu hal yang sulit

ditemukan di negara-negara lain, meskipun bukan berarti setiap negara maju bergantung

pada pola seperti itu.

Kesadaran seperti ini bisa jadi menjadi faktor yang membedakan keluaran dari proses

pembangunan ekonomi di berbagai negara. Banyak yang berupaya memacu ekonominya

agar mencapai laju yang tinggi, namun tidak diikuti dengan pemahaman yang dalam

mengenai sejauh mana masyarakatnya siap menghadapi kemajuan. Namun, melalui sinergi

antara proses dan sistem pendidikan dengan pemerataan dan pembangunan ekonomi,

lingkaran setan yang terbentuk semestinya bisa diputus atau bahkan dihindari sama sekali.

Perbedaan sikap dan penanganan yang ditempuh oleh berbagai negara dalam tatanan

global ketika dihadapkan pada dilemma antara pendidikan dan kemiskinan ini

memunculkan ide bahwa solusi yang bisa jadi mampu memutus lingkaran setan di antara

keduanya adalah melalui suatu platform kerjasama global di mana setiap negara. Melalui

platform ini, setiap negara, terlepas dari bagaimana status pembangunan mereka,

mengupayakan dihasilkannya suatu jalan keluar bersama yang applicable bagi setiap

(9)

8 Dalam rangka menjaga relevansi dari solusi yang dihasilkan, maka terdapat tiga

levels of analysis untuk memastikan bahwa setiap solusi memiliki mekanisme unik bagi

tiap negara sesuai dengan tiga tingkatan tadi, yaitu:

1. Governmental Structure

Governmental Structure memerhatikan analisis dari isu pendidikan dan kemiskinan

sebagai sebuah vicious circle dari aspek struktur kepemerintahan yang memang kerap kali

unik di setiap negara. Melalui tingkatan ini, dapat diketahui bagaimana mekanisme global

partnership ini mampu menghasilkan solusi sesuai dengan keunikan dari setiap struktur

pemerintahan di tiap-tiap negara; sehingga secara langsung berdampak pada proses

policy-making.

2. Characteristics of the Society

Characteristics of the Society merupakan faktor yang mengimbangi analisis di

tingkatan governmental structure, karena tingkatan ini memerhatikan bagaimana

karakteristik atau sifat-sifat dari setiap masyarakat berbeda dalam berbagai hal. Sekenaan

dengan upaya memutus lingkaran setan antara pendidikan dan kemiskinan, analisis di

tingkatan ini mestilah dititikberatkan pada bagaimana kebijakan atau solusi yag dihasilkan

mampu mengatasi perbedaan-perbedaan dari berbagai masyarakat di dalam negara.

3. International Relations

Pada tingkatan international relations, upaya pemutusan lingkaran setan antara

pendidikan dan kemiskinan dititkberatkan pada bagaimana global partnership yang

dibentuk menimbulkan interaksi antarnegara yang intens dalam tatanan global. Melalui

analisis di tingkatan ini, diharapkan akan terbentuk suatu sinergi antara pendidikan dan

kemiskinan sehingga solusi yang dihasilkan bersifat jangka panjang. Keterlibatan analisis

di tingkatan international relations pun berpengaruh pada bagaimana global partnership

ini dapat bekerja secara efektif melalui kerjasama di antara setiap negara; di mana

negara-negara yang telah berhasil mengatasi isu ini bisa menjadi percontohan bagi negara-negara-negara-negara

lain; baik dari aspek pembuatan maupun penerapan kebijakan; bahkan hingga pada proses

pengawasan terhadap penerapan kebijakan.

Melalui pemahaman akan peran global partnership dalam memutus lingkaran setan

antara isu pendidikan dan kemiskinan sebagai sebuah kajian human security yang bersifat

multidimensional, mestilah dipahami bahwa pemenuhan human security merupakan

kebutuhan manusia yang sangat esensial; sehingga penanganannya membutuhkan solusi

(10)

9 Kesimpulan

Konsep human security muncul sebagai jawaban atas kebutuhan manusia akan rasa aman

yang menyeluruh; bukan hanya secara fisik, namun juga secara psikologis. Di

negara-negara berkembang, human security menjelma menjadi isu yang sangat krusial karena

proses pembangunan yang belum mampu memberikan kesejahteraan secara merata bagi

setiap individu. Kondisi ini sejalan dengan bagaimana, di banyak negara berkembang,

kemiskinan disebabkan oleh rendahnya akses terhadap pendidikan yang memadai; serta

sebaliknya, di mana rendahnya tingkat keterpenuhan (fulfillment) kebutuhan manusia akan

pendidikan disebabkan oleh kemiskinan yang menjerat.

Lingkaran setan (vicious circle) antara kemiskinan dan rendahnya akses terhadap

pendidikan terbentuk sebagai akibat dari continual relationship di antara keduanya. Hal ini

membuat penanganan keduanya pun membutuhkan solusi yang secara simultan mampu

memutus lingkaran setan di antara keduanya. Dari dimensi human security, memutus

lingkaran setan ini sudah semestinya menjadi prioritas setiap negara karena pendidikan

telah menjelma sebagai salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental, sama

halnya dengan kesejahteraan ekonomi; sesuai dengan prinsip freedom from fear dan

freedom from want yang menjadi pondasi dari konsep human security.

Melalui level of analysis yang bertingkat, yaitu struktur pemerintahan (governmental

structure), karakteristik masyarakat (characteristics of the society), dan hubungan

internasional (international relations), diyakini bahwa isu ini dapat diselesaikan melalui

suatu platform kerjasama global (global partnership); di mana setiap negara dapat saling

bertukar pikiran dan kiat agar terformulasikan suatu solusi bersama yang tetap relevan dan

efektif bagi setiap negara. Pun global partnership ini dijalankan dengan mengacu pada satu

tujuan bersama; memastikan ketersediaan akses yang memadai untuk memeroleh

pendidikan dengan fokus pada setiap individu agar mampu memeroleh kemandirian secara

(11)

10 BIBLIOGRAFI

Acharya, Amitav (2001) Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN

and the Problem of Regional Order. London: Routledge.

Acharya, A. & Stubbs, R. (2006) Theorizing Southeast Asian Relations: An Introduction.

The Pacific Review, 19 (2), hh. 125—134.

Axelrod, Robert & Keohane, Robert (1985) Achieving Cooperation Under Anarchy:

Strategies and Institutions. World Politics, 38 (1), hh. 226—254.

Buzan, Barry & Waever, Ole (2003) Regions and Powers: The Structure of International

Security. New York: Cambridge University Press.

Cipto, Bambang (2007) Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap

Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Effendi, Tonny Dian (2008) Nontraditional Security dan Human Security dalam PRaktik

Demokrasi di Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Farrell, M., Hettne, B., & Langenhove, L. V. (eds.) (2005) Global Politics of Regionalism:

Theory and Practice. London: Pluto Press.

Forsythe, David P. (2006) Human Rights in International Relations. New York:

Cambridge University Press.

Hadiwinata, Bob Sugeng (2004) Securitizing Poverty: The Role of NGOs in the Protection

of Human Security in Indonesia. Dipresentasikan pada The Dynamics of

Securitization in Asia, 3—5 September 2004. Singapore: Institute of Defense and

Security Studies, Nanyang University-Ford Foundation.

Ikbar, Yanuar (2012) Ekonomi Politik Global: Konsep dan Teori. Bandung: Refika

Aditama.

Institute for International Cooperation (2006) Poverty Reduction and Human Security.

Tokyo: Japan International Cooperation Agency.

Kozaki, Tomomi (2006) Poverty Reduction and Human Security in Latin America. Dalam:

Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human Security.

Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 25—26.

Kuwajima, Kyoko (2006) Major Issues on Governance and Human Security. Dalam:

Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human Security.

(12)

11 Mine, Yoichi (2006) Human Security in Mozambique: Case Study of a Post-Conflic

Country. Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and

Human Security. Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 27—28.

Petty, Martin (2012) Rohingya Muslims “Persecuted” after Myanmar Crackdown: Report

[WWW] Reuters. Diakses dari:

http://www.reuters.com/article/2012/08/01/us-myanmar -violence-idUSBRE 87005A20120801 [Diakses pada 20/09/2012].

Rawls, John (2006) Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robinson, Mary (2005) Connecting Human Rights, Human Development, and Human

Security. Dalam: Wilson, Richard Ashby (ed.) Human Rights in the War on Terror.

New York: Cambridge University Press, hh. 308—316.

Soekanto, Soerjono (1990) Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Takahashi, Motoki (2006) Poverty Reduction and Human Security in Sub-Saharan Africa.

Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human

Security. Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 26—27.

Tim Liputan Khusus Tempo (2012) Liputan Khusus: Kelas Konsumen Baru. Majalah

Tempo, 20-26 Februari 2012, hh. 52—105

United Nations Development Programme (1994) New Dimensions of Human Security.

Dalam: Human Development Report 1994. New York: Oxford University Press, hh.

22—46.

Yamagata, Tatsufumi (2006) Poverty Reduction and Human Security in Bangladesh.

Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut memperkuat pernyataan Staub (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) yang menjelaskan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah

PEMERINTAH KABUPATEN DHARMASRAYA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA.. SD NEGERI

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu memberikan analisis secara deskriptif terhadap data penelitian yang didapat, yang bertujuan untuk

undangan , melainkan kebijakan nilai-nilai , karena hubungan internasional senantiasa berubah , hukum yg mangaturnya haruslah suatu proses pembuatan keputusan dimana

KONSTRUKSI DESAIN PEMBELAJARAN ELEKTROKIMIA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA SMA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

High resolution remote images supply us with more detail information of different kinds of targets, such as texture, shape and spatial structure, etc.. Image

Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi ketidak-tertarikan mahasiswa etnis Tionghoa Universitas Kristen Petra Surabaya terhadap bahasa Tionghoa

mengenali (mengidentifikasi) arti suatu kata atau ungkapan bahasa dengan. rangsangan-rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan