Parahyangan International Affairs Week Bandung, 1—5 Maret 2013
Memutus Lingkaran Setan antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership: Kajian Multidimensi terhadap Human Security
Ravio Patra Asri 170210110019
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
1 DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... 1
ABSTRACT... 2
Memahami Human Security ... 3
Isu Pendidikan dan Kemiskinan sebagai Kajian Multidimensi dari Human Security ... 5
Menmutus Lingkaran Setan (Vicious Circle) antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership ... 6
1. Governmental Structure ... 8
2. Characteristics of the Society ... 8
3. International Relations... 8
Kesimpulan ... 9
2 ABSTRACT
Education has now become one of the most basic human needs. With the rapidly-changing
dynamics of today’s economy, it does not get any easier for people with no educational
qualifications; only one of a lot more other reasons to believe that education is heavily
related to the matter of poverty. This correlation creates a circle in which poverty prevents
people from accessing education while at the same time, lack of education is what makes
some people have to live in poverty. Both issues, as they are essential to people’s lives, are
regarded by the concept of human security; as its main concern revolves around how
everyone is granted two varieties of freedoms: namely the freedom from want and freedom
from fear. Currently, with certain countries have actually come up with real efforts to deter
this vicious circle from expanding, the creation of a global partnership, analyzed from
three different levels of analysis—governmental structure, characteristics of the society,
and international relations—could actually be the ultimate solution that will put an end—
once and for all—to this unending dilemma.
3 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dari masa ke masa telah
memungkinkan manusia untuk terus berkembang, baik dalam aspek perilaku maupun pola
pikir, sehingga menimbulkan berbagai dinamika tersendiri. Di antara banyak ilmuwan
yang secara signifikan berkontribusi terhadap kemajuan ini, Albert Einstein, salah satu
ilmuwan terbesar yang pernah ada, pernah berujar bahwa “Everything changed, [therefore]
we shall require a substantially new manner of thinking if mankind is to survive” (United
Nations Development Programme 1994, h. 22) sekenaan dengan penemuan energi nuklir
yang, saat itu, diprediksinya akan menimbulkan perubahan yang sangat krusial terhadap
kehidupan manusia.
Pernyataan Einstein, yang terbukti benar seiring dengan bagaimana energi nuklir
telah menjelma menjadi sumber polemik—semenjak dijatuhkannya bom atom di kota
Hiroshima dan Nagasaki oleh tentara Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II hingga
kisruh berkepanjangan mengenai pengembangan energi nuklir oleh beberapa negara dalam
tatanan global saat ini—relevan dengan pemahaman manusia mengenai konsep keamanan
yang juga telah bergeser secara signifikan. Saat ini, manusia dihadapkan pada tantangan
bahwa isu keamanan tidak lagi hanya terkungkung di dalam dimensi yang militeristik atau
tradisional, melainkan sudah jauh lebih luas daripada itu; di mana isu-isu keamanan saat ini
menyentuh hingga kepada bagian-bagian terkecil dari kehidupan manusia. Pergeseran
pemahaman mengenai keamanan yang menyentuh hingga ke ruang personal (private
realm) inilah yang digambarkan sebagai konsep human security; yang berorientasi pada
kesejahteraan setiap individu dalam masyarakat secara holistik.
Memahami Human Security
Konsep human security berkembang sebagai suatu tanggapan terhadap ketidakmampuan
konsep traditional security untuk memberikan platform yang luwes dan holistik dalam
proses pemahaman mengenai bagaimana permasalahan keamanan, sebagai salah satu isu
paling krusial dalam kehidupan manusia dari masa ke masa, tidak hanya sekadar berbicara
mengenai persoalan perang dan damai, tapi juga mengangkat isu-isu kesejahteraan
individu.
Dalam Human Development Report yang dipublikasikan oleh United Nations
Development Programme (1994, hh. 24—25), human security didefinisikan sebagai suatu
konsep keamanan dengan tujuh komponen utama, yaitu keamanan ekonomi (economic
4 keamanan lingkungan (environmental security), keamanan individu (personal security),
keamanan masyarakat (community security), dan keamanan politik (political security).
Ketujuh komponen inilah yang secara simultan dan saling bahu-membahu
memberikan jaminan keamanan bukan hanya secara fisik, namun juga secara psikologis.
Hal ini mungkin tercapai karena tujuh komponen ini dikembangkan sebagai suatu derivasi
dari dua asas utama human security, yaitu keyakinan bahwa setiap individu memiliki hak
akan dua bentuk kebebasan: freedom from want dan freedom from fear (United Nations
Development Programme 1994, h. 24).
Keberadaan konsep human security yang berangkat dari cita-cita untuk memberikan
kebebasan yang nyata bagi manusia dari terjadinya deprivasi (sejalan dengan prinsip
freedom from want) dan rasa takut (sejalan dengan prinsip freedom from fear), logis karena
proses penemuan human security ditopang oleh dua pondasi utama (United Nations
Development Programme 1994, h. 24), yaitu:
Pergeseran dari penekanan yang khusus terhadap keamanan teritorial (territorial security) kepada penekanan yang jauh lebih kuat terhadap individu maupun
masyarakat di mana individu-individu saling berinteraksi;
Pergeseran dari pencapaian keamanan melalui kegiatan persenjataan (armaments) kepada pencapaian keamanan melalui pembangunan manusia yang berkelanjutan
(sustainable human development).
Melalui pemahaman mengenai peranan human security dalam memberikan jaminan
keamanan yang menyeluruh bagi setiap orang, maka permasalahan kemiskinan terkait
dengan ketidaktersediaan akses pada pendidikan yang memadai—sebagai isu yang akan
menjadi fokus analisis dalam tulisan ini—menjadi suatu isu yang dapat dibahas dari sudut
pandang keamanan (security) tanpa melupakan bagaimana isu ini tidak bisa sepenuhnya
disekuritisasi. Premis ini didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan, yang telah
menjelma sebagai salah satu kebutuhan paling mendasar manusia saat ini, memberikan
peluang yang lebih besar bagi manusia untuk dapat memeroleh kesejahteraan secara
ekonomi; sehingga tidaklah mengherankan apabila beberapa negara berkembang, ditambah
dengan kondisi ekonomi yang terus tumbuh dan bergerak maju, mengalami kesulitan
dalam menekan tingkat kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya akses untuk
memeroleh pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan kausalitas, diharapkan dari
analisis yang dilakukan dapat ditemukan solusi untuk mengakhiri vicious circle antara
5 Isu Pendidikan dan Kemiskinan sebagai Kajian Multidimensi dari Human Security Permasalahan kemiskinan di manapun mestilah dipahami sebagai suatu isu yang bersifat
multidimensional. Meskipun secara langsung kemiskinan adalah sebuah permasalahan
kesejahteraan secara ekonomi, namun banyak isu-isu lain yang muncul sebagai akibat dari
kemiskinan; termasuk di antaranya permasalahan bahwa kemiskinan seringkali membatasi
akses seseorang kepada pendidikan yang memadai; begitu pula sebaliknya, bahwa
pendidikan seringkali menjadi alasan mengapa seseorang gagal memenuhi kebutuhan
ekonominya secara mandiri; sehingga kemudian terjebak di dalam kemiskinan.
Di samping itu, keterkaitan pendidikan dan kemiskinan juga menjadi isu yang
menyentuh berbagai dimensi karena implikasinya terhadap isu-isu lain yang sebenarnya
bukanlah konsekuensi langsung dari permasalahan pendidikan ataupun kemiskinan. Akibat
pendidikan yang rendah, misalnya, selain dapat menjerat seseorang dalam kemiskinan,
juga bisa memicu tingginya tingkat pengangguran (unemployment rate) ataupun tingkat
literasi di dalam masyarakat. Sementara isu kemiskinan bisa jadi berakibat pada
peningkatan tindak kriminal, berbagai permasalahan kesehatan, hingga berbagai masalah
yang ditimbulkan oleh perumahan warga miskin di kawasan kumuh di berbagai tempat.
Hubungan timbal balik antara kemiskinan dan pendidikan inilah yang kemudian
membentuk suatu vicious circle; lingkaran setan yang tidaklah salah apabila dikatakan
sebagai salah satu isu terpenting dalam kajian human security saat ini; karena relevan
dengan dua asas fundamental dari human security, yaitu freedom from want dan freedom
from fear.
Konsep freedom from want menekankan pada bagaimana setiap individu haruslah
terbebas dari deprivasi atau kemiskinan dalam seluruh makna yang mungkin; bukan hanya
dalam konteks ekonomi deprivasi (Institute for International Cooperation 2006, h. xiii).
Oleh karena maknanya yang begitu luas, perlu dipahami bahwa konsep freedom from want
tidaklah dapat dipisahkan dari konsep freedom from fear; terutama karena keduanya
dicapai secara simultan dalam wujud yang saling mengisi, bukan sendiri-sendiri. Hal ini
logis karena konsep deprivasi menggambarkan suatu kondisi yang bukan hanya berkutat
pada ketidakmandirian ekonomi, namun jauh lebih luas daripada itu, sehingga
menimbulkan kerapuhan (vulnerability) di dalam masyarakat. Hal ini bisa dipahami
melalui pemahaman mengenai bagaimana seringkali bagian masyarakat yang dilabeli
sebagai golongan miskin (the have-nots) jauh lebih rentan terhadap berbagai bentuk
ketidakadilan sosial seperti diskriminasi, ketiadaan layanan pendidikan, ketiadaan layanan
6 want berkaitan sangat erat dengan konsep freedom from fear; karena kebebasan dari
deprivasi selalu membuat seseorang menjadi less vulnerable, sehingga secara logis juga
tidak lagi dibayangi oleh berbagai ketakutan (fears) yang dimiliki ketika belum memeroleh
freedom from want.
Penyelesaian polemik yang berkepanjangan antara problematika pendidikan dan
kemiskinan pun pada dasarnya sejalan dengan definisi lanjutan dari human security
sebagai perlindungan terhadap aspek-aspek vital kehidupan manusia melalui kiat-kiat yang
meningkatkan kebebasan manusia (human freedoms) dan keterpenuhan kebutuhan manusia
(human fulfillment). Dengan memahami visi dari konsep human security, maka
penyelesaian permasalahan-permasalahan terkait bukan hanya sekadar meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, namun juga memperlengkap keamanan negara (complements
state security), meningkatkan pemenuhan hak asasi manusia (enhances the fulfillment of
human rights), serta memperkuat pembangunan manusia (strengthens human development)
(Institute for International Cooperation 2006, h. 3). Hal ini berbanding lurus dengan salah
satu pergeseran paradigma keamanan yang memicu kemunculan human security, yaitu
pergeseran dari pencapaian keamanan melalui persenjataan (armaments) kepada
pencapaian keamanan melalui pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable
human development).
Memutus Lingkaran Setan (Vicious Circle) antara Pendidikan dan Kemiskinan melalui Global Partnership
Keberadaan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai pemangku kekuasaan di
dalam negara sudah barang tentu merupakan salah satu kunci utama dalam memutus
vicious circle antara pendidikan dan kemiskinan sebagai bagian dari pemenuhan human
security (Kuwajima 2006, h. 29). Pemerintah, sebagai personifikasi dari negara, mestilah
mampu melindungi warga negaranya dari segala bentuk ancaman; termasuk ancaman
kemiskinan, yang di waktu bersamaan mengancam kualitas hidup warga negaranya.
Akan tetapi, lingkaran setan yang mengitari isu pendidikan dan kemiskinan bukanlah
hanya tanggung jawab dari pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu di
dalam masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kecenderungan masyarakat, terutama di
negara berkembang, yang acapkali memilih untuk membebankan seluruh permasalahan
kepada pemerintah sebagai aparatur negara. Berbeda halnya dengan sebagian kecil dari
masyarakat yang bersifat lebih mandiri sehingga cenderung mengambil tanggung jawab
7 Hal ini relevan karena banyak negara berkembang berhasil bertransformasi menjadi
negara maju berkat bantuan masyarakatnya yang memiliki sikap responsif terhadap
dinamika dan perubahan yang terjadi. Mentalitas seperti ini sulit ditemukan di
negara-negara berkembang dalam jumlah yang signifikan karena masyarakat yang cenderung
memilih untuk tidak mengambil risiko.
Cina, yang dalam setidaknya tiga dekade terakhir telah mengalami kemajuan begitu
pesat dalam berbagai bidang, misalnya, juga pernah melewati masa-masa permulaan
sebagai negara berkembang. Namun, Cina berhasil melewati fase ini untuk kemudian
menjelma menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia hingga saat ini. Sebagaimana
digambarkan dalam liputan khusus majalah Tempo mengenai Kelas Konsumen Baru (Tim
Liputan Khusus Tempo 2012, h. 60), masyarakat Cina mulai mengubah pola hidup mereka
seiring dengan semakin pesatnya kemajuan ekonomi negara; karena menyadari bahwa
kemajuan ekonomi membuat pasar semakin kompetitif sehingga dibutuhkan kompetensi
yang semakin lebih baik pula. Pola pikir seperti inilah yang memicu kelompok demografis
muda di Cina memilih untuk menghabiskan hampir sepanjang hari untuk memeroleh
pendidikan; mulai dari pendidikan formal di sekolah-sekolah pada pagi hingga siang hari
hingga kursus keterampilan tambahan seperti olahraga, bahasa, dan seni. Dengan kiat
seperti ini, masyarakat Cina tidak selalu mesti bergantung pada ketersediaan lapangan
kerja, namun mampu berkreasi menciptakan lapangan pekerjaan; salah satu hal yang sulit
ditemukan di negara-negara lain, meskipun bukan berarti setiap negara maju bergantung
pada pola seperti itu.
Kesadaran seperti ini bisa jadi menjadi faktor yang membedakan keluaran dari proses
pembangunan ekonomi di berbagai negara. Banyak yang berupaya memacu ekonominya
agar mencapai laju yang tinggi, namun tidak diikuti dengan pemahaman yang dalam
mengenai sejauh mana masyarakatnya siap menghadapi kemajuan. Namun, melalui sinergi
antara proses dan sistem pendidikan dengan pemerataan dan pembangunan ekonomi,
lingkaran setan yang terbentuk semestinya bisa diputus atau bahkan dihindari sama sekali.
Perbedaan sikap dan penanganan yang ditempuh oleh berbagai negara dalam tatanan
global ketika dihadapkan pada dilemma antara pendidikan dan kemiskinan ini
memunculkan ide bahwa solusi yang bisa jadi mampu memutus lingkaran setan di antara
keduanya adalah melalui suatu platform kerjasama global di mana setiap negara. Melalui
platform ini, setiap negara, terlepas dari bagaimana status pembangunan mereka,
mengupayakan dihasilkannya suatu jalan keluar bersama yang applicable bagi setiap
8 Dalam rangka menjaga relevansi dari solusi yang dihasilkan, maka terdapat tiga
levels of analysis untuk memastikan bahwa setiap solusi memiliki mekanisme unik bagi
tiap negara sesuai dengan tiga tingkatan tadi, yaitu:
1. Governmental Structure
Governmental Structure memerhatikan analisis dari isu pendidikan dan kemiskinan
sebagai sebuah vicious circle dari aspek struktur kepemerintahan yang memang kerap kali
unik di setiap negara. Melalui tingkatan ini, dapat diketahui bagaimana mekanisme global
partnership ini mampu menghasilkan solusi sesuai dengan keunikan dari setiap struktur
pemerintahan di tiap-tiap negara; sehingga secara langsung berdampak pada proses
policy-making.
2. Characteristics of the Society
Characteristics of the Society merupakan faktor yang mengimbangi analisis di
tingkatan governmental structure, karena tingkatan ini memerhatikan bagaimana
karakteristik atau sifat-sifat dari setiap masyarakat berbeda dalam berbagai hal. Sekenaan
dengan upaya memutus lingkaran setan antara pendidikan dan kemiskinan, analisis di
tingkatan ini mestilah dititikberatkan pada bagaimana kebijakan atau solusi yag dihasilkan
mampu mengatasi perbedaan-perbedaan dari berbagai masyarakat di dalam negara.
3. International Relations
Pada tingkatan international relations, upaya pemutusan lingkaran setan antara
pendidikan dan kemiskinan dititkberatkan pada bagaimana global partnership yang
dibentuk menimbulkan interaksi antarnegara yang intens dalam tatanan global. Melalui
analisis di tingkatan ini, diharapkan akan terbentuk suatu sinergi antara pendidikan dan
kemiskinan sehingga solusi yang dihasilkan bersifat jangka panjang. Keterlibatan analisis
di tingkatan international relations pun berpengaruh pada bagaimana global partnership
ini dapat bekerja secara efektif melalui kerjasama di antara setiap negara; di mana
negara-negara yang telah berhasil mengatasi isu ini bisa menjadi percontohan bagi negara-negara-negara-negara
lain; baik dari aspek pembuatan maupun penerapan kebijakan; bahkan hingga pada proses
pengawasan terhadap penerapan kebijakan.
Melalui pemahaman akan peran global partnership dalam memutus lingkaran setan
antara isu pendidikan dan kemiskinan sebagai sebuah kajian human security yang bersifat
multidimensional, mestilah dipahami bahwa pemenuhan human security merupakan
kebutuhan manusia yang sangat esensial; sehingga penanganannya membutuhkan solusi
9 Kesimpulan
Konsep human security muncul sebagai jawaban atas kebutuhan manusia akan rasa aman
yang menyeluruh; bukan hanya secara fisik, namun juga secara psikologis. Di
negara-negara berkembang, human security menjelma menjadi isu yang sangat krusial karena
proses pembangunan yang belum mampu memberikan kesejahteraan secara merata bagi
setiap individu. Kondisi ini sejalan dengan bagaimana, di banyak negara berkembang,
kemiskinan disebabkan oleh rendahnya akses terhadap pendidikan yang memadai; serta
sebaliknya, di mana rendahnya tingkat keterpenuhan (fulfillment) kebutuhan manusia akan
pendidikan disebabkan oleh kemiskinan yang menjerat.
Lingkaran setan (vicious circle) antara kemiskinan dan rendahnya akses terhadap
pendidikan terbentuk sebagai akibat dari continual relationship di antara keduanya. Hal ini
membuat penanganan keduanya pun membutuhkan solusi yang secara simultan mampu
memutus lingkaran setan di antara keduanya. Dari dimensi human security, memutus
lingkaran setan ini sudah semestinya menjadi prioritas setiap negara karena pendidikan
telah menjelma sebagai salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental, sama
halnya dengan kesejahteraan ekonomi; sesuai dengan prinsip freedom from fear dan
freedom from want yang menjadi pondasi dari konsep human security.
Melalui level of analysis yang bertingkat, yaitu struktur pemerintahan (governmental
structure), karakteristik masyarakat (characteristics of the society), dan hubungan
internasional (international relations), diyakini bahwa isu ini dapat diselesaikan melalui
suatu platform kerjasama global (global partnership); di mana setiap negara dapat saling
bertukar pikiran dan kiat agar terformulasikan suatu solusi bersama yang tetap relevan dan
efektif bagi setiap negara. Pun global partnership ini dijalankan dengan mengacu pada satu
tujuan bersama; memastikan ketersediaan akses yang memadai untuk memeroleh
pendidikan dengan fokus pada setiap individu agar mampu memeroleh kemandirian secara
10 BIBLIOGRAFI
Acharya, Amitav (2001) Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN
and the Problem of Regional Order. London: Routledge.
Acharya, A. & Stubbs, R. (2006) Theorizing Southeast Asian Relations: An Introduction.
The Pacific Review, 19 (2), hh. 125—134.
Axelrod, Robert & Keohane, Robert (1985) Achieving Cooperation Under Anarchy:
Strategies and Institutions. World Politics, 38 (1), hh. 226—254.
Buzan, Barry & Waever, Ole (2003) Regions and Powers: The Structure of International
Security. New York: Cambridge University Press.
Cipto, Bambang (2007) Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Effendi, Tonny Dian (2008) Nontraditional Security dan Human Security dalam PRaktik
Demokrasi di Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Farrell, M., Hettne, B., & Langenhove, L. V. (eds.) (2005) Global Politics of Regionalism:
Theory and Practice. London: Pluto Press.
Forsythe, David P. (2006) Human Rights in International Relations. New York:
Cambridge University Press.
Hadiwinata, Bob Sugeng (2004) Securitizing Poverty: The Role of NGOs in the Protection
of Human Security in Indonesia. Dipresentasikan pada The Dynamics of
Securitization in Asia, 3—5 September 2004. Singapore: Institute of Defense and
Security Studies, Nanyang University-Ford Foundation.
Ikbar, Yanuar (2012) Ekonomi Politik Global: Konsep dan Teori. Bandung: Refika
Aditama.
Institute for International Cooperation (2006) Poverty Reduction and Human Security.
Tokyo: Japan International Cooperation Agency.
Kozaki, Tomomi (2006) Poverty Reduction and Human Security in Latin America. Dalam:
Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human Security.
Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 25—26.
Kuwajima, Kyoko (2006) Major Issues on Governance and Human Security. Dalam:
Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human Security.
11 Mine, Yoichi (2006) Human Security in Mozambique: Case Study of a Post-Conflic
Country. Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and
Human Security. Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 27—28.
Petty, Martin (2012) Rohingya Muslims “Persecuted” after Myanmar Crackdown: Report
[WWW] Reuters. Diakses dari:
http://www.reuters.com/article/2012/08/01/us-myanmar -violence-idUSBRE 87005A20120801 [Diakses pada 20/09/2012].
Rawls, John (2006) Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Robinson, Mary (2005) Connecting Human Rights, Human Development, and Human
Security. Dalam: Wilson, Richard Ashby (ed.) Human Rights in the War on Terror.
New York: Cambridge University Press, hh. 308—316.
Soekanto, Soerjono (1990) Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Takahashi, Motoki (2006) Poverty Reduction and Human Security in Sub-Saharan Africa.
Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human
Security. Tokyo: Japan International Cooperation Agency, h. 26—27.
Tim Liputan Khusus Tempo (2012) Liputan Khusus: Kelas Konsumen Baru. Majalah
Tempo, 20-26 Februari 2012, hh. 52—105
United Nations Development Programme (1994) New Dimensions of Human Security.
Dalam: Human Development Report 1994. New York: Oxford University Press, hh.
22—46.
Yamagata, Tatsufumi (2006) Poverty Reduction and Human Security in Bangladesh.
Dalam: Institute for International Cooperation, Poverty Reduction and Human