• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN MASYARAKA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN MASYARAKA (1)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH EPIDEMIOLOGI KESEHATAN

MASYARAKAT PAPUA

LEPRA (KUSTA)

DISUSUN OLEH :

NAMA : ALFIYAN NIM : 201404001

DOSEN PENGAMPU : JUNAIDY ARNOLD WALLY S.Kep. M.Km

YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)

SEKOLAH TNGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan hidayah-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan “Makalah Lepra (Kusta)” sebagai bentuk pengajuan tugas dari mata kuliah Epidemiologi Kesehatan Masyarakat Papua oleh Junaidy Arnold Wally S.Kep. M.Km

Kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk Makalah ini, demi kesempurnaan Makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga segala informasi yang terdapat di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. khususnya mahasiswa/i Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) PAPUA SORONG, serta masyarakat Papua pada umumnya

Sorong, Juni 2017

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan ... 2

BAB II PEMBAHASAN A. Defenisi Lepra (Kusta) ... 3

B. Prevalensi ... 4

C. Etiologi ... 7

D. Patofisiologi... 8

E. Tanda dan Gejala ... 10

F. Faktor-faktor Pada Penderita Lepra (Kusta) ... 10

G. Cara Penularan... 12

H. Diagnosis ... 12

I. Pencegahan ... 13

J. Penatalaksanaan ... 15

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ... 20

B. Saran ... 20

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konon kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir Kuno, dan India. Pada tahun 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.

Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta

Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita kusta.

(5)

bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Definisi dari Lepra (Kusta) ? 2. Berapa Prevalensi Lepra (Kusta) ? 3. Bagaimana Etiologi Lepra (Kusta) ? 4. Bagaimana Patofosiologi Lepra (Kusta) ? 5. Apa Tanda dan Gejala Lepra (Kusta) ?

6. Apa Faktor-faktor pada penderita Lepra (Kusta) ? 7. Bagaimana cara penularan Lepra (Kusta) ? 8. Bagaimana Mendiagnosis Lepra (Kusta) ? 9. Bagaiaman Pencegahan Lepra (Kusta) ? 10. Bagaimana Penatalaksanaan Lepra (Kusta) ? C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Definisi dari Lepra (Kusta) 2. Untuk mengtahui Prevalensi Lepra (Kusta) 3. Untuk mengetahui Etiologi Lepra (Kusta) 4. Untuk menjelaskan Patofosiologi Lepra (Kusta)

5. Untuk mendiskripsikan Tanda dan Gejala Lepra (Kusta) 6. Untuk mengetahui Faktor-faktor pada penderita Lepra (Kusta 7. Untuk mengetahui cara penularan Lepra (Kusta)

8. Untuk mengetahui cara Mendiagnosis Lepra (Kusta) 9. Untuk mengetahi cara Pencegahan Lepra (Kusta)

10. Untuk mnegetahui cara Penatalaksanaan Lepra (Kusta) ?

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Lepra (kusta)

(6)

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015) Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000).

Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).

B. Prevalensi

(7)

Sedangkan pada anak, selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru pada tahun 2012 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 11,40 per 100.000 penduduk. Terlihat pada grafik berikut

Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu bebban kusta tinggi (high burden) dan beban rendah (low burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (new case detection rate: angka kasus baru) > 10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1000 kasus.

(8)

Sedangkan pada anak beban kusta tinggi terdapat di 11 provinsi pada tahun 2011, 14 provinsi pada tahun 2012, dan 13 provinsi pada tahun 2013, hampir seluruhnya di provinsi bagian barat Indonesia.

(9)

Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).

(10)

Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat obligat intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.

Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.

ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler. Reaksi tipe – 2 yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri, timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam. Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain : setelah pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik.

Gambar: Bakteri Mycobacterium leprae

D. Patofisiologi

(11)

penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.

Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.

1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan.

2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat terjadi. Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.

(12)

tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

E. Tanda dan Gejala

Tanda gejala pada penyakit kusta, yaitu :

1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline).

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB (paucibacillary). Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien.

2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).

Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

F. Faktor-faktor pada penderita kusta 1. Faktor Agent

(13)

morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.

Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007). Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005).

M. leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari, ada lima sifat khas :

1) M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia buatan;

2) Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.

3) M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D- Dihydroxyphenylalanin).

4) M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.

5) Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

2. Faktor Host

Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

(14)

3. Faktor Environment

Lingkungan: Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya kondisi kesehatan lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin, diduga menjadi sarang yang nyaman untuk berkembangnya kuman kusta

G. Cara Penularan

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

1) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

2) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya.

Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka.

Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita.

Beberapa asumsi menyebutkan bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui udara. Biasanya terjadi pada udara yang mengandung bakteri leprae, yang dihirup manusia.

H. Diagnosis

(15)

keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :

Gejala klinik tersebut diantara lain :

a. Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak. b. Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.

c. Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun motorik.

d. Demam dan malaise.

e. Kedua tangan dan kaki membengkak. f. Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:

1. Laboratorium

a. Darah rutin: tidak ada kelainan b. Bakteriologi:

2. Pemeriksaan histopatologi

Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.

I. Pencegahan

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a. Penyuluhan kesehatan

(16)

penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006).

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a. Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan tersier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006):

(17)

Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).

Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

 Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk

mencegah terjadinya kontraktur.

 Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan

agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

 Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

 Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan

normal terbatas pada tangan.

 Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

J. Penatalaksanaan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

(18)

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalamjaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut:

1. Tipe PB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.

c. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.

(19)

pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

3. Dosis untuk anak :

Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu

Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu DDS : 1 - 2 mg/kg berat badan

Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT Klofazimin 300 mg/bln (diawasi

petugas)dan dilanjutkan esok ( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satuj cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

(20)

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya. 5. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:

a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.

6. Masa Pengamatan.

Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif : a) Tipe PB selama 2 tahun.

b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.

7. Hilang/Out of Control (OOC)

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.

a. Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

(21)

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

BAB III

PENUTUP

(22)

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae. Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).

Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).

B. Saran

Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.

DAFTAR PUSTAKA

(23)

http://www.raport.ga/2014/04/makalah-pentakit-kusta.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen

https://dokterbagus.wordpress.com/2014/12/18/morbus-hansen-kusta/

Gambar

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB
Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Referensi

Dokumen terkait

Independen pada penelitian ini adalah LnTA ( Size Bank ), KreditTA (Kredit dalam Total Aset), DPKTA (Dana Pihak Ketiga dalam Total Aset), TETA (Total Ekuitas dalam Total Aset), IEPO

Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya dengan mengaplikasikan suatu pemb- elajaran untuk

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka untuk mendalami mengenai metode pengajaran dalam rangka kerygma dan didache di Sekolah Minggu, penulis menggunakan tiga teori

Perusahaan Pelayaran Nusa Tenggara, tarif tambang per mil untuk kapal kamandalu yang dihitung dengan menggunakan metode variabel costing adalah Rp 847.126,36.. 2.3.1 Metode

Tidak adanya dukungan dari manajemen puncak terhadap sistem informasi manajemen yang ada, maka dapat dipastikan sistem informasi dalam organisasi tersebut tidak

  Jawaban : catu daya merupakan suatu rangkaian yang berfungsi memberikan daya dan tegangan kepada rangkaian televisi agar televisi tersebut dapat bekerja dengan

Kerusakan infrastruktur yang berada di Sungai Senowo dan Pabelan bagian hilir adalah dampak dari banjir lahar dingin yang disebabkan curah hujan yang tinggi di

Peranan teknologi informasi pada aktifitas manusia pada saat ini memang begitu besar. Teknologi informasi telah menjadi fasilitator utama bagi kegiatan- kegiatan bisnis,