• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Filosofis dan Teoritis Standar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Landasan Filosofis dan Teoritis Standar"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Please Quote as:

Sujana, I Made, Nuryanti, Tri, & Narasintawati, Luh Sri (2010). Landasan Filosofi dan Teoritis Standar Isi Bahasa Inggris dalam KTSP dan Tantangan Kurikulum LPTK Bahasa Inggris, Jurnal Linguistik, Sastra, dan Budaya (Lisdaya), JPBS FKIP UNRAM, Vol. 6 No. 1, 2010

LANDASAN FILOSOFI DAN TEORITIS STANDAR ISI BAHASA INGGRIS DALAM KTSP DAN TANTANGAN KURIKULUM

LPTK BAHASA INGGRIS

Oleh:

I Made Sujana, Hj. Tri Nuryanti & Luh Sri Narasintawati

PBS FKIP Universitas Mataram, SMP Negeri 2 Mataram, SMP Negeri 14 Mataram

Abstract. Indonesia has launched the 7th curriculum --- called KTSP 2006 (2006’s School-Based Curriculum) – whose aim is to give autonomy to school to manage its own education. However, if it is traced at the subject level, especially at English subject, there is no significant difference between 2006’s KTSP and 2004’s CBC. The major change happening is on the transition from 1994’s curriculum to 2004’s CBC in terms of theoretical and philosophical foundations being applied. This paper will analyze the phylosophical and theoretical foundations in teaching English in Indonesia and their impacts on the English curriculum of English Education Department.

Key words: 2006’s School Based Curriculum, theoretical and philosophical

foundation, English subject

Abstrak. Indonesia meluncurkan kurikulum ketujuh dengan nama KTSP 2006

yang bertujuan untuk memberikan otonomi pada sekolah dalam pengelolaan pendidikan. Tetapi kalau ditelusuri secara esensi pada bidang studi, kurikulum ini kurang lebih sama dengan KBK 2004. Dalam bidang studi Bahasa Inggris, tidak ada perubahan yang mendasar anatara KBK 2004 dengan KTSP 2006. Justru yang terjadi perubahan besar adalah dari Kurikulum 1994 (supplemen 1999) ke KBK 2004 dalam hal landasan filosofi dan teoritis yang melatarbelakanginya. Tulisan ini mencoba memaparkan kedua landasan tersebut dalam KBK 2004/KTSP 2006 pada mata pelajaran Bahasa Inggris serta memaparkan dampak perubahan tersebut terhadap kurikulum LPTK Bahasa Inggris.

Kata-kata kunci: KTSP 2006, landasan filosofi, landasan teoritis, bahasa Inggris

A. PENDAHULUAN

Menjawab tantangan tentang mutu pendidikan di Indonesia Departemen Pendidikan

(2)

Pendidikan Menengah merespon secara gencar dengan melakukan

perubahan-perubahan. Beberapa tahun terakhir ini Depdiknas disibukkan dengan mencari

format yang tepat untuk kurikulum pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP)

dan pendidikan menengah (SMU). Mulai tahun 2002 digulirkan Kurikulum

Berbasis Kompetensi yang kemudian menjadi draft Kurikulum 2004. Walaupun

belum disahkan oleh yang berwenang, KBK 2004 sudah banyak diterapkan di

sekolah-sekolah sebagai uji coba. Tentu saja sebelumnya telah didahului dengan

pelatihan-pelatihan untuk guru dan jajaran terkait yang barangkali telah

menghabiskan dana yang tidak sedikit.

Belum tuntas secara menyeluruh pemahaman guru tentang KBK 2004,

pemerintah kembali melakukan revisi dengan memunculkan nama Kurikulum

Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) 2006. Dari perjalanan kurikulum di Indonesia

KTSP 2006 merupakan kurikulum yang ketujuh yang diterapkan. Sebelumnya

Pemerintah Indonesia pernah menerapkan Kurikulum 1954, 1964 (supplemen

1968), 1975, 1984, 1994 (supplemen 1999) dan KBK 2004 (lihat Mirizon, 2004;

Priyono, 2004). Ini berarti kecuali antara KBK 2004 dan KTSP 2006 Indonesia

melakukan perubahan kurikulum 10 tahun sekali. Tentu saja perubahan tersebut

memiliki landasan yang kuat dan setelah melakukan studi kelayakan dan dengan

mempertimbangkan hasil kurikulum sebelumnya, bukan disebabkan oleh pergantian

Menteri Pendidikan seperti yang sering disindirkan masyarakat biasa. Perubahan

Kurikulum 1994 ke KBK 2004 dilandasi beberapa alasan, antara lain: (a) siswa

memiliki potensi yang berbeda dan potensi ini akan berkembang kalau stimulus

yang diberikan sesuai; (b) kualitas pendidikan kita masih rendah dan mengabaikan

beberapa aspek seperti moral, karakter, kecakapan hidup, dll.; (c) kompetisi global

mensyaratkan kompetensi – yang memiliki kompetensi akan bisa bertahan, yang

tidak akan gagal; (d) kompetisi terjadi pada SDM yang merupakan produk dari

pendidikan; dan (e) kompetisi terjadi pada institusi pendidikan (Depdiknas dalam

Mirizon, 2004).

Untuk mata pelajaran bahasa Inggris perubahan dari KBK 2004 ke KTSP

2006 mungkin tidak banyak mengalami perubahan kecuali perampingan dalam

(3)

kurikulum ini sama, yang berbeda adalah KTSP 2006 memberikan otonomi pada

sekolah (dalam hal ini guru Bahasa Inggris) untuk mengembangkan sendiri silabus

dan perangkat pembelajaran lainnya berdasarkan visi dan misi sekolah dan standar

kompetensi dan kompetensi dasar yang dikeluarkan oleh Depdiknas. Perubahan

mendasar yang terjadi justru pada perubahan dari Kurikulum 1994 supplemen 1999

ke KBK 2004 karena adanya perubahan landasan filosofi dan landasan teoritis yang

digunakan dalam KBK yang menuntut para guru dan calon guru serta para praktisi

dalam bidang pendidikan untuk memperbaharui konsep-konsep pengajaran yang

telah mereka kuasai dan gunakan selama ini.

Perubahan landasan ini tentu membawa dampak besar pola pembelajaran.

Untuk merubah pola ini perlu pembekalan pada guru-guru tentang konsep baru ini.

Ini merupakan tantangan tersendiri dalam pendidikan kita --- guru sudah mapan

dengan pola lama, tiba-tiba harus diperkenalkan dengan pola baru. Dengan

penerapan KTSP, terjadi transisi besar pada diri guru yang kebanyakan

menempatkan diri sebagai “user” (karena kurikulum dan silabus dibuat oleh

pemerintah/DEPDIKNAS) ke peran sebagai “designer” (dimana guru hanya

diberikan Standar Isi yang selanjutnya menjadi tugas guru untuk mengembangkan

sendiri silabusnya) sebagaimana dituntut oleh KTSP. Perubahan “mindset” inilah

yang menjadi kendala dalam sistem pendidikan Indonesia.

Sebagai penghasil tenaga pendidik, Lembaga Pendidikan Tenaga

Kependidikan (LPTK) juga dituntut untuk melakukan pembaharuan dengan

merekonstruksi kurikulum untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi.

Berdasarkan pengamatan dan analisa penulis terhadap kurikulum LPTK (terutama

di Pulau Lombok), saat ini masih terjadi kesenjangan yang sangat besar antara

kurikulum LPTK dengan lapangan (kebutuhan sekolah). Salah satu indikasinya

terlihat dari kebingungan mahasiswa PPL di sekolah dengan istilah-istilah yang

baru mereka dengar dan keluhan guru pamong yang membimbing mereka. Hal ini

harus diakui memang belum ada mata kuliah atau materi yang memperkenalkan

mereka pada istilah-istilah yang dipakai dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006. Ini

tentu saja menjadi “PR” bagi LPTK untuk segera merekonstruksi kurikulum

(4)

Sebagai bahan masukan untuk LPTK yang menyelenggarakan Pendidikan

Bahasa Inggris, tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan landasan filosofi dan

teoritis dalam penyusunan KBK 2004 dan KTSP 2006 mata pelajaran Bahasa

Inggris serta dampaknya terhadap guru, calon guru dan LPTK pengelola PS

Pendidikan Bahasa Inggris.

B. DISKUSI

Permasalahan utama yang dihadapi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris dengan

penerapan KBK/KTSP adalah penyamaan persepsi tentang konsep kurikulum baru

ini sehingga bisa mengimplementasikannya sesuai yang diamanatkan dalam

kurikulum. Yang terjadi di lapangan saat ini adalah adanya persepsi yang beragam

tentang konsep KBK/KTSP mata pelajaran Bahasa Inggris yang disebabkan oleh

banyak faktor penghambat. Dengan demikian diperlukan usaha terus menerus dari

semua pihak yang terlibat dalam pengajaran Bahasa Inggris untuk memberikan

klarifikasi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya penyimpangan penguasaan

konsep serta terus melakukan pembenahan-pembenahan untuk mendukung

penerapan kurikulum baru ini. Untuk tujuan tersebut, bagian ini akan memaparkan

kembali tentang beberapa konsep yang berkaitan dengan KBK/KTSP mata

pelajaran Bahasa Inggris antara lain landasan filosofi dan landasan teoritis dari

KBK.

2.1 Landasan Filosofi KBK/KTSP Bahasa Inggris

Penyusunan Standar Isi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah

menengah di Indonesia berangkat dari pandangan bahasa sebagai alat

komunikasi atau sebagai sistem semiotik sosial yang dikembangkan oleh

Haliday (1985). Pandangan ini lebih dikenal dengan nama Systemic

Functional Linguistics (SFL). Menurut pandangan SFL, bahasa pada tingkat

internal terdiri atas 3 strata yaitu semantik (makna), tatabahasa (bentuk) dan

fonologi/grafologi (ekspresi). Sedangkan pada tingkat ekternal

(ekstralinguistik), bahasa sebagai semiotik sosial berhubungan erat dengan

(5)

Penggunaan bahasa (pembangunan suatu teks tulis/lisan), berdasarkan

pandangan ini, sangat ditentukan oleh konteks budaya dan konteks situasi.

Hubungan antara teks dan konteks dapat digambarkan sebagai berikut:

REGISTER

Gambar 1: Konteks Budaya dan Konteks Situasi (Deriwianka dalam Morizon, 2004)

Diagram di atas menggambarkan tentang peran konteks dalam

penciptaan dan penafsiran suatu teks. Dalam konteks apapun, dalam

menggunakan bahasa seseorang melakukan tiga fungsi (three meta functions),

yaitu: (a) Fungsi gagasan (ideational function) – fungsi bahasa untuk

mengemukakan atau mengkonstruksi gagasan atau informasi; (b) Fungsi

interpersonal (interpersonal function) --- fungsi bahasa untuk berinteraksi

dengan sesama manusia yang mengungkapkan tingkat tutur (speech act) yang

dilakukan, sikap, perasaan, dan sebagainya; dan (c) Fungsi tekstual (textual

function) --- fungsi yang mengatur bagaimana teks atau bahasa yang

diciptakan ditata sehingga tercapai kohesi dan koherensi untuk memudahkan

orang membaca/mendengarnya.

Dengan demikian, pengembangan program pengajaran bahasa Inggris

siswa harus diarahkan pada kemampuan untuk mengungkapkan

nuansa-nuansa makna ideasional, makna interpersonal dan makna tekstual.

Sebagaimana terlihat dalam diagram di atas, penggunaan bahasa dalam

model ini dipengaruhi oleh dua jenis konteks --- konteks budaya dan konteks

situasi. Konteks budaya melahirkan berbagai jenis teks (genre) seperti

(6)

oleh masyarakat pengguna bahasa tersebut karena memiliki susunan teks

(generic structure) dan bahasa (grammatical features) jelas dan baku yang

digunakan dapat menunjang tujuan komunikatif. Dengan lain kata, dalam

penyampaian tujuan komunikasi, masing-masing jenis teks ini dikemas dalam

generic/schematic structure dan grammatical features tertentu. Generic

Structure (GS) dan Grammatical Features (GF) teks Procedure berbeda

dengan GS dan GF teks Deskriptive.

Konteks situasi melahirkan language register (variasi bahasa), yaitu

pemilihan bahasa yang dianggap sesuai dalam konteks tertentu. Pemilihan

variasi bahasa ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu field, tenor dan mode.

Field berkaitan dengan topik yang dibicarakan, Tenor berkaitan dengan siapa yang terlibat dalam pembicaraan (participants) dan Mode berkaitan dengan

jalur komunikasi yang digunakan apakah lisan atau tertulis termasuk medium

komunikasi apakah face-to-face atau melalui telefon.

Dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, kedua konteks

ini penting diajarkan dalam rangka pencapaian penguasaan Bahasa Inggris

yang sesuai dengan standar bagaimana penutur asli mengungkapkan ide dalam

konteks yang dihadapinya.

2.2 Landasan Teoritis KBK/KTSP Bahasa Inggris

Selain landasan filosofi yang disebutkan di atas, KBK/KTSP juga

berdasarkan landasan teori yang terdiri dari model kompetensi komunikatif

(Celce-Murcia, dkk., 1995) dan teori literasi dan penerapannya dalam

pengajaran bahasa (Kern, 2000 dalam Depdiknas, 2004; Morizon, 2004).

2.2.1 Model Kompetensi Komunikatif

Model kompetensi yang digunakan dalam KBK 2004/KTSP 2006

adalah model yang dimotivasi oleh pertimbangan pedagogi bahasa yang

dikembangkan oleh Canale dan Swain (Depdiknas, 2004). Salah satu

model yang terkini yang ada dalam pengajaran bahasa adalah model

yang dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dorneyi dan Thurell (1995) yang

(7)

bukan seperangkat aturan. Ini artinya pengejaran bahasa diarahkan pada

penyiapan siswa untuk mampu menggunakan bahasa dalam konteks

sehari-hari. Model ini lebih dikenal dengan nama Communicative

Competence atau Kompetensi Komunikatif yang dijabarkan pada

diagram berikut:

Discourse Competence

Linguistic Competence

Socio-cultural Competence

Actional Competence Strategic

Competence Celce-Murcia et al, 1995

Communicative Competence

Gambar 2: Komunikatif Kompeten (Celce-Murcia, dkk., 1995)

Gambar di atas terlihat bahwa yang menjadi target dalam pengajaran

bahasa dalam model KK ini adalah Discourse Competence (Kompetensi

Wacana/ KW). Ini berarti ketika seseorang terlibat dalam komunikasi

lisan maupun tulis maupun tulis dia terlibat dalam suatu wacana.

Wacana dalam konteks ini didefinisikan sebagai sebuah peristiwa

komunikasi yang dipengaruhi oleh topik yang dikomunikasikan (field),

hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi (tenor)

dan jalur yang digunakan dalam satu konteks budaya (mode)

(Depdiknas, 2004: 6). Makna apapun yang didengar atau ingin

diciptakan selalu mengacu pada konteks budaya dan konteks situasi

yang sesuai.

Kompetensi Wacana ini akan dikuasai kalau siswa memiliki

kompetensi pendukung seperti Linguistic Competence (Kompetensi

Linguistik), Actional Competence (Kompetensi Tindak Tutur/Retorika),

(8)

Competence (Kompetensi Strategis). Untuk mengaktifkan Kompetensi

Wacana, siswa harus terlibat secara aktif dalam Speaking, Reading, dan

Writing. Keterlibatan ini akan memungkinkan siswa menggunakan

seperangkat strategi dan prosedur untuk merealisasikan nilai-nilai yang

terdapat dalam unsur-unsur bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat

pragmatiknya dalam menafsirkan dan mengungkapkan makna

(McCarthy dan Carter dalam Depdiknas, 2004). Hal ini mengisyaratkan

bahwa perumusan kompetensi dan indikator-indikatornya harus

mengakomodasi komponen-komponen tersebut di atas supaya

pengajaran bahasa Inggris mengarah pada pencapaian kompetensi utama

yaitu Kompetensi Wacana.

2.2.2 Tingkat Literasi

Salah satu pertimbangan teoritis dan praktis dalam penerapan

KBK/KTSP adalah tingkat literasi yang ditargetkan pada masing-masing

jenjang pendidikan. Dengan kata lain, ada tingkat literasi yang telah

ditetapkan yang menjadi skala prioritas pencapaian pada setiap jenjang

pendidikan. Depdiknas (2004) dengan meminjam pengkategorian dari

Wells (1987) menetapkan 4 tingkat lietrasi: performative, functional,

informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, siswa

diharapkan mampu membaca dan menulis, dan berbicara dengan

simbol-simbol yang digunakan. Pada tingkat functional, siswa diharapkan

mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

seperti membaca bagian surat kabar yang diminati, membaca manual.

Pada tingkat informational, siswa diharapkan dapat mengakses

pengetahuan dengan memanfaatkan kemampuan berbahasanya.

Sedangkan pada tingkat epistemic, siswa diharapkan dapat

mentransformasi pengetahuan dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Pada jenjang pendidikan SD, pengajaran Bahasa Inggris diarahkan

pencapaian tingkat literasi performative, SMP pada tingkat functional

(9)

untuk mempersiapkan diri masuk ke perguruan tinggi. Pada tingkat

pendidikan tinggi, pengajaran Bahasa Inggris diarahkan pada tingkat

epistemic untuk dapat mentransformasikan pengetahuan yang dimiliki

dengan Bahasa Inggris.

Performative

Functional

Informational Epistemic

Levels of Literacy Wells, 1987

Gambar 3: Tingkat Literasi (Wells dalam Depdiknas, 2004)

Penerapan tingkat literasi pada masing-masing jenjang pendidikan

membawa dampak pada pemilihan jenis-jenis teks yang tingkat

kesulitannya disesuaikan dengan tingkat literasi tersebut. Termasuk di

dalamnya adalah penekanan pada ragam bahasa (lisan atau tulis) pada

tiap jenjang pendidikan. Depdiknas (2004) telah mencoba merumuskan

kontinum atau rentangan penekanan pengajaran bahasa Inggris dari

jenjang pendidikan SD – SMA yang berangkat dari pengajaran bahasa

lisan kemudian semakin meningkat jenjang pendidikan semakin besar

porsi bahasa tulis. Rentangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4

berikut:

Bahasa Lisan

SD 1-3

SD 4-5

SMP SMA

Bahasa Tulis

(10)

Dari gambar tersebut jelas terlihat bahwa Kurikulum Bahasa

Inggris mencoba mengadopsi “kurikulum alamiah” (istilah Cameron

dalam Depdiknas, 2004) dimana belajar bahasa berangkat dari bahasa

yang menyertai tindakan (language accompanying action) bukan

berangkat dari bahasa sebagai representasi fenomena yang tidak hadir di

hadapannya (language as representation). Dalam belajar bahasa secara

natural, belajar bahasa mulai dari belajar bahasa lisan dan bahasa tulis

sulit dikuasai kalau bahasa lisan belum dikuasai. Semakin tinggi kelas

atau tingkat pendidikan semakin banyak pengenalan bahasa tulis.

Dengan adanya dikotomi penekanan pengajaran ini, perlu pemikiran

yang cermat tentang apa yang menjadi konsentrasi pada masing-masing

jenjang pendidikan ini untuk menghindari tumpang tindih materi yang

diajarkan.

2.2.3 Teaching-Learning Cycles (TLC) sebagai Model Pembelajaran Model pembelajaran yang disarankan dalam proses pembelajaran

Bahasa Inggris baik dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006 didasarkan

pada prinsip-prinsip pengembangan literasi Bahasa Inggris yang

dikembangkan oleh Hammond, dkk. (1992). Model ini lebih dikenal

dengan nama Teaching Learning Cycles (TLC). Langkah-langkah

pembelajarannya meliputi (1) Building Knowledge of the Field

(BKOF), (2) Modelling of the Text (MOT), (3) Joint Construction of the

Text (JCOT), dan (4) Independent Construction of the Text (ICOT).

Langkah-langkah ini bisa diterapkan baik untuk Siklus Lisan (Spoken)

maupun Siklus Tulis (Written Cycles). Selengkapnya empat langkah

(11)

Gambar 5: Siklus Pembelajaran Bahasa Inggris (Hammond, dkk. (1992).

Gambar di atas menunjukkan kegiatan dan pelibatan komponen interaksi (guru

dan siswa) pada masing-masing langkah. Kegiatan BKOF bertujuan untuk

memberikan brainstorming terhadap materi/topik yang akan dibahas. Kegiatan

ini meliputi penggalian pengetahuan awal yang dimiliki siswa, pengenalan kosa

kata dan tatabahasa yang relevan, yang dilaksanakan secara interaktif antara

guru dengan siswa, siswa dengan siswa sehingga ada pembiasaan menyimak

dan berbicara pada diri siswa untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kegiatan

MOT bertujuan untuk memperkenalkan jenis teks tertentu. Guru memberikan

model interaksi atau teks dan bagaimana interaksi/teks ini mencapai tujuan

tertentu (fungsi teks). Untuk mempermudah pemahaman siswa guru

memperkenalkan bagaimana Generic Structures dan Grammatical Features

yang membangun teks yang sedang dibahas. Pada langkah ini, terjadi interaksi

antara guru dengan siswa (secara individu dan kelompok/kelas). JCOT

bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatihkan teks

yang dimodelkan secara berkelompok dengan temannya. Dengan bekal

pemahaman pada kegiatan BKOF dan MOT, siswa diharapkan mampu meniru

dan memodifikasi model yang diberikan. Langkah selanjutnya --- ICOT ---

(12)

teks secara mandiri dan spontanitas. Kegiatan ini bisanya diawali dengan Siklus

Lisan kemudian dilanjutkan dengan Siklus Tulis, tetapi ketika memasuki Siklus

Tulis, bisa langsung mulai dengan MOT atau langsung JCOT kalau BKOF dan

MOT-nya sama.

Dari paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa baik landasan filosofis

maupun landasan teoritis dari KBK 2004/KTSP 2006 mengarah pada penerapan

Hallidayan’s Systemic Functional Linguistics. Pertanyaan mendasar untuk LPTK Bahasa Inggris (FKIP UNRAM salah satunya) adalah sudahkah LPTK

mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan? Dengan kata lain,

apakah dengan kurikulum yang ada sudah mampu membekali mahasiswa calon

guru dengan kemampuan-kemampuan yang dituntut di atas? Kalau ya, di bagian

mana konsep-konsep tersebut diberikan? Perubahan besar yang terjadi di sekolah

menuntut lebih dari sekadar sisip-menyisipkan pada mata kuliah tertentu, tetapi

harus jelas porsinya. Menurut pengamatan penulis, sampai rekonstruksi terakhir

kurikulum Bahasa Inggris FKIP UNRAM, belum tampak adanya perubahan ke arah

pemenuhan kebutuhan lapangan dalam hal peningkatan kompetensi pedagogis

maupun profesionalnya.

2.3 Dampak Perubahan pada Kurikulum LPTK Bahasa Inggris

Adopsi SFL dalam penyusunan Standar isi pada KBK 2004 dan KTSP 2006

merupakan “snow-ball effect” terhadap kurikulum di perguruan tinggi

(Agustien, 2006). Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh perguruan

tinggi penyelenggara PS Bahasa Inggris adalah, dengan kuatnya pengaruh

SFL dalam kurikulum sekolah, bagaimana tingkat kesiapan LPTK Bahasa

Inggris? Sudahkah mahasiswa dibekali dengan landasan-landasan di atas?

Apakah pembekalan tersebut melalui pemberian mata kuliah baru atau berupa

sisipan sudah ada? Kalau berupa sisipan dalam mata kuliah mana diberikan?

Kalau kurikulum LPTK Bahasa Inggris berorientasi pada Kurikulum Berbasis

Kompetensi, maka lembaga ini tidak bisa tinggal diam dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pasar. Kebutuhan pasar sudah jelas bahwa untuk

(13)

kompetensi: kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi

sosial dan kompetensi. Berkaitan dengan kompetensi pedagogis, mahasiswa

harus dibekali dengan metodologi, strategi dan teknik pengajaran, serta

kemampuan penilaian yang belaku di sekolah. Mahasiswa harus dibekali

dengan kemampuan mengelola pembelajaran yang menerapkan 4 langkah

pembelajaran (BKOF, MOT, JCOT dan ICOT) sebagai salah satu kemampuan

pokok dimiliki seorang calon guru bahasa Inggris. Dalam penilaian,

mahasiswa juga harus dibekali dengan kemampuan menilai yang sebenarnya

(authentic assessment). Bagaimana memaksimalkan penilaian unjuk kerja

(performance test) dan portfolio disamping tes tulis sehingga penilaian bisa

lebih valid dan reliabel.

Kurikulum LPTK harus berorientasi pada pasar atau dalam konteks ini

adalah sekolah. Dengan pengaruh aliran SFL dan pengaruh lainnya dalam

Standar Isi Bahasa Inggris di sekolah, perguruan tinggi juga harus membekali

lulusannya dengan konsep-konsep aliran tersebut. Sebagaimana ditanyakan di

atas, seberapa banyak isu-isu baru di lapangan terakomodasi dalam mata

kuliah seperti Curriculum & Material Development (CMD), Teaching English

as a Foreign Language (TEFL), Micro Teaching, Language Testing atau mata

kuliah PBM lainnya dan mata kuliah peningkatan kompetensi profesional

seperti Syntax, Grammar, Writing, Discourse Analysis, dll. sehingga lulusan

yang dihasilkan mampu mengantisipasi pasar (sekolah)? Program studi harus

segera melakukan pemetaan terhadap mata kuliah-mata kuliah terkait atau

seperti yang dilakukan oleh LPTK lain (seperti Universitas Negeri Semarang)

yang berani memunculkan 8-10 sks mata kuliah yang terkait dengan

perkembangan baru di lapangan (Agustien, 2006).

Hal ini menjadi keharusan bagi penyelenggara Program Studi Pendidikan

Bahasa Inggris untuk melakukan rekonstruksi ke arah itu. Permasalahan ini

bukan permasalahan mau-tidak mau atau tertarik-tidak tertarik akan aliran

tertentu dalam pembelajaran, tapi penerimaan kenyataan akan tuntutan

lapangan. Bagi LPTK, tidak ada pilihan lain dalam konteks ini kecuali

(14)

untuk membekali mahasiswa dengan kompetensi yang dibutuhkan lapangan

sehingga memiliki daya saing di pasar kerja.

C. PENUTUP

Terkait dengan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, perubahan paradigma

besar-besaran terjadi bukan dari KBK 2004 ke KTSP 2006, tetapi dari Kurikulum

1994 ke KBK 2004 karena perbedaan landasan filosofis dan teoritis yang

mendasari. Pengaruh Systemic Functional Linguistics (SFL) yang dicetuskan oleh

Michael Halliday. Aliran ini memandang pemilihan bahasa untuk mencapai tujuan

tertentu sangat ditentukan oleh konteks ideologi, budaya, dan situasi. Dalam

perancangan pembelajaran, pendekatan yang digunakan adalah model Kompetensi

Komunikatif (KK) yang dikembangkan oleh Celce-Murcia, dkk. (1995) dan Teori

Literasi yang dikembangkan oleh Kern (2000 dalam Morizon, 2004).

Begitu banyak telah terjadi perubahan dalam pembelajaran Bahasa Inggris di

tingkat sekolah. Bagaimana dengan LPTK Bahasa Inggris sebagai “mesin cetak”

guru Bahasa Inggris menghadapi perubahan ini. Seberapa besar telah terjadi

perubahan di LPTK Bahasa Inggris dalam pemenuhan pasar.

Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab secara internal dengan melakukan refleksi diri

dari segi perangkat pembelajaran (kurikulum, Silabus, SAP), dosen sebagai agen

pembelajaran, dan kontrol terhadap implementasi dalam perkuliahan.

REFERENSI

Agustien, Helena I. R., 2006. Systemic Functional Linguistics in the National English Curriculum, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pembentukan Forum Sistemik Fungsional Linguistik Indonesia UNJ Jakarta tanggal 9 – 10 November 2006.

Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004. The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indonesia. Malang: State University of Malang Press.

Celce-Murcia, M, Z. Dornyei, dan S. Thurrell. “Communicative Competence: A

Pedagogically Motivated Model with Content Specifications”, in Issues in Applied

Linguistics, 6/2 pp. 5-35

(15)

Haliday, Michael, 1985/1994. Introduction to Fuctional Grammar. London: Edward Arnold.

Huda, Nuril, 1999. Language Learning and Teaching: Issues and Trends. Malang: Universitas Negeri Malang.

Kismadi, Gloria C., 2004. “Start Them Early: Teaching English to Young earners in

Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.). The Tapestry

of English Language Teaching and Learning in Indonesia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 253 – 264.

Mirizon, Soni, 2004. “Some Aspects of English Competency Based Curriculum”, Forum Kependidikan. FKIP Universitas Sriwijaya, Vol. 24, No.1, pp. 67-86

Priyono, 2004. “Logical Problems of Teaching English as a Foreign Language in

Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.). The Tapestry

of English Language Teaching and Learning in Indonesia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 17-28.

Santosa, Riyadi, 2006. Pilihan Bentuk dan Makna Hubungan Konjugatif dan Pengaruhnya terhadap Gaya Bahasa, Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pembentukan Forum Sistemik Fungsional Linguistik Indonesia UNJ Jakarta

Gambar

Gambar 1: Konteks Budaya dan Konteks Situasi (Deriwianka dalam Morizon, 2004)
Gambar 2: Komunikatif Kompeten (Celce-Murcia, dkk., 1995)
Gambar 3: Tingkat Literasi (Wells dalam Depdiknas, 2004)
Gambar 5: Siklus Pembelajaran Bahasa Inggris (Hammond, dkk. (1992).

Referensi

Dokumen terkait

Dia masih berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di sini, meskipun semua orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk bisa pindah ke

•Mahasiswa memulai untuk membuat rendering dari sebuah model yang kompleks.

Maksud dari percobaan adalah untuk meli- hat pengaruh infus tanaman tersebut terhadap tekanan darah normal kucing bila diberikan secara intravena.. Selain dari itu

From interviews to get a more in- depth information about the difficulty factors greatly affect is the difficulty teachers determine appropriate forms of

Pelaksanaan Ritual Usahatani Padi Sawah pada Kawasan Perkotaan Pelaksanaan ritual usahatani padi sawah pada Subak Ayung Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

pembelajaran dengan metode Debath dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar efektif dan kreatif, dimana siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya,

Berdasarkan penelitian tentang Uji Coba Kartu Pemantauan Minum Tablet Tambah Darah (Fe) Ter - hadap Kepatuhan Konsumsi Ibu Hamil, diperoleh simpulan sebagai berikut:

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non- Makanan