• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Perlawanan Bangsa di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH Perlawanan Bangsa di Indonesia"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

MAKA

LAH

PERJUA

NGAN

BANGS

A

INDONE

SIA

DALAM MEMPERTAHANKAN

KEMERDEKAAN

Perla

wana

n

Bang

sa

Indon

esia

Untuk

Mempe

rtahan

kan

Kemer

dekaan

Disusu

n

Oleh :

Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Arut Selatan

Jalan Pangeran Diponegoro No.26 Telp. (0532) 21092

Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat

Provinsi Kalimantan Tengah

Alexandhe

Soesanto

Eggy Akbar

Pradana

(2)

S

ekapur

S

irih

Puji syukur yang sebesar-besarnya kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat, kasih dan karunianya sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang “

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan

Indonesia

” ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dari salah satu guru SMP Negeri 1Arut Selatan, Ibu Suhartatik, Spd. Tim Penyusun berusaha menyajikan makalah ini dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca untuk mempermudah pemahaman pada materi ini.

Selesainya tugas ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada teman – teman dan guru yang memberikan saran dan kritik untuk penyelesaian makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,kami selaku Tim Penyusun menohon maaf yang sebesar – besarnya apabila terdapat isi materi yang kurang baik.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terima kasih.

Pangkalan Bun, 2 September 2013

(3)

D

aftar

I

si

Kata Pengantar... 2

Daftar isi... 3

1. Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan...4

A. Perjuangan Bersenjata...4

 Pertempuran di Semarang...4

 Peperangan di Ambarawa...6

 Pertempuran 10 November di Surabaya...8

 Medan Area...12

 Bandung Lautan Api...13

 Peristiwa Merah Putih di Manado...14

 Puputan Jagaraga, Kusumba, dan Badung...15

 Puputan Klungkung dan Margarana...16

Peristiwa Merah Putih di Biak dan Peperangan di Sulawesi Selatan...17

B. Perjuangan Diplomasi...18

2. Agresi Militer Belanda 1 dan Agresi Militer Belanda 2...24

A. Agresi Militer Belanda 1...24

B. Agresi Militer Belanda 2...27

(4)

Perjuangan bangsa Indonesia intuk mewujudkan suatu kemerdekaan yang sempurnya belum sepenuhnya berakhir. Selain masalah pemerintahan yang belum sepenuhnya terbentuk, Belanda juga belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka masih mengklaim bahwa Indonesia merupakan wilayah Kerajaan Belanda. Sehingga membuat para pejuang merasa marah dan benci terhadap Belanda. Mereka-pun juga melawan pihak Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Bentuk – bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap pihak Belanda dapat dibedakan menjadi 2, yaitu Perjuangan Bersenjata dan Perjuangan Diplomasi.

Perjuangan Bersenjata bangsa Indonesia terjadi diberbagai tempat, antara lain :

a. Pertempuran di Semarang

1.

Kronologi

Kaburnya tawanan Jepang

Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh.

Tewasnya Dr. Kariadi

Setelah kabur-nya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar

1.

Perjuangan

Bangsa

Indonesia

dalam

Mempertahan

kan

Kemerdekaan

A.

Perjuangan

(5)

pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, (Sekarang menjadi kawasan industri Candi Semarang) waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang Rumah Sakit Kariadi Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

2. Tokoh – Tokoh Yang Terlibat

Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlibat adalah sbb :

1. dr. Kariadi

dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Ia juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara.

2. Mr. Wongsonegoro

Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang. 3. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta

Tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro. 4. Mayor Kido (Pemimpin Kidobutai)

Pimpinan Batalion Kidobutai yang berpusat di Jatingaleh. 5. drg. Soenarti

(6)

6. Kasman Singodimejo

Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia. 7. Jenderal Nakamura

Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang

3. Peristiwa Lain

1. Sebelum tanggal 20 Oktober, ada kejadian Gencatan Senjata antara kedua belah pihak, tetapi kendati demikian kejadian ini tidak memadamkan situasi, kejadian diperparah dengan pembunuhan sandera

2. Di Pedurungan, orang-orang Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk menjadi satu untuk memindahkan tawanan, yang menjadi sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi maka 75 sandera itu dibunuh, sehingga perang berlanjut.

3. Radius 10 km dari Tugumuda menjadi medan peperangan 5 Hari Semarang

4. Monumen Tugu Muda

Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.

b. Peperangan di Ambarawa

a. Kronologi Peristiwa

(7)

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia.

Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.

Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.

b. Pertempuran Ambarawa

(8)

pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

c. Pertempuran 10 November di Surabaya

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

a. Kronologi

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana – mana melawan NICA dan Pemerintahan AFNEI.

(9)

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

(10)

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Baku Tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:

“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk

(11)

berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).

Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapatkan langsung dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan “

Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.

(12)

ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

d. Medan Area

a. Kronologi Peristiwa

Tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Mohammad Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pendaratan Sekutu di kota Medan terjadi pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu (Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden. Pada tanggal 13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi para pemuda. Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.

(13)

Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan ini terus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Padang, Bukit Tinggi dan Aceh.

e. Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.

Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946.

(14)

Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang

tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya.

Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan

tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.Kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

f. Peristiwa Merah Putih Di Manado

Pada akhir1945 pasukan sekutu (Australia) menyerahkan kekluasaan kepada NICA dan sekutu,lalu meninggalkan manado .NICA bertindak sewenang wenang mnenangkap tokoh tokoh RI.pemuda yang mnendukung RI membentuk PPI (pasukan pemuda Indonesia) mereka menggalang aksi perlawanan .NICA menangkapi tokoh tokoh PPI juga .pada tanggal 14 februari 1946 PPI menyerbu merkas NICA di teeing dan membebaskan tokoh yang di tangkap.mereka mengambil bendera belanda lalu merobek warna biru dan mengbarkan sebagai bendera merah putih.

g. Puputan Jagaraga

Pada tahun 1846, Anak Agung Jelantik penguasa daerah Den Bukit, sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Buleleng memutuskan untuk melakukan perang puputan. Perang ini dipicu oleh politik tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang masuk ke dermaga pelabuhan Buleleng – Bali Utara) yang diberlakukan Kerajaan Den Bukit tidak diterima oleh pihak Belanda yang mencoba masuk ke wilayah Den Bukit. Karena dipersenjatai peralatan perang modern yang lengkap, termasuk kapal laut,

(15)

kapal udara, mobil perang beserta senapan-senapan apinya, maka Belanda secara membabi buta menyerang wilayah Den Bukit mulai dari pesisir Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga.

Dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten, Kerajaan Buleleng diserang dari segala tempat, udara, laut dan darat. Namun rakyat Den Bukit tidak menyerah menghadapi serangan yang sangat tidak berimbang ini. Raja Den Bukit pun mengumumkan kepada rakyat, pasukan perang dan kerabat istana untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan. Akhirnya Den Bukit pun jatuh ke tangan Kolonial Belanda, namun atas desakan rakyat, Anak Agung Jelantik dan beberapa sesepuh Kerajaan Den Bukit berhasil diloloskan ke wilayah Kerajaan Karangasem untuk meminta perlindungan dan menyusun kekuatan untuk kembali menghadapi pasukan Belanda.

h. Puputan Kusumba

Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1849, Belanda berusaha menduduki wilayah Bali Timur. Pasukan ingin menguasai wilayah Kerajaan Klungkung yang merupakan kerajaan tertinggi di Bali saat itu. Dengan menguasai Kerajaan Klungkung, berarti wilayah Bali secara keseluruhan akan dibawah kekuasaan penjajah Belanda. Namun rencana ini tercium oleh rakyat desa Kusamba yang merupakan benteng kekuatan Kerajaan Klungkung. Rakyat Kusamba yang didukung penuh oleh atasannya menyatakan akan menghadapi belanda secara perang puputan.

Pada tanggal 25 Mei 1849, tampil lah Ida I Dewa Istri Kanya, seorang perempuan Bali memimpin perang puputan yang dikenal dengan Puputan Kusamba tersebut. Saat itu pasukan Belanda dipimpin oleh Let. Jen. Michiels. Berbeda dengan perang puputan lainnya, kali ini Klungkung memenangkan perang dengan terbunuhnya Micheils di medan perang. Kekalahan ini tentu saja membuat pihak Belanda sangat malu.

i. Puputan Badung

(16)

Karena utusan raja tidak mempercayai laporan palsu tersebut, pihak kolonial Belanda mengeluarkan ultimatun yakni mendenda Raja Badung, I Gusti Ngurah Denpasar (Badung merupakan otoritas tiga kerajaan, yakni Kesiman, Denpasar dan Pemecutan) sebesar 3.000 ringgit (7.500 gulden). Jika Raja Badung tidak mau membayar denda sampai batas tanggal yang ditentukan 9 Januari 1905, maka wilayah Badung akan diserang secara militer oleh pihak kolonial Belanda. Karena rakyat Badung tidak bersalah, maka tantangan tersebut diladeni dengan perlawanan.

Maka pecahlah Puputan Badung dengan korban gugur di pihak rakyat mencapai 7.000 orang, termasuk para raja dan kerabat istana serta para pahlawan dari ketiga puri, Kesiman, Denpasar dan Pemecutan. Pasukan Belanda dipimpin Rost Van Toningen, berhasil menduduki wilayah Badung. Namun para wartawan perang yang dibawa pihak Belanda melaporkan bahwa Puputan Badung ini merupakan pembantaian massal yang dilakukan militer Belanda terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata.

j. Puputan Klungkung

Dua tahun setelah Puputan Badung, tanggal 28 April 1908 kembali terjadi perang puputan melawan kolonial Belanda. Perang puputan yang dikenal dengan Puputan Klungkung ini merupakan perang puputan terakhir masa kerajaan di Bali. Perang yang menandai jatuhnya seluruh wilayah Bali ke tangan belanda ini dipicu oleh kesewenang-wenangan Belanda dalam membuat peraturan yang tentu merugikan rakyat Bali. Di pihak Klungkung dipimpin oleh Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Jambe, yang sekaligus gugur dalam peperangan.

Kemenangan Belanda kali ini merupakan obat penawar sakit hati yang harus diterima Belanda ketika menggempur wilayah Klungkung di Desa kusamba sekitar setengah abad sebelumnya.

k. Puputan Margarana

Setelah Indonesia merdeka, pada masa-masa perang kemerdekaan kembali terjadi perang puputan di wilayah Kabupaten Tabanan. Adalah Desa Marga, Kecamatan Marga, menjadi tempat bersejarah yang menandai bagaimana rakyat Indonesia, khususnya rakyat Bali gigih menentang segala bentuk penjajahan. Di tempat pertempuran secara puputan terakhir ini, kini ditandai dengan situs candi yang dikenal dengan Candi Margarana. Marga adalah tempat kejadiannya, sedangkan rana berarti perang atau pertempuran.

Pada tanggal 20 November 1946, terjadi pertempuran habis-habisan antara pasukan Ciung Wanara dibawah pimpinan Let. Kol. I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan NICA (pasukan yang dibonceng penjajah Belanda). Pertempuran sengit diatas kebun jagung di Banjar Kelaci itu membuat I Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya gugur dalam membela tanah air, NKRI.

(17)

Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia sekalipun terlambat, tetapi sampai juga di Papua. Rakyat Papua yang ada diberbagai kota, seperti Jayapura, Sorong, Serui dan Biak memberikan sambutan yang hangat dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda di berbagai kota mengadakan rapat umum mendukung kemerdekaan. Sekutu bersama NICA berusaha melarang kegaiatn politik dan pengibaran bendera Merah Putih, namun para pemuda Papua tidak menhiraukan. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 14 Maret 1948 terjadi peristiwa Merah Putih di Biak. Peristiwa ini diawali dengan adanya penyerangan tangsi militer Belanda di Soroako dan Biak. Selanjutnya, para pemuda Biak yang dipimpin oleh Joseph berusaha mengibarkan bendera merah putih di seluruh Biak. Usaha ini mendapat perlawanan dari Belanda sehingga mengalami kegagalan. Beberapa pemimpin perlawanan berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

m.

Peperangan di Sulawesi

Selatan

Sebagai gubernur Sulawesi Selatan yang di angkat tahun 1945 ,DR.G.S.S.J.Ratu Langie Melakukan aktifitasnya dengan membentuk pusat pemuda nasional Indonesia (PPNI).Organisasi yang bertujuan untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah di pimpin oleh Manai Sophian.

Sementara itu pada bulan desember 1946 belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Wasterling.kedatangan pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan Negara Indonesia timur.

Di daerah ini pula,pasukan Australia yang di boncengi NICA mendarat kemudian membentuk pemerintahan sipil.Di Makassar karena Belanda melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampilah pemuda-pemuda pelajar seperti A.Rifai Paersi, Robert Wolter Mongon Sidi melakukan perlawanan dengan merebut tempat-tempat strategis yang di kuasai NICA.selanjutnya untuk menggerakan perjuangan di bentuk lah Laskar Pemberontakan Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tokoh-tokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Room Djarung dan Ribert Wolter Mongisidi sebagai Sekertaris Jendralnya.

Sejak tanggal 7-25 desember 1946 pasukan Westerling secara keji membunuh beribi ribu rakyat yang tidak berdosa .Pada tanggal 11 desember 1946 belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang dan hukum militer.Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di desa desa mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban.

17

|

B. Perjuangan

M a k a l a h S e j a r a h ; P e r j u a n g a n B a n g s a I n d o n e s i a

(18)

a. Diplomasi Beras

Antara India dan Indonesia terdapat persamaan nasib dan sejarah. Kedua negara ini sama – sama pernah dijajah dan menentang penjajahan. Oleh karenanya, ketika rakyat India mengalami kekurangan bahan makanan, pemerintah Indonesia menawarkan bantuan padi sejumlah 500.000 ton. Perjanjian bantuan Indonesia kepada India ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1946. Perjanjian ini sebenarnya merupakan barter kedua negara, sebab india juga memberikan bantuan obat – obatan kepada Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari diplomasi beras adalah Indonesia semakin mendapat simpati dunia internasional dalam perjuangannya mengusir Belanda.

b. Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

a. Jalannya Perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Prof.Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

(19)

1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.

2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. 3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.

4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. (Agresi Militer akan dibahas di poin 2. Agresi Militer Belanda 1 dan Agresi Militer Belanda 2)

c. Renville

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Akhirnya, KTN berhasil mempertemukan Indonesia-Belanda dalam Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian ini dilaksanakan di atas Geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat.

Gambar 5 – Delegasi Indonesia pada Perjanjian

(20)

a. Jalannya Perundingan

Selama perundingan, Indonesia diwakili oleh PM Amir Syarifuddin. Perundingan Renville menghasilkan :

 Wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook)

 Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia Serikat terbentuk

 Kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda

 RI merupakan bagian dari RIS

 Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI

Tetapi, hasil akhir dari perjanjian Renville sama dengan perjanjian Linggarjati. Belanda masih saja melanggar hasil perjanjian Renville. Sehingga Belanda melakukan Agresi Militer Belanda yang kedua.

d. Konferensi Asia di New Delhi

Kenferensi Asia di New Delhi diselenggarakan pada tanggal 20 – 25 Januari 1949. Dalam Konferensi tersebut hadir 19 negara termasuk utusan dari Mesir Italia, dan New Zealand. Wakil – Wakil dari Indonesia antara lain Mr. Utoyo Ramelan, Sumitro Djoyohadikusumo, H. Rosyidi, dan lain – lain.

a. Jalannya Perundingan

Konferensi Asia di New Delhi menghasilkan :

 Pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta

Pembentukan Pemerintahan ad interim sebelum tanggal 15 Maret 1949

Penarikan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia

(21)

Penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950

Menanggapi rekomendasi Konferensi New Delhi, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi tanggal 28 Januari 1949, yang isinya :

Penghentian operasi militer dan gerilya

Pembebasan tahanan politik Indonesia oleh Belanda

Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta

Akan diadakan perundingan selanjutnya

e. Roem – Royen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

a. Jalannya Perundingan

Perjanjian mulai menguntungkan pihak Indonesia. Dikarenakan :

 Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya

 Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar

 Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta

(22)

Pada tanggal 22 Juni 1949, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

 Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948

 Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak

 Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

b. Pasca Perjanjian Roem-Royen

Pada 6 Juli 1949, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

f. KMB (Konferensi Meja Bundar)

Sebagai tindak lanjut dari Perundingan Roem Royen, maka dilaksanakanlah KMB di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 September 1949. Tetapi, sebelum mengikuti KMB, Indonesia mengadakan pertemuan dengan BFO ( Badan Permusyawaratan Federal) yang dikenal dengan nama Konferensi Inter-Indonesia. Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia

Gambar 8 - Suasana Konferensi Meja Bundar. Tampak: Prof. Dr. Supomo, Ali Sastroamidjojo, Mohammad Roem, Leimena, A.K. Pringgodigdo dan Latuharhary

(23)

dalam menghadapi KMB. Konferensi Inter-Indonesia dilaksanakan dari tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 1949 di Jakarta. Pembicaraan Inter-Indonesia difokuskan pada pembentukan RIS.Keputusan yang cukup penting adalah akan dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa ikatan politik dan ekonomi. Pada bidang pertahanan diputuskan :

 Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.

 TNI menjadi inti APRIS

 Negara bagian tidak memiliki Angkatan Perang sendiri

a. Jalannya Perundingan

KMB merupakana langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda. Dalam KMB tersebut dihadiri delegasi Indonesia (Drs. Moh.Hatta, Mr. Muh.Roem, dan Prof. Dr.Mr. Soepomo), BFO (Sultan Hamid II dari Pontianak), Belanda (Mr. Van Maarseveen),dan perwakilan UNCI(Chritchley). Hasil dari KMB adalah :

 Belanda mengakui RIS sebagai negara yang berdaulat dan merdeka

 Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat – lambatnya 30 Desember 1949

 Masalah Irian barat akan didakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan RIS

 Antara RIS dan Kerajaan Hindia Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia- Belanda yang dikepalai Raja Belanda

 Kapal – kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS

 Tentara Kerajaan Belanda secepat mungkin ditarik mundur, sedangkan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger / Tentara Belanda) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para anggotannya yang diperlukan akan dimasukkan kedalam TNI

(24)

a. Agresi Militer Belanda 1

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

1.

Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 1

Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

2.

Dimulainya Penyerangan Oleh Belanda

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

2.

Agresi

(25)

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Pada 9 Desember 1947, terjadi peristiwa Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.

3. Keiukutsertaan PBB dalam Agresi Militer Belanda 1

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama

INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

(26)

awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Tugas utama KTN adalah mengawasi secara langsung penghentian tembak-menembak sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian masalah Indonesia menjadi masalah internasional. Secara diplomatis jelas sangat menguntungkan Indonesia. KTN berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian Renville.

Selain itu juga mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda di Bangka. Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 29 Agustus atau 4 hari setelah terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis demarkasi baru yang dikenal sebagai "Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari dengan argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan Belanda adalah yang berada di belakang pos-pos terdepan pasukan KNIL/KL. Padahal di belakang pos- pos yang merupakan benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI lainnya cukup leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook" ditolak mentah- mentah oleh RI. Pada tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang terdiri atas wakil Belgia (Paul van Zeeland), Australia (Richard Kirby) dan Amerika Serikat (Prof. Graham) mendarat di Jakarta. Konflik dengan Belanda selanjutnya dibawah pengawasan internasional.

b. Agresi Militer Belanda 2

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

(27)

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

(28)

2. Pembentukan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia)

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

(29)

3. Diasingkannya para Pejabat Indonesia

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para Pemimpin Rrepublik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

4.

Soedirman Bergerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

(30)

1.

Pre-Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada & cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung-yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial & ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut & melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.

Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu

3.

Serangan

(31)

menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober 1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia –PDRI), ada organisasi TNI & ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tak bisa disembunyikan oleh Belanda, & harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) & wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI & para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II & III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:

 Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II & III,

 Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,

 Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,

 Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

 Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari: Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI & Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.

(32)

besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler ialah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:

 Yogyakarta ialah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.

 Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.

 Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tak perlu persetujuan Panglima/GM lain & semua pasukan memahami & menguasai situasi/daerah operasi.

Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat & pengambilan keputusan yang penting & kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, & pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda & Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Gambar

Gambar 1 - Peristiwa Perobekanjiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C.
Gambar 2 - Mobil Mallaby yang Hacur
Gambar 3 - Bung Tomo yangtelah  menggerakkan  perlawanan  rakyat  di  seluruh  Indonesia  untuk  mengusir  penjajah  dan
Gambar 4 - Bandung yang Sudah Dibumihanguskan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Observasi pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2014. Kegiatan ini merupakan serangkaian kegiatan pengamatan proses pembelajaran yang dilakukan oleh

Sementara itu, konvensi yang telah diratifikasi berkaitan dengan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia adalah: (1) Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan

Observasi pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2014. Kegiatan ini merupakan serangkaian kegiatan pengamatan proses pembelajaran yang dilakukan oleh

5) Persiapan PF/Liturgos Ibadah Pelkat GP, PKP, PKB, PKLU, & Ibadah Keluarga per Sektor mulai Selasa 15 Maret 2022 dapat dilaksanakan secara Tatap Muka

Pemerintahan pendudukan militer di Jawa sifatnya hanya sementara, sesuai dengan Osamu Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942 oleh

Mohon kehadiran seluruh Presbiter dalam Sidang Majelis Jemaat Khusus Pengesahan Program Kerja dan Anggaran 2021-2022 yang akan dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 31 Maret 2021

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 4 Februari sampai dengan tanggal 11 Maret 2013 di Kabupaten Kuningan. Tujuan penelitian ini yaitu 1) Mengetahui besarannya

 Persiapan bagi Pelayan Firman Ibadah Pelkat PKP dan PKLU dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 15 Maret 2016 pukul 19.00 WIB bertempat di Gedung Gereja dipimpin oleh