BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Merek (Brand)
American Marketing Assosiation mendefinisikan merek adalah nama,
istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang
dimaksudkan untuk mendefenisikan produk yang dijual dan membedakannya
dengan produk pesaing (Kotler dan Keller, 2009:258). Sebuah merek adalah
sebuah entitas yang dapat diidentifikasi sebagai janji-janji yang spesifik dan
konsisten dari nilai dan hasil dalam keseluruhan pengalaman bagi konsumen atau
siapa pun yang berkaitan dengan merek. Entitas ini termasuk nama, istilah, tanda,
simbol, desain, bentuk, warna atau kombinasi dari unsur-unsur. Tujuan merek
termasuk mengidentifikasi produk atau jasa dari seorang penjual, dan
membedakan produk dari para pesaing dan memberikan nilai kepada konsumen.
Singkatnya, merek dapat didefinisikan sebagai jumlah dari semua perasaan,
persepsi dan pengalaman yang dirasakan seseorang terhadap suatu produk atau
perusahaan (Okonkwo, 2007:102).
Merek merupakan aset yang dimiliki perusahaan. Aset ini datang dalam
bentuk tidak berwujud serta meningkatkan keuntungan finansial dan sosial bisnis.
Selain menjadi aset perusahaan, merek juga memiliki manfaat yang tak ternilai
bagi konsumen. Merek membantu konsumen mengidentifikasi suatu produk dan
meyakinkan konsumen bahwa keputusan pembelian mereka adalah yang benar
Sebuah merek juga menjadi perangkat simbolik yang berkualitas, presisi,
pengerjaan beberapa asosiasi lain yang membuatnya unik. Sebagai hasil dari ini,
konsumen diyakinkan bahwa apa yang mereka beli adalah yang paling cocok
untuk kebutuhan mereka. Hal ini menghasilkan sebuah hubungan kepercayaan
antara konsumen dan merek. Merek yang kuat adalah merek yang menjaga nilai
dari sesuatu yang dijanjikannya, hubungan ini sering dipertahankan melalui
loyalitas merek. Merek juga mengurangi risiko kekecewaan dengan produk dan
layanan bagi konsumen.
Menurut Okonkwo (2007:118) loyalitas merek merupakan bukti nyata
dari keberhasilan dan relevansi merek untuk konsumen dan perusahaan. Bagi
konsumen, mengurangi biaya pencarian dan bagi perusahaan itu adalah landasan
dari keuntungan jangka panjang. Loyalitas merek juga mengarah untuk
menurunkan biaya bagi perusahaan dalam memperoleh dan melayani pelanggan
karena konsumen yang loyal akan lebih sering membeli dan dalam jumlah yang
lebih banyak. Loyalitas merek adalah inti dari setiap nilai merek karena begitu inti
ini didapatkan, maka loyalitas itu akan bertahan. Keengganan pelanggan untuk
berpindah merek akan memberi keuntungan bagi merek yang sudah memperoleh
loyalitas. Akan sulit dan mahal bagi pesaing untuk mematahkan loyalitas tersebut.
Ekuitas merek menurut Okonkwo (2007:121) adalah jumlah dari semua
kualitas khas dari sebuah merek yang menghasilkan permintaan yang
terus-menerus dan komitmen terhadap suatu merek. Ekuitas merek merupakan alat
untuk mencapai tujuan yang akhirnya menjadi penciptaan nilai merek. Ini adalah
tertentu dengan banyaknya alternatif yang ditawarkan oleh merek-merek. Ekuitas
merek mengacu pada nilai yang melekat pada merek yang diakui melalui persepsi
konsumen terhadap keunggulan merek tersebut.
2.1.2. Top Brand Indonesia
Top brand adalah merek yang selalu diingat konsumen ketika membeli
suatu jenis produk, yang mampu menguasai pasar pada bidang atau kategorinya,
yaitu brand yang mampu menarik konsumen untuk melakukan pembelian ulang
(Suyanto, 2007:1). Top brand Indonesia adalah merek yang dirumuskan oleh
Frontier Consulting Group berdasarkan mind share, market share, dan
commitment share. Pertama mind share, yang diindikasikan oleh nilai top of mind
atau merek yang pertama kali terlintas dalam benak konsumen saat ingat akan
kategori produk tertentu. Kedua adalah market share yaitu kekuatan merek yang
ada di pasar. Merek yang kuat haruslah merek yang banyak dibeli dan memiliki
pangsa pasar yang tinggi. Ketiga adalah commitment share untuk melihat loyalitas
konsumen terhadap merek tersebut. Commitment share diindikasikan oleh future
intention, yaitu tingkat keinginan konsumen untuk membeli atau menggunakan
merek tertentu di masa yang akan datang.
Jadi merek yang top adalah merek yang menancap kuat dalam benak
konsumen, memiliki pangsa pasar yang tinggi karena banyak dibeli konsumennya
dan memiliki tingkat loyalitas yang tinggi untuk menjaga kekuatan dalam benak
konsumen dan kekuatan di pasar. Menurut Irawan (2016:5) Top Brand Index
1. Top of mind awarnesse, yaitu berdasarkan atas merek yang pertama kali
disebut oleh responden ketika kategori produknya disebutkan.
2. Last used, yaitu berdasarkan atas merek yang terakhir kali dikonsumsi oleh
responden dalam satu repuchase cycle.
3. Future intention, yaitu didasarkan atas merek yang ingin digunakan /
dikonsumsi di masa mendatang.
2.1.3. Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty)
Setiap hari kita menghadapi situasi yang dapat mempengaruhi
pandangan kita tentang produk atau jasa tertentu, baik faktor emosional dan
rasional. Selain itu, pendapat dan pengalaman orang lain yang kita lihat juga bisa
sebagai pendukung membentuk pendapat kita, dan demikian juga pengalaman dan
layanan yang kita terima dari perusahaan lain. Jadi kepuasan pelanggan adalah
bagaimana pelanggan melihat produk atau jasa melalui pengalaman yang mereka
rasakan terhadap suatu organisasi atau produk, serta membandingkan dengan apa
yang mereka dengar atau lihat tentang perusahaan atau organisasi lainnya
(Szwarc, 2005:6).
Memurut Owton (2007:3), untuk sebuah bisnis menjadi sukses dan
menguntungkan itu harus memiliki pelanggan senang yang ingin kembali dan
menggunakan layanan produk tersebut lagi dan lagi. Jika perusahaan memberikan
pelanggan sebuah pengalaman yang menyenangkan ketika mereka menggunakan
jasanya, mereka mudah-mudahan akan memberitahu orang lain tentang
pengalamannya saat menggunakan suatu jasa dan perusahaan akan mendapatkan
perusahaan harus bisa memahami konsumen dan tahu apa yang konsumen
inginkan untuk menyenangkan mereka. Kemudian perusahaan dapat mulai untuk
mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen serta
memberikan apa yang konsumen cari. Sangat penting untuk mengidentifikasi dan
menargetkan pasar. Tidak ada yang bisa benar-benar menarik semua konsumen,
karena tidak mungkin untuk menjadi segalanya bagi semua konsumen dalam
setiap bidang kehidupannya. Tetapi perusahaan bisa berada dalam benak
konsumen dengan memberikan apa yang mereka inginkan.
Loyalitas adalah tentang niat pelanggan atau kecenderungan untuk
membeli. Perbedaan halus antara pelanggan puas dan pelanggan setia. Mereka
berkontribusi terhadap profitabilitas perusahaan dengan cara yang berbeda.
Pelanggan yang puas lebih mungkin untuk mempromosikan perusahaan, karena
kepuasan adalah tentang sesuatu yang akan orang bicarakan, namun pelanggan
setia lebih menguntungkan karena mereka lebih cenderung untuk sering
melakukakan pembelian produk kembali. Tentu saja pelanggan yang tidak puas
akan mengkritik perusahaan kepada orang lain dan penelitian telah menunjukkan
bahwa pelanggan yang tidak puas lebih cenderung untuk memberitahu lebih
banyak orang tentang ketidakpuasan mereka daripada pelanggan yang
menceritakan tentang kepuasan mereka terhadap produk tersebut. Namun, tidak
semua orang akan setuju dengan konsep bahwa loyalitas adalah tentang pembelian
kembali. Dr J Hofmeyr (2004) mengemukakan bahwa ada perbedaan antara
loyalitas dan komitmen. Pelanggan setia mungkin seseorang yang membeli
mungkin akan membeli kembali dari kebiasaan atau karena alasan lain. Pelanggan
berkomitmen memiliki ikatan emosional yang lebih kuat untuk organisasi, dan
begitu juga cenderung untuk membeli di tempat lain, dan lebih mungkin untuk
menjadi toleran jika ada yang sedikit salah (Szwarc, 2005:12).
2.1.4. Net Promoter Score (NPS)
Net Promoter Score (NPS) merupakan salah satu metode yang
dikembangkan oleh Fred Reichheld dalam bukunya yang berjudul The Ultimate
Question 2.0 (How Net Promoter Companies Thrive in a Customer-Driven World)
untuk melacak loyalitas, keterlibatan, dan antusiasme pelanggan. NPS merupakan
metode sederhana dan mudah dipahami sehingga metode ini banyak digunakan
suatu perusahaan untuk mengukur seberapa kuat dan besar suatu merek mau
direkomendasikan pelanggan dibanding merek lain.
Di dalam NPS, pelanggan dapat dibedakan menjadi tiga :
a. Promoter : orang-orang yang merespon dengan memberikan skor 9 atau 10 yang menandakan bahwa mereka antusias terhadap suatu produk dan
melakukan pembelian kembali pada produk tersebut. Mereka juga
dengan senang hati akan merekomendasikan suatu produk kepada
teman-temannya.
b. Passive : orang-orang yang memberikan skor 7 atau 8 karena merasa apa yang mereka dapatkan tidak lebih dari biaya yang mereka keluarkan
untuk produk tersebut. Tergolong pelanggan yang puas namun tidak
loyal yang sewaktu-waktu dapat pindah ke produk lain yang lebih
c. Detractor : orang-orang yang memberikan skor 0 – 6 yang menandakan bahwa mereka memiliki pengalaman yang buruk atau tidak puas bahkan
kecewa terhadap suatu produk. Ada kemungkinan mereka akan
menyebarkan berita negatif tentang produk tersebut.
Untuk mengetahui apakah pelanggan berada pada tipe Promoter, Passive
atau Detractor, NPS hanya menggunakan satu pertanyaan tunggal yaitu:
“Seberapa besar Anda mau merekomendasikan produk atau jasa ini kepada teman
atau kolega Anda?”. Respon pelanggan kemudian diukur dengan skala 0 – 10.
Pelanggan yang memberikan skor 9 atau 10 disebut Promoter, yang memberikan
skor 7 atau 8 disebut Passive, dan yang memberikan skor 0 – 6 disebut Detrcator.
Yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan penyelidikan seperti: “Apa alasan
Anda memberikan skor tersebut?” Kesederhanaan dari skala 0 – 10
memungkinkan perusahaan dapat mengukur perasaan dan sikap pelanggan dengan
cepat. Pertanyaan lanjutan berguna untuk mengetahui langsung alasan dari sikap
pelanggan itu sendiri. Kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan suatu
produk/jasa kepada orang lain berasal dari seberapa baik pengalaman yang
dirasakan pelanggan terhadap suatu produk (Reichheld, 2011:11). NPS dapat
dihitung dengan rumus:
Persentase Promoter dikurangi persentase Detractor menghasilkan nilai
NPS. Dalam hal ini Passive tidak dimasukkan dalam hitungan, karena pelanggan
Passive masih berkemungkinan menjadi Promoter atau bahkan malah menjadi
Detractor. Dari nilai NPS dapat diketahui berapa persentase kepuasan pelanggan.
Setelah hasil Net Promoter Score didapat, maka NPS dibagi menjadi empat
kategori yaitu NPS Star, NPS Leader, NPS Excellent, dan NPS Good. NPS Star
merupakan merek dengan nilai NPS terbaik dari semua kategori, NPS Leader
merupakan merek dengan nilai NPS tertinggi di masing-masing kategori, NPS
Excellent merupakan merek dengan nilai NPS minimal positif 10% di
masing-masing kategori, dan NPS Good merupakan merek dengan nilai NPS di bawah
10% dan masih positif di masing-masing kategori (SWA, 2016:39).NPS adalah
fleksibel, mudah beradaptasi, sistem open-source. Ada tiga elemen penting yang
tidak bisa diabaikan. Fleksibel mungkin, tapi tanpa tiga elemen berikut NPS tidak
akan berfungsi:
a. Perusahaan harus sistematis mengkategorikan Promoter dan Detractor
secara tepat waktu dan transparan. Kategori dan umpan balik yang
dihasilkan harus masuk akal untuk karyawan lini depan, tidak hanya
untuk statistik, dan hasil NPS harus sistematis disusun dan
dikomunikasikan ke seluruh organisasi sehingga perusahaan dapat
mengambil tindakan dan melacak hasil survei mereka.
b. Perusahaan harus menciptakan proses pembelajaran dan perbaikan
dalam organisasi. NPS tidak mencapai apa-apa kecuali perusahaan
benar-benar bertindak atas apa yang mereka pelajari dari hasil survei
yang mereka dapat.
c. Para pemimpin perusahaan harus melakukan tindakan untuk
menciptakan lebih banyak Promoter dan mengurangi Detractor sebagai
NPS adalah bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. NPS akhirnya
adalah filosofi bisnis, sistem praktek operasional, dan komitmen kepemimpinan,
bukan hanya cara lain untuk mengukur kepuasan pelanggan (Reichheld, 2011:16).
2.1.5. Customer Experience (CE)
Shaw (2007:8) mendefinisikan pengalaman pelanggan (customer
experience) adalah interaksi antara organisasi dan pelanggan. Ini adalah campuran
dari kinerja organisasi, indra perangsang dan emosi pelanggan pada setiap intuitif
diukur terhadap harapan pelanggan di semua momen kontak langsung atau tidak
langsung dengan perusahaan. Kontak langsung terjadi pada saat pembelian,
penggunaan, dan pelayanan. Kontak tidak langsung seperti mendapat rekomendasi
suatu merek dari teman-teman atau iklan, laporan berita, dan sebagainya.
Pengalaman pelanggan (customer experience) ini sebaiknya diterapkan dalam
setiap aspek bisnis maupun strategi bisnis. Hal ini dikarenakan bahwa keputusan
pembelian konsumen berdasarkan pada pengalaman yang mereka terima atau
rasakan terhadap suatu produk atau jasa, lebih dari sekedar mendapatkan produk
yang diinginkan, tetapi juga pada semua aktivitas yang merupakan bagian dari
proses pembelian, seperti desain tampilan fisik toko, pelayanan staf, sambutan
karyawan, dan apa yang dirasakan konsumen ketika sedang melakukan proses
pembelian.
Pelanggan yang loyal bukan sekedar melakukan aktivitas pemasaran dari
mulut ke mulut, melainkan sudah sampai tahap mempromosikan dan
merekomendasikan pengalaman emosional mereka kepada calon pelanggan baru
mencermati, kemudian merumuskan moment of truth yang dirasakan para
pelanggannya. NPS mencoba mengukur tingkat rekomendasi oleh konsumen yang
memiliki perasaan positif pada saat berinteraksi dengan produk atau merek
tertentu. Perasaan tersebut diukur dengan Customer Experience (CE) untuk lebih
memperkuat hasil. Survei ini mendeteksi pengalaman mana yang paling
mengesankan atau mengecewakan dengan mempertimbangkan berbagai touch
point atau moment of truth yang menunjukkan perasaan/emosional responden
terhadap pengalaman yang diterimanya dari suatu produk atau jasa (SWA,
2013:31).
2.1.6. Konsumen Kelas Menengah Muslim
Menurut Yuswohady (2015:223-224) konsumen muslim Indonesia dapat
dibagi menjadi empat sosok seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.1
Matriks tersebut tersusun atas dua dimensi. Pada dimensi pertama
mencerminkan preferensi konsumen terhadap manfaat produk yang bersifat
duniawi berupa manfaat fungsional maupun emosional. Manfaat fungsional
misalnya kualitas, harga murah, atau kenyamanan. Sementara manfaat emosional
bisa berupa citra diri, rasa aman, kedekatan dengan merek, loyalitas, dan
sebagainya. Pada dimensi kedua mencerminkan preferensi konsumen terhadap
manfaat produk yang bersifat spiritual yang bentuknya bisa berupa ketenangan
jiwa (peace of mind), kedekatan dengan Sang Khalik, keikhlasan, dan sebagainya.
Manfaat spiritual ini terwujud karena konsumen yakin telah mengikuti
ajaran-ajaran agama atau menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-Nya.
Dengan membagi konsumen muslim Indonesia menurut dua dimensi
tersebut, maka Yuswohady (2015:227-238) mendapatkan empat sosok muslim
yang masing-masing diberi nama:
1. Apathies
Apathies adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan,
wawasan, tingkat ekonomi yang masih rendah, dan memiliki kepatuhan
dalam menjalankan nilai-nilai Islam yang juga rendah. Konsumen tipe ini
umumnya tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai
keislamian ataupun tidak. Dalam memandang produk-produk berlabel
Islam atau menawarkan walue proposition yang Islami, konsumen ini
tidak peduli. Hal ini karena mereka pada umumnya masih memikirkan
kebutuhan dasar (basic needs) dan masih belum memperhatikan value
Wawasan yang terbatas, dan sumber ekonomi yang tidak terlalu
berlebih terkadang membuat mereka merasa bahwa pilihan produk yang
bisa mereka dapatkan sangat terbatas. Jika bicara mengenai keresahan
hidup (anxiety), maka keresahan utama mereka masih di seputaran diri
mereka. Umumnya mereka tidak memiliki mimipi yang terlalu muluk,
lebih terfokus pada mimpi duniawi yang sederhana, seperti kesuksesan
secara financial. Untuk memenangkan suatu segmen, hal dasar yang perlu
diracik oleh seorang pemasar adalah 4P (product,price,place,promotion).
Khusus untuk segmen ini, senjata ampuh untuk menarget segmen ini
adalah harga yang semurah-murahnya, karena mereka kurang peduli pada
manfaat produk dan manfaat spiritual.
2. Rationalist
Rationalist adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan,
open-minded, dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada
nilai-nilai Islam yang lebih rendah. Segmen ini sangat kritis dalam
melakukan pemilihan produk berdasarkan parameter kemanfaatannya.
Namun dalam memutuskan pembelian, konsumen tipe ini cenderung
mengesampingkan aspek-aspek ketaatan pada nilai-nilai Islam. Bagi
mereka label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan bukanlah
menjadi hal yang sangat penting dalam mengambil keputusan pembelian.
Rationalist memiliki mimpi untuk sukses secara financial serta terlihat
Segmen ini pada umumnya cermat untuk menghitung manfaat apa
yang didapatkannya dari suatu produk. Manfaat yang mereka cari
mencakup manfaat fungsional maupun emosional. Untuk produk-produk
yang bersifat personal dan tidak terlihat oleh orang lain bisa jadi segmen
ini berfokus mencari manfaat fungsional. Misalkan saja, saat memilih jasa
financial, apakah syariah atau konvensional, konsumen tipe ini akan
menimbang-nimbang berdasarkan manfaat yang diperoleh dari jasa
tersebut. Sebut saja untuk KPR, jasa manakah yang lebih menguntungkan
dan kecil risikonya? Fokus perhatian mereka bukannya pertimbangan riba
atau non-riba tetapi lebih pada manfaat yang diperoleh.
Sementara untuk produk yang terkait dengan citra diri mereka
menuntut manfaat emosional. Contohnya saat memilih pakaian, segmen
ini akan memakai busana muslim jika dia mendapatkan manfaat emosional
tertentu, misalnya agar terlihat sebagai muslim yang baik dan saleh bukan
untuk memenuhi syariat agama tetapi lebih untuk mendapatkan
penerimaan atau pengakuan dari komunitasnya. Untuk menarik hati
segmen ini maka sebuah merek harus mampu memberikan manfaat
fungsional dan emosional yang sesuai dengan yang mereka cari.
3. Conformist
Conformist adalah tipe konsumen muslim yang umumnya sangat
taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena
keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, sosok
inclusive) terhadap nilai-nilai di luar Islam khususnya nilai-nilai Barat.
Untuk mempermudah pengambilan keputusan, mereka memilih
produk-produk yang berlabel Islam atau yang di “endorsed” oleh otoritas Islam
atau tokoh Islam panutan.
Pada umumnya mereka mengutamakan faktor ketaatan kepada
ajaran Islam, sehingga walaupun produk-produk berlabel Islam itu
memiliki kekurangan tapi mereka memakluminya. Misal saja dalam kasus
kredit pemilikan rumah (KPR), konsumen tipe ini akan tetap setia
menggunakan fasilitas KPR dari bank syariah, walaupun biaya yang harus
ia keluarkan jauh lebih mahal dibanding bank konvensional. Karena bagi
mereka kerugian akhirati yang ditimbulkan oleh praktik riba jauh lebih
mencelakakan dibandingkan oleh kerugian duniawi berupa biaya
material/rupiah lebih besar yang harus mereka tanggung. Dengan berbank
syariah secara benar tanpa ada unsur riba mereka merasa mendapatkan
ketentraman hati dan memperoleh pahala.
Sosok muslim ini pada umumnya menyukai iklan atau promosi
yang bersifat memberikan alasan keyakinan bahwa produk ini sesuai
dengan kaidah-kaidah ajaran agama. Iklan yang dapat meyakinkan bahwa
sebuah produk dapat mengantarkan konsumennya ke surga dan
menghindari neraka dapat diterima dengan baik. Ayat-ayat Al-Qur’an serta
dalil-dalil agama akan membuat mereka merasa yakin dengan pilihan
mereka. Sosok Conformist dalam batasan tertentu bisa jadi memiliki
untuk produk-produk yang diyakininya memberikan manfaat sipirtual.
Bisa dibilang mereka rela berkorban functional value yang diterima rendah
selama mereka mendapatkan spiritual value yang maksimal dari produk.
4. Universalist
Sosok konsumen muslim ini di satu sisi memiliki
pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi; namun
di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara
substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan
cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Mereka
adalah sosok yang toleran, open-minded, dan inklusif terhadap nilai-nilai
di luar Islam. Dalam membeli dan mengonsumsi produk, konsumen tipe
ini menginginkan produk yang memenuhi kaidah-kaidah Islam (manfaat
spiritual), namun mereka juga menginginkan produk tersebut memberikan
kemanfaatan fungsional dan emosional yang tinggi. Intinya, konsumen
jenis ini sangat religious namun juga sangat rasional dalam melihat value
proposition yang ditawarkan produk.
Konsumen tipe ini cukup matang dan cerdas dalam melihat value
proposition suatu produk. Mereka melihat produk tidak sekadar dari label
Islamnya saja, tapi dari substansi keislamannya. Konsumen tipe ini juga
menerima dan menghormati budaya lain. Universalist adalah konsumen
yang toleran tetapi sekaligus juga kritis baik pada merek Islam ataupun
untuk menilai keislaman sebuah merek dari cara sebuah merek melakukan
praktik bisnisnya, misalnya The Body Shop. Meskipun The Body Shop
bukanlah merek yang menyatakan dirinya sebagai merek Islam, praktik
The Body Shop untuk tidak melakukan tes pada binatang (against animal
testing), selalu mempromosikan pemberdayaan petani di daerah tertinggal
(promote community trade), atau peduli pada lingkungan (save our
planet), mereka pandang secara substansial sebagai Islami.
Untuk urusan kredit misalnya, mereka mengambil kredit kendaraan
bermotor di bank konvensional. Karena akad kredit yang dilaksanakan di
bank konvensional tersebut memenuhi azas syariah yang diyakininya.
Misalnya, nilai kredit setiap bulan telah ditetapkan sehingga tidak ada
bunga yang tidak menentu. Atau sosok Universalist ini mungkin tetap
memiliki kartu kredit dan akan bertransaksi cicilan pada saat ada
penawaran bunga 0%. Oleh sebab itu mereka tidak terkungkung oleh
“label Islam”. Segmen ini berusaha untuk menggapai kesuksesan akhirat
tanpa melupakan urusan duniawinya. Umumnya segmen ini menganggap
bahwa urusan duniawi juga merupakan sarana untuk mencapai kesuksesan
di akhirat. Karena itu Universalist merupakan sosok paling positif yang
memandang bahwa sukses akhirat dapat dicapai bersamaan dengan sukses
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka
penyusunan penelitian ini. Kegunaannya untuk mengetahui hasil yang telah
dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Judul
Penelitian
Variabel Penelitian
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Kosmedi,
Top Brand Indonesia memiliki nilai NPS positif, terdapat 18 merek dengan predikat NPS Good, 56 merek predikat NPS
Excellent, 21 merek predikat NPS Leader, 4 merek
predikat NPS Good
sekaligus NPS Leader, 35 merek predikat NPS
Excellent sekaligus NPS
Leader dan 1 merek predikat NPS Excellent, NPS Leader
dan NPS Star.
Menunjukkan bahwa dari 47 kategori terdapat tiga merek yang menjadi juara NPS dan NEV Star. Untuk NPS Star
juaranya dari 1-3 adalah iPhone, Samsung (dari kategori smartphone) dan Oke Shop (kategori toko
Lanjutan Tabel 2.1
Nama Peneliti Judul Penelitian
Variabel Penelitian
Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Cook, Scott
Dari 2003-2005, nilai Net Promoter untuk TurboTax melonjak. Versi desktop naik 46-61%. Skor
pengguna baru naik 48-58%. Yang paling penting, pangsa pasar ritel yang telah datar selama bertahun-tahun, melonjak sebanyak 70-79%. Sumber: Kosmedi, Indra (2015); SWA dan Hachiko (2015);
SWA dan Hachiko (2013).
2.3. Kerangka Pemikiran
Dari seluruh merek-merek di Indonesia, Frontier Consulting Group
menjadikan beberapa merek menjadi Top brand yang diukur berdasarkan mind
share, market share dan commitment share. Top brand dispesifikasikan atau
dipilih beberapa merek yang sesuai dengan objek penelitian yaitu wanita kelas
menengah muslim dan kemudian diukur tingkat loyalitas pelanggan terhadap
merek-merek tersebut dengan menggunakan metode Net Promoter Score (NPS).
Selain itu, pengalaman pelanggan (customer experience) terhadap merek-merek
tersebut juga diukur sebagai penguat hasil penelitian dengan mengetahui pada titik
sentuh moment of truth mana yang paling sensitif bagi konsumen.
Gambar 2.2
2.4. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian. Jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan,
belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. Jadi hipotesis dapat juga dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap
rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Noor, 2011;79).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah diuraikan, maka hipotesis
penelitian ini adalah “Produk-produk Brand Indonesia memiliki nilai Net