i
MEMPERTANYAKAN DOKTRIN KRISTEN ANTI PERCERAIAN DI GMIST MAHANAIM
DARI PERSPEKTIF HERMENEUTIK POSKOLONIAL TERHADAP MATIUS 19:1-12
TESIS
Diajukan Kepada Program Pascasarjana
Magister Sosiologi Agama Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains (M.Si)
OLEH:
MERRY CHRISTIEN MAKANGIRAS 7 5 2 0 1 2 0 2 3
PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
iii DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 11
1.3. Tujuan Penelitian 11
1.4. Urgensi Penelitian 12
1.5. Jenis & Metodologi Penelitian 12
1.6. Sistematika Penulisan 14
BAB II REKONSTRUKSI PERSPEKTIF TERHADAP TINDAKAN DISKRIMINATIF
PADA KORBAN PERCERAIAN
2.1. Pendahuluan 16
2.2. Studi Poskolonial 16
2.3. Konteks Sosial dan Pengalaman-Pengalaman Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan
Perceraian Di GMIST Mahanaim 25
2.4. Kesimpulan 50
iv
BAB III KONTEKS MATIUS DALAM IMPERIALISME ROMAWI
3.1. Pendahuluan 53
3.2. Isu yang Berkaitan dengan Penulisan Injil Matius 53
3.3. Sejarah Singkat Kekuasaan Romawi 59
3.4. Anthiokia dalam Dominasi Romawi 75
3.5. Yahudi dan Kristen dalam Dominasi Romawi 77
3.6. Praktik Pernikahan dan Perceraian menurut Tradisi Yunani-Romawi dan Yahudi 89
3.7. Kesimpulan 105
BAB IV ANALISA KRITIS TERHADAP PENAFSIRAN MATIUS 19:1-12 DALAM
PERSPEKTIF PEREMPUAN DI GMIST MAHANAIM YANG MENGALAMI
DISKRIMINASI AKIBAT PERCERAIAN DALAM KONTEKS KELUARGA,
GEREJA DAN MASYARAKAT
4.1. Pendahuluan 109
4.2. Salah Satu Wujud Kasih Allah adalah Perceraian 117
4.3. Menggapai Keadilan melalui Perceraian 138
4.4. Kesimpulan 145
BAB V KESIMPULAN & SARAN
5.1. Kesimpulan 148
5.2 Saran-saran 150
v
KATA PENGANTAR
Penulisan tesis dengan topik perceraian bagi penulis merupakan salah satu upaya
berteologi secara kontekstual saat berhadapan dengan realita pelik kekerasan dan tindakan
diskriminatif dalam rumah tangga yang pada umumnya dialami oleh kaum perempuan. Proses
yang cukup panjang dilalui penulis untuk merampungkan penulisan tesis tidak terlepas dari
campur tangan Tuhan melalui kuasa Roh Kudus, peran serta para dosen, rekan, saudara serta
keluarga, oleh sebab itu penulis akan menyampaikan rasa syukur dan ucapan terima kasih
kepada:
1. Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si., MATS., Ph.D dan Ibu Ira D. Mangililo, S.Si., MABL.,
Ph.D selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam merampungkan
penyusunan tesis. Terima kasih juga kepada Pdt. Dr. Jacob Daan Engel selaku penguji
tesis ini. Tuhan senantiasa memberkati.
2. Pimpinan Fakultas Teologi UKSW dan Program Studi Magister Sosiologi Agama: Pdt.
Dr. Retnowati, M.Si dan Dr. David Samiyono, MTS, MSLS yang telah menerima dan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar pada Program Studi Magister
Sosiologi Agama.
3. Para dosen Program Studi Magister Sosiologi Agama yang sangat berdedikasi dalam
dunia pendidikan. Hikmat dan kebijaksanaan dari Tuhan selalu dilimpahkan dalam
kehidupan Bapak/Ibu.
4. Staf administrasi Program Studi Magister Sosiologi Agama yang selama ini telah
membantu saya dalam keperluan administrasi. Tuhan selalu memberi kekuatan untuk
vi
5. Kelima responden yang bersedia membagikan pengalaman hidup yang berkaitan dengan
kekerasan dalam rumah tangga untuk kepentingan penelitian. Kalian adalah
perempuan-perempuan tegar yang berjuang tanpa henti melawan ketidakadilan untuk menghadirkan
kesetaraan dan menggapai kebahagiaan hidup secara holistik. Terima kasih untuk,
kepercayaan yang diberikan kepada penulis dan jalinan persahabatan, persaudaraan yang
tetap terjalin sampai saat ini. Tuhan memberkati setiap langkah juang menggapai cita dan
cinta.
6. Badan Pengurus Majelis Jemaat (BPMJ) dan jemaat GMIST Mahanaim yang telah
membantu penulis dalam melakukan penelitian. Tuhan memberkati.
7. Orang tua (papa, amang, ninang), Meylinda Makangiras, Luccyile Takalumang, Meylani
Makangiras, Sharen Makangiras yang selalu berdoa dan memberikan motivasi untuk
penulis. Terima kasih banyak. Tuhan memberkati.
8. Suami tercinta (Alvon Algorry Takalumang), yang mendampingi dengan penuh kasih.
Terima kasih karena selalu memberikan perhatian, dukungan di setiap waktu, dan
memberikan ruang, peluang untuk mengembangkan karya pelayanan. Tuhan memberkati.
9. Mama, ketidakabadian fisik memisahkan kita namun nilai-nilai hidup yang kau tanamkan
tetap melekat. Taburan nilai-nilai darimu yang menjadi kekuatan untuk menyelesaikan
penulisan tesis. Tulisan ini merupakan wujud terima kasih untuk setiap kasih sayang tulus
yang kau perkenalkan dalam keluarga. Terima kasih karena dirimu membuat kami
mengerti arti kesetaraan, arti berbagi, arti menghormati, arti saling mengisi.
10.Valeria Theresa Makangiras dan Mario Yehezkiel Makangiras, tulisan ini merupakan
tanda syukur, cinta, kasih untuk kehadiran putri dan pangeran kecilku. Dalam
vii
suka dan duka untuk kalian. Tuhan memberkati pertumbuhan dan perkembangan putri
dan pangeran kecil mama Yaya.
11.Teman-teman terkasih: Lidya Langkamuda, Robby Powatu, Erik, K Nancy, MSA 2012,
Pdt. Made Priyatna, Pdt. Hardek Masua, Soli Deo Gloria Koroh, Vecky Karatem, Flo
Gasperz, Alicia Tamaka, Ardo, Tri Karinda, Crisan, Agnes Yohana, Ai, Oleng, Nia, Tere,
Sasa, Vero, Juan, Ari, Dinan, Io, Barry, Rio, terima kasih banyak untuk kebersamaannya.
12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan
motivasinya. Tuhan memberkati.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan kontribusi pemikiran berupa kritik ataupun saran yang dapat melengkapi dan
menyempurnakan ketidaksempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi gereja dan
masyarakat. Terima kasih.
Salatiga, 25 Juli 2015
viii ABSTRAK
Konteks GMIST Mahanaim memandang doktrin Kristen anti perceraian sebagai prinsip dasar untuk membangun kehidupan rumah tangga, sehingga setiap pribadi jemaat yang memutuskan mengakhiri pernikahan dengan tindakan bercerai dianggap telah berdosa dan dipandang tidak layak untuk turut berperan aktif dalam pelayanan di gereja. Gereja telah menentukan sikap dalam memandang perceraian, oleh sebab itu tidak heran jika jemaat yang bercerai mengalami tindakan kekerasan verbal dan diskriminatif dari pihak gereja, bahkan mengalami tindakan kekerasan dan diskriminatif dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Tindakan kekerasan psikis dari tokoh-tokoh gereja atau komunitas pelayanan justru semakin memperburuk keadaan pribadi jemaat yang bercerai. Hal ini disebabkan karena tindakan perceraian merupakan langkah akhir yang ditempuh untuk mendapatkan pembebasan dari beragam tindak kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya dialami oleh para istri.
Fenomena kekerasan dan diskriminatif nampak melekat dengan pengalaman-pengalaman kaum perempuan dalam rumah tangga, gereja dan masyarakat. Berempati dengan fenomena kekerasan maka penulis akan mendalami isu kekerasan yang terjadi dalam lingkup gereja, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan hermeneutik poskolonial terhadap teks Matius 19:1-12. Teks ini pada umumnya digunakan sebagai dasar dari doktrin Kristen anti perceraian dan menurut penulis dapat menjadi kendaraan untuk melegalkan setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, penulis menggunakan hermeneutik poskolonial untuk mendapatkan makna baru terhadap teks yang diawali dengan melihat konteks dan perspektif dari penafsir. Untuk menghasilkan makna baru maka penulis menggunakan teknik wawancara dengan mewawancarai lima responden, kemudian merekonstruksi perspektif dari pengalaman kekerasan dan diskriminatif para responden. Rekonstruksi perspektif kelima responden menghadirkan makna baru bahwa perceraian merupakan wujud kasih Allah terhadap mereka yang mengalami tindakan kekerasan psikis atau fisik. Dengan demikian perceraian tidak selamanya dapat disamakan dengan dosa atau tindakan pemberontakan terhadap Allah.
Setelah mendapatkan rekontruksi perspektif dari para responden, penulis memaparkan konteks dominasi Romawi yang mempengaruhi konteks sosial, ekonomi, budaya pada masa Injil Matius. Dominasi Romawi yang begitu kuat mempengaruhi kehidupan orang-orang yang berada dalam wilayah jajahan Romawi. Salah satu gaya hidup Romawi yang memiliki pengaruh kuat adalah tindakan bercerai dipandang sebagai hal biasa dan wajar. Larangan perceraian yang diungkapkan Yesus merupakan resistensi terhadap dominasi Romawi yang semena-mena dan bentuk keberpihakan Yesus terhadap kaum perempuan yang termarginalkan. Sikap Yesus menggambarkan budaya hibriditas, yaitu mengunakan hukum Yahudi dalam hal perceraian dan memberikan makna baru didalamnya.