• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Faktor Dominan yang Berpengaruh pada Kejadian Malaria di Daerah Hypoendemis di Sumatera Utara :Pengembangan Model Prediksi Diagnosis Asymptomatic Malaria pada Layanan Kesehatan Primer"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp.

Malaria menyebar dari manusia ke manusia melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles sebagai vektor. Nyamuk Anopheles betina akan terinfeksi dengan gametocyte (bentuk sexualplasmodium) saat menggigit seorang penderita malaria. Gametocyte akan berkembang dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoite

lebih kurang 6-12 hari, yang selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitannya.

Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006)

(2)

akan berkembang dalam beberapa stadium di dalam eritrosit membentuk

trophozoite, schizont dan merozoite baru (fase eritrositer). Merozoite yang telah terbentuk akan keluar bersamaan dengan pecahnya eritrosit dan selanjutnya akan segera menginfeksi eritrosit lainnya. Fase eritrositer pada Plasmodium falciparum

adalah 48 jam. Perkembangan tiap stadium inilah yang mempengaruhi organ tubuh dan eritrosit penderita sehingga menimbulkan gejala dan tanda malaria (CDC, 2006; Greenwood et al., 2005; Beaver et al., 1984).

2.2. Malaria dan Masalahnya

Malaria adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

darah yang bersifat obligate intracellular. Dalam klasifikasinya, protozoa ini dimasukkan dalam genus plasmodium. Species yang terbanyak menginfeksi manusia adalah Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Malaria berat sering disebabkan oleh

Plasmodium falciparum, terutama bila tidak ditangani dengan benar (Beaver et al., 1984).

(3)

Gejala dan tanda klinis pada penyakit malaria tidaklah khas, terlebih lagi pada penderita di daerah endemis. Umumnya ditandai dengan demam dan menggigil, namun dapat juga menimbulkan gejala pusing dan gangguan saluran pencernaan(Siahaan, 2007a; Siahaan, 2007b; WHO, 2006)

Penyakit malaria tidak terdistribusi merata, baik antar daerah, desa, keluarga, dan individu. Malaria bisa merupakan penyakit endemis di suatu daerah dan desa tertentu tetapi tidak di daerah dan desa lain meskipun saling berdekatan. Malaria juga bisa terjadi berulang-ulang dalam suatu keluarga dan individu tertentu tetapi tidak pada keluarga dan orang lain meskipun bertetangga. Penduduk yang paling berisiko terinfeksi malaria adalah anak balita, wanita hamil dan penduduk non imun yang mengunjungi daerah endemis malaria, seperti pengungsi, transmigran, dan wisatawan (Prabowo, 2004; Gunawan, 2000).

Diagnosis malaria pada layanan kesehatan primer umumnya menggunakan RDT dan pemeriksaan mikroskopik. Semua alat diagnosis tentunya memiliki keterbatasan, terutama pada kejadian mis-opportunity problem, seperti yang umumnya terjadi pada keadaan asymptomatic malaria.

Asymptomatic malaria merupakan suatu keadaan dimana penderita tidak menunjukkan gejala klinis padahal di dalam tubuhnya terdapat plasmodium

penyebab malaria. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya anti disease immunity, yang menekan inflamatory agent, sehingga dapat menyebabkan seorang penderita malaria tidak merasakan gejala klinis yang mengganggu (tidak merasa dirinya

‖sakit‖), sehingga tidak perlu memeriksakan diri kepada petugas kesehatan,

(4)

anti parasite immunity, yang dapat menekan jumlah plasmodium sampai dengan jumlah tertentu, bahkan pada jumlah yang belum terdeteksi pada pemeriksaan mikroskopik, namun si penderita tetap mengalami gejala klinis yang mengganggu. Kondisi ini sering disebut dengan submicroscopic malaria.

Proses terbentuknya gametocyte tetap berlangsung pada penderita

asymptomatic malaria dan submicroscopic malaria. Sehingga apabila kedua kondisi tersebut tidak segera diberikan pengobatan yang tepat maka dapat memperbesar peluang terbentuknya gametocyte carriers dan menjadi sumber transmisi baru untuk terjadinya penyakit malaria. Jika kondisi tersebut terus berlangsung, tentunya program pengendalian dan eliminasi malaria tidak akan pernah terwujud (Turki et al., 2012).

Pada awalnya diduga kasus asymptomatic malaria hanya ada pada daerah

holoendemis dan hyperendemis saja. Namun sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kasus ini juga ditemukan pada daerah hypoendemis (Branch et al., 2005). Tantangan yang dihadapi pada kondisi tersebut adalah tidak dijumpainya plasmodium pada pemeriksaan mikroskopik darah rutin diakibatkan oleh kepadatan parasit yang rendah dan pasien yang tidak datang memeriksakan dirinya karena tidak merasakan adanya gejala klinis yang mengganggunya (Suárez et.al, 2007; Coura et.al, 2006; Alves et. al, 2002).

(5)

2004). Diagnosis malaria dengan menggunakan PCR dan serologi sampai saat ini masih digunakan sebatas kegiatan surveilance, bukan sebagai standar diagnosis malaria (Satoguina et al., 2009). Penelitian Dennis et al. (2004) juga menyatakan bahwa dalam waktu 30 hari, pasien dengan asymptomatic malaria akan menunjukkan gejala klinis malaria lebih banyak dibandingkan dengan yang bukan

asymptomatic malaria.

Proporsi asymptomatic malaria pada populasi penderita malaria belum banyak yang dilaporkan. Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan pada daerah dengan endemisitas yang berbeda-beda mendapatkan hasil yang berbeda pula. Fontes (2001) dalam penelitiannya menemukan ada sekitar 41,8% penderita

asymptomatic malaria dari penderita malaria yang ditelitinya. Bahkan Alves et al. (2002) menyatakan bahwa penderita asymptomatic malaria 4-5 kali lebih banyak dibandingkan dengan symptomatic malaria. Sementara itu Coura et al. (2006) dalam tulisannya menyatakan, apabila 25% saja penderita asymptomatic malaria

dari penderita malaria di suatu wilayah tidak ditangani dengan baik, maka program kontrol malaria tidak akan pernah berhasil.

(6)

significant dapat menjadi pertanda program eliminasi malaria masih belum berhasil (Oduro et al., 2011).

2.3. Diagnosis Malaria

Salah satu tatalaksana malaria yang cukup penting adalah diagnosis. Diagnosis malaria secara dini dan akurat merupakan bagian utama dalam upaya mengontrol malaria yang pada akhirnya akan mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat malaria. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mendapatkan alat diagnosis yang memiliki sensitivitas tinggi, namun sedikit yang mengoptimalkan alat diagnosis yang ada pada layanan kesehatan primer.

Volume darah yang diperiksa dan kepadatan parasit dalam darah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi hasil pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi malaria, sekalipun pada pemeriksaan PCR. Semakin banyak volume darah yang diperiksa akan memperbesar peluang untuk menunjukkan kondisi yang sebenarnya terutama pada kondisi kepadatan parasit yang rendah (low parasite density). Hal yang sama terjadi pada kepadatan parasit, semakin tinggi kepadatan parasit dalam darah, semakin mudah di deteksi. Secara umum PCR dapat mendeteksi parasit sampai dengan kepadatan parasit 10 parasit/µl, sementara pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi parasit mulai dari kepadatan parasit 10 parasit/µl (Okell et al., 2012).

(7)

didapatkan hubungan yang sangat kuat pada pemeriksaan PCR dan pemeriksaan mikroskopik. Hasil yang didapatkan akan semakin baik bila data dikelompokkan berdasarkan umur, dimana kelompok umur < 16 tahun terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan umur diatasnya.

Pada penelitian yang sama, Okell et al. (2012) juga mendapatkan suatu model prediksi yang menyatakan hubungan data submicroscopic parasite density

dengan total penderita malaria di wilayah tersebut, berdasarkan hasil perhitungan perubahan intensitas transmisi malaria. Diperkirakan adanya penurunan intensitas transmisi malaria sekitar 70-80% pada daerah hypoendemis dan 20% pada daerah

hyperendemis. Penelitian ini juga merekomendasikan penggunaan model tersebut untuk memprediksi submicroscopic carriage dengan menggunakan hasil slide positive rate.

Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan gold standar dalam diagnosis malaria. Alat uji diagnosis lain yang sering digunakan adalah gejala klinis, RDT, dan PCR. Sementara itu Profil Hematologi (perubahan nilai trombosit, lekosit dan eritrosit), Status gizi, Kecacingan (Infeksi Soil Transmitted Helminths) dan golongan darah ABO juga dapat dijadikan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kejadian malaria.

2.3.1. Pemeriksaan mikroskopik

(8)

darah tebal adalah 3-4 µl. Tentunya pemeriksaan dengan volume darah yang lebih banyak memperbesar peluang ditemukannya parasit di dalam penderita, terutama pada kepadatan parasit yang rendah (Purwaningsih, 1999).

Pada penelitian di daerah hypoendemis, didapati hasil mikroskopik positif sebanyak 61% dengan tingkat kepadatan parasit < 100 parasit/µl (Harris et al., 2010). Penelitian lain yang dilakukan pada anak sekolah diperoleh hasil 12,8%

asymptomatic malaria dengan menggunakan pemeriksaan mikroskopik sederhana (Mohana et al., 2007). Pada kepadatan parasit yang rendah, diperkirakan bahwa untuk melihat 1 parasit diperlukan 100-300 lapangan pandang kecil pada apusan darah tebal. Hal ini menunjukkan perlunya melihat lebih banyak lapangan pandang untuk mendiagnosis malaria pada pasien yang tidak menunjukkan gejala (asymptomatic malaria) atau pada kondisi kepadatan parasit yang rendah (submicroscopic malaria) (Harris et.al., 2010).

Sampai saat ini gold standard diagnosis malaria adalah pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan menemukan adanya plasmodium di dalam sediaan darah yang diperiksa. Satu kali pemeriksaan mikroskopik yang memberikan hasil negatif tidaklah langsung menyingkirkan kemungkinan diagnosis malaria, terutama pada penderita yang menunjukkan gejala dan tanda umum malaria di daerah endemis malaria. Untuk itu diperlukan pemeriksaan mikroskopik serial dengan interval waktu pemeriksaan. Interval waktu pemeriksaan juga bisa saja beragam, sesuai dengan masa inkubasi dari masing-masing spesies.

(9)

mikroskopik terhadap PCR mendekati 60% dan spesivisitas 93%. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan mikroskopik mempunyai peluang untuk ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik serial. Peningkatan sensitivitas tersebut juga dapat semakin ditingkatkan dengan melakukan kombinasi diagnosis malaria, yaitu pemeriksaan mikroskopik serial, RDT dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malaria.

2.3.2. PemeriksaanRDT

Prinsip diagnosis RDT adalah berdasarkan deteksi antigen plasmodium

dengan menggunakan metoda imunokromatografi dalam bentuk dipstick. Prinsip uji imunokromatografi adalah cairan yang akan bermigrasi pada permukaan

membrane nitroselulosa. Uji RDT berdasarkan pengikatan antigen di darah perifer

oleh antibodi monoklonal yang dikonjugasikan dengan zat pewarna atau gold particles pada fase mobile. Antibodi monoklonal kedua / ketiga diaplikasikan pada strip nitroselulosa sebagai fase immobile. Bila darah penderita mengandung antigen tertentu, maka kompleks antigen antibodi akan bermigrasi pada fase

mobile sepanjang strip nitroselulosa dan akan diikat dengan antibodi monoklonal pada fase immobile sehingga terlihat sebagai garis yang berwarna. Secara umum ada dua antigen yang dideteksi yaitu Histidine Rich Protein 2 (HRP2) untuk mendeteksi Plasmodium falciparum dan enzim parasite lactate dehydrogenase ( p-LDH) dan aldolase untuk mendeteksi hampir semua plasmodium. Kerusakan RDT umumnya disebabkan kesalahan dalam penyimpanan, terpapar sinar matahari.

(10)

kepadatan parasit, serta tidak bisa dipakai untuk follow up penderita (Purwaningsih, 1999). Sensitivitas dan spesifisitas RDT terhadap pemeriksaan mikroskopik sangat bervariasi, namun sejauh ini, masih dianggap baik. Meenaa et al. (2009) dalam penelitiannya mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas RDT dibandingkan dengan mikroskopik berturut-turut adalah 92,9% dan 94,8%.

2.3.3. Pemeriksaan PCR

Prinsip pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah menggandakan segmen Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) spesifik dari antigen

plasmodium ada 3 tahap dalam reaksi teknik PCR yaitu tahap denaturasi,

annealing dan polimerisasi. Tahap denaturasi adalah tahap pemisahan DNA untai ganda menjadi segmen DNA tunggal. Annealing yaitu menyatukan DNA untai tunggal dari sampel dengan primer yang adalah segmen DNA spesifik dari spesies

plasmodium target. Terakhir adalah ekstinsi atau polimerisasi yang berfungsi memperbanyak DNA untai ganda yang terbentuk pada tahap annealing menjadi ribuan kali lebih banyak dengan katalisator enzim polymerase (Purwaningsih, 1999).

(11)

Harris et al. (2010) melakukan penelitian yang membandingkan PCR dengan pemeriksaan mikroskopik dan RDT pada daerah hypoendemis dengan kepadatan parasit < 100 parasit/µl. Sama halnya dengan penelitian lain yang menunjukkan superioritas PCR dibandingkan dengan kedua uji diagnosis lainnya. Penelitian Harris et al. (2010) mendapatkan hasil bahwa sensitivitas PCR 3,3 kali dibandingkan mikroskopik. Namun PCR juga gagal mendiagnosis 33 dari 256 mikroskopik yang positif. Sementara itu Michon et al. (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dari 110 orang penderita malaria, yang disebabkan oleh

Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, dapat dideteksi sebanyak 85 kasus (77,3%) dengan pemeriksaan mikroskopik.

2.3.4. Gejala klinis (keluhan utama)

Manusia merupakan sumber utama dari penyebaran plasmodium. Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, tergantung dari spesies

plasmodium, umur, ras, imunitas, riwayat penyakit sebelumnya, status gizi, jenis kelamin serta obat kemoprofilaksis atau kemoterapi yang telah digunakan. Gambaran karakteristik dari malaria adalah demam periodik, anemia,

trombocytopenia, dan splenomegali (Broek et al., 2005).

(12)

Gambaran klinis malaria berbeda pada daerah hypoendemis dan

hyperendemis, sehingga diagnosis malaria dengan menggunakan gejala klinis tidak akurat pada daerah hypoendemis (Chandramohan et al., 2001). Namun pada penelitian lain, terutama di daerah endemis malaria yang telah berubah menjadi

hypoendemis, gejala klinis dapat digunakan untuk terus melakukan terapi malaria pada penderita malaria dengan keluhan demam, walaupun belum dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik (Hub et al., 2001). Hal yang sama juga dinyatakan oleh NurAmani et al. (2009) dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa gejala klinis malaria dapat dijadikan sebagai uji skrining. Demam periodik, mual, nyeri persendian dapat dijadikan sebagai uji diagnosis malaria klinis. Dengan demikian penderita dapat segera diberikan pengobatan dan tidak menjadi sumber penularan dan menekan terjadinya transmisi malaria.

Pengenalan gejala klinis yang khas di daerah endemis malaria merupakan salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat dan rasional. Seleksi awal penderita yang disangkakan sebagai penderita malaria klinis, merupakan suatu hal yang perlu dimiliki oleh petugas pada layanan kesehatan primer, sebelum akhirnya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang masih merupakan standar diagnosis malaria. Oleh karena itu, pengamatan lebih lanjut untuk menemukan gejala dan tanda klinis yang khas pada tiap daerah endemis perlu dilakukan, sambil terus membenahi laboratorium diagnosis malaria di daerah endemis malaria (Siahaan, 2008).

(13)

diperhatikan sebagai gejala klinis malaria, terutama di daerah endemis malaria. Hal ini dapat terlihat bahwa umumnya penderita malaria yang datang tidak dengan gejala klinis demam, akan datang dengan gejala klinis tersebut. Gejala klinis malaria yang bervariasi juga diperoleh pada berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai tempat.

Penelitian yang dilakukan pada anak penderita malaria di Gambia pada tahun 2000, diperoleh hasil bahwa 58,3% penderita malaria tersebut menderita demam, 86% mengalami pusing dan 60,7% mengalami gangguan pencernaan. Sementara itu, penelitian di Thailand melaporkan bahwa gejala klinis penderita malaria umumnya adalah demam (42,3%), pusing (98,3%), badan pegal (96,6%), menggigil (88,4%) dan gangguan pencernaan (29,3%). Penelitian lain yang dilakukan di Nigeria pada tahun 2005 juga mendapatkan hasil 100% penderita malaria yang diteliti mengalami demam, 69,6% mengalami pusing dan 50,4% mengalami gangguan pencernaan (Pitmang et al., 2005).

2.3.5. Profil hematologi

Perubahan profil hematologi yang berhubungan dengan infeksi malaria telah lama diketahui, namun perubahan tersebut sangat bergantung oleh banyak faktor (Erhart et al., 2004).

(14)

poikilositosis dan sel target juga dapat terlihat pada pemeriksaan sediaan darah (Tambajong, 1999).

Trombocytopenia sering ditemukan pada penderita malaria. Kondisi ini juga dapat berubah mengikuti kepadatan parasit di dalam tubuh penderita. Mekanisme imun diduga berperan dalam destruksi platelet. Hal ini terlihat pada pengamatan kadar platelet associated IgG yang meningkat bersamaan dengan proses perjalanan penyakit malaria, yaitu dengan bertambahnya kepadatan parasit di dalam tubuh penderita. Platelet associated IgG dapat berasal dari kompleks imun sirkulasi yang ada dalam sirlukasi penderita malaria atau berupa

autoantibody yang diarahkan pada antigen permukaan platelet. Platelet associated IgG cenderung menimbulkan pembersihkan cepat dari platelet sirkulasi oleh

reticulo endothelial system. Kadar platelet associated IgG dan jumlah platelet

kembali normal mengikuti penurunan kepadatan parasit di dalam darah penderita (Tambajong, 1999). Gudo et al. (2013) menemukan adanya hubungan yang bermakna antara anemia dan trombocytopenia dengan kasus asymptomatic malaria pada anak-anak usia sekolah di daerah hyperendemis malaria.

Secara umum diketahui bahwa lekosit selama perjalanan penyakit malaria mengalami perubahan jumlah. Pada awal infeksi malaria umumnya lekosit akan bermigrasi dari sirkulasi menuju spleen atau reticulo endothelial system lainnya, sehingga jumlahnya menjadi sedikit di sirkulasi (leucopenia). Banyak penelitian menunjukkan bahwa infeksi Plasmodium falciparum lebih sering menyebabkan terjadinya leucopenia dibandingkan dengan Plasmodium vivax (Mckenzie, 2005). Chandra & Chandra (2013) menyatakan bahwa leucopenia dan trombocytopenia

(15)

Penelitian Ladhani et al. (2002) menunjukkan adanya leucocytosis pada penderita malaria. Kondisi leucocytosis ini juga berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit (morbiditas dan mortalitas). Bahkan penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa peningkatan jumlah lekosit itu menyebabkan tujuh kali lebih banyak kematian pada penderita malaria. Penelitian ini juga membandingkan proporsi lymphocyte dan monocyte pada penderita malaria, walaupun belum memberikan makna yang signifikan. Hal ini diduga karena adanya infeksi sekunder lain atau karena kondisi penderita yang semakin memburuk. Sementara itu Taylor et al. (2008) menyatakan bahwa perubahan kadar lekosit ini juga dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, status imunitas dan endemisitas daerah.

Hänscheid et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan kejadian malaria berat dengan pigmen hemozoin pada lekosit ( pigment-containing leukocytes - PCL). Penelitian tersebut juga mencoba menghubungkan prognosis penyakit malaria dengan membandingkan kadar pigment-containing monocytes (PCM) dan pigment-containing granulocytes (PCN).

Perbedaan hasil penelitian profil hematologi pada penderita malaria dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga profil hematologi tetap saja dapat dijadikan informasi yang memperbesar peluang dalam mendeteksi penyakit malaria, namun tidaklah dapat dijadikan sebagai alat diagnosis standar (Haroon et al., 2013).

2.3.6. Golongan darah ABO

(16)

atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor. Beberapa faktor genetik yang bersifat protektif terhadap malaria adalah golongan darah Duffy negatif, hemoglobin S, defisiensi G6PD dan golongan darah ABO (Gunawan, 2000 ).

Penelitian yang banyak dilakukan adalah membandingkan terjadinya malaria berat pada kelompok penderita malaria dengan golongan darah ABO yang berbeda. Virulensi malaria selalu dihubungkan dengan kemampuan adhesi

eritrosit yang mengandung plasmodium dengan eritrosit normal serta perlekatannya di endotel pembuluh darah (rosseting). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan sifat rosseting antara golongan darah ABO yang berbeda. Golongan darah yang memiliki antigen A dan B memiliki afinitas yang tinggi untuk mengalami peristiwa rosseting tersebut. Hal ini sejalan dengan fakta yang ditemukan bahwa penderita dengan golongan darah O (tanpa antigen A dan B) memiliki prognosis yang lebih baik (Deepa et al., 2011; Panda et al., 2011; Tekeste et al., 2010). Namun sejauh ini belum ada penelitian yang secara langsung melihat perbedaan terjadinya kejadian malaria pada golongan darah ABO.

2.3.7. Status gizi

Penelitian mengenai status gizi dan malaria masih belum mampu menerangkan secara jelas hubungan keduanya. Ada penelitian yang menemukan bahwa anak yang bergizi baik justru lebih sering mendapat kejang dan malaria cerebral dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa malaria berat jarang ditemukan pada anak-anak dengan

(17)

dengan lebih cepat dibandingkan dengan anak yang bergizi buruk (Gunawan, 2000). Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek protektif terhadap malaria berat. Sementara itu diet rendah PABA (para amino benzoic acid) seperti yang terdapat dalam air susu ibu melindungi anak dari malaria berat (Langi et al., 2000).

2.3.8. Kecacingan (STH)

Penelitian yang mengamati coinfection malaria dan kecacingan oleh karena soil transmitted helminthes (STH) telah lama dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut memberikan hasil yang beragam. Sebagian menyatakan bahwa keberadaan infeksi STH mengurangi susceptibilitas terhadap infeksi malaria, namun sebagian besar penelitian lain menyatakan hal yang sebaliknya, yakni bahwa infeksi STH menyebabkan lebih besar peluang terjadinya infeksi malaria.

Infeksi STH kronik secara umum akan meningkatkan respon imun dengan karakteristik meningkatnya produksi T helper tipe 2 dan Immunoglobulin E serta menurunnya respon imun seluler (T helper 1). Hipotesis inilah yang menjadi dasar fakta bahwa infeksi STH akan menyebabkan semakin memperbesar peluang terjadinya infeksi malaria. Hipotesis ini juga yang dapat menerangkan bahwa kondisi infeksi kronis STH dapat memberikan prognosis yang lebih baik bagi penderita malaria (Ojurongbe et al., 2011; Brooker et al., 2007).

2.3.9. Model diagnosis malaria

(18)

berbeda berdasarkan kelompok umur, dimana sensitivitas dan spesifisitas gejala dan tanda klinis malaria dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik berturut-turut adalah 60% dan 61.2% pada anak-anak dan 54.6% dan 57.5% pada orang dewasa. Sementara itu Bojang et al. (2000) mendapatkan hasil sensitivitas 70% dan spesifisitas 77%. Secara umum hasil tersebut belumlah memuaskan.

Maina et al. (2010) menyatakan bahwa membuat model / algoritma diagnosis berdasarkan kombinasi pemeriksaan mikroskopik dan profil hematologi dapat memperbaiki kualitas diagnosis malaria terutama di daerah hyperendemis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian model deteksi malaria dengan menggabungkan penggunaan alat diagnosis malaria pada layanan kesehatan primer dan faktor risiko yang berperan dalam kejadian malaria.

2.4. Faktor Perilaku

Penyebaran penyakit malaria juga berkaitan dengan perilaku yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice) dari masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal menetap di daerah endemis (Notoatmojo, 2005).

Perilaku merupakan salah satu komponen yang memiliki kontribusi cukup besar dalam mempengaruhi status kesehatan seseorang. Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Penelitian yang dilakukan Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, maka di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: (Notoadmodjo, 2005)

(19)

2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subyek sudah mulai timbul.

3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial (mencoba), dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5. Adoption (mengadopsi), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Perubahan perilaku tersebut dapat diimplikasikan dalam perilaku pencegahan malaria, perilaku mencari bantuan kesehatan dalam penanganan kasus malaria serta perilaku tenaga kesehatan dalam penanggulangan malaria. Perilaku pencegahan malaria dapat terlihat dari penggunaan repellent, anti nyamuk atau kelambu berinsektisida serta perilaku pengendalian tempat perindukan nyamuk. Sementara itu, perilaku mencari bantuan dalam penanganan kasus malaria terlihat dari tindakan apa yang akan dilakukan pada saat muncul gejala dan tanda penyakit malaria pada dirinya atau anggota keluarganya. Begitu pula dengan perilaku tenaga kesehatan yang terlihat dari kualitas pelayanan serta tersedianya alat diagnosis dan obat malaria.

(20)

2.5. Faktor Lingkungan

Penyakit malaria memiliki hubungan yang erat, baik yang berelasi dengan kehadiran vektor, iklim, kegiatan kemanusiaan dan lingkungan setempat. Adanya kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan luas tempat perindukan. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas vektor di dalam menularkan plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang lain melalui gigitan nyamuk Anopheles. Oleh karena itu malaria dianggap sebagai penyakit ekologis (WHO, 2001).

Malaria terdistribusi berdasarkan ketersediaan tempat perindukan nyamuk dan produktivitas nyamuk dalam menginfeksi manusia. Ketersediaan tempat perindukan nyamuk berhubungan dengan adanya genangan air misalnya akibat hujan sedangkan produktivitas nyamuk tergantung pada kemampuan parasit (plasmodium) dalam tubuh nyamuk untuk menjadi dewasa dan kesiapan untuk menginfeksi manusia (Mondzozo et al., 2011; Gubler et al, 2000).

(21)

Intervensi lingkungan yang dapat dilakukan dalam menanggulangi penyakit malaria yakni melalui upaya pengendalian vektor meliputi: (WHO, 2011)

1. Pembasmian jentik dilakukan larviciding (tindakan pengendalian larva

Anopheles sp. secara kimiawi menggunakan insektisida) 2. Biological control

a. Predator pemakan jentik (Clarviyorous fish) yaitu gambusia, guppy, ikan nila dan ikan kepala timah

b. Patogen misalnya dengan virus yang bersifat cytoplasmic polyhedrosis

c. Bakteri seperti Bacillus thuringiensis sub sp

d. Protozoa seperti Nosema vavraia

e. Fungi seperti Coelomomyces

3. Manajemen lingkungan dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS /

IndoorsResidual Spraying)

4. Penggunaan kelambu berinsektisida.

Pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective, efisien, suntainable, affective dan affordable). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders

(22)

2.6. Vektor Pembawa Penyakit

Malaria merupakan penyakit menular yang diperantarai oleh vektor (vector-borne diseases). Selain melalui vektor, penularan penyakit malaria juga dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dari seorang penderita malaria yang mendonorkan darahnya ataupun secara intrauterine kepada janin yang dikandung oleh ibu yang menderita malaria (Takken, 2002).

Vektor malaria adalah anthropoda yang secara aktif memindahkan mikroorganisma (Plasmodium sp.) penyebab penyakit malaria dari penderita kepada orang lain yang sehat. Arthropoda adalah metazoa yang mempunyai tubuh bersegmen-segmen, termasuk Class Insecta, Ordo Diphtera, Family Culicidae, Genus Anopheles. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendages) yang berpasangan seperti antena, kaki dan sayap sehingga tubuhnya simetris (CDC, 2006). Vektor utama malaria adalah nyamuk betina.

Genus Anopheles terdiri dari 430 species dan hanya 70 yang dikenal sebagai vektor, namun 40 di antaranya dianggap sangat penting di dalam menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, dan tidak terdapat di daerah Pasifik Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2500 meter biasanya tidak ditemukan nyamuk Anopheles (Service & Townson, 2002). Jenis Anopheles

tersebut meliputi Anopheles aconitus, Anopheles sundaicus, Anopheles balabasensis, Anopheles minimus, Anopheles barbirostris, Anopheles punctulatus,

(23)

Perilaku nyamuk Anopheles dalam kehidupannya memerlukan tempat perindukan vektor (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (reesting places). Nyamuk

Anopheles betina yang telah kawin, akan beristirahat 1-2 hari kemudian baru mencari makan kembali (Lindsay & Bayoh, 2004).

Nyamuk Anopheles untuk mencari makan dengan cara menggigit manusia. Dikarenakan sebagian besar nyamuk Anopheles bersifat crepuscular (aktif pada senja atau fajar) atau nocturnal (aktif pada malam hari), maka kegiatan menggigit nyamuk selalu aktif sepanjang malam, dimulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 24.00 - 01.00, tetapi terdapat juga nyamuk

Anopheles yang aktif di tengah malam sampai menjelang pagi hari (CDC, 2006; Depkes, 2003).

Kerentanan terhadap infeksi malaria pada spesies nyamuk tertentu, tergantung pada faktor intrinsik berbagai proses fisiologis dan biokimia yang belum banyak dipahami. Namun faktor-faktor ekologis seperti frekuensi menggigit orang, panjang umur nyamuk (longevity) betina dewasa, kepadatan vektor dan penduduk merupakan determinan yang penting dalam menentukan potensinya di dalam menyebarkan malaria (Service & Townson, 2002).

Takken (2002) menyatakan bahwa ada empat faktor utama yang menentukan kompetensi spesies Anopheles sebagai vektor malaria, yaitu:

(24)

b. Kepadatan vektor apabila cukup tinggi akan menyebabkan jumlah atau frekuensi kontak antara nyamuk dengan manusia cukup tinggi sehingga memperbesar risiko penularan.

c. Pilihan inang atau kesukaan menggigit: nyamuk yang lebih suka menggigit manusia (antropophylic) akan menyebabkan peluang yang lebih besar terjadinya penularan parasit malaria antar manusia.

d. Kerentanan vektor terhadap infeksi parasit malaria: adanya kecocokan fisiologi antara nyamuk sebagai inang dan parasit yang menumpanginya.

Dalam konsep epidemiologi, terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit malaria, yaitu host (penjamu), agent (penyebab penyakit) dan environment (lingkungan). Penyebaran penyakit malaria terjadi sebagai akibat interaksi dari ketiga komponen tersebut dan peran serta nyamuk sebagai vektor pembawa penyakit (agent). Dengan mengenal hubungan faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit malaria, maka usaha pemutusan mata rantai penularannya dapat direncanakan dan ditentukan dengan lebih terarah. Pemutusan mata rantai penularan terbaik adalah: (Depkes, 2003)

1. Menyembuhkan orang yang sakit malaria, sehingga tidak terjadi penularan, walaupun terdapat vektor (nyamuk) penular penyakit tersebut

2. Menghilangkan / membunuh vektor nyamuk penular malaria, sehingga tidak mungkin terjadi penularan, walaupun terdapat orang yang sakit malaria

(25)

2.7. Hubungan Host-Agent-Environment Dan Malaria

Infeksi malaria dipengaruhi oleh faktor manusia (Host), plasmodium

(Agent), nyamuk (Vector) dan perindukan nyamuk (Environment). Masing-masing faktor saling mempengaruhi pada proses terjadinya penyakit malaria (Gambar 2.2).

Secara umum, semua manusia dapat menderita penyakit malaria. Namun banyak faktor yang berpengaruh, seperti sistem imun tubuh, status gizi, tempat tinggal yang dekat dengan perindukan vektor dan faktor genetika yang bisa bersifat protektif terhadap penyakit malaria serta faktor perilaku manusia. Manifestasi perilaku dapat dilihat dari tindakan mencari bantuan kesehatan, tindakan pencegahan penyakit dan kualitas pelayanan kesehatan. Semua faktor tersebut saling berpengaruh terhadap terjadinya penyakit malaria (Gunawan, 2000).

Karakteristik plasmodium sp. berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan karakteristik tersebut ditambah dengan faktor lainnya seperti kepadatan parasit di dalam darah, akan menghasilkan manifestasi klinis yang berbeda pula. Kemampuan adaptasi untuk bertahan hidup, juga berbeda antar spesies yang berakibat pada terjadinya resistensi antimalaria (Gunawan, 2000).

Malaria pada manusia umumnya ditularkan oleh nyamuk betina anopheles

(26)

pembentukan sporozoite dan lamanya hidup nyamuk yang terinfeksi oleh

gametocyte (Gunawan, 2000).

Lingkungan sebagai tempat tinggal manusia, vektor dan plasmodium juga berpengaruh pada interaksi ketiganya. Faktor-faktor seperti letak ketinggian, temperatur, angin, hujan, kelembaban udara, sinar matahari dan lingkungan sosial budaya juga berpengaruh dalam interaksi manusia, vektor dan plasmodium. Sebagai salah satu manifestasi perilaku manusia, kualitas pelayanan kesehatan dan tatalaksana penyakit, juga berpengaruh pada virulensi parasit (Gunawan,2000).

Intervensi pada masing-masing faktor (manusia, vektor, plasmodium dan lingkungan) merupakan upaya yang tidak bisa dilakukan secara terpisah. Kompleksitas setiap faktor saling mempengaruhi satu sama lainnya (Gambar 2.2.) sehingga memerlukan strategi yang komprehensip untuk melakukan intervensi yang tepat.

(27)

Gambar 2.2. Hubungan Host-Agent-Environment dan Malaria

2.8. Kerangka Teori

Manifestasi klinis penderita malaria dipengaruhi oleh banyak faktor. Tetapi secara umum ada dua faktor yang berpengaruh besar, yaitu sistem imunitas dan kepadatan parasit. Sistem imunitas dipengaruhi oleh sistem anti-parasite immunity dan anti-disease immunity. Kondisi asymptomatic malaria terjadi karena anti-disease immunity menekan inflamatory agent dan mengurangi manifestasi klinis demam. Sementara itu, aktivitas anti-parasite immunity

menyebabkan berkurangnya kepadatan parasit dalam darah dan berpengaruh pada manifestasi klinis. Sifat virulensi parasit akan berinteraksi dengan sistem imunitas penderita dan berpengaruh pada kepadatan parasit di dalam darah. Kepadatan parasit dan sistem imunitas secara simultan akan berpengaruh pada profil hematologi dan manifestasi klinis penderita malaria. Status gizi dan infeksi lain berhubungan dengan sistem imunitas dan berpengaruh pada manifestasi klinis. Sementara itu, perilaku manusia, seperti pencegahan penyakit, mencari bantuan

(28)

kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan, berpengaruh pada kuantitas parasit yang masuk ke dalam tubuh penderita (Gambar 2.3.).

Akurasi diagnosis malaria berkorelasi dengan jumlah darah yang diperiksa dan kepadatan parasit di dalam darah. Sehingga penggunaan alat diagnosis malaria yang memeriksa jumlah darah lebih banyak serta menunggu waktu perbanyakan parasit di dalam darah (pemeriksaan serial) akan semakin meningkatkan akurasi diagnosis alat diagnosis tersebut. Distribusi alat diagnosis dan tenaga laboratorium juga berpengaruh pada kualitas deteksi parasit (Gambar 2.3.).

Gambar 2.3. Kerangka Teori 2.9. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel (Umur, Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal) dan Faktor Risiko Malaria (Ketersediaan Alat Diagnosis Malaria, Ketersediaan Obat Malaria, Kualitas Tenaga Kesehatan, Pengetahuan,Sikap dan Tindakan tentang Malaria, Akses ke Tenaga Kesehatan, Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Pemakaian Antinyamuk

Manifestasi Klinis Sistem Imunitas

(Anti-parasite dan Anti-disease)

(29)

Bakar, Pemakaian Antinyamuk Oles (repellent) dan Kondisi Tempat Tinggal) dengan terjadinya asymptomatic malaria.

2. Ada hubungan gabungan Karakteristik Sampel, Faktor Risiko Malaria, Pemeriksaan Fisik (Status Gizi) dan Pemeriksaan Laboratorium (Kecacingan, Golongan Darah ABO dan Profil Hematologi : Hb, Basofil, Eosinofil, Netrofil, Limfosit dan Monosit) dengan deteksi asymptomatic malaria.

2.10. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Karakteristik Sampel

(Umur, Jenis Kelamin, Tempat Tinggal

Kualitas Pelayanan Kesehatan

(Ketersediaan Alat Diagnosis, Ketersediaan Obat Malaria dan Kualitas Tenaga Kesehatan)

Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan

(Pengetahuan, Sikap dan Tindakan, Akses ke Tenaga Kesehatan)

Perilaku Pencegahan Penyakit (Pemakaian Kelambu, Kualitas Pemakaian Kelambu, Kondisi Tempat Tinggal)

Status Gizi (Normal, Abnormal)

Kecacingan (Positif, Negatif)

Golongan Darah (A,B,O,AB)

Profil Hematologi

(Hb,Basofil,Eosinofil,Netrofil,Limfosit,Monosit)

Kepadatan Parasit

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Hidup Plasmodium sp. (CDC, 2006)
Gambar 2.2.  Hubungan Host-Agent-Environment dan Malaria

Referensi

Dokumen terkait

Dalam teknik guru harus memperhatikan cara/teknik pembuatan Mozaik yang benar agar kegiatan ini bermanfaat bagi perkembangan motorik halusnya.Manfaat dan tujuan

Demikian seterusnya pelaksanaan Metode SAS sehingga siswa mengenal kalimat, suku kata, huruf, dan dapat membacanya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pelaksanaan

Suatu survei yang menyangkut veteran Vietnam disebutkan bahwa 15% dari veteran tersebut mengalami gangguan stres paca-traumatik sejak kepulangan mereka

Hasil penelitian ini menghasilkan desain laboratorium alam yang nyaman dalam bentuk massa bangunan, penataan massa bangunan, warna, ukuran dan bentuk, perabot

Penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di jaringan irigasi adalah untuk mengembangkan potensi tenaga air yang terdapat pada jaringan irigasi menjadi potensi

Alhamdulillahirabbil’alamin Penulis haturkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan

Pemberian enhancer Natrium lauril sulfat pada patch topikal antiinflamasi ekstrak etanol kencur (Kaempferia galanga L) berpengaruh terhadap rendahnya jumlah makrofag

Berdasarkan paparan diatas, untuk mengetahui bagaimana gambaran literasi sains siswa dengan menggunakan model inkuiri, maka penelitian ini mengangkat judul “Deskripsi