• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neurektomi Nervus Nasalis Posterior: Sebuah Kasus Berbasis Bukti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Neurektomi Nervus Nasalis Posterior: Sebuah Kasus Berbasis Bukti"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Neurektomi Nervus Nasalis Posterior: Sebuah

Kasus Berbasis Bukti

Nama: Muhammad Arfiza Putra Saragih

NIP: 198807272014041001

Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirohim

Puji sukur saya kehadirat Allah SWT atas karena rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah ini. Salawat beserta salam saya ucapkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang. Makalah ini membahas tentang tindakan neurektomi nervus nasalis posterior yang saat ini sedang berkembang, terutama pada kasus kasus rinitis vasomotor dan rinitis alergi yang tidak membaik setelah pemberian terapi medikamentosa. Neurektomi nervus nasalis posterior ini dilakukan dengan bantuan endoskopi dan termasuk tindakan minimal invasif. Teknik ini selain dapat mengurangi gejala hidung tersumbat, dapat juga mengurangi gejala rinorea, sehingga disebut sebut lebih baik dari pada tindakan konkoplasti ataupun konkotomi. Walaupun demikian, pada literatur yang sering didapatkan kombinasi kedua teknik ini, sehingga hasil yang didapatkan menjadi bias apakah memang teknik ini terbukti mengurangi gejala hidung atau tidak. Makalah ini adalah sebuah laporan kasus yang dikaitkan dengan bukti bukti dari literatur. Bukti bukti ini ditelaah sesuai dengan laporan kasus yang saya kaji.

Medan, 29 Agustus 2017 Penulis,

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. I DAFTAR ISI……….... II

ABSTRAK……… 1

ABSTRACT………. 1

PENDAHULUAN……… 2

ANATOMI HIDUNG………... 3

MODULASI PERSEPSI SENSORIS………. 5

TEKNIK NEUREKTOMI NERVUS NASALIS POSTERIOR………….. 7

KASUS………. 8

TELAAH ILMIAH………. 10

DISKUSI……….. 11

KESIMPULAN………... 13

DAFTAR PUSTAKA………. 14

(4)

Neurektomi Nervus Nasalis Posterior: Sebuah Kasus Berbasis Bukti

Mhd. Arfiza Putra Saragih*

*Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Gejala rinitis alergi dan non alergi biasanya dapat dikontrol melalui terapi medikamentosa, tetapi terdapat beberapa kasus yang tidak berhasil pada terapi medikamentosa, sehingga tatalaksana pembedahan menjadi pilihan yang baik pada kasus ini. Neurektomi nervus nasalis posterior merupakan salah satu pilihan, bila dibandingkan dengan neurektomi nervus vidianus, prosedur ini cukup aman dan hasilnya cukup menjanjikan. Makalah ini ditulis untuk telaah kritis neurektomi nervus nasalis posterior sebagai rinitis non-alergi. Dilaporkan pasien perempuan, 41 tahun, dengan nyeri daerah wajah dan hidung tersumbat selama 2 tahun, keluhan rasa mengalir ditenggorok dan gangguan tidur selama 1 tahun. Pengobatan kortikosteroid intranasal dan cuci hidung telah diberikan selama 3 bulan tetapi tidak membaik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema konka inferior dan septum deviasi serta pemeriksaan penunjang tes alergi negatif. Pasien didiagnosis dengan rinitis non alergi dan dilakukan neurektomi nervus nasalis posterior. Pada saat operasi ditemukan adanya nervus tambahan didepan foramen sfenopalatina yang diduga nervus nasalis inferoposterior. Setelah follow up 3 bulan terdapat penurunan gejala hidung dan perbaikan kualitas tidur. Pasca evaluasi 1 tahun pasien tidak mengalami rekurensi gejala hidung dan gangguan tidur. Walaupun hasil neurektomi nervus nasalis posterior pada pasien ini baik dalam follow up yang cukup lama, tetapi tetap diperlukan penelitian untuk membuktikan efektivitas neurektomi nervus nasalis posterior.

Kata kunci : neurektomi nasal posterior, sumbatan hidung, rinitis vasomotor, rinitis alergi

Abstract

(5)

a 3-month follow-up there has been a decrease of nasal symptoms and an improvement of sleep quality. After one year follow-up, patient has been showed no recurrence of nasal symptoms and sleep disturbances. Although the results of posterior nasal neurectomy in this patient shows excellent result within 1 year follow-up, however a future research is needed to prove the effectiveness of the procedure.

Keywords : posterior nasal neurectomy, nasal kongestion, vasomotor rhinitis, allergic rhinitis

Pendahuluan

Gejala utama rinitis alergi dan non alergi adalah hidung tersumbat, bersin dan rinore. Hal ini disebabkan oleh edem mukosa, hiperresponsif serabut saraf trigeminus dan peningkatan jumlah sel sekretorik konka inferior. Hidung tersumbat kronik yang terjadi akibat remodeling kelenjar submukosa konka inferior disebabkan dilatasi vena sinusoid atau fibrosis, dan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Gejala-gejala ini umumnya dapat diatasi dengan terapi medikamentosa seperti kortikosteroid intranasal, tetapi tindakan pembedahan mungkin perlu dilakukan jika obat tidak menuai keberhasilan dalam menghilangkan atau menurukan keparahan gejala1,2

Golding dan Wood yang dikutip dari Halderman dkk3 pertama kali melakukan diseksi nervus vidianus transnasal untuk rinitis vasomotor pada tahun 1961. El-Guindy yang dikutip dari Halderman dkk3 kemudian memodifikasinya dengan metode transeptal. Indikasi neurektomi vidianus kemudian diperluas juga untuk rinitis alergi. Prosedur ini menunjukkan angka keberhasilan 94% dalam menghilangkan gejala rinore dan menurunkan 57% gejala hiperreaktif

hidung pada pasien dengan atopi. Walaupun menjanjikan, tetapi teknik ini dapat mengakibatkan komplikasi seperti perdarahan hebat saat prosedur akibat ruptur arteri sfenopalatina dan percabangannya, xerostalmia, kebas pada pipi dan palatum, opthalmoplegia dan kebutaan. Komplikasi ini terjadi biasanya karena visualisasi anatomi yang buruk saat prosedur berlangsung, karena adanya variasi foramen sfenopalatina, foramen rotundum dan dinding posterior sinus maksila. Dilaporkan rekurensi gejala hipereaktif hidung terjadi hingga 71% dalam 2 tahun pasca tindakan, 3,4

Ruskel yang dikutip oleh Halderman dkk3 memperkenalkan anatomi fossa pterigopalatina melalui studi mikroanatomi. Penemuannya menunjukkan bahwa berkas nervus

(6)

mencegah xerostalmia, kebas pada palatum dan pipi akibat neurektomi nervus vidianus3

Kikawada5 pada tahun 1998 melakukan neurektomi nervus nasalis superoposterior pada foramen sfenopalatina. Ikeda dkk1 melakukan neurektomi nervus nasalis superoposterior dengan turbinoplasti mendapatkan 80% perbaikan gejala hidung dan perbaikan patensi hidung

berdasarkan rinomanometri. Kobayasi dkk6 pada tahun 2012

kemudian memodifikasi neurektomi ini dengan diseksi cabang perifer nervus nasalis posterior bersamaan dengan reseksi submukosa konka inferior. Pada penelitiannya Kobayasi mendapatkan penurunan gejala hidung seperti bersin, rinore, dan hidung tersumbat dan tidak berbeda secara statistik; kecuali pada keluhan rinore pasca teknik Kikawada5 menunjukkan perbaikan yang lebih bermakna.Albu dkk2 pada tahun 2014 melakukan penelitian turbinoplasti dengan mikrodebrider dan atau tanpa neurektomi nervus nasalis superoposterior, mendapatkan gejala hidung, rinomanometri akustik dan sakarin tidak berbeda bermakna secara statistik antara turbinoplasti dengan atau tanpa neurektomi nervus nasalis posterior. 1,2,5,6

Dengan ditemukannya perbedaan hasil berdasarkan perbedaan teknik maka tulisan ini dibuat untuk mengkaji secara kritis penelitian penelitian yang ada. Selain itu ditemukannya percabangan nervus nasalis tambahan saat melakukan neurektomi nervus nasalis posterior memicu pertanyaan klinik apakah yang ditemukan adalah nervus nasalis inferoposterior yang merupakan cabang dari nervus

palatina desenden, yang berjalan pada lamina perpendikular os palatina, Nervus ini juga mempersarafi konka inferior terutama bagian media dan inferior. 5

Anatomi Hidung

Bagian tulang dinding lateral rongga hidung terdiri atas tulang. etmoid (lempeng kribiformis, tulang konka superior, tulang konka media, bagian tulang prosesus unsinatus), tulang lakrimal, prosesus frontal dari tulang maksila, tulang konka inferior, dan lempeng perpendikular dari tulang palatina.7,8

Gambar 1. Anatomi tulang dinding lateral hidung.7

(7)

tulang palatina dan atap dari fossa pterigopalatina.5,7,8

Gambar 2. Gambaran skematis lokasi foramen sfenopalatina.5

Dinding lateral hidung bagian superior diperdarahi oleh arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika yang merupakan percabangan dari arteri karotis interna. Arteri sfenopalatina akan memperdarahi dinding lateral hidung bagian inferior dan dasar hidung, yang merupakan cabang dari arteri maksila, dan merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Arteri labialis superior akan memperdarahi bagian vestibulum.7

Gambar 3. Perdarahan dinding lateral hidung.7

Serabut saraf sekretomotor (parasimpatik dan motorik) hidung berasal dari nervus intermedius. Serabut saraf ini berjalan bersama dengan nervus fasialis dan membentuk ganglion genikulatum, kemudian meninggalkan ganglion genikulatum membentuk nervus petrosus superfisialis mayor. Nervus ini berjalan dari permukaan anterior bagian petrosus tulang temporal hingga ke sinus kavernosus, kemudian mendapatkan serabut saraf simpatik dari nervus petrosus profunda, yang berasal arteri karotis interna segmen kavernus dan membentuk nervus vidianus.9

(8)

Gambar 4. Skematik Perjalanan Saraf di Fossa Pterigopalarina. 11

Saraf sensoris yang mempersarafi hidung merupakan percabangan dari nervus oftalmikus (V1) dan nervus maksilaris (V2). Kedua nervus ini merupakan percabangan utama dari nevus trigeminus. Kebanyakan daerah dinding lateral hidung dan septum nasi dipersarafi oleh cabang-cabang nervus maksilaris. Pada fossa pterigopalatina, nervus maksilaris bergabung dengan nervus vidianus

membentuk ganglion pteriogopalatina tanpa sinaps.

Cabang dari ganglion pteriogopalatina ini kemudian keluar

dari foramen sfenopalatina ke rongga hidung dan membentuk percabangan lateral dan cabang medial. Nervus nasalis posterosuperior lateral mempersarafi konka inferior, media dan superior. 9,12

Nervus nasalis posterosuperior medial melewati dinding anterior sfenoid hingga septum nasi membentuk nervus nasopalatina. Nervus nasopalatina ini masuk ke kanal insisivus pada bagian anterior septum, saraf ini akan mempersarafi gingiva dan mukosa posterior dari gigi insisivus. Bagian bawah dari rongga hidung dipersarafi oleh nervus palatina mayor, yang merupakan cabang dari ganglion pteriogopalatina. Nervus ini keluar melalui kanal palatina mayor dan

berjalan melalui lamina perpendikularis os palatina menuju dinding lateral hidung. Nervus ini mempersarafi konka inferior dan meatus inferior.5,9,12

Gambar 5. Skematik Perjalanan Saraf ke Fossa Sfenopalatina (GPN = Nervus petrosus mayor, DPN = Nervus Petrosus Profunda, SPG = Ganglion Pterigopalatina).13

Modulasi Persepsi

Sensoris

(9)

halnya dengan sindroma empty nose yang merasakan hidung tersumbat.14

Gambar 6. Skematik fisiologis gejala hidung.14

Gejala spesifik rinitis dimediasi berbagai jalur saraf. Akson serabut saraf sensorik dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran, kecepatan konduksi, neurotransmiter yang dilepaskan dan berbagai macam stimuli yang merangsangnya. Serabut kecil saraf C tidak memiliki mielin sehingga lebih lambat dalam menghantarkan potensial aksi dan umumnya respon terhadap rangsangan kimia dan mekanik yang berbahaya (nocireseptor). Serabut Aδ memiliki mielin tipis dan merupakan nocireseptor. Aβ merupakan serabut saraf yang mempunyai mielin yang besar, sehingga mempunyai kecepatan rabat yang cepat dan dapat dirangsang dengan non nociseptif. 14

Gatal pada hidung merupakan rangsangan taktil yang disampaikan ke sistem saraf pusat oleh nevus trigeminus. Aktivasi nervus trigeminus disebabkan oleh mediator sel mast, aktivasi ini juga akan

mengkibatkan bersin. Calcitonin gene-related peptide (CGRP) adalah vasodilator yang baik dan mempunyai peran pada kongesti hidung, pelepasan CGRP ini dipengaruhi oleh aktivasi nervus trigeminus. CGRP meningkat pada cairan hidung yang dilakukan allergen challenge. Aktivasi nervus trigeminus dihubungkan juga dengan alergi, hal ini didukung oleh adanya studi tentang inhalasi karbon dioksida yang merupakan inhibisi aktivasi saraf dan inhibisi pelepasan CGRP, dapat mengurangi gejala alergi, seperti hidung tersumbat. 14

Lengkung reflek abnormal dari saraf parasimpatik juga berhubungan dengan kongesti hidung dan rinore. Rinitis vasomotor, idiopatik atau iritan diduga berhubungan dengan peningkatan sensitivitas serabut afferen, terhadap stimulus iritan dan atau augmentasi respon kelenjar pada aktivasi axon parasimpatik.14

(10)

juga membawa informasi tentang stimulus mekanik dan perubahan osmolaritas lokal. 14

Fenotip neurotransmiter pada saraf afferen primer sangat fleksibel (plastic) dan dapat berubah fungsinya secara cepat bila terdapat stimulus inflamasi. Neuroplastisitas inflamasi ini terjadi akibat kombinasi perubahan activity-dependent saraf dan molekul spesifik yang memicu jalur tranduksi sinyal. Inflamasi memicu pelepasan mediator yang dapat merubah kandungan saraf sensorik primer, menghasilkan perubahan sensitivitas dan fenotip transmiter. Sebagai contoh, inflamasi mengakibatkan peningkatan growth

factor-dependent pada ekspresi

subtansi P pada serabut saraf C, anehnya ekspresi subtansi P ini terjadi pada serabut saraf Aβ juga, walaupun normalnya peptida ini tidak terdapat pada serabut saraf Aβ.14

Perubahan ini dapat membuat sensasi hidung tersumbat walaupun tidak terdapat gangguan pernapasan atau terhambatnya jalan napas pada hidung. Hal ini didukung dengan adanya peningkatan respon hidung terhadap histamine dan kapsaisin (stimulus sangat spesifik serabut C) pada pasien rinitis alergi, ditambah lagi persepsi rinitis idiopatik meningkatkan paparan kapsaisin, molekul yang mengakibatkan desensitivitas saraf tetapi tidak berefek pada mediator inflamasi. Data data ini mendukung perubahan pada prosesing sensoris, pada kongesti hidung.14

Teknik neurektomi

nervus nasalis posterior

Secara umum terdapt 2 teknik dalam melakukan neurektomi nervus nasalis posterior, salah satunya adalah yang dikemukakan Kikawada5, diawali dengan injeksi 1 mL of 1:100,000 epinefrin pada batas posterior dari meatus medius. Insisi 1,5 cm dari batas superior konka inferior hingga bagian horizontal lamella basalis konka media, kemudian dilakukan elevasi jabir mukoperiosteum dari lamina perpendikular os palatina hingga cekungan foramen sfenopalatina dan batas superior lamina perpendikular os palatine terpapar. Arteri sfenopalatina akan keluar melalui foramen sfenopalatina dibawah jabir mukoperiosteum beserta 1 hingga 2

cabang nervus nasalis posterosuperior, kemudian nervus ini

diangkat dengan forsep dan jaringan sekitar arteri sfenopalatina dibakar dengan kauter, untuk memastikan tidak terdapat cabang nevus nasalis posterior yang tersisa. Jabir mukoperiosteum dikembalikan ke tempat semula.5

Gambar 7. Skematik neurektomi nervus nasalis posterior (SPA=Arteri sfenopalatina, PSNN= Nervus nasalis posterosuperior).5

(11)

dengan tampon adrenalin-lidokain 1/5000 pada permukaan konka inferior dan rongga hidung selama 10 menit. Insisi pada perlekatan anterior konka inferior, insisi dilakukan dari batas superior sampai inferior konka inferior, dilanjutkan dengan elevasi jabir mukoperiosteal sampai terpapar seluruh tulang konka inferior, tulang konka inferior dipisahkan dari mukoperiosteum yang melapisinya. Tulang konka inferior kemudian diangkat diangkat, kemudian dievaluasi Neurovaskular bundle yang berjalan pada permukaan mukoperiosteum. Neurovaskular bundle ini kemudian dikoagulasi dengan kauter bipolar dan direseksi. Jabir mukoperiosteal dikembalikan ke posisi semula, hingga tidak terdapat tulang yang terpapar.6

Gambar 12. Nervus nasalis posterior perifer.6

Kasus

Perempuan, 41 tahun, datang ke poli Rinologi THT pada tanggal 28-9-2016 dengan nyeri daerah wajah (VAS=6) selama 2 tahun, mata berair, hidung tersumbat dirasakan ada (VAS=4) selama 2 tahun, keluhan rasa mengalir ditenggorok (VAS=4) 1 tahun dan gangguan tidur (epworth sleepiness scale = 10) 1 tahun. Pilek, gatal pada hidung maupun bersin dirasakan tidak ada,

tidak terdapat gangguan penghidu ataupun batuk.

Pemeriksaan fisik didapatkan terdapat konka yang edem pada hidung kanan dan kiri, post nasal drip pada hidung kanan dan kiri, terdapat septum deviasi pada 1/3 medial hidung kiri yang bersentuhan dengan konka hidung kiri. Tes Alergi menunjukkan tidak terdapat alergi pada pasien.

Pasien sebelumnya telah mendapatkan obat semprot hidung dan cuci hidung selama 3 bulan dan keluhan hanya berkurang sedikit. Pasien di diagnosis dengan rinitis non alergi dengan sleep disordered breathing dan septum deviasi, Pasien kemudian direncanakan operasi neurektomi nervus nasalis posterior, bedah sinus endoskopi fungsional mini dan septoplasti pada tanggal 13-10-15.

Pasien dilakukan unsinektomi dan antrostomi meatus media, kemudian dilakukan insisi elips 1,5 cm batas superior konka inferior hingga bagian horizontal lamella basalis konka media, kemudian jabir mukoperiosteal dibuka hingga tampak krista etmoidalis dan foramen sfenopalatina, dilakukan diseksi nervus nasalis posterosuperior dan kemudian dilakukan kauterisasi agar tidak terjadi reinervasi dari nervus nasalis posterosuperior. Pada kavum nasi kiri terdapat nervus nasalis posterior tambahan yang diduga dengan nervus nasalis inferoposterior. Nervus ini berada dianteroinferior foramen sfenopalatina.

(12)

dilakukan pengangkatan jabir mukoperikondrium sisi kiri dan dibuat terowongan inferior dan superior dan diteruskan hingga batas osseokartilago, insisi kartilago dilakukan 0,5 cm dari insisi

mukoperikondrium, dilakukan

pengangkatan jabir mukoperikondrium kontralateral

hingga terbentuk terowongan inferior dan superior, dilanjutkan dengan kondrotomi posterior dan inferior, krista nasalis os palatina dipahat, lamina perperndikularis os etmoid dan kartilago yang deviasi diangkat. Luka insisi dijahit dan dipasang tampon netcell pada kedua hidung agar tidak terjadi hematoma hidung,

Pasien dirawat 2 hari, sebelum pulang tampon diangkat dan dilakukan evaluasi, kavum nasi kanan dan kiri lapang, konka inferior edema, konka media edema, tampak clotting pada meatus medius, ostium sinus maksila terbuka dan flap mukoperiosteum baik, luka jahitan pada septum baik, tidak terdapat perforasi. Pasien diberikan antibiotik dan analgetik serta dianjurkan untuk cuci hidung.

Pasien kemudian kontrol 2 minggu pasca operasi, masih terdapat keluhan nyeri wajah (VAS=4), mata berair ada, tidak terdapat hidung tersumbat, pilek, rasa mengalir dibelakang tenggorok, gangguan tidur terasa berkurang (epworth sleepiness scale = 6) pada

pemeriksaan nasoendoskopik didapatkan kedua kavum nasi lapang

kavum nasi lapang, konka inferior eutrofi, konka media eutrofi, meatus medius lapang clotting minimal pada meatus medius, ostium sinus maksila terbuka dan flap mekoperiosteum baik, luka jahitan pada septum baik,

tidak terdapat perforasi. Pasien kemudian diberikan steroid topikal dan cuci hidung.

Setelah follow up 3 tahun keluhan mata berair masih ada, nyeri dirasa tidak ada, hidung tersumbat tidak ada, nyeri wajah tidak ada, gangguan tidur terasa sangat berkurang (epworth sleepiness scale = 4). pada

pemeriksaan nasoendoskopik didapatkan pada pemeriksaan nasoendoskopik didapatkan kavum nasi kanan dan kiri lapang, konka inferior eutrofi, konka media eutrofi, meatus medius terbuka, ostium sinus maksila terbuka dan septum tidak deviasi. Pasien kemudian diberikan steroid topikal dan cuci hidung.

Pasien kemudian kontrol ke poli mata untuk mata berair dan dikatakan sumbatan pada duktus nasolakrimal kanan dan kiri, pasien

kemudian dilakukan dakriosistorinostomi terbuka pada

duktus nasolaktimal kiri pada januari 2016 dan dakriosistorinostomi dengan pendekatan endoskopik pada duktus nasolakrimal kanan pada oktober 2016.

(13)

Pasien kemudian diberikan steroid topikal dan cuci hidung.

Telaah Ilmiah

Pertanyaan klinis PICO pada kasus ini dapat diuraikan sebagai berikut Patient: kasus rinitis alergi dan non alergi yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa.

Intervention: neurektomi nervus

nasalis posterior dengan dan tanpa konkoplasti.

Comparison: neurektomi nervus

vidianus atau konkoplasti tanpa dilakukan neurektomi nervus nasalis posterior.

Outcome: penurunan gejala hidung.

Diagram 1. Pencarian telaah ilmiah

Penelurusuran literatur melalui PUBMED, clinicalkey dan Cochrane dengan kata kunci “Posterior Nasal Neurectomy“ didapatkan 366 kepustakaan, setelah diseleksi yang berhubungan dengan PICO, hanya

terdapat 7 kepustakaan, dan hanya 2 kepustakaan dalam 5 tahun terakhir.

Satu kepustakaan merupakan tinjauan sistematik (systematic review) oleh Halderman dkk3. Dalam tinjauan sistematik ini tidak terdapat penelitian uji klinik randomisasi membuta yang langsung membandingkan keuntungan atau komplikasi neurektomi nervus nasalis posterior dengan neurektomi nervus vidianus.

Studi dalam tinjauan sistematik ini adalah prospektif dan retrospektif tetapi tidak mencantumkan forest plot, karena tidak mengukur interval kepercayaan dengan tingkat pembuktian sebagian studi yang dilaporkan adalah IIa.

Funnel plot juga tidak dicantumkan sehingga bias publikasi tersamar, sehingga nilai validitas (validity) dan kepentingannya (important) rendah, walaupun inklusi dan ekslusinya baik. Tinjauan sistematik ini dapat diterapkan (applicable) pada institusi yang memiliki endoskop dan ahli bedah yang kompeten.

Kepustakaan ke-2 oleh Albu dkk2 merupakan studi retrospektif selama waktu evaluasi 1 tahun. Studi ini membandingkan hasil konkoplasti tanpa neurektomi nervus nasalis posterior (grup A) dengan konkoplasti dan neurektomi nervus nasalis posterior (grup B) berdasarkan gejala subjektif menggunakan Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionare (RQLQ) maupun pemeriksaan objektif seperti rinomanometri akustik dan tes sakarin. Karakteristik demografik dari setiap grup hampir sama. Penelitian ini menunjukkan validitas

Cochrane PUBME Clinicalkey

366 kepustakaan

2 kepustakaan 5 Tahun

Terakhir Sesuai

PICO

(14)

yang tidak terlalu tinggi dan importancy tidak dapat dihitung karena hasil studi berdasarkan nilai rerata pemeriksaan subjektif maupun objektif. Penelitian ini juga kurang dapat diterapkan karena menggunakan mikrodebrider.

Penelitian nervus nasalis posteroinferior hanya dilaporkan oleh Eren dkk15 yang menggunakan kadaver sebagai subyek dengan desain penelitian potong-lintang dan mengevaluasi topografi nervus nasalis posterioinferior.

Diskusi

Halderman dkk3 dalam telaah sistematiknya mengevaluasi 6 studi neurektomi nervus vidianus, dengan total subyek 54 pasien, mendapatkan angka keberhasilan diseksi nervus vidianus pernasoendoskopik berkisar 50% dan 90% terutama untuk gejala rinore. Gejala hidung tersumbat bekurang pada satu studi dan tidak pada studi yg lain, begitu juga gejala bersin. Immediate failure (kegagalan perubahan gejala segera setelah operasi) pada neurektomi nervus vidianus berkisar antara 8.9% hingga 50%. Eventual failure (tidak terjadi perbaikan gejala sama sekali setelah priode kesembuhan dilaporkan 1,9% Namun demikian 1 penelitian menyimpulkan pada akhirnya akan terjadi perbaikan gejala hidung pada waktu yang lama pasca operasi. Studi neurektomi nervus vidianus yang diambil Halderman3 banyak yang menggunakan percontoh rinitis alergi. Walaupun rinitis alergi dan rinitis vasomotor memiliki patofisiologi yang berbeda, namun kegunaan nervus vidianus untuk rinitis vasomotor masih dapat ditunjukkan.

Halderman dkk3 menyatakan bahwa studi tentang neurektomi nervus nasalis posterior sangat sedikit dan sulit untuk mengevaluasinya. Tidak terdapat studi yang murni mengevaluasi efek neurektomi nervus nasalis posterior saja. Studi tentang neurektomi nervus nasalis superior banyak yang di gabung dengan septoplasti dan konkoplasti yang merupakan faktor perancu yang nyata untuk gejala hidung tersumbat.

Ikeda yang dikutip oleh Halderman dkk3 merupakn satu satunya studi yang melakukan neurektomi nervus nasalis posterior tanpa konkoplasti dan hanya melakukan parsial septoplasti, untuk mengambil kartilago, yang nantinya ditanam diantara kedua ujung nervus nasalis posterior yang telah dipotong untuk mencegah terjadinya re-inervasi. Kelemahan studi ini hanya melakukan penilaian subjektif gejala hidung dengan membandingkan visual analog scale (VAS) sebelum dan setelah operasi dengan jumlah percontoh hanya 8 pasien, lama follow up dan kapan waktu evaluasi dilakukan operasi tidak disebutkan, walaupun didapatkan hasil yang signifikan yaitu penurunan gejala hidung tersumbat dan rinore.

(15)

Laporan kasus ini mendapatkan hasil yang baik pada 1 kasus neurektomi nasalis posterior disertai septoplasti dengan follow up 1 tahun, dengan perbaikan skor VAS pada gejala hidung dan berkurangnya volume konka inferor pada pemeriksaan fisik tetapi tidak terdapat data pengukuran resistensi hidung dengan rinomanometri.

Hasil neurektomi nervus vidianus dengan neurektomi nervus nasalis posterior belum dapat dibandingkan secara kritis karena memang belum ada studi yang membandingkan secara langsung. , Berdasarkan hasil analisis studi, tampaknya neurektomi nervus nasalis posterior lebih menjanjikan kesembuhan dan lebih mudah dilakukan. Hambatan pembuktian penelitian karena sampai saat ini studi yang dipublikasi

masih kurang validitas dan tidak memenuhi kriteria importance

Hasil yang di dapatkan Albu2 diduga karena konkoplasti dengan mikrodebrider akan mengangkat nervus nasalis posterior perifer. Hal ini berdasarkan penelitian Kobayasi dkk6 yang melakukan konkoplasti sekaligus melakukan neurektomi nervus nasalis posterior perifer yang ada pada konka inferior. Setelah membandingkan dengan neurektomi nervus nasalis posterior pada foramen sfenopalatina (teknik Kikawada) dan konkoplasti, perbaikan yang didapatkan tidak jauh berbeda, dengan gejala rinore lebih baik pada neurektomi nervus nasalis foramen sfenopalatina. Kelemahan penelitian Kobayashi6, karena pada kelompok pembanding tetap melakukan konkoplasti disertai dengan neurektomi nasalis posterior foramen sfenopalatina. Faktor

perancu pada penelitian ini adalah konkoplasti. Penelitian ini juga hanya dilakukan dengan jumlah percontoh sedikit dan dan waktu follow up yang tidak tetap (3 hingga 14 bulan).

Halderman dkk3 mengemukakan komplikasi neurektomi vidianus yang paling sering adalah mata kering atau xerostalmia. Menurut studi yang dianalis, mata kering terjadi antara 23,8 hingga 100% pasien pasca operasi neurektomi vidianus ini. Resolusi mata kering ini terjadi rata-rata dalam waktu 1 hingga 5 bulan tanpa terapi lanjutan. Kebas pada pipi, palatum maupun gingiva terjadi berkisar 2,97-22,2%, dengan resolusi dalam 1 minggu hingga 12 bulan, tanpa adanya kebas yang menetap.

Halderman dkk3 melaporkan komplikasi neurektomi nervus nasalis posterior dengan dan tanpa konkoplasti jarang terjadi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perdarahan setelah operasi. Sesuai dengan studi yang dilakukan Albu dkk2, dilaporkan perdarahan pasca operasi sebesar 17,5 % pada konkoplasti dengan neurektomi nervus nasalis posterior.

Albu dkk2 dalam studinya

(16)

Halderman dkk3 juga mendapatkan komplikasi lain dalam studi tentang neurektomi nervus nasalis posterior, seperti kebas pada gingiva dan gigi, walaupun hanya 3 pasien dalam 2 studi yang berbeda. Mata kering sementara dan hiperstesia palatum dilaporkan pada 1 pasien pada studi yang lain.

Pasien dalam kasus ini tidak terdapat perdarahan pasca operasi, kebas pada gingiva dan gigi, mata kering maupun hiperstesia palatum. Pasien juga menderita sumbatan duktus nasolakrimal, sehingga mata kering tidak akan terjadi. Pemilihan neurektomi nevus nasalis posterior mempunyai angka kejadian komplikasi yang lebih rendah dibandingkan neurektomi vidianus. Walaupun komplikasi neurektomi nervus vidianus biasanya reversibel, tetapi kualitas hidup pasien harus diperhatikan selama komplikasi nervus vidianus berlangsung.

Bleier yang dikutip oleh Eren dkk15 meragukan keberhasilan neurektomi nervus nasalis posterior, karena

mendapatkan mukosa hidung

dipersarafi oleh berbagai fasikula neurovaskular kecil. Mereka menyarankan bahwa serat saraf ini disebut saraf aksesori posterolateral untuk membedakan dengan nervus

yang melintasi foramen

sfenopalatina. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa percabangan melalui foramina dan fissura pada lamina perpendikularis os palatine, akan beranastomosis dengan saraf pada foramen sfenopalatina dan saraf aksesoris lainnya.

Eren dkk15 dalam studinya

menyangkal hasil Bleier karena menemukan nervus nasalis posterior

menginervasi mukosa hidung. Eren

dkk15 menganjurkan lokasi

pemotongan saraf nasalis posterior pada bagian postero-inferior arteri sfenopalatina, dan bukan pada foramen sfenopalatina, Teknik ini tidak mampu dilaksanakan dengan endoskop pada pasien karen peneltian yang dilakukan oleh Erren15 berdasarkan diseksi sagital pada kadaver menggunakana mikroskop.

Kesimpulan Erren yang menyatakan nervus nasalis posterior berasal dari foramen sfenopalatina berbeda dengan hasil penelitian Bleir yang mendapatkan bahwa nervus nasalis posteroinferior merupakan nervus aksesorius dan bukan berasal dari foramen sfenopalatina tetapi dari foramina pada lamina perpendikularis os palatine yang berasal dari nervus palatina desendens.

Dengan demikian keberhasilan neurektomi nasalis posterior ditentukan oleh pemotongan semua percabangan distal dari nervus nasalis posterosuperior pada foramen sfenopalatina dan nervus nasalis posteroinferior pada foramina yang terdapat pada lengkung os palatina.

Kesimpulan

(17)

Penelitian dengan percontoh yang besar perlu dilakukan dengan membandingkan neurektomi nervus nasalis posterior dengan konkoplasti saja.. Efektivitas neurektomi nervus vidianus dan neurektomi nervus nasalis posterior juga harus dievaluasi, sehingga didapatkan teknik yang paling baik untuk mengatasi rinitis vasomotor atau rinitis alergi yang tidak respons dengan terapi medikamentosa. Follow up jangka panjang juga diperlukan untuk mengevaluasi terjadinya reinervasi nervus nasalis posterior.

Daftar Pustaka

1. Ikeda K, Oshima T, Suzuki M, Suzuki H, Shimomura A.

Functional inferior turbinosurgery (FITS) for the

treatment of resistant chronic rhinitis. Acta Oto-Laryngologica. 2006; 126: 739-45

2. Albu S, Trombitas V, Nagy A. Endoscopic microdebrider-assisted inferior turbinoplasty with and without posterior nasal neurectomy . Auris Nasus Larynx. 2014; 41: 273–7

3. Halderman A, Sindwani R. Surgical management of vasomotor rhinitis: A systematic review. Am J Rhinol Allergy 2015; 29: 128–34.

4. Konno A. Historical,

Pathophysiological, and Therapeutic Aspects of Vidian

Neurectomy. Curr Allergy Asthma Rep. 2010; 10: 105–12.

5. Kikawada T. Endoscopic

posterior nasal neurectomy: An alternative to vidian neurectomy. Operative Techniques in Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2007; 18(4): 297-301.

6. Kobayashi T, Hyodo M,

Nakamura K, Komobuchi H, Honda N. Resection of peripheral branches of the posterior nasal nerve compared to

conventional posterior neurectomy in severe allergic

rhinitis. Auris Nasus Larynx. 2012;1633:1-4.

7. Hiuizing EH, de Groot JAM. Functional Reconstructive Nasal Surgery: Thieme. 2003. p. 23-26. 8. Mygind N, Dahl R. Anatomy,

physiology and function of the nasal cavities in health and disease. Advanced Drug Delivery Reviews 1998;29:3–12.

9. Moses KD, Banks JC, Nava PB and Petersen DK, Nasal Region. in : Atlas of Clinical Gross Anatomy. 2nd ed. Saunders, Elsevier Inc. Philadelphia. 2013; 8: 86-97.

10.Moses KD, Banks JC, Nava PB and Petersen DK, Nasal Region. in : Atlas of Clinical Gross Anatomy. 2nd ed. Saunders, Elsevier Inc. Philadelphia. 2013; 8: 86-97.

11.Kiyosue H, Tanoue S, Hongo N, Sagara Y, and Mori H. Artery of the Superior Orbital Fissure: An Undescribed Branch from the Pterygopalatina Segment of the Maxillary Artery to the Orbital Apeks Connecting with the Anteromedial Branch of the Inferolateral Trunk. AJNR Am J Neuroradiol. 2016; 36: 1741– 7.

12.Som PM, Lawson W, Fatterpekar GM, Zinreich SJ, Shugar J.

Embryology, Anatomy, Physiology, and Imaging of the

(18)

13.Piagkou M, Demesticha T, Troupis T, Vlasis K, Skandalakis P, Makri A, et al. The Pterygopalatina Ganglion and its Role in Various Pain Syndromes: From Anatomy to Clinical Practice. Pain Pract. 2012; 12 (5): 399-412.

14.Naclerio RM, Bachert C, Baraniuk JN. Pathophysiology of nasal congestion. International Journal of General Medicine 2010; 3: 47-57.

15.Eren E, Zeybek G, Ecevit C,

(19)
(20)
(21)

Gambar

Gambar 1. Anatomi tulang dinding lateral hidung.7
Gambar 2. Gambaran skematis lokasi  foramen sfenopalatina.5
Gambar 4. Skematik Perjalanan Saraf di Fossa Pterigopalarina. 11
Gambar 6. Skematik fisiologis gejala hidung.14
+2

Referensi

Dokumen terkait