• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Harapan dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Harapan dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

American Cancer Society (2010) menyatakan bahwa kanker adalah sekelompok penyakit kompleks yang dicirikan dengan pertumbuhan dan penyebaran sel abnormal yang tidak terkontrol. Naland, Willie, dan Setiawan (2007) mengatakan bahwa kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan tidak terkendali sel tubuh tertentu yang berakibat merusak sel dan jaringan tubuh lain, bahkan sering berakhir dengan kematian. Lubis dan Hasnida (2009) berpendapat bahwa kanker adalah penyakit yang tidak mengenal status sosial dan dapat menyerang siapa saja dan muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dalam perkembangannya.

2.1.2 Faktor risiko kanker menurut Lemone et al. (2015) : 2.1.2.1 Hereditas

Diperkirakan 5% dari seluruh kanker memiliki komponen hereditas yang kuat (American Cancer Society, 2010). Human Genome Project mengidentifikasi 50.000 mutasi genetik yang berkaitan dengan

(2)

selanjutnya diperlukan untuk mengidentifikasi kanker yang terjadi akibat keturunan dari gen yang tidak sempurna, predisposisi keluarga terhadap keganasan harus dipertimbangkan menjadi faktor risiko sehingga individu yang beresiko dapat mengurangi perilaku yang meningkatkan kanker.

2.1.2.2 Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor resiko untuk jenis kanker tertentu. Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering dialami oleh wanita, kanker prostat pada pria. Insidens kanker kandung kemih sekitar empat kali lebih tinggi pada pria dibanding wanita. Kanker tiroid terjadi lebih sering pada wanita, sedangkan kanker kandung kemih terlihat lebih sering terjadi pada pria (American Cancer Society, 2010).

2.1.2.3 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan resiko kanker yang lebih tinggi dibandingkan populasi pada umumnya. Kurangnya asuransi kesehatan dan akses yang tidak adekuat terhadap layanan kesehatan, terutama skrining preventif dan konseling dapat menjadi faktor utama (American Cancer Society, 2010).

2.1.2.4 Stres

(3)

gangguan keseimbangan sel dalam tubuh sehingga dapat berubah sifat menjadi ganas dan menyebabkan kanker (Junaidi, 2007).

2.1.2.5 Makanan

Hindari makanan yang mungkin mengandung zat karsinogen (zat penyebab kanker) seperti daging gosong, daging asap, makanan yang sudah berjamur, makanan dengan zat berbahaya, makanan yang diawetkan dengan formalin di luar batas keamanan, dll (Naland, Willie, & Setiawan ,2007).

2.1.2.6 Pekerjaan

Resiko pekerjaan dapat dipertimbangkan menjadi dapat dikontrol atau tidak dapat dikontrol. Resiko spesifik bermacam-macam sesuai dengan pekerjaan. Misalnya, pekerja diluar lapangan seperti petani dan pekerja bangunan terpajan pada radiasi matahari, staf layanan kesehatan seperti tehnisi rontgen dan peneliti biomedis terpajan dengan radiasi terionisasi dan zat karsinogenik (Lemone et al., 2015).

2.1.2.7 Infeksi

(4)

2.1.2.8 Penggunaan tembakau

Penyakit yang berhubungan dengan rokok tetap menjadi penyebab kematian yang paling dapat dicegah didunia (American Cancer Society, 2010). Kanker paru diyakini paling dapat dihindari karena berhubungan dengan rokok. Banyak zat lain ditembakau adalah pendukung yang tinggi sehingga semakin besar dosis dan semakin lama penggunaan zat, semakin tinggi resiko menimbulkan kanker (Lemone et al., 2015). Penelitian menunjukkan resiko kematian kanker paru bawah yang signifikan bagi perokok sebelumnya jika dibandingkan dengan perokok saat ini.

2.1.2.9 Penggunaan alkohol

Konsumsi alkohol sebaiknya dihindari, karena berkaitan dengan meningkatnya kejadian kanker rongga mulut, kerongkongan, payudara, dll (Naland, Willie, & Setiawan, 2007).

2.1.2.10Penggunaan obat rekreasional

(5)

kemungkinan dalam beberapa waktu juga mengakibatkan kanker (Lemone et al., 2015).

2.1.2.11Obesitas

Kelebihan berat badan dan obesitas berkontribusi terhadap 14% hingga 20% dari seluruh kematian yang berhubungan dengan kanker di Amerika Serikat (American Cancer Society, 2010). Lemak tubuh yang berlebihan berhubungan dengan peningkatan risiko kanker yang bergantung dengan hormon (Lemone et al., 2015). Individu yang gemuk sering kali memiliki jumlah hormon yang berlebih dan mendukung keganasan tergantung hormon pada payudara, usus, ovarium, endometrium, dan prostat.

2.1.3 Gejala kanker dan jenisnya menurut (Naland et al., 2007) :

a. Kanker usus besar dan saluran kemih memiliki gejala seperti perubahan pola buang air besar (misal, diare atau sembelit menetap) atau pola buang air kecil terasa nyeri dan sering terutama bila disertai darah.

(6)

c. Kanker leher rahim dan kanker rahim memiliki gejala seperti keputihan atau perdarahan di luar haid, haid nyeri, atau haid berlebihan dari biasanya.

d. Kanker payudara memiliki gejala seperti benjolan di payudara, apalagi disertai perdarahan dan luka di puting susu, penebalan atau luka di kulit di atas benjolan.

e. Kanker getah bening memiliki gejala seperti benjolan abnormal di bagian tubuh lain, misal di leher, ketiak, selangkangan, dll. f. Kanker kerongkongan, kanker lambung dan kanker saluran

pencernaanmemiliki gejala seperti kesulitan atau rasa terganjal waktu menelan, gangguan lambung membandel, berat badan menurun atau bertambah dratis lebih dari 6 bulan tanpa sebab nyata.

g. Kanker tiroid dan kanker paru-paru memiliki gejala seperti sesak nafas, batuk, dada sesak diserati nyeri, terutama bila dahak mengandung darah.

h. Kanker pita suara memiliki gejala seperti suara berubah menjadi parau atau hilang lebih dari 2 bulan.

(7)

2.2 Nyeri

2.2.1 Pengertian nyeri

Menurut The Intermational Association for The Study of Pain (1979 dalam Prasetyo, 2010) nyeri merupakan pengalaman sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Rasa nyeri merupakan fenomena subjektif yang kompleks dan melibatkan faktor biologis, psikologis serta sosiokultural. Sedangkan menurut Robinson dan Lyndon (2016), rasa nyeri adalah apapun yang dikatakan pasien tentangnya dan terjadi ketika pasien mengatakan rasa itu benar terjadi.

2.2.2 Klasifikasi Nyeri menurut Harianto dan Rini (2015) antara lain : 2.2.2.1 Nyeri akut

Nyeri yang terjadi setelah terjadi cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah. Nyeri akut berdurasi singkat kurang dari enam bulan memiliki onset tiba-tiba dan terlokalisasi.

2.2.2.2 Nyeri kronik

(8)

2.2.2.3 Nyeri kutaneus atau superficial (Cutaneus pain)

Ada dua macam bentuk nyeri superficial. Bentuk pertama adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajam. Bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai rasa terbakar. Nyeri superficial dapat dirasakan pada seluruh permukaan kulit klien.

2.2.2.4 Nyeri somatis (deep somatic pain)

Nyeri somatis merupakan fenomena nyeri yang kompleks. Struktur somatik merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau tulang. Nyeri biasanya bersifat difus atau menyebar.

2.2.2.5 Nyeri visceral

Nyeri visceral biasanya mengacu pada bagian visceral abdomen. Penyebab nyeri adalah semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut dapat berupa iskemia jaringan visceral, spasme suatu visceral berongga, rangsang kimiawi, dan distensi berlebihan suatu organ visceral.

2.2.2.6 Reffered pain

(9)

medulla spinalis dengan beberapa neuron urutan kedua yang sama yang menerima serabut nyeri dari kulit.

2.2.2.7 Nyeri psikogenik

Nyeri psikogenik disebut juga psichalgia atau nyeri somatororm adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik. Nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental, emosional, atau faktor perilaku.

2.2.3 Teori tentang nyeri

Tiga buah teori berupaya untuk menjelaskan mekanisme nyeri (Robinson & Lyndon, 2016) :

2.2.3.1 Spesifitas

Teori spesifitas mempertahankan pernyataan bahwa serabut saraf perifer dengan spesialisnya masing-masing bertanggung jawab atas tranmisi rasa nyeri. Teori yang berorientasi biologis ini tidak memberikan penjelasan tentang toleransi nyeri atau tentang faktor sosial, budaya atau pun empiris yang mempengaruhi rasa nyeri.

2.2.3.2 Pola nyeri

(10)

dan tipe asupan-sinyal, namun teori ini tidak memberikan penjelasan tentang pengaruh nonbiologis pada persepsi serta tranmisi rasa nyeri. 2.2.3.3 Gate control menurut Melzack dan Wall (1965 dalam Prasetyo, 2010)

Teori gate control (kendali gerbang) mengatakan bahwa jenis tertentu mekanisme gerbang dalam medulla spinalis memungkinkan serabut saraf menerima sensasi nyeri. Teori ini telah mendorong pendekatan yang lebih holistik dalam nonbiologis rasa nyeri. Teknik mengelola rasa nyeri sepert stimulasi kutaneus, pengalihan perhatian dan akupuntur berlandaskan sebagian pada teori ini.

2.2.4 Fisiologi nyeri

Luckman dan Sorensen’s (1987) menjelaskan bahwa mekanisme nyeri

melibatkan 4 proses yaitu: 2.2.4.1 Tranduksi

Tranduksi terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh distimulasi oleh stimulus biologis, mekanis, listrik, thermal, radiasi, dan lainnya, serta serabut nyeri cepat (fast pain) dan

serabut nyeri lambat (Hariyanto dan Rini, 2015). 2.2.4.2 Transmisi

(11)

dan III). Kemudian, menuju traktus spinothalamus anterior dan lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus spinotalamus lateral

diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formation retikularis membawa impuls fast pain. Pada bagian thalamus korteks serebri inilah individu dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan, dan mulai merespons nyeri (Prasetyo, 2010). 2.2.4.3 Modulasi

Sirkuit neural yang diyakini terjadi di korteks serebral berhubungan dengan hipotalamus, otak tengah, dan medulla. Sirkuit ini berinteraksi dengan terminal akson sensori perifer dalam kornu dorsalis di medulla spinalis untuk mengontrol neuron secara selektif

yang mentransmisikan sinyal nyeri. Akibatnya, nyeri yang berespons dapat dimodifikasi, yaitu diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Neuron dalam sirkuit ini menghasilkan opiod endogen, biasanya terjadi di neuropeptida yang mirip morfin (Lemone et al., 2015).

2.2.4.4 Persepsi

(12)

menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang multidimensional (Luckman & Sorensen’s, 1987).

2.2.5 Mutidimensional nyeri

Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Ahles dan koleganya (1983 dalam Ardinata. 2007) mengkategorikan lima dimensi nyeri meliputi dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan behavior (perilaku). McGuire (1987 dalam Harahap, 2007), menambahkan dimensi sosio-kultural sabagai dimensi tambahan dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis yang dijelaskan sebagai berikut:

2.2.5.1 Dimensi fisiologi

Berdasarkan dimensi fisiologis terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Ada dua jenis nyeri fundamental yang diklasifikasikan berdasarkan durasinya yaitu nyeri akut dan kronis (Robinson & Lyndon, 2016). Sedangkan pola nyeri meliputi awitan, durasi, dan nyeri berulang atau interval tanpa nyeri (Berman et al., 2009).

(13)

2.2.5.2 Dimensi afektif

Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirakannya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetya, 2010).

2.2.5.3 Dimensi sosio-kultural

(14)

2.2.5.4 Dimensi sensori

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Dimensi sensori pada nyeri meliputi lokasi, kualitas, dan intensitas nyeri (Harahap, 2007).

Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori.Lokasi nyeri dapat diketahui dari pasien itu sendiri. Kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaiman nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal.

Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan seringkali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang, dan berat (Harahap, 2007).

2.2.5.5 Dimensi kognitif

(15)

lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh.

Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan terhadap penanganan nyeri dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri tersebut dan dapat mengatasinya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berfikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Ardinata, 2007).

2.2.5.6 Dimensi perilaku (behavior)

Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri (Fordyce, 1976 dalam Ardinata, 2007)

(16)

2.2.6 Nyeri pada kanker

Keterlibatan kanker secara langsung merupakan penyebab utama nyeri yang dialami oleh individu yang menderita kanker .Keterlibatan kanker meliputi penyakit tulang metastatik, kompresi saraf, dan keterlibatan organ visceral. Nyeri akibat keterlibatan kanker diyakini bersifat mekanik, terjadi karena adanya peregangan jaringan dan kompresi.Zat kimia yang berasal dari iskemia atau metabolit kanker dan toksin yang mengaktivasi dan membuat peka nosiseptor dan mekanoreseptor bertanggung jawab terhadap nyeri kanker. Efek samping atau efek toksik terapi kanker (mis., pembedahan, radiasi, dan kemoterapi) juga dapat menyebakan nyeri kanker. Kedua efek ini biasanya mengakibatkan jaringan yang mengalami trauma.

2.2.7 Dampak nyeri kronis terhadap individu

Nyeri kronis dapat mengakibatkan klien frustasi dan sulit bagi individu untuk menghadapinya. Pasien dengan nyeri kronis mungkin terlihat sangat takut, cemas, lelah dan depresi. Banyak individu yang mengalami nyeri kronis menjadi putus asa dan mengasingkan diri mereka. Nyeri melelahkan individu baik secara fisik dan mental (Luckman & Sorensen, 1993).

2.2.8 Pengertian intensitas nyeri

(17)

2.2.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri menurut Hariyanto & Rini (2015) :

2.2.9.1 Usia

Usia merupakan variabel penting yang memengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat memengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).

2.2.9.2 Jenis kelamin

Secara umum laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara bermakna dalam merespons nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap bahwa laki-laki lebih berani dan tidak menangis ketika merasakan nyeri dibandingkan perempuan seperti pada bangsa Somalia (Arthurs, 2010).

2.2.9.3 Kebudayaan

Keyakinan dan nilai budaya memengaruhi cara seseorang mengatasi nyeri. Selain itu, budaya dan etnisitas juga memengaruhi bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).

2.2.9.4 Makna nyeri

(18)

dengan latar belakang budaya orang tersebut. Setiap individu akanmempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda (Potter & Perry, 2005).

2.2.9.5 Perhatian

Tingkat seseorang dalam memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan respons nyeri yang menurun (Prasetyo, 2010).

2.2.9.6 Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas (Prasetyo, 2010).

2.2.9.7 Keletihan

Keletihan yang dirasakan individu akan meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Prasetyo, 2010). 2.2.9.8 Pengalaman terdahulu

(19)

nyeri makna persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).

2.2.9.9 Gaya koping

Sumber-sumber koping seperti komunikasi dengan keluarga atau melakukan latihan dapat mengurangi tingkat nyeri. Dalam proses nyeri, seseorang seringkali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan psikologis nyeri. Namun, nyeri lebih lanjut juga dapat menyebabkan ketidakmampuan koping, baik sebagian maupun keseluruhan (Hariyanto & Rini, 2015). 2.2.9.10 Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respons nyeri adalah kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap seseorang yang mengalami nyeri (Hariyanto & Rini, 2015).

2.2.10Pengukuran intensitas nyeri

2.2.10.1 Skala Numerik Nyeri (Numeric Rating Scale)

(20)

untuk mengkaji nyeri pada berbagai tipe nyeri seperti nyeri akut, nyeri pada kanker, dll.

Gambar 1.Skala Numerik Nyeri

2.2.10.2 Brief Pain Inventory

(21)

2.3 Harapan

2.3.1 Pengertian harapan

Menurut teori harapan dalam Lindley dan Stephen (2004), harapan merupakan persepsi individu terkait kapasitas mereka untuk mengkonseptualisasikan tujuan-tujuan yang jelas, mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan (pathway thinking), mempertahankan motivasi untuk menggunakan strategi tersebut (agency thinking). Lopez dan Snyder (2004) berpendapat bahwa harapan merupakan pikiran atau keyakinan individu untuk mempertahankan dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Lopez (2009) mengatakan bahwa ada banyak defenisi yang berbeda mengenai harapan itu sendiri, yang secara umum bisa dianggap sebagai keadaan mental yang positif tentang kemampuan untuk memperoleh tujuan-tujuan.

2.3.2 Konseptualisasi harapan

Konseptualisasi tentang harapan menurut Snyder dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori berbasis emosi dan berbasis kognitif.

2.3.2.1 Hope: Berbasis emosi

(22)

mengarah pada keputusasaan (Lopez & Snyder, 2004). Emosi dikendalikan oleh kognitif.

2.3.2.2 Hope : Berbasis kognitif

Hope merupakan sebuah kognisi lebih banyak memperoleh

perhatian dalam penelitian dibandingkan dengan hope sebagai emosi. Hope merupakan sebuah pikiran atau keyakinan yang membolehkan

individu untuk terus bergerak kearah tujuan-tujuan. Breznitzs juga menempatkan harapan secara kognitif-hope relates to a description of cognitive state. Ia menyatakan agar sebuah harapan mempengaruhi

individu maka harapan tersebut harus cukup kuat dan persisten untuk menyebabkan respon fisiologis.

2.3.3 Komponen-komponen harapan

Snyder (dalam Lopez, 2009) menjelaskan harapan sebagai motivasi yang didasarkan pada tujuan, jalur, dan pengalaman yang diarahkan pada tujuan berfikir.

2.3.3.1 Goal (Tujuan)

(23)

diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi).

2.3.3.2 Waypower (upaya)

Menurut Snyder et al. (dalam Lopez, et al., 2003 ) untuk dapat mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakanwaypower atau sekarang yang disebutpathway thinking, yang menandakan kemampuan individu untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal yang meyakinkan diri sendiri seperti dirinya akan menemukan cara untuk menyelesaikan suatu masalah.

2.3.3.3 Agency thinking/ willpower (kemauan)

Willpower merupakan energi mental yang menggerakkan

(24)

2.3.3.4 Kombinasi willpower dan waypower

Pathways dan agency saling terkait secara positif, bersifat aditif, dan timbal-balik, namun tidak ada dari komponen tersebut yang dapat mengartikan harapan. Arti dari agency (agen) dan pathway (jalur) tidaklah sama, karena beberapa orang menunjukkan kemampuan untuk mencari pathways (jalur-jalur) untuk mencapai tujuan tapi tidak mempertahankan energi mental, maupun sebaliknya (Lopez, 2009).

2.3.4 Karakteristik orang dengan harapan tinggi menurut (Snyder, 1994): 2.3.4.1Optimisme

Biasanya berkaitan lebih kuat dengan komponen willpower dari pada dengan komponen waypower. Orang yang optimis cenderung merasakan energi mental terhadap tujuan mereka, tetapi belum tentu memiliki pemikiran yang waypower.

2.3.4.2 Perception of control

Orang-orang dengan harapan yang tinggi dihubungkan dengan sumber kontrol, yaitu mereka mengontrol takdir mereka sendiri.

2.3.4.3 Kemampuan dalam menyelesaikan masalah

(25)

tugas dan mencoba cara-cara alternatif untuk mendapatkan apa yang diharapkan.

2.3.4.4 Kompetitif

Kompetitif mencakup pengujian diri sendiri yang dibandingkan dengan orang lain. Orang-orang yang memilikiharapan tinggi bertujuan untuk selalu menang dalam setiap kompetisi, hanya saja mereka menikmati proses menguji kemampuan mereka dan kompetisi memberikan tantangan yang menyenangkan.

2.3.4.5 Self-Esteem

Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi berfikir positif mengenai diri mereka karena mereka tahu mereka telah mencapai suatu tujuan di masa lalu dan mereka juga dapat melakukan hal yang sama di masa depan.

2.3.4.6 Positive and negative affrctivity

Karakteristiklain yang dimiliki harapan adalah positive affectivity yang merupakan keadaan mental dikarakteristikan dengan

konsentrasi penuh, engagement, dan energi yang tinggi. 2.3.4.7 Kecemasan dan depresi

(26)

ide-ide untuk mencapai tujuan yang mengakibatkan mereka seharusnya tidak depresi.

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan menurut Weil (2000) : 2.3.5.1 Dukungan sosial

Harapan memiliki hubungan yang erat dengan dukungan sosial. Keluarga dan teman diidentifikasi sebagai sumber harapan bagi penderita penyakit kronis . Mengidentifikasi pertahanan hubungan peran keluarga sesuatu yang penting bagi tingkat harapan dan coping (Herth dalam Weil, 2000). Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial membuat hasil kesehatan lebih buruk dan peningkatan kematian awal. Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain.

2.3.5.2 Kepercayaan religius

Kepercayaan religius merupakan sebagai keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa terdapat tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi saat ini. Kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum dalam mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber kekuatan bagi pasien penyakit kronis (Raleigh, 1992 dalam Weil, 2000).

2.3.5.3 Kontrol

(27)

antisipasi terhadap stress. Penelitian menunjukkan bahwa harapan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi individu mengenai kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya.

2.3.6 Harapan dalam mengatasi permasalahan

Menurut Snyder (1994), orang-orang dengan harapan tinggi dapat mengatasi permasalahan dengan efektif dikarenakan, antara lain :

2.3.6.1 Meminimalkan hal yang negatif

Orang-orang dengan harapan yang tinggi tidak mempersepsikan kejadian dalam kehidupan sebagai hal yang mengganggu. Pemikiran orang-orang dengan harapan yang tinggi membuat mereka mampu bertahan dan yakin bahwa kejadian tersebut akan berlalu.

2.3.6.2 Melihat keluar dan menyelesaikan masalah

(28)

2.3.6.3 Call on friends.

Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi menggunakan humor dalam menghadapi permasalahan. Mereka mampu tertawa pada hal-hal yang terjadi disekitar mereka dan hal penting, mereka mampu menertawakan diri mereka sendiri.

2.3.6.4 Berdoa

Diantara orang-orang yang religius, tingkat harapan yang lebih tinggi dikaitkan dengan berdoa. Berdoa berarti meningkatkan energi mental seseorang.

2.3.6.5 Latihan

Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi cenderung lebih banyak melakukan latihan dari pada orang-orang dengan tingkat harapan yang rendah.

2.3.6.6 Menjaga kesehatan

Orang yang penuh harapan lebih peduli pada perilaku terkait permasalahan kesehatan, tetapi juga lebih mau untuk memeriksakan diri dan berkonsultasi dengan professional.

2.3.6.7 Aging grafecully

(29)

2.3.6.8 The hope and coping connections

Orang-orang dengan harapan tinggi menghadapi berbagai macam situasi, mereka mampu menyelesaikan masalah dan dapat tertawa sebagai salah satu cara untuk koping.

2.3.7 Hubungan harapan dengan intensitas nyeri

(30)

berespon dalam otak dapat dimodifikasi, sehingga persepsi terhadap nyeri dapat diubah, ditingkatkan, atau dikurangi. Persepsi nyeri dapat dimodifikasi oleh beberapa faktor. Salah satu nya yaitu harapan. Dalam proses kognitif, apabila seseorang berfikir positif menyebabkan hasil nyeri rendah dan sebaliknya apabila seseorang berfikir negatif menyebabkan hasil nyeri tinggi

Gambar

Gambar 1.Skala Numerik Nyeri

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam penelitian ini, di bahas tentang tata cara pelaksanaan kesenian bordah dan fungsi yang terdapat pada adat perkawinan Melayu di Desa Teluk Binjai, Kecamatan Kualuh

Pembuatan Aplikasi Rekapitulasi Absensi ini dimulai dari gambaran umum SMK Kharismawita, kemudian perancangan database yang membahas ERD, guna mengetahui entitas dan atribut apa

[r]

Selain itu dengan adanya cache server squid ini para praktikan yang ada tidak bisa sembarangan mengakses halam-halaman situs yang negatif, karena dengan program squid yang telah

(1) Rumah negara dan perlengkapannya serta kendaraan dinas jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dan huruf b disediakan bagi Pimpinan DPRD

Dalam penulisan ini penulis memakai salah satu contoh bahasa pemograman visual, yaitu Microsoft Visual Basic 6.0 yang sangat mendukung dalam

[r]

PHP merupakan salah satu bahasa pemrograman web yang memilki banyak fasilitas yang memungkinkan untuk mengakses database yang merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki oleh web site