Partai Islam dan Tragedi Survei Politik Oleh: Harun Husein
Untuk memercayai air laut itu asin, tak perlu meminum seluruh lautan, tapi cukup mencicipinya. Dalam beberapa kali pemilu, mantra sakti lembaga-lembaga polling itu tersaji dengan dahsyat. Betapa tidak, hanya dengan mengambil sampel
beberapa ribu orang, lembaga-lembaga tersebut sudah bisa memprediksi hasil pemilu yang diikuti oleh lebih dari 100 juta orang, dan akurat.
Pada Pemilu 2014 ini, hampir semua pollster meramalkan PDI Perjuangan menjadi pemenang, disusul Partai Golkar, Partai Gerindra, dan partai-partai lainnya. Sesuai pengalaman yang sudah-sudah, prediksi tersebut biasanya sesuai kenyataan saat KPU mengumumkan hasil penghitungan manual. Akan ada sedikit naik-turun dibanding hasil pemilu aktual, tapi masih dalam kerangkeng margin of error. Bahwa quick count lembaga-lembaga survei di Indonesia akurat, itu sudah bukan cerita baru. Bahkan, sejak dulu sudah ada yang berani mematok ambang kesalahan (margin of error) 0,5 persen. Luar biasa! Semakin kecil angka margin of error-nya, semakin bergengsi lembaga itu. Karena, menandakan lembaga itu sudah bermain dengan presisi tinggi.
Tapi, ada satu persoalan yang benar-benar perlu diperhatikan. Angka yang muncul di quick count Pemilu 2014 ini, memperlihatkan perbedaan cukup signifikan
dibanding angka yang muncul di survei-survei pra pemilu. Terutama, angka yang diberikan kepada partai-partai Islam dan berbasis massa Islam. Bertahun-tahun disurvei, partai-partai Islam dan berbasis massa Islam selalu babak belur, bahkan tak sedikit yang diramalkan bakal tersangkut parliamentary threshold, alias tak bakal masuk Senayan. Eh, dalam quick count malah bisa mendongakkan kepala. Mari tengok hasil survei sebuah lembaga terkemuka dengan hasil quick count-nya. Pada survei 22-26 Maret lalu, lembaga tersebut memprediksi PBB hanya akan meraih suara 0,9 persen; PAN tiga persen; PPP 3,4 persen; PKS 5,2 persen; PKB 5,9 persen. Nyatanya, hanya sekitar sepekan setelah itu, dalam quick count lembaga itu mengabarkan bahwa PBB meraih 1,39 persen; PAN 7,47 persen; PPP 6,97 persen; PKS 6,59 persen; dan PKB 9,03 persen.
Lihatlah, betapa jungkir baliknya angka itu. Karena, hampir semua partai Islam dan partai berbasis massa Islam, meraih suara dua kali lipat dibanding hasil survei. Bukan hanya sekadar lolos parliamentary threshold, tapi melompat dua kali lebih tinggi di atas pagar itu.
Lembaga survei tersebut, dan juga lembaga-lembaga lain --karena hasil serupa juga terlihat pada survei-survei lainnya-- harus menjelaskan kepada publik, mengapa hasilnya bisa seperti itu. Apa yang terjadi dalam dua pekan sehingga orang tiba-tiba berbondong-bondong memilih partai Islam dan partai berbasis massa Islam saat pemilu?
Ironisnya, pada saat yang sama, lembaga –lembaga survei juga sedang
menggembar-gemborkan Jokowi effect. Dengan nalar normal, seharusnya pemilih PDIP lah yang naik signifikan. Nyatanya, suara PDIP justru turun lebih dari dua poin, dari 21,9 persen dalam survei, menjadi 19,6 persen dalam quick count. Hal yang sama terjadi dengan Partai Golkar, yang bahkan turun lebih drastis lagi. Penurunan suara PDIP dan Golkar di quick count dibanding survei, juga terjadi di lembaga-lembaga survei lain.
Mereka bisa saja berdalih dalam survei jumlah undecided voters masih besar. Tapi, apakah benar para pemilih yang belum memutuskan itu seluruhnya tumpah ke partai-partai Islam dan berbasis massa Islam? Come on!
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah survei-survei ini benar-benar jujur dan independen, merekam realitas, atau telah jatuh terjerembab menjadi alat propaganda pihak tertentu? Sebab, hasil survei memang mempunyai fungsi menggiring, yang terkenal dengan istilah bandwagon effect. Efek ini
mengeksploitasi kelatahan publik, untuk memilih pemenang survei di TPS nanti. Tapi, untuk itu, mengapa partai Islam dan berbasis massa Islam yang dizalimi? ***
Tak semua orang benar-benar memahami apa perbedaan antara quick count
dengan survei politik. Apalagi, lembaga penyelenggaranya seringkali sama. Karena itu, ada baiknya kita jelaskan sedikit.
Dalam quick count, sampelnya adalah fakta, biasanya berupa hasil penghitungan suara di TPS. Meski sampelnya adalah fakta, metodologinya adalah survei, karena hanya mengambil beberapa TPS sebagai sampel. Inilah yang membedakannya dengan hitung cepat ala parallel vote tabulation yang menggunakan metodologi sensus --yang mengambil seluruh TPS sebagai sampel-- seperti “operation quick count” yang digelar Namfrel di Filipina medio 1980-an, yang menelanjangi
kecurangan pemilu dan turut andil menumbangkan Marcos.
Sedangkan, dalam survei politik pra pemilu, sampelnya bukan fakta, tapi opini atau persepsi. Sehingga, saat dipublikasikan, biasanya lembaga survei menyampaikan woro-woro “kalau pemilu digelar hari ini, maka hasilnya adalah begini”. Tentu saja, wajar belaka jika angka itu akan terus berubah seiring waktu dan peristiwa.
quick count. Sebab, hasil quick count itu kelak akan dikonfirmasi oleh hasil penghitungan manual. Jika sebuah lembaga nekad merekayasa quick count, itu hanya akan menjadi langkah bunuh diri. Sebab dia bukan hanya akan berhadapan dengan hasil penghitungan manual, tapi juga hasil quick count lembaga lainnya. Apalagi, ada 39 lembaga quick count yang memantau Pemilu 2014.
Tapi, untuk survei pra pemilu, ruang gerak untuk bermain sangat lebar. Kita tidak pernah tahu apakah hasil survei yang diumumkan itu dalam kapasitas lembaga independen, atau sebagai konsultan politik partai tertentu alias pollster bayaran. Apalagi, amat jarang lembaga polling mengumumkan sumber dana surveinya. Karena itulah, banyak bias di wilayah ini.
Bias survei itu, bukan hanya terjadi pada pemilu kali ini saja. Sejak berpemilu-pemilu sebelumnya, sudah tercium. Tapi, yang paling tragis adalah pada momentum pemilukada DKI Jakarta.
Di DKI Jakarta, semua lembaga survei mengabarkan Foke-Nara akan menang melawan Jokowi-Ahok. Saat itu, hampir semua lembaga survei memberi angka di atas 40 persen kepada Foke-Nara, bahkan ada yang sampai 49 persen. Sedangkan, Jokowi-Ahok rata-rata diberi elektabilitas kurang dari 20 persen. Tak heran bila ada lembaga survei yang menyatakan Foke-Nara akan menang satu putaran. Tapi, kenyataan berbanding terbalik. Justru Jokowi-Ahok lah yang menang dengan angka 40-an persen (angka yang sebelumnya disematkan kepada Foke-Nara).
Lembaga-lembaga survei di Indonesia yang telah eksis dalam empat pemilu terakhir, mestinya semakin mapan dan terpercaya. Tapi, sampai sejauh ini,
lembaga-lembaga survei telah membuat sejumlah kesalahan yang menyolok mata. Bukan kesalahan biasa, tapi kesalahan yang ganjil dan mencuatkan kecurigaan. Tanpa membenahi diri dan etikanya, barangkali ke depan kita akan terus