• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resensi buku KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Resensi buku KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PE"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PERADILAN AGAMA

DALAM SISTEM TATA HUKUM DI INDONESIA

BIBLIOGRAFI

Diajukan guna memenuhi tugas

dalam mata kuliah Peradilan dan Hukum Acara Islam

Disusun Oleh :

Fariq Al Faruqie

12350011 / AS- a

(085776422025)

Dosen :

Drs. Malik Ibrahim, M.Ag.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

(2)

A. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem

Tata Hukum di Indonesia

Penulis : Taufiq Hamami

Cetakan : Pertama

Penerbit : Alumni

Tahun Penerbitan : 2003

Jumlah halaman : 328

B. Sistematika

Buku karangan Taufiq Hamami ini didahului dengan kata sambutan dari Wahyu Widiana selaku Direktur Pembinaan Peradilan Agama pada watu itu dan kata pengantar dari Taufiq Hamami. Setelah itu Mukadimah yang berisi tentang pentingnya penegakkan hukum dan keadilan, institusi pelaksanaan tugas penegakkan hukum dan keadilan.

Pada Bab II membahas tentang ikhtisar sejarah Peradilan Agama di Indonesia dari awal masa kerajaan Islam, dilanjutkan masa pemerintah Belanda, masa sesudah keerdekaan, pemerintahan Orde Lama, masa Orde Baru, dan diakhiri masa pemerintahan reformasi pembangunan.

Bab III membahas tentang pengertian dan perangkat dasar Peradilan Agama. Kemudian Bab IV membahas tentang kedudukan badan Peradilan Agama dalam Negara Hukum Republik Indonesia.

Bab V menguraikan tentang susunan dan struktur Pengadilan dalam lingungan Peradilan Agama. Pada Bab VI menguraikan tentang pembinaan dan pengawasan badan Peradilan Agama. Pembinaan dan pengawasan ini dibagi menjadi dua bidang, yaitu bidang teknis Yustisial dan bidang Administrasi Umum.

(3)

bernegara di Indonesia beserta asas-asas Peradilan Agama. Kemudian pada Bab VIII menguraikan tentang kekuasaan dan wewenang pengadilan yang terbagi menjadi dua yaitu absolut dan relative.

Bab IX membahas tentang hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Bab X mengurikan praktik beracara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Bab XI membahas perihal putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam bab ini mencakup pengertian putusan, asas-asas putusan, dan macam-macam sifat da nisi putusan.

Bab XII menjelaskan tentang upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pada Bab XIII membahas tentang pelaksanaan putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

Selanutnya Bab XIV yang membahas perihal akta di bawah tangan mengenai keahliwarisan dan akta pembagian warisan di luar sengketa. Dan yang terakhir Bab XV yang merupakan penutup.

C. Pendahuluan

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tugas penegakan hukum dan keadilan merupakan suatu hal yang amat penting. Perihal ini ditegaskan oleh Allah, Tegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat dengan adil1.

Selain itu, Allah menegaskan juga, Jadilah penegak hukum dan kebenaran yang sejati, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu, bapak, dan kerabatmu2.

Penegasan tersebut disampaikan Allah mengingat bahwa dalam setiap kehidupan dan pergaulan masyarakat dalam bernegara, termasuk di Negara Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana kehidupan yang aman, tenteram dan tertib seperti yang diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).3

1 Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 . 2 Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 135.

(4)

Dengan hukum akan tergambar bagaimana hubungan-hubungan yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat yang lain. Hukum juga menentukan bagaimana hubungan-hubungan itu dilakukan dan bagaimana pula apabila dilanggarnya.4

D. Deskripsi Buku

1. Bab I

Dalam suatu penyelenggaraan negara dan pengelolaannya seperti Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam susunan kehidupannya menjadikan hukum sebagai landasan pijaknya. Berdasarkan Undang-undang Dasar tersebut, Negara Indonesia, dalam penyelenggaraannya dilakukan oleh beberapa kekuasaan negara, antara lain:

- Kekuasaan Pemerintah (Eksekutif),

- Kekuasaan Perundang-undangan (Legislatif), - Kekuasaan Pengawasan Keuangan Negara (BPK), - Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif),

- Kekuasaan Pertimbangan (DPA), dan - Kekuasaan-kekuasaan lainnya.5

Kekuasaan negara yang melaksanakan tugas penegakkan hukum dan keadilan demi terciptanya suatu ketertiban dan kedamaian di Negara Republik Indonesia, dilakukan oleh Kekuasaan Kehakiman. Sebagai suatu kekuasaan negara, salah satu institusi pelaaksananya adalah Peradilan Agama dengan kewenangan unuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan bidang perkara-perkara perdata tertentu yang diajukan kepadanya dar golongan rakyat yang beragama Islam. Kehadiran Undang-undang No. 7 Tahun 1989 telah menciptakan dan membawa perubahan besar bagi performent (penampilan) Peradilan Agama, baik secara internal maupun eksternal.6

Selain itu, kehadiran Undang-undang tentang Peradilan Agama tersebut merupakan peneguhan dan penegasan eksistensi, penyempurnaan

4 Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 10.

5 Undang-undang Dasar 1945

(5)

dan pemantapan organisasi, serta penyempurnaan dan univikasi kekuasaan dan acara dari Peradilan Agama. Pembaruan ini membawa Peradilan Agama pada kedudukan yang semestinya, dan pada kedudukannya ini ia mampu menyelenggarakan tugas dengan baik dan mandiri, yang sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Hindu. Dan pada waktu itu, dalam kehidupan masyarakatnya telah dikenal adanya dua macam peradilan8, yakni:

a. Peradilan Pradata, yakni suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan menangani perkara-perkara yang menjadi urusan Raja.

b. Peradilan Padu, yakni suatu peradilan yang tugas dan kewenangannya mengurusi dan menangani perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.

Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak Islam itu sendiri ada di bumi Indonesia pada abad ke tujuh atau kedelapan masehi9,sesuai

dengan tingkat (tahapan) dan bentuknya sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam.

Ketika kolonial Belanda mulai memasuki Indonesia mealui VOC, yakni sebuah wadah dagang yang telah mengarahkan sasarannya untuk menjajah Nusantara, tidak dapat menyepelekan eksistensi Hukum Islam yang telah berurat-akar dilaksanakan oleh masyarakat Islam Indonesia. Meskipun VOC semakin kokoh mencengkeram dan bahkan selanjutnya menjajah Nusantara ini, tidak mampu menekan dan membendung pelaksanaan Hukum Islam yang menjadi keyakinan hidup. Upaya

7 Tolhah Hasan, Beberapa catatan Sekitar 10 Tahun Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta: Panitia seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang Peradilan Agama, 1999), hlm. 16.

8 Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977) hlm. 16.

(6)

penghapusan Hukum Islam sama sekali yang dilakukan secara terus menerus hanya mampu pada bidang hukum pidana.10

Pasca kemerdekaan, sejalan dengan usaha perombakan susunan peradilan colonial, Republik Indonesia pada tahun 1948 telah mengeluarkan suatu Undang-undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1948.

Ternyata Undang-undang ini menghendaki dihapuskannya Peradilan Agama sebagai suatu lembaga peradilan yang berdiri sendiri. Akan tetapi, menyadari betapa pahit getirnya kehendak Undang-undang No. 19 Tahun 1948 atas keberadaan Peradilan Agama oleh umat Islam sebagai penduduk mayoritas di bumi pertiwi ini, yang dapat berakibat timbulnya ketidaksenangan dari umat Islam, maka Undang-undng ini tidak sampai diberlakukan.11

Pada tanggal 29 Desember 1989, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal ini merupakan puncak dari kekokohan dan kemapanan Badan Peradilan Agama sebagai Pengadilan Negara di bumi Indonesia. Pngadilan Agama sudah tidak lagi harus menggantungkan kepada Pengadilan Negeri.

3. Bab III

Pada asal usulnya, istilah Peradilan Agama ini sebagai terjemahan dari istilah godsdientige rechtspraak, suatu istilah yang tentunya berasal dari perundang-undangan Belanda. Godsdientige berarti ibadah atau agama, sedangkan rechtspraak berarti peradilan.12

Istilah peradilan, secara etimologi berasal dari kata adil mendapatkan awalan per dan akhiran an, yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil13.

10 ASA, Sejarah Peradilan Agama, (Jakarta: Serial Media dakwah, 1989), hlm. 2.

11 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 54-55.

12 Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, hlm. 15.

(7)

Secara terminologis istilah peradilan ini oleh salah seorang ahli hukum Islam dimaksudkan sebagai suatu urusan atau tugas untuk menyeleseikan persengketaan guna menghentikan gugat menggugat dan guna memotong pertengkaran dengan hukum-hukum syara’ yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunah/Hadits. Sedangkan salah seorang ahli hukum di Indonesia memaksudkannya sebagai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan14.

Sebagai suatu institusi yang menyelenggarakan tugas-tugas peradilan, Peradilan Agama harus memiliki tiga perangkat dasar, yakni peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan tata laksana, sarana serta prasarana.

4. Bab IV

Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam system penyelenggaraan kenegaraannya berdasarkan atas hukum, tidak atas kekuasaan belaka15. Maksudnya, bahwa Negara

dalam mengurus setiap bidang kehidupan termasuk di dalamnya masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga Negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia dikatakan sebagai Negara Hukum.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: 1Peradilan Umum, 2Peradilan Agama, 3Peradilan

Militer, dan 4Peradilan Tata Usaha Negara16.

Peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya baik mengenai perkara perdata maupun perkara pidana.

Kedudukan Peradilan Agama dalam Negara Hukum Republik Indonesia adalah sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Dan sebagai badan peradilan khusus sebagaimana halnya Peradilan Milter dan

14 R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 1971), hlm. 77.

15 Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.

(8)

Peradilan Tata Usaha Negara, kekuasaan kehakiman yang dilaksanakannya adalah dikhususkan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu,17 yang pelaksanaannya tidak dapat

dilepaskan sama sekali daripada hukum agamanya yaitu hukum Islam. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Badan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyeleseikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kedua jenis pengadilan ini berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi18.

5. Bab V

Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama sebagai lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Badan Peradilan Agama, yang lingkup tugasnya begitu berat dan luas, tentunya perlu mempunyai susunan dan struktur organisasi yang memadai dengan beban tugasnya, baik yang menyangkut penanganan perkara maupun administrasinya. Dengan kemandirian susunan dan struktur organisasi ini, akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri.

Adapun susunan Pengadilan Agama adalah sebagai berikut19:

a. Pimpinan; b. Hakim Anggota; c. Panitera;

d. Sekretaris; e. Juru Sita.

Sedangkan susunan dari Pengadilan Tinggi Agama adalah sebagai berikut20:

a. Pimpinan; b. Hakim Anggota; c. Panitera;

d. Sekretaris.

17 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 2.

18 Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Pasal 3.

(9)

6. Bab VI

Demi kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri, pengadilan dalam lingkungan Badan Peradilan Agama sebagaimana tersebut di atas, mempunyai tata cara dan pengelolaan administrasi pengadilan. Penyelenggaraannya dibedakan menjadi:

a. Pembinaan dan Pengawasan Bidang Teknis Yustisial

Pelaksana pembinaan dan pengawasan oleh Mahkamah Agung terhadap Badan Peradilan Agama didasarkan atas kewenangannya

Berdasarkan kewenangan-kewenangan tersebut di atas, pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung terhadap Badan Peradilan Agama secara garis besarnya meliputi bidang teknis hukum, administrasi teknis yustisial dan perilaku/perbuatan Hakim.

b. Pembinaan dan Pengawasan Bidang Administrasi Umum

Adapun kewenangan Departemen Agama di bidang ini mencakup tiga hal21, yakni:

- Organisasi; - Administrasi; - Keuangan.

7. Bab VII

Tugas dan fungsi Pengadilan pada Badan Peradilan Agama, yakni Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, dapat dipecah menjadi dua macam, yakni:

a. Tugas Yustisial

Tugas yustisial merupan tugas pokok dari suatu pengadilan. Inti dari tugas ini adalah menegakkan hukum dan keadilan22.

b. Tugas non-Yustisial

21 Undang-undang No.7 Tahun 1989 Pasal 5 Ayat (2).

(10)

Merupakan tugas tambhan, tetapi tidak mengurangi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam melaksanakan tugas-tugas peradilannya berpijak pada berbagai asas yang dimilikinya. Asas-asas yang dimaksud yang terpokok adalah sebagai berikut:

a. Asas Personalitas Ke-Islaman23;

b. Asas Kebebasan24;

c. Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas25;

d. Asas wajib mendamaikan26;

e. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan27;

f. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak28;

g. Asas persidangan terbuka untuk umum29;

h. Asas aktif memberi bantuan30;

i. Asas peradilan dilakukan dengan cara Hakim Majelis31.

8. Bab VIII

Berbicara masalah kekuasaan dan wewenang Pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama, sebagaimana seperti di Peradilan Umum, Peradilan Militer, danPeradilan Tata Usaha Negara, di Peradilan Agama pun dikenal adanya dua macam kekuasaan dan wewenang, yakni: a. Kekuasaan dan wewenang absolut atau mutlak.

Kekuasaan dan wewenang absolut adalah kekuasaan dan wewenang mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan32.

b. Kekuasaan dan wewenang relatif.

Yang dimaksud kekuasaan dan wewenang relatif adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antarpengadilan dalam lingkungan Badan Peradilan yang sama, dengan kata lain dilihat dari wilyah hukumnya.

23 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49 ayat (1). 24 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 53 Ayat (4). 25 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 14 Ayat (1). 26 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 65.

27 Undang-undang No 14 Tahun 1970 Pasal 4 Ayat (2). 28 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 58 Ayat (1). 29 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 59.

30 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 58 Ayat (2). 31 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 62 Ayat (2).

(11)

9. Bab IX

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim33.

Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan hukum acara perdata pada Pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak di Pengadilan pada lingkungan Badan Peradilan Agama, bagaimana cara hakim-hakimnya memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya, dan bagaimana pula cara melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan Badan Peradilan Agama.

10. Bab X

Pada umumnya, dalam teori dan praktik hukum acara perdata umum, perkara-perkara yang masuk dan ditangani oleh pengadilan, terbagi kepada dua macam, yakni:

a. Perkara yang bersifat Contensius (mengandung sengketa, yang disebut gugatan), dan

b. Perkara yang bersifat Voluntaire (tidak mengandung sengketa, yang disebut permohonan).

Dalam paham hukum acara perdata umum, peradilan atas perkara gugatan dikatakan peradilan yang sesungguhnya, sedangkan peradilan atas perkara permohonan dikatakan sebagai peradilan suka rela34.

Pada hakikatnya tugas Hakim/Majelis Hakim dalam proses penanganan perkara adalah memimpin jalannya persidanganuntuk mendapatkan suatu putusan atau penetapan, ia harus mampu dan pandai-pandai mengendalikan jalannya persidangan agar perjalanannya lancar tidak terhambat dan tidak bertele-tele yang berakibat memakan waktu yang berkepanjangan.

Praktik peradilan dalam beracara pada Pengadilan dalam lingungan Badan Peradilan Agama adalah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

33 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,

(Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 2.

(12)

a. Tahapan pendahuluan;

b. Tahapan pemeriksaan dan putusan; serta c. Tahapan penyeleseian perkara.35

11. Bab XI

Dalam penyusunan putusan yang dimaksud untuk mengakhiri suatu perkara, ada tiga hal yang amat penting yang harus diperhatikan dan harus dipenuhi dalam penyusunan putusan tersebut. Ketiga hal dimaksud adalah adil, kepastian, dan kemanfaatan. Putusan harus adil, mempunyai kepastian hukum dan bermanfaat bagi kedua belah pihak dan masyarakat.

Jika didefinisikan, putusan pengadilan adalah suatu pernyataan haki, yang olehnya sebagai Pejabat Kekuasaan Kehakiman yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dengan maksud dan tujuan untuk mengakhiri suatu perkara atau persengketaan antara dua belah pihak yang bersengketa.36

12. Bab XII

Dalam hal salah satu pihak atau pihak-pihak tidak puas atas putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama, kepadanya diberikan hak untuk menggunakan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.

Yang dimaksud upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suat putusan37. Adapun

yang dimaksud upaya hukum biasa adalah upaya hukum atas putusan atau penetapan Pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan upaya hukum luar biasa adalah upaya hukum atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Adapun upaya hukum dimaksud adalah: a. Upaya hukum biasa:

- Upaya hukum Verzet; - Upaya hukum Banding; dan - Upaya hukum Kasasi.

35 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 2 Ayat (1).

36 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 167-168.

(13)

b. Upaya hukum luar biasa:

- Upaya hukum peninjauan kembali; dan

- Denden Verzet (perlawanan) dari pihak ketiga.

13. Bab XIII

Pelaksanaan putusan Pengadilan adalah merupakan rangkain terakhir daripada proses peradilan. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila ia telah berkekuatan hukum tetap, artinya putusan tersebut sudah tertutup dan sudah tidak ada lagi jalan untuk upaya hukum biasa bagi pihak atau pihak-ihak yang berperkara.

14. Bab XIV

Berdasarkan pengertian umum bahwa tidak ada sengketa tidak ada perkara, maka selama tidak ditentukan lain oleh Undang-undang, perkara mengenai kewarisan di Pengadilan Agama adalah harus diajukan, diperiksa, diadili, dan diputus secara contensius.

Dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap ha-hal yang tidak ada unsur sengketanya bukan dilayani melalui perkara secar voluntair yang berproduk hukum penetapan, tetapi harus dilayani melalui pembuatan Akta di Bawah Tangan mengenai Keahliwarisan dan Akta Pembagian Warisan di luar sengketa.38

E. Sasaran Pembaca

Adapun yang menjadi segmentasi / sasaran pembaca dari buku ini secara khusus adalah orang-orang Fakultas Hukum yang terdiri dari mahasiswa dan dosen, advokat, hakim, maupun jaksa. Dan secara umum ditujkan kepada msyarakat umum guna menambah wawasan terkait kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama dalam system tata hukum di Indonesia.

.

F. Kelebihan Buku

Setelah membaca buku karangan Taufiq Hamami yang berjudul Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia ini, penulis menemukan beberapa kelebihan dari buku ini, diantaranya adalah sebagai berikut:

(14)

1. Penjelasan materinya ringkas, padat dan berisi. 2. Penjabarannya mudah dimengerti

3. Dalam penyusunannya, telah tersusun secara sistematis.

(15)

G. Kekurangan Buku

Tiada gading yang tak retak, begitu pula tidak ada karya yang tidak memiliki kekurangan. Maka kekurangan yang penulis temukan dari buku karangan Taufiq Hamami ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1.

Tidak terdapat indeks terkait kata-kata yang tidak dapat dimengerti secara seketika.

2.

Ketidakkonsistennya dalam penulisan footnote.

H. Kritik

Berdasarkan dari kekurangan diatas maka penulis memberikan saran guna memberikan dampak positif bagi kita semua di waktu yang akan datang, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan indeks dalam buku sehingga mempermudah pembaca dalam memahami kata-kata yang sulit dimengerti.

2. Lebih dikonsistenkan dalam penulisan footnote agar terlihat lebih tersusun secara baik.

I. Refrensi

ASA, Sejarah Peradilan Agama, Jakarta: Serial Media dakwah, 1989.

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hasan, Tolhah, Beberapa catatan Sekitar 10 Tahun Undang-undang Peradila Agama, Jakarta: Panitia seminar Nasional 10 Tahun Undang-undang Peradilan Agama, 1999.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Noeh, Zaini Ahmad, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980.

Raharjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.

(16)

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acra Perdata dalam teori dan Praktik, Bandung: Mandar Maju, 1989.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : PENGARUH DESAIN PRODUK, KEIRITAN BAHAN BAKAR, DAN HARGA TERHADAP KEPUTUSAN PEMBELIAN SEPEDA MOTOR (Studi Kasus Terhadap Pengguna Sepeda Motor Merek

Secara teoritik, temuan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan berupa verifikasi konsep tentang pengaruh IPP -- sebagai dasar

[r]

[r]

Testosteron juga memberi pengaruh terhadap berat badan, karena fungsinya adalah menjaga kekuatan otot yang memicu metabolisme dalam membakar lemak8. Jika

Iako je imao besplatan i stan i hranu, nikad nije bio od onih što samo potvr đ uju ono što im rekne neko ko ih kako bilo pomaže.. Ni za dlaku nije odstupao od

Primary key adalah salah satu candidate key yang kita nobatkan sebagai kolom unik untuk identifikasi baris dalam tabel.. Kolom ini tidak boleh berulang, dan tidak boleh

Dari seluruh hasil perhitungan dan hasil jumlah manfaat yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa investasi sistem informasi e-commerce pada Saung Ayam dapat