• Tidak ada hasil yang ditemukan

URGENSI SAKSI DARI KELUARGA DALAM PERKAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "URGENSI SAKSI DARI KELUARGA DALAM PERKAR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI SAKSI DARI KELUARGA DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTIM

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Oleh :

Aermadepa, S.H.,M.H.

Dosen Fakultas Hukum UMMY Solok

ABSTRAK

"Witnesses are people outside the parties that see, hear or experience events that would he explain dipersidangan. The family belonged to people who can not

a witness in the Civil Procedure Code. But in case of divorce by reason of disputes and continous quarrels or syiqaq, then the family must actually hear the

information as a witness. " Keywords : witness, family, divorce

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 29 Desember1989, disahkan dan diundangkan sebuah undang-undang dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun 1989, yang diberi nama Undang tentang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989. Undang-Undang ini merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasan peradilan di negara RI. Dengan lahirnya undang-undang ini setiap lingkungan peradilan sudah memiliki landasan kedudukan dan kekuasaan. Sekalipun UU No.7 Tahun 1989 ini agak terlambat dan belakangan dibanding dengan undang-undang untuk lingkungan peradilan yang lainnya. Namun hal ini tidak mengurangi makna kehadirannya ditengah-tengah upaya pembangunan dan pembaharuan hukum nasional.

(2)

Adapun kewenangan dari Peradilan Agama sesuai dengan UU No.7 Tahun 1989 ini adalah menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang 1. perkawinan, 2. kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, dan 3. waqaf dan shadaqah. 1

Kemudian undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini direvisi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang salah satu perubahan mendasarnya adalah memperluas kewenangan Peradilan Agama, yaitu disamping kewenangan yang sudah diatur dan diberikan oleh UU No.7 Tahun 1989, ditambah dengan kewenangan untuk adopsi anak-anak beragama Islam dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa keuangan syariah.

Jadi perkara perkawinan, termasuk didalamnya perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam merupakan kewenangan Peradilan Agama. Artinya orang-orang yang beragama Islam dan melangsungkan perkawinannya secara Islam, maka bila mereka ingin mengakhiri perkawinannya dengan perceraian haruslah menyelesaikannya melalui perkara di Pengadilan Agama. Dan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama, termasuk untuk sengketa mengakhiri perkawinan ini, adalah Hukum Acara sebagaimana yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Demikian juga, saksi tentunya merupakan salah satu alat bukti dalam perkara perdata, termasuk juga dalam acara atau perkara perceraian.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat tulisan yang penulis beri judul “Urgensi Saksi dari Keluarga dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengaruhnya Terhadap Sistim Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam makalah ini adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Ketentuan Tentang Saksi sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata ?

1 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun

(3)

2. Bagaimanakah Kedudukan Saksi dari Keluarga pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengaruhnya dalam Hukum Acara Perdata ?

C. Tujuan Penulisan/Penelitian

Penulisan/penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Ketentuan dan regulasi Tentang Saksi sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis Kedudukan Saksi dari Keluarga pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengaruhnya dalam Hukum Acara Perdata.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau sosisologis (socio legal research), yaitu dengan meneliti langsung pelaksanaan di lapangan dalam rangka memperoleh data primer.

Sementara bahan dan materi penelitian di dapatkan dengan cara : a. Penelitian kepustakaan guna mendapatkan data-data atau bahan hukum :1. primer berupa peraturan perundang-undangan, 2. sekunder dalam bentuk buku-buku yang berkaitan dengan tulisan ini, baik buku yang dicetak, maupun buku dalam kepustakaan elektronik, serta 3. bahan hukum tertier berupa bahan-bahan hukum yang lain yang berkaitan dengan tulisan ini. Disamping itu (selain studi kepustakaan) maka penelitian ini juga b. Penelitian lapangan, yaitu berupa penelitian di beberapa Pengadilan Agama.

Untuk selanjutnya analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kualitatif dan dikuantifikasikan, dan disampaikan dengan cara deskriptif yaitu melalui suatu uraian yang menyeluruh dan dihubungkan dengan teori-teori yang ada

II. PEMBAHASAN

A. Ketentuan Tentang Saksi sebagai Alat Bukti dalam Perkara Perdata

(4)

Dalam arti kata apakah sejak awal sampai akhir proses pemeriksaan perkara benar-benar due process of law atau undue process. Apakah sejak awal sampai putusan dijatuhkan, proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara (due process law), yang berarti di pengadilan telah melaksanakan dan menegakkan ideologi fair trial yang dicita-citakan negara hukum dan masyarakat demokratis.

Salah satu proses penting dalam pemeriksaan perkara tersebut adalah pembuktian, yang merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Dan salah satu faktor pendukung untuk pembuktian ini adalah alat bukti (bewijsmiddel) yang diajukan oleh para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan yang mereka ajukan.

Adapun jenis-jenis alat bukti dalam acara perdata diatur dalam pasal 164 HIR, 284 Rbg, dan Pasal 1866 KUHPerdata, yang terdiri dari : bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Dan tidak semua sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau surat atau akta. Dalam kenyataan yang tidak memungkinkan mempergunakan alat bukti tertulis ini, jalan keluarnya yang dapat ditempuh untuk membuktikan dalil gugatan atau bantahan ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Apalagi jika saksi yang bersangkutan sengaja diminta hadir menyaksikan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa, sangat relevan menghadirkannya sebagai saksi.2

Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139 sampai 152, 168 sampai 172 HIR (165 sampai 179 Rbg), 1895 dan 1902 sampai 1912 KUHPerdata. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di persidang-an. 3

2 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(5)

Pada dasarnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberikan kesaksian. Kewajiban untuk memberi kesaksian ini ternyata dalam pasal 139 HIR (165 Rbg) serta adanya sanksi-sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak memenuhinya.

Namun ada segolongan orang yang tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi, yang dibedakan lagi antara mereka yang tidak mampu secara mutlak dan yang tidak mampu secara nisbi.

1. mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolut); yaitu :

a. keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak

b. suami atau isteri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai 2. yang tidak mampu secara nisbi (relatif), yaitu :

a. anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun

b. orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat Disamping itu ada segolongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan kesaksian, atau mengundurkan diri dari kesaksian, yaitu :

a. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan daripada suami atau isteri salah satu pihak

c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia.

Bagi orang yang telah dipanggil sebagai saksi mempunyai tiga kewajiban, yaitu :

1. kewajiban untuk menghadap, yaitu harus hadir apabila telah dipanggil sebagai saksi secara patut, dan adanya sanksi bagi yang tidak mau datang setelah dipanggil secara patut.

(6)

dengan sumpah promissoir, dan tidaklah sama dengan sumpah sebagai alat bukti.

3. kewajiban untuk memberikan keterangan, yaitu keterangan tentang peritiwa yang berkaitan dengan peristiwa yang dipersengketakan yang ia lihat, alami dan dengar sendiri.

Keterangan seorang saksi sebagai alat bukti dapat ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Misalnya apabila terjadi unus testis nullus testis (satu orang saksi bukanlah saksi), maka dapat ditambah atau lengkapi dengan alat bukti lain, misalnya pengakuan dari pihak lawan ataupun alat bukti sumpah, misalnya.

Apabila saksi lebih dari satu orang, maka untuk menilai keterangan mereka sebagai alat bukti, maka hakim akan mempertimbangkan :

1. kesesuaian keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya 2. kesesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.

3. cara hidup, kesusilaan dan kedudukan saksi yang dapat dijadikan sebagai dasar kepercayaan.

4. hal yang mungkin dapat mempengaruhi keterangan saksi.

5. sebab atau alasan apa saksi memberikan keterangannya tersebut.

Keterangan saksi tersebut sebegai alat bukti haruslah atas peristiwa yang ia lihat, alami atau dengar sendiri. Namun bila keterangan saksi itu bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya, maka keterangan saksi tersebut hanyalah berkualitas sebagai testimonium de auditu, yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain. 4 Yang disebut juga

kesaksian tidak langsung.

B. Kedudukan Saksi dari Keluarga pada Perkara Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengaruhnya dalam Hukum Acara Perdata

Sesuai dengan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan dapat putus karena alasan-alasan yaitu : a. kematian, b. perceraian, dan c. atas putusan pengadilan. Selanjutnya perceraian dapat terjadi karena (Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam) talak, yaitu bila keingginan bercerai datang dari pihak suami, yang 4 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

(7)

diawali dengan permohonan, dan gugatan perceraian, yakninya bila inisiatif cerai datang dari pihak isteri, dan perkara diawali dengan surat gugatan oleh isteri. 5

Perceraian harus berdasarkan alasan yang secara limitatif ditentukan (vide Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam), yaitu : 6

1. zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan 2. meninggalkan tanpa izin 2 tahun berturut-turut

3. dihukum 5 tahun keatas

4. kekejaman/penganiayaan berat

5. cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan tugas sebagai suami/isteri

6. perselisihan terus menerus yang tidak dapat dirukunkan kembali, disebut juga

syiqaq, atau kurang lebih sama dengan cerai/pisah meja dan tempat tidur menurut BW.

Cerai atau talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan hukum Islam untuk memutuskan akad nikah antara suami isteri. Dalam pengajian fiqih seperti yang bersumber dari hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah, kamus istilah agama menuliskan “talak berarti melepaskan ikatan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela ucapan talak kepada isterinya, dengan kata yang jelas/shahih ataupun dengan kata-kata sindiran/kinayah”. 7

Setelah permohonan cerai dimasukkan oleh suami/isteri, permohonan talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan perkara oleh hakim, dimana untuk pemeriksaan ini di lingkungan peradilan agama berlaku hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini (Pasal 54 UU No.7 Tahun 1989). 8

Hal yang penting dalam pemeriksaan perkara di pengadilan manapun, termasuk di pengadilan agama tentunya, adalah pembuktian. Secara umum, pembuktian dapat dilakukan dengan mengemukakan surat, saksi, ahli, sumpah,

5 Lihat juga http://www.unsrat.ac.id/hukum/ma/kompilasi.pdf.

6 Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal.29.

7 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun

(8)

yang semuanya tidak diperlukan apabila termohon/tergugat mengakui kebenaran permohonan/gugatan. Namun secara khusus untuk perkara perceraian ditentukan bahwa pembuktiannya sesuai dengan alasan cerai yang dikemukakan.

Dan alat bukti kesaksian biasanya lazim dipergunakan pada perceraian dengan alasan syiqaq, hal ini diatur dalam Pasal 76 UU No.7 Tahun 1989. Yaitu apabila terjadi perceraian karena alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka tata cara pemeriksaannya disamping tunduk kepada ketentuan hukum acara perdata pada umumnya, sekaligus harus menurut tata cara mengadili yang digariskan oleh Pasal 76 itu sendiri. Yaitunya untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri.

Untuk perceraian dengan alasan syiqaq ini hakim harus memeriksa keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri. Hakim akan meminta kepada para pihak siapa keluarga dekat mereka. Jika ternyata keluarga dekat tidak ada atau jauh, atau sulit menghadirkannya, maka hakim dapat meminta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut. Dan bila hakim lalai dalam menjalankan ketentuan pasal 76 ini, maka akan mengakibatkan pemeriksaan dan putusan batal demi. Kewenangan hakim untuk menghadirkan saksi dari keluarga atau orang dekat adalah ex officio, jadi tidak perlu atas permintaan para pihak.

(9)

derogat legi generalis, ketentuan atau aturan hukum yang khusus mengenyampingkan atau lebih didahulukan pelaksanaannya dari pada ketentuan yang umum.

Malah pemeriksaan keluarga atau orang-orang dekat suami isteri dalam perkara perceraian atas alasan syiqaq adalah imperatif. Oleh karena itu pemeriksa-an terhadap mereka merupakpemeriksa-an “syarat sahnya” pemeriksaan. 9

Kedudukan keluarga atau orang-orang dekat pihak suami isteri yang akan bercerai ini bukan hanya sekedar memberikan keterangan biasa saja. Tapi memberikan keterangan sebagai “saksi”. Mereka didudukkan secara formal dan materiil menjadi saksi. Dan secara formal keluarga yang akan memberikan keterangan juga harus “disumpah”. Secara materiil artinya keterangan yang mereka berikan haruslah berdasarkan pendengaran, penglihatan atau pengalaman sendiri. Kemudian keterangan yang mereka berikan saling bersesuaian dengan saksi atau alat bukti yang lain, maka keterangan yang mereka berikan sah dan bernilai sebagai alat bukti. Dengan demikian tentu dengan sendirinya mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Hal ini juga ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 20 Desember 1079 Nomor 1282 K/Sip/1979, yang menegaskan “Dalam gugat cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran, ibu kandung dan pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi.

Bahwa pemeriksaan saksi dari keluarga merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari Pasal 145 dan 146 HIR atau Pasal 172 Rbg, namun harus diingat bahwa penerapan keluarga sebagai saksi hanya berlaku dalam perkara perceraian yang didasarkan atas alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus atau syiqaq. Dan tidak dapat diterapkan dalam perkara perceraian dengan alasan yang lain. 10

III. PENUTUP

9 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.7 Tahun

(10)

A. Kesimpulan

1. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di persidangan. Dan yang bisa menjadi saksi adalah orang-orang diluar pihak yang bersengketa yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri peristiwa yang akan dia terangkan dipersidangan. Namun ada golongan orang-orang yang tidak bisa menjadi saksi baik secara mutlak ataupun secara relatif. Dan ada pula golongan orang-orang yang dapat menolak dari kewajiban untuk menjadi saksi.

2. Keluarga termasuk golongan orang yang tidak dapat untuk menjadi saksi dalam Hukum Acara Perdata. Namun dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus atau syiqaq, maka keluarga malah harus didengar keterangannya sebagai saksi. Jadi disini terjadi penerapan asas lex specialis derogat legi generalis, namun penerapannya dibatasi hanya untuk perceraian dengan alasan syiqaq saja. Tidak dapat diterapkan untuk perceraian dengan alasan lain.

Daftar Pustaka :

Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996

M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU

No.7 Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kelima, Liberty, Yokyakarta, 1999

http://www.unsrat.ac.id/hukum/ma/kompilasi.pdf.

Referensi

Dokumen terkait

Setiap motif batik yang mempunyai makna khusus hanya boleh dipakai oleh golongan keluarga keraton sesuai dengan tingkatan kastanya (Wulandari, 2011:2). Sekarang

Kemudian sistem akan melakukan validasi data yang di input tersebut, jika gagal maka sistem akan kembali ke halaman pengisian data. Jika benar, maka sistem akan

[r]

Iako je imao besplatan i stan i hranu, nikad nije bio od onih što samo potvr đ uju ono što im rekne neko ko ih kako bilo pomaže.. Ni za dlaku nije odstupao od

Evaluasi empiris dalam arti luas menekankan teknik-teknik untuk menilai efisiensi dan efektivitas kebijakan publik. Evaluasi empiris berusaha menilai dampak kebijakan

[r]

Penulis yang juga pecinta hewan ini mengambil Tugas Akhir dengan judul “ Desain Interior Rumah Sakit Hewan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dengan konsep Eco-Modern

Uji t dalam penelitian ini digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel independen yang terdiri dari tekanan eksternal, ketidakpastian lingkungan, komitmen