BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi HIV dan AIDS 2.1.1 Definisi HIV
HIV (Human Imunnodeficiency Virus) merupakan oportunis sistem imun
yang dapat menggunakan aktivitas sistem imun untuk replikasinya. Virus ini dapat
melumpuhkan sebagian besar komponen respons imun penjamu melalui
mekanisme langsung maupun tidak langsung (Alam, 2012). HIV merupakan virus
golongan retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Seperti retrovirus yang
lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten),
dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal
tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk
mereplikasi diri. Dalam proses ini, virus tersebut menghancurkan CD4 dan
limfosit (Kurniawati, 2011).
Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1983 oleh ilmuwan Prancis
Montagnier (Institute Pasteur, Paris). Beliau mengisolasi virus dari pasien dengan
gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV, sehingga virus ini dinamakan
lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa
tipe HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang
Virion HIV berukuran sekitar 100 nm dan mengandung dua kopi genom
RNA single-stranded. Genom RNA ini dilapisi oleh protein nukleokapsid (NC) dan kompleks protein-RNA ini dilapisi oleh kapsid (CA). Sama seperti virus
dengan envelope lainnya, membran virus didapatkan selama proses budding dari sel penjamu, tetapi komponen protein permukaan dan glikoprotein transmembran
merupakan hasil pengkodean genom virus. Selain protein stuktural ini, virion juga
mengandung tiga protein spesifik yang penting untuk proses replikasi, yaitu
reverse transcriptase (RT), protase (PR), dan integrase (IN) (Alam, 2012).
2.1.2 Definisi AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Imunne Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat, ditularkan dari satu orang ke orang lain. Bukan penyakit bawaan. Imunne berarti kebal, sistem pertahanan/kekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Deficiency berarti kekurangan, menunjukkan
adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normal/biasanya. Dan Syndrome berarti sindrom, suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara
bersamaan, menunujukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakit/keadaan
tertentu. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit (sindrom) spesifik yang
disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh maupun spektum keseluruhan
masalah kesakitan yang berkaitan dengan infeksi HIV (Ditjen PP&PL RI, 1989).
Acquired Imunne Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan
beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 (Baratwidjaja,K.G.,
2006). Virus ini menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4 sehingga
suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh
infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti; infeksi bakteri, virus, jamur,
bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita
(Murtiastutik, 2008).
2.2 Etiologi dan Patogenesis HIV/AIDS
Retrovirus merupakan virus RNA single-stranded dengan envelope. Virus ini akan mengkode reverse transkriptase (RNA-dependent DNA polymerase) yang mengkopi genom virus menjadi DNA double strainded dan akan berintegrasi dengan genom pejamu. Retrovirus sangat sensitif terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tekanan permukaan, sehingga tidak dapat
ditransmisikan melalui udara dan debu, tetapi membutuhkan kontak erat dengan
sumber infeksi. Secara garis besar, retrovirus terdiri atas dua kelompok besar, yaitu oncovirus dan lentivirus. Virus HIV termasuk dalam kelompok lentivirus. Lentivirus dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan laten tanpa menyebabkan kematian sel dan kemudian akan bersifat sitolik saat sel yang
terinfeksi mendapat stimulasi tertentu (Alam, 2012).
Secara sederhana sel HIV terdiri dari:
1. Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan
integrase.
2. Kapsid – antigen p24.
3. Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp41).
HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan
terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam
HIV melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA
HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk (Widoyono, 2008).
DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk, akan
membentuk RNA dengan fasilitas sel induk. Sedangkan mRNA dalam sitoplasma
akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya
mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepaskan sebagai virus HIV
lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan
menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T
(Widoyono, 2008).
HIV menyerang CD4, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat
fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebutkan sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian
menghambat aktivitas sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV
melekat melalui reseptor CD4 dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada
bagian ini terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase
dan ribonuklease. Pada inti yang mengadung RNA, enzim DNA polimerase
menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA
asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama
yang tersusun sebagai cetakan (Baratawidjaja, K.G., 2006).
Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untaian rantai ganda akan
masuk ke inti sel. Kemudian enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan
bereplikasi menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis. Selain itu, virus
HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai
macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel bobfour
plasenta, sel-sel dedrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel
Langerhans di kulit (Kurniawati, 2011).
Patogenesis infeksi HIV merupakan proses yang kompleks dan
multifaktoral yang melibatkan faktor penjamu dan virus. Tingkat replikasi virus
in vivo menggambarkan keseimbangan antara faktor positif dan negatif yang mengatur ekspresi virus. Tingkat replikasi virus juga berhubungan erat dengan
tingkat depresi sel limfosit CD4 dan kecepatan progresi penyakit (Alam, 2012).
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti
adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang
menjadi AIDS pada 3 tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun
(Kurniawati, 2011).
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi.
Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam diare, atau batuk pada 3-6 minggu
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali
masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan
terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler
(HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin,
CD8, IL-R) dan antibodi unpregulation (gp 120, anti p24; IgA). Infeksi HIV akan
menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi
kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor
sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi
secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium
lebih lanjut (Kurniawati, 2011).
Pada fase infeksi primer ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang
sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam
darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru
terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari
sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah,
diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, serta timbul ruam.
Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2 – 4 minggu setelah infeksi, kemudian
hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai
influenza atau infeksi mononukleosis (Kurniawati, 2011).
Selama infeksi akut, jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan
cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut. Individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi
Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent away (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Kurniawati, 2011).
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok
orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada
pula yang perjalanannya sangat lambat (Kurniawati, 2011).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes, dan lain-lain). Fase ini disebut dengan imunodefisiensi. Pada fase ini
ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T di
dalam serum pasien yang terinfeksi HIV. Adanya supresif pada proliferasi sel T
tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu
memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai
dengan penurunan kadar CD4, sitokin (IFNχ; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti p-24); TNF α; antinef (Kurniawati, 2011).
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat.
Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga
2.3 Transmisi HIV/AIDS
Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan
masuknya agen adalah transmisi seksual yang berhubungan dengan semen dan
cairan vagina/seviks, serta transmisi non seksual yang berhubungan dengan darah.
Hal ini juga terjadi pada transmisi HIV (Ditjen PP&PL, 1989). Proses penularan
virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal melalui hubungan
seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal penularan dari
ibunya ke bayi yang dikandungnya (Murtiastutik, 2008).
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat masuknya cairan tubuh yang
mengandung virus HIV melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkoba, transfusi komponen darah
dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu
kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pengguna narkotika, pekerja
seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban, 2010).Penyebaran
HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci dimana penularan terjadi
melalui penderita yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril
pada kelompok penasun dan perilaku seks yang tidak aman baik pada hubungan
heteroseksual maupun homoseksual (KPA, 2009).
2.3.1 Transmisi Seksual
Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang
terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum
atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area
tersebut, kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir
vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut
masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada
dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke
aliran darah pasangan seksual (Kurniawati, 2011).
Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun
oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual
pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah
pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat
ditularkan melalui hubungan seksaul dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria
(Irianto, 2014).
Pada hubungan seksual ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks,
mukosa rektum mudah mengalami perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan
tidak diperuntukkan untuk hubungan seksual seperti halnya dinding vagina
(Irianto, 2014). Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual
dengan risiko tertinggi, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV, karena mukosa rektum sangat tipis
dan mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual secara
ano-genital. Risiko ini bertambah bila terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada
anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan
semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko ketiga adalah
Transmisi HIV melalui hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita
maupun sebaliknya. Di negara-negara Afrika, kebanyakan pengidap HIV/AIDS
mendapat infeksi melalui hubungan heteroseks. Data yang ada menunjukkan
bahwa transmisi dari pria pengidap HIV/AIDS kepada wanita pasangannya lebih
sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria pasangannya.
Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10 wanita
pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV dan
hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV (Irianto,
2014).
Berbagai aktivitas seksual memberikan risiko penularan HIV yang
berbeda-beda. Berdasakan urutan (gradasi) kemungkinan risiko penularan HIV
dari yang paling tinggi sampai yang terendah pada berbagai aktivitas seksual
adalah sebagai berikut:
1. Hubungan seksual lewat liang dubur (ano-genital).
2. Hubungan seksual lewat liang vagina (genito-gaenital).
3. Kontak dengan menggunakan mulut (oro-genital).
4. Hubungan seksual menggunakan kondom.
5. Ciuman mulut dengan mulut (Irianto, 2014).
2.3.2 Transmisi Non-seksual
Menurut Murtiastutik (2008), penularan virus HIV non seksual terjadi
melalui jalur pemidahan darah atau produk darah (seperti; transfusi darah, alat
suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur
transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan
Transmisi melalui transfusi darah/produk darah telah di deteksi di
negara-negara barat sebelum tahun 1985 dan di negara-negara-negara-negara berkembang terutama
Afrika yang sampai saat ini umumnya belum melakukan pemeriksaan/donor darah
terhadap HIV. Penularan HIV melalui produk darah juga terjadi di negara yang
mendapatkan produk darah dari negara barat, terutama pada penderita hemofilia
(Irianto, 2014).
HIV bisa ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Jarum
suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para
pengguna narkoba (Injecting Drugs User-IDU) sangat berpotensi menularkan
HIV. Transmisi HIV non seksual lewat jarum suntik banyak terjadi di negara barat
pada kelompok penyalah guna obat bius/narkotika (Sonenklar, 2011).
Pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan
dipakai bersama merupakan salah satu jalur penularan. Penularan dapat
berlangsung akibat terjadi perpindahan sejumlah kecil darah yang tertinggi pada
jarum/semprit dari satu orang ke orang lain. Irianto (2014) menyebutkan jumlah
penderita AIDS di Amerika Serikat pada kelompok penyalah guna obat bius
dengan suntikan menempatkan urutan kedua sesudah kelompok homo/biseksual
pria. Jumlah penyalah guna obat bius dengan suntikan saja sekitar 16,7%. Bila
disertai dengan ―risk behavior‖ homo/biseksual jumlahnya 7,4% (Irianto, 2014).
Pengguna NAPZA suntik berkontibusi terhadap sepertiga penyebab kasus AIDS
di Amerika (Sonenklar, 2011).
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0.7%. Bila ibu terinfeksi
sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya
mencapai 50%. Penularan juga bisa terjadi selama proses persalinan melalui
transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan,
semakin besar risiko penularan. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%
(Kurniawati, 2011).
Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui
infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di
bawahnya melalui masuknya darah ibu penderita HIV pada bayinya saat
persalinan serta melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan
sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan berlangsung
(Murtiastutik, 2008).
2.4 Gejala Klinis HIV/AIDS
Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk klasifikasi gejala
infeksi HIV yaitu menurut WHO (World Health Organization) dan CDC (Centre for Diseases Control and Prevention) (Kurniawati, 2011).
Gejala dari infeksi akut HIV menyerupai mononucleosis infeksiosa,
meliputi demam, ruam di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, rasa tidak
enak badan yang berlangsung 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang,
meskipun pembengkakan kelenjar getah bening masih terjadi. Seiring dengan
penurunan imunitas tubuh, penderita akan memperlihatkan gejala-gejala kronis
seperti diare lebih dari satu bulan, berat badan menurun hingga 10% dalam satu
pada lidah (kandidiasis oral). Ketika sistem imun sudah semakin buruk, maka
muncul penyakit oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang
tidak umum, terutama sarkoma kaposi. Penderita pada tahap ini sudah
dikategorikan ke dalam AIDS (Sonenklar, 2011).
2.4.1 Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh
yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh
ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 dan
tiga kategori klinis, yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan tiga kisaran CD4
a. Kategori 1 : ≥ 500 sel/μl
b. Kategori 2 : 200-499 sel/μl
c. Kategori 3 : ≤ 200 sel/μl
Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 yang terendah
dari pasien. (Kurniawati, 2011).
2. Klasifikasi Berdasarkan Kategori Klinis
a. Kategori Klinik A (Klinik Laten)
Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati
generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit
penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut (Kurniawati, 2011).
Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan
berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescence Assay (IFA) menunjukan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4> 500 sel/μl (Kurniawati, 2011).
b. Kategori B (Simptomatik)
Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau
orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan
memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang
dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan
perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan
penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Termasuk kedalam kategori
ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis
vulvovaginal, Displasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer,
penyakit radang panggul, listeriosis, oral hairy leukoplakia,purpura idiopatik trombositopenik, serta demam 38,5ᵒ atau diare lebih dari satu bulan
(Kurniawati, 2011).
Individu yang terinfeksi HIV dapat nampak sehat selama beberapa
tahun dan tanda dan gejala minor dari infeksi HIV mulai nampak. Jumlah
virus dalam darah akan menunjukkan peningkatan, sementara pada saat yang
sama jumlah limfosit CD4 menurun hingga mencapai 500 sel/μl. Individu
dengan kondisi kategori B, akan tetap dalam kategori B. Tapi keadaan ini
bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi kategori C apabila
terjadi kondisinya semakin parah, dan juga tidak dapat kembali lagi ke
c. Kategori C (AIDS)
Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap ini,
individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan
keganasan yang mengancam kehidupan, meliputi: Kandidiasis bronki, trakea,
dan paru, kandidiasis esophagus, kanker leher rahim invasif,
Coccidiodomycosis menyebar atau di paru, kriptokokosis di luar paru, retinitis virus stimegalo, ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya, bronkitis, esofagitis atau pneumonia, histoplasmosis menyebar atau di luat paru, Isosporiasi intestinal
kronis lebih sebulan lamanya, Sarkoma Kaposi, Limfoma Burkitt, Limfoma
imunoblastik, Limfoma primer di otak, Mycobacterium avium complex atau M. kansassi tersebar atau di luar paru, Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di luar paru, Pneumonia Pneumocystis carinii, Pneumonia yang berulang, Leukoensefalopati multifokal progresif, Toksoplasmosis di otak, serta Septikemia Salmonella yang berulang (Kurniawati, 2011).
CDC juga membagi kategori C (AIDS) ke dalam 2 tahapan, yaitu;
tahap tanda dan gejala lanjut HIV serta tahap akhir penyakit HIV. Tahap
Tanda dan Gejala Lanjut HIV, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan
infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan. Perkembangan
pneumonia (Pneumocystis carinii), toxoplasmosis, cyptosporidiosis, dan infeksi oportunistik lainnya yang biasa terjadi. Individu dapat pula mengalami
limfosit CD4 menurun hingga <200 sel/μl. Pada keadaan ini individu akan
dinyatakan sebagai penderita AIDS (Kurniawati, 2011).
Sedangkan pada tahap akhir penyakit HIV, Individu yang terinfeksi
HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi
sitomegalovirus, kompleks Mycobacterium avium, Meningitis cyptococcal, Leukoencephalophaty multyfocal yang progresif, dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus
sangat meningkat dan jumlah limfosit CD4 < 50 sel/μl. Kematian bisa
dikatakan sudah sangat dekat. Sekali kondisi kategori C ini terjadi, maka
individu akan tetap pada kategori ini walaupun ada kemungkinan kondisi ini
dapat berubah (Kurniawati, 2011).
Klasifikasi CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit, penderita
yang dikategorikan ke kelas A3, B3, C1-3 dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan
klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan klasifikasi ulang, meskipun terjadi
perbaikan status imunologi misalnya peningkatan nilai CD4 karena pengaruh
terapi atau faktor fisik (Kurniawati, 2011).
2.4.2 Klasifikasi Menurut WHO
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4 tidak tersedia, dalam hal
ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda
dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor
didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik (Kurniawati, 2011).
Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan >10%, demam yang
dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh,
berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati
generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, sarkoma kaposi (Widoyono, 2008).
Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO dibagi menjadi 4
stadium klinis, yaitu :
a. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya
Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap (Kurniawati, 2011).
b. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat
kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo,
Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti
Sinusitis bakterialis (Kurniawati, 2011).
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%,
berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1
bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis
orofaringeal, Oral hairy leukoplakin, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur
>50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal,
Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan,
Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti
histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru,
Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV
(Kurniawati, 2011).
2.5 Diagnosa HIV/AIDS
HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma,
cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita
belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa
sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit
tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Oleh karena itu,
diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif
bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan (Kurniawati, 2011).
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi
penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang
bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi
virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif (Kurniawati, 2011). Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 %-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan
setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2
(Widoyono, 2008).
2.Western Blot
Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika
tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan
bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes
Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu
dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan,
maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Kurniawati, 2011). Western Blot
mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya cukup
sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono, 2008).
Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan
penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini
Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan
kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme-labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat
mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90% (Alam, 2012).
Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band (dari 3 protein p24, gp41, atau gp120), tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol, env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila
tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi (Alam, 2012).
3. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik
untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak
jelas (Kurniawati, 2011). PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini
dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat
pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan
membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan
itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat
hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut.
Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu
berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk
HIV-2 (Widoyono, 2008).
a. PCR HIV DNA
Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA
HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC
memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur.
Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali
lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi
pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada
penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak
terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100%. Walaupun
demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi
virus dengan strain berbeda (Alam, 2012).
b. PCR HIV RNA
Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer,
walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV,
bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4
yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan
progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis
masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA
sequence-based amplification [NASBA] HIV-1 RNA QT assay) (Alam, 2012).
WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick) sehingga hasilnya bisa segera diketahui. Menurut WHO dalam mendiagnosis
AIDS, minimal dua tanda mayor yang berhubungan dengan tanda minor tanpa
diketahui kasus imunosupresi lain seperti kanker dan malnutrisi berat, atau bila
terdapat salah satu saja dari tanda lain (Widoyono, 2008).
Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tes terhadap antibodi
HIV yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi
HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan.
Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi, jika pada masa ini
hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat
memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko
terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian
(Djoerban, 2010).
2.6 Epidemiologi HIV/AIDS
2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS a. Berdasarkan Orang
Distribusi penderita HIV/AIDS menurut umur di Amerika Serikat,
Eropa, Afrika dan ASIA tidak berbeda jauh. Kelompok terbesar adalah
golongan umur 30-39 tahun, disusul dengan golongan umur 40-49 tahun dan
20-29 tahun (Irianto, 2014).
Sedangkan distribusi penderita menurut jenis kelamin, penderita AIDS
sesuai dengan transmisi penularan yang dominan di negara-negara tersebut.
Rasio antara pria dan wanita di Afrika hampir sama (1:1), sedangkan di
Amerika Serikat/Eropa bervariansi antara 10 sampai 25 kali lebih banyak
penderita laki-laki (Irianto, 2014).
Berdasarkan data dari UNAIDS (2008), lebih dari 7.400 orang
didiagnosa terinfeksi HIV per hari pada tahun 2008, dan 97% dari mereka
yang terinfeksi tinggal di negara miskin dan berkembang. Terdapat 1.200
orang penderita berusia < 15 tahun, dan juga 3.000 orang berusia 15-24 tahun.
Serta 48% dari kasus baru tersebut adalah perempuan (Sonenklar, 2011).
Epidemi penyakit ini telah meningkat dengan menampakkan wajah
perempuan. Perempuan yang berumur di atas 16 tahun berkontribuasi hampir
50% dalam populasi dengan infeksi HIV/ penyakit AIDS (di wilayah
sub-Sahara Afrika jumlahnya mendekati 60%), juga menunjukkan kecenderungan
meningkat pula. Kunci demografi yang lain mengarah pada kelompok umur
15-24 tahun, karena orang-orang dalam kelompok umur ini menyumbangkan
hampir 1/3 dari jumlah seluruh penderita terinfeksi HIV (Subowo, 2010).
Menurut Kemenkes RI sampai Desember 2013, kasus AIDS tertinggi
berada pada kelompok umur 20-29 tahun. Jika dilihat dari jenis kelamin,
kasus pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan yaitu sebesar 15.565 orang,
dan faktor risiko penularan yang paling banyak adalah heteroseksual
sebanyak 32.719 kasus, diikuti IDU (8.407 kasus), transmisi perinatal (1.438
kasus), homoseksual (1.274 kasus) dan transfusi darah (123 kasus)
Situasi masalah HIV-AIDS Januari-Maret tahun 2014 menurut Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (Balitbangkes Kemenkes RI) kasus HIV dari bulan Januari sampai
dengan Maret 2014 dilaporkan sebanyak 6.626 kasus yang terinfeksi HIV.
Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun
(72,3%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%), dan kelompok umur ≥
50 tahun (5,8%). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1.
Sedangkan presentase faktor risiko tertinggi adalah hubungan seks berisiko
pada heteroseksual (55,6%), LSL (lelaki seks lelaki) (14,7%), dan
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (7%) (Balitbangkes RI,
2014).
Untuk kasus AIDS, Balitbangkes RI (2014) melaporkan bahwa
persentase tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (33,4%), diikuti
kelompok umur 20-29 tahun (31,2%) dan kelompok umur 40-49 tahun
(21,4%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Dan
Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks berisiko pada
heteroseksual (88%), LSL (lelaki seks lelaki) (5,5%), dan dari ibu positif HIV
ke anak (2-6%) dan pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (1,3%)
(Balitbangkes RI, 2014).
Dinkes Sumut (2012) menyatakan berdasarkan karakteristik penderita
diketahui penderita terbanyak adalah pria sekitar 75% dan wanita yaitu 25%.
Sumber penularan terbanyak melalui hubungan heteroseksual 65% dan
pengguna jarum suntik (IDU) 26%. Presentase penularan dari ibu ke bayi
2012. Berdasarkan golongan umur yaitu 84% adalah kelompok usia 20-39
tahun, dan berdasarkan kewarganegaran diketahui 99,2% adalah Warga
Negara Indonesia (Dinkes Sumut, 2012).
b. Berdasarkan Waktu
Lembaga Dunia Penganggulangan HIV-AIDS merilis bahwa selama
2008 terjadi peningkatan 19 kali lipat jumlah kasus penyakit yang disertai
lenyapnya daya tahan tubuh. KPA mencatat hanya sebanyak 171.998 orang
kasus HIV-AIDS di Indonesia per Maret 2008. Jumlah ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan catatan UNAIDS sebanyak 270.000 kasus HIV/AIDS
(Subowo, 2010).
Berdasarkan data WHO terdapat 15 juta orang meninggal karena HIV
di dunia pada tahun 2013. Ada sekitar 35.000.000 orang hidup dengan HIV
sampai dengan akhir tahun 2013 dan 21.000.000 orang di dunia terinfeksi
HIV pada tahun 2013 (WHO, 2014).
Di Indonesia sampai 30 Juni 1991 dilaporkan sebanyak 35 orang
mengidap HIV, 16 orang menderita AIDS yang pada akhir tahun 1991 orang
mengidap AIDS meningkat menjadi 40 orang. Menurut Depkes RI (1993)
penderita AIDS sudah mencapai 85 orang. Berdasarkan laporan triwulan
Januari-Maret Depkes RI (2009), ada 114 orang terinfeksi HIV dan 854
orang menderita AIDS. Angka kumulatif dari 1 Januari 1987 sampai 30
Maret 2009 terdapat 23.632 orang dengan perincian 6.608 penyandang infeksi
HIV dan 16.964 orang penderita AIDS. Setelah tiga tahun berturut-turut
Indonesia pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan,
dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 (WHO, 2014).
Menurut Ditjen PP&PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2014, sejak tahun 2008 – 2012 kasus AIDS di Indonesia mengalami
peningkatan. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS
menjadi sebesar 5.608 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS di Indonesia
sampai tahun 2013 sebesar 52.348 kasus (Kemenkes RI, 2014). Angka
kematian (CFR) HIV/AIDS menurun dari 3,79% pada tahun 2012 menjadi
1,67% pada bulan Maret tahun 2014 (Balibangkes RI, 2014).
Narapidana di Indonesia yang positif HIV terus meningkat
jumlahnya. Pada tahun 2000 terdapat 17,5% dari semua narapidana positif
HIV dan jumlah ini meningkat menjadi 22% di tahun 2002. Studi lainnya
menunjukkan 24,5% narapidana di Jakarta terinfeksi sedangkan di Bali
10,2%. Pada penjara yang sama di Bali 56% dari narapidana pengguna
NAPZA suntik juga terinfeksi. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 60%
dari tahun 2002 ke tahun 2003 dan 42% di tahun 2004. Walaupun beberapa
narapidana telah terinfeksi di luar penjara, terdapat kemungkinan adanya
infeksi baru yang terjadi di dalam penjara yang diakibatkan oleh perilaku
berisiko tinggi di kalangan narapidana sendiri (KPA, 2007).
Di Sumatera Utara pada tahun 2010 terdapat jumlah kasus baru
untuk HIV yaitu 238 kasus dan AIDS sebanyak 564 kasus, dengan prevalensi
HIV sebesar 6,21 dan AIDS sebesar 4,17 per 100.000 penduduk. Peningkatan
kasus HIV/AIDS terjadi pada tahun 2012, dimana jumlah kasus HIV/AIDS
Prevalensi HIV pada tahun ini sebesar 6,21 dan AIDS sebesar 4,87 (Dinkes
Sumut, 2012). Hal ini berbeda dengan estimasi dari PP&PL RI (2012) yang
mengatakan prevalensi HIV di Sumatera Utara pada tahun 2012 adalah
sebesar 0,12 (Dirjen PP & PL, 2012).
c. Berdasarkan Tempat
AIDS merupakan penyakit yang tergolong dalam penyakit defisiensi
imun sekunder, yang untuk pertama kalinya dikenal dalam tahun 1980 di
Amerika Serikat. Sejak peristiwa itu jumlah penderita terus meningkat dan
melanda seluruh negara. Bahkan tidak terbatas di benua Amerika saja
melainkan telah meluas pula ke daratan Eropa, Inggris, Asia Selatan, Asia
Tengah, Cina, Jepang, dan Hongkong (Subowo, 2010). Berdasarkan data
WHO (2014), proporsi kasus HIV tertinggi berada di wilayah Sub-Sahara
Afrika yaitu 70% dari seluruh kasus baru di dunia (WHO, 2014).
Walaupun jumlah penderita di Afrika paling buruk, namun jumlah
orang terinfeksi oleh HIV meningkat di sebagian besar beberapa wilayah,
khususnya Eropa Timur, dan Asia Tengah. Di India dan Cina terjadi
peningkatan epidemik dengan prevalensi 1-2 % pada wanita hamil. Namun,
walaupun demikian terdapat perbedaan jumlah penderita laki-laki dan
perempuan di Amerika Serikat (Subowo, 2010).
Di Indonesia, lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di
Indonesia memiliki jumlah kasus HIV>440, meliputi seluruh provinsi di
Pulau Papua dan Pulau Jawa Bali serta berbagai provinsi di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah kasus HIV pada kelompok tersebut
Provinsi dengan jumlah HIV tertinggi adalah DKI Jakarta, Papua dan Jawa
Timur (Kemenkes RI, 2014).
Sedangkan, penambahan kasus baru pada tahun 2011 menyebabkan
peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara keseluruhan di Sumatera Utara.
Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV/AIDS meningkat tajam dari tahun
sebelumnya, dengan rasio peningkatan hampir 6/5 kali lipat kasus HIV dan
7/5 kasus AIDS. Kasus baru HIV/AIDS tertinggi di 5 Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara tahun 2012 secara berturut-turut adalah kota Medan yaitu
506 kasus atau sekitar 34,56%, Kabupaten Karo 347 kasus (23,70%),
Kabupaten Deli Serdang sebanyak 172 kasus (11,75%) dan Kota
Pematangsiantar sebanyak 85 kasus (5,8%) dari total seluruh penderita baru
(Dinkes Sumut, 2012).
2.6.2 Determinan HIV/AIDS a. Faktor Host
Kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi
tertular HIV adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas atau
mereka yang sering berganti-ganti pasangan seks, yaitu pelacur dan
pelanggannya, homoseksual/biseksual, waria, pengguna NAPZA suntik,
wanita pekerja di panti pijat/klab malam /diskotik, penerima transfusi
darah/produk darah berulang dan anak yang lahir dari ibu pengidap HIV.
Distribusi penderita AIDS di negara-negara barat menunjukkan kelompok
homo/biseksual merupakan penderita terbesar, diikuti oleh kelompok
pengguna obat narkotika suntik. Di Afrika, AIDS banyak terjadi pada
kelompok ini cenderung meningkat sejajar dengan makin banyaknya
‗reservoir’ HIV di masyarakat seperti pada kelompok biseksual, IDU, dan
pelacur (Irianto, 2014).
Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2004), rasio kasus
AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 1,9:1. Proporsi penularan
HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual sebesar 78,0%, Penasun 9,3%,
homoseksual 4,3%, perinatal 2,6%, transfusi darah 0,5% dan tidak diketahui
penularannya 4,0% (Depkes RI, 2004).
Di Sumatera Utara, menurut Laporaan Program P2P Dinkes Provsu
tahun 2012, penderita terbanyak adalah laki-laki dibandingkan perempuan,
dengan rasio kasus 3:1. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan
heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik 26%. Presentasi penularan dari
ibu ke bayi (perinatal) meningkat dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,6%
pada tahun 2012 (Dinkes Sumut, 2012).
b. Faktor Agent
Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang
sel CD4. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu
sel-sel efektor imun yang lainnya, serta daya tahan tubuh menurun sehingga
orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan
jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada
dalam tubuh.
Berdasarkan data surveilans di Amerika Serikat dan Eropa Barat,
angka kematian (cummulative case fatality rate) penderita AIDS yang
memenuhi kriteria CDC/WHO kira-kira 50%. Ini berarti bahwa dari semua
penderita AIDS yang dilaporkan di Amerika Serikat dan Eropa Barat 50%
diantaranya telah meninggal. Untuk penderita AIDS yang sudah didiagnosa 3
tahun sebelumnya menunjukkan CFR 75% dan CFR yang sudah menderita
AIDS selama 5 tahun adalah 100% (Irianto, 2014).
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan fisik, kimia, biologis berpengaruh terhadap HIV. HIV
tidak tahan hidup lama di lingkungan luar seperti panas, zat kimia
(desinfektan), dan sebagainya. Oleh karena itu, HIV relatif tidak mudah
ditularkan dari satu orang ke orang lain jika tidak melalui cairan tubuh
penderita yang masuk ke dalam tubuh orang lain (Irianto, 2014).
Faktor ekonomi, lingkungan, sosial budaya dan norma-norma dalam
masyarakat (agama, kepercayaan, kebiasaan) dapat mempengaruhi perilaku
kelompok individu, baik perilaku seksual maupun perilaku yang berhubungan
dengan kebiasaan tertentu. Bila lingkungan memberikan peluang pada
perilaku seksual yang “permisiveness” maka kelompok masyarakat yang
seksual aktif akan cenderung melakukan promiskuitas, sehingga akan
2.7 Pencegahan HIV/AIDS 2.7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap
sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan
primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan
pendekatan ―ABC‖ yaitu; Abstinence artinya absen seks ataupun tidak
melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui
hubungan seksual. Be Faithful yang artinya tidak berganti-ganti pasangan. Penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom).
Berhenti menjadi pengguna NAPZA terutama narkotika suntikan, atau
mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta
tidak menggunakannya secara bersama-sama (Kurniawati, 2011).
b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan
kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko
penularan HIV melalui darah. Keperawatan universal meliputi cuci
tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan
tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk
setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara
hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan
dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar (Kurniawati,
c. WHO mencanangkan empat straregi untuk mencegah penularan
vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan
sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV
/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil
dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya
dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi
ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah
melalui penggunaan antiretroviral selama kehamilan, penggunaan
antiretroviral selama persalinan dan bayi yang baru dilahirkan,
penanganan obstetrik selama persalinan, dan penatalaksanaan selama
menyusui. Persalinan sebaikanya dilakukan dengan metode sectio caesarea untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. (Kurniawati, 2011)
d. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan
dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ
yang akan didonorkan, serta menghindari tranfusi, suntikan, jahitan
dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. (Kurniawati, 2011)
Penggunana jarum suntik hanya sekali saja (disposable) atau jarum
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan kepada penderita yang sudah terinfeksi
virus HIV. Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara
progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat
berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat
maupun vaksin yang efektif. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam
tiga kelompok sebagai berikut :
a. Terapi antiretroviral (ARV),
ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau
menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat
memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi jarang
dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini,
tetapi ARV tidak dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh
HIV. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum
munculnya infeksi oportunistik yang pertama. Perkembangan penyakit akan
lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 <200/mm3. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4
kurang dari 200/mm3. Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan
stadium III dan IV harus memulai terapi ARV (Murtiastutik, 2008).
Keberhasilan terapi ARV sangat ditentukan oleh kepatuhan
(adherence) pasien. Kepatuhan yang dimaksud adalah ketaatan pasien terhadap
instruksi atau aturan minum obat, meliputi dosis, cara, waktu minum obat, dan
periode. Oleh karena itu, kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara
setidaknya 90-95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (Murtiastutik,
2008).
Sebelum memulai terapi, maka harus dimantapkan terlebih dahulu
mengenai pemahaman pasien tentang terapi ARV tersebut dengan segala
konsekuensinya. Rencana pengobatan harus dibuat secara rinci bersama pasien
untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur
dan terus menerus. Karena terapi ARV harus dilaksanakan seumur hidupnya
(Murtiastutik, 2008).
b. Pengobatan suportif,
Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri dari pemberian makanan yang mempunyai gizi yang
lebih baik serta pengobatan pendukung lainnya, serta juga tidur yang cukup
dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban, 2010).
c. Pengobatan infeksi oportunistik
Merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan
kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks (Djoerban,
2010).
Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa
(Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur
(Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalovirus/CMV, Papovirus) dan bakteri
dll). Penanganan terhadap infeksi oportunistik ini disesuaikan dengan jenis
mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus (Levinson, 2006).
2.7.3 Pencegahan Tersier
Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat
membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat.
Selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi
keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar
penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula.
2.8 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang karakteristik penderita
HIV/AIDS di RSUD Dr. Jasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014
adalah sebagi berikut:
KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS 1. Sosiodemografi:
Umur
Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan Pekerjaan
Status Pernikahan Daerah Tempat Tinggal 2. Transmisi Penularan 3. Jumlah CD4