BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan dengan tujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana, terkandung
makna bahwa negara berkewajiban dalam memberikan pelayanan kepada setiap
warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya atas barang publik,
jasa publik dan pelayanan administrasi.
Lahirnya UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
merupakan revisi dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
diharapkan dapat memberikan dampak secara nyata yang luas dan
bertanggungjawab dalam penyelenggaran pemerintahan yang efektif dan efisien
guna meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan adanya
pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat ke Daerah melalui kebijakan
desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan memungkinkan terjadinya
pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih mudah serta sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pada saat ini. Berlakunya otonomi daerah juga dapat memberikan
peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Menurut Kotler (Sinambela, 2006 : 4), pelayanan
adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan
dan menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk
Penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia pada saat ini dapat
dikategorikan “buruk”. Hal ini didasarkan oleh banyaknya keluhan dan pengaduan
masyarakat terkait pelayanan, yang seringkali kita dengar dan baca diberbagai
media cetak maupun media elektronik. Pelayanan yang terkesan berbelit-belit,
lambat, mahal, melelahkan, rawan akan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) serta
kemampuan aparatur yang minim merupakan deretan keluhan yang
mengambarkan pelayanan publik yang sangat memprihatinkan (Surjadi : 2009).
Upaya perbaikan pelayanan yang dilakukan pemerintah selama ini dinilai
cenderung berjalan ditempat, sementara disisi lain implikasinya sangatlah luas
mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dan lainnya. Dalam
kehidupan politik, buruknya pelayanan publik mendorong munculnya krisis
kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang teraktualisasi dalam bentuk dan
demonstrasi yang tak terkontrol. Oleh karena itulah, perbaikan sistem pelayanan
publik secara berkesinambungan dan terintegrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan sangat mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan pelayanan
yang efektif.
Sondang P Siagan (2001 : 24) mendefinisikan efektivitas sebagai
pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang
secara sadar ditetapakan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang dan
jasa atas kegiatan yang dijalankan. Efektivitas dalam hal ini menunjukan
keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil
kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya. Untuk
pendekatan, yaitu : Pendekatan sumber (resource approach), Pendekatan proses
(proses approach), dan Pendekatan sasaran (goals approach).
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dijelaskan
bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan
asas dan tujuan pelayanan. Adanya persamaan pelakuan, kecepatan, kemudahan
serta keterjangkau terhadap akses pelayanan yang diberikan merupakan salah satu
dambaan masyarakat saat ini (Pasal 18 UU Pelayanan Publik). Untuk
mewujudkan hal tersebut, berbagai kebijakan, keputusan dan sederetan formulasi
atau inovasi baru pun digulirkan dari berbagai instansi publik, salah satu Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia yang betugas dalam mengurusi
masalah pertanahan di Indonesia.
Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan tanah dengan manusia
menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, dalam hal ini bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah
diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya
tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap
memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan.
Tanah merupakan aset yang bernilai tinggi. Selain itu, tanah merupakan
kebutuhan vital bagi siapapun karena dapat dipergunakan dalam berbagai bidang,
baik pertanian, pemukiman, perdagangan, industri, maupun pertambangan.
Adanya pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya namun, tak dapat diiringi
dengan pertambahan luas tanah memungkinkan setiap orang berupaya untuk
memiliki dan menguasai tanah. Tak jarang, hal tersebut memicu munculnya
pertanahan di Indonesia telah terjadi secara turun temurun dan berdampak pada
timbulnya masalah sosial seperti yang terjadi di Kota Binjai.
Salah satu contoh konflik sosial dibidang pertanahan yang terjadi di kota
Binjai adalah konflik anatara masyarakat dengan eks HGU PTPN II di Kecamatan
Binjai Timur. Pada prinsipnya masalah sengketa tanah antara masyarakat Kota
Binjai dengan PTPN II sudah diselesaikan oleh panitia B Plus yang hasilnya
sudah ditetapkan berdasarkan SK Kepala BPN RI Nomor 42,43,44 yang telah
merekomendasikan pendistribusian Asset eks HGU PTPN II kepada masyarakat
yang berhak atas dasar penelitian panitia B Plus seluas kurang lebih 5.873,08 Ha
yang tersebar di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan
Kota Binjai.
Namun, keputusan yang telah ditetapkan oleh Kepala BPN RI tersebut
belum dapat ditindak lanjuti karena adanya ketentuan tentang izin pelepasan asset
oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini Menteri BUMN) yang sampai saat ini
belum ada dikeluarkan. Berlarut-larutnya izin pelepasan asset ini area Eks PTPN
II yang telah direkomendasikan kepada masyarakat belum dapat dikuasai oleh
masyarakat. Sehingga masyarakat yang beranggapan tidak pasti ini merasa tidak
sabar dan rela menyerahkan tanah yang sudah direkomendasikan tersebut kepada
pihak ketiga (PT Durahman) dengan menerima ganti rugi yang tidak sesuai. Pada
sisi lain, kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan rekomendasi dari panitia
B Plus pada waktu itu merasa tuntutannya punya dasar yang kuat sehingga mereka
tetap menguasai tanah-tanah eks HGU PTPN II yang tidak direkomendasikan
Kepemilikan hak atas tanah merupakan hal penting bagi seseorang yang
memiliki tanah. Kepemilikan hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan adanya
sertipikat tanah yang diurus di kantor Pertanahan. Sertipikat hak-hak atas tanah
berlaku sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat
1 Undang-undang pokok agrarian (UUPA) dinyatakan bahwa untuk menjamin
kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah dan diwajibkan
untuk mendaftarkan tanah yang ia miliki untuk memperoleh sertipikat tanah.
Sedangkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menjelaskan mengenai tujuan pendaftaran hak atas tanah yang
meliputi: 1) untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah, 2) untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak
yang berkepentingan, dan 3) terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Berdasarkan uraian diatas, maka sertipikat tanah memiliki kedudukan yang sangat
penting dan selain itu, sertipikat memilki nilai ekonomi yang tinggi apabila
dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan atas tanah.
Minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kepemilikan hak atas
tanah disebabkan berbagai faktor, diantaranya kondisi birokrasi yang
menyediakan pelayanan publik dalam bidang kepengurusan hak atas tanah yang
dinilai rumit dan berbelit-belit. Banyak masyarakat yang hanya menggunakan
surat lurah atau surat perjanjian jual beli sebagai dokumen kepemilikan hak atas
tanah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah melakukan
terobosan-terobosan baru sebagai langkah awal membantu masyarakat untuk memenuhi
PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset dan pada
hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi,
pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertipikat/tanda bukti hak atas tanah
dan diselenggarakan secara massal. PRONA dimulai sejak tahun 1981
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 89 Tahun 1981 tentang
Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara
PRONA bertugas memproses pensertipikatan tanah secara masal sebagai
perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan.
Kegiatan PRONA pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah
pertama kali. PRONA dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap
lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah dan menyeselaikan
secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Tujuan
PRONA adalah memberikan pelayanan pendaftaran pertama kali dengan proses
yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran
tanah diseluruh Indonesia dengan mengutamakan desa miskin/tertinggal, daerah
pertanian subur atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran kota atau
daerah miskin kota, daerah pengembangan ekonomi rakyat. (www.BPN.go.id)
Legalisasi Aset PRONA merupakan salah satu wujud upaya pemerintah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan ekonomi lemah
sampai dengan menengah. Biaya pengelolaan penyelenggaraan PRONA,
seluruhnya dibebankan kepada rupiah murni di dalam APBN pada alokasi DIPA
BPN RI. Sedangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan alas hak/alat bukti
perolehan/penguasaan tanah, patok batas, materai dan BPHTB/PPh menjadi
Kepemilikan sertipikat tanah di Kota Binjai masih dapat dikategorikan
minim mengingat banyaknya masyarakat yang belum memiliki sertipikat hak atas
tanah. Masyarakat kota Binjai masih banyak yang menggunakan surat keterangan
dari camat ataupun lurah sebagai tanda bukti hak atas tanah mreka. Hal tersebut
yang menjadi masalah pertanahan di Kota Binjai, walaupun Program Legalisasi
Aset PRONA muncul dengan tujuan untuk memberikan pelayanan pendaftaran
tanah pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat, dan murah dalam
rangka percepatan pendaftaran tanah, namun tetap saja kesadaran yang masih
rendah dikalangan masyarakat menyulitkan pihak kantor Pertanahan kota Binjai
untuk menjalankan program tersebut. Pada tahun 2015, Kantor Pertanahan Kota
Binjai memiliki target operasi PRONA sebanyak 1000 bidang tanah. Dalam
merealisasikan kebijakan tersebut, maka Kantor Pertanahan Kota Binjai
membentuk Satgas (Satuan Tugas) yang khusus bertanggungjawab dalam
pelaksanaan program tersebut. Dikalangan masyarakat juga timbul keluhan akan
pelaksanaan program tersebut diantaranya masih banyaknya masyarakat yang
belum mengetahui tujuan maupun manfaat dari program Legalisasi aset PRONA
tahun 2015 di Kota Binjai.
Berdasarkan Uraian Latar Belakang Diatas, peneliti ingin melihat sejauh
mana peranan dari pemerintah khususnya Kantor Pertanahan Kota Binjai dalam
mengurusi sertipikasi tanah di kota Binjai. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: “Efektivitas Program Legalisasi Aset
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Diatas, adapun yang menjadi rumusan
masalah didalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Efektifitas Program Legalisasi Aset PRONA Tahun
2015 Dalam Pelayanan Sertipikasi Tanah di Kota Binjai?
2. Bagaimanakah Pandangan Masyarakat tentang Program Legalisasi
Aset PRONA Tahun 2015 dalam Pelayanan Sertipikasi Tanah di Kota
Binjai?
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Efektifitas Program Legalisasi Aset PRONA Tahun
2015 Dalam Pelayanan Sertipikasi Tanah di Kota Binjai.
2. Untuk mengetahui Pandangan Masyarakat tentang Program Legalisasi
Aset PRONA Tahun 2015 dalam Pelayanan Sertipikasi Tanah di Kota
Binjai.
1.4.Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memecahkan masalah atau fenomena sosial
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Manfaat yang diambil dari penelitian
ini adalah:
1. Secara Subjektif
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan, pengetahuan serta kemampuan menulis
2. Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi
pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan
pelayanan publik melalui program Legalisasi Aset PRONA tahun 2015.
3. Secara Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah kemampuan berpikir
secara ilmiah dan memberikan kontribusi baik secara langsung maupun
tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara
FISIP USU.
1.5. Kerangka Teori
Secara umum, teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang
mengindikasikan adanya hubungan diantara konsep-konsep tersebut yang
membentu kita memahami sebuah fenomena. Sehingga bisa dikatakan bahwa
suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan
dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan
selanjutnya.
Menurut Karlinger (1973:1), teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstruk, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dalam penelitian
kerangka teori digunakan untuk memberikan landasan dasar yang berguna untuk
membantu penelitian dalam memecahkan masalah. Kerangka teori dimaksudkan
sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan, dengan demikian penulis dapat
mengambil teori-teori yang relevan dengan tujuan penelitian.
1.5.1. Manajemen Strategis
Efektivitas organisasi dalam melaksanakan suatu program akan
meningkat apabila dapat ditemukan cara mengenai apa yang dilakukan
organisasi dan mengapa. Manajemen strategis merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari proses pencapaian tujuan organisasi. Sehingga munculnya
teori manajemen strategis yang dapat menjadi solusi akan pentingnya
penyusunan suatu strategi dalam menjalankan suatu organisasi.
Menurut Fred R. David (2004) manajemen strategis adalah seni dan
pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai
objektifnya. Sedangkan menurut Bambang Hariadi (2003 : 3) manajemen
strategis adalah suatu proses yang dirancang secara sistematis oleh manajemen
untuk merumuskan strategi, menjalankan strategi dan mengevaluasi strategi
dalam rangka menyediakan nilai–nilai yang terbaik bagi seluruh pelanggan
untuk mewujudkan visi organisasi.
Menurut Pearch dan Robinson (1997) dikatakan bahwa manajemen
strategis adalah kumpulan dan tindakan yang menghasilkan perumusan
(formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) dan juga melihat dari hasilnya
(evaluasi) dari rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai
sasaran-sasaran organisasi. Pada prinsipnya, manajemen strategis terdiri atas tiga
1. Tahap Formulasi
Meliputi pembuatan misi, pengidentifikasian peluang dan tantangan
eksternal organisasi, penentuan kekuatan dan kelemahan internal,
pembuatan sasaran jangka panjang, pembuatan pilihan-pilihan strategi,
serta pengambilan keputusan strategi yang dipilih untuk diterapkan. Dalam
hal penyusunan strategi, Fred R. David membagi proses ke dalam tiga
tahapan aktivitas, yaitu: input stage, matching stage, dan decision stage.
2. Tahap Implementasi
Meliputi penentuan sasaran tahunan, pengelolaan kebijakan, pemotivasian
pegawai, pengalokasian sumber-sumber agar strategi yang diformulasikan
dapat dilaksanakan. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan kultur
yang mendukung strategi, penciptaan struktur organisasi yang efektif,
pengarahan usaha-usaha pemasaran, penyiapan anggaran, pengembangan
dan pemanfaatan sistem informasi, serta mengkaitkan kompensasi pegawai
dengan kinerja organisasi.
3. Tahap Evaluasi
Meliputi kegiatan mencermati apakah strategi berjalan dengan baik atau
tidak. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi prinsip bahwa strategi
perusahaan haruslah secara terus-menerus disesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang selalu terjadi di lingkungan eksternal maupun internal.
Tiga kegiatan utama pada tahap ini adalah: (a) menganalisa faktor-faktor
eksternal dan internal sebagai basis strategi yang sedang berjalan; (b)
Manajemen strategis tidak hanya digunakan pada sektor swasta tetapi
juga sudah diterapkan pada sektor publik. Penerapan manajemen strategis
pada kedua jenis institusi tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya pada
organisasi sektor publik tidak menekankan tujuan organisasi pada pencarian
laba tetapi lebih pada pelayanan. Menurut Anthony dan Young dalam Salusu
(2003) penekanan organisasi sektor publik dapat diklasifikasikan ke dalam 7
hal yaitu: (1) Tidak bermotif mencari keuntungan. (2) Adanya pertimbangan
khusus dalam pembebanan pajak. (3) Ada kecenderungan berorientasi semata
– mata pada pelayanan. (4) Banyak menghadapi kendala yang besar pada
tujuan dan strategi. (5) Kurang banyak menggantungkan diri pada kliennya
untuk mendapatkan bantuan keuangan (6) Dominasi profesional. (7) Pengaruh
politik biasanya memainkan peranan yang sangat penting. Seorang ahli
bernama Koteen menambahkan satu hal lagi yaitu less responsiveness
bureaucracy dimana menurutnya birokrasi dalam organisasi sektor publik
sangat lamban dan berbelit – belit. Sedangkan pada sektor swasta penekanan
utamanya pada pencarian keuntungan atau laba dan tentunya kelangsungan
hidup organisasi melalui strategi dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Bagian ilmu Manajemen Strategis senantiasa akan menyikapi pada
dinamika-dinamika yang terjadi baik itu dari lingkungan internal maupun
eksternalnya yang kemudian akan berlanjut dengan bagaimana cara berupaya
untuk menyesuaikan hingga pada akhirnya pada tujuan yang telah ditetapkan
itu dapat segera terlaksana atau direalisasikan dengan baik. Manajemen
Dengan demikian, manajemen strategis dapat dimanfaatkan secara
baik untuk lingkungan makronya misalnya di dalam manajemen pemerintahan
dan juga dapat dimanfaatkan pula untuk di lingkungan mikronya misalnya di
dalam manajemen perusahaan atau organisasi. Kebijakan makro yang harus
digunakan dan diperhatikan yaitu subyek dan objek dalam suatu manajemen
tersebut adalah yang berupa pelayanan kepada masyarakat yang bersifat
aggregate, sedangkan untuk ruang lingkup mikro maka perhatiannya pun
terhadap subyek dan obyek di suatu manajemen berupa individual rumah
tangga perusahaan atau para pelanggan yang memakai hasil produksi.
Disamping itu mengenai prinsip kerja untuk manajemen strategis
makro kemungkinannya perhatian mengarah pada efektivitas, sedangkan pada
manajemen strategis yang rangkumannya secara mikro maka harus sesuai
kepada prinsip kerja efisiensinya. Dari berbagai uraian diatas telah dijelaskan
bahwa manajemen strategis yang bersifat makro meliputi sektor pemerintah
dimana indikator keberhasilannya diukur dengan pelayanan kepada
masyarakat dan lebih memberikan perhatian yang mengarah kepada
efektivitas suatu organisasi instansi pemerintahan.
1.5.2.Efektivitas
1.5.2.1. Pengertian Efektivitas
Keberhasilan suatu organisasi dapat dilihat dari tata cara
pengelolaan organisasi yang efektif atau tidak. Kata efektivitas pada
dasarnya berasal dari kata “efek” dan digunakan dalam hubungan sebab
akibat. Efektifitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain.
dapat tercapai. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, efektif
didefinisikan sebagai berikut berhasil guna (tentang usaha tindakan), dapat
membawa hasil, manjur atau mujarab (tentang obat), ada efeknya
(akibatnya, pengaruhnya, kesan).
Stoner dalam Tjatjuk Siswandoko (2011 :196) juga menjelaskan
bahwa Efektivitas adalah konsep yang luas mencakup berbagai faktor
didalam maupun diluar organisasi, yang berhubungan dengan tingkat
keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran
organisasi. Sedangkan menurut Sondang P Siagan (2001 : 24)
mendefinisikan : Efektivitas sebagai pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapakan sebelumnya
untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa atas kegiatan yang
dijalankan. Efektivitas dalam hal ini menunjukan keberhasilan dari segi
tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan
semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya.
James L. Gibson dkk dalam Pasolong (2007 : 3) mendefinisikan
Efektivitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat
pencapaian sasaran menunjukan derajat efektivitas. Sedangkan menurut
Keban (2004 :140), mengatakan bahwa suatu oranganisasi dapat dikatakan
efektif apabila tujuan organisasi atau nilai-nilai sebagaimana ditetapkan
dalam visi tercapai. Nilai-nilai yang disepakati bersama antara para
stakeholders dari oraganisasi yang bersangkutan.
Dari pengertian-pengertian efektivitas yang dikemukakan diatas
tujuan dengan menggunakan waktu sesuai dengan apa yang direncanakan
sebelumnya tanpa mengabaikan mutu. Efektivitas menjadi sebuah konsep
yang penting dalam suatu organisasi karena efektivitas memberikan
gambaran mengenai keberhasilan organisasi untuk mencapai sasarannya.
Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi
efektivitasnya.
1.5.2.2.Pendekatan Efektivitas
Tingkat efektivitas dalam suatu organisasi dapat diukur dengan
membandingkan antara rencana atau target yang telah ditentukan dengan
hasil yang dicapai, maka usaha atau hasil pekerjaan tersebut itulah yang
dikatakan efektif. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan
tidak tercapai sesuai dengan apa yang direncanakan maka hal itu dikatakan
tidak efektif.
Hari Lubis dan Martani Huseini (1987:55), menyatakan efektifitas
sebagai konsep yang sangat penting dalam organisasi karena menjadi
ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Karenanya,
pengukuran efektifitas bukanlah hal yang sederhana mengingat perbedaan
tujuan masing-masing organisasi dan keragaman tujuan organisasi itu
sendiri.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat efektivitas organisasi dalam melaksanakan suatu program maupun
strategi. Lebih lanjut, Hari Lubis dan Martani Huseini (1987:55),
menyebutkan ada tiga pendekatan utama dalam pengukuran efektivitas,
1. Pendekatan sumber (resource approach)
Pendekatan sumber yaitu mengukur efektivitas dari input.
Pendekatan ini mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk
memperoleh sumber daya baik fisik maupun non fisik yang sesuai
dengan kebutuhan organisasi. Pendekatan ini didasarkan pada teori
mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya
karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dengan
lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang
merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga
dilemparkan pada lingkungannya.
2. Pendekatan proses (proses approach)
Pendekatan proses adalah untuk melihat sejauh mana
efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal
atau mekanisme organisasi. Pendekatan proses mengukur efektivitas
dengan efisiensi dan kondisi kesehatan dari suatu lembaga internal.
Pada lembaga yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar
dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi.
Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan
memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga.
3. Pendekatan sasaran (goals approach)
Pada pendekatan sasaran dimana pusat perhatain pada output,
mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang
mana suatu lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak
dicapai. Sasaran yang diperhatikan dalam pengukuran efektivitas
dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan
hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi official goal.
Sondang P. Siagian (2001 : 76) mengemukakan bahwa efektivitas
suatu organisasi dapat diukur dari berbagai hal, yaitu kejelasan tujuan,
kejelasan strategi, pencapaian tujuan, proses analisa dan perumusan
kebijakan yang mantap, tersedianya sarana dan prasarana yang efektif dan
efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik.
Ada beberapa faktor yang dapat digunakan untuk mengukur
efektivitas kerja dari organisasi dalam memberikan pelayanan, antara lain :
1. Faktor waktu
Ketepatan waktu dan kecepatan waktu dari pelayanan yang diberikan
oleh pemberi layanan. Hanya saja pengunaan ukuran tentang tepat
tidaknya atau cepat tidaknya pelayanan yang diberikan berbeda dari
satu orang ke orang lain.
2. Faktor kecermatan
Faktor kecermatan disini adalah faktor ketelitian dari pemberi
pelayanan kepada pelanggan. Pelanggan akan cenderung memberikan
nilai yang tidak terlalu tinggi kepada pemberi layanan apabila terjadi
banyak kesalahan.
3. Faktor gaya pemberian layanan
Faktor ini melihat cara dan kebiasaan pemberi layanan dalam
1.5.3.Pelayanan Publik
1.5.3.1. Pengertian Pelayanan
Pelayanan merupakan salah satu kegiatan dalam proses
administrasi. Pada dasarnya, pelayanan dapat didefinisikan sebagai
aktivitas seseorang, sekelompok orang atau organisasi baik langsung
maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan pelayanan sebagai perihal cara
melayani, servis/jasa cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan
melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau minuman,
menyediakan keperluan orang, menerima atau menggunakan.
Davidow dalam Waluyo (2007 : 127) menyebutkan bahwa
pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk
akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan. Menurut Kotler
dalam Sinambela (2006 : 4), mendefinisikan Pelayanan adalah setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan
menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk
secara fisik.
Menurut pendapat Monir dalam Pasolong (2007 : 128) Pelayanan
adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara
langsung. Sedangkan Sampara Lukman dalam Sinambela (2006 : 5)
berpandangan bahwa pelayanan sebagai suatu kegiatan atau urutan
kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan
Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas
birokrat terhadap masyarakat.
1.5.3.2. Pengertian Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan kegiatan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang bertujuan untuk mempermudah
masyarakat dalam menjalankan proses administrasi. Pengertian pelayanan
publik menurut Sinambela (2005 : 5) adalah setiap yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik.
Pelayanan publik menurut Agung Kurniawan dalam Pasolong (2007 : 128)
adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan.
Didalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Menurut Robert (1996:30), Pelayanan publik adalah segala bentuk
kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
dalam bentuk barang atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
ketertiban-ketertiban. Menurut Joko Widodo (2001:131), Pelayanan publik adalah
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapakan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik
adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah pusat atau daerah dan lingkungan badan usaha milik
negara atau daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapakan. Pelayanan Publik uga dapat
dikatakan sebagai suatu fungsi aparat Negara sebagai pelayan masyarakat
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dengan
sebaik-baiknya. Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak
masyarakat. Kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan
suatu hak, hak itu melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun
berkelompok (organisasi).
1.5.3.3. Asas dan Tujuan Pelayanan Publik
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi
masyarakat, maka penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas
pelayanan berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang
1. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan.
2. Kepastian hukum, yaitu jaminan terwujudnya hak dan kewajiban
dalam penyelenggaraan pelayanan.
3. Kesamaan hak, yaitu pemberian pelayanan tidak membedakan suku,
ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemenuhan hak harus
sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh
pemberi maupun penerima pelayanan.
5. Profesional , yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi
yang sesuai dengan bidang tugas.
6. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat.
7. Persamaan perlakuan atau tidak bersikap diskriminatif kepada warga
negara yang ingin memperoleh pelayanan yang adil.
8. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang
diinginkan.
9. Akuntabilitas, yaitu proses penyelengaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10.Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan daam
11.Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan
tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12.Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan, yaitu jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah dan terjangkau.
Pada dasarnya, tujuan pelayanan publik adalah memuaskan
masyarakat. Untuk mencapai kepuasaan itu dituntut kualitas pelayanan
prima yang dimuat dalam Keputusan MENPAN nomor 58 tahun 2002
tentang pedoman pelaksanaan penilaian dan penghargaan citra pelayanan
prima sebagai unit pelayanan percontohan sesungguhnya, yang terdiri atas:
1. Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat
diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
3. Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang
pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi
dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status
sosial dan lain-lain
6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
1.5.3.4. Karakteristik Pelayanan Publik
Menurut Zethaml & Haywood Farmer dalam Pasolong (2007 :
133), ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu :
1. Intangibility
Pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil
pengalaman bukan objeknya. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung,
diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas.
Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites
kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.
2. Heterogenity
Pemakai jasa atau klien atau pelanggan memilki kebutuhan yang
sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin
mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula performance sering
bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke
waktu.
3. Inseparability
Produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan
Konsekuensinya didalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa
kedalam produksi disektor pabrik kemudian disampaikan kepada
pelanggan. Kualitas terjadi selama interkasi antara klien/pelanggan dengan
penyedia jasa.
Selain itu, MENPAN juga membuat tujuh dimensi yang dapat
dijadikan dasar untuk mengukur kinerja pelayanan publik instansi
Keputusan MENPAN nomor 58 tahun 2002 tentang pedoman pelaksanaan
penilaian dan penghargaan citra pelayanan prima sebagai unit pelayanan
percontohan sesungguhnya, yaitu :
1. Kesederhanaan prosedur pelayanan, mencakup kemudahan/kesulitan
pelayanan dan persyaratan pelayanan
2. Keterbukaan informasi pelayanan, mencakup informsi tentang
prosedur, persyaratan dan biaya. Apakah jelas dapat diketahui
masyarakat.
3. Kepastian pelaksanaan pelayanan, mencakup ketepatan waktu
penyelesaian dan keseuaian biaya yang dibayar dengan tarif resmi
4. Mutu produk layanan, mencakup kualitas pelayanan meliputi cara
kerja, dan hasil.
5. Tingkat profesional petugas, mencakup keterampilan kerja, sikap,
perilaku dan disiplin pegawai
6. Tertib pengelolaan administrasi dan manajemen, mencakup kegiatan
pencatatan, pengelolaan, pembagian tugas.
7. Sarana dan prasarana, mencakup keberadaan dan fungsi dari fasilitas
yang tersedia.
1.5.3.5.Jenis-jenis Pelayanan Publik
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
(MENPAN) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Indeks Kepuasan Masayarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah,
1. Pelayanan administratif
Pelayanan administrastif merupakan jenis pelayanan yang
menghasilkan sebagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh
publik, misanya status kewarganegaraan, sertifikat kompentensi,
kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya.
Dokumen-dokumen ini antara lain kartu tanda penduduk (KTP), akte
pernikahan, akte kelahiran, akte kematian, Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (STNK).
2. Pelayanan Barang
Pelayanan barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan
telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.
3. Pelayanan jasa
Sedangkan pelayanan jasa adalah pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk jasa yang di butuhkan oleh publik, misalnya
pendidikan, pemeliharaan kesehatan pelayanan transportasi dan
sebagainya.
Ketiga jenis pelayanan tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau
masyarakat (publik). Artinya, kinerja pelayanan publik instansi pemerintah
harus berorientasikan kepada publik sehingga dapat mengubah paradigma
aparatur dari “dilayani” menjadi “melayani”. Hakikat pelayanan publik
adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan
karena itu, pengembangan kinerja pelayanan publik senantiasa
menyangkut tiga unsur pokok, yaitu : unsur kelembagaan penyelenggara
pelayanan, proses pelayanan serta sumber daya manusia pemberi layanan
(Surjadi, 2009 : 9).
1.5.4. Hak Atas Tanah
1.5.4.1. Pengertian Hak atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah sebagaimana ditetapkan pasal
16 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), khususnya hak atas tanah
primer (Orisinil) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh Negara
kepada subjek hak sehingga subjek hak atas tanah memiliki perlindungan
hukum dalam hal kepemilikan hak atas tanah.
Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Kata
“menggunakan” memiliki arti bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk
kepentingan bangunan (non-pertanian), sedangkan perkataan “mengambil
manfaat” mengandung arti bahwa hak atas tanah itu digunakan untuk
kepentingan bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan
pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas
tanah yang dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara
Indonesia maupun warga Negara asing, sekelompok orang secara
Menurut Soedikno Mertokusumo dalam Santoso (2005 : 87)
wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya
terbagi atas:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk mengunakan tanahnya termasuk juga
tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih tinggi
(Pasal 4 ayat (2) UUPA).
2. Wewenang Khusus
Wewenanag yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik
adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan
bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah
menggunakan tanah mendirikan dan mempunyai bangunan diatas
tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah hak guna usaha
adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan
dibidang pertanian, perikanan, peternakan, atau perkebunan.
Menurut Tehupeiory (2012 : 21) hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk
1. Hak atas tanah orisinil atau primer
Adalah hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa Indonesia dan
yang diberikan oleh Negara dengan cara memperolehnya melalui
permohonan hak. Hak atas tanah primer terdiri atas:
a. Hak milik
b. Hak guna bangunan
c. Hak guna usaha
d. Hak pakai
2. Hak atas tanah derivatif atau sekunder
Adalah hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada hak
bangsa Indonesia dan diberikan pemilik tanah dengan cara
memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah
dengan calo pemegang hak yang bersangkutan. Hak atas tanah
sekunder antara lain:
a. Hak guna bangunan
b. Hak pakai
c. Hak sewa
d. Hak usaha bagi hasil
e. Hak gadai
f. Hak menumpang
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah adalah hak yang
dimilki oleh seseorang untuk memanfaatkan dan mengelola tanah yang
1.5.4.2.Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Didalam Tehupeiory (2012 : 6-7) pendaftaran tanah merupakan
rangkaian kegiatan yang terdiri dari:
1. Pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik
bidang-bidang tanah tertentu.
2. Pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data yuridis
tertentu.
3. Penerbitan surat tanda bukti haknya.
4. Pencatatan perubahan-perubahan pada data fisik dan data yuridis yang
terjadi kemudian.
Kegiatan pendaftaran tanah yang akan menghasilkan tanda bukti
hak atas tanah yang disebut dengan sertipikat tanah, yang merupakan
realisasi salah satu tujuan Undang-undang pokok agraria (UUPA).
Kewajiban untuk melakukan pendaftaran itu, pada prinsipnya dibebankan
daerah demi daerah berdasarkan pertimbangan ketersediaan peta dasar
pendaftaran.
1.5.4.3.Tujuan Pendaftaran Tanah
Tujuan dari kegiatan pendaftaran hak atas tanah yang dimuat pada
pasal 19 ayat (1) UUPA adalah untuk menjamin kepastian hukum yang
bersifat recht cadaster. Recht cadaster artinya untuk kepentingan
pendaftaran tanah saja dan hanya untuk mempermasalahkan haknya apa
dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan
maupun jual beli. Hal ini dilakukan bertujuan bagi kepentingan pemegang
hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan bahwa dialah yang
berhak atas suatu bidang tanah tertentu, melalui pemberian sertifikat hak
atas tanah.
Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang pendaftaran tanah, tujuan pendaftaran hak atas tanah yang juga
meliputi:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana setiap
bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan penghapusan hak
atas tanah wajib daftar.
Apabila kita melihat pendaftaran tanah ditinjau dari tujuannya,
maka pendaftaran hak atas tanah dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Fiscal Cadastre, yaitu pendaftaran tanah dalam rangka pemungutan
pajak tanah. Contoh: Pajak Bumi atau Landrente, Verponding
Indonesia, Verponding EROPA, IPEDA, PBB.
2. Legal Cadastre atau Rechts Kadaster, yaitu pendaftaran tanah dalam
rangka menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah.
Contoh: sertifikat hak atas tanah.
1.5.4.4. Asas-Asas Pendaftaran Hak Atas Tanah
Menurut Tehupeiory (2012 : 9-11) Pendaftaran tanah dilaksanakan
dengan asas sederhana, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
1. Asas sederhana
Untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan
dengan teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat menjamin kepastian
hukum sesuai dengan tujuannya.
2. Asas Terjangkau
Dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengen memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah sehingga dapat memberikan pelayanan
3. Asas Mutakhir
Mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam
pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan data. Asas
mutakhir menuntut untuk dipeliharanya data pendaftaran tanah secara
terus-menerus dab berkesinambungan sehingga data yang tersimpan di
kantor pertanahan selalu up to date sesuai dengan kenyataan
dilapangan.
4. Asas Keterbukaan
Terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan
dalam hal penyelenggaraan pendaftaran tanah mengenai data yang
benar setiap saaat di Kantor Pertanahan.
Untuk menjamin dan memberikan kepastian dan perlindungan
hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
diberikan sertipikat hak atas tanah. Sementara itu, untuk melaksanakan
fungsi informasi data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis dari
bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, terbukak untuk umum sesuai
dengan asas keterbukaan.
1.5.4.5.Sertipikat Hak Atas Tanah
Secara etimologi sertipikat berasal dari bahasa Belanda
“certificat” yang artinya surat bukti atau surat keterangan yang
membuktikan tentang sesuatu. Salah satu kegiatan pendaftaran tanah
adalah pemberian tanda bukti hak. Tanda bukti yang diberikan kepada
pemegang hak atas tanah adalah sertipikat. Didalam Undang-Undang
kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah maka perlu dilakukan
kegiatan pendaftaran tanah oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah diatur.
Menurut Douglas J. Willem dalam Adrian Sutedi (2012 : 205),
pendaftaran tanah adalah pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas
hak-hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas
bagian-bagian tanah yang didaftarkan. Menurut PP No. 10 Tahun 1960
(Aartje Tehupeiory : 2012), sertipikat tanah adalah salinan buku tanah dan
surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan kertas sampul
yang bentuknya ditentukan oleh Menteri Agraria.
Sedangkan didalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah, sertipikat tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak atas
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak
tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa
sertipikat tanah terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang asli
dijahit menjadi sampul. Buku tanah yaitu dokumen dalam bentuk daftar
yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah
yang sudah ada haknya. Sedangkan surat ukur adalah dokumen yang
memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian.
Sertipikat tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang
dalam buku tanah. Data fisik (pemetaan ) meliputi letak tanah, batas-batas
tanah, luas tanah dan bangunan/tanaman yang ada diatasnya. Sedangkan
data yuridis berupa status tanah (jenis haknya), subjeknya, hak-hak pihak
ketiga yang membebaninya dan jika terjadi perisitiwa hukum atau
perbuatan hukum, wajib didaftarkan. Selanjutnya, sertipikat tanah hanya
diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah
sebagai pemegang hak atau kepada pihak yang diberikan kuasa oleh
pemegang hak. Sertipikat hak atas tanah memberikan berbagai manfaat,
misalnya dapat mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa dengan
pihak lain, memperkuat posisi tawar-menawar apabila hak atas tanah
diperlukan hak lain untuk kegiatan pembangunan, serta mempersingkat
proses peralihan dan pembebanan hak atas tanah.
1.5.4.6.Fungsi Sertipikat Hak Atas Tanah
Hasil dari rangkaian proses pendaftaran hak atas tanah adalah
sertifikat tanah. Sehingga sertifikat tanah tersebut memiliki fungsi tertentu.
Menurut Adrian Sutedi (2012 : 57), fungsi sertifikat tanah, yaitu :
1. Sertifikat tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA.
Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas
namanya tercantum dalam sertifikat itu. Semua keterangan yang
tercantum dalam sertipikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus
2. Sertipikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak
bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya.
Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang
pengusaha maka akan memudahkan baginya mengembangkan
usahanya karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh.
3. Bagi pemerintah, dengan adanya sertipikat hak atas tanah
membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada
Kantor Pertanahan. Ini tentu akan membantu dalam memperbaiki
administrasi pertanahan di Indonesia.
1.5.5. Program Legalisasi Aset PRONA 1.5.5.1. Pengertian Program
Pembahasan mengenai program tidak dapat dilepaskan dengan
aspek kebijakan. sebagai suatu instrumen yang dibuat oleh pemerintah,
kebijakan publik dapat berbentuk aturan-aturan umum dan atau khusus
baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang berisi pilihan-pilihan
tindakan yang merupakan keharusan, larangan atau kebolehan yang
dilakukan untuk mengatur seluruh warga masyarakat, pemerintah dan
dunia usaha dengan tujuan tertentu.
Menurut Jones (1984), program adalah cara yang disahkan untuk
mencapai tujuan. Dalam pengertian tersebut menggambarkan bahwa
program-program adalah penjabaran dari langkah-langkah dalam
mencapai tujuan itu sendiri. Dalam hal ini, program pemerintah berarti
ditetapkan. Program-program tersebut muncul dalam Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di
dalam setiap program dijelaskan mengenai:
1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.
2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.
3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.
4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.
5. Strategi pelaksanaan.
Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih
terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan. Hal ini sesuai
dengan pengertian program yang diuraikan. Program dapat dikatakan baik
apabila suatu program telah didasarkan pada model teoritis yang jelas,
yakni: sebelum menentukan masalah sosial yang ingin diatasi dan
memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran
yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa
yang menjadi solusi terbaik. (Jones, 1996:295).
1.5.5.2. Pengertian PRONA
PRONA (Program Nasional Agraria) adalah salah satu bentuk
kegiatan legalisasi asset dan pada hakekatnya merupakan proses
administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah
diselenggarakan secara massal. PRONA dimulai sejak tahun 1981
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981
tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut,
Penyelenggaran PRONA bertugas memproses pensertipikatan tanah secara
masal sebagai perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang
Pertanahan. Pada awalnya PRONA hanya ditujukan bagi golongan
ekonomi lemah tetapi kemudian berkembang secara melembaga dan
meluas.
Program PRONA pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran
tanah pertama kali. PRONA dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan
bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah
dan menyeselaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang
bersifat strategis. (Siregar, 2007 : 109-110).
1.5.5.3.Tugas PRONA
Didalam Keputusan Menteri dalam Negeri (MENDAGRI) No.189
tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria, dijelaskan bahwa
tugas dari PRONA antara lain:
1. Memproses pensertifikatan tanah secara masal sebagai perwujudan
daripada program Catur Tertib dibidang pertanahan yang
pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan pada
masyarakat yang berada di golongan ekonomi lemah.
2. Menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang
Tugas PRONA itu diharapkan dapat melaksanakan suatu program
pensertifikatan secara masal untuk memberikan jaminan kepastian hukum
bagi penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah sebagai bukti yang kuat
terutama dalam rangka meningkatkan maupun menunjang pelaksanaan
landreform di Indonesia disamping melaksanakan pemeriksaan dan
penelitian secara cermat terhadap kasus-kasus tanah sengketa yang
sifatnya strategis agar tercapai penyelesaiannya secara tuntas. Dengan
demikian, tugas PRONA tersebut ditingkat Provinsi hanya bersifat
koordinatif dan pengawasan, sedangkan ditingkat kabupaten dan kota
lebih bersifat operasional secara teknis dilapangan.
1.5.5.4.Tujuan PRONA
Tujuan PRONA secara umum adalah memberikan pelayanan
pendaftaran pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan
murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh indonesia
dengan mengutamakan desa miskin atau tertinggal, daerah pertanian subur
atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah
miskin kota, daerah pengembangan ekonomi rakyat. Tujuan pelaksanaan
PRONA, yaitu:
1. Untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang
pertanahan sebagai usaha untuk berpartisipasi dalam menciptakan
stabilitas sosial politik serta pembangunan nasional.
2. Untuk menyelesaikan sengketa tanah yang bersifat strategis agar dapat
3. Ditujukan kepada golongan ekonomi lemah agar para pemilik dapat
memperoleh jaminan kepastian hukum atas tanah yang mereka kuasai
sehingga dapat merasa lebih aman dalam menggunakan tanahnya.
1.5.5.5. Legalisasi Aset PRONA
Legalisasi asset adalah proses administrasi pertanahan yang
meliputi adjudikasi (pengumpulan data fisik, data yuridis, pengumuman
serta penetapan dan penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah),
pendaftaran hak atas tanah serta penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk melegalisasi (mensertipikasi) asset berupa tanah yang
belum memiliki sertipikat hak milik.
Kegiatan Legalisasi Asset PRONA merupakan kegiatan
pendaftaran tanah (sertipikasi tanah) yang dibiayai dari DIPA / APBN
dengan tujuan untuk percepatan pendaftaran tanah dan sasaran utamanya
adalah kelompok masyarakat menengah kebawah. Pembiayaan yang
ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini adalah Badan Pertanahan
Nasional RI yang meliputi biaya pendaftaran tanah, biaya pengukuran, dan
biaya pemeriksaan tanah.
1.6. Definisi Konsep
Menurut Singarimbun (1995:33), konsep adalah istilah dan definisi yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok
atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti
istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Konsep
sangat penting dalam penelitian karena dia menghubungkan dunia teori dan dunia
observasi, antara abstraksi dan realitas.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan yang jelas dari
masing-masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep
dari penelitian, yaitu:
1. Efektivitas adalah suatu penilaian terhadap tercapainya sasaran, target, tujuan
dengan menggunakan waktu sesuai dengan apa yang direncanakan
sebelumnya tanpa mengabaikan mutu.
2. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah dan lingkungan
badan usaha milik negara atau daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
3. Sertipikat hak atas tanah adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah
yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan,
yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu
bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditentukan oleh Menteri
Agraria.
4. Legalisasi Aset PRONA adalah kegiatan pendaftaran tanah (sertipikasi tanah)
untuk pertama kali, yang dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) yang bersumber dari APBN dengan tujuan untuk percepatan
pendaftaran tanah dan sasaran utamanya adalah kelompok masyarakat yang
1.7.Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan latar belakang yang mendasari munculnya
maslah dalam penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep serta
sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Pada Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum mengenai
karakteristik lokasi penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan
dokumentasi yang akan dianalisis, serta memuat deskripsi atau
interpretasi dari data yang akan disajikan pada bab sebelumnya.
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini memberikan pemaparan tentang data yang diperoleh dari
fakta yang terjadi yang selanjutnya di analisis menggunakan
teori-teori dan juga peraturan yang telah ada.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian