BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Umum
Balok merupakan komponen struktur jembatan yang penting. Balok pada jembatan ini berfungsi untuk memikul sekaligus menyalurkan beban dari lantai kendaraan ke kolom-kolom jembatan atau disebut dengan pier.
Balok jembatan yang sering kita jumpai dapat berupa baja ataupun beton bertulang. Balok dengan bahan baja umumnya dijumpai pada jembatan komposit yaitu balok baja yang digabungkan dengan slab beton di atasnya, sedangkan balok beton bertulang biasa banyak dijumpai pada jembatan dengan bentang pendek.
Balok beton bertulang biasa memiliki keterbatasan bila digunakan untuk bentang yang panjang. Balok dengan bentang yang panjang akan mengakibatkan beban yang lebih besar pula.Hal ini akan berpengaruh pada penampang balok beton yang lebih besar lagi, sehingga tidak efisien dalam memikul beban serta dalam biaya konstruksi.
Gambar 2.1 Retak pada Struktur Beton Bertulang [Budiadi, 2008]
Untuk meminimalisir keretakan yang terjadi akibat tarik tersebut, diberikan gaya eksentris dalam arah longitudinal elemen struktur tersebut. Gaya ini bekerja dengan mengurangi tegangan tarik yang terjadi pada daerah tumpuan dan daerah kritis pada saat beban bekerja. Akibat gaya ini hampir semua elemen beton memikul tekan pada saat semua beban rencana bekerja di struktur tersebut.
Gaya longitudinal di atas disebut gaya pratekan, yaitu gaya tekan yang mengakibatkan tegangan awal pada penampang di sepanjang bentang sebelum beban rencana bekerja.
Banyak buku yang menyebutkan nama yang berbeda sebagai penggagas pratekan ini, namun menurut Andri Budiadi (2008) system penegangan ini mulai digunakan pada tahun 1886 saat PH. Jackson dari Amerika Serikat membuat konstruksi pelat atap.
Atas gagasan inilah konsep gelagar beton bertulang konvensional berkembang pesat menjadi beton prategang. Dengan konsep ini penggunaan beton pada konstruksi jembatan tidak lagi hanya sebatas beton dengan gelagar pendek namun mampu menghasilkan jembatan beton dengan gelagar menengah hingga panjang.
Sehingga dapat kita simpulkan beton prategang adalah beton yang diberi tegangan awal sebelum beban bekerja untuk mengimbangi beban luar yang akan dipikulkan kepadanya, sehingga seluruh komponen beton dapat bekerja secara optimal. Yang dimaksudkan optimal yaitu keseluruhan beton menerima gaya tekan sehingga sifat alami beton bekerja optimal yaitu kuat terhadap tekan.
Menurut Manual Bina Marga,Perencanaan Struktur Beton Pratekan untuk Jembatan (2011), beberapa keuntungan digunakannya sistem beton pratekan adalah:
1. Terhindar dari retak terbuka di daerah tarik, sehingga dengan demikian beton pratekan lebih tahan terhadap penetrasi klorida
2. Lebih kedap air, sehingga air pada plat jembatan tidak mudah meresap. 3. Dapat diperoleh defleksi struktur yang lebih kecil sehingga terbetuknya
lawan lendut (chamber) dari konfigurasi layout kabel prategang sepanjang elemen.
4. Penampang struktur lebih kecil/langsing karena seluruh luas penampang dapat digunakan secara efektif.
6. Karena kabel prategang menggunakan mutu baja tinggi, sehingga kapasitas penampangnya jauh lebih besar daripada tulangan biasa dengan luas tulangan yang sama
2.2 Proses Pencetakan Beton
Salah satu butir pekerjaan pada proyek yaitu pencetakan beton. Beradasarkan tempat pencetakannya, balok girder dibedakan atas dua jenis:
1. Cast in Place
Pada metode ini beton dicetak langsung di lapangan. Metode ini membutuhkan waktu pelaksanaan konstruksi yang lebih lama, sebab beton yang dicetak harus ditunggu sampai umur rencana kemudian dapat mengerjakan kostruksi diatasnya. Namun metode ini sangat efisien untuk proyek dengan akses transportasi yang sulit.
2. Precast
Precast merupakan metode pencetakan beton yang dilakukan di pabrik. Pada metode ini, beton telah dikerjakan terlebih dahulu di pabrik meskipun pekerjaan di lapangan belum sampai pada tahap teresebut. Beton yang telah dicetak di pabrik akan dikirim ke lokasi proyek dengan menggunakan flat bed jika umur rencana sudah memenuhi.
Metode ini sangat baik diterapkan di lapangan sehingga dapat mengefisienkan waktu pelaksanaan konstruksi.Metode ini juga cocok untuk proyek dengan lahan yang sempit, dimana tidak tersedianya lahan untuk pencetakan balok di lapangan.Kekurangan dari metode ini tidak bisa dipakai jika akses menuju proyek tidak memadai. Hal ini akan menghambat pengiriman beton dari pabrik menuju proyek.
Gambar 2.4 Pencetakan Balok di Pabrik [Wika Beton]
2.3 Proses Penarikan Kabel (Stressing)
2.3.1 Pratarik
Metode ini biasanya dilakukan di pabrik. Pada metode ini kabel ditarik terlebih dahulu, kemudian beton dicor pada cetakan bersamaan dengan kabel tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai kekuatan rencana, maka kabel di potong. Pada saat baja mengalami kontraksi, maka beton akan tertekan. Metode ini tidak menggunakan duct, yaitu saluran kabel di dalam beton.Metode ini hanya bisa dilakukan untuk tendon yang lurus saja, dan tidak memungkinkan untuk tendon berbentuk kurva karena pengerjaan yang sulit.
a. Kabel di tarik dan diangkur
b. Beton dicorbersamaan dengan kabel dan dibiarkan mengeras
2.3.2 Pascatarik
Proses penarikan kabel metode ini biasanya dilakukan di lapangan. Penarikan dilakukan setelah beton mengeras. Dengan metode ini memungkinkan membentuk kabel menjadi kurva karena sebelum beton dicor, terlebih dahulu disediakan duct (saluran kabel). Dengan adanya duct ini kita dapat membentuk alur kabel nantinya setelah beton mengeras.
a. Kabel Dimasukkan ke Dalam Duct Setelah Beton Mengeras
b. Kabel Ditarik
d. Kabel Diangkur dan Di-grouting
Gambar 2.6 Metode Penarikan Kabel Pasca Tarik
2.4 Jenis Balok Girder
Berdasarkan bentuk tampang, girder beton jembatan secara umum dibedakan atas 3 jenis yaitu PCI girder, PCU girder, dan box girder.
2.4.1 PCI Girder
dalam satu bentang jembatan. Contoh struktur yang menggunakan PCI girder yaitu pada Jembatan Sudirman ini dan banyak konstruksi lainnya.
Gambar 2.7 Bentuk tampang balok girder PCI Girder
2.4.2 PCU Girder
PCU (Precast-Prestress Concrete U Girder) adalah balok girder yang memiliki bentuk tampang huruf U. Sama halnya seperti I girder, dalam satu bentang jembatan terdiri atas beberapa balok girder (balok segmental). Salah satu contoh penggunaan PCU girder ini adalah pada jembatan fly-over Amplas Medan. Jenis yang terakhir adalah box girder.
2.4.3 Box Girder
Box girder adalah jenis girder yang memiliki bentuk tampang box persegi. Contoh penggunaan box girder adalah pada jembatan fly-over Simpang Pos Medan.
Bentuk tampang tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.9 Bentuk tampang balok girderBox Girder [https://dukenmarga. wordpress.com/category/sipil/]
2.5 Peraturan Pembebanan
Sebelum melakukan perhitungan analisa struktur, hal yang terlebih dahulu dilakukan yaitu menganalisa beban-beban yang akan bekerja. Peraturan pembebanan yang tersedia sangatlah banyak, sehingga terkadang menyulitkan perencana untuk menentukan peraturan mana yang harus ia pakai. Peraturan-peraturan tersebut diantaranya AASHTO, PPPJJR 1987, BMS 1992, dan RSNI 2005. Pada tugas akhir ini saya menggunakan peraturan RSNI 2005 sebagai acuan dalam menganalisa beban-beban rencana.
Beban-beban rencana dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Beban mati
3. Beban kejut
2.5.1 Beban mati
Menurut RSNI 2005, beban mati adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Tabel 2.1 Berat Isi Untuk Beban Mati (kN/m3) No. Bahan Berat/ Satuan Isi
5 Kerikil dipadatkan 18,8-22,7 1920-2320
6 Aspal beton 22,0 2240
7 Beton ringan 12,25-19,6 1250-2000
8 Beton 22,0-25,0 2240-2560
9 Beton prategang 25,0-26,0 2560-2640
10 Beton bertulang 23,5-25,5 2400-2600
11 Timbal 111 11400
13 Batu pasangan 23,5 2400
14 Neoprin 11,3 1150
15 Pasir kering 15,7-17,2 1600-1760
16 Pasir basah 18,0-18,8 1840-1920
17 Lumpur lunak 17,2 1760
18 Baja 77,0 7850
19 Kayu (ringan) 7,8 800
20 Kayu (keras) 11,0 1120
21 Air murni 9,8 1000
22 Air garam 10,0 1025
23 Besi tempa 75,5 7680
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
Beban mati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu beban mati primer dan beban mati sekunder. Beban mati primer adalah beban yang berupa berat sendiri dari pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar jembatan. Sedangkan beban mati sekunder adalah beban-beban yang berupa berat kerb, trotoar, tiang sandaran, dan lain-lain yang dipasang setelah pelat dicor.
2.5.2 Beban hidup
Secara umum, yang menjadi penentu dalam perhitungan jembatan dengan
bentang sedang sampai panjang adalah beban “D”, sedangkan beban “T”
digunakan untuk bentang pendek.
2.5.2.1 Lajur lalu lintas rencana
Lajur lalu lintas rencana harus memiliki lebar 2,75 m. Jumlah maksimum lajur lalulintas untuk berbagai lebar jembatan dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas Rencana Tipe Jembatan (1) Lebar Jalur Kendaraan
(m) (2)
CATATAN (1) Untuk jembatan tipe lain, jumlah lajur lalu lintas rencana harus ditentukan oleh instansi yang berwenang.
CATATAN (2) Lebar jalur kendaraan adalah jarak minimum antara kerb atau rintangan untuk satu arah atau jarak antara kerb/rintangan/median untuk banyak arah.
karena hal ini akan memberikan kesan kepada pengemudi seolah-olah memungkinkan untuk menyiap.
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.5.2.2 Beban truk “T”
Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan
pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana (RSNI 2005). Dalam perencanaan hanya diterapkan satu truk tiap lajur rencana. Jarak antara dua as truk tersebut dapat diubah-ubah 4 sampai 9 meter agar diperoleh pembebanan maksimum pada arah memanjang jembatan. Besar pembebanan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.10 Pembebanan truk “T” (500 kN) [RSNI T-02-2005]
Tabel 2.3 Faktor Distribusi Untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis bangunan
atas Jembatan jalur tunggal Jembatan jalur majemuk Pelat lantai beton
(bila S>3,0 m lihat catatan 1)
S/4,0
(bila S>1,8 m lihat catatan 1) S/4,8
(bila S>3,7 m lihat catatan 1)
S/3,4
(bila S>4,3 m lihat catatan 1)
S/3,6
(bila S>3,0 m lihat catatan 1) S/4,2
(bila S>4,9 m lihat catatan 1)
Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2
(bila S>3,6 m lihat catatan 1)
S/2,4
S/3,0
(bila S>3,2 m lihat catatan 1) CATATAN 1 Dalam hal ini, beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban
roda dengan menganggap lantai antara gelagar ssebagai balok sederhana
CATATAN 2 Geser balok dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebabkan oleh S/factor ≥ 0,5
CATATAN 3 S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang
Kriteria pengambilan bentang efektif S adalah sebagai berikut:
a. Untuk pelat lantai yang bersatu dengan balok atau dinding (tanpa peninggian), S = bentang bersih
b. Untuk [pelat lantai yang didukung pada gelagar dari bahan berbeda atau tidak dicor menjadi kesatuan, S = bentang bersih+setengah lebar dudukan tumpuan.
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil pengaruh antara beban kendaraan yang bergerak dengan jembatan.Untuk pembebanan truk ditetapkan sebesar 30%. Harga ini dikhususkan untuk bangunan yang berada di atas permukaan tanah.
2.5.2.3 Beban lajur “D”
Beban lajur D merupakan beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Besarnya beban lajur bergantung pada besarnya lebar jalur kendaraan rencana.
Beban lajur D terdiri atas 2 jenis yaitu beban terbagi rata, dan beban garis.
a. Beban terbagi rata
Beban ini dilambangkan q kPa dengan intensitas beban bergantung pada panjang bentang total yang dibebani. Besarnya beban yaitu sebagai berikut:
L ≤ 30 m ; q = 9,0 kPa
L > 30 m ; q dapat dilihat pada grafik dibawah Dengan:
L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter)
Gambar 2.11 Beban “D”: beban terbagi rata vs panjang bentang yang dibebani [RSNI T-02-2005]
b. Beban garis
Beban ini dilambangkan p kN/m dengan arah yang tegak lurus terhadap arus lalu lintas pada jembatan. Besar beban garis yaitu 49 kN/m.
Faktor beban dinamik (FBD) untuk beban lajur garis “D” dapat dilihat dalam
gambar berikut
Sistem pembebanan beban terbagi rata dan beban garis dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.13 Beban lajur “D” [RSNI T-02-2005]
Penyebaran beban “D” harus diperhatikan dan memenuhi persyaratan
sebagaimana yang tertera pada RSNI T-02-2005 yaitu sebagai berikut:
1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka
beban “D” harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100%.
2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban”D” harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (n1) yang berdekatan (table 2.2) dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar n1x2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar n1 x 2,75 p kN,
kedua-duanya bekerja berupa strip pada jalur selebar n1 x 2,75 m.
3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan
dimana saja pada jalur jembatan. Beban “D” tambahan harus ditempatkan
Gambar 2.14 Penyebaran pembebanan arah melintang
2.6 Kombinasi Pembebanan
Kombinasi beban rencana dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok-kelompok yaitu:
a. Kombinasi dalam batas daya layan b. Kombinasi dalam batas ultimit
c. Kombinasi dalam perencanaan berdasarkan tegangan kerja
7.5 Hidro/Daya CATATAN (1) Simbol yang terlihat hanya untuk beban nominal, simbol unntuk
beban rencana menggunakan tanda bintang, untuk PMS = berat
sendiri nominal, P*MS= Berat sendiri rencana CATATAN (2) Trans = transien
CATATAN (3) Untuk penjelasan lihat pasal yang sesuai
CATATAN (4) “N/A” menandakan tidak dapat dipakai. Dalam hal dimana pengaruh beban transien adalah meningkatkan keamanan, faktor beban yang cocok adalah nol
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005) Tabel 2.5 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri
Jangka
Tabel 2.6 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan CATATAN (1) Faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(Sumber: RSNI Standar Pembebanan untuk Jembatan 2005)
2.7 Kabel prategang
2.7.1 Daerah aman kabel
Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan yang melebihi tegangan izinnya.
Untuk mendapatkan daerah aman kabel dilakukan langkah-langkah perhitungan berikut:
Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb)
Wa =
Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)
Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan)
K’a = max dari nilai
σσ atau σσ
Dimana σg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan =
K’b = min dari nilai
σσ atau σ σ
Dimana σgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel =
Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut
Eoa = k’a + Mmax/P Eob= k’b + MDL/Pi
Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar berikut
(a) Desain normal; (b) desain optimum (hanya ada satu solusi P dan eo); (c) Penampang tidak kuat (preliminary)
Gambar 2.16 Bentuk tipikal daerah aman kabel [Binamarga 2011]
2.7.2 Kehilangan gaya prategang
Kehilangan gaya prategang ada yang bersifat segera (short term) dan kehilangan yang bergantung waktu (long term).
2.7.2.1 Short term
2.7.2.1.1 Kehilangan akibat gesekan
yang semakin bertambah menurut jaraknya dari dongkrak ( Raju, N Krishna 1988).
Kehilangan tegangan akibat gesekan dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
f
0 =f
xe
(µα+KL)Dimana : f0 = tegangan baja prategang pada saat jacking sebelum seating
fx= tegangan baja prategang di titik x sepanjang tendon
e= nilai dasar logaritmik natural naverian
µ= koefisien friksi, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
α= perubahan sudut total dari profil layout kabel dalam radian dari
titik jacking
K= koefisien wobble, bila tidak disebutkan dalam spesifikasi material nilainya dapat dilihat pada tabel 2-1 koefisien friksi
L= panjang baja prategang diukur dari titik jacking Nilai-nilai koefisien µ
0,55 untuk baja yang bergerak pada beton yang licin
0,35 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di saluran 0,25 untuk baja yang bergerak pada baja yang dijepit di beton 0,25 untuk baja yang bergerak pada timah
0,15-0,25 untuk kabel tali kawat berlapis banyak dengan pelat-pelat pengatur jarak ke arah lateral
Saran ini disarankan atas pekerjaan eksperimental yang dilakukan oleh Guyondan Cooley
Nilai-nilai koefisien K
0,15 per 100 m untuk kondisi normal
1,5 per 100 m untuk saluran berdinding tipis dan di mana dijumpai getaran-getaran hebat dan dalam kondisi-kondisi yang merugikan lainnya (Raju, N Krishna 1988)
2.7.2.1.2 Kehilangan akibat slip pengangkuran
Apabila kabel pada sistem pratarik ditarik dan jack dilepas, maka angkur yang dipasang untuk menahan kawat-kawat akan mengalami slip pada jarak yang pendek sebelum kawat-kawat tersebut berada pada posisi yang kokoh. Akibat adanya slip angkur ini akan mengakibatkan kehilangan gaya prategang pada kabel.
Menurut Bina Marga (2011), besarnya slip angkur tergantung pada sistem prategang yang digunakan, nilainya bervariasi antara 3-10 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur ditentukan dengan rumus berikut:
Dimana ∆fa= Kehilangan prategang akibat slip angkur
d= kehilangan akibat friksi padda jarak L dari titik penarikan x= panjang yang terpengaruh akibat slip angkur
L= Jarak antara titik penarikan dengan titik dimana kehilangan diketahui
∆L= slip angkur, normalnya 6 mm sd. 9 mm
Gambar 2.17 Slip angkur
2.7.2.1.3 Kehilangan akibat pemendekan elastis
Ketika gaya prategang diaplikasikan ke tendon, maka tendon akan
mentransfer gaya tersebut ke beton yang menyelimutinya. Pentransferan gaya ini akan mengakibatkan pemendekan beton. Dengan adanya pemendekan beton tersebut maka akan terjadi kehilangan sebahagian gaya yang diaplikasikan ke balok tersebut.
Tegangan di level prategang:
Dimana: Pi : Gaya pratekan saat initial Acj : Luas beton saat jacking
exj : eksentrisitas kabel pada jarak x saat jacking rj : jari-jari girasi saat jacking
Mdj :Momen akibat beban mati saat jacking
Icj :Inersia beton saat jacking Kehilangan tegangan pada beton pra tarik
dimana: Eps : modulus elastisitas kabel
Eci : modulus elastisitas beton saat transfer
Kehilangan tegangan pada beton pasca tarik dengan penarikan secara tidak bersamaan per 1 tendon diperoleh
jumlah penarikan
∆
f
ES=
∑
2.7.2.2 Long term
2.7.2.2.1 Kehilangan akibat penyusutan
Beton yang tidak terendam air secara terus menerus (kelembaban 100%) akan mengalami pengurangan volume. Proses ini disebut penyusutan beton.
Menurut bina marga 021/BM/2011 besarnya susut yang terjadi pada beton dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:
Proporsi campuran
Jenis agregat
Rasio w/c
Jenis semen
Jenis dan waktu curing
Ukuran dan bentuk, atau rasio volume terhadap permukaan (V/S)
Kondisi lingkungan, kelembaban rata-rata di lokasi jembatan
Rumus umum kehilangan tegangan berdasarkan PCI (Prestressed Concrete Institute) yaitu:
(
)
Dimana: Ksh = konstanta yang bernilai 1 untuk pretension. Adapun untuk
post-tension nilainya diberikan pada tabel di bawah
Eps = Modulus elastisitas baja prategang (MPa)
Rh = Kelembaban relative (%)
Tabel 2.7 Tabel Ksh untuk pasca-tarik
t (hari) 1 3 5 7 10 20 30 60
Ksh 0.92 0.85 0.8 0.77 0.73 0.64 0.58 0.45
Catt: jumlah hari yang dimaksud adalah jumlah rentang hari antara akhir curing dan pengerjaan stressing
2.7.2.2.2 Kehilangan akibat rangkak
Jika beton dibebani secara konstan sehingga regangan beton meningkat, peristiwa ini disebut rangkak.
Menurut bina marga 021/BM/2011 regangan pada beton umumnya
disebabkan oleh 3 hal yaitu susut, rangkak, dan beban itu sendiri. Regangan akibat rangkak dan susut bergantung pada fungsi waktu (time-dependent), sedangkan regangan akibat beban disebut regangan seketika.
Perkiraan kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan rumus AASHTO (CL.5.9.5.4.3 AASHTO-2004) berikut:
∆fcr = 12 fcs–7 ∆fcdp≥ 0
Catt: fcs = tegangan beton di level pusat prategang
∆fcdp = perbedaan tegangan beton di level pusat pratekan akibat
beban permanen dengan pengecualian beban yang bekerja saat gaya pratekan diaplikasikan
2.7.2.2.3 Kehilangan akibat relaksasi baja
bergantung terhadap rasio fpi/fpy yakni tegangan awal initial dan tegangan leleh baja.
Perhitungan kehilangan tegangan akibat relaksasi baja dapat dihitung menggunakan rumus
Δfr = untuk baja stress-relieved
Δfr = untuk baja low-relaxation
Dimana: t2,t1= waktu akhir dan waktu awal interval (jam)
fpi= tegangan awal baja prategang (MPa)
Δfr = Kehilangan akibat relaksasi (MPa)
2.8. Tegangan dan lendutan
Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:
1. Tegangan pada saat kondisi awal
Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat sendiri balok pada saat transfer
2. Tegangan pada saat kondisi layan
Gambar 2.18 Diagram Tegangan pada Balok Beton Prategang
Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah sebagai berikut:
Kondisi awal:
̅̅̅̅
……….(1.7.3.1)
Kondisi Layan: akibat berat sendiri balok pada saat transfer.
Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan
Lendutan yang terjadi akibat bekerjanya beban – beban harus dikontrol. Lendutan yang terjadi tidak boleh melebihi lendutan izin yang disyaratkan pada
021/BM/2011 sebagai berikut.
Tabel 2.8 Tabel batasan defleksi berdasarkan BMS (l=panjang bentang) Jenis Elemen Defleksi yang
ditinjau
Defleksi maksimum yang diizinkan Beban kendaraan Beban kendaraan
+ pejalan kaki
2.9 Sistem Komposit
2.9.1 Pengertian
Konstruksi balok komposit adalah sebuah konstruksi yang bahan-bahannya terdiri dari dua jenis material yang berbeda sifatnya, yang disatukan sedemikian rupa, sehingga bekerja sama memikul beban, dimana sebelum menyatu salah satu dari kedua-dua bahan tadi mampu memikul beban tertentu.
Konstruksi komposit bias merupakan perpaduan antara baja dengan beton, kayu dengan beton, dan lain-lain. Kostruksi komposit dibuat sedemikian rupa dengan memanfaatkan keunggulan dari masing-masing bahan, dari kedua jenis bahan yang berbeda tadi, terutama dalam kemampuannya memikul gaya tarik dan gaya tekan. Hal ini dapat dijumpai pada baja dan beton.
2.9.2 Aksi Komposit
Gambar 2.19 Skema Aksi Komposit
Aksi komposit terjadi apabila dua batang/bagian struktur pemikul beban, misalnya konstruksi lantai beton dan balok profil baja, dihubungkan secara komposit menjadi satu, sehingga dapat melentur secara menyatu.
Aksi komposit dapat terjadi apabila anggapan-anggapan berikut ini dapat dipenuhi atau mendekati keadaan sebenarnya antara lain :
a. Lantai beton dengan balok profil baja dihubungkan dengan penghubung geser secara tepat pada seluruh batangnya.
b. Gaya geser pada penghubung geser adalah sebanding secara proporsional dengan beban pada penghubung geser.
d. Lantai beton dan balok baja tidak akan terpisah secara vertical di bagian maupun sepanjang batangan.
2.9.3 Pra Dimensi
Menurut peraturan AASHTO, tinggi balok gabungan :
Tinggi gelagar baja ( h ) + plat beton ( tb ) = L / 25 Tinggi gelagar baja ( h ) = L / 30
Dimana : L : panjang bentang dimuati
2.9.4 Lebar Efektif
Penentuan lebar efektif pelat beton berdasarkan nilai yang terkecil adalah :
B < L / 4
B < Jarak as – as gelagar baja
B < 12 x tb
2.9.5 Konstruksi Komposit
2.9.5.1 Tanpa Perancah
Perencanaan jembatan tanpa perancah (balok baja tidak ditopang) berarti :
Sebelum beton mengeras, berat sendiri ditahan (dipikul) oleh balok baja
saja.
Sesudah beton mengeras, berat sendiri tambahan dan beban hidup
Tegangan yang terjadi pada gabungan balok dengan anggapan bahwa beton sebelum dan sesudah pembebanan penuh masih dalam keadaan elastic, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Tegangan pada serat atas flens gelagar baja
̅
2. Tegangan pada serat bawah flens gelagar baja
̅
3. Tegangan pada serat atas pelat beton
̅
4. Tegangan pada serat bawah pelat beton
̅
2.9.5.2 Dengan Perancah
Apabila gelagar baja tersebut diberi tumpuan pembantu (perancah) pada saat pengecoran lantai beton sampai mongering sehingga kekuatannya mencapai 75% dari kekuatan seharusnya (tegangan karakteristik) baru tumpuan / perancah dibuka dimana berat sendiri struktur maupun beban bergerak (lalu-lintas) dan tambahan yang diperhitungkan dipikul sepenuhnya oleh gelagar komposit.
1. Tegangan pada serat atas flens gelagar baja
̅
2. Tegangan pada serat bawah flens gelagar baja
̅
3. Tegangan pada serat atas pelat beton
̅
4. Tegangan pada serat bawah pelat beton
̅
dimana :
Mbs = Momen akibat berat sendiri struktur yang meliputi : berat pelat beton, pembungkus flens, gelagar melintang (diafragma), trotoir, dll.
Mbg = Momen akibat beban bergerak (lalu-lintas) diatasnya.
Mbt = Momen akibat beban tambahan setelah pengecoran beton seperti : berat aspal, sandaran, pipa railing, dll.
Wa = Momen perlawanan (Resisten Momen) gelagar baja pada flens atas.
Wb = Momen perlawanan gelagar baja pada flens bawah.
Wac = Momen perlawanan gelagar komposit pada serat atas baja. Wbc = Momen perlawanan gelagar komposit pada serat bawah baja.
2.9.6 Shear Connector (Hubungan Geser)
Hubungan geser dan tulangan melintang harus diadakan sepanjang gelagar untuk menyalurkan gaya geser memanjang dan gaya pemisah antara lantai beton dan gelagar baja mengabaikan pengaruh ikatan antara keduanya. Hubungan geser harus direncanakan dengan cara kekuatan batas. Geser memanjang per satuan panjang gelagar komposit harus juga ditentukan dengan keadaan batas.
2.9.6.1 Perencanaan
Gaya geser total antara tempat Momen maksimum dan titik belok adalah harga terkecil (menurut AISC) dari :
(a)
(b)
dimana : f’c = kuat tekan beton
Ac = luas pelat beton yang sebenarnya As = luas profil baja
fy = tegangan leleh baja
Persamaan (a) menunjukkan kapasitas pelat beton (b) menunjukkan kapasitas profil baja 2 = menunjukkan factor keamanan
Banyaknya penghubung geser di satu sisi dari M max :
Berikut harga q menurut AISC :
Jenis AISC AASHTO
STUD
√ √
√
SPIRAL
√ √
CANAL
( ) √ ( ) √
Fungsi penghubung geser ini adalah untuk membuat plat lantai beton dan gelagar baja bekerja sama. Penghubung geser ini dipasang diatas pelat tepi atas gelagar baja dihubungkan dengan las atau paku keeling dimana sambungan las dan paku keeling tersebut sama dengan kekuatan penghubung geser itu sendiri (shear connector).
Penghubung geser yang biasa dipakai :
1. Paku : jarak minimum antar paku arah memanjang tidak boeh kurang dari 10 cm dan antara paku dalam arah lurus balok (gelagar) minimum (d+3) cm dengan d : diamneter paku. Penempatan paku pada sayap gelagar, jarak sisi sayap dengan paku maksimum 2,5 cm.
Kekuatan sebuah penghubung geser :
Qa = 5,5 d2√ untuk H / d 5,5
dimana :
d = diameter paku H = tinggi paku
= tegangan izin beton
2. Baja Kanal
Kekuatan : √
dimana : tf : tebal maksimum flens tw : tebal badan kanal l : panjang baja kanal
:
tegangan izin beton3. Batang angker diagonal
dimana : As = luas penampang angker
= tegangan tarik angker
2.9.6.2 Syarat
Garis berat shear connector minimum berada pada besi tulangan bawah
lantai beton.
Jarak maksimum shear connector jalur memanjang gelagar : 50 cm ( 3 x
tebal pelat lantai beton) dan jarak minimum : 10 cm.
Penempatan shear connector berdasarkan pada tren gaya lintang gelagar sehingga jarak shear connector kearah lapangan semakin besar.
Jarak penghubung geser berdasarkan analisa elastic diperoleh :
dimana : a : jarak penghubung geser
I : momen inersia gelagar komposit
K : gaya pikul shear connector dalam satu baris ( n x Q ) S : statis momen pelat beton
Dx : gaya lintang pada jarak x dari tepi
2.9.7 Lendutan
2.9.8 Teori LRFD
2.9.8.1 Komponen Memikul Lentur
Komponen struktur lentur direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi persamaan :
Фb.Mn > Mu 2.1
Dengan : Фb = 0,90
Mn = tahanan momen nominal
Mu = momen lentur akibat beben terfaktor
Kondisi batas yang diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal sebuah balok adalah :
1. kelelehan penampang 2. tekuk
a. Lokal (sayap dan badan) b. tekuk lateral torsi
Bahaya tekuk lokal pada balok yang menerima lentur terjadi di bagian pelat penampanf yang menerima tekan. Batas maksimum rasio lebar tebal pelat badan maupun pelat sayap akan lebih besar dibandingkan rasio untuk batang tekan. Batasan kelangsingan penampang baja WF adalah sebagai berikut :
1. Pelat sayap
Penampang balok lentur sebagai fungsi parameter kelangsingan :
Mn = Mp = Zx.fy 2.4
Dimana : Zx = modulus penampang plastis (mm3)
fy = tegangan leleh penampang (MPa)
2. Penampang tak kompak ( )
Mn = Mr = Sx.(fy - fr) 2.5
Dimana : fy = tegangan leleh
fr = tegangan sisa
Sx = modulus penampang elastis
Besarnya tegangan sisa fr =70 MPa untuk penampang gilas panas, dan 115 MPa
untuk penampang dilas. Bagi penampang tak kompak yang mempunyai , maka besarnya tahanan nominal,
Mn =
2.6
3. Penampang langsing ( )
Mn = Mr 2.7
Kondisi batas tekuk torsi ditinjau dengan membagi jenis balok menurut panjang bentang yang tak terkekang secara lateral L. Pemasangan penopang lateral dengan jarak Lyang semakin pendek akan meningkatkan nilai Mn. pada
Gambar 2.20 Kondisi batas tekuk lentur torsi pada balok lentur
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Untuk penampang baja WF dan kanal ganda, nilai batas Lp dan Lr adalah sebagai
berikut :
Lp = 1,76 ry√ 2.8
Lr = ( ) √ √ ( ) 2.9
Dimana :
ry = jari-jari girasi penampang = √
Iy = momen inersia penampang
E = modulus elastisitas penampang fy = tegangan leleh penampang
fr = tegangan sisa penampang
X1 = √ 2.10
G = modulus geser bahan = 80000 MPa
J = momen inersia polar atau konstanta puntir torsi = ∑
b = panjang bagian penampang t = tebal penampang
X2 = 2.11
Cw = momen inersia pilin (warping) atau konstanta puntir
lengkung
Cw = dan h adalah jarak antar titik berat pelat sayap.
Kuat lentur nominal balok baja, Mn ditentukan oleh beberapa kondisi batas, yaitu :
a. Kondisi leleh penuh (L ≤ Lp)
Mn = Mp = Zx.fy 2.12
b. Kondisi tekuk torsi lateral inelastik (Lp < L< Lr)
Mn = ( ) 2.13
Dimana :
Cb = faktor pengali momen lentur nominal
Cb =
2.14
Mmax = momen maksimum pada bentang yang ditinjau
MA = momen pada ¼ bentang tak terkekang
MB = momen pada tengah bentang tak terkekang
MC = momen pada ¾ bentang tak terkekang
c. Kondisi tekuk torsi lateral elastik (L ≥ Lr)
2.9.8.2 Komponen Memikul Geser
Pelat badan sebuah balok baja yang memikul gaya geser terfaktor, Vu
harus direncanakan sedemikian rupa sehingga selalu terpenuhi hubungan :
Vu≤ Фv.Vn 2.16
Dimana :
Фv = faktor reduksi kuat geser, diambil 0,9
Vn = kuat geser nominal, dianggap disumbangkan hanya oleh badan.
Kuat geser nominal balok baja, Vn untuk profil WF dan C ganda kompak ( )
ditentukan oleh kondisi batas leleh atau tekuk pada pelat badan. a. leleh pada pelat badan (Plastik sempurna)
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.17
Maka kuat geser nominal dengan leleh pada pelat badan dihitung sebagai berikut :
V
n = 0,6.f
yw.A
w 2.18Dengan :
kn =
a = Jarak antar pengaku lateral pada penampang fy = tegangan leleh pelat badan
Aw = luas kotor pelat badan
b. tekuk inelastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
Maka kuat geser nominal dengan tekuk inelastik pada pelat badan dihitung
c. tekuk elastik pada pelat badan
jika kelangsingan pelat badan memenuhi hubungan
√
2.21Maka kuat geser nominal dengan tekuk elastik pada pelat badan dihitung sebagai berikut :
2.22
2.9.8.3 Kuat lentur nominal
Kuat lentur nominal dari suatu komponen struktur komposit (untuk momen positif)
a. Untuk
≤
√ 2.27
Mn Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan distribusi
tegangan plastis
Фb = 0,85
b. Untuk
2.28
Mn Kuat momen nominal yang dihitung berdasarkan superposisi
tegangan-tegangan elastis yang memperhitungkan pengaruh tumpuan sementara (perancah)
(a) (b) (c) Gambar 2.21 Kuat lentur nominal berdasarkan distribusi tegangan plastis
(Sumber :Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, Agus Setiwan)
Kuat lentur nominal yang dihitung berdasarkan distribusi tegangan plastis, dapat dikategorikan menjadi dua kasus sebagai berikut :
1. Sumbu netral plastis jatuh pada pelat beton
Dengan mengacu pada gambar 2.21, maka besar gaya tekan C adalah :
C = 0,85 . f’c. α . bE 2.29
Gaya tarik T pada profil baja adalah sebesar :
T = As . fy 2.30
Dari keseimbangan gaya C = T, maka diperoleh :
α = 2.31
Kuat lentur nominal dapat dihitung dari gambar 2.9.a :
Mn = C . d1 2.32
Atau = T . d1 = As . fy . 2.33
Jika dari hasil perhitungan persamaan 2.9 ternyata a > ts, maka asumsi harus
2. Sumbu netral plastis jatuh pada profil baja
Apabila ke dalam balok tegangan beton, α, ternyata melebihi tebal pelat
beton, maka distribusi tegangan dapat ditunjukkan seperti pada gambar 2.9.c. gaya tekan, Cc, yang bekerja pada beton adalah sebesar :
Cc= 0,85 . f’c . bE . ts 2.34
Dari keseimbangan gaya, diperoleh hubungan :
T’ = Cc + Cs 2.35
Besar T’ sekarang lebih kecil daripada As . fy, yaitu :
T’ = As . fy - Cs 2.36
Dengan menyamakan persamaan 2.13 dan 2.14 diperoleh
Cs =
2.37
Atau dengan mensubtitusikan persamaan 2.12, diperoleh bentuk :
Cs =
2.38
Kuat lentur nominal diperoleh dengan memperhatikan gambar 2.9.c :
Mn = Cc. d’2 + Cs. d”2 2.39
2.9.8.4 Konsep Dasar LRFD
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja / working stress design (Allowable Stress Design / ASD) dan perencanaan kondisi batas / limit states design (Load and Resistance Factor Design/ LRFD).
perencanaan struktur baja mulai beralih ke konsep LRFD yang jauh lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabilitas.
Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa probabilitas secara penuh, terkecuali untuk situasi-situasi tidak umum yang tidak diatur dalam peraturan. Metode LRFD untuk perencanaan struktur baja yang diatur dalam SNI 03-1729-2002, berdasarkan pada metode First Order Second Moment (FOSM) yang menggunakan karakteristik statistik yang lebih mudah dari tahanan dan beban.
2.9.8.4.1 Desain LRFD struktur baja
Secara umum suatu struktur dikatakan aman apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
ФRn≥ ∑γi . Qi 2.42
Bagian kiri dari persamaan 2.1 merepresentasikan tahanan atau kekuatan dari sebuah komponen atau sistem struktur. Dan bagian kanan persamaan menyatakan beban yang harus dipikul struktur tersebut, jika tahanan nominal Rn
dikalikan suatu faktor tahanan Ф maka akan diperoleh tahanan rencana. Namun
demikian, berbagai macam beban (beban mati, beban hidup, gempa dan lain-lain)
pada bagian kanan persamaan 2.42 dikalikan suatu faktor beban γi untuk
mendapatkan jumlah beban terfaktor ∑γi . Qi.
2.9.8.4.2 Faktor tahanan
Faktor tahanan dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD, ditentukan dalam tabel berikut :
Tabel 2.9Faktor reduksi (Ф) untuk keadaan kekuatan batas
Kuat rencana untuk Faktor reduksi
Balok
Balok pelat berdinding penuh Pelat badan yang memikul geser
Pelat badan pada tumpuan pengaku Komponen struktur yang memikul gaya tekan aksial :
Kuat penampang Kuat komponen struktur
0,85 0,85 Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial :
Terhadap kuat tarik leleh Terhadap kuat tarik fraktur
0,90 0,75 Komponen struktur yang memikul aksi-aksi
kombinasi :
Kuat lentur atau geser Kuat tarik
Kuat lentur dengan distribusi tegangan plastik Kuat lentur dengan distribusi tegangan elastik
0,85 0,60 0,85 0,90 Sambungan baut :
Baut yang memikul geser Baut yang memikul tarik
Baut yang memikul kombinasi geser dan tarik Lapis yang memikul tumpu
0,75 0,75 0,75 0,75 Sambungan las :
Las tumpul penetrasi penuh
Las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian Las pengisi
0,90 0,75 0,75