BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.
Salah satu peraturan perundangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional.
Bekerja merupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat untuk mempertahankan hidupnya dan kehidupan. Dalam melakukan pekerjaan, mempunyai resiko gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut, terutama disektor informal, baik petani, nelayan, pedagang kaki lima dan bahkan pembantu rumah tangga, karena ketidaktahuan tenaga kerja sektor informal mempunyai resiko yang lebih tinggi dan kaitannya dengan gangguan kesehatan yang diderita akibat dari kerjaan (Anies,2005).
Kaitannya dengan faktor yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan, dalam melakukan pekerjaan perlu dipertimbangkan berbagai potensi bahaya risiko yang bisa terjadi akibat sistem kerja atau cara kerja, penggunaan mesin, alat, dan bahan serta lingkungan di samping faktor manusianya, oleh karena itu perlu adanya upaya pencegahan dan pengendalian terhadap kemungkinan timbulnya gangguan kesehatan (Sugeng,2003).
Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan pangan yang semakin besar. Dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan tersebut, Indonesia mencanangkan beberapa program di bidang pertanian. Salah satunya adalah program intensifikasi tanaman pangan. Dari program ini di harapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada. Program ini tentu ditunjang dengan perbaikan teknologi pertanian. Penggunaan varietas lahan, perbaikan teknik budidaya yang meliputi pengairan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit terus diaktifkan (Wudianto,2007).
besar. Di antaranya muncul resistensi dan resurjensi hama sasaran, ledakan hama penyakit sekunder yang bukan sasaran, berpengaruh negatif terhadap biota bukan sasaran, misalnya musuh alami dan serangga berguna, residu pestisida yang membawa keracunan pada konsumen, kematian dan cacat tubuh akibat keracunan bagi penggunanya dan pencemaran lingkungan ( Wudianto,2007).
Menurut Kardinan (2004), dilema yang dihadapi dalam menangani masalah produksi pertanian, khususnya pangan adalah apabila kegiatan pertanian dilaksanakan tanpa penggunaan pestida maka sulit diperoleh produksi pertanian yang memadai. Namun, di lain pihak dengan penggunaan pestisida yang kurang bijaksana (khususnya yang bersifat sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan. Beberapa kasus yang merugikan tersebut di antaranya
1. Kasus keracunan (lebih dari 400.000 kasus dilaporkan per tahunnya, 1,50% di antaranya fatal);
2. Polusi lingkungan (kontaminasi air tanah, udara, dan dalam jangka panjang terjadi kontaminasi terhadap manusia dan kehidupan lainnya);
3. Perkembangan serangga menjadi resiten, resurgen, ataupun toleran terhadap pestisida;
4. Serta dampak negatif lainnya.
dan petani miskin. Di Bangladesh pada tahun 2008, keracunan pestisida paling tinggi menyebabkan kematian. Di kamboja, setidaknya 88% petani mengalami dampak akut keracunan pestisida. Di China, antara 53.000 dan 123.000 orang keracunan pestisida setiap tahun (Purwati, 2010).
Sebagai Negara agraris, penggunaan pestisida di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2006 tercatat sekitar 1.336 formulasi dan 402 bahan aktif pestisida telah didaftarkan untuk mengendalikan hama di berbagai bidang komoditi. Hasil penelitian Pesticide Action Network Asian and the Pasific (PANAP) tentang bahaya pestisida di Wonosobo, Jawa Tengah sebagai bagian pemantauan di kawasan Asia, pada Agustus-Oktober 2008 menunjukkan bahwa 6 orang terdiri dari 2 perempuan dan 4 laki-laki dari 10 responden mengalami gangguan kesehatan (Purwati, 2010).
Adanya berbagai akibat disamping penggunaan pestisida tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan. Tahun 1986 dikeluarkan Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 tentang penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan larangan peredaran dan penggunaan 57 jenis pestisida untuk tanaman padi. Program PHT sendiri mulai dilaksanakan tahun 1989. Subsidi pestisida pun dihapuskan sejak bulan Januari 1989 (Wudianto, 2007).
dikhawatirkan produksi pertanian akan turun. Oleh sebab itu, sudah tiba saatnya untuk memasyarakatkan pestisida nabati yang ramah lingkungan (Kardinan, 2004).
Dengan melihat kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia, keadaan sosial ekonomi sebagian besar petani Indonesia, program Internasional mengenai kegiatan pertanian organik yang sangat mendukung pestisida nabati, peraturan pendaftaran pestisida nabati di Indoneisa yang relatif sederhana (khususnya yang digunakan sendiri), hasil- hasil penelitian dan teknologi sederhana yang tersedia, serta hal-hal yang mendukung maka peluang penggunaan pestisida nabati di Indonesia terbuka cukup lebar (Kardinan,2004).
Kelompok Tani pada dasarnya adalah organisasi Non Formal di pedesaan yang tumbuh kembangkan dari oleh dan untuk petani yang merupakan kumpulan petani / peternak / pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (social, ekonomi, sumber daya) dan keakrapan untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha kelompok. Pengembangan Kelompok Tani diarahkan pada peningkatan kemampuan tani dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan Agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi yang kuat dan mandiri. Kelompok Tani ini dinamakan kelompok tani subur dengan dasar pemanfaatan pestisida nabati dan menghasilkan beras organik.
Lubuk Bayas merupakan petani binaan Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) dan dinas pertanian Kabupaten Serdang Bedagai. Dahulu budidaya tanaman padi di Desa Lubuk Bayas menggunakan pupuk sintetis, akan tetapi sejak tahun 2010 sebagian petani sudah mulai menggalakkan pertanian organik dengan menggunakan pestisida nabati. Hal itu disebabkan sebagian petani telah meningkat pengetahuannya dan juga bahan baku untuk pembuatan pestisida nabati cukup tersedia dan para petani menyadari dampak pestisida sintetis terhadap kesehatan.
Kelompok tani dibina untuk memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitar untuk pembuatan pestisida nabati dengan bahan dasar seperti sere wangi, jengkol, pete, daun sirih, daun jambu air, pinang muda, daun mindi, dan urin sapi. Walaupun penggunaan pestisida nabati menimbulkan residu relatif rendah pada bahan makanan dan lingkungan serta dianggap lebih aman dari pada sintetis, tetapi frekuensi penggunaannya menjadi lebih tinggi. Tingginya frekuensi penggunaan jenis pestisida ini karena sifatnya mudah terurai di alam sehingga memerlukan pengaplikasian yang lebih sering (Kardinan, 2004).
varietas padi di Desa Lubuk bayas untuk beras organik ini yaitu Cintanur dengan tinggi tanaman 125 cm, Panen wangi dengan tinggi tanaman 100 cm, dan Ciherang dengan tinggi tanaman 90 cm.
Hampir semua petani tidak memakai APD ( Alat Pelindung Diri ) secara lengkap. Mereka hanya memakai topi, baju lengan panjang, celana panjang dan sepatu boot bahkan ada pekerja yang tidak memakai sepatu boot dengan alasan kondisi tanah yang digenangi air dan tinggi tanaman padi membuat ketidaknyamanan di dalam melakukan pekerjaan. Selain itu para petani menganggap bahwa bahan pestisida yang digunakan tidak berbahaya karena berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tanpa tambahan bahan kimia. Selain itu pestisida nabati merupakan penemuan yang baru, untuk teori penggunaan alat pelindung diri khusus pengguna pestisida nabati serta gangguan kesehatan akibat pestisida nabati ini belum ada.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan gangguan kesehatan pada kelompok tani pengguna pestisida nabati di Desa Lubuk Bayas. 1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan gangguan kesehatan pada kelompok tani subur pengguna pestisida nabati Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2016.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) petani saat penggunaan pestisida.
2. Mengetahui gangguan kesehatan pada petani. 1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi kelompok tani subur terkait dalam hal perilaku pengguna pestisida nabati.
2. Sebagai masukan kepada petani pengguna pestisida nabati tentang dampak penggunaan pestisida nabati dengan gangguan kesehatan petani itu sendiri. 3. Menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis tentang perilaku
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan dampak terhadap kesehatan. 4. Sebagai masukan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan