• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurra"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Metodologi Studi Islam

Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurrauf as-Singkel

kepada peradaban Islam Aceh

hingga diangkatnya kepemimpinan Sultanah

DISUSUN OLEH:

HAFIZ MUBARRAQ HARIDHI (121310050)

DOSEN PEMBIMBING:

KAMARUZZAMAN BUSTAMAM-AHMAD, Ph.D

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY FAKULTAS SYRIAH DAN EKONOMI ISLAM

HUKUM EKONOMI SYARIAH DARUSSALAM, BANDA ACEH

(2)

Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurrauf as-Singkel

kepada peradaban Islam Aceh hingga diangkatnya kepemimpinan Sultanah Abstrak

Kepemimpinan tiga periode kesultanan Aceh yaitu dimulai setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani yang digantikan oleh Sultanah Safiatuddin (1050-1086H/ 1641-1675M), Sultanah Naqiatuddin Syah (1086-1088H/1675-1678M), Sultanah Zakiatuddin Syah (1088-1098H/ 1678-1688M), dan Sultanah Keumalat Syah (1098-1106H/ 1688-1699M) merupakan sebuah fenomena yang apabila dilihat dari segi kondisi cultural dan pemahaman keagamaan masyarakat Aceh pada masa tersebut merupakan sebuah fenomena yang sangat luar biasa, bahkan dalam dunia, ketika sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang wanita. Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi, masa Khulafa’Rasyidin, Dinasti Umayyah, Absyiah sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam “genggaman” kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangan terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa’ ayat 34 telah mengakar dan menjadi landasan kuat. Di mana laki-laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga. Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang tasenden dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-laki. Bahkan Jumhur ulama sepakat tentang syarat tersebut, karena didukung oleh hadist nabi.1

Berdasarkan paparan-paraparan apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat Aceh pada abad ke-17, merupakan seuatu hal yang lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi

1 Pemerintah Povinsi Naggroe Aceh Darussalam, Aceh Serambi Mekkah,

(3)

dijumpai adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis yang memimpin hingga hampir setengah abad lamanya dan mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas masyarakat Aceh.2

Adapun dari fakta sejarah, ini semua tidak terlepas dari pengaruh pemikiran ulama besar Aceh yaitu Syeikh Nuruddun ar-Raniry dan Syeikh Abdurrauf as-Singkel, yang mana penulis dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai Syeikh Abdurrauf as-Singkel beserta semua sumbangsihnya baik dari segi pemikiran dan karya-karyanya terhadap peradaban Islam Aceh yang sehingga munculnya kepemimpinan wanita dalam sejarah kepemimpinan kesultanan Aceh.

Kata Pengantar

(4)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., kerena tanpa rida dan kekuatan yang diberikan-Nya makalah ini tidak akan bisa diselesaikan. Salawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW., karena atas jasa beliaulah kita dapat menjadi manusia yang bermoral dan berilmu pengetahuan seperti saat ini.

Makalah yang berjudul “Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurrauf as-Singkel kepada peradaban Islam Aceh hingga diangkatnya kepemimpinan Sultanah” ini kami buat dengan menggunakan kajian studi pustaka unuk memenuhi salah satu syarat dalam pembelajaran Metodologi Studi Islam. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah ini.

Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini dapat memberikan sumbangsi dalam pencarian informasi di dunia pendidikan. Penulis sangat berharap tulisan ini dapat membantu pembaca dalam mempelajari salah satu bagian dari Sejarah Peradaban Islam Aceh.

(5)

BAB I Pendahuluan

A. Pendahuluan

Dalam sejarah telah tercatat kerajaan Islam Aceh yang memiliki nama yang besar dan dan kontribusi yang besar terhadap tersebarnya cahaya Islam keseluruh plosok Nusantara. Yang bermula pada kerajaan Islam Pasai, di pase Aceh bagian Timur hingga berdirinya kerajaan Islam Darussalam yang besar pada masa Kesultanan Aceh yang masyhur. Mereka telah mencapai masa-masa kegemilangannya yang sampai saat ini masih dikenang-kenang oleh masyarakat Aceh khususnya.

Kemajuan kerajaan Islam di Aceh dan kontribusinya terhadap tersebarnya cahaya Islam keseluruh plosok Nusantara sungguh tidak pernah terlepas dari peranan ulama-ulama Aceh pada masa dulu yang memiliki peranan begitu besar bagi kerajaan Islam Aceh dan tersebarnya cahaya Islam ke plosok Nusantara. Salah satunya yang menjadi topik tulisan ini, yaitu Syeikh Abdurrauf as-Singkel yang akan dijelaskan panjang lebar pada bab selanjutnya.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana Biografi Syeikh Abdurrauf, lahirnya, tempat-tempat belajarnya ? 2. Apa Kontribusi Syeikh Abdurrauf bagi sejarah peradaban Islam Aceh dan

Nusantara ?

(6)

mendukung kepemimpinan Kesultanan Aceh yang di pimpin oleh para Sultanah, apa alasan beliau?

C. Tujuan pembahasan

(7)

BAB II

Biografi Syeikh Abdurrauf

Syeikh Abdurrauf Singkel adalah ulama terkenal pada abad 17M. Ia dilahirkan lebih kurang pada tahun 1001H (1593 M)3 di Singkil bagian dari daerah

Aceh yang terletak di pantai Barat Sumatera yaitu kabupaten Aceh Selatan atau sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri, yaitu Singkil. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf bin Ali al-Djawi al-Fansuri al-Singkili. Nenek moyangnya berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Abdurrauf lahir dalam keluarga ulama, maka dapat dibayangkan aktivitas ilmiahnya sudah dimulai sejak dini di bawah bimbingan orang tuanya Syeikh Ali.4 Sejarawan mengatakan

bahwa Syekh Ali Al-Fansuri ayahnya Syekh Abdurrauf merupakan abangnya Syekh Hamzah Fansuri yang terkenal dengan pahamnya Wahdatul Wujud.5

Ayahnya Syeikh Ali Al-Fansury seorang terkenal yang membangun dan memimpin “Dayah Simpang Kanan” dipedalaman singkil. Syeikh Abdurrauf mendapat pendidikan di Dayah Simpang Kanan bersama dengan pemuda-pemuda lainnya pada saat itu. Setelah selesai menuntut ilmu di Dayah Simpang Kanan, Syeikh Abdurrauf melanjutkan pelajarannya ke barus pada sebuah Dayah Tinggi (Dayah Tengku Chik) yang di pimpin oleh Ulama/pujangga besar Syeikh Hamzah Fansury. Di Barus Syeikh Abdurrauf mempelajari Bahasa Arab, ilmu-ilmu agama, sejarah, manthik, Filsafat, Sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Persia.

3 Buletin Wisata Aceh, (Aceh: Dinas Pariwisata Profinsi Daerah Istimewa Aceh, 1993).hlm.2.

4 Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Bumi Srikandi,

(8)

Dari Barus Syeikh Abdurrauf melanjutkan studinya ke Samudera Pase untuk melanjutkan pelajarannya pada Dayah Tinggi Syeh Syamsuddin As-Sumatrany yaitu seorang ulama besar pengikut utama aliran Hamzah Fansury.

Syeikh Abdurrauf yang terkenal dengan julukan Teungku Syiah Kuala, karena ia mendirikan sebuah pusat pendidikan (rangkang) di dekat muara sungai Aceh atau disebut kuala. Dia juga menguasai bahasa Arab, Urdu, Persia, Melayu. Seorang ulma besar yang sukar dicari tandingannya, politikus, dan negarawan yang sangat ahli, pengarang yang amat subur. Sebagai negarawan dia juga menjadi Qadi Malikul Adil di Zaman pemerintahan para ratu. Telah menulis 21 kitab, yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf serta puisi ketuhanan. Kitab-kitab yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan itu dikarangnya dalam bahasa Arab dan Melayu.6

Ia sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh dari sulu sampai sekarang. Banyak legenda mengenai Syeikh Abdurrauf yang terus hidup dan dikenal rakyat turun-temurun. Archer dalam bukunya Muhammadan Mysticis in Sumatra mengatakan: “syeikh Abdurrauf of Singkel, the great Muslim Saint of Aceh, now better know by the name of Teungku di Kuala” dan seterusnya. Winstetd dalam bukunya A history of classical Malay Literature menyebutkan: ….”has survived in popular esteem as a saint” karena namanya tertancap sangat dalam pada lubuk hati rakyat sebagai ulama dari intelektual yang jenius pada zaman itu, maka sebagai kenang-kenangan untuknya, Universitas Negeri yang ada di Aceh telah mengambil namanya sebagai nama universitas tersebut sehingga menjadi Universitas Syiah Kuala, di singkat UNSYIAH.7

(9)

Biografinya, terutama masa mudanya, tidak terlalu banyak diketahui. Literatur-literatur dan sumber historis yang ada tidak banyak memberikan data untuk itu, tahun kelahirannya tak diketahui dengan pasti, Dr. R.A. Ringkes dan Sir Richard Winstedt memperkirakan tahun 1515, sebagai tahun kelahirannya.8

Sesudah menerima pendidikan di kampung halamnnya dan di ibu kota kerajaan Aceh, ia meneruskan studinya ke tanah Arab pada usia 19 tahun setelah Syekh Syamsuddin As-Sumatrany pindah ke Banda Aceh, karena telah diangkat oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi Qadhi Malikul Adil. Pada tahun 1642, ia berangkat ke Mekkah. Selama sembilan belas tahun di tanah Arab, Syeikh Abdurrauf menetap beberapa tahun di Yaman, Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Betal Fakih dan beberapa tempat-tempat lain. Sedangkan gurunya yang terkenal ialah Ahmad Qusyasyi di Madinah. Ahmad Qusyasyi ini adalah seorang ulama terkenal di dunia Islam pada waktu itu dan merupakan pemimpin Tarekat Syattariah. Syeikh Abdurrauf juga berhasil menyelesaikan studinya pada seorang ulama yang bernama Molla Ibrahim-setelah wafatnya Syekh Ahmad Qusyasyi-, yaitu salah satu pengikut Ahmad Qusyasyi yang terkenal. Baru pada tahun 1661 ia kembali ke Aceh.9 Adapun guru-guru yang mana Syekh Abdurrauf pernah belajar

kepadanya adalah sebagai berikut yang tertulis di bahagian terakhir kitabnya yang terkenal yang menceritakan riwayat pendidikannya “Umdatul-Mumtajin”:10

1. Abdulqadir Maurir di Mokha. 2. Imam Ali At Tabari di Mekkah. 3. Abdulqadir Barkhali Mufti Jeddah.

4. Abdulwahid Al-Kusyairi di Baitel Faqih, Yaman. 5. Ibrahim Ibnu Abdullah Ja’man di Baitel Faqih.

8 Dr.P.Voorhoeve, Bayan Tajalli, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980).hlm.40-41.

(10)

6. Ibrahim Ibn. Muhammad Ja’nan di Baitel Faqih. 7. Ahmad Janah di Baitel Faqih.

8. Qadhi Ishaq bin Muhammad ja’man di Zabid. 9. Muhammad di Zabid.

10. Abdurrahim di Zabid. 11. Shiddiq Mizjaji di Zabid.

12. Ali Ibnu Muhammad Diba’ di Zabid. 13. Abdullah Al-Adani di Zabid.

14. Qadhi Muhammad di Al Lohaiyah. 15. Qadhi Umar Muhyiddin di Mauza’ 16. Ahmad Al-Qusyasyi di Madinah.

17. Burhanuddin Maulana Ibrahim bin Hasan Al-Qurani di Madinah. 18. Baharuddin Lahore dan Abdullah Lahore, India.

Selain belajar pada ulama-ulama tersebut Abdurrauf Singkel telah bertemu pula dengan ulama-ulama besar lainnya walawpun beliau tidak “beroleh mengaji pada mereka itu. Tidak kurang dari 40 orang dari ukama-ulama tersebut diantaranya:

1. Umar Fursan, mufti Mokha 2. Abdul Fatah Al-Khas, mufti Zabit 3. Qdhi Tajuddin Ibn. Ya’kub dari Mekkah

(11)

Dari deretan guru-gurunya tersebut, Abdurrauf Singkel lebih lama belajar dengan Ibrahim bin Abdullah Ja’man. Dari gurunya ini, ia belajar Ilmu Fiqih dan Ilmu Tauhid yang disebutnya dengan ilmu thahir.11

Setelah mempelajari ilmu Thahir tersebut, Abdurrauf Singkel ke Madinah untuk belajar ilmu Bathin dari Ahmad Al-Qusyasyi. Tentang gurunya ini Abdurrauf Singkel menyatakan “daripadanyalah faqir ini beroleh jalan kepada Allah Ta’ala serta ia berbuat khidmad pada ilmu bathin.12

Semasih Abdurrauf di Madinah, gurunya Ahmad Qusyasyi maninggal dunia dan diganti oleh muridnya Ibrahim bin Hasan Al-Qurani. Dari beliau inilah Abdurrauf Singkel mendapat surat keterangan untuk mengajar di Aceh.13 Ia juga

belajar pada Syeikh Nuruddin Ar-Raniry yang kebetulan pada waktu itu sedang berada di Mekkah.

Setelah pengembara menuntut ilmu bertahun-tahun lamanya, maka pada tahun 1661 Abdurrauf Singkel kembali ke Aceh. Dan sesudah itu mengabdikan dan mengajarkan ilmu pengetahuannya, ia meninggal dunia pada tahun 1690. Kuburannya yang terletak di Kuala sungai Aceh dianggap suci dan ramai dikunjungi orang.14

Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, Syeikh Abdurrauf menguasai segala bidang ilmu hukum, di samping menguasai filsafatt, mantiq, Tauhid, sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Falak, Ilmu Politik, dan sebagainya. Dalam tahun 1063 H Syeikh Abdurrauftelah sampai kembali di Banda Aceh, setelah dua tahun

(12)

sebelumnya Syeikh Nuruddin Ar-Raniry meninggalkan Aceh menuju ke Mekkah selanjutnya kembali ke tanah airnya, Ranir Gujarat.

Dari Banda Aceh kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan perjalanan ke Singkil dan kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadi Malikul Adil/ Mufti besar dan Syeikh Jamiah Baiturrahim, kesemuanya itu untuk menggantikan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Semua jabatan tersebut dipangkunya berturut-turut dalam masa pemerintahan para ratu yaitu Ratu Safiatuddin, Ratu Waqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalat Syah.

Semasa pemerintahan tiga ratu yang terakhir, pada hakikatnya yang memgang kendali pemerintahan adalah Syeikh Abdurrauf dari belakang layar. Ratu Safiatuddin (1641-1675) pernah mengirim Syeikh Abdurrauf ke Kudus, Malaka (Malaysia), India, Baghdad, Turki, Mekkah dan Madinah untuk menambah ilmu pengetahuannya.

Sekembalinya dari perjalanan itu ia lalu menulis sebuah hukum yang bernama “Miraatut Thullah” yaitu atas permintaan dari Ratu Safiatuddin sendiri. Kitab ini kemudian di kirim ke berbagai negara dianataranya kesemenanjung Malaysia, Johor, Kedah, Patani Thailand, Perak, Pahang, dan Serawak. Selanjutnya Kitab tersebut dikirim ke Sumatera Barat, Ulakan (Pariaman) Kerinci, Banjar, Indragiri,Jawa, Banten, Jepara, Gresik, Makasaar, Tidore, dan lain-lain.

Pada hari senin tanggal 23 bulan Syawal tahun 1106 H atau 1695 M Syeh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang kerahmatullah dalam usia 105 tahun15 dan

dimakamkan dekat muara sungai Aceh di ingkungan rangkang yang didirikannya,

(13)

yang letaknya lebih kurang 4 kilometer sebelah Utara dari Banda Aceh.16 Pada

batu nisannya tertulis antara lain tulisan yang berbunyi “Al Waliyul Maliki Syekh Abdurrauf bin Ali sebutan Walijul Mulki, menunjukkan betapa besarnya peran Syekh Abdurrauf dalam kerajaan Aceh pada waktu itu. Sesudah beliau meninggal, namanya diabadikan dengan sebutan Syiah Kuala.17

Empat tahun setelah ia wafat, maka pada hari Rabu tanggal 20 bulan Rabiul Akhir tahun 1110 H atau bulan Oktober tahun 1699 M, Ratu Kemalat Syah pun diturunkan dari takhta kerajaannya.

16 Majalah pengetahuan/kebudayaan Sinar Darussalam, (Banda Aceh: No. 2 - April 1968 – Muharram 1388 – Th. Ke-I.118-119

(14)

BAB III

Kontribusi Syeikh Abdurrauf terhadap peradaban Islam Aceh

A. Membangun pusat keilmuan Islam

Sepulangnya ke Aceh setelah 19 tahun di tanah Arab, ia mendirikan rangkang18 di dekat muara sungai Aceh, yang letaknya lebih kurang 4 kilometer

sebelah Utara dari Banda Aceh yang menjadi pusat kerajaan Aceh pada waktu itu. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara, muridnya datang ke rangkang tersebut untuk belajar. Dengan demikian, Tarikat Syatariah yang telah di pelajarinya di tanah Arab tersebar ke seluruh Indonesia dan Malaysia adalah berkat usaha Syekh Abdurrauf dan murid-muridnya yang terkenal, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan, seorang ulama dan mubaligh terkenal Minangkabau.19

B. Sumbangsih Abdurrauf yang berupa tulisan-tulisan

Disamping kegiatan Syekh Abdurrauf sebagai ulama dan mubaligh, ia juga terus- menerus memperdalam ilmunya dalam bidang hukum dan bidang-bidang lain. Sebuah hasil karyanya terkenal di dalam ilmu hukum adalah yang berjudul Hudayah Balighah ala Djum’at al Muchasamah yang mengupas hukum Islam tentang bukti, persaksian, dan sumpah palsu. Dan bahkan buah pikirannya tersebut terus hidup sampai sekarang dan melebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh.20

Karya lainnya yang sangat terkenal dan naskahnya masih tersimpan sampai sekarang antara lain berjudul Miratul Tullab fi tasl Makhrifatu Ahkam

18 Dayah

(15)

Assyar’iyah li Malikul Wahhab yang merupakan kitab yang dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin, kitab ini merupakan saduran dari kitab fath wahhab, fath jawwad, dan tuhfatul muhtaj. Kitab tersebut merupakan pengantar Ilmu Fikh menurut mazhab Syafi’i dan isinya hampir sama dengan karya Nuruddin ar-Raniry yang berjudul Sirathul Mustaqim. Perbedaannya, Ar-Raniry dalam Siratul Mustaqim hanya mengupas soal-soal peribadatan saja, sedangkan buku Syekh Abdurrauf juga membahas soal-soal muamalah. Kupasan mengenai pokok-pkok ajaran tasawuf dan dasar-dasar pendirian Abdurrauf dalam bidang hukum termuat dalam karyanya yang berjudul Kifayat Muhtahyin, Daqaiq al-Huruf, Bayan Tajalli dan Umdat al-Muhtadin. Beliau juga telah menyusun tafsir al-Qur’an ke dalam bahasa Jawi (Melayu) yang berjudul Tarjuman al-Mustafid dan menterjemahkan buku Mawaiz al Badi’a yang antara lain berisi 32 Hadist Qursi. Beliau juga membuat karya tulis yang berbentuk puisi yang diberi judul Sya’ir Makrifat.21

Adapun sangat banyak sekali karya-karya yang lain yang berjumlah 21 kitab , yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab tasauf, karya-karya beliau tersebut adalah :

1. Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah), merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis oleh Syeikh Abdurrauf sekembalinya dari negeri Arab.

2. Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat Ahkam asy-Syariat li Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul

(16)

Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah kajian tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini adalah kajian beliau yang membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin.

3. Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam.

4. Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian, dan sumpah.

5. ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin, kitab tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab, di akhir kitab ini Syeikh Abdurrauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

6. Kifayatul Muhtajin ila masyrah Muwahhidin al Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen mengenai ilmu tasauf.

7. Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi

8. Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca ketika sakaratul maut

9. Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasauf Syeikh Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.

10. Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok ajaran Syattariyah.

(17)

12. Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi.

13. Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan ibadat.

14. Risalah adab Murid dengan Syeikh.

15. Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeikh wa al-Murid, yang berisi tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.

16. Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.

17. Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan menyangkut kehidupan beragama.

18. Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang dianggap sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin ar-Raniry.

19. Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul maut.

20. Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.

(18)

C. Sumbangsih Abdurrauf dalam pemikiran  Tarekat Syatariah

Seperti yang telah dikemukakan diatas, Syekh Abdurrauf adalah seorang sufi dari aliran Syatariah dan bermazhab Syafi’i. Fahamnya dalam tasawuf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tiada berbeda dengan faham dan pendirian Nuruddin ar-Raniry. Ketika berpolemik menentang ajaran-ajaran Hamzah Fansury dan Syamsyuddin as-Samarthani, Abdurrauf cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan pertentangan agama tidak terjadi dalam masyarakat.22

Syekh Abdurrauf mempelajari tarekat syatariah pada masa ia melakukan rihlah keilmuannya ke tanah Arab selama kurang lebih 19 tahun. Disana ia belajar kepada ulama terkemuka dalam bidang tarekat dan tasawuf ketika itu, yaitu Syekh Ahmad Qusyasyi yang merupakan ulama sekaligus pemimpin tarekat syatariah pada masa itu.

Syeikh Abdurrauf berhasil menyelesaikan studinya pada seorang ulama yang bernama Molla Ibrahim-setelah wafatnya Syekh Ahmad Qusyasyi-, yaitu salah satu pengikut Ahmad Qusyasyi yang terkenal. Dan dari beliau inilah Syeikh Abdurrauf Singkel mendapat surat keterangan untuk mengajar di Aceh. Baru pada tahun 1661 ia kembali ke Aceh.23

 Merumuskan hukum-hukum Islam

Kesanggupan Abdurrauf dalam merumuskan hukum-hukum Islam dalam ungkapan yang mengagumkan dan fleksibel, telah menyebabkan syariat Islam

(19)

dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh rakyat Aceh. Di sinilah letak kebesaran Abdurrauf, dan karena itu pula beliau memperoleh kehormatan yang luar biasa seperti ditulis P.Voorhoeve dalam Encyclopedia of Islam: “Abd al-Rauf Enjoyed such veneration that he was even accorded the Honour of having been

the bearer of Islam to Achech.24

Syeh Abdurrauf telah menjalankan tata hukum Kerajaan Aceh dengan sempurna. Ia mengatur adat istiadat dan kedudukan hukum dalam kerajaan, dan hukum Islam merupakan hukum tertinggi di dalam kerajaan. Sehingga di Kerajaan Aceh waktu itu terbentuk suatu struktur hukum yang sangat baik dan rapi dengan bahagiannya masing-masing sebagai berikut:25

1. Adat, diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan serta pembesar-pembesar kerajaan.

2. Hukum ditangani oleh Syeh Abdurrauf sebagai juru fatwa atau Qadhi Malikul Adil.

3. Qanun (adat sopan santun) dan tata tertib perkawinan ditangani oleh Putroe Phang (Putri Kamaliah yaitu Permaisuri Sultan Iskandar Muda)) 4. Resam (bagian dari adat) diserahkan kepada kekuasaan Panglima dalam

masing-nasing negeri kekuasaan.

Sistem hukum ini sudah menjadi pribahasa yang sangat terkenal di Aceh, yang berbunyii sebagai berikut:

25 Peserta Studi Purna Dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia, kumpulan paper-paper tentang beberpa ulama Aceh dan tarekat-tarekat di Indonesia,

(20)

 Abdurrauf as-Singkel dan pandangannya pada kedudukan perempuan sebagai pemimpin negara

Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi, masa Khulafa’Rasyidin, Dinasti Umayyah, Absyiah sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani, kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam “genggaman” kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangan terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa’ ayat 34 telah mengakar dan menjadi landasan kuat. Di mana laki-laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.26

Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang tasenden dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-laki. Bahkan Jumhur ulama sepakat tentang syarat tersebut, karena didukung oleh hadist nabi. Sistem ini diyakini dan dijadikan ideologi bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan berada pada posisi dipimpin oleh pria dan menjad bagian dari property pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memposisikan perempuan di bawah kepemimpinan kaum lelaki. 27

(21)

Secara historis, paparan di atas bila dikaitkan dengan suasana di Aceh pada abad ke-17 sesuatu yang lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi dijumpai adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis dan mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas masyarakat Aceh.28

Beranjak dari paparan diatas, di sini akan mengkaji tentang eksistensi kepemimpinan wanita (ratu) di Aceh sehingga mampu bertahan kurang lebih setengah abad lamanya, dan ini dianggap waktu yang lama. Di samping itu juga akan melihat bagaimana sikap dan peranan ulama-ulama Aceh pada era pemerintahan ratu, khususnya terhadap dua ulama besar yang mempunyai peranan penting dalam menggawangi kepemimpinan ratu dalam sejarah kerajaan Aceh, yaitu Syekh Nuruddin Ar-Randiry dan Abdurrauf as-Singkel.29

Kegiatan Abdurrauf sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin. Sultanah Safiatuddin adalah salah seorang sultan yang termasyhur dalam deretan nama-nama sultan Aceh yang kenamaan. Sultan Safiatuddin adalah sultan Aceh yang paling lama memerintah. Dalam kurun waktu 34 tahun pemerintahannya, sultan ini menghadapi masa yang cukup sukar dan sulit, karena penuh dengan luka-luka akibat hancurnya angkatan perang Aceh setelah menyerang Malaka pada tahun 1629, dan pertentangan

(22)

agama, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Thani dalam membasmi ajaran-ajaran Hamzah Fansury dan Syamsyuddin as-Samathrani. Vleke dalam bukunya Nusantara A History of Indonesia menggambarkan Aceh pada masa itu sebagai sedang berada dalam suatu periode yang dinamakan: “a turning point periode in Aceh’s history”. Terutama dalam bidang militer, politik, dan ekonomi. Tapi dalam lapangan agama, sosial dan kebudayaan, Aceh terus memancarkaan sinar gemilang. Semua itu tidak saja karena kecakapan Sultanah Safiatuddin, melainkan juga berkat bantuan seorang ulama besar bernama Syekh Abdurrauf melalui pemikiran-pemikiran dan karya-karyanya. Di samping syeikh Abdurrauf sebagai seorang ulama dan mubaliq, ia juga terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum, maka ketika terjadi perdebatan terhadap renana diangkatnya permaisuri Tajul Alam Safiatuddin Syah sebagai penguasa tertinggi, Kerajaan Aceh mendukung sepenuhnya.30 Dan Abdurrauf

merupakan ulama yang telah turut membenarkan seorang wanita menjadi sultan inilah yang menandai pandangan Aceh menurut ukuran pada waktu itu sungguh telah sangat maju. Di Iran umpamanya, sampai pada abad ke-20 ini masalah hak pilih kaum wanita saja, masih dipertengkarkan di antara para alim ulama.31

Salah satu ulama besar-selain ar-Raniry-yang memberi dukungan kepada para sultanah-adalah Abdurrauf. Ketika ia kembali ke aceh pada tahun 1661, kekuasaan telah dipegang oleh Sultanah Safiatuddin. Dimana kepemimpinan Safiatuddin telah dikukuhkan oleh pengakua ar-Raniry sebelum Abdurrauf berada di Aceh. Salah satu karya besarnya adalah Mir’at at Tullab, kitab ini menjadi bukti atas dukungan dan keharmonisan antara pihak Sultan dan Ulama di Aceh

(23)

pada waktu itu. Kitab ini dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin. Dalam pendahuluan kitab tersebut, sebagaimana dikutip oleh T.Ibrahim Alfian, Abdul Rauf menggambarkan bagaimana kepemimpinan Safiatuddin:32

“Maka bahwasanya adalah hadarat yang Mahamulia (Paduka Sri Sultanah Taj al-‘Alam Safat al Din Syah) itu telah bersabda kepadaku dari pada sangat akan agama Rasulullah bahwa kekurangan baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi (melayu) yang di Bangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj (diperlukan) kepadanya orang yang menjabat jabatan qadi pada pekerjaan hukum ini dari pada segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i Radiallahu’anhu...”

Dalam pengantar yang ditulis oleh Abdurrauf, terlihat dengan jelas bagaimana seorang ulama memberikan penghargaan yang cukup besar dan tinggi kepada seorang sultanah. Bahkan dengan menggunakan kalimat puji-pujian “Hadarat yang Mahamulia”. Ini merupakan suatu bukti yang nyata bahwa Abdul Rauf as-Singkil dapat menjali kerjasama dengan seorang sultanah tanpa melakukan diskriminasi sebagai yang telah diupayakan oleh golongan-golongan lain dalam menentangn kepemimpinan seorang wanita. Bahkan pada masa-masa berikutnya pasca mangkatnya Safiatuddin, Abdurrauf as-Singkel tetap mengambil peranan yang cukup besar dalam mempertahankan kepemimpinan sultanah di kerajaan Aceh. Hal ini terlihat ketika pada masa Naqiatuddin, Abdurrauf mengusulkan perombakan sistem pemerintahan di bagi dalam tiga sagoe.33

(24)

Kedudukannya sebagai Qadi sangat berpengaruh dan membuatnya terus-menerus melakukan upaya-upaya dan memutuskan kebijaksanaan tertentu dalam mewujudkan kehidupan beragama dalam kerajaan Aceh. Pada Akhir abad ke-17 muncul keinginan golongan tertentu untuk mengakhiri kepemerintahan ratu wanita di Aceh. Hal ini diakibatkan tidak adanya ulama yang kharismatik yang mendukung kepemimpinan wanita sebagaimana yang dilakukan oleh Abdurrauf as-Singkel, sikap Abdurrauf ketika itu telah menjadi pedoman oleh rakyat dalam menghadapi perihal pro dan kontra terhadap pemerintahan ratu. Yaitu, dengan dimakzulkan Kamalat Syah pada tahun 1699, menurut data sejarah, Sultan Keumalat Syah baru meninggal setahun setelah dimakzukan yaitu pada tahun 1700.34

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kepemimpinan ratu wanita dalam sejarah Aceh merupakan suatu hal yang menghadirkan decak kagum dunia dan kajian para peneliti sejarah. Hal ini dikarenakan pada masa itu kaum wanita dipandang tidak bisa menjadi pemimpin, kedudukannya lebih rendah daripada seorang laki-laki. Tetapi naiknya tahta wanita pada masa tersebut, juga tidak terlepas dari intrik-intrik pertentangan, di mana suatu pihak mendukung bahwa wanita dijadikan sebagai sultan, namun pihak lain menentang bolehnya wanita menjadi sultan.35

Pertentangan ini, terlihat di dominasi oleh golongan pertama. Dalam hal ini, peranan yang telah “dimainkan” oleh Ar-Raniry pada masa-masa awal naiknya Sultanah Safiatuddin menjadi satu faktor penentu, di samping kecakapan Safiatuddin yang telah berpengalaman dalam mengatur pemerintah, karena ia

(25)

adalah puteri Sultan Iskandar Muda, sekaligus sebagai istri dari Sultan Iskandar Tsani.36

Sepeninggal Ar-Raniry, kembalinya Abdurrauf as-Singkel dari Arab ke Aceh, menjadi faktor penentu kedua dalam proses bertahannya kepemimpinan ratu. Hal ini terlihat, karena setelah 6 tahun meninggalnya Abdurrauf, golongan yang menetang kedudukan wanita sebagai sultan kembali mempunyai kedudukan yang kuat, sehingga Sultanah Kamalat Syah sebagai pewaris tahta terakhir dari kangan wanita dapat di makzulkan dan posisinya digantikan oleh kaum laki-laki.37

Perdebatan yang terjadi pada waktu itu bahwa kaum laki-laki keturunan Sultan Aceh akan merebut tahta kesultanan dengan dukungan ulama, yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh jadi raja, karena bertentangan dengan syariat Islam. Mereka mengajukan argumentasi bahwa perempuan tidak boleh menjadi ilmam shalat yang makmumnya terdapat laki-laki. Sebagai konsekuensi logisnya perempuan tidak sah apabila diangkat menjadi Wali al-‘Am. Pada waktu terjadi konflik tersebutm Tajul Alam Safiatuddin memiliki pengaruh yang besar sekaligus memiliki kekayaan yang banyak, ia juga dapat menggunakan dan menggerakan tentara kerajaan Aceh di bawah pimpinan saudara ibunya Abdul Karim dengan gelar Maharaja Lela. Pertentangan dan pergolakan semakin hebat, sehingga terjadi perisiwa berdarah mengakibatkan terbunuhnya beberapa ulama, salah satu diantaranya bernama Faqih Hitam yang menantang keras rencana pengangkatan Tajul Alam Safiatuddin Syah sebagai Sultanah.38

(26)

Mengamati pertentangan dan pergolakan yang tidak kunjung reda, akhirnya Syeikh Abdurrauf sebagai seorang ulama turun tangan. Dalam menghadapi kondisi tersebut, ia cukup berhati-hati agar tidak berakibat fatal jika konflik tersebut tidak ditangani secara serius. Abdurrauf menghadapi du aide yang bertolak belakang, satu sisi menginginkan perempuang yang menjadi penguasa yang di dukung pihak militer dan pembesar kerajaan. Di pihak lain tidak membolehkan perempuan menjadi penguasa yang didukung oleh uama yang sebagian besar bermazhab Syafi’I, dasarnya Hadist Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nasa’I, Turmuzi dan Abi Bakrah, yang artinya ; “tidak beruntung satu kaum (umat) jika mereka menyerahkan uusan mereka untuk dipimpin oleh perempuan”. Berdasarkan hadist ini mereka berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin (penguasa). Jika perempuan diangkat menjadi penguasa, maka bertentangan dengan Hadist Nabi SAW. 39

Sesudah melihat dan mengamati pertentangan ide dan kondisi politik Aceh saat itu, akhirnya Abdurrauf dapat mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Ia tetap berpendapat bahwa Tajul Alam Safiatuddin dapat diangkat menjadi sultanah sebagai pengganti suaminya Iskanda Tsani. Namun pengangkatan tersebut harus dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap dipengan oleh ulama yang bergelar Qadhi Malik al-‘Adil.40

Berkat campur tangan syeikh Abdurrauf lambat laun stabilitas politik kehidupan keagamaan dapat dipulihkan. Sebagai balas jasa Tajul Alam

(27)

Safiatuddin mengangkat Syeikh Abdurrauf sebagai mufti kerajaan dan sekaligus penasehatnya. Tawaran sebagai mufti kerajaan awalnya ditolak, karna ia tidak berambisi untuk menduduki jabatan tersebut. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan seperti untuk tetap menjaga ukhuwah yang hampir retak, akhirnya ia memenuhi permintaan Tajul Alam Safiatuddin.41

Seperti yang telah tertulis diatas, 6 tahun setelah meninggalnya Abdurrauf, golongan yang menentang kedudukan wanita sebagai sultan kembali memperoleh kekuatan dan berhasil menurunkan Sultanah Kamalat Syah dari tahtanya sebagai sultan wanita terakhir dalam kerajaan Islam Aceh. Lengsernya sang sultan berdasarkan surat dari seorang Qadi Malik al’Adil di Mekkah, yang memuat pemberitahuan bahwa penempatan perempuan pada kekuasaan tertinggi bertentangan dengan Syariat Islam.42

Pada dasarnya kedatangan surat dari Qadi Malik al’Adil Mekkah (1699) bermula dari konflik yang terjadi antara golongan ulama yang menentang pengankatan perempuan menjadi kepala Negara dengan para Panglima Tiga Sagi (tiga sagoe) dan orang-orang kaya yang tetap mempertahankan idenya pada masa tiga ratu sebelumnya. Mereka ingin menebus kekalahan sebelumnya dengan menawarkan taktik solusi konflik yaitu mengusulkan agar persoalan keputusan mengenai legalitas kedudukan perempuan sebagai raja itu sebaiknya diserahkan kepada raja dan ulama di Mekkah.43

Strategi yang di jalankan golongan ulama berhasil dengan datangnya surat dari Qadi Malik al-‘Adil Mekkah. Terbukti para Panglima Tiga Sagi dan

(28)

orang kaya tidak berani menentangn isi surat tersebut. Akhirnya Sultanah Kamalat Syah diturunkan dari tahtanya dan pemerintahan diserahkan kepada Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin.44

Proses penurunan Sultanah Kamalat Syah dari tahtanya terjadi setelah Syeikh Abdurrauf meninggal dunia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kendatipun sebelumnya-ketika Syeikh Abdurrauf masih hidup-pernah terjadi pertentangan yang mempersoalkan perempuan menjadi kepala Negara, namun selalu dapat diatasi dan diselesaikan oleh Syeikh Abdurrauf. Hal ini membuktikan keluasan ilmu dan kemampuannya membaca situasi dan kondisi Aceh saat itu.45

 Perspektif ulama terhadap peran perempuan46

Dalam tradisi sosial-keagamaan masyarakat Aceh, sepanjang sejarah sejak wala terbentuknya masyarakat Aceh hingga sekarang ini, sebagaimana yang telah diuraikan di atas peran ulama hampir tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ulama turut memberikan konstribusinya dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat, termasuk masalah yang berkaitan dengan keterlibatan dalam bidang politk.

 Kedudukan dan peran perempuan menurut konsep Islam47

Masyarakat Aceh dibina berdasarkan ajaran Islam, maka secara teoritis kedudukan wanitanya juga ditentukan atau menurut yang diatur oleh agama. ajaranIslam memberikan kedudukan yang sama tingginya kepada perempuan di

(29)

dalam masyarakat; yang berbeda adalah hak serta tanggung jawab. Hak perempuan dalam Islam adalah bagian dari pada manusia secara umum sejalan dengan prinsip kebenaran dan keadilan Islam. Laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Allah SWT yang sama dalam hal kemanusiaannya. Mereka punya hak dan punya tanggung jawab. Islam memberikan hak sejalan dan tidak terpisah dari kewajibannya baik laki-laki dan perempuan.

Keadilan bagi perempuan dapat dilakukan manakala kembali kepada ajaran Islam yang sejati. Menurut ajaran Islam, pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia, baik laki=laki maupun perempuan, semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk mengabdi kepada-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Dzaariyat: 56) dan juga pada surat An-Nisa’: 32)

Sama halnya mengenai hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan dalam negara, jabatan tertinggi, dinyatakan boleh asal mereka sanggup dan mempunyai oengetahuan untuk bidang-bidang atau al-Qur’an jabatan yang dipegangnya; sama seperti hak laki-laki dalam hal tersebut

Menurut Muhammad Tha’mah al-Qudhah yang dikutip oleh Muhammad Koderi ada beberapa persamaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan, diantaranya sebagai berikut:

1. Sama nilai ketaqwaannya.

(30)

3. Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan sama nilainya. Ia menjadi mulia dan tinggi karena imaan dan rendah karena kekafiran dan penyimpangan dari ajaran agama.

4. Laki-laki dan perempuan sama-sama berhak memperoleh kesempatan beribadah.

5. Sama dalam martabat kemanusiaan.

6. Sama-sama berhak dalam kesempatan dalam menuntut ilmu. 7. Sama dalam menerima hukuman.

8. Sama dalam penilaian iman dan amal.

9. Sama-sama saling menolong dan sama-sama mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar.

10. Perempuan juga sama peluangnya dalam mengerjakan amal saleh (berkarir) dalam semua bidang kehidupan seperti bidan pendidikan, kesehatan, budaya, ekonomi dan lain-lain.

 Kedudukan perempuan dalam kerajaan Aceh48

Dalam kitab Safinatul Hukkam karangan ulama Aceh Syeikh Jalaluddin Tursina, didapati bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kerajaan. Perempuan boleh menjadi Raja atau Sultan asalm memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi SAW serta pendapat ulama, maka kerajaan Islam Perlak, kerajaan Islam Samudera (Pasai), dan kerajaan Aceh Darussalam, telah memberikan kepada kaum perempuan Aceh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki, sehingga banyak muncul tokoh perempuan Aceh baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.

Dalam kerajaan Aceh Darussalam hak perempuan untuk memegang jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya. Demikian pula dengan kewajjiban

(31)

mereka terhadap kerajaan, seperti kewajiban untuk membela dan memajukan kerajaanm oleh karena perempuan dipandang sama dalam hukum kerajaan. Sungguh pada tempatnya kalau sejarah mencatat sejumlah nama perempuan yang telah memainkan peranan yang penting di tanah Aceh masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak sampai Zaman revolusi kemerdekaan. Nama-nama perempuan Aceh yang telah memainkan peranan penting sejak tersebut diantaranya sebagai berikut:

a. Putri Lindung Bulang

b. Ratu Nihrasiyah rawa khadiyu c. Laksamana Malahayati

(32)

BAB IV Kesimpulan

A. Kesimpulan

Pada hari senin tanggal 23 bulan Syawal tahun 1106 H atau 1695 M Syeh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang kerahmatullah dalam usia 105 tahun49 dan

dimakamkan dekat muara sungai Aceh di ingkungan rangkang yang didirikannya, yang letaknya lebih kurang 4 kilometer sebelah Utara dari Banda Aceh.50 Pada

batu nisannya tertulis antara lain tulisan yang berbunyi “Al Waliyul Maliki Syekh Abdurrauf bin Ali sebutan Walijul Mulki, menunjukkan betapa besarnya peran Syekh Abdurrauf dalam kerajaan Aceh pada waktu itu. Sesudah beliau meninggal, namanya diabadikan dengan sebutan Syiah Kuala.

Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama terkenal pada abad 17M. Ia dilahirkan lebih kurang pada tahun 1001H (1593 M)51 di Singkil bagian dari

daerah Aceh yang terletak di pantai Barat Sumatera yaitu kabupaten Aceh Selatan

49 Buletin Wisata Aceh.hlm.4.

(33)

atau sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri, yaitu Singkil. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf bin Ali al-Djawi al-Fansuri al-Singkili.

Syeikh Abdurrauf sangat banyak kontribusinya bagi sejarah kemajuan peradaban pada masa Kesultanan Islam Aceh seperti dalam bidan keilmuan beliau mendirikan tempat pembelajaran ilmu atau disebut dengan “Rangkang atau masa sekarang disebut dengan “Bale” atau “Dayah”. Karangan-karangan beliau dalam berbagai bidang keilmuan juga menjadi bukti begitu besar peranannya dalam perkembangan peradaban Islam Aceh pada masa Kesultanan Islam Aceh. Dalam kasus pengankatan perempuan sebagai kepala Negara yang menjadi topic utama dalam tulisan ini. Berkat pemikiran yang disumbangkan Syeikh Abdurrauf, pertentangan antara golongan ulama dan para pembesar kerajaan mengenai pengankatan perembuan sebagai kepala negara dapat diselesaikan dengan baik. Syeikh Abdurrauf menyarankan agaar diadakan pemisahan antara urusan agam dan pemerintahan. Menurutnya, urusan nikah, talaq, fasak dan lain-lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang bergelar Qadhi Malik al’-‘Adil. Hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan seperti urusan politik dan pemerintahan dipegangn oleh perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Syeikh Abdurrauf menyetujui pengangkatan perempuan sebagai kepala Negara, karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran agama.52

Syeikh Abdurrauf memandang sama antara laki-laki dan perempuan dalam eksistensi kemanusiaan, pandangannya ini berdasarkan firman Allah SWT., dalam surat Al-Baqarah ayat 30, surat An-Nisa’ ayat 1 dan surat Az-Zariyat ayat 5-6.

(34)

Syeikh Abdurrahman menafsirkan kata yang terdapat dalam surat An-Nisa’ ayat 1, sebagai Adam, kemudian Allah SWT menciptakan dari diri Adam isterinya yaitu Hawa. Hal ini sesuai dengan maksud sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah r.a., bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri. Penciptaan Hawa dari diri Adam bukanlah menunjukkan perempuan lebih rendah dari laki-laki, akan tetapi merupakan pelengkap dan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari laki-laki. Oleh karena itu laki-laki dan perempuan sama-sama bertenggung jawab dalam kepastiannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.53

Perempuan dalam pandangan Syeikh Abdurrauf juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan berhak bertindak terhadap harta miliknya menjadi wali pengampu, hakim dan bahkan kepala negara. Untuk bisa berperan dan menduduki jabatan tertentu, perempuan hendaklah memiliki kemampuan dan keahlian. Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagaimana yang dikemukakan oleh Qasim Amin, bahwa semakin baik tingkat pendidikan perempuan, maka semakin tinggi pula harkat dan martabatnya.

Begitu besar sumbangsih yang telah diberikan oleh Syeikh Abdurrauf bagi kemajuan peradaban Islam pada masa Kesultanan Aceh dalam berbagai bidang. Maka tidak heran apabilla Syeikh Abdurrauf masih sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh bahkan siapa saja yang telah mempelajari sejarahnya dari dulu sampai sekarang dan terus di ingat dan di kenang atas kontribusinya yang besar bagi peradaban Islam khususnya peradaban Islam Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah Aceh.

(35)

B. Saran

1. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu pembaca atau siapa saja yang akan mempelajari tentang Syeikh Abdurrauf dalam pembelajaran ilmu sejarah khususnya sejarah peradaban Islam Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah untuk lebih memahami tentang hal ini.

(36)

Daftar Pustaka

Buletin Wisata Aceh, (Aceh: Dinas Pariwisata Profinsi Daerah Istimewa Aceh, 1993)

Dr.P.Voorhoeve, Bayan Tajalli, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980).

Majalah pengetahuan/kebudayaan Sinar Darussalam, (Banda Aceh: No. 2 - April 1968 – Muharram 1388 – Th. Ke-I.

Pemerintah Povinsi Naggroe Aceh Darussalam, Aceh Serambi Mekkah, (Yogyakarta: Multi Solusindo, 2008)

Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Bumi Srikandi, (Yogyakarta: Multi Solusindo Press, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Considering the research gaps, the main objectives of this paper are to (a) implement the ISO method using the 3D city models to calculate the building heating and cooling

Flaming juga dapat diartikan sebagai tindakan memanas – manasi situasi atau orang lain dengan menggunakan bahasa yang kasar dan tidak sopan, melakukan

Dalam upaya pencarian bibit-bibit unggul seharusnya Pemerintah Daerah Kota Singkawang memiliki agenda event-event yang kontinyu seperti mengadakan turnamen-turnamen

Analisis kesesuaian lahan pesisir dan laut GPP Padaido untuk berbagai peruntukkan; pariwisata pesisir, budidaya rumput laut, budidaya teripang, budidaya ikan dalam keramba

5.4.2.4 Hasil evaluasi, rencana tindak lanjut, dan tindak lanjut terhadap pelaksanaan koordinasi lintas program dan lintas sektor.. 5.5.1.1 SK Kepala Puskesmas dan

Studi pendahuluan dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dimulai dengan kajian literatur berupa kajian terhadap materi subyek

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lagu Boru Nabasa tersebut, mengetahui struktur bentuk dan lirik lagu Boru Nabasa serta

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa jumlah kematian larva pada konsentrasi 90% perasan bunga tahi ayam dapat menyebabkan kematian larva