• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi Partisipasi Politik Perempuan Mi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Urgensi Partisipasi Politik Perempuan Mi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Urgensi Partisipasi Politik Perempuan Masyarakat Miskin Perkotaan

di DKI Jakarta dalam Sosialisasi Kesehatan Reproduksi

(Analisa terhadap Sekolah Perempuan Ciliwung di Rawajati Ciliwung, Jakarta Selatan)

Pendahuluan

Ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan, maka pemerintah seharusnya mematuhi konsekuensi dari nilai demokrasi itu sendiri. Nilai kebebasan, keadilan, pemenuhan hak hingga kesetaraan, adalah hal yang harus di penuhi oleh pemerintah, baik terhadap warga Negara laki-laki maupun perempuan Indonesia. Faktanya, perempuan masih saja menjadi pihak yang tersubordinat dan diberi label sebagai orang yang hanya pantas mengerjakan tugas dan peran di ranah domestik. Hal ini tentu memberikan sebuah stigma atau pelabelan baku, di mana sejak Orde Baru, bahasa ‘partisipasi politik’ perempuan di dunia publik, ‘hanya-lah’ berupa perkumpulan para wanita (bahasa yang digunakan saat itu masih wanita) yang merupakan isteri-isteri pejabat dan bertugas meneruskan sosialisasi agenda pejabat publik. Karenanya, nama Dharma Wanita demikian populer di mata publik ketika pemerintahan Orde Baru .

Salah satu contoh agenda yang kerap kali di sosialisasikan oleh para anggota Dharma Wanita ini adalah kampanye penerapan KB (Keluarga Berencana), sebagai bagian kebijakan pemerintah dengan semangat menekan laju jumlah penduduk Indonesia. Namun, apakah kemudian masalah kesehatan reproduksi dari sang perempuan di perhatikan? Apakah sosialisasi penerapan KB tersebut diiringi dengan informasi ragam akses kesehatan bagi perempuan Indonesia, yang sebetulnya termaktub juga sebagai Hak Asasi Manusia dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) pasal 251 ayat 1 dan 2. Lebih jauh lagi, apakah sosialisasi akses kesehatan reproduksi tersebut melibatkan kaum perempuan itu sendiri, terutama perempuan di lingkungan masyarakat miskin kota, seperti daerah Rawajati Ciliwung?

Perempuan dan Masalah Kesehatan Reproduksi

(2)

Tidak bisa disangkal bahwa kaum perempuan di DKI Jakarta, mengalami ragam permasalahan sosial yang serius. Selain masalah sosial, ekonomi dan politik, perempuan Indonesia, termasuk juga di DKI Jakarta, mengalami akses informasi mengenai kesehatan reproduksi (kespro) yang sangat terbatas. Pengertian hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi meliputi fisik, mental dan sosial serta memperoleh akses pelayanan menyeluruh yang tidak diskriminatif berkaitan dengan reproduksinya, sebagaimana disebutkan dalam ICPD programme of action (1994) berikut:

“Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental dan sosial yang baik secara menyeluruh dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsinya serta proses-prosesnya. Hal tersebut menyangkut kemampuan orang untuk bereproduksi serta kebebasan untuk menentukan apakah, kapan dan seberapa sering mereka akan bereproduksi. Termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan wanita untuk mendapat informasi dan akses terhadap metode-metode keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima, yang menjadi pilihan mereka, serta terdapat metode-metode pengaturan kelahiran lain yang menjadi pilihan mereka, serta akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memungkinkan para wanita untuk menjalani kehamilan dan persalinan dengan selamat. Pelayanan kesehatan reproduksi juga meliputi kesehatan seksual, dengan tujuan untuk memajukan kehidupan dan hubungan pribadi”.2

Dilihat dari pemahaman kespro tersebut, kita dapat mencari penyebab mengapa perempuan seringkali tidak siap secara fisik, mental dan sosial untuk meminta hak nya dalam mendapatkan akses infromasi kesehatan yang berkualitas.

Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menyatakan bahwa penduduk DKI Jakarta ada 9.607.787. Terdapat 4.736.849 penduduk perempuan dan 4.870.938 penduduk laki-laki dari jumlah tersebut. Tingkat perbandingan untuk sektor pendidikan diantara keduanya adalah 889.774 orang untuk perempuan yang masih sekolah dan 937.730 orang laki-laki yang masih sekolah. Merujuk pada data yang dilansir BPS, terlihat bahwa kesempatan untuk sekolah lebih besar bagi laki-laki dibanding perempuan. Untuk sektor pekerjaan, terdapat 53.735 perempuan sebagai pekerja keluarga3 yang tidak dibayar dan 22.792 laki-laki sebagai pekerja keluarga yang juga tidak di bayar.4 Jelas terlihat bahwa perempuan lebih berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, dengan pengupahan yang tidak jelas dan beban kerja yang hampir berat di semua sektor, baik domestik maupun publik. Tidak heran, dengan potret lapangan kerja yang minim serta akses pendidikan yang lebih sulit dibanding laki-laki, perempuan Indonesia menjadi tidak kritis untuk meminta hak informasi

2 United Nations Population Fund (UNFPA), 1994. Ringkasan program aksi ICPD, 1994, hal.13, lihat juga landasan aksi dan deklarasi Beijing, 1995, Jakarta: Forum Komunikasi Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Perempuan dan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, hal.65. Diambil dari tesis Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim, Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Kajian Wanita. 3 Definisi Pekerja keluarga adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha tanpa mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Definisi ini diambil dari pengertian yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia.

(3)

dan akses kesehatannya. Akibatnya, kondisi kesehatan perempuan pun menjadi rentan diterpa ragam masalah kesehatan.

Sejumlah kasus kesehatan yang dialami perempuan terkait kespro adalah Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang hingga 2010 tercatat sebanyak 307 per 100.000 Kematian Hidup (KH), juga Angka Kematian Bayi (AKB) yang mencapai 34 per 1000 KH.5 Tentu jumlah tersebut sangat banyak dan sebagai Negara yang ikut menandatangani deklarasi MDGs (Millenium Development Goals), maka Indonesia mempunyai komitmen untuk memperhatikan kesehatan perempuan Indonesia. Ada beberapa sasaran yang perlu diselesaikan dalam naungan MDGs, yaitu : (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan untuk semua, (3) mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.6 Dapat dilihat bahwa semangat Negara-negara MDGs yang menandatangani nota deklarasi, banyak terfokus pada peningkatan kualitas kehidupan perempuan. Indonesia sendiri, mempunyai sasaran MDGs dalam hal meningkatkan kesehatan ibu dan angka kematian anak, dengan menekan angka AKI hingga 102 per 100.000 KH dan AKB menjadi 23 per 1000 KH.

Penurunan kualitas kesehatan perempuan, terutama mengenai kesehatan reproduksi yang salah satunya ditandai dengan angka kematian Ibu (AKI), bukanlah hal baru.

Tahun Angka Kematian Ibu Target RPJMN dan MDGs

1994 390

5 www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.40 WIB.

(4)

Meski Angka Kematian Ibu (AKI) yang diperlihatkan tabel di atas cenderung menurun, namun di tahun 2010, Departemen Kesehatan RI mencatat terjadinya kenaikan AKI, yaitu dari 226 menjadi 307 per 100.000 KH. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya AKI sebagai bagian dari masalah kesehatan reproduksi. Pertama; kurangnya tenaga kesehatan/bidan di sejumlah daerah di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak daerah di Indonesia, belum mempunyai tenaga kesehatan yang berkualitas, terutama untuk membantu proses kelahiran perempuan Indonesia. Salah satu contoh yang ada, adalah seorang ibu asal Lombok Tengah yang mengalami pendarahan dan kemudian memeriksakan kondisinya tersebut ke seorang dukun, bukan bidan.8 Pemeriksaan kandungan yang telat, info yang sangat terbatas ketika melahirkan serta perginya ibu hamil ke dukun, adalah akibat faktor ekonomi yang sangat lemah.

Dalam penelitiannya, Women Research Institute (WRI) mencatat bahwa kondisi ibu hamil sebelum persalinan juga ikut mempengaruhi resiko kematian ibu. Sebagai contoh, pengetahuan akan kesehatan reproduksi yang kurang, gizi yang harus dikonsumsi serta pemeriksaan kehamilan dan kepatuhan mengkonsumsi vitamin. Kedua; angka menikah muda yang masih tinggi di Indonesia. Konsekuensi dari tindakan menikah di usia sangat muda, yaitu kurang dari 15 atau 20 tahun adalah belum kuatnya dinding rahim serta akses informasi kesehatan yang sangat terbatas. Menteri Kesehatan RI, Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan bahwa 30% perempuan Indonesia menikah muda. Tidak hanya menikah muda, namun ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya kematian ibu, yaitu terlalu tua ketika mengandung, terlalu muda untuk hamil, terlalu sering hamil dan jarak kehamilan yang terlalu dekat.9 Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perempuan Indonesia memang belum bisa mengakses dan mendapatkan informasi kesehatan bagi dirinya serta kehidupan keluarganya.

Faktor ketiga adalah; kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada urgensi kesehatan perempuan Indonesia. Jika kita lihat, tanggung jawab sosialisasi serta pemberian kemudahan akses kesehatan perempuan, bukan hanya menjadi tugas satu atau dua departemen saja, seperti KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) serta Kementerian Kesehatan, namun juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika Kementerian Kesehatan tengah mengupayakan terlaksananya pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan siswa sekolah mulai dari SD hingga SMA, maka sejalan dengan hal

7 Data diambil dari angka kematian ibu melahirkan-kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak RI-pdf, diakses via www.google.com pada tanggal 29 Februari pukul 21.00 WIB.

8 http://wri.or.id/id/publikasi, diakses pada tanggal 29 Februari 2012, pukul 21.05 WIB.

(5)

itu, KPPPA perlu melakukan pendidikan kespro pada ibu-ibu di Indonesia. Sehingga, pendidikan kespro yang didapat oleh siswa sekolah, berbanding lurus dengan pengetahuan yang di dapat oleh ibu mereka. Lebih dari itu, pelaksanaan pendidikan kespro juga membutuhkan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan kesehatan, terutama kesehatan reproduksi perlu diletakkan dalam salah satu sub mata pelajaran di sekolah. Sehingga, generasi muda Indonesia dapat memiliki sikap kritis terhadap hak kesehatannya dan juga mendapat akses informasi kesehatan yang berkualitas sejak dini. Angka generasi muda yang memutuskan untuk menikah dini di bawah usia 20 tahun atau bahkan 15 tahun pun, diharapkan bisa menurun seiring dengan peningkatan pengetahuan mereka akan kesehatan reproduksi.

Masalah tidak selesai pada tataran sosialisasi kespro sejak dini saja. Namun, adanya budaya tabu pada lingkungan setempat untuk membicarakan bahasan kesehatan reproduksi lengkap dengan ragam istilah medis nya, seperti vagina, sperma dan dinding rahim, turut memperlambat pemahaman generasi muda, terutama pemuda dan pemudi akan bahaya menikah muda atau berhubungan seksual di luar nikah. Karenanya, pihak kementerian Indonesia juga perlu menggunakan pendekatan-pendekatan sosial budaya yang fleksibel. Semua hal itu, perlu diadopsi dalam tiap kebijakan pemerintah terkait kesehatan perempuan dan juga pengarusutamaan gender di Indonesia10, sehingga perempuan mempunyai andil dalam urusan peningkatan kesehatannya.

Karenanya, penyebab Angka Kematian Ibu (AKI) bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti aspek media, sosial, budaya dan agama. Aspek medis meliputi; pendarahan, komplikasi aborsi, persalinan lama, anemia dan penyebab tidak langsung. Sedangkan dari aspek sosial; suami/keluarga tidak mengetahui dan tidak tanggap terhadap kondisi tiap ibu hamil yang beresiko, pelayanan persalinan yang tidak terjangkau oleh masyarakat kurang mampu, anggaran persalinan dalam rumah tangga yang dianggap tidak penting dan anggapan bahwa persalinan itu hanya tanggung jawab keluarga saja. Aspek agama meliputi; menganggap krisis persalinan biasa karena meninggal karena persalinan adalah mati syahid, menganggap bersalin dan hamil adalah kodrat perempuan dan tidak perlu diperlakukan secara khusus, jarangnya kajian agama yang memperbaharui anggapan peran suami/masyarakat dalam membantu ibu hamil dan bersalin dan sikap pimpinan agama yang cenderung

(6)

mempunyai banyak anak (melakukan 4 terlalu-sering, banyak, muda dan tua, seperti bahasan di atas).

Aspek budaya meliputi; terlalu banyak tabu yang merugikan bagi ibu hamil dan ibu bersalin baik dalam makan maupun sikap, hamil dan persalinan dianggap peristiwa yang alami, suami tidak sensitif (beban kerja ibu hamil masih disamakan dengan keadaan tidak hamil), adanya bias gender (bahwa proses pengambilan keputusan untuk periksa dan sebagainya masih ada di tangan laki-laki, baik suami, bapak dan mertua).11

Sekolah Perempuan Ciliwung dan Masyarakat Miskin Perkotaan

Seperti dijelaskan di atas bahwa perbandingan tingkat akses pendidikan (kesempatan bersekolah) dan kerja tidak dibayar antara laki-laki dan perempuan adalah belum sejajar. Laki-laki lebih berkesempatan untuk bisa terus bersekolah dan kemudian bekerja di ranah publik. Hal ini terjadi pada banyak daerah dan masyarakat Indonesia, bahwa laki-laki seringkali dipilih untuk mempunyai akses pendidikan lebih, ketika dihadapkan dengan kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi ini tidak lepas dari ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di masyarakat luas. Dalam bukunya, Judith Squire memberi pemahaman mengenai perbedaan antara seks dan gender. Seks adalah hal yang berkenaan dengan kondisi biologis. Sedangkan gender adalah suatu bentuk yang secara budaya mendefinisikan berbagai karakteristik (dengan kata lain, ada kesengajaan yang terkonstruksi). Misal jika seks adalah perempuan dan laki-laki, maka bahasa gender menjadi maskulin dan feminin yang merepresentasikan konstruksi sosial.12 Konstruksi sosial tersebut sangat nyata dapat dilihat dalam lingkungan masyarakat miskin perkotaan, yang salah satunya terletak di daerah Rawajati, Ciliwung, Jakarta Selatan. Bahwa terjadi subordinasi antara ranah publik dan privat perempuan-laki-laki dalam lingkungan masyarakat.

Rawajati Ciliwung mempunyai dua Rukun Tetangga (RT) dan tiga Rukun Warga (RW). Ada beberapa masalah yang dialami oleh warga Rawajati Ciliwung ini. Diantaranya adalah; letak daerah Rawajati Ciliwung yang rentan akan luapan banjir ke rumah-rumah penduduk. Hal ini disebabkan juga oleh pola prilaku warga yang masih saja membuang sampah rumah tangga nya ke dalam arus sungai Ciliwung. Saat ini daerah Rawajati-Ciliwung berdekatan dengan sebuah pabrik minum kemasan. Beberapa warga mengeluhkan keberadaan pabrik karena bising dan mengganggu faktor resapan air di daerah kali Ciliwung. Salah

11 http://wri.or.id/id/publikasi, potret kemiskinan, diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 11.45 WIB.

(7)

seorang warga mengatakan bahwa sejak berdirinya perusahaan tersebut pada tahun 2008, air kali tambah meluap dan lebih deras memasuki rumah-rumah warga.13 Meski begitu, tidak banyak penduduk yang melakukan komplain, karena perusahaan tersebut pernah memberikan imbalan berupa paket-paket ketika hari libur besar, seperti ketika lebaran.

Selain itu, angka pendidikan di daerah Rawajati Ciliwung masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari mayoritas penduduk nya, baik perempuan maupun laki-laki yang hanya dapat bersekolah hingga SMA.14 Bahkan, banyak juga perempuan yang hanya tamatan SD. Dengan potret sosial, ekonomi dan politik yang jauh dari kesan kondisi ideal masyarakat perkotaan, maka klasifikasi tempat tinggal warga Rawajati Ciliwung ini ada pada tataran masyarakat miskin perkotaan, sebagai implikasi dari adanya stratifikasi sosial. Parsudi Suparlan menyebutkan bahwa kota adalah sebuah pemukiman yang permanen dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dengan corak masyarakatnya yang heterogen dan yang lebih luas daripada sebuah keluarga atau klan. Karena berbagai spesialisasi dan keahlian kerja serta berbagai bentuk penguasaan atas sumber-sumber daya dan lain-lain, maka masyarakat kota mengenal adanya pelapisan atau stratifikasi sosial.15

Ketika berbicara tentang masyarakat miskin perkotaan, tidak bisa dilepaskan dari konteks pembangunan politik Negara Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang mengedepankan rencana pembangunan ekonomi nasional, menggunakan trilogi pembangunannya, yaitu; (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan hasil-hasil pembangunan, (3) kestabilan nasional.16 Globalisasi di tahun 1960-an semakin menguatkan fokus utama pemerintahan Soeharto, yaitu pembangunan ekonomi. Para investor pun dipersilahkan datang dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Lebih dari itu, investor asing dijanjikan dapat menggunakan jasa buruh murah dari Indonesia. Akhirnya, meski globalisasi memang membuka kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk bisa bekerja, namun rakyat pun harus membayar nya dengan harga yang tidak sepadan, yaitu hidup di lingkungan kumuh/ pinggiran kota, berdekatan dengan bangunan yang menjulang tinggi dan sangat jauh tingkat kesejahteraan ekonominya dengan para pemilik modal/kapitalis. Untuk memuluskan program pembangunan ekonomi nasional, maka

13 Wawancara dengan Ibu Mistinah, Pengurus SPC (wakil ketua), 2011.

14 Berdasarkan obeservasi penulis dan wawancara dengan salah satu pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC), 2011.

15 Parsudi Suparlan, dalam diklat Manajemen Perkotaan, pelayanan sosial perkotaan dan pengentasan kemiskinan, kerjasama badan diklat Depdagri, diklat prov Sumut, Lampung, Jabar, NTB, Kaltim dan Sulut, PT Yodya Karya (persero), 1999/2000, hal.2

(8)

stabilitas politik pun perlu dipertahankan. Soeharto meyakini bahwa kemajuan ekonomi dapat terwujud jika kondisi politik dalam Negeri stabil. Karenanya, pada masa pemerintahan Soeharto, kendali atas berbagi lembaga pemerintahan, adalah terpusat di tangan Soeharto. Tidak pernah ada demonstrasi dan aksi teatrikal membakar foto pejabat, terutama Presiden seperti yang terjadi di zaman reformasi saat ini.

Konteks pembangunan politik ini, persis seperti yang di paparkan oleh Lucian Pye mengenai aspek pembangunan politik, bahwa pembangunan politik salah satunya adalah sebagai stabilitas dan perubahan tertib. Pye menyatakan bahwa Stabilitas yang hanya merupakan stagnasi dan dukungan sepihak terhadap status quo jelas bukan pembangunan, kecuali jika pilihannya adalah terwujudnya keadaan yang lebih buruk. Lebih lanjut Pye menyatakan bahwa stabilitas dapat dibenarkan ada hubungannya dengan pembangunan, dalam arti bahwa tiap bentuk kemajuan ekonomi dan sosial bergantung pada suatu lingkungan di mana ketidakpastian telah dikurangi dan ada perencanaan yang terprediksi relatif aman.17 Presiden Soeharto mengurangi ketidakpastian kondisi politik dengan menjalankan pemerintahan yang sentralistik, termasuk seluruh lembaga Negara dengan tujuan menghadirkan stabilitas politik. Namun, selama 32 tahun masa pemerintahannya, Soeharto lupa bahwa pembangunan politik juga akan berjalan baik jika didukung oleh partisipasi politik rakyat yang baik dalam berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi dan politik. Akhirnya, ke-absenan partisipasi tersebut menghadirkan jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat kota, seperti potret Rawajati Ciliwung. Banyak rumah penduduk yang terletak di gang-gang sempit dengan fasilitas MCK (mandi cuci kaktus) yang minim, jalan sempit yang penuh dengan gerobak dagangan, sebagai gambaran mata pencaharian sang suami sebagai pedagang keliling.

Sedangkan potret kaum perempuan yang ada di daerah miskin kota, Rawajati Ciliwung ini sebagian besar adalah sebagai ibu rumah tangga, buruh cuci gosok, berwirausaha (mempunyai dan menjaga warung) bahkan ada juga yang berprofesi sebagai pemulung.18 Banyak dari ibu rumah tangga yang ikut dalam kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Dalam lingkungan setempat, peran Ustadzah (penceramah perempuan) sangat sentral dan penting. Ustadzah selalu menekankan kepada ibu-ibu yang mengikuti pengajiannya, untuk selalu mematuhi perintah suami, termasuk melayani suami ketika sang isteri sedang lelah. Jika tidak, pelabelan durhaka, berdosa dan sebagainya tertuju pada sang

(9)

isteri yang tidak mematuhi perintah suami tersebut.19 Hal ini menjadi sangat memprihatinkan karena sebetulnya pendekatan keagamaan dalam sebuah lingkungan masyarakat miskin kota, seperti Rawajati Ciliwung, dapat digunakan untuk membangun pemahaman hak perempuan akan akses kesehatan reproduksi. Kondisi tersebut berjalan cukup lama, hingga kemudian salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Kapal Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) menginisiasi terbentuknya Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) di bulan November 2003. Terbentuknya SPC tidaklah instan. Salah seorang pengurus Kapal Perempuan memutuskan untuk tinggal bersama masyarakat Rawajati, Ciliwung Jakarta Selatan, untuk memahami kebutuhan perempuan yang ada di daerah tersebut.

Akhirnya, sejumlah ibu-ibu yang ada di ajak untuk bersekolah informal, yaitu mengajarkan kepada ibu-ibu setempat bahwa ada hak mereka dalam berbagai aspek sosial yang layak mereka dapatkan, tanpa harus meninggalkan kewajibannya sebagai perempuan dan istri. Dengan hadirnya Sekolah Perempuan Ciliwung yang terbentuk dari inisiatif Kapal Perempuan, maka banyak ibu yang tergerak untuk lebih meningkatkan kualitas hidup mereka, baik secara pendidikan, politik dan sosial ekonomi. Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) kini mempunyai enam orang pengurus inti dan 63 anggota serta berbagai kegiatan dan program yang juga dijalankan oleh pengurus inti di daerah itu. Kegiatan dan program tersebut berupa Koperasi Simpan Pinjam, Katering (seperti menerima pesanan memasak untuk LSM-LSM yang sedang melakukan demonstrasi), pembayaran listrik kolektif, pengenalan hak kesehatan serta ragam kekerasan terhadap perempuan dan baca tulis (dengan pengurus inti sebagai pengajar, setelah sebelumnya dicontohkan dan dilatih oleh pengurus Kapal Perempuan).

Ragam kegiatan tersebut dilakukan dengan tujuan bahwa perempuan di daerah Rawajati Ciliwung yang mayoritas mempunyai latar belakang pendidikan rendah, bisa mandiri secara individu di kemudian hari. Salah satu kegiatan yang ada, yaitu baca tulis, di dominasi oleh ibu-ibu yang sudah berumur 47 ke atas, karena tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah ketika kecil. Kegiatan baca tulis ini pun bersifat fleksibel dengan bertempat di sekitar sungai Ciliwung jika tidak turun hujan. Program lainnya yaitu Koperasi simpan pinjam yang boleh juga untuk non anggota. Kadang sebagai jaminan, adalah BPKB karena pengurus juga mengalami kesulitan dalam menagih iuran untuk pelunasan peminjaman.20

19 Berdasarkan pengalaman salah satu pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang juga pernah mengikuti pengajian setempat.

(10)

Pengetahuan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) beserta payung hukum pemerintah Indonesia, diberikan pada ibu-ibu setempat atas dasar masalah kekerasan yang terjadi di lingkungan mereka.

Selain KDRT, banyak ibu-ibu yang tidak mendapatkan akses informasi dan sosialisasi kesehatan, terutama mengenai kesehatan reproduksi. Akibat dari minimnya sosialisasi dan informasi, ada beberapa ibu yang tidak sadar akan bahaya penggunaan alat kontrasepsi yang telah mereka gunakan. SPC juga pernah mengundang dua orang bidan untuk tema reproduksi perempuan setelah pengarahan yang diberikan oleh Kapal Perempuan terkait masalah kespro di daerah Rawajati, Ciliwung. Namun, acara tersebut berlangsung dengan kehadiran para ibu yang minim. Kesadaran ibu-ibu untuk mengetahui permasalahan kesehatan perempuan masih minim.21 Dapat dilihat bahwa belum banyak perempuan yang menyadari bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi sangat penting. ketidaktahuan perempuan, dapat menyebabkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi di Indonesia.

Selain masalah pengetahuan kespro, kaum ibu setempat juga mengeluhkan ketersediaan layanan kesehatan yang memadai. Ada perbedaan dalam hal pelayanan dan harga.22 Terdapat dua puskesmas yang dekat dengan lokasi rumah warga Rawajati-Ciliwung. Namun, puskesmas yang paling dekat, masih memungut biaya pendaftaran, sebaliknya pada puskesmas lain, tidak ada biaya pendaftaran. Begitu juga dengan pembuatan surat izin kesehatan yang meminta pembayaran sebesar Rp 5.000,-. Demikian pula dengan harga obat berkualitas tinggi, dikenakan jumlah yang sama. Pelayanan dokter pun belum memenuhi harapan dengan tidak di sampaikannya paparan penyakit yang diderita pasien serta tidak memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Hal ini jelas semakin membuat perempuan sulit untuk mengakses layanan kesehatan yang berkualitas karena faktor ekonomi. Akibat dari layanan kesehatan yang belum mumpuni, maka terdapat beberapa warga perempuan yang enggan untuk memeriksakan kesehatan mereka ketika mengeluh sakit.

Salah satu kasus yang ditemukan penulis, yaitu ketika salah satu ibu dinyatakan hamil dan ia masih menggunakan alat kontrasepsi. Ia enggan untuk pergi ke dokter, walaupun mengeluh sakit di bagian tertentu dari tubuhnya. Faktor penyebab keengganan nya untuk periksa ke dokter, selain membutuhkan uang, adalah karena takut pada suaminya, yang melarang nya untuk hamil lagi. Dapat kita bayangkan, bagaimana terlanggarnya hak seorang

(11)

perempuan untuk sehat, sementara suami hanya peduli bagaimana caranya sang isteri tidak hamil lagi karena kondisi ekonomi yang sulit.

Pentingnya Partisipasi Politik Perempuan Masyarakat Miskin Kota

Ragam masalah kesehatan reproduksi yang dialami perempuan di daerah Rawajati Ciliwung, baik pengetahuan yang minim ketika hamil maupun ketika menstruasi serta penggunaan alat kontrasepsi, jelas membutuhkan uluran tangan perempuan itu sendiri. Karenanya, partisipasi warga perempuan Rawajati serta pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang terbentuk dengan enam orang yang telah terlatih sebelumnya, jelas sangat diharapkan bagi sosialisasi akses kesehatan perempuan. Miriam Budiarjo dalam bukunya, Partipasi dan Partai Politik, memaknai partisipasi politik dalam definisi umum sebagai ‘kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah’. Kegiatan ini seperti tindakan memberi suara dalam Pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan para pejabat pemerintah atau parlemen dan sebagainya.23

Sedangkan menurut Samuel Huntington dan Joe Nelson, partisipasi politik dalam negara dengan sistem pemerintahan demokrasi, dapat diartikan sebagai ‘kegiatan warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah’.24 Lebih lanjut, Samuel Huntington dan Nelson menuliskan bahwa partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal dan efektif atau tidak efektif. Menurut sarjana politik lainnya, yaiti Herbert Mc-Closky dalam International Encyclopedia of the social science, partisipasi politik adalah ‘kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum’.25

Berdasarkan paparan tiga sarjana ilmu politik di atas, partisipasi politik secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘keikutsertaan seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah proses kehidupan politik yang mempunyai tujuan bersama untuk mempengaruhi

23 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia Jakarta: Jakarta, 1982, hal.1.

24 Samuel Huntington dan Joe Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.6.

(12)

sebuah kebijakan pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung’. Dalam kaitannya dengan masalah sosialisasi kesehatan reproduksi, maka keikutsertaan seorang atau sekelompok orang perempuan di daerah miskin kota seperti Rawajati Ciliwung dalam melakukan sosialisasi tersebut, adalah bentuk partisipasi politik perempuan, yang dapat menginisiasi lahirnya kebijakan pemerintah mengenai akses pemenuhan hak kesehatan perempuan Indonesia, terutama bagi perempuan di lingkungan miskin perkotaan. Beranjak dari pengalaman fakta lapangan, yaitu di daerah Rawajati Ciliwung, akses untuk perempuan dapat berpartisipasi dan berbicara di depan publik untuk memaparkan masalah dan kebutuhan pemenuhan hak kesehatan reproduksi nya, adalah sangat minim dan di batasi. Pengurus Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang telah terlatih untuk menyikapi masalah kekerasan terhadap perempuan secara kritis di sekitar lingkungannya, mengakui bahwa tidak ada ajakan dari pejabat setempat (seperti pak Rt/Rw) dalam hal Musrembang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).26 Di mana pada Musrembang tersebut, ada beberapa bahasan pokok bagi perempuan, seperti akses kesehatan untuk perempuan.

Jika melihat kondisi yang demikian mendesak atas permasalahan pemahaman akses hak kesehatan bagi perempuan di daerah Rawajati Ciliwung, maka kaum perempuan yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman baik seperti SPC, harus diikutsertakan dalam ragam obrolan mengenai pembangunan daerah tersebut ke depan. Bagaimanapun, partisipasi politik perempuan tersebut, adalah cermin demokratisasi dalam proses pembentukan kebijakan umum pemerintah. Jika representasi perempuan dalam politik formal di katakan oleh Judith Squires dengan bertolak pada paparan Anne Philips sebagai; argumen tentang model peran (bahwa perempuan itu sebagai contoh perempuan lainnya), argumen atas nama keberpihakan terhadap keadilan, argumen keberpihakan terhadap kebutuhan perempuan dan argumen terhadap keberpihakan revitalisasi demokrasi,27 maka representasi perempuan dalam politik informal pun dapat menjadi cermin bagi perempuan lainnya bahwa kebutuhan mereka hanya dapat dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Dan, partisipasi politik perempuan di daerah masyarakat miskin kota seperti Rawajati Ciliwung dalam meminta pemenuhan akses kespro, adalah penting. Hal tersebut bisa membuat kaum perempuan lainnya menyadari bahwa pemenuhan hak kesehatan mereka, harus diperjuangkan oleh sikap kritis mereka sendiri.

(13)

Meski partisipasi politik perempuan Indonesia, khususnya kaum miskin kota mengalami stagnasi di zaman demokratisasi dan reformasi ini, namun perempuan Indonesia sebetulnya pernah mengalami sebuah masa kejayaan eksistensi diri. Saskia Wieringa dalam bukunya, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, menuliskan bahwa organisasi formal perempuan yang pertama adalah Putri Mardika. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tahun 1912 dan memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan untuk tampil di depan umum, membuang rasa “takut” dan “mengangkat” perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki (Petrus Blumberger 1987:160, orig.1931). Kemudian, pada tahun antara 1913-1915, berdiri berbagai organisasi perempuan, terutama di Jawa dan Minangkabau. Umumnya para anggota terdiri dari kalangan atas dan mempunyai perhatian lebih terhadap dunia pendidikan.28 Dapat dilihat betapa perempuan Indonesia pernah memainkan peranan yang sangat penting dan hebat dalam mengangkat eksistensi dirinya di ranah publik.

Sedangkan kondisi pola hubungan politik antara perempuan dan laki-laki setelah direbutnya kekuasaan negara oleh Indonesia, menjadi berubah secara mendasar. Perempuan Indonesia bukan lagi berhadapan dengan pejabat kolonial laki-laki, namun membela kepentingan mereka sendiri di depan politisi Indonesia laki-laki, setelah sebelumnya kedua insan ini mempunyai kerjasama yang baik. Perempuan menjadi pesaing yang ditakuti oleh laki-laki karena mampu menangani segala urusan umum dan pribadinya.29 Tidak berhenti sampai di situ saja, perempuan selama perjuangan anti kolonial, menjadi aktor yang vokal di tengah gelanggang politik dan sekaligus menjadi ibu dan istri yang “baik”. Praktiknya, dua peranan ini berpadu karena perempuan memainkan peranan politik untuk menjadi ibu yang baik dari rakyat Indonesia dan istri yang baik (sebagai pembantu laki-laki). Pada akhirnya, setelah tidak ada lagi musuh bersama, laki-laki mengaku bidang politik adalah tempat mereka dan perempuan ditinggalkan di bidang sosial.30

Pada tataran konteks sejarah ini, jelas bahwa perempuan pernah menempati masa jaya dengan aktif di ranah politik dan juga menjadi istri serta ibu yang baik. Namun, egoisme dan budaya patriarkhal bahkan sejarah Indonesia, banyak menghilangkan peran hebat perempuan dan kemudian perempuan menerima ‘kodrat’ nya untuk ditempatkan dalam ranah domestik/sosial saja. Bahkan pada masa itu, hal ini pun diterima oleh organisasi perempuan yang bercorak

28 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan Kalyanamitra: Jakarta, 1999, hal.104-105.

(14)

keagamaan, kecuali Gerwani. Meski demikian, pada batas-batas tertentu, kehadiran Gerwani dianggap sebagai mengganggu kodrat perempuan. Hal tersebut terjadi karena Gerwani memperjuangkan dua kebutuhan perempuan, yaitu menentang poligami dan memperjuangkan hak kesejahteraan buruh Indonesia.

Pada intinya, kemerdekaan nasional memberikan hak-hak hukum dan politik tertentu pada perempuan. Namun, hal tersebut tidak lantas menghilangkan struktur patriarkhal yang mendera perempuan, yang juga dikecam oleh Soekarno. Sedangkan pada zaman Orde Baru, tiap penulis selalu digiring agar patuh pada ideologi Negara (Pancasila). Orde baru adalah sejarah kelam bagi Gerwani dan Gerwis. Orde Baru memberi label buruk pada Gerwani, bahwa mereka sebagai sayap komunis yang dipimpin PKI, terus didengungkan, sehingga banyak orang memandang Gerwani tidak bisa dipisahkan dengan PKI. Namun setelah Soeharto lengser dan sering perubahan masa, maka stigma Gerwani sebagai sekumpulan perempuan ‘bermoral bejat’ yang dikonstruki penguasa patriarkhi militer Orde baru, mulai memudar.31 Gerwani sendiri adalah gerakan yang berjuang untuk reformasi sosial-ekonomi, tetapi menerima tanggung jawab tradisional perempuan dalam rumah tangga dan sebagai ibu. Gerakan perempuan ini menginginkan agar gerakan perempuan memainkan peran di dalam politik nasional. Dengan demikian, pendirian Gerwani diwarnai ide campuran antara esensialisme dan konstruktivisme.32 Beralih pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi, maka dapat dilihat dari aktifitas sosial dan politik berbagai gerakan perempuan yang ada di Indonesia.

Jatuhnya rezim Soeharto di tahun 1998, mengakibatkan melonjaknya harga sembako dan berbagai potret bunuh diri serta perdagangan manusia untuk keluar dari kesulitan ekonomi. Ada juga aksi yang bertemakan politik susu dari para feminis di Indonesia untuk menyatukan berbagai kalangan strata sosial dalam melakukan protes terhadap pemerintah. Di masa itu, peran gerakan perempuan terlihat dari aktifitasnya untuk melakukan aksi, melakukan ragam publikasi, kampanye publik atas isu krisis ekonomi dan dampaknya terhadap perempuan. Dalam deklarasinya, ragam tuntutan koalisi gerakan perempuan di Indonesia ketika transisi ke reformasi meliputi; Pertama, membiasakan pemerintah meletakkan perempuan dalam pemerintahannya, yang juga mempunyai tugas untuk mengorganisir pemilu. Kedua, menuntut penyelesaian kasus kekerasan di rejim orde baru, khususnya oleh militer termasuk juga penghapusan fungsi dualime militer. Ketiga, untuk 31http://www.komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/buku, pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2012, pukul 17.00 WIB.

(15)

menuntut transparansi dalam penggunaan dana dan keempat, menuntut hukuman untuk Soeharto, keluarga dan kroninya.33 Hingga Desember 1998, gerakan perempuan Indonesia baru bisa bernafas lega, melakukan kongres perempuan Indonesia di Yogyakarta, setelah sebelumnya pada era Soeharto, tidak pernah ada aktifitas seperti itu.

Dalam potret tersebut, dapat kita telaah bahwa perempuan Indonesia di era transisi ke zaman reformasi, melakukan aktifitas dan partisipasi politik guna mengupayakan tersalurkannya kepentingan perempuan dalam kebijakan pemerintah. Namun, dalam era demokratisasi saat ini, partisipasi politik perempuan menemui kebuntuan. Pemerintahan SBY mempersilahkan tiap organisasi/LSM untuk berdiri, begitupun dengan organisasi perempuan. Namun, seiring dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat di masa demokratisasi, partisipasi politik yang terbentuk bukanlah tujuan, namun sekedar alat. Dapat kita temukan dan lihat bahwa dalam tiap Pemilu, perempuan dan anak remaja memberikan suara hanya berdasarkan permintaan seorang calon kandidat yang melakukan mobilisasi dengan politik uang. Sedangkan di negara maju, partisipasi politik yang berjalan adalah sebagai tujuan. Karenanya, meski angka golput tinggi, namun itu bukanlah bentuk dari sikap apatis seseorang, melainkan implementasi sikap atas pengetahuan mereka. Hal ini pula yang dikatakan oleh Samuel Huntington dan Joe Nelson, bahwa tingkat pembangunan sosio ekonomi yang lebih tinggi di dalam suatu masyarakat akan mengakibatkan tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi, dan secara implisit mengakibatkan suatu pergeseran dari bentuk partisipasi yang dimobilisasikan ke partisipasi yang otonom.34

Kembali pada urgensi partisipasi politik perempuan masyarakat miskin kota, bahwa kesadaran partisipasi berpolitik mereka dalam mensosialisasikan hak kesehatan reproduksi adalah sejalan dengan pendidikan politik yang di dapat. Meski demikian, pemberian pendidikan politik tidaklah cukup ketika budaya patriarkhal yang memandang perempuan tidak bisa bergumul di ranah publik, masih berlaku di masyarakat. Pengalaman partisipasi politik ibu-ibu yang tergabung dalam Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang dibelenggu, merupakan pelajaran bahwa di negara berkembang, masalah partisipasi memang cukup rumit. Ada beberapa hal yang dapat menjawab kerumitan partisipasi politik tersebut, terutama partisipasi politik perempuan dalam turut mensosialiasikan hak kespro bagi perempuan lainnya.

33 Ruth Indiah Rahayu, The Women’s Movement in Reformasi Indonesia dalam Indonesia; The Uncertain Transition, Crawford House Publishing: Australia, 2001, hal.148.

(16)

Pertama, perlu adanya metode-metode pelatihan kesadaran bagi perempuan dalam melihat fenomena ragam permasalahan mereka, beserta analisa sebab nya. Ketika perempuan telah memiliki kesadaran akan hak nya yang belum terpenuhi, maka rasa apati mereka segera hilang. Kemudian menyadari bahwa sosialisasi pemenuhan hak kesehatan reproduksi mereka hanya dapat dipahami secara baik oleh kaum perempuan itu sendiri.

Kedua, perlu ada peningkatan jumlah serikat/perkumpulan yang mewadahi minat perempuan dalam beraktifitas. Dengan demikian, perkumpulan/organisasi tersebut dapat membantu untuk menggugah kesadaran sosial dan politik perempuan. Pengalaman yang ada di Rawajati-Ciliwung, adalah bahwa ketika pelatihan dari LSM tidak lagi intensif karena diharapkan dapat berdiri sendiri dan menyelesaikan ragam masalah perempuan dengan musyawarah, maka aktifitas sosial politik perempuan berkurang. Pelaksanaan sebuah partisipasi politik dari perempuan memang tidak mudah. Butuh waktu panjang dan kesabaran untuk bisa memberikan pemahaman pada kaum perempuan di lingkungan masyarakat miskin kota, bahwa partisipasi politik mereka sangatlah penting guna membantu akses kesehatan kaum perempuan lainnya.

Kesimpulan

Sebuah partisipasi politik dari perempuan yang ada di lingkungan masyarakat miskin perkotaan, seperti daerah Rawajati Ciliwung untuk mensosialisasikan pentingnya hak kesehatan reproduksi bagi perempuan, jelas merupakan hal yang tidak bisa di tawar. Hal ini tidak mudah, mengingat kondisi pendidikan perempuan yang mayoritas sebagai lulusan SD atau bahkan tidak tamat SD sebagaimana potret kaum perempuan yang tergabung di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC). Selain itu, terdapat rintangan dari pemimpin setempat di daerah Rawajati Ciliwung, bahwa perempuan tidak diakomodir untuk ikut musyawarah musrembang. Ada beberapa keuntungan ketika sekelompok atau beberapa orang perempuan dalam masyarakat miskin perkotaan (red-Rawajati Ciliwung) berpartisipasi secara politik dalam pelaksanaan sosialisasi kesehatan reproduksi.

(17)

perempuan dan politik, akan mencontoh ibu-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) yang lebih tercerahkan. Kedua, lebih bisa menghargai diri sendiri, bahwa ternyata akses dan informasi yang kurang mengenai kesehatan reproduksi, mengakibatkan banyaknya angka kematian bagi seorang ibu di Indonesia. Dengan demikian, partisipasi politik yang terbentuk adalah atas kesadaran perempuan. Ketiga, sebagai upaya pemberian masukan bagi pihak Pemerintah daerah dan pusat, terutama pimpinan di tingkat RT dan RW bahwa pengambilan keputusan oleh pemerintah bagi masyarakat Indonesia mengenai kesehatan, harus lebih memperhatikan dan mengutamakan kesehatan perempuan. Dibatasinya akses perempuan di lingkungan Rawajati Ciliwung sebagai lingkungan masyarakat miskin perkotaan untuk berpartisipasi secara politik, berbicara di depan umum mengenai kebutuhan akses kesehatan reproduksi dan hak perempuan lainnya, mencerminkan bahwa pejabat setempat belum berpihak pada perempuan. Pejabat setempat di Rawajati Ciliwung masih memandang bahwa keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik adalah tidak penting. Ini mencerminkan terlanggarnya hak politik perempuan dalam negara demokrasi Indonesia.

Ana Sabhana Azmy

Dosen Tidak Tetap di Jurusan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS).

(18)

Daftar Pustaka

Buku

Alfian, Budaya Politik, Disiplin Sosial dan Pembangunan Politik, dalam buku Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia, Gramedia: Jakarta, 1986.

Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia Jakarta: Jakarta, 1982.

Eleonora, Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan Kalyanamitra: Jakarta, 1999.

Huntington, Samuel dan Joe Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Indiah Rahayu, Ruth, The Women’s Movement in Reformasi Indonesia dalam Indonesia; The Uncertain Transition, Crawford House Publishing: Australia, 2001.

Squires, Judith, Gender in Political Theory, Polity Press: UK, 1999.

Suparlan, Parsudi dalam diklat Manajemen Perkotaan, pelayanan sosial perkotaan dan pengentasan kemiskinan, kerjasama badan diklat Depdagri, diklat prov Sumut, Lampung, Jabar, NTB, Kaltim dan Sulut, PT Yodya Karya (persero), 1999/2000.

W Pye, Lucian , Aspects of Political Development, Little, Brown and Company: USA, 1996.

Dokumen lainnya

Pdf DUHAM (Deklarasi Universal untuk Hak Asasi Manusia) pasal 25 ayat (1) dan (2). Maria Ulfa Anshor, Fikih Aborsi dari Perspektif Feminis Muslim, Pascasarjana Universitas

Indonesia, Program Studi Kajian Wanita.

Situs Internet dan Wawancara

www.bps.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.20 WIB. www.depkes.go.id, diakses pada tanggal 29 Februari 2012 pukul 19.40 WIB.

(19)

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/10/21/99727/30-Perempuan-Indonesia-Menikah-Muda,

http://wri.or.id/id/publikasi, potret kemiskinan, diakses pada tanggal 1 Maret 2012 pukul 11.45 WIB.

http://www.komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/buku, pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2012, pukul 17.00 WIB.

Wawancara dengan Ibu Mistinah, Pengurus SPC (wakil ketua), 2011. Wawancara dengan Ibu Retno, Pengurus SPC (Sekretaris), 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Gaya kepemimpinan (X3) berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Y) karena mempunyai t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 5,983 > 2,008. Hasil penelitian ini

Versailles yang sangat menekan Jerman dipandang sebagai perjanjian yang tidak akan bertahan lama untuk menjaga perdamaian karena dapat memicu gejolak atau konflik baru yang

Abstrak; Latar belakang diadakannya Penelitian ini adalah rendahnya kompetensi guru sasaran Di SDN Inpres Hidirasa dalam penyusunan Rencana Pelakssanaan Pembelajaran (RPP)

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan kawasan Pantai Panjang adalah: masih rendahnya kesadaran dan dukungan masyarakat dan para wisatawan, perencanaan yang

yang tentunya meminta ganti rugi atas kehilangan kendaraannya harus berhadapan dengan dalil pengelola parkir bahwa perjanjian parkir adalah perjanjian sewa lahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor rata-rata nilai kelas dalam tes pendidikan agama Katolik 5,25 dari 75.60 pada siklus I menjadi 80.85

MINAT SISWA SMAN 1 SUMATERA BARAT TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA Sekolah adalah salah satu tempat untuk menimba ilmu bagi siswa, baik itu berupa pengetahuan maupun keagamaan.. Di

- Untuk capaian kinerja IKK yang kosong atau tidak diisi dalam lampiran LPPD, maka evaluator wajib mengisi pada template dengan isian “TDI”, jika evaluator tidak mengisi, maka