• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK AJARAN BUDDHA PADA MASA BU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KARAKTERISTIK AJARAN BUDDHA PADA MASA BU"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK AJARAN BUDDHA PADA MASA BUDDHISME AWAL

Oleh: Sāmaṇera Yogi Guṇavaro Guṇapiyo

Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca desito paññatto, so vo mamaccayena satthā.

“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah kupaparkan dan kumaklumkan, itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”

Buddhisme awal ― Semua aliran Buddhis mempercayai bahwa ajaran mereka berasal dari Buddha historis, dan mereka semuanya benar, dalam pengertian tertentu. Tidak diragukan bahwa kita dapat menelusuri jejak kelanjutan di antara aliran-aliran Buddhisme, demikianlah sehingga mereka semua dapat dengan sah dianggap sebagai pewaris ajaran Sang Buddha. Namun pada waktu yang sama dapat menjadi aneh jika beberapa hal tidak berubah dalam 2500 tahun sejarah Buddhis, dan sungguh tidak Buddhis untuk menyatakan bahwa Buddhisme tidak pernah berubah.

Periode paling awal dari Buddhisme adalah periode dimana ketika Buddha masih hidup dan membabarkan Dhamma kepada para siswanya. Dalam periode inilah Dhamma diajarkan dan diterima dalam masyarakat, diajarkan langsung oleh Buddha, sehingga kemurnian dari apa yang diajarkannya masih dapat dipertahankan. Kemurnian dari ajaran Buddha yang menjadi tolak ukur Buddhisme awal berlangsung hingga Buddha Parinibbāna. Periode paling awal dari Buddhisme adalah bersatu, dengan tidak adanya aliran-aliran yang terpisah secara jelas. Periode ini bertahan sampai masa Asoka, ±100 tahun setelah Parinibbāna Buddha. Pada masa ini belum terdapat pembagian antara sekte, dan ajarannya masih disampaikan secara lisan. Pada buku Ivan Taniputera Dipl. Ing. yang membahas mengenai ‘Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara’ menyatakan bahwa, dalam hal ini Buddhisme awal dibagi menjadi dua masa atau dua periode, yaitu:

(2)

hidup membiara. Suatu kelompok yang lebih progresif, Mahasamghika (Kumpulan Besar), menentang ajaran tradisional yang sudah dibakukan oleh kelompok yang lebih konservatif yang disebut Theravāda (atau disebut Sthaviravada dalam Bahasa Sansekerta). Pada zaman itu naskah-naskah tertua Buddhis adalah Nikāya-Nikāya Pāli (Sutta-Piṭaka) yang sama dengan Āgama Sutra pada Sansekerta. Salah satu acuan terawal selain dari kitab-kita agama Buddha tentang keberadaan beberapa sutta adalah tugu Bhabra dari Raja Asoka abad ke-3 SM, yang menyebutkan tujuh kitab berasal dari sutta terdahulu yang sekarang telah diidentifikasi, seperti Cullavagga dari Vinaya Piṭaka.

Selain itu Vinaya Piṭaka juga sudah dikenal pada zaman itu. Vinaya mengandung banyak materi yang umum misalnya pāṭimokkha (Pāli) atau Praktimoksa (Sansekerta), tetapi juga banyak tambahan yang belakangan ini dilakukan terhadap isi dari Vinaya itu sendiri. Terutama ketika muncul kontroversi yang terjadi oleh karena penafsiran ajaran dan peraturah hidup membiara yang berbeda-beda. Pendapat pertama mengatakan bahwa penyebab perpecahan adalah sepuluh peraturan kebhikkhuan yang diusulkan beberapa anggota Saṅgha agar ditinjau kembali. Pendapat kedua mengatakan bahwa perpecahan terjadi karena perbedaan pendapat mengenai arahat sebagai mana yang dikemukakan oleh seorang Bhikkhu bernama Mahadeva. Pandangan Mahadeva ini ditentang oleh para Bhikkhu yang lebih senior, namun didukung oleh para anggota Sangha yang lebih muda. Dari kedua pendapat tersebut tidak dapat diketahui mana yang lebih benar, namun yang pasti pendapat-pendapat tersebut menunjukan bahwa pada saat itu telah terjadi pepecahan yang diakibatkan oleh beda penafsiran antara Vinaya Piṭaka dan Sutta Piṭaka.

Dari perbedaan tersebut, lalu apakah yang menjadi karakteristik Buddhisme awal? Apakah karakteristik dari Buddhisme awal dengan yang sekarang tetap sama? Atau berbeda?

PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai kesamaan-kesamaan dari Nikāya dan Āgama terhadap konsep-konsep terpenting yang membentuk Buddhisme, dan dengan tidak diakuinya salah satu dari konsep ini, maka akan dapat diketemukan suatu ajaran yang sangat menyimpang dari karakteristik Buddhisme tersebut. Karakteristik dari Buddhisme atau Buddhisme awal adalah spekulatif, non-otoritarian, dan non-absolutisme. Namun sebelum memasuki pembahasan yang lebih jauh mengenai karakteristik Buddhisme awal tersebut, pada bagian ini akan dibahas mengenai apa yang diajarkan Buddha pada awalnya dan dicari persamaannya melalui sumber Nikāya dan Āgama.

(3)

Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Nikāya-Pāli

Cāttariariyasaccāni atau empat kebenaran mulia dalam Nikāya-Pāli dapat ditemukan pada Dhammacakkapavatana Sutta, yang berbunyi sebagai berikut:

“Wahai, Bhikkhu! Kelahiran adalah penderitaan...kemelekatan terhadap lima khanddha adalah penderitaan. Inilah kebenaran mulia mengenai

...Inilah kebenaran mulia menuju hilangnya penderitaan: pandangan benar (sammā-diṭṭhi), ... dan meditasi benar (sammā-samādhi).”

Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta

Sedangkan Cāttariariyasaccāni (empat kebenaran mulia) dalam Āgama-Sansekerta bisa diketemukan pada Avatamsaka-Sutra bab VIII, yang berisi:

“Putera-putera Buddha, Kebenaran Mulia tentang penderitaan di dalam Samsara ini kadang-kadang disebut dengan perilaku salah, penganiyayaan, perubahan/ketidak kekalan, kemelekatan pada suatu objek ... atau tindakan yang dilansasi kebodohan.

Kebenaran mulia mengenai penyebab penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut belenggu atau perpisahan ... kesadaran palsu... . Kebenaran mulia mengenai lenyapnya penderitaan, di dalam samsara ini boleh disebut dengan penghindaran atas pertikaian ... atau berdiam di dalam sifat sejati...

Kebenaran mulia mengenai jalan untuk menghilangkan penderitaan di dalam samsara ini boleh disebut satu kendaraan, jalan bertahap menuju kedamaian, ... tidak memiliki nafsu keinginan lagi, mengikuti jalan para Arya ... .”

(4)

Mengenai penyebab penderitaan Dhammacakkapavatana-Sutta menyebutkan kemelekatanlah yang menjadi penyebab kelahiran terus menerus dalam samsara ini. Avatamsaka-Sutra menyebutkan dengan istilah belenggu, karena menyebabkan kita selamanya terikat dalam lingkaran kelahiran dan kematian.

(5)

II. Pembagian bedasarkan Sifat Terhadap Ajaran Buddha pada Masa Buddhisme Awal

a. Non-Spekulatif

Ajaran Agama Buddha pada masa Buddhisme awal lebih bersifat non-spekulatif. Spekulatif disini merupakan kata yang berasal dari kata spekulasi yaitu pendapat atau dugaan yang tidak bedasarkan kenyataan. Artinya pendapat itu dibuat atau teori itu berdiri bukan bedasarkan apa yang telah dialami atau telah dilihat pada kenyataannya, namun lebih pada perkiraan-perkiraan yang mendekati dengan apa yang berhubungan dengan hal tersebut. Buddhisme awal jelas tidak bersifat spekulatif, dimana dalam ajaran Buddha pada umumnya bertujuan untuk pembebasan Dukkha, oleh karena itu Buddhisme jika bersifat spekulatif akan terjebak pada spekulasi-spekulasi yang pada akhirnya tidak membawa pada manfaat untuk tujuan dari Buddhisme itu sendiri, yaitu pembebasan dari Dukkha.

Beberapa hal yang bersangkutan dengan pandangan ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal yang bersifat non-spekulatif misalnya dapat kita temukan di dalam Samyuta-Nikāya, yaitu tentang seseorang yang bernama Acela Kassapa, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Buddha yang berkaitan jawabannya dengan spekulasi-spekulasi.

1. Apakah penderitaan disebabkan oleh diri sendiri? 2. Apakah penderitaan disebabkan oleh yang lainnya?

3. Apakah penderitaan disebabkan baik oleh sendiri maupun yang lainnya?

4. Apakah penderitaan disebabkan bukan oleh sendiri dan bukan juga oleh yang lain?

Untuk pertanyaan tersebut Buddha menjawab: “Jangan berkata demikian, alih-alih membuat penyangkalan yang lebih umum yang bisa dinyatakan sebagai: ‘bukan demikian’. Keengganan untuk menerima dalih yang pertama (penderitaan bersebab akibat sendiri) didorong oleh kewaspadaannya bahwa hal itu dapat membimbing ke kepercayaan akan eternalisme. Yang kedua dihindari karena ia dapat membimbing ke anihilasionisme. Yang ketiga, kombinasi dari kedua teori di atas, membawa serta kedua implikasi tadi, eternalisme dan anihillasionisme. Dan yang keempat menyangkal sebab-akibat sama sekali.”

(6)

kepercayaan akan eternalisme, yang sebenarnya dalam Buddhisme tidak memandang paham eternalisme.

b. Non-Otoritarian

Otoritarian memiliki makna yang berasal dari kata otoriter dimana otoriter mengandung makna berkuasa sendiri atau sewenang-wenang, atau menganggap segala keputusan berasal dari dia.

Dalam sumber lain istilah otoritarianisme berasal dari bahasa Inggris, authoritarian. Kata authoritarian sendiri berasal dari bahasa

Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari

kata Latin auctoritas. Kata ini berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Oleh otoritas itu, orang dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan,

dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok.

Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.

Penganut otoritarianisme akan berpegang pada kekuasaan sebagai

acuan hidup. Ia akan menggunakan wewenang sebagai dasar berpikir. Ketika berhadapan dengan orang lain dan menanggapi masalahnya, mereka akan menanyakan kedudukannya (sebagai apa)

dalam lembaga dan organisasi. Dalam membahas masalah itu, dia tidak akan mempersoalkan hakikat dan kepentingannya, tetapi berhak ikut campur dan mengurus perkara yang dipersoalkannya. Namun demikian, hal ini hanya berlaku untuk dirinya. Untuk orang lain, orang otoritarian akan membatasi pekerjaan seseorang, yaitu agar orang tersebut bekerja

menurut prosedur dan aturan yang ada. Jika orang itu tidak mengerti dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, ia akan dianggap salah.

Dari penjabaran mengenai pengertian otoritarian yang telah di bahas, jelas dalam hal ini Buddhisme awal tidak memegang paham tersebut, atau dengan kata lain bersifat non-otoritarian. Hal itu dapat dibuktikan dalam ajaran Buddha yang terkandung dalam Mahāparinibbāna-Sutta, yang berisikan tentang saat-saat terakhir sebelum Buddha Parinibbāna.

Dan isi kutipan dari Mahāparinibbāna-Sutta yang mencerminkan sifat non-otoritarian pada masa Buddhisme awal adalah:

“Yo vo,ānanda, mayā dhammo ca vinayo ca desito paññatto, so vo mamaccayena satthā.”

“Ananda, Dhamma dan Winaya yang telah kupaparkan dan kumaklumkan, itulah yang menjadi guru Anda sepeninggalan saya.”

(7)

dengan pertanyaan tersebut menjawan sesuai dengan kutipan diatas dan tidak sama sekali menunjuk atau memilih siapa yang menjadi penggantinya.

c. Non-Absolutisme

Buddhisme awal bersifat non-absolutisme artinya bahwa agama Buddha menekankan untuk tidak terjebak pada sesuatu yang paling mutlak, paling benar, dan paling hakiki. Kata absolutisme berasal dari kata dasar absolut yang berarti tidak terbatas atau mutlak.

Salah satu Sutta yang merujuk pada sifat non-absolut adalah Caṅki-Sutta pada Majjhima-Nikāya.

Caṅki, seorang brahmana dari desa Opāsāda, datang menemui Sang Buddha dengan banyak orang. diantara pengikutnya adalah seorang

brahmana muda bernama Kāpāṭika. Brahmana muda itu terlibat di dalam diskusi dengan Sang Buddha tentang ‘Tiga Veda’yang telah diturunkan dari generasi ke generasi dalam tradisi yang tidak terputus. Tradisi yang oleh brahmana itu dipercaya sebagai satu-satunya kebenaran yang diibaratkan oleh Sang Buddha seperti sebaris orang buta yang masing-masing

berpegangan pada orang buta yang didepannya. Kutipan dari isi sutta tersebut adalah:

"... Ada lima hal yang mempunyai dua macam akibat pada kehidupan sekarang. Apakah ke lima hal itu? Lima hal itu adalah: Keyakinan (saddha), kesukaan (ruci), tradisi (lisan), berdebat tentang bukti (akaraparivitakka) dan senang merenungkan pandangan-pandangan (ditthinijjhanakhanti). Lima hal ini mempunyai dua macam akibat pada kehidupan sekarang. ... Tidaklah tepat bagi seorang yang cerdas, melindungi kebenaran utuk tiba pada kesimpulan (nitthaṁ) secara kategorik (ekaṁsena) dalam hal ini bahwa hanya inilah yang benar dan selainnya keliru (Idaṁ eva saccaṁ moghaṁ aññaṁ).”

Di sini Sang Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi atau laporan atau wahyu dapat benar atau keliru. Dengan tidak adanya jaminan akan kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung kepada teori itu sebagai alat yang mutlak untuk memperoleh pengetahuan. Oleh sebab itu, seperti yang dikemukakan Sang Buddha, seseorang seharusnya menunda keputusan, dan itu berarti penolakan terhadap tradisi atau wahyu sebagai sumber yang mutlak bagi pengetahuaan.

KESIMPULAN

(8)

saat dimana Buddha dalam ajarannya lebih menekankan hal-hal yang sifatnya tidak ber-spekulasi, artinya dimana ketika seseorang dalam usahanya memperoleh pengetahuan mengenai asal mula dan keluasan semesta alam atau sebagainya dan keadaan sebenarnya, terjerumus dalam spekulasi yang diputuskan bedasarkan prinsip-prinsip tertentu. Dan pada akhirnya hal tersebut tidak membawa manfaat sama sekali kepada tujuan utama dari ajaran Buddha yaitu kehidupan religius yang luhur, kepada pelepasan diri, bebas dari nafsu-nafsu, keberhentian, kedamaian, pandangan terang, penerangan, atau nibbāna. Lalu non-otoritarian dimana dalam hal ini Buddha tidak menekankan bahwa Buddha adalah satu-satunya sosok guru yang paling berkuasa dan berhak mengambil keputusan atau mengatur sesuatu, Buddha juga sangat menghindari pengkultusan akan dirinya dimana ketika saat-saat terakhirnya ia tidak sama sekali menunjuk pengganti bagi dirinya sebagai guru atau pimpinan, melainkan ia berkata bahwa Dhamma dan Vinaya adalah guru bagi para murid-murinya setelah Buddha Parinibbāna. Terakhir adalah non-absolutisme, Buddha dalam ajarannya sangat menghindari tentang sesuatu yang mutlak atau yang paling hakiki, dari beberapa ajarannya semuanya bersifat demikian, beliau tidak pernah menyinggung sesuatu yang mutlak adalah ‘A’ atau sesuatu yang paling benar dan hakiki adalah ‘B’. Dengan demikian tidak ada yang mutlak dalam ajaran Buddha pada masa Buddhisme awal, seperti yang tertuang dalam ajrannya yaitu, “Sabbe saṅkhārā aniccā’ti; Sabbe saṅkhārā dukkhā’ti; Sabbe dhammā anattā’ti.” (Segala bentukan tidak kekal adanya; Segala bentukan sukar bertahan adanya; Segala bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri adanya).

Referensi :

- A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177.

- Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2008. Kitab Suci MAJJHIMA-NIKĀYA 5 (Judul asli: The Middle Legth Discourses of The Buddha by Bhikkhu Ñanamoli & Bhikkhu Bodhi). Yogyakarta: Vidyāsena – Vihāra Vidyāloka.

- Anggawati, Lanny & Wena Cintiawati (Penerjemah). 2007. Panduan Tipiṭaka (Judul asli: Guide to Tipiṭaka by U Ko Lay). Klaten: Wisma Sambodhi.

- Kalupahana, David J. 1976. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. Hawaii: The University Press of Hawaii.

- Taniputera, Ivan Dipl. Ing. 2003. Ehipassiko Theravada – Mahayana, Studi Banding Doktrin Buddhisme Aliran Selatan dan Utara. Yogyakarta: Penerbit Suwung.

- Tim Penyusun. 2013. Kitab Suci Dhammapada. Penerbit Bahussuta Society, Singkawang Selatan. (Penerjamah Indonesia: YM. Phra Rājavarācāriya ‘Bhante Win Vijāno’, Penerjemah Inggris: Ven. Acharya Buddharakkhita, dan Penerjemah Mandarin: Ven. Bhikkhu Dhammavaro ‘Fa Zhen’)

- Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

menembakkan pertanyaan kepada kelompok Y yang ada di hadapannya. Setelah itu minta siswa Y untuk berpindah di sebelah kiri. 9) Kelompok siswa Y yang telah kebagian menjawab

Pada buku pedoman ini dijelaskan cara pengutipan berdasarkan format APA (American Psychological Association). Pada format APA, kutipan langsung ditulis dengan menyebutkan

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko- risiko yang dihadapi oleh para pelaku rantai pasok, menentukan atau memperbaiki formula untuk menghitung

Skripsi yang berjudul “Uji Kepekaan (Sensitivity Test) Bakteri Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawa (PE) di Beberapa Kecamatan Kabupaten Banyuwangi

keputusan tersebut sekaligus juga dapat menyentuh dan merugikan kepentingan yang bersifat lebih besar dan luas, yaitu publik (masyarakat). Selain kepentingan, latar belakang

Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh Wibowo (2001: 30) bahwa menentukan topik berarti kita harus memilih hal atau gagasan apa yang akan diutamakan dan

(2) Manfaat adanya manajemen pengetahuan Kelompok Usaha Bersama Dumbo Kuncoro antara lain: (a) dapat meningkatkan kinerja Kelompok Usaha Bersama Dumbo Kuncoro, (b)

KEDUA : Indikator Kinerja Utama sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU, merupakan acuan ukuran kinerja yang digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana