• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Perencanaan Birokrasi dalam pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Perencanaan Birokrasi dalam pdf"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Iurffiffiffi

ffiffiffi$#$

kffi

Jurnal

Pencerahan

Politik

untuk

Demokrasi

Jurnal

Empat

Bulanan

I

Volume

4

No.

2 Tahun 2O0g

Perspektif

Politik

Perkembangan dan

Tantangan Reformasi Birokrasi

Di

lndonesia

Adi Suryadi Culla

Tinjauan Implementasi

Reformasi

Birokrasi

Pemerintah

di

lndonesia

Miftah Thoha

Dilema Kekuasaan Birokrasi

S,grf Pamungkas

Reformasi Menuju Birokrasi

yang

Partisiopatoris

Khairul Muluk

Problematika

Bi

rokrasi

pada Era

Reformasi

"

Utang Suyya

ryo

.

Reformasi

Adm i n

istrasi

SBY-J K:

Mana

Didahulukan?

lrfan

Ridwan

Maksum

:

oo

lmplementasi

Perencanaan

Birokrasl'

dalam Bentuk

Administrasi

Publik

o

leo

Agustino

Tinjauan

Buku Visi, Strategi dan Praktik Pemimpin Masa Depan untuk Era Baru

i

.1,f ''

\'

'1".) . 1-.

x

o

(2)

JurnalPolitika

EdisiVolume

4 No.

2

Tahun

2008

rssN

0216-91s3

Pcngantrr Redaksi

KaJian Utama

Perupektlf Polltlk Porkembangrn

dan Tantrngan Reformml

Blrokrrl di

Indonmlr AdiSurydi Culla

Tinfruan lmplemontarl Reformarl

Birokrul

Pamcrlntrh

dl

lndonmir

MifrahThoha

Dllema

Kakuanrn

Blrokra:l

Sigit Panungkas

Rrformul

llenufu

Blroknrl

yeng

Prillrlprtorlr

Khairul Muluk

Probbmatlkr

Blroknrl prdr En

Rclormui

Wang Swaryo

Rcformml

Admlnirtrnl

SBY.JK:

llrnr

Dld$ulukrn?

ffisr

Ridwgl-

M*sum

31

47

65

85

91

lmplementarl Ponncanmn

Blrokrrd

drlrm

Bcntuk Admlnlrtrarl Publlk:

Banten Sehat 2008 Suatu Tinjauan Kritis

leo.Agusfrno

Tlnfauan Buku

Pmlmpln

trrr

Dcprn:

Vlrl,

Stntcgl

dan

Pnhtk

Pcmlmpln trlrre Dcprn untuk

En

Brru

PujiWahono 129

(3)

Kajian

Utama

rmplementasi perencanaan

Birokrasi

dalam Bentuk

Administrasi

Pubrik

Banten

Sehat

zoog

Suatu Tiniauan

Kritis

LeoAgustino

l\ferujuk

pada pemikiran Bowman dan Hampton

IVIyang

dituangkan mereka dalam buku yang

berjudul

Local

Democracies:

A

Study

in

Comparatiue Local Gouernment (rggg) mengutam_

kan bahwa tidak ada suatu negara dengan wilayah

yang luas dapat dengan baik mengelola pemerinta_ hannya secara efektifdan efisien (hanya) dari pusat.

Karena itu,lanjut mereka, dirasa perlu adanya peme_

rintahan ditingkat lokal (rub-n ational gouernment). Bentuk pemerintahan seperti ini sering kali disebut

oleh

kita

sebagai bentuk pemerintahan desen_

tralisasi. Merujuk pada pemikiran tersebut, Coralie Bryant dan Louise White melalui buku nya Managing

Development

in

Third

World

(r9gz:

16o_16r), berpendapat bahwa terdapat dua bentuk desen_

tralisasi yang dapat dilakukan oleh negara_negera

besar tadi.

Pertama, desentralisasi yang bersifat

politik

(yang kemudian dikenal dengan istilah devo_lusi [dalam perspektif Chemma dan Rondinelli]). Dalam

konteks ini kewenangan dalam formulasi kebijakan

dan melakukan fungsi kontrol terhadap sumber_

sumberdaya tertentu diberikan oleh pemeirntah

pusat kepada badan-badan pemerintah yang berada

Leo Agustino:

Pengajar di program Studi

llmu Administrasi Negara,

FlSlP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten. Saat ini

tengah melanjuU<an studi

doktoraldi Universiti

(4)

bahasan, dalam menerapkan

pelem-bagaan pelayanan

(administrasi

publik) di

bidang kesehatan guna

menggenapi

misi

"Banten

Sehat 2oo8". Ada banyak kesempatan dan

juga banyak kendala, tentunya, yang

dihadapi

untuk

menyelenggarakan misi yang telah ditetapkan tersebut. Kesempatan

yang dapat

dikelola

dengan baik bukan hanya akan

meng-hasilkan output dan outcome yang tak

terduga, tetapi ketika hal

itu

tidak ditanggapi dengan serius, juga, bukan

hal tidak

mungkin akan

menda-tangkan masalah dikemudian hari.

Karenanya,

makalah

ini

akan

mengurai beberapa

subbagian,

pertama, karena dalam pokok

pemi-kiran

yang diulas dimuka

bahwa

(otonomi daerah)

desentralisasi

merupakan kerangka

kerja

dalam

mengelola kepemerintahan

pada

negara modern saat ini, maka bagai-mana penulis melihat otonomi daerah

dalam konteks

pelayanan

publik.

Kedua,

upaya

untuk

menemukan komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan pelayanan kesehatan pada warga. Tentu saja bahasan

ini

akan menyoroti bagaimana kasusnya

di

Provinsi

Banten, dengan

tidak

menutup kemungkinan

elaborasi beberapa data yang diungkap dari

kabupaten atau kota yang ada di

Pro-vinsi Banten. Dan, terakhir, bagian penutup. Pada bagian ini akan penulis

upayakan adanya sebuah

rekomen-dasi atau usulan yang kostmktif guna

perbaikan pelayanan kesehatan

di

Provinsi Banten.

Mewujudkan Good. Gouernolnce

Melalui

Pelayanan

Publik

Otonomi daerah yang tertuang dalam dua perundangan pasca-Orde

Baru (undang-undang No.zz I rggg

yang

kemudian

direvisi

menjadi

Undang-undang No.3z/zoo4) telah mengantarkan negara Indonesia ke depan konstruksi baru koseptualisasi

dan operasionalisasi utuh desentra-lisasi.

Bila merujuk pada beberapa

pen-dapat

scholars mengenai otonomi daerah di Indonesia, misalnya: John

D.

Legge

(196r)', Karl

D. Jackson

(r98o)',

serta

Colin

MacAndrews

(rggO)e dalam buku-buku mereka, dapat

kita

temui bahwa penerapan mulai: Undang-undang No.r tahun

1945, Undang-undang No. ez tahun 1948, Undang-undang

No

r

tahun

1957, Penetapan Presiden (Penpres)

No. 6 tahun 1959, Undang-undang No. 18 tahun 1965, hingga Undang-undang No.

S

tahun

1974, sangat berwarna tarik-ulur desentralisasi, di

satu sisi, dengan dekonsentrasi, di sisi

lainnya, untuk diterapkan.

Dekonsentrasi merupakan pelak-sanaan tugas dan kewenangan oleh pemerintahan daerah yang

didele-1

Baca: John D. Legge. 1961 . Central Authority and Regional Autonomy in lndonesia. lthaca: Cornell University Press.

2

Baca: Karl D. Jackson. 1980. Political Power and

hmmunication in I ndonesi a. Califomia: University

of California Press.

3 Baca: Colin MacAndrews. 1986. Central

Government and Local Govemment in lndonesia. Oxford: Oxford University Press.

I

n

v

r

T

n n p s

b

u d tl

b

p

p

I

b

d

li

2

k

Ii

s(

ti

d n

N

v

pi t€ pi rt

br

ri

s( dr

(5)

Jumal Pollika Vor. 4 No. 2 Tahun 200g I optimarisasi Reformasi Birokrasi I

gasikan oleh pemerintahan pusat de_ ngan mengikuti aturan dan prosedur yang

telah

disediakan oleh peme_

rintahan pusat (Surbalti, r99z: r73). Pertanggungjawaban atas pelaksa_ naan dekonsentrasi, sperti tersebut di muka, tentunya, harus diajukan pada

pemerintahan pusat. Sedangkan

de-sentralisasi lebih merujuk pada pem-berian hak pada pemerintahan daerah

untuk melaksanakan fungsi negara di

daerah dalam rangka menerapkan

tugas dan fungsi negara, tanpa harus

bertanggung-jawab pada pemerintah pusat (Surba}ti, tggz: r7g).

Hal

ini

tentu dapat kita lihat setu

persatu, mulai dari Undang-undang

No. r/r945

yang lebih

menitik-beratkan pada

penyelenggaraan

dekonsentrasi daripada desentra-lisasi. Kemudian Undang-undang No. zz/ 1948, sebaliknya, lebih

menekan-kan pada desentralisasi. Dalam UU No. r/r957, otonomi daerah menjadi semakin "gado-gado". Hal ini bukan tanpa sebab, karena pemerintahan

daerah

saat

itu

harus

mampu

menempatkan dirinya menjadi "Abdi

Negara" sekaligus juga sebagai "Abdi Masyarakat". Artinya kepala daerah,

pada saat tertentu, wajib memper-tanggungiawabkan kinerjanya pada

parlemen (sebagai pengabdi

masya-rakat), tapi di lain

piha\

gubernur/ bupati/walikota menjadi alat peme-rintahan pusat di daerah. Keadaan

ini

sempat menimbulkan

terjadinya dualisme struktural.

Untung saja dualisme struktural dan dualisme pengabdian berubah

manakala Penetapan presiden No. 6

tahun 1959 diberlakukan. penetapan

Presiden secara pasti lebih

membe-rikan

titik

berat pada dekonsentrasi.

Melalui

Penpres

ini

kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat ter-utama dari kalangan pamong-praja (Legge,

rg6r).

Perilaku pergantian paradgima (shifting paradigm) dan

dekonsentrasi ke desentralisasi kem-bali terjadi dengan dilembarkannya dalam lembaran negara UU No.

rg/

1965. Melalui penrndangan ini

peme-rintahan pusat kembali menerapkan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi

di-terapkan hanya sebagai komplemen saja. Bahkan pada waktu

itu

timbul

tuntutan

bagi terbentunya Daerah Tingkat

III

(Dati.

III)

yang berbasis pada tingkat Kecamatan. pada tahun 1974, melalui UU No. 5/tg74

peme-rintahan

pusat kembali

mengem-bangkan konsep otonomi daerah bagi

Indonesia yang

relatif

ajeg. Dan ia

menjalankan secara setimbang antara

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan (medebewind).

Setelah sangat lama tidak direvisi,

apada pemerintahan Burhanuddin Jusuf Habibie, undang-undang

oto-nomi

daerah kembali dikonstruksi ulang. Bukan hanl'a tidak lagi sesuai

dengan perubahan zaman

yang

tengah terjadi. Tetapi juga UU No.5/

1974 dinilai oleh banyak pihak,

khu-susnya mereka-mereka yang berada di luar Jakarta sebagai perundangan

(6)

menger-dilkan

kebebasan daerah" (kreti_

nisme) dan

lainlain.

Oleh karena itu, pada

tahun

1999 melalui Undang_

undang No.zz/rg9g tentang peme_

rintahan Daerah, maka regulasi oto_

nomi

yang

lebih

luas, nyata

dan

bertanggungiawab dilembarkan da_ lam lembaran negara No. 6o yang disahkan dan diundangkan pada 7

Mei 1999. Namun dengan berjalan_

nya proses transisi menuju demo_ krasi melalui jiwa zaman reformasi, UU No.

zz/rg99

kemudian direvisi

dan muncullah UU No. 3z/zoo4

tentang Pemerintahan Daerah. Tu_

juan otonomi daerah yang termaktub dalam kedua perundangan tersebut

pada dasarnya berakar pada falsafah

yang sama.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kei_ nganan

untuk:

(i)

meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan pada

masyarakat;

(ii)

berupaya mengem_

bangkan kehidupan demokrasi, kea_ dilan, dan pemerataan; serta (iii) me_

ngupayakan pemeliharaan hubungan

yang serasi antara pusat dan Daerah

serta

antar-daerah

dalam

rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia

(NKRI),

pada

dasarnya sesuai dengan konsepsi tu_

juan

desentralisasi dan pemberian

otonomi yang bersifat universal.

Tidak dapat disangkal bahwa pe_ lembagaan desentralisasi, merujuk

Bowman dan Hampton serta Cheema

dan Rondinelli, pada dasarnya beru_ saha, terutama dan paling penting, adalah untuk meningkatkan pelaya_

nan kepada warga masyarakat. IGre_

104

na,

tidak

dapat

dipungkiri,

bahwa pemerintahan daerah adalah institusi terdekat dengan warga masyarakat,

sehingga mereka diasumsikan mam_

pu untuk mengagregasi dan mengar_

tikulasi tuntutan dan kebutuhan ma_ syarakat. Yang berbeda halnya apa_ bila agregasi dan artikulasi

itu

dila_ kukan oleh pemerintah pusat. Keteta_

pan

politik

hingga kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah pu_ sat bisa sangat mungkin tak sejalan

dengan nafas dan detak kehidupan

warga setempat, yang berakibat pada

lahirnya kemubaziran formulasi dan implementasi kebijakan.

Dimasa Orde Baru otonomi daerah

dijalankan dengan ekstra hati-hati. "Pembatasan" serta intensitas keter_

libatan pengendalian penyelengga-raan kewenangan pemerintahan

di

daerah oleh pemerintahan pusat be_

gitu

kuat

terjaga, sehingga ruang gerak, kreativitas,

inisiatif

dan lain lain, dari aparatur

di

daerah (kota-madya dan kabupaten -ketika

itu_)

menjadi sangat terbatas. Usaha pe_ merintahan daerah untuk memenuhi

tuntutan

hingga kebutuhan warga masyarakat menjadi sangat terbatas. Banyak intervensi yang dilakukan oleh Jakarta pada daerah pada masa

lalu,

misalnya,

ternyata

memberi

dampak pada perluasan masalah publik itu sendiri di daeraha. Karena

4

Uraian mengenai hal inidapatdibacadalam:Andrinof

A. Chaniago. 2001 , Gagalnya pembangunan: Kajian

Ekonomi Politik terhadap Akar kisi lndone-sia.

Jakarta: LP3ES; atau Donald K. Emmerson,2001.

lndonesia hyond fueharto.Jakarta: Gramedia.

l'

a

r

I

a p d ri

b

b

p

1{

d d n

wi

ny

tal

su bu ng

S:

hr

si

P

di

nl

hr

s(

dr nl

dr

ja

ot br ra pr

ya

(7)

Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

itu,

tidak heran apabila masyarakat awam

seringkali mencibir

kinerja pemerintah daerah pada saat

itu.

Mereka katakan bahwa birokrasi yang

ada, entah

itu di

daerah maupun di pusat, tidak mampu menjadi solusi dari persoalan yang tengah mereka

rasakan, justru birokrasi kita menjadi

bagian

dari

masalah. Dan bahkan, birokrasi seringkali dituding sebagai

pemerkeruh keadaan.

Suksesi kekuasaan pada tahun 1998 ternyata

tidak

hanya

menye-diakan ruangbagi lahirnya cerita duka dan

luka,

tetapi

juga

menyilakan

ruang bagi berwujudnya suka. Tepat

satu tahun setelah /engser-nya

Soe-harto dari tampuk kekuasaan

kepre-sidenan,

undang-undang tentang

Pemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan Undang-undang

Oto-nomi Daerah menjadi isu yang sangat

hangat bagi pemerintahan

lokal

di seluruh Indonesia. Melalui perun-dangan tersebut daerah pada

akhir-nya

menerima

desentralisasinya

dengan luas, nyata, dan bertanggunf jawab. Ujung dari penyelenggaraan otonomi tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah mengupayakan

pene-rapan dan peningkatan pelayanan publik, sehingga dengan pelayanan yang

prima

di

daerah, kelak akan mampu mendorong kesejahteraan

warga masyarakat. Bila demikian hal-nya maka, hipotesis yang menya-takan bahwa otonomi daerah adalah

suatu mekanisme dalam mendistri-busikan dan membagikan

kewena-ngan berdasarkan asas desentralisasi,

dekonsentralisasi, dan pembantuan

pada strata

pemerintahan

guna

mendorong prakarsa

lokal

dalam membangun

kemandirian

dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI)

menjadi benar adanya.

Dalam konteks otonomi daerah banyak sasaran yang hendak dicapai.

Namun, yang

perlu

diingat bahwa

dalam

Undang-undang Otonomi

Daerah yang telah direvisi

(W

No.gz/

zo o

4)

pendelegasian kewenangan

antara pemeirntah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota dan kebupaten telah terbagi secara sek-sama. Pembagian kewewenangan itu dapat dilihat pada tabel r.

Dari tabel dapat diamati bahwa hanya ada enam hal wewenang yang dipegang oleh pemerintah pusat dan

ini

sifatnya absolut (distinctiue).

Sisanya diberikan semuanya pada pemerintah provinsi dan daerah oto-nom (kota/kabupaten). Perlu

dipaha-mi sebelumnya, di sini, bahwa ada dua

bentuk

kewenangan yang

terurai

dalam konsep

otonomi

daerah

di

Indonesia,

yaitu:

(i)

kewenangan absolut (distinctiue) ialah

kewena-ngan yang hanya dimiliki oleh

peme-rintah

pusat, seperti:

Politik

Luar Negeri, Pertanahan, keamanan,

Pera-dilan/yuridis,

Moneter dan Fiskal, dan Agama;

dan

(ii)

kewenangan bersama (coneurrent) ialah

kewena-ngan dikerjakan bersama antara

pe-merintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kota/kabupaten (seperti dapat dilihat pada tabel r).

(8)

Tabel 1. Keurenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi

dan Pemerintah Kota/Kabupaten

Pemerintah Daerah

j,

d

c

(,

d (

b

x

o

d u

k

q n

dr

n' p( ta

y2

st

ta

w, ol l€

kc

n(

be

la:

ke

ka

syr

jar

ap

ha

UI

m(

m(

Ka

No Pemerintah Pusat Pemerintah Kab/Kota 1 Politik Luar Negeri Perencanaan dan Pengendalian

Pembangunan

Perencanaan dan pengendalian

Pembangunan

2. Pertahanan Perencanaan, Pemanfaatan, dan

Pengawasan Tata Ruang.

Perencanaan, Pemanfaatan, dan pengawasan lata ruang, 3. Keamanan Penyelenggaraan ketertiban umum

dan ketentraman masyarakat

Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

4. Yuridis Penyediaan Sarana dan Prasarana Umum

Penyediaan Sarana dan prasarana Umum

5. Moneter dan Fiskal Penanganan Bidang Kesehatan Penanganan Bidang Kesehatan

6. Agama Penyelenggaraan Pendidikan dan Alokasi Sumber Daya potensial

Penyelenggaraan Pendidikan

7. Penanggulangan Masalah Sosial

Lintas Kabupaten/lota

Penanggulangan Masalah Sosial

8. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan

Lintas Kabupaten/kota

Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan

L Fasilitas Pengembangan Koperasi,

Usaha Kecil dan Menengah termasuk

Lintas Kabupaten/kota

Fasilitas Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah

10. Pengendalian Lingkungan Hidup

Pengendalian Lingkungan Hidup

11 Pelayanan Perlanahan Lintas

KabupatenAota

Pelayanan Pertanahan 12. Pelayanan Kependudukan dan

Catatan Sipil

Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil

13 Pelayanan Administrasi Umum Pemerintah

Pelayanan Administrasi Umum

Pemerintah

14. Pelayanan Administrasi Penanaman

Modal termasuk Lintas Kabupaten/

kda

Pelayanan Administrasi Penanaman

Modal

15. Penyelenggaraan pelayanan Dasar

Lainnya yang Belum Dapat Dilaksanakan oleh Kabupatenikota

Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya

16. Urusan Wajib Lainnya yang

Diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan

Urusan Wajib Lainnya yang

Diamanatkan oleh Peraturan

Perundangundangan

(9)

Jumal Politika Vor. 4 No. 2 Tahun 2009 I optimarisasi Reformasi Birokrasi I

Kewenangan bersama dalam pen_ jelasan UU No.3z/2oo4 terbagi ke

dalam dua

sifat:

(i)

kewenangan concurrent ada yang bersifat wajib (obligatory) -yang diikuti oleh

stan-dar pelayanan minimum

(SpM)-

dan

(ii)

kewenangan

concurrent

yang bersifat opsional (core competence).

Kewenangan concurrent yang bersifat

obligatory, adalah: kesehatan, pendi-dikan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan perhubungan; sedangkan kewenangan concurrmt yang bersifat

optional adalah kewenangan yang

ha-rus dijalankan bersama oleh provinsi dan kota/kabupaten karena

dampak-nya yang taktis, seperti: pertanian, perindustrain, perdagangan, kelau-tan dan sebagainya.

Menjurus pada UU No. 3z/zoo4

yang lebih spesifil pada pasal r4,

khu-susnya, menyatakan bahwa keseha_

tan merupakan salah satu bidang ke_ wenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan daerah kota dan kabupaten. Ini berlaku untuk seluruh

kota dan kabupaten di seluruh Indo-nesia. Daerah kota dan kabupaten bertanggung-jawab sepenuhnya

da-lam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam rangka meningkat-kan derajat dan mutu kesehatan ma-syarakat di daerah. Karena itu,

men-jadi

sangat penting untuk meninjau

apakah pelembagaan pelayanan

kese-hatan seperti yang diamanatkan oleh

UU No.

gz/zoo4

dan peraturan

pe-merintah No.z5/zooo telah diimple_

mentasikan dengan baik atau tidak. Karena harapannya adalah dnegan

terbitnya perundangan seperti

itu,

maka pemerintahan daerah dapat memberikan pelayanan terbaik pada

warganya.

Pelembagaan kesehatan

di

pro-vinsi

Banten melalui pencanangan

"Banten

Sehat

2oo8"

amat

diha-rapkan akan memperoleh apa yang diidamkan oleh warga, seperti: pen-duduk yang hidup dalam lingkungan

dan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau dan memanfaatkan pelayanan kesehatan

yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya. Hal tidaklah ter-lalu muluk apabila strategi dan pro-gram yang dituangkan dapat

ter-implementasi dengan baik. Imple-mentasi kebijakan sangat berkait

de-ngan banyak hal. Misalnya bila kita rujuk pada teori yang diutarakan oleh

Merilee S. Grindle dalam bukunya Implementafron as

A

political and Administratiue Proces.s (r98o)

me-nerangkan bahwa terdapat dua varia-bel yang mempengaruhi implemen-tasi kebijakan. Keberhasilan imple-mentasi suatu kebijakan publik,

lan-jutnya,

dapat

diukur dari

proses

pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan

yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan

oleh Grindle, dimana pengukuran

keberhasilan implementasi kebijakan

tersebut dapat

dilihat

dari dua hal, yaitu:

l.

Dilihat

dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah
(10)

yang ditentukan (dengn) dengan

merujuk pada aksi kebijakannya.

2.

Apakah

tujuan

kebijakan ter_

capai. Dimensi ini diukur dengan

melihat dua faktor, yaitu:

a.

Impakatauefeknya pada ma_ syarakat secara

individual

dan berkelompok.

b.

Tingkat perubahan yang

ter-jadi serta penerimaan

kelom-pok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan implementasi kebi-jakan publik itu juga, paparnya, amat ditentukan oleh

tingkat

implemen-tability

kebijakan

itu

sendiri, yang

terdiri

atas Content

of

policy

dan Context of Policg. Namun yang akan

penulis

sorot

adalah pada bagian

content of policy yang berkiat dengan

beberapa hal, yakni: pertama, inte-rest affected (kepentingan-kepen-tingan yang mempengaruhi),

berkai-tan

dengan berbagai kepentingan

yang mempengaruhi suatu imple_ mentasi kebirjakan. Indikator ini

ber-argumen bahwa suatu kebijakan

da-lam pelaksanaannya pasti melibat-kan banyak kepentingan, dan

sejauh-mana kepentingan-kepentingan ter-sebut membawa pengaruh terhadap implementasinya,

hal

inilah

yang ingin diketahui lebih lanjut.

Kedua,

type

of

benefits

(tipe

manfaat), pada

poin ini

content

of

policy berupaya untuk menurfukkan

atau menjelaskan bahwa dalam suatu

kebijakan harus terdapat beberapa

jenis

manfaat yang menunjukkan

108

dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Tentu saja man-faat yang berorientasi pada peman-tapan atas perbaikan keadaan

menja-di hal yang utama dalam poin ini.

Ketiga, ertent of change enuision, derajat perubahan yang ingin dicapai.

Setiap kebijakan mempunyai target

yang

hendak

dan

ingin

dicapai.

Content of polfcy pada poin ini hendak

menjelaskan bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala

yang jelas. Penentuan derajat peru-bahan menjadi sangat penting karena

kadangkala implementasi kebijakan menegasikan apa yang hendak

di-capai.

Salah satunya asumsi yang

menyatakan bahwa implementasi

ke-bijakan selesai pada saat kebijakan itu terapkan.

Keempat, site of decision making, letak pengambilan keputusan. pe-ngambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan

pen-ting

dalam pelaksanaan/penerapan

suatu kebliakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak

pe-ngambilan keputusan dari suatu

kebi-jakan hendak diejawantahkan.

Mak-sudnya bahwa kadangkala letak

pe-ngambilan kebijakan yang terlampau "tinggi" akan membuat kebijakan itu tidak

"melumpur".

Keberlumpuran suatu kebijakan demi kemudahan operasionalisasinya menjadi sangat

penting. Karena

itu,

level pengam-bilan keputusan perlu diperhitungkan

(

r

k

h k

b

a

k

le pi

sl bi

br

br

ja

rak

asu

pelr

waI

lahr

(der

(s,

ka

jur

su pa

ny

pu ma

pui pui

ber

(11)

Jurnal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

agar penerapan kebijakan menjadi

sangat fisibel dan realibel.

Kelima, pr o g r am implementer

(sumberdaya

manusia

pelaksana program). Dalam menjalankan suatu kebijakan kita juga harus memper-hitungkana daya dukung pelaksana

kebijakan yang kompeten serta

kapa-bel.

Hal

ini

akan berbuntut panjang apabila realisasi implementasi

kebija-kan ternyata berdampak negatif yang

lebih luas dibandingftan dengan

dam-pak lainnya (yang positif). Karena itu,

sumber daya manusia yang tepat di-bidangnya dengan pengalaman yang

baik

turut

pula menjadi barometer berhasil tidaknya implementasi

kebi-jakan menurut Grindle.

Keenam, resources committed (sumber-sumber daya yang

diguna-kan).

Pelaksanaan suatu kebijakan

juga

harus didukung oleh

sumber-sumber daya yang cakap dan komit pada pekerjaannya agar

penerapan-nya bedalan dengan baik dan prima.

Yang dimalaud dengan pelayanan

publik (yang) prima

"'a"Un manakala masyarakat puas, para petugas juga

puas, serta pimpinan lembaga merasa

puas atas kinerja pelayanan yang

di-berikannnya.

(Edvardsson,

Tho-masson dan Ovretveit, 1994: z). Paradigma

ini

hendak menguta-rakan bahwa serta didasarkan atas

asumsi bahwa persoalan kualitas pelayanan yang

diberikan

kepada warga, bukan merupakan permasa-lahan yang bersifat parsial semata (demi warga yang dilayani), tapi lebih

dari

itu,

merupakan persoalan yang

harus ditangani secara holistik. Ka-rena itu, merujuk pada paradigma ini

bahwa kualitas pelayanan harus juga memerhatikan -bukan hanya

masya-rakat sebagai pengguna

layanan-tetapi juga unsur-unsur lain, seperti: petugas yang melayanai (street leuel

bureaucrats), unsur-unsur di dalam organisasi

(termasuk

pimpinan), hingga

mitra

kerja eksternal yang diperlukan untuk menghasilkan

laya-nan secara berkualitas dan

memuas-kan.

Oleh karena itu, untuk memahami

kualitas pelayanan, maka para admi-nistratur perlu mendasarkan

kinerja-nya

pada

tingkat

kepuasan yang diharapkan oleh masyarakat

(expec-ted

seruices). Apabila kualitas pe-layanan yang diterima oleh warga masyarakat, kira-kira sesuai dengan

kualitas layanan yang diharapkan-nya, maka pelayanan tersebut dapat

dinyatakan berkualitas (quality

seruice). Namun apabila layanan yang diterima, menurut persepsi

ma-syarakat kurang atau bahkanjauh dari

apa yang diharapkannya, maka pela-yanan tersebut dapat dikatakan buruk Qtoor quality sensice). Yang terbaik

adalah, ketika warga masyarakat me-rasakan pelayanan yang melebihi dari

apa yang diharapkan atau dibayang-kannya maka dapat dikatakan

pelaya-nan

yang

sangat

baik

(excellent seruice).

Permasalahan yang muncul

seka-rang, adalah: Bagaimana Pemerintah

(12)

mengimplementasi-kan/menerapkan/menyediakan

pe-layanan (beserta daya dukungnya) dalam rangka mewujudkan Banten Sehat zoo8? Apakah keberpihakan pada

publik

guna menghidangkan excellent seruice, atau paling tidak

quality

seruice, sejauh

ini

sudah tampak? Pertanyaan-pertanyaan

ter-sebut coba diulas dan dielaborasi oleh

penulis pada subbagian selanjutnya dengan tanpa pretensi

untuk

men-justifikasi dan memberikan gambaran yang menggeneralisir.

Komitrnen Pemerintah

provinsi

Banten dalam Pelayanan Kesehatan

Banten pada Oktober tahun zoo6

lalu menginjak usianya yang keenam,

walau pada dasarnya sebagai sebuah

konsepsi Kerajaan Nusantara, Banten telah berusia lebih dari ratusan tahun. Sebagai sebuah provinsi yang baru

berdiri -atas

ketetapan

Undang-undang No. z3 tahun

zoo3-

Provinsi Banten terdiri atas empat kabupaten

dan dua kota, yakni:

Kabupaten

Serang

(di

mana

ibukota

provinsi

berada),

Kabupaten Tanggerang, Kabupaten Lebak, kabupaten

Pande-glang, Kota Tanggerang, serta Kota Cilegon. Luas wilayah

provinsi

ini

secara keseluruhan adalah 8.8oo,83

Km'

dengan

jumlah

pendudukan 9.o83.r44 jiwa (BPS, zoo5).

Kegiatan ekonomi yang dilakukan

oleh

penduduk

Provinsi

Banten,

terbesar, adalah industri pengolahan

yang mencapai 49,760A; disusul

de-ngan: perdagangan, hotel, dan

res-toran

tT,t\o/o; pengangkutan dan

komunikasi 8,58%; pertanian &iS+%o;

jasa-jasa 4,99%oi

listrik,

gas, dan air bersih 4,87%; keuangan, persewaan,

dan jasa perusahaan g,2g%o; bangu-nan 2,7g%o; serta pertambangan dan

penggalian o,rrYo. Bila dirunut lebih detail, maka akan ditemukan hasil

olahan yang menarik atas sektor

pere-konomian di Provinsi Banten.

Sektor perekonomian

di

Provinsi

Banten terbelah menjadi dua kategori

yang sangat diametral. Dimana

Ban-ten Utara yang meliputi Kota

Tange-rang, Kabupaten Tanggerang,

Kabu-paten Serang, dan Kota Cilegon mem-fokuskan bidang perekonomiannya dibidang industri. Sedangkan Banten

Selatan yang

terdiri

atas dua Kabu-paten (Lebak dan Pandeglang) ber-orientasi pada pertanian, perlada-ngan, dan perkebaunan. Ada kurang

lebih

tujuhbelas kawasan

industri

strategis di Banten Utara yang

mem-berikan kontribusi signifikan

atas pendapatn daerah provinsi. Hal

ini

bisa dilihat melalui Pendapatan Do-mestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh empat kota dan

kabu-paten

di

Banten Utara, yang berluas g.r91,g7 kilometer persegi, sebesar

88,98%

bagi

PDRB

provinsi

yang bernilai 6r,35

triliun.

Bahkan Kota Tanggerang, sebagai contoh, dapat

memberikan

kontribusi

sebesar

B4,2oA pada APBN Provinsi Banten

tahun

2oo5

lalu,

dan

Kabupaten

Tanggerang z6,890/o. Sedangkan untuk

Banten Selatan (Kabupaten lebak dan

Kab

mili nal

(5,3

l

r

L

I

xota

I

Kote

I Kabr

| *"0,

i *.0

I rrn

P

Sumb(

mel tahi

takr

yan

Sec

dil

per

Per

dib sur me. ber tigt Ind Pr<

urt

per

der

pal

(13)

Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

Tabel 2. Provinsi Banten dalam Angka

,:ii rirl, iill

{f

'm il,

:r, iiii

:ti

Sumber: Dolah dad BPE. 2AO5. Banten datam Angka

Kabupaten Pandeglang) hanya me-miliki PDRB (Produk Domestik

Regio-nal Bruto) sebesar Rp. 3,zB

Triliun

(5,g60/o) dan Rp. 3,36 Tliliun G,+8%).

Data tersebut

tentu

saja sangat mengkhawatirkan apabila pemerin-tahan daerah tidak mampu

menyipa-takan kesetimbangan antara daerah

yang maju dan daerah yang kurang.

Secara agregat posisi provinsi banten

di kancah nasional tidak terlalu mem-perhatikan. Bila kita rujuk data Indeks Pembangunana Manusia (IPM) yang

dibuat oleh pemerintah pusat melalui suwei dan penelitian yang mendalam menerangkan bahwa Provinsi Banten berada pada urutan

rr

dari lebih dari tigapuluh provinsi yang ada. Lantas

Indeks Kepuasaan Masyarakat (IICVI)

Provinsi

Banten pun berada pada

urutan

ry.Ini

menandakan bahwa pembangunan pasca-pemisahan

diri

dengan Jawa Barat memberikan

dam-pak yang positif terhadap kemajun daerah ini.

Kemajuan

ini

juga dapat

dilihat

dalam tabel a yang menyuratkan ba-gaimana perbaikan yang telah terba-ngun di Provinsi Banten.

Data di atas menunjul<kan bahwa

angka kematian

bayi

di

Provinsi Banten berjumlah 38 per rooo kela-hiran,

ini

lebih tinggi dibandingkan

dengan angka rata-rata nasional yang

berjumlah 35

jiwa.

Namun

setidak-nya masih lebih baik bila dibanding-kan dengan beberapa provinsi di

Su-matera, seperti: Provinsi Jambi (3o

jiwa),

Provinsi Sumatera Utara (42

jiwa),

Provinsi Bangka-Belitung (43 jiwa), Provinsi Riau (+g jiwa), Provinsi Sumatera Barat (48

jiwa),

Provinsi Bengkulu (53

jiwa),

Provinsi Lam-pung (55 jiwa); dan beberapa provinsi

di Jawa, seperti: Jawa

fimur

(+g jiwa)

dan Jawa Barat (++jiwa). Data statistik

ini

tentu membanggakan karena pe-ngelolaan angka kematian di Provinsi

Banten ternyata masih lebih baik bila dibandingkan dengan induknya dulu, Provinsi Jawa Barat.

Kob/Kabupaten LuasWilayah

(Km')

Tahun Rah-rata

Penduduk per Km2

2(m 2flX

KotaTanggerang

Kota Cilegon

Kabupaten Serang

Kabupaten Tanggerang

Kabupaten Lebak

Kabupaten Pandeglang

1&t

175,5

1.724,09

1.110,38

2.859,96 2.746,9

1.325.854 294.936 1.652.763 2.781.428 1.030.040

1.011 .788

1.488.666

331.872

1.834,514

3,194.282

1.132.899

1.1m.911

8.091

1.891

1.064

2.8n

s

401

Provinsi Banten Total 8.800,83 8.096.809 9.083.144 1.032

(14)

Grafik 1. Perbandingan Beberapa lndikator Kesehatan antara Jawa Barat dan Banten

Angka Harapan Tingkat persentase persenlase

Hidup Kematian Bayr Penduduk yang penduduk

TidakMencapai TanpaAkses

Usia 40 Tahun Kesehalan

Barat. Kondisi pertama yang dapat

kita

gunakan sebagai

alibi

adalah

Angka

Harapan

Hidup.

Angka

Harapan Hidup masyarakat

di

pro-vinsi Banten lebih rendah

dibanding-kan dengan Provinsi Jawa Barat yang

rata-rata berusia 64,5 tahun. Hal ini

memang tidak dapat dikatakan bahwa

belum ada perubahan mengenai

ting-kat harapan hidup di Provinsi Banten.

Karena kita tidak memiliki data angka

pembanding untuk menjelaskan hal

apakah memang ada perbaikan atau

jangan-jangan mengalami penurunan kualitas hiudp pasca-pisah dengan provinsi

induk.

Bila hal kedua yang

kemudian menjadi realitas faktual, maka perlu dipertanyakan

keberada-an Provinsi Bkeberada-anten. Karena apabila dengan mengadanya provinsi baru

tetapi dilain pihak justru menurunkan

tingkat kualitas hidup warga

masya-rakat, logika sederhana akan mem-berikan argumen bahwa

tidak

ada

untungnya memisahkan

diri

dengan

Jawa Barat.

114

Kedua,

tingkat

kematian bayi.

Tingkat

kematian

bayi per

rooo

kelahiran hidup

di

Provinsi Banten pun masih cukup tinggi dengan angka

55.

Sedangkan di Jawa Barat angka

kematian bayi sudah mulai ditekan hingga angka 47 jiwa per rooo

kela-hiran hidup. Gambaran

ini

bisa di-mengerti apabila disandingkan

de-ngan tabel 4 yang setidaknya mem-perkuat mengapa hal

di

atas terjadi, Quga memperkuat alasan mengapa

tingkat kesehatan warga masyarakat

di

Provinsi Banten lebih rendah di-bandingkan dengan warga

masyara-kat

Provinsi Jawa Barat). Merujuk pada data tabel amat terlihat bahwa

tingkat kepedulian masyarakat untuk

datang ke rumah sakit, entah

itu

RS. Negeri ataupun RS. Swasta, cukup rendah. Sehingga dapat disimpulkan bagaimana kecenderungan tingkat

kesehatan di Provinsi Banten menjadi

relatif rendah dibandingkan dengan

dacrah lainnya.

I

s

r

!

d fl

P

tr

k

5,

u P

7'

fa

UI

p(

at Pr m de

ke

sil

be

(15)

RS. Pemerintah Puskesmas RS. Sunsh

IMD

I

sumuar

I

Riau

I

**'

j

,*'

I

**"n

I

I

ilrB

I

Goronrato papua

@

9.87

8.06

6.73

12.49

4.96

5.87

5.30 5.88

7.41

62,92

n.62

46.28

41.01

m.67

31.19

49,33

46.04

67,82

. 1,18

2.31

3.38

2,96

3.89

3.57

0,26

1.32

3.13

Jumal politjka Vot. 4 No. 2 Tahun 200g I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

Tabel 4. Persentase penduduk

Berobat Menurut provlnsi

Tabel

4

menunjukkan

bahwa

penduduk yang berobat ke rumah sakit pemerintah dan ke puskesmas

relatif

kecil

dibandingkan dengan propinsi

lain.

Bila saja dibandingkan

dengan papua, maka tingkat

peman_

faatan rumah sakit pemerintah dan

Puskesmas di pro-vinsi Banten masih

terhitung

dalam

katagori

rendah,

karena

hanya dimanfaatkan oleh

5,8flo (RS. peme-rintah) dan y,4g%

untuk

Puskesmas; sedangkan

di

Papua angka

itu

me-nginjak

titik

7,4t%o

untuk

warga yang meman_ faatkan RS. pemerintah dan 67,g296

untuk penduduk yang membutuhkan pelayanan

di

puskesmas. pemanfa_

atan

pelayanan kesehatan

di

RS.

Pemerintah untuk tingkat nasional memang berada pada angka 6,ot 96,

dan pemanfaatan pelayanan pus_ kesmas adalah g7,2696 memang ma_

sih dibawah rata-rata nasional. Hal ini berarti bahwa masyarakat di provinsi Banten masih kurang memanfaatkan

pelayanan kesehatan yang disediakan

oleh pemerintah provinsi, baik di ru_

mah sakit

pemerintah

maupun

Puskesmas. Apakah iniberarti bahwa

kualitas pelayanan rumah sakit peme_ rintah dan Puskesmas tidak membe_

rikan kepuasan kepada pelanggan?

Hal ketiga yang dapat dipelajari ialah persentase penduduk yang

d!

perkirakan tidak mencapai usia 4o

tahun.

Sekali

lagi

data

statistik

menunjukkan bahwa masih cukup

banyak warga masyarakat di provinsi banten yang

tidak

mencapai usia tersebut, pada

kisaran

zt,7g6

dafi

jumlah total

penduduk. yang bila

dibandingkan dengan Jawa Barat

hanya menyentuh angka rg%. Ini ar_

tinya bahwa (sekali lagi menandakan) kualitas hidup warga masyarakat Ban_

ten

memang berada dibawah garis

rata-rata. Walau memang banyak se_ bab yang bisa menyebabkan seseo_ rang meninggal sebelum usia 4o ta_ hun. Namun dalam logika kesehatan

(16)

kematian yang terjadi disini,

tentu-nya, bukan akibat dari tindakan

krimi-nal, tetapi lebih merujuk pada kualitas

hidup seseorang (yang sudah barang

tentu berhubungan dengan tingkat

kesehatan yang dirasakannya). Keempat, yang bisa juga diban-dingkan adalah persentase penduduk tanpa akses terhadap sarana

keseha-tan. Angka ini tidak mengejutkan bila dihubungkan dengan tabel 4 tesebut

di

atas,

dimana

2B,SoA penduduk

Provinsi

Banten

tidak

atau belum mampu mengakses sarana-sarana kesehatan secara

baik,

sehing-ga persentase penduduk yang ber-obat

pun

menjadi rendah.

Beberapa

kemungkinan yang dapat begitu saja

muncul mengapa akses pada sarana

kesehatan sulit dilakukan. pertama, level keterjangkauan sarana

keseha-tan oleh masyarakat yang sulit,

sema-kin jau sarana-sarana kesehatan dari sentra kehidupan masyarakat, maka

dapat dimengerti mengapa masya-rakat tidak cukup rajin datang.

Kare-na dalam logika mereka akan lebih

baik

bila

mereka

beristirahat

di

rumah dengan dibarengi meresepsi obat-obatan generik yang

dijual

di warung-warung

untuk

meredakan sakitnya.

Bila

dibandingkan harus pergi ke sentra kesehatan

di

tempat yang

jauh

dan harus mengeluarkan biaya tambahan. Misalnya,

masyara-kat Malingping (sebuah kecamatan disebelah Selatan ibukota Kabuaten Lebak, Rangkasbitung) yang ingin berobat ke RSUD. Ajidarmo memer-lukan waktu kurang lebih dua jam

116

perjalanan untuk sampai ke tempat RSUD tersebut. Waktu perjalanan akan bertambah lama ketika musim

penghujan tiba. Infrastruktur, berupa

jalan, menyebabkan kelambanan

pa-ra warga untuk mencapai tujuan lebih cepat

dari

yang mereka harapkan.

Problem bertambah besar ketika ong-kos yang harus masyarakat keluarkan

untuk kepentingan berobat mencapai

kisaran Rp. rg.ooo,-

-

Rp.e5.ooo,-untuk sekali perjalanan. Iogika

seder-hanaya adalah tidak usah datang ke pusa layanan kesehatan.

Kedua, sosialisasi kegunaan

ber-hubungan

dengan sarana-sarana

kesehatan yang kurang. Walau sarana

kesehatan sudah didirikan di

daerah-daerah

meltingpot, tetapi

peme-rintahan daerah tidak pernah menyo-sialisasikan kegunaan dan

keberman-faatan

dari

sarana kesehatan yang dibangun, baik

itu

dari sisi

hygienisi-tasnya, level ekonomisnya, bahkan hingga persoalan "tidak eoba-coba",

maka sampai kapanpun juga

sarana-sarana kesehatan akan menjadi ba-ngunan "berhantu".

Ketiga, berhubungan dengan per-soalan pertama dan kedua, yakni masih kurangnya sentra-sentra

kese-hatan

di

daerah kecamatan. Sebagai

contoh, sekali lagi merujuk pada data

di

Kabupaten Lebak, di daerah

tese-but

hanya tersedia tiga rumah sakit (RSUD Ajidarmo

di

Rangkasbitung,

RS. MISI di Rangkasbitung, dan RS. Malingping di Malingping), 35 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),

75 Puskesmas Pembantu (Pustu), 75

I r

a

I

1

I

2

s

t

n

n

1

o b

n

ri

o

d

X

(17)

Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

ij.

ri

iil; $r 'il

#{i

:r

orang dokter, 125 perawat, serta

t8r

bidan, yang harus melayani pendu-duk sebanyak r.132.899

jiwa

(data

tahun 2oo4)

dengan luas

teritori

2.859,96

km".

Bisa

dibayangkan bagaimana para pelayan kesehatan

itu

bisa menjalankan tugasnya

de-ngan baik dan prima manakala

sum-ber daya manusia dan sumsum-ber daya

lainnya tidak berimbang (tidak

men-cukupi). Saat ini Pemerintah

lGbupa-ten

Lebak telah menyediakan rz6 kendaraan kesehatan keliling untuk menjangkau goo desa dengan pel-bagai macam medan, sehingga tidak heran apabila daerah-daerah

terpen-cil

yang tidak memiliki Pustu akan hanya dikunjungi seminggu satu kali oleh kendaraan

keliling

kesehatan tersebut.

Keampat, mahalnya obat-obatan.

Pemerintah Provinsi Banten

sebe-narnya sudah berusaha untuk meng-antisipasi hal ini. Namun seperti pada

Hasil

Pemeriksaan Semester

II

Tahun

Anggaran

(TA)

zoo5

atas Belanja Daerah Tahun Anggaran

2oo4-2oo;

pada Prouinsi Banten di Serang yang dilakukan oleh

Audi-toriat

Utama Keuangan Negara IV

menemukan beberapa

penyimpa-ngan dana

sampai dengan

Rp.

r.r92.oo8.988,- (khusus untuk pro-gram pengadaan obat untuk

Pelaya-nan Kesehatan Dasar [PKD],

Pembe-rantasan Penyakit Menular [PzM

-obat-obatan antiTBC], serta

penga-daan

obat untuk

Program Gizi/

Kesehatan Ibu Anak IKIAI). Perilaku

menyimpang

ini

(baca: koruptif)

ini

yang kemudian menegasikan upaya

serius beberap

birokrat

untuk me-nyediakan obat-obatan yang murah menjadi tidak terealisasi.

Dihubungkan

dengan temuan Auditoriat Utama Keuangan Negara-Badan Pemeriksa Keuangan Republik

Indonesia (BPK-RI) tersebut

di

atas

sebenarnya membuat

kita

kecewa. Seperti diketahui bersama salah satu

peran dan fungsi dari pemerintahan daerah dalam konteks otonomi

dae-rah aadalah melakukan pelayanan publik dengan prima. Namun siapa nyana bahwa pelayan-pelayan publik

itu

sendiri yang

justru

melakukan

pelanggaran dengan melayani dirinya sendiri. Memang tidak ada salahnya

melayani

diri

sendiri, namun yang

pelu diingat

bahwa selaku

public

seruant aparat birokrasi semestinya mengoptimalkan dirinya sebagai Abdi Masyarakat dibandingkan seba-gai

Abdi Negara-nya.

Kalau dikatakan bahwa Anggaran

Pendapatan

dan

Belanja

Daerah

(APBD) Provinsi Banten

tidak

berorientasi publik sehingga

pelaya-nan kesehatan (termasuk penyediaan

obat, penyediaan tenaga kesehatan,

dll)

menjadi kurang optimal, penulis

pikir,

cara berpikir

itu

perlu konfir-masi melalui data anggaran seperti tertuang pada tabel 5. Dari sisi

ang-garan, secara agregat, Provinsi

Ban-ten tergolong provinsi yang

menga-lokasikan "Pengeluaran

Pembangu-nan(nya)" dengan persentase lebih

besar

dibandingkan dengan "Pe-ngeluaran

Rutin".

Walau memang
(18)

pada Tahun Anggaran zoo2

"penge-luaran Rutin" lebih besar daripada "Pengeluaran Pembangunan", tapi kemudian pemerintah provinsi

mem-balikkan proporsi tersebut pada Ta-hun Anggaran zoo3. Jika pada tahun 2oo2

proporsi

pengeluaran untuk

rutin

sebesar 56,920A, maka pada zoo3 belanja pembangunan menurun menjadi 47,58o/o.

Hal

ini

tentu sangat

menggembi-rakan

apalagi

bila

disandingkan

dengan peningkatan belanja

pemba-ngunan dari 43,o8% di tahun 2oo2,

menjadi

52,42%o pada tahun

beri-kutnya. Gambaran

ini

tentu, dapat

dengan sederhana diiadikan penanda bahwa anggaran yang berbasis publik menjadi episteme aparat birokrat di Provinsi Banten. Bahkan kita boleh

berbangga hati bahwa apabila

diban-dingkan

dengan

Provinsi

Bangka Belitung -sebagai pembanding (pro-vinsi yang juga baru

berdiri)-,

di-mana belanja mtinnya selalu

mening-kat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2oo2, misalnya

di

Provinsi Bangka

Belitung, belanja rutin mencapai Rp.

115.144.OOO.OOO,- atau 52,39% dari seluruh APBD, meningkat menjadi

Rp.

16z.163.ooo.ooo,-

atau

(6o,z5Yo).

Hal

ini

menunjukkan bah-wa mindset dan perilaku birokrat yang mementingkan dirinya sendiri masih berlaku di sana namun tidak di Banten.

Bukan hanya dalam konteks

pro-vinsi

baru,

perbandigan

antara

"Belanja

Pembangunan" dengan

"Belanja Rutin" di Banten lebih

bai\

dari

Jawa Barat

pun

sebenarnya

(secara statistik), pengeluaran

pem-bangunan

di

Provinsi Banten masih

lebih baik

dibandingkan

dengan

daerah induknya dulu, Jawa Barat. Pengeluaran

rutin

Jawa Barat pada

tahun zooz, misalnya, mencapai Rp.

t.4g7.9z6.ooo.ooo atau

sebesar

69,25%o dan pada tahun berikut

me-nginjak

titik

Rp. z.rzo.86o.o00.000 (64,o9"4). Walau pada realitanya dalam bentuk angka nominal jumlah pengeluaran pembangunan Jawa

Barat

lebih

besar

apabila

diban-dingkan dengan Provin-si Banten. Namun pada dasarnya hal

ini

dapat dijadikan dasar berpijak mengenai gambaran bagaimana pe-merintah

Provinsi

Banten

telah

ber-usaha

sekuat tenaga untuk mereali-sasikan

kehendak dasar

otonomi,

yakni: menyejahterakan masyarakat serta melayani pulbiknya dengan prima.

Dan bila kita bandingkan pula dengan

pengeluaran

Republik

Indo-nesia

secara agregat pun, maka, sekali lagi,

angka statistik menunjukkan wajah politik anggaran Provinsi Banten yang

lebih baik. Gambaran lebih lengkap mengenai

angkat tersebut

dapat dilihat pada Tabel5 .

Memang

data

di

atas

tidaklah

lengkap, sehingga datum-datum

pe-nyeimbang tidak dapat dilihat secara

komprehensif dan dikonfirmasi de-ngan cukup luas. Namun setidaknya,

dari paparan tesebut

di

atas sangat

tergambar bahwa masih

sangat

banyak pekerjaan rumah yang harus

F

F**

I

oaruss

m

t

I

o*,,,

!-I

g

l

g

l**

!

tI

Sumber :

di

vi

&

St ni di te di m kr m

(19)

Jumal Politika Vol. 4 No, 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

Tabel 5. Perbandingan Pengeluaran Rutin dan Pembangunan di Provinsi Banten

(dibandingkan dengan Provinsi-provinsi di Sumatera, Jawa dan Bali, dan lndonesia)

TA. 2002-2003 (dalam juta ruPiah)

PROVINSt TAHUN

PENGELUARAI{

JUMLAH Rutin o/o Pembangunan %

NanggroeAceh Darusslam

N2

m3 309.970 463.926 n39 30,48 1,074.522 1.058.229 n,61 69,52 1.384.492 1,522.155 Bangka Belitung

N2

m3 115.144 162.163 52,39 60,25 1M.645 106.972 47,61 39,75 219,790 269.135 DKlJakarta

N2

m03 5.403.244 5.676.277 63,15 50,85 3.152.892 5.486.110 36,85 49,15 8.556.136 11,162.388

Jawa Barat N2

m3 1.497.926 2.120.860 63,25 8r,09 870.417 1.188.190 36,75 35,91 2.368.343 3.309.049

Jawa Tengah

N2

20G3 1.48.089 1.754.10S 59,87 B 869,916 1.04.687 40,13 3t 2.168.005 2.783.7%

D.l. Yogyakarta xm

20m 317.Tt6 437.747 79,66 88,04 80.995 59.468

n,u

11,96 398.271 497.215 Jawa Timur m2

m3 984.547 1.253,939 u,97 41 1.830.503 1.805.033 65,03

s

2.815.0503.058.972 Banten NN 20c3 543.591 543.975 56,92 47,58 411.412 599.331 13i08 sLe 955.m3 1.143.306 INDONESIA NN m3 17.493,624 21.323.339 u,32 52,97 14.707.955 19.380.395 45,68 47,63 32.n1.578 40,703.733 ,.ii

. :[i' .H '&r '&i ;lffii tr. mi it 1|Ir

Sumber : Diolah dari BPS. 2005. $al,sfit ,rdonosi, 2001. Hd. 117119.

dikerjakan oleh pemerintahan pro-vinsi untuk menggapai Misi Banten Sehat 2oo8. Bila memang Misi Banten

Sehat

2oog

merupakan

hal

yang

niscaya, maka pertanyaan yang perlu dijaukan ialah: Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah realita faktual

ini

disebabkan oleh tidak adanya komit-men yang kukuh dari aparatur

biro-krat

sehingga harapan dan realitas menjadi dua

sisi

mata uang yang saling tidak pernah bertemu? Atau,

karena sebab apa? Pertanyaan ini

ten-tu

akan sulit ditemukan reduksinya.

Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat diterangkan guna menje-laskan realita faktual tersebut di atas.

Tidak berjalannya pemeritahan dengan baik tentu disebabkan oleh banyak faktor. Ia tidak berdiri atas

satu penyebab saja. Oleh karena

itu

UNDP

(United Nafion

for

Deue-Iopment

progam)

sebuah badan internasional

di

bawah Persatuan
(20)

Bangsa Bangsa (PBB) merumuskan

apa yang kemudian kita kenal dengan

good

gouernence.

Istilah

gouer-nance kerap digunakan untuk mene-gaskan perlunya arah dan semangat

baru demi mendorong reformasi dan

restorasi tata-kepemerintahan.

Se-mangat gouernance sesungguhnya mengedepankan akomodasi, koope-rasi, dan sinergi dalam kesetaraan

antarpelaku

dalam

masyarakat

(stakeholders). Namun dalam prak-tiknya, gerakan good gouernance di Indonesia agak tersendat,

bila

kita mau mengatakannya melenceng dari

semangat dasarnya. Dalam perspektif

g ouernance, sebenamya, diandaikan

terjalin relasi, interalai, dan integrasi

peran yang

setara

dan

seimbang antara tiga aktor pendukung utama-nya yaitu: pemerintah atau birokrasi (state), dunia usaha

(market),

dan

masyarakat

sipil (ciuil

society). Karena

itu,

UNDP mendefinisikan gouernance sebagai:

'...

penggunaan wewenang

ekonomi,

politik, dan

admi-nistrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua ting-kat. Gouernance mencakup

selu-ruh mekanisme, proses, dan

lem-baga-lembaga

dimana

warga dan kelompok-kelompok

masya-rakat

mengutarakan

kepenti-ngan mereka, menggunakan hak

hukum, memenuhi kewaji-ban dan menjembatani perbe-daan-perbedaan di antara mere-ka"

Dengan

melihat

konsep

gouer-nanee yang seperti tersebut

di

atas,

maka ada beberapa aspek yang

pen-ting untuk diutarakan di sini, perfama,

gouernance adalah suatu

sistem

120

pemerintahan yang melibatkan tata-kepemerintahan didalamnya yang menyertakan banyak pelaku

(multi-stakholders)

dari

pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah untuk saling melengkapi dalam rangka

pro-ses pembengunan, pemberdayaan, dan pelayanan bagi semua pihak; kedua, gouernance memang sengaja

dikembangkan untuk merespon

peru-bahan sosial yang sangat massif dan revolusioner sehingga kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan masyarakt

dapat terpenuhi dengan bail<; ketiga, pola hubungan antaraktor tidak lagi kaku dalam

struktur

kelembagaan tetapi menjadi lebih longgar, berupa mekansime, prosedur, dan jaringan

yang saling berikat. Dalam konteks

yang umum dan standar,

good

gouernan@ selalu saja berhubungan dengan beberapa hal

(prinisp

atau indikator), yaitu:

(i)

partisipasi;

(ii)

penegakan hukum;

(iii)

transparansi;

(w) daya tanggap atau responsivitas;

(v)

orientasi

kedepan;

(vi)

kese-taraan; (vii) efisiensi dan efehivitas;

(viii)

akuntabilitas;

serta

(ix)

visi

strategis.s

5 lndikator goodgovemanoeini

dalah indikator yang

umum diketahui oleh para sarjana di lndonesia.

Sebenamya World Bank lnstitute, lembaga yang

rnerumuskar indikatainsikator gmd gorcrnance tdah

merevisi indicatortersebut di atas menjadi: (i) vorce

and accountability, (ii) political stabitity and abserca

of violence, (iiil governmenf effecfiveness, (iv)

regulatory quality, (v) ru/e oflaw, serla(vil controlof

cwruption. Lihat paper Daniel Kaufrnann,Aart Kraay, and Massimo Mastruzi, 2006,'Govemance Matters

V: Aggregale and lndividual Govemance lndicators'.

Washin$on: The World Bank lnstitute.

c

t

r

r

d

d

t

d a n n v

n

n

si

k

n

k

b

it

n

TI

d

gr

u

n

al

le

(21)

Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 200g I optimarisasi Reformasi Birokrasi I

t,.

i-I t.'

Partisipasi, sebagai variabel per-tama yang dapat dijelaskan

di

sini

adalah

menetapkan

keterlibatan

warga secara langsung maupun tidak

dalam pnoses pengambilan keputusan

(decision-making process)

demi kebaikan bersama. partisipasi yang terlembaga dapat berupa tuntutan atas perihal yang belum disediakan

oleh

pemerintah karena memang tidak pernah ada upaya konkret dari pemerintah untuk mendengar

aspi-rasi

warganya;

ataupun

berupa dukungan atas kebijakan-kebijakan dan ketetapan-ketetapan politik yang

telah dilembarkan dalam lembaran

darah atau lembaran negara. Ada dua

alasan mengapa sistem partisipasi masyarakat amat dibutuhkan dalam mewujudkan kerangka pemerintahan yang baik.

Pertama, bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham

mengenai kebutuhan-kebutuhan

da-sar mereka. Dan lcedua,bermula dari

kenyataan bahwa pemerintahan yang

rnodern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh mem-bengkak di luar kendali. Oleh sebab

itu, untuk menghindari alienasi warga

negara,

aparat pemerintah

perlu melakukan agregasi dan artikulasi dari pelbagai kepentingan para war-ganya.

Kedua, penegakan hu}um, adalah

upaya pembenahan sistem hukum mulai dari perangkat hukum hingga aparat hukum. Dengan asumsi ter-lembaganya

sistem

hukum

yang

tegak, maka terterapkannya kerangka

hukum yang berkeadilan tanpa pan-dang bulu menjadi mekanisme kerja keseharian yang. Pelembagaan sis-tem hukum yang tegak dan berjalan secara mekanis tentu saja akan berkait

erat

dengan

tingkat

kepercayaan

publik

pada aparatur hukum, yang

mana kelakberimbas positif pada para

aparatur birokrasi di daerah. Tingkat

kepercayaan (frusf) menjadi barang mahal yang

perlu

disediakan oleh

setiap lembaga pemerintahan agar partisipasi warga dapat mengalir

de-ngan otonom.

Karena

akan

sulit

meminta keterlibatan

publik

yang luas manakala kepercayaan

publik

pada lembaga-lembaga negara begitu rendah. Mereka akan

sulit

percaya

untuk

memandatkan

pekerjaan-pekerjaan besar pada pemerintah ketika tingkat kepercayaan pada

apa-ratur

negera

(aparatur birokrasi

pemerintah daerah) tidak ada dalam keseharian. Karena

itu,

penegakan

hukum

merupakan

langkah

awal untuk membultikan bahwa

keperca-yaan publik dapat dibangun dengan mengukir keadilan dalam penegakan

hukum.

Ketig a, transparansi, merupakan hal yang harus diperjuangkan oleh semua

pihak

termasuk

juga

oleh aparatur pemerintah. Transparansi

sangat berkait erat dengan informasi simetris (meminjam istilah Stiglitz),

dimana

kebebasan

memperoleh

informasi seluas-luasnya merupakan hak warga negara (atau dalam kon-teks ini warga daerah). Ttansparansi akan berjalan dengan baik apabila

(22)

mekanisme

checks

and

balances

melembaga dengan baik. Namun kini

ada

permasalahan

yang

muncul manakala pemerintah pusat akan mengeluarkan perundangan yang berhubungan dengan rahasia negara.

Ada polemik

yang

muncul

ketika transparansi sebagai salah satu varia-bel dalam menata tata kepemerin-tahan yang baik, namun

di

sisi lain terlalu transparannya informasi bagi pulbik juga menjadi kendala

tersen-diri

bagi pemerintah. Artinya, perlu

ada definisi yangjelas apa itu rahasia

negara. Karena, jangan sampai

bah-waAnggaran Belanja Daerah dan atau

Anggaran Belanja Negara pun

dika-takan sebagai rahasia negara. Padahal

anggaran merupakan

titik

sentral yang dapat digunakan oleh banyak pihak untuk melihat apa$h terclapat

keberpihakan pemerintah kepada publiknya.

Keempat,

daya

tanggap

atau

responsiueness, adalah kemampuan lembaga-lembaga

pulbik

untuk be-kerja dan bergerak cepat serta flek-sibel dalam memberikan pelayanan

pada publiknya. Daya tanggap

sering-kali juga digunakan sebagai indikator untuk melihat sejauhmana lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di

daerah,

untuk

dapat

mengetahui dengan cepat mengenai kebutuhan

warga masyarakatnya. Dalam konteks

perubhan sosial yang sangat massif dewasa

ini,

daya tanggap menjadi faktor penting bagi warga untuk tetap mendudkung pemerintah yang

ber-kuasa atau tidak. Ketika mereka dapat

122

tanggap,

cepat mengerti,

mudah memahami, serta flek-sibel dalam melayani, maka legitimasi pemerin-tah yang tengah menjabat akan ter-dongkrak dengan sendirinya. Hal

ini

menjaid sangat wajar karena logika yang digunakan oleh publik kolektif

adalah: apakah pemerintah dapat

be-kerja sesuai dengan apa yang diha-rapkan oleh publik.

Kelima, orientasi kedepan adalah

orientasi yang dibangun dan dikon-struksi oleh pemerintah di daerah un-tuk tetap memperjuangkan

kepenti-ngan, kebutuhan, dan tuntutan warga

masyarakatnya. Orientasi pada

kon-sensus memang agak berbeda dengan

paradaigma pemerintahan Orde Baru yang justru berpihak pada kelompok tertentu, yang bukan

warga.

Kesa-lahan dalam menjalankan birokrasi di banyak negara berkembang, terma-suk

di

Indonesia, ternyata menjadi pelajaran penting bagi UNDP untuk membuat

indikator

penilaian atas

tata-kepemerintahan

agar

tidak

distortif.

Keenam, kesetaraan, atau

pemili-kan atas kesempatan yang sarna untuk

memperoleh

pelbagai

hal

yang

disediakan dan dilakukan oleh

peme-rintah

pada setiap warga

ma$ya-rakatnya. Diskriminasi atas etnis

ter-tentu

melalui peraturan-peraturan daerah yang dibentuk, diskriminasi

yang bernaung dalam konsep "putera daerah" sehingga menutup semesta

(23)

Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

yang sama6, hingga persoalan pem-bagian beras bagi keluarga miskin ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) seringkali menyediakan ruang bagi ketidaksamaan hak bagi semua

anggota warga masyarakat. Karena

itu, resotorasi atas ide persamaan hak menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan secara saksama oleh setiap elemen masyarakat di daerah.

Ketujuh, efisienesi dan efektivitas,

yang dimaksud di sisi ialah bagaimana

pemerintah daerah dapat bekerja dan

mengelola sumber-sumberdayanya, sehingga pekerjaan dapat berhasil optimal dengan menggunakan logika bahwa perkerjaan

tersebut

harus

berdaya guna dan berhasil guna.

Se-cara sederhana pekerjaan pemerintah dikatakan berdaya guna dan berhasil guna apabila, misalnya, pelayanan yang diberikan pada pengguna

pela-yanan terlaksana dalam waktu yang

singkat dan dengan biayayang murah (sesuai dengan

tingkat

kesulitan kerja).

Kedelapan, akuntabilitas

merupa-kan kunci utama dari prinsip-prinsip yang ada. Akuntabilitas menuntut dua

hal

penting

yaitu

kemampuan menjawab

(answerability)

dan ke-mampuan konsekuensi

(consequen-ces). Maksudnya, akuntabilitas ber-hubungan dengan tuntutan bagi para

aparat untuk bertanggung-gugat

me-6

Penjelasan lebih lengkap baca: LeoAgustino. 2005.

Politik dan Otonomi Daenh. Serang: Untirta Press.

Khususnya Bab 7'Pilkada Langsung: Beberapa Catatan Kritis".

ngenai setiap pertanyaan-pertanyaan

(atau kegiatan-kegiatan) yang

ber-hubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenangnya, kemana

larinya

sumber-sumberdaya yang

telah digunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sum-berdaya tersebut. Maka dapat

di-simpulkan bahwa akuntabilitas

pu-blik

adalah prinsip yang menjamin

(bahwa) setiap kegiatan

penye-lenggaraan pemerintahan dapat

di-pertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaksana kegiatan

(adminis-tratif

dan birokrasi) kepada pihak-pihak yang terkena dampak

pene-rapan administratsi dan kebijakan itu.

Teralchir, visi strategis merupakan dasar dari tata-kepemerintahan yang

baik. Sebuah pemerintah, entah

itu

pemerintah daerah atau pemerintah pusat, dapat dikatakan baik apabila

mereka memiliki visi strategis jauh ke depan dengan mengedepankan publik

(tepatnya manusia) sebagai orientasi

pembangunan yang hendak dibangun

dan bentuknya.

Merujuk pada

paparan

good

gouernance seperti

di

atas, maka

dapat disimpulkan bahwa

tata-kepemerintahan yang

baik

adalah

sebuah

tata

pemerintahan

yang dikembangkan atas dasar

prinsip-prinsip

efisiensi,

efektivitas,

par-tisipasi,

responsivitas, kesamaan

dimuka hukum, keadilan, dan orien-tasi pada konsensus. Dan sebaliknya,

sebuah tata-kepemerintahan yang buruk adalah sebuah pemerintahan yang diselenggarakan dengan

(24)

baikan nilai-nilai di atas, yakni sebuah

pemerintahan yang terselenggara dengan menghamburkan sumber daya, gagal memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak melibatkan para stakeholders, melakukan

diskrimi-nasi etnis, gagal menjamin kepastian

hukum, serta gagal melembagakan konsensus sebagi

tradisi

penyele-saian

konflik

yang berkembang di masyarakat.

Melihat dari paparan tersebut di

atas, maka muncul pertanyaan kritis:

apakah pelayanan kesehatan yang semestinya disediakan dengan baik

tidak

dapat berjalan sebagaimana mestinya oleh karena ketidakber-jalanan tata-kepemerintahan dengan

baik

(good

gouernment

gouer-nance)? Jawaban singkatnya: mung-kin saja! Bila melihat hasil penelitian

Pusat Stusi Kependudukan dan Kebi-jakan Universitas Gadjah Mada (PSKK

UGM) dalam GouernanceAssessment

dikatakan bahwa pelaksanaan tata-kepemerintahan (index gabungan total) di Provinsi Banten adalah o,4o (seperti yang dapat

dilihat

dalam Grafik

z).

Hal

ini

memberikan

arti

bahwa good gouernment

gouer-nance di Provinsi, yang baru berdiri selama tahun ini, berada pada level yang rendah.

Dari gambaran data di atas terpa-par bahwa ada beberapa hal yang membuat index

itu

begitu rendah, diantaraya: transparansi, peran dan penegakan

hukum,

pengendalian korupsi, efektifitas pemerintah, serta

partisipasi yang rendah. Tidak dapat

dipungkiri hal-hal tersebut merupa-kan problem dasar di daerah-daerah

otonom saat

ini.

Bila kita coba

san-dingkan dengan daerah-daerah lain yang

diteliti

oleh pSKK UGM, maka

ada beberapa daerah yang setidaknya

Grafik 2. lndeks Kualitas Tata.Pemerintahan di provinsi Banten

BANTEN

0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 o.20 0.10 0.00

r

gEcEF

$

E

ggg'$n

#xEg

=

o3a

o.3e o.3e o.4o

o! '! tj '3

0.33

p€ kr: di

Bi

kl

T(

h:

be

te: 3.

pr

flr ta

m

rt

pr

ul

te

ul

ja

S(

(25)

Jurnal Politika Vol, 4 No, 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I

bernasib sama dengan provinsi

Ban-ten.

Hal itu dapat dilihat dari Grafik 3.

Ada beberapa hal yang dapat kita peroleh

dari

perbandingan indeks kualitas tata-pemerintahan tersebut

di

atas,

yakni: pertama, provinsi

Banten berada pada urutan lima

tera-khir

dalam hal tata-pemerintahan. Tentu saja ini mengecewakan. Bukan

hanya karena Banten merupakan provinsi baru, yang seharusnya lebih

fleksibel

dalam

hal

tata-pemerin-tahan, karena asumsinya ketika

pe-mekaran wilayah terjadi, maka

selu-ruh

sumberdaya yang ada didalam provinsi akan dengan sekuat tenaga

untuk<

Gambar

Tabel 1. Keurenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi
Tabel 2. Provinsi Banten dalam Angka
Grafik 1. Perbandingan Beberapa lndikator Kesehatan antara Jawa Barat dan Banten
Tabel 4. Persentase penduduk Berobat Menurut provlnsi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Ras mengkaji Hikajat Bandjar berangkat dari ketidakpuasannya ketika dia melihat bahwa tidak satupun dari sebagian besar kajian tentang sejarah Melayu yang mempertimbangkannya

Selain kepala madrasah peneliti juga melakukan wawancara langsung dengan wakamad kesiswaan yaitu bapak Badaruddin, S. I bahwa sebagai bentuk pembinaan disiplin siswa,

Pasal 20 ayat (1) menyebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”, Sedangkan Presiden hanya memiliki hak mengajukan

BEST 260‐272.  Sentimen positif atas disahkannya RUU Tax Amnesty pekan ini telah mendorong penguatan  pasar  saham  terutama  saham‐saham  sektoral  yang 

Faktor ini juga disebut dissatisfier (sumber ketidakpuasan) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah yang dikualifikasikan ke dalam faktor

Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang mempunyai arti bahwa seluruh negara, baik yang telah menjadi negara pihak maupun

Penulisan skripsi dengan judul “Perancangan Pengendalian Kualitas dengan Metode Six Sigma pada Produk Singlet Polos Renda Cabut Jarum UD. Sekawan Putra” ini

Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, dilakukan setiap tahun secara berkala yang tertuang dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Inspektorat Kabupaten