Iurffiffiffi
ffiffiffi$#$
kffi
Jurnal
Pencerahan
Politik
untuk
Demokrasi
Jurnal
Empat
Bulanan
I
Volume
4
No.
2 Tahun 2O0gPerspektif
Politik
Perkembangan danTantangan Reformasi Birokrasi
Di
lndonesia
Adi Suryadi Culla
Tinjauan Implementasi
Reformasi
Birokrasi
Pemerintahdi
lndonesia
Miftah Thoha
Dilema Kekuasaan Birokrasi
S,grf Pamungkas
Reformasi Menuju Birokrasi
yang
Partisiopatoris
Khairul Muluk
Problematika
Birokrasi
pada Era
Reformasi
"Utang Suyya
ryo
.Reformasi
Adm i nistrasi
SBY-J K:Mana
Didahulukan?
lrfan
RidwanMaksum
:oo
lmplementasi
PerencanaanBirokrasl'
dalam Bentuk
Administrasi
Publik
oleo
AgustinoTinjauan
Buku Visi, Strategi dan Praktik Pemimpin Masa Depan untuk Era Barui
.1,f ''
\'
'1".) . 1-.
x
o
JurnalPolitika
EdisiVolume
4 No.
2
Tahun
2008
rssN
0216-91s3
Pcngantrr Redaksi
KaJian Utama
Perupektlf Polltlk Porkembangrn
dan Tantrngan Reformml
Blrokrrl di
Indonmlr AdiSurydi CullaTinfruan lmplemontarl Reformarl
Birokrul
Pamcrlntrhdl
lndonmirMifrahThoha
Dllema
Kakuanrn
Blrokra:lSigit Panungkas
Rrformul
llenufuBlroknrl
yengPrillrlprtorlr
Khairul MulukProbbmatlkr
Blroknrl prdr En
Rclormui
Wang Swaryo
Rcformml
Admlnirtrnl
SBY.JK:llrnr
Dld$ulukrn?
ffisr
Ridwgl-M*sum
31
47
65
85
91
lmplementarl Ponncanmn
Blrokrrd
drlrm
Bcntuk Admlnlrtrarl Publlk:Banten Sehat 2008 Suatu Tinjauan Kritis
leo.Agusfrno
Tlnfauan Buku
Pmlmpln
trrr
Dcprn:Vlrl,
Stntcgldan
Pnhtk
Pcmlmpln trlrre Dcprn untukEn
BrruPujiWahono 129
Kajian
Utama
rmplementasi perencanaan
Birokrasi
dalam Bentuk
Administrasi
Pubrik
Banten
Sehat
zoog
Suatu Tiniauan
Kritis
LeoAgustino
l\ferujuk
pada pemikiran Bowman dan HamptonIVIyang
dituangkan mereka dalam buku yangberjudul
Local
Democracies:A
Study
in
Comparatiue Local Gouernment (rggg) mengutam_kan bahwa tidak ada suatu negara dengan wilayah
yang luas dapat dengan baik mengelola pemerinta_ hannya secara efektifdan efisien (hanya) dari pusat.
Karena itu,lanjut mereka, dirasa perlu adanya peme_
rintahan ditingkat lokal (rub-n ational gouernment). Bentuk pemerintahan seperti ini sering kali disebut
oleh
kita
sebagai bentuk pemerintahan desen_tralisasi. Merujuk pada pemikiran tersebut, Coralie Bryant dan Louise White melalui buku nya Managing
Development
in
Third
World
(r9gz:
16o_16r), berpendapat bahwa terdapat dua bentuk desen_tralisasi yang dapat dilakukan oleh negara_negera
besar tadi.
Pertama, desentralisasi yang bersifat
politik
(yang kemudian dikenal dengan istilah devo_lusi [dalam perspektif Chemma dan Rondinelli]). Dalamkonteks ini kewenangan dalam formulasi kebijakan
dan melakukan fungsi kontrol terhadap sumber_
sumberdaya tertentu diberikan oleh pemeirntah
pusat kepada badan-badan pemerintah yang berada
Leo Agustino:
Pengajar di program Studi
llmu Administrasi Negara,
FlSlP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang, Banten. Saat ini
tengah melanjuU<an studi
doktoraldi Universiti
bahasan, dalam menerapkan
pelem-bagaan pelayanan
(administrasipublik) di
bidang kesehatan gunamenggenapi
misi
"Banten
Sehat 2oo8". Ada banyak kesempatan danjuga banyak kendala, tentunya, yang
dihadapi
untuk
menyelenggarakan misi yang telah ditetapkan tersebut. Kesempatanyang dapat
dikeloladengan baik bukan hanya akan
meng-hasilkan output dan outcome yang tak
terduga, tetapi ketika hal
itu
tidak ditanggapi dengan serius, juga, bukanhal tidak
mungkin akan
menda-tangkan masalah dikemudian hari.
Karenanya,
makalah
ini
akanmengurai beberapa
subbagian,pertama, karena dalam pokok
pemi-kiran
yang diulas dimuka
bahwa(otonomi daerah)
desentralisasimerupakan kerangka
kerja
dalammengelola kepemerintahan
padanegara modern saat ini, maka bagai-mana penulis melihat otonomi daerah
dalam konteks
pelayananpublik.
Kedua,
upayauntuk
menemukan komitmen pemerintah daerah dalam menerapkan pelayanan kesehatan pada warga. Tentu saja bahasanini
akan menyoroti bagaimana kasusnya
di
Provinsi
Banten, dengantidak
menutup kemungkinan
elaborasi beberapa data yang diungkap darikabupaten atau kota yang ada di
Pro-vinsi Banten. Dan, terakhir, bagian penutup. Pada bagian ini akan penulis
upayakan adanya sebuah
rekomen-dasi atau usulan yang kostmktif guna
perbaikan pelayanan kesehatan
di
Provinsi Banten.
Mewujudkan Good. Gouernolnce
Melalui
PelayananPublik
Otonomi daerah yang tertuang dalam dua perundangan pasca-Orde
Baru (undang-undang No.zz I rggg
yang
kemudian
direvisi
menjadiUndang-undang No.3z/zoo4) telah mengantarkan negara Indonesia ke depan konstruksi baru koseptualisasi
dan operasionalisasi utuh desentra-lisasi.
Bila merujuk pada beberapa
pen-dapat
scholars mengenai otonomi daerah di Indonesia, misalnya: JohnD.
Legge(196r)', Karl
D. Jackson(r98o)',
sertaColin
MacAndrews(rggO)e dalam buku-buku mereka, dapat
kita
temui bahwa penerapan mulai: Undang-undang No.r tahun1945, Undang-undang No. ez tahun 1948, Undang-undang
No
r
tahun1957, Penetapan Presiden (Penpres)
No. 6 tahun 1959, Undang-undang No. 18 tahun 1965, hingga Undang-undang No.
S
tahun
1974, sangat berwarna tarik-ulur desentralisasi, disatu sisi, dengan dekonsentrasi, di sisi
lainnya, untuk diterapkan.
Dekonsentrasi merupakan pelak-sanaan tugas dan kewenangan oleh pemerintahan daerah yang
didele-1
Baca: John D. Legge. 1961 . Central Authority and Regional Autonomy in lndonesia. lthaca: Cornell University Press.
2
Baca: Karl D. Jackson. 1980. Political Power and
hmmunication in I ndonesi a. Califomia: University
of California Press.
3 Baca: Colin MacAndrews. 1986. Central
Government and Local Govemment in lndonesia. Oxford: Oxford University Press.
I
n
v
r
T
n n p s
b
u d tl
b
p
p
I
b
d
li
2k
Ii
s(
ti
d n
N
v
pi t€ pi rt
br
ri
s( dr
Jumal Pollika Vor. 4 No. 2 Tahun 200g I optimarisasi Reformasi Birokrasi I
gasikan oleh pemerintahan pusat de_ ngan mengikuti aturan dan prosedur yang
telah
disediakan oleh peme_rintahan pusat (Surbalti, r99z: r73). Pertanggungjawaban atas pelaksa_ naan dekonsentrasi, sperti tersebut di muka, tentunya, harus diajukan pada
pemerintahan pusat. Sedangkan
de-sentralisasi lebih merujuk pada pem-berian hak pada pemerintahan daerah
untuk melaksanakan fungsi negara di
daerah dalam rangka menerapkan
tugas dan fungsi negara, tanpa harus
bertanggung-jawab pada pemerintah pusat (Surba}ti, tggz: r7g).
Hal
ini
tentu dapat kita lihat setupersatu, mulai dari Undang-undang
No. r/r945
yang lebih
menitik-beratkan pada
penyelenggaraandekonsentrasi daripada desentra-lisasi. Kemudian Undang-undang No. zz/ 1948, sebaliknya, lebih
menekan-kan pada desentralisasi. Dalam UU No. r/r957, otonomi daerah menjadi semakin "gado-gado". Hal ini bukan tanpa sebab, karena pemerintahan
daerah
saat
itu
harus
mampumenempatkan dirinya menjadi "Abdi
Negara" sekaligus juga sebagai "Abdi Masyarakat". Artinya kepala daerah,
pada saat tertentu, wajib memper-tanggungiawabkan kinerjanya pada
parlemen (sebagai pengabdi
masya-rakat), tapi di lain
piha\
gubernur/ bupati/walikota menjadi alat peme-rintahan pusat di daerah. Keadaanini
sempat menimbulkan
terjadinya dualisme struktural.Untung saja dualisme struktural dan dualisme pengabdian berubah
manakala Penetapan presiden No. 6
tahun 1959 diberlakukan. penetapan
Presiden secara pasti lebih
membe-rikan
titik
berat pada dekonsentrasi.Melalui
Penpresini
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat ter-utama dari kalangan pamong-praja (Legge,rg6r).
Perilaku pergantian paradgima (shifting paradigm) dandekonsentrasi ke desentralisasi kem-bali terjadi dengan dilembarkannya dalam lembaran negara UU No.
rg/
1965. Melalui penrndangan ini
peme-rintahan pusat kembali menerapkan desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi
di-terapkan hanya sebagai komplemen saja. Bahkan pada waktu
itu
timbultuntutan
bagi terbentunya Daerah TingkatIII
(Dati.III)
yang berbasis pada tingkat Kecamatan. pada tahun 1974, melalui UU No. 5/tg74peme-rintahan
pusat kembalimengem-bangkan konsep otonomi daerah bagi
Indonesia yang
relatif
ajeg. Dan iamenjalankan secara setimbang antara
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan (medebewind).
Setelah sangat lama tidak direvisi,
apada pemerintahan Burhanuddin Jusuf Habibie, undang-undang
oto-nomi
daerah kembali dikonstruksi ulang. Bukan hanl'a tidak lagi sesuaidengan perubahan zaman
yangtengah terjadi. Tetapi juga UU No.5/
1974 dinilai oleh banyak pihak,
khu-susnya mereka-mereka yang berada di luar Jakarta sebagai perundangan
menger-dilkan
kebebasan daerah" (kreti_nisme) dan
lainlain.
Oleh karena itu, padatahun
1999 melalui Undang_undang No.zz/rg9g tentang peme_
rintahan Daerah, maka regulasi oto_
nomi
yanglebih
luas, nyata
danbertanggungiawab dilembarkan da_ lam lembaran negara No. 6o yang disahkan dan diundangkan pada 7
Mei 1999. Namun dengan berjalan_
nya proses transisi menuju demo_ krasi melalui jiwa zaman reformasi, UU No.
zz/rg99
kemudian direvisidan muncullah UU No. 3z/zoo4
tentang Pemerintahan Daerah. Tu_
juan otonomi daerah yang termaktub dalam kedua perundangan tersebut
pada dasarnya berakar pada falsafah
yang sama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kei_ nganan
untuk:
(i)
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan padamasyarakat;
(ii)
berupaya mengem_bangkan kehidupan demokrasi, kea_ dilan, dan pemerataan; serta (iii) me_
ngupayakan pemeliharaan hubungan
yang serasi antara pusat dan Daerah
serta
antar-daerahdalam
rangka menjaga keutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia
(NKRI),
padadasarnya sesuai dengan konsepsi tu_
juan
desentralisasi dan pemberianotonomi yang bersifat universal.
Tidak dapat disangkal bahwa pe_ lembagaan desentralisasi, merujuk
Bowman dan Hampton serta Cheema
dan Rondinelli, pada dasarnya beru_ saha, terutama dan paling penting, adalah untuk meningkatkan pelaya_
nan kepada warga masyarakat. IGre_
104
na,
tidak
dapatdipungkiri,
bahwa pemerintahan daerah adalah institusi terdekat dengan warga masyarakat,sehingga mereka diasumsikan mam_
pu untuk mengagregasi dan mengar_
tikulasi tuntutan dan kebutuhan ma_ syarakat. Yang berbeda halnya apa_ bila agregasi dan artikulasi
itu
dila_ kukan oleh pemerintah pusat. Keteta_pan
politik
hingga kebijakan publik yang dihasilkan oleh pemerintah pu_ sat bisa sangat mungkin tak sejalandengan nafas dan detak kehidupan
warga setempat, yang berakibat pada
lahirnya kemubaziran formulasi dan implementasi kebijakan.
Dimasa Orde Baru otonomi daerah
dijalankan dengan ekstra hati-hati. "Pembatasan" serta intensitas keter_
libatan pengendalian penyelengga-raan kewenangan pemerintahan
di
daerah oleh pemerintahan pusat be_gitu
kuat
terjaga, sehingga ruang gerak, kreativitas,inisiatif
dan lain lain, dari aparaturdi
daerah (kota-madya dan kabupaten -ketikaitu_)
menjadi sangat terbatas. Usaha pe_ merintahan daerah untuk memenuhituntutan
hingga kebutuhan warga masyarakat menjadi sangat terbatas. Banyak intervensi yang dilakukan oleh Jakarta pada daerah pada masalalu,
misalnya,ternyata
memberidampak pada perluasan masalah publik itu sendiri di daeraha. Karena
4
Uraian mengenai hal inidapatdibacadalam:Andrinof
A. Chaniago. 2001 , Gagalnya pembangunan: Kajian
Ekonomi Politik terhadap Akar kisi lndone-sia.
Jakarta: LP3ES; atau Donald K. Emmerson,2001.
lndonesia hyond fueharto.Jakarta: Gramedia.
l'
a
r
I
a p d ri
b
b
p
1{
d d n
wi
ny
tal
su bu ng
S:
hr
si
P
di
nl
hr
s(
dr nl
dr
ja
ot br ra pr
ya
Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
itu,
tidak heran apabila masyarakat awamseringkali mencibir
kinerja pemerintah daerah pada saatitu.
Mereka katakan bahwa birokrasi yang
ada, entah
itu di
daerah maupun di pusat, tidak mampu menjadi solusi dari persoalan yang tengah merekarasakan, justru birokrasi kita menjadi
bagian
dari
masalah. Dan bahkan, birokrasi seringkali dituding sebagaipemerkeruh keadaan.
Suksesi kekuasaan pada tahun 1998 ternyata
tidak
hanyamenye-diakan ruangbagi lahirnya cerita duka dan
luka,
tetapi
juga
menyilakanruang bagi berwujudnya suka. Tepat
satu tahun setelah /engser-nya
Soe-harto dari tampuk kekuasaan
kepre-sidenan,
undang-undang tentangPemerintahan Daerah yang lebih dikenal dengan Undang-undang
Oto-nomi Daerah menjadi isu yang sangat
hangat bagi pemerintahan
lokal
di seluruh Indonesia. Melalui perun-dangan tersebut daerah padaakhir-nya
menerima
desentralisasinyadengan luas, nyata, dan bertanggunf jawab. Ujung dari penyelenggaraan otonomi tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah mengupayakan
pene-rapan dan peningkatan pelayanan publik, sehingga dengan pelayanan yang
prima
di
daerah, kelak akan mampu mendorong kesejahteraanwarga masyarakat. Bila demikian hal-nya maka, hipotesis yang menya-takan bahwa otonomi daerah adalah
suatu mekanisme dalam mendistri-busikan dan membagikan
kewena-ngan berdasarkan asas desentralisasi,
dekonsentralisasi, dan pembantuan
pada strata
pemerintahan
gunamendorong prakarsa
lokal
dalam membangunkemandirian
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI)
menjadi benar adanya.Dalam konteks otonomi daerah banyak sasaran yang hendak dicapai.
Namun, yang
perlu
diingat bahwadalam
Undang-undang OtonomiDaerah yang telah direvisi
(W
No.gz/zo o
4)
pendelegasian kewenanganantara pemeirntah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota dan kebupaten telah terbagi secara sek-sama. Pembagian kewewenangan itu dapat dilihat pada tabel r.
Dari tabel dapat diamati bahwa hanya ada enam hal wewenang yang dipegang oleh pemerintah pusat dan
ini
sifatnya absolut (distinctiue).
Sisanya diberikan semuanya pada pemerintah provinsi dan daerah oto-nom (kota/kabupaten). Perlu
dipaha-mi sebelumnya, di sini, bahwa ada dua
bentuk
kewenangan yangterurai
dalam konsep
otonomi
daerahdi
Indonesia,
yaitu:
(i)
kewenangan absolut (distinctiue) ialahkewena-ngan yang hanya dimiliki oleh
peme-rintah
pusat, seperti:Politik
Luar Negeri, Pertanahan, keamanan,Pera-dilan/yuridis,
Moneter dan Fiskal, dan Agama;dan
(ii)
kewenangan bersama (coneurrent) ialahkewena-ngan dikerjakan bersama antara
pe-merintah pusat, pemerintah provinsi, serta pemerintah kota/kabupaten (seperti dapat dilihat pada tabel r).
Tabel 1. Keurenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan Pemerintah Kota/Kabupaten
Pemerintah Daerah
j,
d
c
(,
d (
b
x
o
d u
k
q n
dr
n' p( ta
y2
st
ta
w, ol l€
kc
n(
be
la:
ke
ka
syr
jar
ap
ha
UI
m(
m(
Ka
No Pemerintah Pusat Pemerintah Kab/Kota 1 Politik Luar Negeri Perencanaan dan Pengendalian
Pembangunan
Perencanaan dan pengendalian
Pembangunan
2. Pertahanan Perencanaan, Pemanfaatan, dan
Pengawasan Tata Ruang.
Perencanaan, Pemanfaatan, dan pengawasan lata ruang, 3. Keamanan Penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
4. Yuridis Penyediaan Sarana dan Prasarana Umum
Penyediaan Sarana dan prasarana Umum
5. Moneter dan Fiskal Penanganan Bidang Kesehatan Penanganan Bidang Kesehatan
6. Agama Penyelenggaraan Pendidikan dan Alokasi Sumber Daya potensial
Penyelenggaraan Pendidikan
7. Penanggulangan Masalah Sosial
Lintas Kabupaten/lota
Penanggulangan Masalah Sosial
8. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan
Lintas Kabupaten/kota
Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan
L Fasilitas Pengembangan Koperasi,
Usaha Kecil dan Menengah termasuk
Lintas Kabupaten/kota
Fasilitas Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah
10. Pengendalian Lingkungan Hidup
Pengendalian Lingkungan Hidup
11 Pelayanan Perlanahan Lintas
KabupatenAota
Pelayanan Pertanahan 12. Pelayanan Kependudukan dan
Catatan Sipil
Pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil
13 Pelayanan Administrasi Umum Pemerintah
Pelayanan Administrasi Umum
Pemerintah
14. Pelayanan Administrasi Penanaman
Modal termasuk Lintas Kabupaten/
kda
Pelayanan Administrasi Penanaman
Modal
15. Penyelenggaraan pelayanan Dasar
Lainnya yang Belum Dapat Dilaksanakan oleh Kabupatenikota
Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya
16. Urusan Wajib Lainnya yang
Diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan
Urusan Wajib Lainnya yang
Diamanatkan oleh Peraturan
Perundangundangan
Jumal Politika Vor. 4 No. 2 Tahun 2009 I optimarisasi Reformasi Birokrasi I
Kewenangan bersama dalam pen_ jelasan UU No.3z/2oo4 terbagi ke
dalam dua
sifat:
(i)
kewenangan concurrent ada yang bersifat wajib (obligatory) -yang diikuti olehstan-dar pelayanan minimum
(SpM)-
dan(ii)
kewenanganconcurrent
yang bersifat opsional (core competence).Kewenangan concurrent yang bersifat
obligatory, adalah: kesehatan, pendi-dikan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan perhubungan; sedangkan kewenangan concurrmt yang bersifat
optional adalah kewenangan yang
ha-rus dijalankan bersama oleh provinsi dan kota/kabupaten karena
dampak-nya yang taktis, seperti: pertanian, perindustrain, perdagangan, kelau-tan dan sebagainya.
Menjurus pada UU No. 3z/zoo4
yang lebih spesifil pada pasal r4,
khu-susnya, menyatakan bahwa keseha_
tan merupakan salah satu bidang ke_ wenangan yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan daerah kota dan kabupaten. Ini berlaku untuk seluruh
kota dan kabupaten di seluruh Indo-nesia. Daerah kota dan kabupaten bertanggung-jawab sepenuhnya
da-lam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam rangka meningkat-kan derajat dan mutu kesehatan ma-syarakat di daerah. Karena itu,
men-jadi
sangat penting untuk meninjauapakah pelembagaan pelayanan
kese-hatan seperti yang diamanatkan oleh
UU No.
gz/zoo4
dan peraturanpe-merintah No.z5/zooo telah diimple_
mentasikan dengan baik atau tidak. Karena harapannya adalah dnegan
terbitnya perundangan seperti
itu,
maka pemerintahan daerah dapat memberikan pelayanan terbaik padawarganya.
Pelembagaan kesehatan
di
pro-vinsi
Banten melalui pencanangan"Banten
Sehat2oo8"
amat
diha-rapkan akan memperoleh apa yang diidamkan oleh warga, seperti: pen-duduk yang hidup dalam lingkungandan perilaku yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau dan memanfaatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Hal tidaklah ter-lalu muluk apabila strategi dan pro-gram yang dituangkan dapat
ter-implementasi dengan baik. Imple-mentasi kebijakan sangat berkait
de-ngan banyak hal. Misalnya bila kita rujuk pada teori yang diutarakan oleh
Merilee S. Grindle dalam bukunya Implementafron as
A
political and Administratiue Proces.s (r98o)me-nerangkan bahwa terdapat dua varia-bel yang mempengaruhi implemen-tasi kebijakan. Keberhasilan imple-mentasi suatu kebijakan publik,
lan-jutnya,
dapat
diukur dari
prosespencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya tujuan
yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan
oleh Grindle, dimana pengukuran
keberhasilan implementasi kebijakan
tersebut dapat
dilihat
dari dua hal, yaitu:l.
Dilihat
dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakahyang ditentukan (dengn) dengan
merujuk pada aksi kebijakannya.
2.
Apakahtujuan
kebijakan ter_capai. Dimensi ini diukur dengan
melihat dua faktor, yaitu:
a.
Impakatauefeknya pada ma_ syarakat secaraindividual
dan berkelompok.
b.
Tingkat perubahan yangter-jadi serta penerimaan
kelom-pok sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi kebi-jakan publik itu juga, paparnya, amat ditentukan oleh
tingkat
implemen-tability
kebijakanitu
sendiri, yangterdiri
atas Contentof
policy
dan Context of Policg. Namun yang akanpenulis
sorot
adalah pada bagiancontent of policy yang berkiat dengan
beberapa hal, yakni: pertama, inte-rest affected (kepentingan-kepen-tingan yang mempengaruhi),
berkai-tan
dengan berbagai kepentinganyang mempengaruhi suatu imple_ mentasi kebirjakan. Indikator ini
ber-argumen bahwa suatu kebijakan
da-lam pelaksanaannya pasti melibat-kan banyak kepentingan, dan
sejauh-mana kepentingan-kepentingan ter-sebut membawa pengaruh terhadap implementasinya,
hal
inilah
yang ingin diketahui lebih lanjut.Kedua,
type
of
benefits
(tipe
manfaat), pada
poin ini
contentof
policy berupaya untuk menurfukkan
atau menjelaskan bahwa dalam suatu
kebijakan harus terdapat beberapa
jenis
manfaat yang menunjukkan108
dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Tentu saja man-faat yang berorientasi pada peman-tapan atas perbaikan keadaan
menja-di hal yang utama dalam poin ini.
Ketiga, ertent of change enuision, derajat perubahan yang ingin dicapai.
Setiap kebijakan mempunyai target
yang
hendak
dan
ingin
dicapai.Content of polfcy pada poin ini hendak
menjelaskan bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala
yang jelas. Penentuan derajat peru-bahan menjadi sangat penting karena
kadangkala implementasi kebijakan menegasikan apa yang hendak
di-capai.
Salah satunya asumsi yangmenyatakan bahwa implementasi
ke-bijakan selesai pada saat kebijakan itu terapkan.
Keempat, site of decision making, letak pengambilan keputusan. pe-ngambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan
pen-ting
dalam pelaksanaan/penerapansuatu kebliakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak
pe-ngambilan keputusan dari suatu
kebi-jakan hendak diejawantahkan.
Mak-sudnya bahwa kadangkala letak
pe-ngambilan kebijakan yang terlampau "tinggi" akan membuat kebijakan itu tidak
"melumpur".
Keberlumpuran suatu kebijakan demi kemudahan operasionalisasinya menjadi sangatpenting. Karena
itu,
level pengam-bilan keputusan perlu diperhitungkan(
r
kh k
b
a
k
le pi
sl bi
br
br
ja
rak
asu
pelr
waI
lahr
(der
(s,
ka
jur
su pa
ny
pu ma
pui pui
ber
Jurnal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
agar penerapan kebijakan menjadi
sangat fisibel dan realibel.
Kelima, pr o g r am implementer
(sumberdaya
manusia
pelaksana program). Dalam menjalankan suatu kebijakan kita juga harus memper-hitungkana daya dukung pelaksanakebijakan yang kompeten serta
kapa-bel.
Halini
akan berbuntut panjang apabila realisasi implementasikebija-kan ternyata berdampak negatif yang
lebih luas dibandingftan dengan
dam-pak lainnya (yang positif). Karena itu,
sumber daya manusia yang tepat di-bidangnya dengan pengalaman yang
baik
turut
pula menjadi barometer berhasil tidaknya implementasikebi-jakan menurut Grindle.
Keenam, resources committed (sumber-sumber daya yang
diguna-kan).
Pelaksanaan suatu kebijakanjuga
harus didukung olehsumber-sumber daya yang cakap dan komit pada pekerjaannya agar
penerapan-nya bedalan dengan baik dan prima.
Yang dimalaud dengan pelayanan
publik (yang) prima
"'a"Un manakala masyarakat puas, para petugas juga
puas, serta pimpinan lembaga merasa
puas atas kinerja pelayanan yang
di-berikannnya.
(Edvardsson,Tho-masson dan Ovretveit, 1994: z). Paradigma
ini
hendak menguta-rakan bahwa serta didasarkan atasasumsi bahwa persoalan kualitas pelayanan yang
diberikan
kepada warga, bukan merupakan permasa-lahan yang bersifat parsial semata (demi warga yang dilayani), tapi lebihdari
itu,
merupakan persoalan yangharus ditangani secara holistik. Ka-rena itu, merujuk pada paradigma ini
bahwa kualitas pelayanan harus juga memerhatikan -bukan hanya
masya-rakat sebagai pengguna
layanan-tetapi juga unsur-unsur lain, seperti: petugas yang melayanai (street leuel
bureaucrats), unsur-unsur di dalam organisasi
(termasuk
pimpinan), hinggamitra
kerja eksternal yang diperlukan untuk menghasilkanlaya-nan secara berkualitas dan
memuas-kan.
Oleh karena itu, untuk memahami
kualitas pelayanan, maka para admi-nistratur perlu mendasarkan
kinerja-nya
padatingkat
kepuasan yang diharapkan oleh masyarakat(expec-ted
seruices). Apabila kualitas pe-layanan yang diterima oleh warga masyarakat, kira-kira sesuai dengankualitas layanan yang diharapkan-nya, maka pelayanan tersebut dapat
dinyatakan berkualitas (quality
seruice). Namun apabila layanan yang diterima, menurut persepsi
ma-syarakat kurang atau bahkanjauh dari
apa yang diharapkannya, maka pela-yanan tersebut dapat dikatakan buruk Qtoor quality sensice). Yang terbaik
adalah, ketika warga masyarakat me-rasakan pelayanan yang melebihi dari
apa yang diharapkan atau dibayang-kannya maka dapat dikatakan
pelaya-nan
yang
sangatbaik
(excellent seruice).Permasalahan yang muncul
seka-rang, adalah: Bagaimana Pemerintah
mengimplementasi-kan/menerapkan/menyediakan
pe-layanan (beserta daya dukungnya) dalam rangka mewujudkan Banten Sehat zoo8? Apakah keberpihakan pada
publik
guna menghidangkan excellent seruice, atau paling tidakquality
seruice, sejauhini
sudah tampak? Pertanyaan-pertanyaanter-sebut coba diulas dan dielaborasi oleh
penulis pada subbagian selanjutnya dengan tanpa pretensi
untuk
men-justifikasi dan memberikan gambaran yang menggeneralisir.Komitrnen Pemerintah
provinsi
Banten dalam Pelayanan Kesehatan
Banten pada Oktober tahun zoo6
lalu menginjak usianya yang keenam,
walau pada dasarnya sebagai sebuah
konsepsi Kerajaan Nusantara, Banten telah berusia lebih dari ratusan tahun. Sebagai sebuah provinsi yang baru
berdiri -atas
ketetapanUndang-undang No. z3 tahun
zoo3-
Provinsi Banten terdiri atas empat kabupatendan dua kota, yakni:
KabupatenSerang
(di
manaibukota
provinsiberada),
Kabupaten Tanggerang, Kabupaten Lebak, kabupatenPande-glang, Kota Tanggerang, serta Kota Cilegon. Luas wilayah
provinsi
ini
secara keseluruhan adalah 8.8oo,83
Km'
denganjumlah
pendudukan 9.o83.r44 jiwa (BPS, zoo5).Kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh
penduduk
Provinsi
Banten,terbesar, adalah industri pengolahan
yang mencapai 49,760A; disusul
de-ngan: perdagangan, hotel, dan
res-toran
tT,t\o/o; pengangkutan dankomunikasi 8,58%; pertanian &iS+%o;
jasa-jasa 4,99%oi
listrik,
gas, dan air bersih 4,87%; keuangan, persewaan,dan jasa perusahaan g,2g%o; bangu-nan 2,7g%o; serta pertambangan dan
penggalian o,rrYo. Bila dirunut lebih detail, maka akan ditemukan hasil
olahan yang menarik atas sektor
pere-konomian di Provinsi Banten.
Sektor perekonomian
di
ProvinsiBanten terbelah menjadi dua kategori
yang sangat diametral. Dimana
Ban-ten Utara yang meliputi Kota
Tange-rang, Kabupaten Tanggerang,
Kabu-paten Serang, dan Kota Cilegon mem-fokuskan bidang perekonomiannya dibidang industri. Sedangkan Banten
Selatan yang
terdiri
atas dua Kabu-paten (Lebak dan Pandeglang) ber-orientasi pada pertanian, perlada-ngan, dan perkebaunan. Ada kuranglebih
tujuhbelas kawasanindustri
strategis di Banten Utara yang
mem-berikan kontribusi signifikan
atas pendapatn daerah provinsi. Halini
bisa dilihat melalui Pendapatan Do-mestik Regional Bruto (PDRB) yang dihasilkan oleh empat kota dan
kabu-paten
di
Banten Utara, yang berluas g.r91,g7 kilometer persegi, sebesar88,98%
bagi
PDRBprovinsi
yang bernilai 6r,35triliun.
Bahkan Kota Tanggerang, sebagai contoh, dapatmemberikan
kontribusi
sebesarB4,2oA pada APBN Provinsi Banten
tahun
2oo5
lalu,
dan
KabupatenTanggerang z6,890/o. Sedangkan untuk
Banten Selatan (Kabupaten lebak dan
Kab
mili nal
(5,3
l
r
L
I
xota
I
Kote
I Kabr
| *"0,
i *.0
I rrn
P
Sumb(
mel tahi
takr
yan
Sec
dil
per
Per
dib sur me. ber tigt Ind Pr<
urt
per
der
pal
Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
Tabel 2. Provinsi Banten dalam Angka
,:ii rirl, iill
{f
'm il,
:r, iiii
:ti
Sumber: Dolah dad BPE. 2AO5. Banten datam Angka
Kabupaten Pandeglang) hanya me-miliki PDRB (Produk Domestik
Regio-nal Bruto) sebesar Rp. 3,zB
Triliun
(5,g60/o) dan Rp. 3,36 Tliliun G,+8%).
Data tersebut
tentu
saja sangat mengkhawatirkan apabila pemerin-tahan daerah tidak mampumenyipa-takan kesetimbangan antara daerah
yang maju dan daerah yang kurang.
Secara agregat posisi provinsi banten
di kancah nasional tidak terlalu mem-perhatikan. Bila kita rujuk data Indeks Pembangunana Manusia (IPM) yang
dibuat oleh pemerintah pusat melalui suwei dan penelitian yang mendalam menerangkan bahwa Provinsi Banten berada pada urutan
rr
dari lebih dari tigapuluh provinsi yang ada. LantasIndeks Kepuasaan Masyarakat (IICVI)
Provinsi
Banten pun berada padaurutan
ry.Ini
menandakan bahwa pembangunan pasca-pemisahandiri
dengan Jawa Barat memberikan
dam-pak yang positif terhadap kemajun daerah ini.
Kemajuan
ini
juga dapatdilihat
dalam tabel a yang menyuratkan ba-gaimana perbaikan yang telah terba-ngun di Provinsi Banten.Data di atas menunjul<kan bahwa
angka kematian
bayi
di
Provinsi Banten berjumlah 38 per rooo kela-hiran,ini
lebih tinggi dibandingkandengan angka rata-rata nasional yang
berjumlah 35
jiwa.
Namunsetidak-nya masih lebih baik bila dibanding-kan dengan beberapa provinsi di
Su-matera, seperti: Provinsi Jambi (3o
jiwa),
Provinsi Sumatera Utara (42jiwa),
Provinsi Bangka-Belitung (43 jiwa), Provinsi Riau (+g jiwa), Provinsi Sumatera Barat (48jiwa),
Provinsi Bengkulu (53jiwa),
Provinsi Lam-pung (55 jiwa); dan beberapa provinsidi Jawa, seperti: Jawa
fimur
(+g jiwa)dan Jawa Barat (++jiwa). Data statistik
ini
tentu membanggakan karena pe-ngelolaan angka kematian di ProvinsiBanten ternyata masih lebih baik bila dibandingkan dengan induknya dulu, Provinsi Jawa Barat.
Kob/Kabupaten LuasWilayah
(Km')
Tahun Rah-rata
Penduduk per Km2
2(m 2flX
KotaTanggerang
Kota Cilegon
Kabupaten Serang
Kabupaten Tanggerang
Kabupaten Lebak
Kabupaten Pandeglang
1&t
175,5
1.724,09
1.110,38
2.859,96 2.746,9
1.325.854 294.936 1.652.763 2.781.428 1.030.040
1.011 .788
1.488.666
331.872
1.834,514
3,194.282
1.132.899
1.1m.911
8.091
1.891
1.064
2.8n
s
401
Provinsi Banten Total 8.800,83 8.096.809 9.083.144 1.032
Grafik 1. Perbandingan Beberapa lndikator Kesehatan antara Jawa Barat dan Banten
Angka Harapan Tingkat persentase persenlase
Hidup Kematian Bayr Penduduk yang penduduk
TidakMencapai TanpaAkses
Usia 40 Tahun Kesehalan
Barat. Kondisi pertama yang dapat
kita
gunakan sebagaialibi
adalahAngka
Harapan
Hidup.
AngkaHarapan Hidup masyarakat
di
pro-vinsi Banten lebih rendah
dibanding-kan dengan Provinsi Jawa Barat yang
rata-rata berusia 64,5 tahun. Hal ini
memang tidak dapat dikatakan bahwa
belum ada perubahan mengenai
ting-kat harapan hidup di Provinsi Banten.
Karena kita tidak memiliki data angka
pembanding untuk menjelaskan hal
apakah memang ada perbaikan atau
jangan-jangan mengalami penurunan kualitas hiudp pasca-pisah dengan provinsi
induk.
Bila hal kedua yangkemudian menjadi realitas faktual, maka perlu dipertanyakan
keberada-an Provinsi Bkeberada-anten. Karena apabila dengan mengadanya provinsi baru
tetapi dilain pihak justru menurunkan
tingkat kualitas hidup warga
masya-rakat, logika sederhana akan mem-berikan argumen bahwa
tidak
adauntungnya memisahkan
diri
denganJawa Barat.
114
Kedua,
tingkat
kematian bayi.Tingkat
kematian
bayi per
rooo
kelahiran hidup
di
Provinsi Banten pun masih cukup tinggi dengan angka55.
Sedangkan di Jawa Barat angkakematian bayi sudah mulai ditekan hingga angka 47 jiwa per rooo
kela-hiran hidup. Gambaran
ini
bisa di-mengerti apabila disandingkande-ngan tabel 4 yang setidaknya mem-perkuat mengapa hal
di
atas terjadi, Quga memperkuat alasan mengapatingkat kesehatan warga masyarakat
di
Provinsi Banten lebih rendah di-bandingkan dengan wargamasyara-kat
Provinsi Jawa Barat). Merujuk pada data tabel amat terlihat bahwatingkat kepedulian masyarakat untuk
datang ke rumah sakit, entah
itu
RS. Negeri ataupun RS. Swasta, cukup rendah. Sehingga dapat disimpulkan bagaimana kecenderungan tingkatkesehatan di Provinsi Banten menjadi
relatif rendah dibandingkan dengan
dacrah lainnya.
I
s
r
!
d fl
P
tr
k
5,
u P
7'
fa
UI
p(
at Pr m de
ke
sil
be
RS. Pemerintah Puskesmas RS. Sunsh
IMD
I
sumuarI
RiauI
**'
j
,*'
I
**"n
I
I
ilrBI
Goronrato papua@
9.87
8.06
6.73
12.49
4.96
5.87
5.30 5.88
7.41
62,92
n.62
46.28
41.01
m.67
31.19
49,33
46.04
67,82
. 1,18
2.31
3.38
2,96
3.89
3.57
0,26
1.32
3.13
Jumal politjka Vot. 4 No. 2 Tahun 200g I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
Tabel 4. Persentase penduduk
Berobat Menurut provlnsi
Tabel
4
menunjukkan
bahwapenduduk yang berobat ke rumah sakit pemerintah dan ke puskesmas
relatif
kecil
dibandingkan dengan propinsilain.
Bila saja dibandingkandengan papua, maka tingkat
peman_
faatan rumah sakit pemerintah dan
Puskesmas di pro-vinsi Banten masih
terhitung
dalamkatagori
rendah,karena
hanya dimanfaatkan oleh5,8flo (RS. peme-rintah) dan y,4g%
untuk
Puskesmas; sedangkandi
Papua angka
itu
me-nginjaktitik
7,4t%o
untuk
warga yang meman_ faatkan RS. pemerintah dan 67,g296untuk penduduk yang membutuhkan pelayanan
di
puskesmas. pemanfa_atan
pelayanan kesehatandi
RS.Pemerintah untuk tingkat nasional memang berada pada angka 6,ot 96,
dan pemanfaatan pelayanan pus_ kesmas adalah g7,2696 memang ma_
sih dibawah rata-rata nasional. Hal ini berarti bahwa masyarakat di provinsi Banten masih kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang disediakan
oleh pemerintah provinsi, baik di ru_
mah sakit
pemerintah
maupunPuskesmas. Apakah iniberarti bahwa
kualitas pelayanan rumah sakit peme_ rintah dan Puskesmas tidak membe_
rikan kepuasan kepada pelanggan?
Hal ketiga yang dapat dipelajari ialah persentase penduduk yang
d!
perkirakan tidak mencapai usia 4o
tahun.
Sekali
lagi
data
statistik
menunjukkan bahwa masih cukup
banyak warga masyarakat di provinsi banten yang
tidak
mencapai usia tersebut, padakisaran
zt,7g6dafi
jumlah total
penduduk. yang biladibandingkan dengan Jawa Barat
hanya menyentuh angka rg%. Ini ar_
tinya bahwa (sekali lagi menandakan) kualitas hidup warga masyarakat Ban_
ten
memang berada dibawah garisrata-rata. Walau memang banyak se_ bab yang bisa menyebabkan seseo_ rang meninggal sebelum usia 4o ta_ hun. Namun dalam logika kesehatan
kematian yang terjadi disini,
tentu-nya, bukan akibat dari tindakan
krimi-nal, tetapi lebih merujuk pada kualitas
hidup seseorang (yang sudah barang
tentu berhubungan dengan tingkat
kesehatan yang dirasakannya). Keempat, yang bisa juga diban-dingkan adalah persentase penduduk tanpa akses terhadap sarana
keseha-tan. Angka ini tidak mengejutkan bila dihubungkan dengan tabel 4 tesebut
di
atas,dimana
2B,SoA pendudukProvinsi
Bantentidak
atau belum mampu mengakses sarana-sarana kesehatan secarabaik,
sehing-ga persentase penduduk yang ber-obatpun
menjadi rendah.
Beberapakemungkinan yang dapat begitu saja
muncul mengapa akses pada sarana
kesehatan sulit dilakukan. pertama, level keterjangkauan sarana
keseha-tan oleh masyarakat yang sulit,
sema-kin jau sarana-sarana kesehatan dari sentra kehidupan masyarakat, maka
dapat dimengerti mengapa masya-rakat tidak cukup rajin datang.
Kare-na dalam logika mereka akan lebih
baik
bila
merekaberistirahat
di
rumah dengan dibarengi meresepsi obat-obatan generik yang
dijual
di warung-warunguntuk
meredakan sakitnya.Bila
dibandingkan harus pergi ke sentra kesehatandi
tempat yangjauh
dan harus mengeluarkan biaya tambahan. Misalnya,masyara-kat Malingping (sebuah kecamatan disebelah Selatan ibukota Kabuaten Lebak, Rangkasbitung) yang ingin berobat ke RSUD. Ajidarmo memer-lukan waktu kurang lebih dua jam
116
perjalanan untuk sampai ke tempat RSUD tersebut. Waktu perjalanan akan bertambah lama ketika musim
penghujan tiba. Infrastruktur, berupa
jalan, menyebabkan kelambanan
pa-ra warga untuk mencapai tujuan lebih cepat
dari
yang mereka harapkan.Problem bertambah besar ketika ong-kos yang harus masyarakat keluarkan
untuk kepentingan berobat mencapai
kisaran Rp. rg.ooo,-
-
Rp.e5.ooo,-untuk sekali perjalanan. Iogikaseder-hanaya adalah tidak usah datang ke pusa layanan kesehatan.
Kedua, sosialisasi kegunaan
ber-hubungan
dengan sarana-saranakesehatan yang kurang. Walau sarana
kesehatan sudah didirikan di
daerah-daerah
meltingpot, tetapi
peme-rintahan daerah tidak pernah menyo-sialisasikan kegunaan dankeberman-faatan
dari
sarana kesehatan yang dibangun, baikitu
dari sisihygienisi-tasnya, level ekonomisnya, bahkan hingga persoalan "tidak eoba-coba",
maka sampai kapanpun juga
sarana-sarana kesehatan akan menjadi ba-ngunan "berhantu".
Ketiga, berhubungan dengan per-soalan pertama dan kedua, yakni masih kurangnya sentra-sentra
kese-hatan
di
daerah kecamatan. Sebagaicontoh, sekali lagi merujuk pada data
di
Kabupaten Lebak, di daerahtese-but
hanya tersedia tiga rumah sakit (RSUD Ajidarmodi
Rangkasbitung,RS. MISI di Rangkasbitung, dan RS. Malingping di Malingping), 35 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
75 Puskesmas Pembantu (Pustu), 75
I r
a
I
1
I
2s
t
n
n
1
o b
n
ri
o
d
X
Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
ij.
ri
iil; $r 'il
#{i
:r
orang dokter, 125 perawat, serta
t8r
bidan, yang harus melayani pendu-duk sebanyak r.132.899
jiwa
(datatahun 2oo4)
dengan luasteritori
2.859,96
km".
Bisa
dibayangkan bagaimana para pelayan kesehatanitu
bisa menjalankan tugasnyade-ngan baik dan prima manakala
sum-ber daya manusia dan sumsum-ber daya
lainnya tidak berimbang (tidak
men-cukupi). Saat ini Pemerintah
lGbupa-ten
Lebak telah menyediakan rz6 kendaraan kesehatan keliling untuk menjangkau goo desa dengan pel-bagai macam medan, sehingga tidak heran apabila daerah-daerahterpen-cil
yang tidak memiliki Pustu akan hanya dikunjungi seminggu satu kali oleh kendaraankeliling
kesehatan tersebut.Keampat, mahalnya obat-obatan.
Pemerintah Provinsi Banten
sebe-narnya sudah berusaha untuk meng-antisipasi hal ini. Namun seperti pada
Hasil
Pemeriksaan SemesterII
TahunAnggaran
(TA)zoo5
atas Belanja Daerah Tahun Anggaran2oo4-2oo;
pada Prouinsi Banten di Serang yang dilakukan olehAudi-toriat
Utama Keuangan Negara IVmenemukan beberapa
penyimpa-ngan dana
sampai dengan
Rp.r.r92.oo8.988,- (khusus untuk pro-gram pengadaan obat untuk
Pelaya-nan Kesehatan Dasar [PKD],
Pembe-rantasan Penyakit Menular [PzM
-obat-obatan antiTBC], sertapenga-daan
obat untuk
Program Gizi/
Kesehatan Ibu Anak IKIAI). Perilaku
menyimpang
ini
(baca: koruptif)ini
yang kemudian menegasikan upaya
serius beberap
birokrat
untuk me-nyediakan obat-obatan yang murah menjadi tidak terealisasi.Dihubungkan
dengan temuan Auditoriat Utama Keuangan Negara-Badan Pemeriksa Keuangan RepublikIndonesia (BPK-RI) tersebut
di
atassebenarnya membuat
kita
kecewa. Seperti diketahui bersama salah satuperan dan fungsi dari pemerintahan daerah dalam konteks otonomi
dae-rah aadalah melakukan pelayanan publik dengan prima. Namun siapa nyana bahwa pelayan-pelayan publik
itu
sendiri yangjustru
melakukanpelanggaran dengan melayani dirinya sendiri. Memang tidak ada salahnya
melayani
diri
sendiri, namun yangpelu diingat
bahwa selakupublic
seruant aparat birokrasi semestinya mengoptimalkan dirinya sebagai Abdi Masyarakat dibandingkan seba-gai
Abdi Negara-nya.
Kalau dikatakan bahwa Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Daerah(APBD) Provinsi Banten
tidak
berorientasi publik sehingga
pelaya-nan kesehatan (termasuk penyediaan
obat, penyediaan tenaga kesehatan,
dll)
menjadi kurang optimal, penulispikir,
cara berpikiritu
perlu konfir-masi melalui data anggaran seperti tertuang pada tabel 5. Dari sisiang-garan, secara agregat, Provinsi
Ban-ten tergolong provinsi yang
menga-lokasikan "Pengeluaran
Pembangu-nan(nya)" dengan persentase lebih
besar
dibandingkan dengan "Pe-ngeluaranRutin".
Walau memangpada Tahun Anggaran zoo2
"penge-luaran Rutin" lebih besar daripada "Pengeluaran Pembangunan", tapi kemudian pemerintah provinsi
mem-balikkan proporsi tersebut pada Ta-hun Anggaran zoo3. Jika pada tahun 2oo2
proporsi
pengeluaran untukrutin
sebesar 56,920A, maka pada zoo3 belanja pembangunan menurun menjadi 47,58o/o.Hal
ini
tentu sangatmenggembi-rakan
apalagi
bila
disandingkandengan peningkatan belanja
pemba-ngunan dari 43,o8% di tahun 2oo2,
menjadi
52,42%o pada tahunberi-kutnya. Gambaran
ini
tentu, dapatdengan sederhana diiadikan penanda bahwa anggaran yang berbasis publik menjadi episteme aparat birokrat di Provinsi Banten. Bahkan kita boleh
berbangga hati bahwa apabila
diban-dingkan
denganProvinsi
Bangka Belitung -sebagai pembanding (pro-vinsi yang juga baruberdiri)-,
di-mana belanja mtinnya selalu
mening-kat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2oo2, misalnya
di
Provinsi BangkaBelitung, belanja rutin mencapai Rp.
115.144.OOO.OOO,- atau 52,39% dari seluruh APBD, meningkat menjadi
Rp.
16z.163.ooo.ooo,-
atau(6o,z5Yo).
Hal
ini
menunjukkan bah-wa mindset dan perilaku birokrat yang mementingkan dirinya sendiri masih berlaku di sana namun tidak di Banten.Bukan hanya dalam konteks
pro-vinsi
baru,
perbandigan
antara"Belanja
Pembangunan" dengan"Belanja Rutin" di Banten lebih
bai\
dari
Jawa Barat
pun
sebenarnya(secara statistik), pengeluaran
pem-bangunan
di
Provinsi Banten masihlebih baik
dibandingkan
dengandaerah induknya dulu, Jawa Barat. Pengeluaran
rutin
Jawa Barat padatahun zooz, misalnya, mencapai Rp.
t.4g7.9z6.ooo.ooo atau
sebesar69,25%o dan pada tahun berikut
me-nginjak
titik
Rp. z.rzo.86o.o00.000 (64,o9"4). Walau pada realitanya dalam bentuk angka nominal jumlah pengeluaran pembangunan JawaBarat
lebih
besarapabila
diban-dingkan dengan Provin-si Banten. Namun pada dasarnya halini
dapat dijadikan dasar berpijak mengenai gambaran bagaimana pe-merintahProvinsi
Banten
telah
ber-usahasekuat tenaga untuk mereali-sasikan
kehendak dasar
otonomi,
yakni: menyejahterakan masyarakat serta melayani pulbiknya dengan prima.Dan bila kita bandingkan pula dengan
pengeluaran
Republik
Indo-nesiasecara agregat pun, maka, sekali lagi,
angka statistik menunjukkan wajah politik anggaran Provinsi Banten yang
lebih baik. Gambaran lebih lengkap mengenai
angkat tersebut
dapat dilihat pada Tabel5 .Memang
data
di
atastidaklah
lengkap, sehingga datum-datum
pe-nyeimbang tidak dapat dilihat secara
komprehensif dan dikonfirmasi de-ngan cukup luas. Namun setidaknya,
dari paparan tesebut
di
atas sangattergambar bahwa masih
sangatbanyak pekerjaan rumah yang harus
F
F**
I
oaruss
m
t
I
o*,,,
!-I
g
l
g
l**
!
tI
Sumber :
di
vi
&
St ni di te di m kr m
Jumal Politika Vol. 4 No, 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
Tabel 5. Perbandingan Pengeluaran Rutin dan Pembangunan di Provinsi Banten
(dibandingkan dengan Provinsi-provinsi di Sumatera, Jawa dan Bali, dan lndonesia)
TA. 2002-2003 (dalam juta ruPiah)
PROVINSt TAHUN
PENGELUARAI{
JUMLAH Rutin o/o Pembangunan %
NanggroeAceh Darusslam
N2
m3 309.970 463.926 n39 30,48 1,074.522 1.058.229 n,61 69,52 1.384.492 1,522.155 Bangka BelitungN2
m3 115.144 162.163 52,39 60,25 1M.645 106.972 47,61 39,75 219,790 269.135 DKlJakarta
N2
m03 5.403.244 5.676.277 63,15 50,85 3.152.892 5.486.110 36,85 49,15 8.556.136 11,162.388Jawa Barat N2
m3 1.497.926 2.120.860 63,25 8r,09 870.417 1.188.190 36,75 35,91 2.368.343 3.309.049
Jawa Tengah
N2
20G3 1.48.089 1.754.10S 59,87 B 869,916 1.04.687 40,13 3t 2.168.005 2.783.7%
D.l. Yogyakarta xm
20m 317.Tt6 437.747 79,66 88,04 80.995 59.468
n,u
11,96 398.271 497.215 Jawa Timur m2m3 984.547 1.253,939 u,97 41 1.830.503 1.805.033 65,03
s
2.815.0503.058.972 Banten NN 20c3 543.591 543.975 56,92 47,58 411.412 599.331 13i08 sLe 955.m3 1.143.306 INDONESIA NN m3 17.493,624 21.323.339 u,32 52,97 14.707.955 19.380.395 45,68 47,63 32.n1.578 40,703.733 ,.ii. :[i' .H '&r '&i ;lffii tr. mi it 1|Ir
Sumber : Diolah dari BPS. 2005. $al,sfit ,rdonosi, 2001. Hd. 117119.
dikerjakan oleh pemerintahan pro-vinsi untuk menggapai Misi Banten Sehat 2oo8. Bila memang Misi Banten
Sehat
2oog
merupakanhal
yangniscaya, maka pertanyaan yang perlu dijaukan ialah: Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah realita faktual
ini
disebabkan oleh tidak adanya komit-men yang kukuh dari aparatur
biro-krat
sehingga harapan dan realitas menjadi duasisi
mata uang yang saling tidak pernah bertemu? Atau,karena sebab apa? Pertanyaan ini
ten-tu
akan sulit ditemukan reduksinya.Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat diterangkan guna menje-laskan realita faktual tersebut di atas.
Tidak berjalannya pemeritahan dengan baik tentu disebabkan oleh banyak faktor. Ia tidak berdiri atas
satu penyebab saja. Oleh karena
itu
UNDP
(United Nafion
for
Deue-Iopment
progam)
sebuah badan internasionaldi
bawah PersatuanBangsa Bangsa (PBB) merumuskan
apa yang kemudian kita kenal dengan
good
gouernence.
Istilah
gouer-nance kerap digunakan untuk mene-gaskan perlunya arah dan semangat
baru demi mendorong reformasi dan
restorasi tata-kepemerintahan.
Se-mangat gouernance sesungguhnya mengedepankan akomodasi, koope-rasi, dan sinergi dalam kesetaraan
antarpelaku
dalam
masyarakat(stakeholders). Namun dalam prak-tiknya, gerakan good gouernance di Indonesia agak tersendat,
bila
kita mau mengatakannya melenceng darisemangat dasarnya. Dalam perspektif
g ouernance, sebenamya, diandaikan
terjalin relasi, interalai, dan integrasi
peran yang
setaradan
seimbang antara tiga aktor pendukung utama-nya yaitu: pemerintah atau birokrasi (state), dunia usaha(market),
danmasyarakat
sipil (ciuil
society). Karenaitu,
UNDP mendefinisikan gouernance sebagai:'...
penggunaan wewenangekonomi,
politik, dan
admi-nistrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua ting-kat. Gouernance mencakupselu-ruh mekanisme, proses, dan
lem-baga-lembaga
dimana
warga dan kelompok-kelompokmasya-rakat
mengutarakankepenti-ngan mereka, menggunakan hak
hukum, memenuhi kewaji-ban dan menjembatani perbe-daan-perbedaan di antara mere-ka"
Dengan
melihat
konsepgouer-nanee yang seperti tersebut
di
atas,maka ada beberapa aspek yang
pen-ting untuk diutarakan di sini, perfama,
gouernance adalah suatu
sistem120
pemerintahan yang melibatkan tata-kepemerintahan didalamnya yang menyertakan banyak pelaku
(multi-stakholders)
dari
pemerintah dan unsur-unsur non-pemerintah untuk saling melengkapi dalam rangkapro-ses pembengunan, pemberdayaan, dan pelayanan bagi semua pihak; kedua, gouernance memang sengaja
dikembangkan untuk merespon
peru-bahan sosial yang sangat massif dan revolusioner sehingga kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan masyarakt
dapat terpenuhi dengan bail<; ketiga, pola hubungan antaraktor tidak lagi kaku dalam
struktur
kelembagaan tetapi menjadi lebih longgar, berupa mekansime, prosedur, dan jaringanyang saling berikat. Dalam konteks
yang umum dan standar,
goodgouernan@ selalu saja berhubungan dengan beberapa hal
(prinisp
atau indikator), yaitu:(i)
partisipasi;(ii)
penegakan hukum;
(iii)
transparansi;(w) daya tanggap atau responsivitas;
(v)
orientasi
kedepan;(vi)
kese-taraan; (vii) efisiensi dan efehivitas;(viii)
akuntabilitas;
serta(ix)
visi
strategis.s
5 lndikator goodgovemanoeini
dalah indikator yang
umum diketahui oleh para sarjana di lndonesia.
Sebenamya World Bank lnstitute, lembaga yang
rnerumuskar indikatainsikator gmd gorcrnance tdah
merevisi indicatortersebut di atas menjadi: (i) vorce
and accountability, (ii) political stabitity and abserca
of violence, (iiil governmenf effecfiveness, (iv)
regulatory quality, (v) ru/e oflaw, serla(vil controlof
cwruption. Lihat paper Daniel Kaufrnann,Aart Kraay, and Massimo Mastruzi, 2006,'Govemance Matters
V: Aggregale and lndividual Govemance lndicators'.
Washin$on: The World Bank lnstitute.
c
t
r
r
d
d
t
d a n n v
n
n
si
k
n
k
b
it
n
TI
d
gr
u
n
alle
Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 200g I optimarisasi Reformasi Birokrasi I
t,.
i-I t.'
Partisipasi, sebagai variabel per-tama yang dapat dijelaskan
di
siniadalah
menetapkan
keterlibatanwarga secara langsung maupun tidak
dalam pnoses pengambilan keputusan
(decision-making process)
demi kebaikan bersama. partisipasi yang terlembaga dapat berupa tuntutan atas perihal yang belum disediakanoleh
pemerintah karena memang tidak pernah ada upaya konkret dari pemerintah untuk mendengaraspi-rasi
warganya;
ataupun
berupa dukungan atas kebijakan-kebijakan dan ketetapan-ketetapan politik yangtelah dilembarkan dalam lembaran
darah atau lembaran negara. Ada dua
alasan mengapa sistem partisipasi masyarakat amat dibutuhkan dalam mewujudkan kerangka pemerintahan yang baik.
Pertama, bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang paling paham
mengenai kebutuhan-kebutuhan
da-sar mereka. Dan lcedua,bermula dari
kenyataan bahwa pemerintahan yang
rnodern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh mem-bengkak di luar kendali. Oleh sebab
itu, untuk menghindari alienasi warga
negara,
aparat pemerintah
perlu melakukan agregasi dan artikulasi dari pelbagai kepentingan para war-ganya.Kedua, penegakan hu}um, adalah
upaya pembenahan sistem hukum mulai dari perangkat hukum hingga aparat hukum. Dengan asumsi ter-lembaganya
sistem
hukum
yangtegak, maka terterapkannya kerangka
hukum yang berkeadilan tanpa pan-dang bulu menjadi mekanisme kerja keseharian yang. Pelembagaan sis-tem hukum yang tegak dan berjalan secara mekanis tentu saja akan berkait
erat
dengantingkat
kepercayaanpublik
pada aparatur hukum, yangmana kelakberimbas positif pada para
aparatur birokrasi di daerah. Tingkat
kepercayaan (frusf) menjadi barang mahal yang
perlu
disediakan olehsetiap lembaga pemerintahan agar partisipasi warga dapat mengalir
de-ngan otonom.
Karenaakan
sulit
meminta keterlibatan
publik
yang luas manakala kepercayaanpublik
pada lembaga-lembaga negara begitu rendah. Mereka akan
sulit
percayauntuk
memandatkan
pekerjaan-pekerjaan besar pada pemerintah ketika tingkat kepercayaan padaapa-ratur
negera(aparatur birokrasi
pemerintah daerah) tidak ada dalam keseharian. Karena
itu,
penegakanhukum
merupakanlangkah
awal untuk membultikan bahwakeperca-yaan publik dapat dibangun dengan mengukir keadilan dalam penegakan
hukum.
Ketig a, transparansi, merupakan hal yang harus diperjuangkan oleh semua
pihak
termasukjuga
oleh aparatur pemerintah. Transparansisangat berkait erat dengan informasi simetris (meminjam istilah Stiglitz),
dimana
kebebasan
memperolehinformasi seluas-luasnya merupakan hak warga negara (atau dalam kon-teks ini warga daerah). Ttansparansi akan berjalan dengan baik apabila
mekanisme
checksand
balancesmelembaga dengan baik. Namun kini
ada
permasalahanyang
muncul manakala pemerintah pusat akan mengeluarkan perundangan yang berhubungan dengan rahasia negara.Ada polemik
yangmuncul
ketika transparansi sebagai salah satu varia-bel dalam menata tata kepemerin-tahan yang baik, namundi
sisi lain terlalu transparannya informasi bagi pulbik juga menjadi kendalatersen-diri
bagi pemerintah. Artinya, perluada definisi yangjelas apa itu rahasia
negara. Karena, jangan sampai
bah-waAnggaran Belanja Daerah dan atau
Anggaran Belanja Negara pun
dika-takan sebagai rahasia negara. Padahal
anggaran merupakan
titik
sentral yang dapat digunakan oleh banyak pihak untuk melihat apa$h terclapatkeberpihakan pemerintah kepada publiknya.
Keempat,
daya
tanggap
atauresponsiueness, adalah kemampuan lembaga-lembaga
pulbik
untuk be-kerja dan bergerak cepat serta flek-sibel dalam memberikan pelayananpada publiknya. Daya tanggap
sering-kali juga digunakan sebagai indikator untuk melihat sejauhmana lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah,
untuk
dapat
mengetahui dengan cepat mengenai kebutuhanwarga masyarakatnya. Dalam konteks
perubhan sosial yang sangat massif dewasa
ini,
daya tanggap menjadi faktor penting bagi warga untuk tetap mendudkung pemerintah yangber-kuasa atau tidak. Ketika mereka dapat
122
tanggap,
cepat mengerti,
mudah memahami, serta flek-sibel dalam melayani, maka legitimasi pemerin-tah yang tengah menjabat akan ter-dongkrak dengan sendirinya. Halini
menjaid sangat wajar karena logika yang digunakan oleh publik kolektif
adalah: apakah pemerintah dapat
be-kerja sesuai dengan apa yang diha-rapkan oleh publik.
Kelima, orientasi kedepan adalah
orientasi yang dibangun dan dikon-struksi oleh pemerintah di daerah un-tuk tetap memperjuangkan
kepenti-ngan, kebutuhan, dan tuntutan warga
masyarakatnya. Orientasi pada
kon-sensus memang agak berbeda dengan
paradaigma pemerintahan Orde Baru yang justru berpihak pada kelompok tertentu, yang bukan
warga.
Kesa-lahan dalam menjalankan birokrasi di banyak negara berkembang, terma-sukdi
Indonesia, ternyata menjadi pelajaran penting bagi UNDP untuk membuatindikator
penilaian atastata-kepemerintahan
agar
tidak
distortif.
Keenam, kesetaraan, atau
pemili-kan atas kesempatan yang sarna untuk
memperoleh
pelbagai
hal
yangdisediakan dan dilakukan oleh
peme-rintah
pada setiap wargama$ya-rakatnya. Diskriminasi atas etnis
ter-tentu
melalui peraturan-peraturan daerah yang dibentuk, diskriminasiyang bernaung dalam konsep "putera daerah" sehingga menutup semesta
Jumal Politika Vol. 4 No. 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
yang sama6, hingga persoalan pem-bagian beras bagi keluarga miskin ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) seringkali menyediakan ruang bagi ketidaksamaan hak bagi semua
anggota warga masyarakat. Karena
itu, resotorasi atas ide persamaan hak menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan secara saksama oleh setiap elemen masyarakat di daerah.
Ketujuh, efisienesi dan efektivitas,
yang dimaksud di sisi ialah bagaimana
pemerintah daerah dapat bekerja dan
mengelola sumber-sumberdayanya, sehingga pekerjaan dapat berhasil optimal dengan menggunakan logika bahwa perkerjaan
tersebut
harusberdaya guna dan berhasil guna.
Se-cara sederhana pekerjaan pemerintah dikatakan berdaya guna dan berhasil guna apabila, misalnya, pelayanan yang diberikan pada pengguna
pela-yanan terlaksana dalam waktu yang
singkat dan dengan biayayang murah (sesuai dengan
tingkat
kesulitan kerja).Kedelapan, akuntabilitas
merupa-kan kunci utama dari prinsip-prinsip yang ada. Akuntabilitas menuntut dua
hal
pentingyaitu
kemampuan menjawab(answerability)
dan ke-mampuan konsekuensi(consequen-ces). Maksudnya, akuntabilitas ber-hubungan dengan tuntutan bagi para
aparat untuk bertanggung-gugat
me-6
Penjelasan lebih lengkap baca: LeoAgustino. 2005.
Politik dan Otonomi Daenh. Serang: Untirta Press.
Khususnya Bab 7'Pilkada Langsung: Beberapa Catatan Kritis".
ngenai setiap pertanyaan-pertanyaan
(atau kegiatan-kegiatan) yang
ber-hubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenangnya, kemana
larinya
sumber-sumberdaya yangtelah digunakan, dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sum-berdaya tersebut. Maka dapat
di-simpulkan bahwa akuntabilitas
pu-blik
adalah prinsip yang menjamin(bahwa) setiap kegiatan
penye-lenggaraan pemerintahan dapat
di-pertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaksana kegiatan
(adminis-tratif
dan birokrasi) kepada pihak-pihak yang terkena dampakpene-rapan administratsi dan kebijakan itu.
Teralchir, visi strategis merupakan dasar dari tata-kepemerintahan yang
baik. Sebuah pemerintah, entah
itu
pemerintah daerah atau pemerintah pusat, dapat dikatakan baik apabila
mereka memiliki visi strategis jauh ke depan dengan mengedepankan publik
(tepatnya manusia) sebagai orientasi
pembangunan yang hendak dibangun
dan bentuknya.
Merujuk pada
paparan
goodgouernance seperti
di
atas, makadapat disimpulkan bahwa
tata-kepemerintahan yang
baik
adalahsebuah
tata
pemerintahan
yang dikembangkan atas dasarprinsip-prinsip
efisiensi,efektivitas,
par-tisipasi,
responsivitas, kesamaandimuka hukum, keadilan, dan orien-tasi pada konsensus. Dan sebaliknya,
sebuah tata-kepemerintahan yang buruk adalah sebuah pemerintahan yang diselenggarakan dengan
baikan nilai-nilai di atas, yakni sebuah
pemerintahan yang terselenggara dengan menghamburkan sumber daya, gagal memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak melibatkan para stakeholders, melakukan
diskrimi-nasi etnis, gagal menjamin kepastian
hukum, serta gagal melembagakan konsensus sebagi
tradisi
penyele-saiankonflik
yang berkembang di masyarakat.Melihat dari paparan tersebut di
atas, maka muncul pertanyaan kritis:
apakah pelayanan kesehatan yang semestinya disediakan dengan baik
tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya oleh karena ketidakber-jalanan tata-kepemerintahan denganbaik
(good
gouernment
gouer-nance)? Jawaban singkatnya: mung-kin saja! Bila melihat hasil penelitian
Pusat Stusi Kependudukan dan Kebi-jakan Universitas Gadjah Mada (PSKK
UGM) dalam GouernanceAssessment
dikatakan bahwa pelaksanaan tata-kepemerintahan (index gabungan total) di Provinsi Banten adalah o,4o (seperti yang dapat
dilihat
dalam Grafikz).
Halini
memberikanarti
bahwa good gouernment
gouer-nance di Provinsi, yang baru berdiri selama tahun ini, berada pada level yang rendah.Dari gambaran data di atas terpa-par bahwa ada beberapa hal yang membuat index
itu
begitu rendah, diantaraya: transparansi, peran dan penegakanhukum,
pengendalian korupsi, efektifitas pemerintah, sertapartisipasi yang rendah. Tidak dapat
dipungkiri hal-hal tersebut merupa-kan problem dasar di daerah-daerah
otonom saat
ini.
Bila kita cobasan-dingkan dengan daerah-daerah lain yang
diteliti
oleh pSKK UGM, makaada beberapa daerah yang setidaknya
Grafik 2. lndeks Kualitas Tata.Pemerintahan di provinsi Banten
BANTEN
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 o.20 0.10 0.00
r
gEcEF
$
E
ggg'$n
#xEg
=
o3a
o.3e o.3e o.4oo! '! tj '3
0.33
p€ kr: di
Bi
kl
T(h:
be
te: 3.
pr
flr ta
m
rt
pr
ul
te
ul
ja
S(
Jurnal Politika Vol, 4 No, 2 Tahun 2008 I Optimalisasi Reformasi Birokrasi I
bernasib sama dengan provinsi
Ban-ten.
Hal itu dapat dilihat dari Grafik 3.Ada beberapa hal yang dapat kita peroleh
dari
perbandingan indeks kualitas tata-pemerintahan tersebutdi
atas,yakni: pertama, provinsi
Banten berada pada urutan lima
tera-khir
dalam hal tata-pemerintahan. Tentu saja ini mengecewakan. Bukanhanya karena Banten merupakan provinsi baru, yang seharusnya lebih
fleksibel
dalamhal
tata-pemerin-tahan, karena asumsinya ketikape-mekaran wilayah terjadi, maka
selu-ruh
sumberdaya yang ada didalam provinsi akan dengan sekuat tenagauntuk<