• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komersialisasi Seks Pelacuran Dalam Pers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Komersialisasi Seks Pelacuran Dalam Pers"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Komersialisasi Seks (Pelacuran) Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah

Oleh: KASMIATI H152120261

ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Komersialisasi Seks Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah1 Kasmiati2

A. Komersilaisasi Seks dan Teori-Teori Sosial

Menelusuri bagaimana posisi komersialisasi seks dalam teori-teori sosial menjadi penting untuk melakukan analisis lanjutan bagaimana sesungguhnya seks yang diperdagangkan dipandang dalam kehidupan sosial yang kini mungkin telah mengalami tranformasi akibat pergeseran makna yang dapat merubah berbagai perspektif dan cara pandang akan seks itu sendiri, sehingga menjadi suatu hal yang menarik sekaligus rumit mengingat seks sebagai bagian yang sangat personal dan intim dalam kehidupan sesorang namun disisi lain ketika dikomersilaisasi maka tentu sangat erat terkait dengan persoalan interaksi sosial. Merujuk pada Encyclopeda Britanica (1973-74) mendefinisikan pelacuran sebagai praktek hubungan seksual sesaat yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promuskiutas), untuk imbalan berupa upah. Definisi ini menujukan bahwa dalam persoalan pelacurann memuat masalah hubungan sosial dan persoalan ekonomi karena adanya upah sebagai imbalan atas aktivitas seksual yang telah dilakukan. Sebagaimana yang dinyatakan Truong (1992) bahwa kesadaran seksual tidak dapat hadir dalam satu bentuk tunggal yang dapat tercerabut dari hubungan-hubungna sosial dan ekonomi.

Melihat pelacuran sebagai kegiatan seks karena adanya upah sebagai stimulus tentu menjadi sangat dangkal tanpa melihat sisi lain mengapa dan bagaimana seorang perempuan mau dan terlibat dalam promuskiutas yang menurut Rowboton (1973) dalam Truong (1992) menyatakan bahwa pelacuran dipandang sebagai ekspresi dari “ hegemoni kultural ” pria atas perempuan. Bahkan dalam buku Truong yang sama Barry (1981b) berargumentasi bahwa dibawa hegemoni budaya pria , perempuan membentuk kelompok rentan dan kerentanan ini membuka kesempatan luas bagi pria untuk menindas dan mengeskploitasi perempuan secara seksual seperti yang di tuliskanya bahwa “ perbudakan seskual perempuan hadir di semua situasi dimana perempuan tak dapat mengubah kondisi lansung keberadaan mereka , dimana terlepas dari bagaimana mereka masuk kedalam kondisi-kondisi tersebut, mereka tak dapat keluar darinya dan dimana mereka menjadi objek dan eksplotasi seksual”.

1 Sumber utama dalam penulisan paper ini adalah buku seks, uang dan kekuasaan oleh Thanh-Dam Truong (1992)

2 Mahasiswa S2 (H152120261) PS. Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB

(3)

Ulasan diatas menunjukan bahwa menempatkan disatu sisi pelacuran dianggap sebagai persoalan kerja namun disisi lain pelacuran sebagai bagian dari budaya patriarki yang terbentuk dan memposisikan laki-laki sebagai subjek yang mendominasi kehidupan perempuan. Secara keseluruhan terdapat tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas : ekonomi, seksual dan psikologi (struktur psiko-individual, emosional) Truong (1992). Konsep biologi sosial merupakan langkah awal untuk menjelaskan tingkah laku manusia mengunakan teori evolusi yang di prakarsai oleh Charles Darwin dalam menjelaskan hubungan pria perempuan menyatakan bahwa ada ketidak setaraan perkembangan yang dialami pria dan perempuan dalam sejumlah fakultas bilogis mereka sehingga terjadi perbedaan mental antar seks. Darwinis sosial ortodoks telah didiskreditkan sehingga lahir konsep baru meskipun masih menggunakan prinsip yang serupa sebagaimana gagasan yang dinyatkana oleh Wilson (1975:575) bahwa “ sudah saatnya kita memandang diri kita bahwa memiliki komponen alamiah, bilogis, dan genetis dalam tingkah laku kita, bahwa kita telah mulai merancang dunia fisik dan sosial untuk menanggapi segenap kecendrungan tersebut, dikutip dari Lowe (1978:124) dalam Truong (1992). Kajian pelacuran yang menggunakan metode sosial bilogis terbagi dalam dua tipe yaitu wilayah kriminalogi yang memandang pelacuran sebagai suatu aspek tingkah laku seksual manusia sebagai kejahatan moral dan kegiatan melacurkan diri sebagai bentuk keterbelakangana moral. Tipe kedua memandang bahwa pelacuran sebagai tingkah laku seksual manusia dan menganalisisnya dalam konteks biologi dan masyarakat, serta berargumentasi bahwa pranata tersebut adalah sebuah imperative sosial untuk mengakomodasikan gairah seksual pria yang tak terkendali. Perlu disadari bahwa pendekatan sosio-biologis sangat statis dan ahistoris sehingga tidak mampu menangkap hubungan-hubungan sosial yang kompleks, karena itu Truong (1992:34) menganggap bahwa alih-alih menyediakan panduan bagi keputusan etik dan politik, Biologi seksual justru menyediakan argumentasi yang dibutuhkan bagi pembenaran terhadap operesi dan eksploitasi.

(4)

kehidupan sosial. Berdasarkan temuan dan inferensi kraniometri dan antropologi ragawi yang menunjukkan dimorfisme evolusioner, Durkeim berkesimpulan bahwa perempuan secara psikis mengalami kemunduran dan pria mengalami kemajuan sebagai hasil dari evolusi sosial (Gane, 1983) dalam Truong (1992). Hal ini didasarkan bahwa evolusi sosial dan pembagian kerja mempengaruhi hubungan pria-perempuan yakni pada fungsi prokreasi dan pembagian kerja antar jenis kelamin yang di perluas pada fungsi sosial lainya. Ketika evolusi sosial telah berakibat pada kontruksi biologis dan strukutur psikis antar jenis kelamin, hal ini berperan dalam penciptaan sebuah bentuk ikatan baru yang sangat mendasar bagi masyarakat modern, yakni ikatan perkawinan. Seks menjadi hasrat individual yang tidak rasional dan masyarakat memperagkan kerasionalitasanya dengan menundukkan dorongan ini serta dengan menciptakan dan mengembangkan bentuk-bentuk melalui mana seks dapat didistribusikan untuk memuaskan kebutuhan manusia hal ini kemudian melahirkan institusi yang disebut perkawinan atau rumah tangga sebagai tempat menyalurkan seks yang formal, sementara orang yang melakukan diluar kerangka tersebut dianggap immoral. Ross dan Rapp (1981) yang dikutip dari Truong (1992) menyatakan tak dapat dibantah bahwa semua masyarakat menjalankan semacam bentuk kontrol terhadap seksualitas manusia dan bahwa kebutuhan seksual secara biologias adalah sama mendasarnya akan kebutuhan makanan , bentuk-bentuk pengontrolan seksualitas manusia secara dinamis berkaitan dengan pengorganisasian basis produktif masyarakat. Setiap perubahan dalam basis ini akan diikuti dengan perubahan prilaku norma-norma prilaku seksual yang mempengaruhi kontruksi sosial dan hasrat seksual. Asumsi utama dari pendekatan institusional adalah bahwa pelacuran lahir dari kekacauan sistem moral yang menyanjung tinggi keluarga seraya menekan hubungan seksual di luar perkawinan. Sehingga pendekatan fungsionalis dapat dikatakan menghianati tujuanya sendiri berkenaan dengan isu moralitas.

(5)

sulit dikaji dengan hanya menggunkan satu alat analisis teori atau pendekatan karena begitu banyak fenomena atau bagian derivatif lainya dari aktivitas sesksual yang harus turut terekam secara baik dan terperinci untuk menjelaskan mengenai komersilaisasi seks karena hal ini mungkin akan terus ada dan hadir dalam kehidupan manusia walau dalam wilayah yang penuh perdebatan tentang moralitas, hukum ekonomi dan baik benarnya atau boleh tidaknya, sebagaimana yang diungkapkan oleh St. Agustin bahwa “ … menyingkirkan pelacuran dari kehidupan manusia akan mengotori semua hal dengan nafsu birahi dan karena itu “ perempuan sundal “ adalah imoralitas yang dapat dibenarkan secara hukum. Sementara St.Thomas Aquinus berpendapat bahwa enyahkan tempat sampah dan anda akan mengotori istana… enyahkan pelacur dari muka bumi dan anda akan memenuhinya dengan sodomi ( Patrinder , 1980: 225-6) dalam Truong (1992). Tampaknya akan selalu ada trade off dalam kehadiran dan penghilangan aktivitas pelacuran. Berikut akan dijelaskan bagaimana kekuatan eksternal kondisi kemiskinan dan kekuatan kapitalisme dalam membentuk aktivitas pelacuran.

B. Pelacuran Dalam Bingkai Kemiskinan dan Kapitalisme

(6)

memang hanya tujuan bisnis jangka pendek untuk menangkap besarnya permintaan atas rest and recreation.

Berdirinya barak-barak militer tentara sehingga mereka membutuhkan banyak hiburan termasuk pelayanan seksual karena orang yang melakukan permintaan atas pelayanan seksual adalah mereka yang cendrung jauh dari keluarga atau memiliki pendapatan atau kemapanan finansial seperti yang dijelaskan oleh Iriana (2005) bahwa Sisi permintaan jasa seks berasal dari berbagai kalangan untuk memenuhi kebutuhan seks , diantaranya penduduk yang mobilitasnya tinggi, yaitu penduduk yang sering melakukan perjalanan tanpa membawa keluarga dan pergi untuk waktu yang lama. Mereka umumnya berasal dari daerah yang tingkat perekmbanganya tinggi atau daerah kaya. Pengguna jasa seks setempat yang tingkat kesejahteraanya yang sudah tinggi atau pendatang yang tinggal sendiri tanpa keluarga. Selain itu dijelaskan pula bahwa kemiskinan merupakan alasan klasik yang diungkapkan pekerja seks komersial. hal ini menunjukkan selain adanya peluang kerja akibat banyaknya permintaan atas pelacuran masyarakat juga mengalami desakan ekonomi untuk menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, melakukan pelacuran atau membiarkan anak-anak perempuan mereka bekerja sebagai pelacur adalah pilihan untuk bertahan hidup.

(7)

Terlepas dari tafsir keagamaan yang tidak mengukuhkan secara jelas status pelacuran mengenai boleh tidaknya maka kemiskinan adalah alasan penting yang menjadi pendorong pokok tumbuh dan berkembangnya pelacuran ditengah gempuran globalisasi yang menjebak masyarakat dalam kubang kemiskinan (proverty trap). Kapitalisasi yang melakukan pembangunan namun disertai pula dengan marginalisasi kian memojokan masyarakat kecil dan ditengah ketidakberdayaan dan lemahnya akses, mereka tidak memiliki alternatif untuk memperbaiki kondisi kehidupan maka pelacuran dijadikan sebagai jalan atau strategy untuk bertahan hidup (livelihood) sebagaimna yang diungkapkan dalam Truong (1992) bahwa “ pelacuran harus dipahami sebagai sebuah strategy perempuan bagi kelanjutan hidup dibawah kondisi kemiskinan”

Para pebisnis internasional menangkap situasi masyarakat dengan sangat tepat sehingga mereka mmapu mengembangkan kota dengan pelacuran sebagai tumpuan utama aktifitas perekonomian selain itu perekembangan industri pesawat terbang secara drastis meningkatkan mobilitas masyarakat diberbagai belahan dunia untuk bepergian, maka jasa-jasa traveling untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan turisme ikut tumbuh dan berkembang yang tentu mendorong berbagaia fasilitas lokal yang terkait dengan turisme seperti hotel, bar, panti pijat dan berbagai tempat hiburan lainya ikut tumbuh berkembang tidak ketinggalan pelacuran sebagai bagian penting dari bisnis turisme mengalami peningkatan permintaan. Memandang pelacuran sebagai bentuk kerja akibat adanya keputusasaan oleh para pelacur tentu snagat subjektif karena fakta menunjukan bahwa ada kondisi eksternal yakni kemiskinan dan kapitalisasi yang menjanjikan mereka kehidupan yang lebih baik dari kerja pelacuran maka melihat hal ini dari sudut pandang ekonomi merupakan keputusan rasional. Disisi lain pemerintah memberikan dukungan terhadap aktivitas pelacuran sebagaimana yang akan dibahas pada bagian selanjutnya dari paper ini yang akan menunjukkan bahwa ada berbagai pihak yang meraup keuntungan dari kegiatan komersilaisasi seks.

C. Dukungan Pemerintah Dalam Pelestarian Pelacuran

(8)

ekonomi yang diberikan kepada negara seperti yang dinyatakan dalam Truong (1992) bahwa saat ini negara telah turut terlibat dalam pengaturan aktivitas seksualitas dalam hal ini promuskuitas yang mengakselerasi penggunaan kerja seksual perempuan karena adanya keuntungan finansial yang diperoleh sebagai bentuk pendapatan negara dari pembayaran pajak. Negara secara terang-terangan menjadikan pelacuran sebagai bagian strategi ekonomi negara dimana para pejabat pemerintahan (pada rezim Marcos) secara eksplisit di depan publik menyatakan bahwa seksualitas perempuan harus dipandang sebagai asset ekonomi dalam sumbangan turisme bagi pembangunan nasional, atau seperti yang dinyatakaan oleh direktur Tourism Authority Of Thailand bahwa “ ya, kami harus mengakui bahwa kami memilik pelacuran… mungkin ada benarnya (bahwa turisme meransang pelacuran), namun pelacuran tumbuh terutama karena kondisi ekonomi karena setiap orang harus memperoleh penghasilan, kalau kami dapat menciptakn pekerjaan, dapat meningkatkatkan penghasilan perkapita, persoalan pelacuran akan hilang dengan sendirinya (far estren economic review, 9 januari1976) dalam Truong (1992).

Dua pernyataan pemerintah diatas secara jelas memandang bahwa pelacuran merupakan hal penting dan memberi manfaat karena mendukung dan menopang perekonomian negara sehingga tak mengherankan jika ada daerah seperti Munagthai di penuhi dengan bar, panti pijat, kedai teh, hotel-hotel dan berbagai tempat hiburan lainya yang sangat erat terkait sebagi tempat menghibur diri, memperoleh layanan personal atau tempat berlansungnya komersialisas seks telah tumbuh dan berkembang dengan pesat di Munghtai. Bahkan pihak perbankan sebagai bagian penting dari perekonomian karena dapat memberi pinjaman kepada para pengusaha telah turut berperan dalam menciptakan kelanggengan pelacuran dengan memberikan pinjaman berjangka untuk pembangunan hotel, selain itu pranata-pranta finansial internasional menyediakan pinjaman dengan persyaratan ringan sehingga pelacuran tidak hanya menajadi isu alternatif bagi kesempatan kerja perempuan namun juga isu yang berkaitan dengan struktur internal industri turisme dan berbagai kepentingan bercorak finansial lainya, Truong (1992).

(9)

dilakukan pemerintah untuk mengiklankan turisme dan pelacuran di negara mereka dengan menonjolkan berbagai kelebihan perempuan melalui pramugari. Hal ini mempertegas posisi pemerintah yang mendukung berlansungnya pelacuran.

Meskipun pada kasus muangthai tampak bahwa Pemerintah sangat mendukung pelacuran namun hal ini tidak terjadi di semua negara atau daerah, bahkan untuk wilayah tertentu pelacuran tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda karena itu melihat pelacuran dalam perspektif ekonomi wilayah adalah cara pandang lain yang akan menambah khasanah pemahaman akan pelacuran. karena setiap kegiatan atau aktivitas tak dapat dipisahkan dari dimensi ruang atau wilayah (spatial elements) sehingga bagian selanjutnya dari paper ini akan membahas mengenai pelacuran dari perspektif wilayah terlebih pada kasus Indonesia.

D. Komersialisasi Seks Dalam Perspektif Ekonomi Wilayah

Pelacuran mungkin akan selalu ada pada setiap bangsa dan tatanana hidup masyarakat terlebih di era yang kian kapitalistik ini, dimana uang seolah menjadi raja dalam kehidupan tidak hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan namun uang telah menjadi tujuan itu sendiri sehingga berbagai aktifitas dilakukan hanya sekedar untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin termaksud aktifitas pelacuran, yang disisi lain ternyata memperoleh dukungan oleh pemerintah atau dilindungi oleh berbagi korporasi besar karena adanya keuntungan yang diperoleh dari aktifitas ini terlepas dari berbgai pandangan yang tetap menganggap pelacuran sebagai sebuah penyimpanan biologis maupun sosial. Namun hal menarik lainya adalah aktifitas ini tidak terjadi atau tumbuh disetiap daerah karena itu pada bagian ini pelacuran akan dilihat dalam perspektif ekonomi wilayah untuk menjelaskan bagaimana pola spasial dalam perkembangan pelacuran yang akan membantu kita dalam memahami mengapa ada wilayah yang tumbuh menjadi pusat pelacuran dan ada wilayah lain yang menjadi daerah asal pelacur.

(10)

dengan persolan seks seperti yang diungkapkan oleh Moamar Emka dalam buku “ Jakarta under cover” yang memotret fenomena seks di ibu kota Indonesia.

Menurut Iriana (2005) bagi laki-laki yang mencari perempuan yang memberikan pelayanan seks yang dikomersialkan dapat ditemukan ditempat-tempat seperti berikut :

 Lokasi tertentu dimana seks dapat dilaksanakna di tempat mislanya panti pijat, rumah bordir, lokalisasi rumah bordil.

 Lokasi yang telah ditentukan dimana transaksi seks dapat terjadi, tetapi kegiatan seks biasanya dilakukan ditempat lain, misalnya klub malam, salon kecantikan, diskotik, pusat call-girl, bar, coffee shops.

 Pekerja seks Komersial mandiri, seperti wanita panggilan (untuk kelas tingggi), perek, dan wanita jalanan, yang dapat di jumpai di berbagia tempat.

Jika kita lihat tempat-tempat diatas maka lebih banyak tersedia di kota dibandingkan desa karena pertumbuhan atau penopang ekonomi di perkotaan secara umum lebih banyak di dukung oleh sektor jasa atau perdagangan sehingga tempat-tempat hiburan lebih banyak tumbuh dikota , gaya hidup diperkotaan yang sangat dinamis, individuliastik serta hedonistik (foya-foya) juga mendukung tumbuhnya industri jasa yang memberikan pelayanan yang sifatynya sangat personal. Tempat berlibur atau daerah yang ditopang oleh sektor pariwisata juga menyediakan banyak tempat yang memungkinkan digunakan sebagai tempat transaksi seks karena mereka yang melakukan perjalanan untuk berlibur terlebih di tempat yang jauh cendrung memiliki kempanan finasial yang cukup atau telah menyediakan anggaran khusus untuk biaya rest and recreation maka mencari layanan seks di daerah tujuan wisata sangat mungkin dilakukan sebagaimana promuskuitas bagi para turis juga dicitrakan sebagai bentuk pengalaman pribadi.

Persolan turisme juga mendukung tumbuh kembang pelacuran di Munagthai yang tentu tidak akan berbeda jauh dengan daerah lain. Kota dan daerah pariwisata cendrung memilik akses infrastruktur yang bagus sehingga mobilitas lebih mudah dilakukan di kedua daerah tersebut dan dapat di jadikan sebagai tempat persinggahan, pertemuan atau peristirahatan sehingga dapat memicu permintaan layanan seks lebih tinggi di kedua daerah tersebut (kota dan daerha pariwisata).

(11)

Utara dan Sulawesi Selatan yang ditunjukan dari hasil penelitian Iriana (2005). Hal ini dapat dipahami bahwa daerah jawa adalah daerah dengan tingkat penduduk yang sangat tinggi. meskipun merupakan ikon bagi kemajuan dan pertumbuhan tapi ketimpangan sangat tinggi masyarakat yang hidup didesa dengan pendidikan rendah tidak mampu bersaing atau berkompetisi sehingga mereka banyak memilih untuk bekerja sebagi pelacur. Dalam penelitian yang sama Iriana mengungkapkan bahwa Jawa memiliki daya dorong yang kuat dan alasan utamanya adalah kemiskinan. Sementara Sulawesi selatan dengan ibu kota Makassar merupakan daerah paling maju di kawasan Indonesia Timur (KIT) dan memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang kawasan Indonesia timur kegiatan ekspor impor dan perdagangan banyak dilakukan melalui kota ini. Makassar juga merupakan pusat pertumbuhan dan pelayanan KIT sehingga menajdi kota tujuan dan transit dengan mobilitas masyarakat yang tinggi tentu mengalami permintaan jasa pelacuran yang tinggi sehingga banyak pelacur berasal dari daerah Sulawesi Selatan. Semenatara Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado dikenal sebagi daerah tujuan wisata dan sektor jasa merupakan kontributor terbesar bagi perekonomian selain itu di kota ini telah dikenal beberapa tempat yang telah menjadi tempat aktivitas pekerja seks komersial yang tersebar di tengah-tengah kota seperti ditempat karaoke atau rumah bordil yang banyak tersebar dijalan-jalan Sinsingamaraja dan jalan Yos Sudarso kota manado. Dengan tersidanya tempat pelayanan jasa seks komersial dan sektor jasa yang menjadi penopang perekonomian maka kota ini memang sangat potensial menajadi salah satu kota yang menyediakan banyak pelacur.

(12)

Daerah lain yang memiliki daya tarik yang kuat namun tandanya adalah negative yakni kota Bekasi dan Karawang artinya jika terjadi perkembangan pelacuran diwilayah tersebut maka akan terpusat dan tidak akan mempenagruhi daerah lainya. Kota karawang dan Bekasi yang dulu dikenal sebgai lumbung padi Jawa Barat kini telah menjadi kota industri dan pemukiman serta menajadi penyanggah ibu kota Indonesia yakni Jakarta. Meningkatnya jumlah penduduk karena pemukiman yang semakin meluas serta sebagai kota industri yang mendatangkan banyak pekerja dari luar menjadi salah satu stimulus berkembangya pelacuran didaerah ini untuk Karawang dari 18 kecamatan hanya 4 kecamatan yang tidak memiliki tempat pekerja jasa seks komersial sementara bekasi tempat pelacuran banyak disamarkan sebagai salon, panti pijat, karaoke hingga rumah makan namun disisi lain juga beroperasi sebagai tempat transaski jasa seks komersial.

(13)

E. Penutup

Pemberian stigma atau penilaian atas pelacur bukanlah hal yang mudah karena begitu banyak variabel yang mesti diperhatikan dimana pelacuran tidak lahir secara tunggal sebagai dorongan seksual manusia atau akibat moralitas yang rendah namun faktor eksternal seperti tekanan, eksploitasi, bahkan kontruksi budaya hingga kepercayaan atau juga sebagai pilihan bebas yang dilandasi dengan rasionalitas berpikir dapat menjadi alasan kenapa seseorang kemudian memilih pelacuran sebagi jalan hidup.

Namun ketika pelacuran dianggap sebagai bentuk eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti para pebisnis atau pemerintah karena adanya keuntungan yang diperoleh maka tentu pelacuran dalam pandangan seperti ini harus dipikirkan alternatif lain yang dapat memberdayakan perempuan sehingga mereka memiliki banyak pilihan dalam menentukan cara hidup seperti apa yang akan dilakukan bukan karena keterpaksaan dan ketidakberdayaan sehingga mereka memilih pelacuran sebagai strategi bertahan hidup.

Pandangan tentang pelacuran mengenai baik buruknya juga tidak terlepas dari konstruksi sejarah,dan budaya yang telah memberikan cara pandang tersendiri bagi masyarakat akan makna pelacuran. Selain Itu pelacuran pada dasarnya penting untuk dilihat dari perspekti wilayah dimana interaksi spatial telah meberikan kontribusi dan alat analisis yang berbeda dalam memandang tumbuh kembang aktifitas pelacuran disuatu daerah atau wilayah karena kita akan dapat dengan memudah menganalisis kira-kira didaerah mana yang akan tumbuh menjadi spot-spot pelacuran dengan melihat daya dorong dan daya tarik suatu sehingga mobilitas faktor antara pelacur dan pengguna jasa pelacuran akan mudah di identifikasi.

(14)

Emka M. 2002. Sex n’ the city , Jakarta Undercover. Yogyakarta (ID) : Galang Press Emka M. 2003. Jakarta Undercover 2 : karnaval malam. Jakarta (ID) : Gagas media Hubeis, S V A. Pemberdayaan Perempuan Dari Masa Kemasa .Bogor (ID) : IPB press

Iriana N.2005. Pola Spasial Struktur Wilayah Pasar Jasa Seks Komersial [Tesis]. Bogor (ID) : Insitut Pertanian Bogor

Referensi

Dokumen terkait

Memberi masker pada wajah memiliki banyak manfaat diantaranya menyegarkan, memperbaiki dan mengencangkan kulit wajah, melancarkan peredaran darah, merangsang kembali sel-sel

Fistula anorektal timbul oleh karena obstruksi dari kelenjar dan/atau kripta anal, dimana ia dapat diidentifikasi dengan adanya sekresi purulen

Dari hasil survei terhadap 32 manajer berbagai perusahaan di Indonesia, disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah variabel pemoderasi yang memperkuat hubungan antara

Dari hasil perhitungan sebelumnya mengenai potensi air yang meresap ke dalam tanah (tabel IV-5) dan perkiraan kebutuhan air untuk rumah tangga penduduk, industri dan

Identitas politik yang melekat pada Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang membentuk identitas komunitasnya, tidak saja mencerminkan ikatan sosial yang lahir dari sistem

46., Váradon a négy egyetemet végzett esperes (két decretorum doctor, egy magister artium, egy baccalaureus artium) mellett 11 olyan esperes ismert, akik nem folytattak egye-

Tujuan dari balanced scorecard adalah menjabarkan strategi dan visi organisasi kedalam rerangka proses belajar strategik dengan mengaitkan semua kedalam lingkungan bisnis

Menurut kamus yang sama, tipe audtorial adalah kemampuan berdasarkan pendengaran yang memiliki dua makna, yaitu (a) seseorang dengan gaya pemahaman primer lewat