• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Peraturan Daerah (Qanun) Aceh No. 7 Tahun 2014 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PT. AICA Mugi Indonesia, Langsa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Peraturan Daerah (Qanun) Aceh No. 7 Tahun 2014 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PT. AICA Mugi Indonesia, Langsa)"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM PERUSAHAAN YANG BERADA DI WILAYAH PROVINSI ACEH

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagkerjaan

1. Pengertian hukum ketenagakerjaan

Dalam hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan terdapat beberapa istilah yang beragam, seperti buruh, pekerja, karyawan, pegawai, majikan, atau pengusaha. Istilah buruh sudah sejak lama dipakai bahkan hingga kini masih dipergunakan sebagai sebutan untuk kelompok pekerja yang sedang memperjuangkan program organisasinya. Istilah pekerja dalam praktik sering dipakai untuk menunjukkan status hubungan kerja, seperti pekerja kontrak, pekerja borongan, pekerja harian, pekerja honorer, pekerja tetap, dan sebagainya. Sedangkan istilah karyawan atau pegawai lebih sering dipakai untuk data administrasi.30

Pendapat lain menyatakan bahwa istilah buruh sejak dulu diidentikkan dengan pekerjaan kasar, pendidikan rendah dan penghasilan yang rendah pula31. Bahkan pada zaman kolonial terdapat istilah kuli, mandor atau semacamnya, yang menempatkan buruh pada posisi yang lemah dibawah pengusaha. Padahal, keberadaan buruh sangatlah penting artinya bagi kelangsungan perusahaan. Kata pekerja memiliki pengertian yang sangat luas, yakni setiap orang yang melakukan

30

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 1.

31

(2)

pekerjaan, baik didalam hubungan kerja maupun swapekerja. Istilah yang sepadan dengan pekerja ialah karyawan, yakni orang yang bekerja atau berkarya, yang lebih identik pada pekerjaan nonfisik, sifat pekerjaannya halus atau tidak kotor, contohnya adalah karyawan bank dan karyawan yang bekerja pada perusahaan. Sedangkan istilah pegawai adalah setiap orang yang bekerja pada pemerintahan, yakni pegawai negeri yang sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok kepegawaian.32

Disamping istilah tersebut masih terdapat istilah tenaga kerja yang memberikan batasan tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Batasan ini mengandung pengertian yang lebih luas lagi, yakni meliputi pejabat negara, pegawai negeri sipil atau militer, pengusaha, buruh, swapekerja, pengangguran dan lain-lain.33 Dalam konteks penggunaan istilah tersebut lebih baik memilih istilah tenaga kerja dan pekerja. Istilah tenaga kerja digunakan baik didalam maupun diluar hubungan kerja, sedangkan pekerja khusus di dalam hubungan kerja. Berarti setiap pekerja sudah pasti tenaga kerja, tetapi setiap tenaga kerja belum tentu pekerja.34 Sedangkan penggunaan istilah untuk menunjukkan majikan, maka akan lebih tepat apabila yang dipergunakan adalah istilah pengusaha yang tampak lebih luas dibandingkan dengan majikan.35

32

Abdul Khakim, Loc.Cit. 33

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 2. 34

Ibid, hlm. 3.

35

(3)

Batasan pengertian hukum ketenagakerjaan, dulu disebut hukum perburuhan atau dalam bahasa Belanda disebut arbeidrechts, juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum. Tidak ada satupun batasan pengertian itu yang dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki sudut pandang yang berbeda. Akibatnya pengertian yang dibuatnya (dibuat) tentu berbeda antara pendapat yang satu dan pendapat yang lainnya.36 Sebagai perbandingan berikut pendapat beberapa ahli hukum mengenai pengertian hukum ketenagaerjaan, yakni:

a. Molenaar, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang pokonya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja, serta antara tenaga kerja dengan penguasa.37

b. M.G. Leenbach, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjana itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkutpautdengan hubungan kerja itu.38

c. N.E.H. van Esveld, menyebutkan bahwa hukum perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan dilakukan dibawah pimpinan, tapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri.39

36

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 4. 37

Imam Soepomo, Op.Cit., hlm. 1. 38

Ibid, hlm. 2. 39

(4)

d. Mok, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.40

e. Soepomo, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah himpunan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.41

f. Soetikno, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan hubungan kerja tersebut.42

g. Halim, menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah pengaturan-pengaturan hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak buruh/pegawai maupun pihak majikan.43

h. Daliyo, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulisyang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan, buruh bekerja pada dan dibawah majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasanya.44

40

Abdul Khakim, Loc.Cit. 41

Darwan Print, Hukum ketenagakerjaan Indonesia, (Cet. I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 38.

42

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 5. 43

Ibid.

44

(5)

i. Syahrani, menyatakan bahwa hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu antara buruh dengan majikan, dan hubungan antara buruh dan majikan serta pemerintah.45

Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangt luas dan untuk menghindari adanya kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan industrial, sehingga istilah hukum ketenagakerjaan lebih tepat dibandingkan dengan istilah hukum perburuhan46 karena hal ini sejalan dengan penamaan UU Ketenagakerjaan bukan UU Perburuhan. Berdasarkan uraian tersebut jika dicermati, hukum ketenagkerjaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis

b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha/majikan.

c. Adanya orang yang bekerja pada dan dibawah pimpinan orang lain, dengan mendapat upah sebagai balas jasa.

d. Mengatur perlindungan pekerja, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keadaan organisasi pekerja/buruh dan lain sebagainya.

Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan adalah peraturan hukum yang mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan dengan segala kondisinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup pengaturan mengenai swapekerja (kerja dengan tanggung jawab atau

45

Ibid.

46

(6)

resiko sendiri), kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar kesukarelaan, serta kerja seorang pengurus/wakil suatu organisasi/perkumpulan. Hendaknya perlu diingat pula bahwa ruang lingkup ketenagakerjaan tidak sempit, terbatas dan sederhana. Kenyataan dalam praktiknya hukum ketenagakerjaan sangatlah komplek dan multidimensi. Oleh sebab itu ada benarnya jika hukum ketenagakerjaan tidak hanya mengatur hubungan kerja tetapi meliputi juga pengaturan di luar hubungan kerja, serta perlu diindahkan oleh semua pihak dan perlu adanya perlindungan pihak ketiga, yaitu Penguasa (Pemerintah) bila ada pihak-pihak yang dirugikan.47

2. Asas hukum ketenagakerjaan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU Ketenagakerjaan, maka landasan hukum ketenagaerjaan adalah Pancasila dan UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 3 UU Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk

47

(7)

kerja sama yang saling mendukung.48 Jadi asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. 3. Tujuan hukum ketenagakerjaan

Adanya hukum yang mengatur terkait ketenagakerjaan tentu tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai, menurut Imam Soepomo tujuan atau hakekat hukum ketenagakerjaan adalah untuk melindungi yang lemah seperti buruh, dengan cara menempatkannya pada kedudukan yang layak.49 Lebih spesifk tujuan tersebut diantaranya ialah:

a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha.

b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha. Hal ini dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja. 4. Sumber hukum ketenagakerjaan

Apabila ditelaah dari pengertian istilah, hukum ketenagakerjaan terdiri dari dua kata, yakni hukum dan ketenagakerjaan. Hukum dan ketenakerjaan merupakan dua konsep hukum.50 Konsep hukum itu sangat dibutuhkan apabila kita mempelajari hukum. Konsep hukum itu pada dasarnya adalah batasan tentang

48

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Penjelasan Pasal 3.

49

Imam Soepomo, Op., Cit., hlm. 6. 50

(8)

suatu istilah tertentu. Tiap istilah ditetapkan arti dan batasan maknanya setajam dan sejelas mungkin yang dirumuskan dalam suatu definisi. Istilah dan arti tersebut diupayakan agar digunakan secara konsisten. Konsep yuridis (legal concept) yaitu konsep konstruktif dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu aturan hukum atau sistem aturan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai norma hukum, yaitu norma yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang berwenang. Norma hukum dapat berbentuk norma hukum yang tertulis maupun norma hukum yang tidak tertulis.51 Baik norma hukum tertulis maupun norma hukum tidak tertulis, keduanya dapat menjadi sumber pengaturan hukum ketenagakerjaan. Menurut Samad sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri dari:52

a. Peraturan perundang-undangan (Undang-Undang dalam arti materil dan formil).

b. Adat dan kebiasaan

c. Keputusan pejabat atau badan pemerintah d. Traktat

e. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan)

f. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja bersama (KKB) Selain pendapat tersebut juga ada yang menyatakan jika agama juga termasuk sumber hukum ketenagakerjaan, mengingat terdapatnya kemungkinan pemecahan masalah ketenagakerjaan melalui pendekatan ajaran agama yang dianutnya. Jika adat dan kebiasaan bisa menjadi sumber hukum ketenagakerjaan, apalagi agama

51

Ibid.

52

(9)

yang dianut dan bisa menjadi keyakinan dalam hidup dan kebiasaan para pihak. Berdasarkan pengamatan Khakim pada saat bertugas disalah satu perusahaan di Kalimantan Barat,53 pengaruh dan peran adat sangat kental, mulai dari perekrutan, pembinaan dan bahkan apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Hal ini menujukkan bagaimana pentingnya dukungan sistem adat dalam praktik harmonisasi hubungan industrial di perusahaan. Kerjasama yang kooperatif antara perusahaan dengan masyarakat adat dapat menghasilkan sinergi yang baik dan saling menguntungkan dalam mendukung pembinaan hubungan industrial dalam perusahaan dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitar sehingga dapat menumbuhkembangkan sikap saling percaya untuk menjamin tenaga kerja dan kelangsungan perusahaan.54

5. Sifat hukum ketenagakerjaan

Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). Selain itu dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah-masalah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah. Karenanya hukum ketenagaerjaan bersifat publik, baik yang terkait dengan aspek hukum tata usaha negara maupun hukum pidana.55

Apabila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa sifat hukum ketenagakerjaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

53

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.16 54

Ibid.

55

(10)

a. Hukum yang bersifat imperatif, atau dwingenrecht (hukum yang bersifat memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak serta tidak boleh dilanggar, contohnya yaitu:56

1)Permagangan yang dilakukan diluar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 25 ayat 1 UU Ketenagakerjaan)

2)Pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

3)Setiap pemberi kerja yan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

4)Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib mentaatiketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.

5)Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

6)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus meggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

7)Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan.

8)Ketentuan mengenai pembuatan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT).

56

(11)

9)Dalam masa percobaan kerja pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku.

b. Hukum yang bersifat fakultatif atau aanvullendrecht (hukum yang mengatur/ melengkapi) artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya, contohnya ialah:57

1)Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.

2)Dalam hal pengusaha, orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

3)Hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan indusrial.

4)Pengecualian kewajiban ikut serta dalam program Jamsostek, dimana program JPK dapat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan pelayanan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar dasar Jamsostek.

B. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan dalam Sistem Hukum Indonesia

dan Aceh

Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata).58 Namun hukum ketenagakerjaan adakalanya tidak hanya

57

Ibid, hlm. 10.

58

(12)

bersifat privat, penyebabnya adalah adanya ikut campur tangan Pemerintah dalam masalah-masalah perburuhan serta adanya saknsi pidana dalam peraturan perusahaan, hal ini dikarenakan pekerja perlu dilindungi oleh negara melalui campur tangan Pemerintah. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah membuat peraturan-peraturan yang mengikat pekerja dan majikan serta membina dan mengawasi hubungan industrial.59 Sehingga hukum ketenagakerjaan selain bersifat privat dapat pula bersifat publik, baik yang terkait dengan aspek Hukum Tata Usaha negara maupun Hukum Pidana.60

1. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia

Tahap demi tahap dari peristiwa suram bagi para buruh/pekerja dapat dilewati hingga dicetuskannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal kemerdekaan perjuangan bangsa Indonesia masih lebih banyak pada perang revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan melawan bangsa penjajah yang ingin menjajah Indonesia kembali, sehingga produk-produk hukum sebagai pelaksana amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) tentang hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan kemanusiaan belum dapat terealisasi.61 Ketentuan mengenai perburuhan saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijk Wetboek (KUH Perdata) berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yakni segala badan dan peraturan negara yang ada masih berlaku sepanjang belum diganti

59

Ibid.

60

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 6. 61

(13)

dengan yang baru.62 Pada saat ini hukum ketenagakerjaan mendasarkan pada ketentuan UU Ketenagakerjaan, menggantikan UU No. 25 Tahun 1997. Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia terletak dibidang adminstrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan Peraturan Perundang-Undangan haruslah berdasarkanpada teori hukum yang menelaah bidang tersebut. Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dapat dibagi kedalam 3 subbidang berikut yaitu:

a. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata

Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting didalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya, yaitu pekerja dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata.63 Pemerintah hanya sebagai pengawas atau lebih lengkapnya dapat menjadi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Selain itu, fungsi pengawasan dari Pemerintah dapat maksimal apabila secara filosofis kedudukan pemerintahan lebih tinggi dari yang diawasi (pekerja-pengusaha).64 Ketentuan perburuhan dalam KUH Pedata diatur dalam Buku III, Bab 7A, Bagian Pertama (Pasal 1601a-1601c), Bagian Kedua tentang Persetujuan Perburuhan Umumnya (Pasal 1601d-1601x), Bagian Ketiga tentang Kewajiban Majikan (Pasal 1602a-1602z), Bagian Keempat tentang Kewajiiban Buruh

62

Ibid, hlm. 20.

63

Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.14.

64

(14)

(1603a-1603d), Bagian Kelima tentang Tata Cara Berakhirnya Hubungan Kerja Yang Diterbitkan Dari Persetujuan (Pasal 1603e-1603w) dan Ketentuan Penutup (Pasal 1603x-1603z).65 Peraturan perburuhan dalam KUH Perdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai contoh, konsep KUH Perdata memandang pekerja sebagai “barang” yang apabila tidak berproduksi tidak dibayar/diupah.66 Hal ini disebutkan dalam Pasal 1602 KUH Perdata yakni “tiada upah yang harus dibayar untuk jangka waktu selama siburuh tidak melaksanakana pekerjaan”. Demikian halnya dengan hak-hak lain yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan, karena masalah perburuhan ini merupakan masalah.

b. Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum tata usaha Negara

Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam hukum tata negara/tata usaha negara yang diperhatikan ada 2 (dua) hal, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu pejabat, lembaga dan warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara didalam pembuatan peraturan atau pemberian izin (bestuur), bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi politie dan bagaimana upaya hukumnya. Pemerintah sebagai

65

Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 20. 66

(15)

penyelenggara negara dibidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi tersebut dengan baik.67

Jadi jika terkait dengan perizinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja sama, pendaftaran serikat pekerja/serikat buruh dan sebagainya maka hal tersebut menyangkut aspek hukum tata usaha negara.68 Tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan keadministrasian seperti yang telah dijelaskan diatas, namun juga menyinggung tentang hukum pajak, hukum lingkungan, hukum tata ruang, hukum kehutanan dan lain sebagainya.69

c. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum pidana

Jika hubungan antar pekerja dan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (pekerja dan pengusaha), maka tujuan hukum ketenagakerjaan untuk menciptakan keadilan sosial dibidang ketenagakerjaan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homini lupus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah/rendah. Atas dasar itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah ketenagakerjaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan.70 Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah berkaitan dengan pentingnnya penerapan sanksi hukum bagi pelanggar

67

Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.15. 68

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.7. 69

Ibid.

70

(16)

peraturan perundang-undangan.71 Terdapat asas legalitas dalam hukum pidana, yaitu suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang. Penerapan sanksi harus mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibuktikan dengan adanya hubungan klausal antara perbuatan dengan akibat yang terjadi. Sanksi pada hakikatnya merupakan perampasan hak seseorang, oleh karena itu harus dibuat secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan situasi demokrasi adalah undang-undang atau peraturan daerah karena dalam pembuatannya melibatkan suara atau wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD.72 Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia yang secara teoritis dibagi menjadi 3 (tiga) dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pengusaha dan pekerja didasarkan pada perjanjian kerja. Selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja harus diawasi oleh pemerintah sebagai konsekuensi menjalankan fungsi bestuur, politie dan rechtsprak.73 Apabila selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja terdapat pelanggaran hukum maka dapat diterapkan sanksi pidana yang menjadi kajian dalam bidang hukum pidana. Jadi peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja.

71

Abdul Khakim, Loc.Cit. 72

Ibid. hlm. 231.

73

(17)

Intervensi Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan melalui Peraturan Perundang-Undangan membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum ketenakerjaan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik.74 Prinsip privat melekat pada prinsip dasar hubungan kerja yang ditandai adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan. Sifat publik dari hukum perusahaan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana ataupun sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang ketenagakerjaan, dan adanya ikut campur Pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).

2. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Dalam Sistem Hukum Aceh

Pengertian Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan nama Kanun, yang artinya adalah Undang-Undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah.75 Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Arab adalah: Undang-Undang, kebiasaan atau adat.76 Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian Qanun adalah : suatu Peraturan Perundang-Undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di Provinsi Aceh). Di masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan Qanun.77

Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU

74

Ibid.

75

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 442.

76

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya, 1989), hlm.357 77

(18)

Pemerintahan Aceh, yaitu: Pertama Qanun Aceh adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis78 peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.79 ; Kedua Qanun Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Kabupaten/Kota di Aceh.80 Dari ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di provinsi lain di Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat.

Qanun merupakan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang diberlakukan di Provinsi Aceh yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari Provinsi Aceh, hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam.81 Selain itu berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah Syar’iah.82 Dalam hal hirarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah

78

Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

, Op. Cit., hlm.411.

79

(19)

Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.83 Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Aceh dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan disamakan dengan Perda.84. Jika ditelaah maka kedudukan Qanun Ketenagakerjaan dalam sistem hukum Aceh memiliki keterkaitan dengan aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum pidana.

Pada awalnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja hanya menyangkut kepentingan perdata, yang dalam hal ini terkait dengan aspek hukum perdata. Akan tetapi ketika di antara pihak-pihak tersebut terjadi perbedaan pendapat/perselisihan serta permasalahan, maka dari sini intervensi dan otoritas pemerintah Aceh sangat diperlukan.85 Tujuan campur tangan Pemerintah Aceh dalam bidang ketenagakerjaan ini adalah untuk mewujudkan ketenagakerjaan yang adil, karena Qanun Ketenagakerjaan memberikan hak-hak bagi pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu Pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha yakni kelangsungan perusahaan yang berada di dalam wilayah Aceh. Kehadiran

83

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 249.

84

Jum Anggraini, kedudukan Qanun dalam sistem pemerintahan daerah dan mekanisme pengawasannya, jurnal hukum, FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta, No.3 Vol.18 Juli 2011, hlm.327.

85

(20)

peraturan ketenagakerjaan ini telah memberikan nuansa baru dalam khasanah hukum ketenagakerjaan, yakni:86

a. Mensejajarkan istilah pekerja, istilah majikan diganti menjadi pengusaha dan pemberi kerja.

b. Memberikan kesetaraan antara pekerja pria dan wanita.

c. Adanya nuansa dan unsur keislaman dalam pelaksanaan kegiatan ketenagakerjaan.

d. Penetapan hari-hari besar di Aceh sebagai hari libur, misalnya seperti libur pada hari meugang dan libur setiap tanggal 26 Desember guna memperingati peristiwa gempa dan tsunami Aceh.

e. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batas minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakannya. f. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis,

pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pencabutan izin.

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa keberadaan hukum ketenagakerjaan baik dalam sistem hukum di Indonesia maupun dalam sistem hukum Aceh sangatlah strategis dan mendasar, hal ini terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan yang biasanya berkaitan dengan bidang hukum semata tetapi juga berkaitan erat dengan muatan sosial, ekonomi dan politik yang juga

86

(21)

berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia,87 dengan kata lain hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan Aceh adalah bersifat multidimensional.88 Dalam wacana yang ada, politik hukum merupakan realitas yang didapat antara interaksi antara faktor-faktor politik, ekonomi, baik nasional maupun internasional juga perkembangan dalam dunia industri dewasa ini, seperti munculnya multi serikat pekerja, LSM, dan lembaga sosial politik yang peduli terhadap persoalan ketenagakerjaan dan lain-lain. Kesemuanya ini perlu dilihat secara holistik dan sistemik, sehingga akan benar-benar akan terlihat bagaimana politik hukum mengarahkan peraturan perundangan ketenagakerjaan, sehingga nantinya peraturan ketenagakerjaan dapat aplikatif dan benar-benar mampu membawa kemajuan di bidang ketenagakerjaan89 di Indonesia dan Aceh.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan semakin penting disebabkan pihak yang dilibatkan dalam hubungan kerja umumnya berada pada posisi yang tidak seimbang. Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja dengan pengusaha) dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara keduanya,90 bahkan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja digambarkan oleh H. Sinzheimer tidak lebih dari sebuah

87

Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, (Bandung:Mandar Maju, 2004), hlm. 2.

88

Majalah nakertrans edisi 1/XXIV Februari 2004, fenomena baru ketenagakerjaan, http://www.nakertrans.go.id/nemsdetail.php/id=139 (diakses pada tanggal 22 Mei 2016)

89

Agusmidah, dilematika hukum ketenagakerjaan tinjauan politik hukum,(Jakarta: PT. Sofmedia,2011), hlm. 12.

90

(22)

kepatuhan secara sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha.

Senada dengan hal tersebut diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial tersendiri (dalam hal ini hukum ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial yang dalam kehidupan ekonomis mengalami pergeseran, dimana perlindungan kepentingan kerja dalam kontrak/perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta otonomi individu dalam mengadakan kontrak/pekerjaan kerja.91

Bergesernya persepsi ini tidak lepas dari pengalaman sejarah negara.-negara di dunia, Ripert yang telah membuktikan bahwa gerakan politik buruh mampu membawa Prancismenjalani revolusi. Jadi kekuatan politik pekerja sebagai faktor utama yang mendorong hukum ketenagakerjaan menjadi bagian dari hukum publik.

Model hukum ketenagakerjaan di Indonesia merupakan model hukum ketenagakerjaan yang korporatis.92 Dalam model hukum korporatis ini, hubungan ketenagakerjaan diatur melalui jalan legislasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan demikian hukum ketenagakerjaan juga menjadi bagian dari hukum publik. Sebagai hukum publik, proses pembentukan hukum ketenagakerjaan melibatkan peran negara dapat tanggap dan menjadi fasilitator kedua kepentingan kelompok, yaitu antara pekerja dan pengusaha.

3. Pembagian kewenangan dalam bidang ketenagakerjaan

91

Ibid.

92

(23)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dan Daerah Aceh dibagi menjadi 3 (tiga) yang dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan satu dengan yang lainnya. Pemerintah sebagai sentra pemerintahan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengeluarkan produk hukum di bidang ketenagakerjaan, namun Pemerintah Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang berpegang pada UU Pemerintahan Daerah juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum ketenagakerjaan yang akan diberlakukan didalam daerah pemerintahannya.

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan produk hukum monumental dalam menata kembali sistem pemerintahan yang carut marut selama 32 tahun pemerintahan orde baru, dimana tata pemerintahan otonomi daerah dengan paradigma pemberdayaan masyarakat (people empowerment) ini dilaksanakan secara penuh sejak 1 Januari 2001.93

Pada awalnya pengertian otonomi daerah menurut Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ialah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian berubah bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

93

(24)

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.94

Bertolak dari sini maka sudah tentu perencanaaan, pelaksanaan, dan pengontrolan atau pengendalian pembangunan di daerah harus melibatkan rakyat melalui sistem keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD). Untuk itu pemberdayaan DPRD sendiri sebagai wakil rakyat sebagai suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini dikarenakan kedudukan DPRD sangat strategis dalam menentukan arah pembangunan kebijakan di daerah. Disini rakyat harus selalu melakukan kontrol dan mengkritisi setiap pembangunan didaerahnya.95 Oleh sebab itu DPRD sebagai lembaga legislatif dalam merumuskan produk hukum (Peraturan Daerah) juga Gubernur atau Bupati/Walikota dalam membuat Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota harus benar-benar cermat dengan memformulasikan kepentingan daerah dan kepentingan nasional, yaitu memodifikasi kepentingan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat dan kepentingan nasional dalam menjaga tegak dan utuhnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.96

Dalam membahas kewenangan harus mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), berikut peraturan turunannya, antara lain ialah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

94

Ibid.

95

Ibid.

96

(25)

2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan beberapa peraturan pelaksanaannya. Adapun pembagian kewenangan dibidang ketenagakerjaan dapat dilihat berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.97 Didalam UU Pemerintahan Daerah Kewenangan pemerintah (pusat) di bidang ketenagakerjaan tidak disebutkan secara spesifik. Peran Pemerintah disini terkait urusan yustisi, dimana Pemerintah membuat produk hukum dengan membentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain berskala nasional yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan. Kewenangan pemerintah provinsi sendiri adalah melakukan pelayanan dibidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota.98

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 pembagian kewenangan urusan pemerintahan diatur lebih terperinci dan sekaligus mencakup urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.99 Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria

97

Ibid.

98

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 13 ayat (1) huruf h.

99

(26)

tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.100

Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core comtence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan Pemerintahan diluar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan.101

Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap

100

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom, Penjelasan, umum.

101

(27)

tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.102 Pembagian urusan pemerintah dibidang ketenagakerjaan terdiri dari beberapa subbidang, diantaranya ialah.103

a. Dalam subbidang Kebijakan, perencanaan, pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangan di bidang ketengaakerjaan dibagi menjadi:

1) Pemerintah membuat penetapan suatu kebijakan di bidang ketenagakerjaan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan dalam skala nasional. Kebijakan yang telah dibuat ini dibebankan kewajiban penyelenggaraannya kepada Pemerintah sendiri selaku pembuat juga kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota selaku penanggung jawab penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan di skala provinsi dan kabupaten/kota. hanya bertugas menjalankan kebijakan yang telah telah dikeluarkan oleh Pemerintah namun kedua Pemerintah Daerah ini juga berwenang membuat penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Ketika Pemerintah

102

Ibid.

103

(28)

Provinsi membuat suatu kebijakan yang skalanya mencakup provinsi maka akan menjadi kewajiban bagi Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakannya juga.

2) Baik pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kot sama-sama berwenang untuk melakukakan pembinaan dalam bentuk pengawasan, monitoring dan evaluasi dan pelaporan terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dalam skalanya masing-masing.

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (selanjutnya disebut SKPD) dalam daerah yang dipimpinnya guna mempermudah penyelenggaraan urusan pemerintahan dibidang ketenagakerjaan dengan ketentuan bahwa yang berwennag membuat penetapan kebijakan, pedoman, standar dan kriteria pembentukan kelembagaan/ SKPD adalah kewenangan Pemerintah.

(29)

Sementara itu kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten/Kota adalah melakukan pembinaan perencanaan tenaga kerja pada instansi/tingkat perusahaan serta melakukan pembinaan dan penyelenggaraan informasi ketenagakerjaan untuk skala kabupaten.

b. Dalam subbidang Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur yang kewenangan dibidang ketenagakerjaan dibagi menjadi seperti berikut, yaitu:104 1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/

Kota sama-sama berwenang melakukan penetapan suatu kebijakan terkait evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintah, pedoman pelaksanaan pembinaan, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring

untuk dapat digunakan guna mengevaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintah dalam skala masing-masing.

2) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang membuat perencanaan formasi, karier, dan pendidikan serta pelatihan (diklat) untuk SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan dalam skala nasiona, provinsi bahkan kabupaten/kota.

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota mempunyai kewenangan yang sama untuk melakukan pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kekuasaanya masing-masing.

104

(30)

4) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang sama dalam membuat penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan bidang ketenagakerjaan serta kewenangan melakukan pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi yang berada dalam wilayah kekuasaanya masing-masing.

c. Dalam subbidang Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja, dalam sub bidang ini kewenangan pemerintahan ialah:105

1) Pemerintah bertugas membuat standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja dalam skala nasional. Sementara itu Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja dalam skala provisi dan kabupaten/kota berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Setelah diadakannya pelatihan kerja ini nantinya akan dilakukan pengukuran tingkat kenaikan produktivitas tenaga kerja dalam skala masing-masing. 2) Pemerintah berwenang melakukan pembinaan dan penyelenggaraan kerja

sama internasional dalam rangka penigkatan produktivitas, sementara itu Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut untuk terus melakukan produktivitas di wilayah kerjanya masing-masing melalui pelatihan dan pemagangan tenaga kerja.

105

(31)

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/ Kota berwenang dalam pengawasan pelaksanaan perizinan dan pendaftaran lembaga yang akan mengadakan pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang keluar negeri. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah dengan mewajibkan lembaga pelatihan kerja untuk menyampaikan laporan bulanan secara tertulis atas pelaksanaan kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan kepada SKPD di wilayah kerja masing-masing.

4) Pemerintah, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditas lembaga sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala kerja masing-masing. Pengawasan yang dimaksud disini adalah dengan mewajibkan lembaga sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja mengajukan pendaftaran untuk mendapatkan akreditasi secara berkala kepada Komite Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (KALPK) yang ada di wilayah kerja masing-masing.

d. Dalam subbidang Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri, pembagian kewenangan dalam subbidang ini terdiri dari:106

1) Pemerintah berwenang menyusun sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional, begitupun dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang mempunyai wewenang untuk menyusun sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja sementara Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya

106

(32)

berwenang untuk melakukan penyebaran informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota. 2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewennagan

untuk memberikan pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada kepada pencari kerja dan pengguna tenaga kerja dalam skala kerja masing-masing, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk melakukan penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencari kerja dan data lowongan kerja di kabupaten/kota.

3) Pemerintah berwenang dalam penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan lintas provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi berwenang melakukan hal ini dalam provinsi yang dipimpinnya, begitupun dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Selain itu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk menerbitkan rekomendasi untuk perizinan pendirian pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan di wilayah provinsi/kabupaten yang dipimpin oleh masing-masing Kepala Daerah ini.

(33)

5) Pemerintah berwenang untuk melakukan sosialisasi terkait penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia dan tenaga kerja perempuan. Pemerintah Daerah Provinsi berwenang untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usi dan perempuan sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota hanya berwenang untuk memfasilitasi penempatan pencari kerja penyandang cacat, lanjut usia dan perempuan di wilayah kabupaten/kota.

6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi berwenang menerbitkan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) dalam skala nasional, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten berwennag menerbitkan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Lokal (AKL).

7) Baik Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sama-sama berwenang untuk melakukan penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) luar negeri maupun Indoneisa, lembaga sukarela indonesia maupun luar negeri dalam wilayah kerjanya masing-masing. Tenaga Kerja Sukarela (TKS) luar negeri maupun Indoneisa, lembaga sukarela indonesia maupun luar negeri terdiri dari para sarjana yang potensial dan memiliki motivasi tinggi mengabdi kepada masyarakat.107 Setelah perekrutan dan pelatihan para sukarelawan ini kemudian ditugaskan selama dua tahun menjadi pendamping kelompok usaha masyarakat peserta program perluasan kesempatan kerja, seperti

107

(34)

program padat karya, terapan teknologi tepat guna, dan kegiatan kewirausahaan yang dibina langsung oleh Kemnakertrans melalui Direktorat Perluasan Kesempatan Kerja dan Pengembangan Tenaga Kerja Sektor Informal (PKK-PTKSI).108

8) Selain Tenaga Kerja Sukarela (TKS) luar negeri maupun Indoneisa, lembaga sukarela Indonesia maupun luar negeri juga dikenal Tenaga Kerja Mandiri (TKM), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian pendayagunaan tenaga kerja dan lembaga tersebut. Sedangkan kewenangan yang yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten dalam pelaksanaan pembinaan, pengendalian dan pengawasan dan pendayagunaan hanya ditujukan kepada TKS dalam skala kerja masing-masing. Jika Pemerintah Daerah Provinsi akan mendayagunakan TKM maka harus berkordinasi dan melakukan sinkronisasi dengan Pemerintah.109

9) Pemerintah berwenang untuk mengesahkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru serta RPTKA perpanjangan lintas provinsi. Sementara itu Pemerintah Daerah Provinsi berwenang mengesahkan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam satu wilayah provinsi. Jika RPTKA mengandung perubahan jabatan, jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA), dan

108

Ibid.

109

Peranan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dalam

Pembangunan Ketenagakerjaan, Hasil Pemaparan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan pada Rapat Koordinasi Teknis Bidang

(35)

lokasi kerjanya dan perubahan kewarganegaraan maka yang berwenang mengesahkan RPTKA tersebut adalah Pemerintah.

10)Pemerintah berwenang memberikan rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru juga penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari satu wilayah provinsi. Sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hanya berwenang dalam penerbitan IMTA perpanjangan yang lokasi kerjanya berada dalam wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

e. Subbidang pembinaan dan penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, kewenangannya terdiri dari:110

1) Pemerintah berwenang melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan penempatan TKI keluar negeri. Pemerintah Daerah Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengontrol dan mengevaluasi penempatan TKI keluar negeri yang berasal dari wilayah provinsi, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk melaksanakan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon TKI diwilayah kabupaten/kota. Untuk pelaksanaan penempatan TKI sendiri adalah kewenangan mutlak dari Pemerintah.

2) Pemerintah berwenang membuat perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI, sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai

110

(36)

kewenangan untuk memfasilitasi kerjasama tersebut yang pelaksanaannya dilakukan di wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

3) Pemerintah berwenang dalam menerbitkan Surat Izin Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS) . Pemerintah Daerah Provinsi berwenang dalam penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS, sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah dalam hal penerbitan rekomendasi pendirian kantor cabang Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) di wilayah kabupaten/kota.

4) Dalam hal kelengakapan dokumen TKI, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota mempunyai kewenangan untuk menerbitkan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan alamat calon TKI, dokumen-dokumen TKI ini nantinya anakn diverifikasi oleh Pemerintah Daerah Provinsi untuk selanjutnya diadakan verifikasi dokumen oleh Pemerintah agar dapat diterbitkakn Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTNLN) dan penerbitan paspor yang bersifat khusus.

5) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dalam penyelanggaraan dan peyebarluasan informasi penempatan TKI.

(37)

Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mensosialisasikan substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri dalam kerja masing-masing.

7) Pemerintah berwenang menginstruksikan penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) yang pelaksanaannya bisa didekonsentrasikan kepada gubernur.

8) Pemerintah mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan program perlindungan, pembelaan dan advokasi TKI sedangkan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam hal pembinaan dan pengawasan serta perlindunganTKI di wilayah provinsi atau Kabupaten/Kota.

f. Dalam subbidang pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja, pembagian kewenangan di bidang ketenagakerjaan terdiri dari:111

1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota berwenang untuk memfasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan, Pendaftaran Perjanjian Bersama (PKB) serta pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan yang berada dalam skala kerja masing-masing.

2) Baik Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang sama untuk melakukan pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan serta kewenangan untuk melakukan

111

(38)

pembinaaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan dalam skala kerja masing-masing.

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian, serta penerbitan legitimasi mediator, konsoliator dan arbiter. Sedangkan dalam hal pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsoliator dan arbiter merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah.

4) Pemerintah berwenang dalam pendaftaran dan seleksi calon hakim ad hoc

hubungan industrial pada Mahkamah Agung, sementara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang dalam pendaftaran dan penyeleksian hakim ad hoc hubungan industrial diwilayah kerjanya masing-masing.

5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam peyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada Gubernur.

(39)

6) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam pembinaan penyelenggaran jaminan sosial, fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja/buruh dalam wilayah kerjanya masing-masing.

7) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota saling berkoordinasi dalam melakukan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) juga terkait pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh di wilayah kerja masing-masing. Dari hasil verikasi tersebut nantinya akan ditetapkan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan nasional, provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi di wilayah kerja masing-masing.

g. Dalam subbidang pembinaan ketenagakerjaan, pembagian kewenangan di bidang ketenagakerjaan dibagi menjadi:112

1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenanngan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan. Apabila ditemukan adanya pelanggaran norma ketenagakerjaan di wilayah kerja masing-masing maka akan dilakukan penanganan kasus dan penyidikan terhadap pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan tersebut.

2) Pemerintah berwenang untuk menetapkan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3),

112

(40)

dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bertugas melaksanakan penerapan SMK3 di wilayah kerja masing-masing.

3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan dalam pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan di wilayah kerja masing-masing. Pemerintah akan menyelenggarakan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan yang calon pesertanya berasal dari peserta hasil pengusulan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. dalam hal penyelenggaraan diklat juga dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi yang bekerja sama dengan pusat penyelenggaraan diklat teknis dan pengawas ketenagakerjaan.

4) Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mengusulkan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan di wilayah kerja masing-masing kepada Pemerintah. Berdasarkan usulan tersebut nantinya Pemerintah akan menggunakan wewenangnya untuk menunjuk dan mengangkat pegawai pengawas ketenagakerjaan serta dapat menghentikan pegawai pengawas ketenagakerjaan.

(41)

Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan dalam skala kerja masing-masing.

6) Pemerintah berwenang dalam penetapan sertifikasi, penujukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil dan kader ketenagakerjaan

C. Hukum Ketenagakerjaan di Provinsi Aceh

Acehadalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dipimpin oleh seorang Gubernur.113

Sementara itu,Pemerintahan Acehadalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.114 Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (pemerintah pusat).115

113

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 1 ayat 2.

114

Ibid. ayat 4. 115

(42)

Untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.116 Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.117. Dalam menjalankan urusan pemerintahan dikenal urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang secara mutlak harus dilaksanakan oleh Pemerintahan Aceh sedangkan urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh.118 Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan urusan dalam skala Aceh meliputi:119

1. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 2. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

8. Pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

116

Ibid, Pasal 13 ayat 1. 117

Ibid, Pasal 1 ayat 21. 118

Ibid, Pasal 16 ayat 3. 119

(43)

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; dan

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lain yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota.

Sementara itu, urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:120 1. Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at

Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama;

2. Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;

3. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;

4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan

5. Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.

120

(44)

Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Aceh terutama terkait keistimewaan Aceh tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang aceh yang sejak masa kerajaan-kerajaan islam Aceh terutama Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan besar yang pernah ada di Aceh mengambil Islam menjadi dasar negara, sehingga segala hukum yang berlaku didalamnya tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.121 Sumber hukum yang digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan pada masa itu terdiri dari Al Quran, Al Hadis, Idjma'Ulama Ahlussunnah Wal Dajama'ah, dan Qias.122 Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman telah sejak lama dijadikan dasar hukum sehingga antara kehidupan dan budaya masyarakat Aceh seperti telah menjadi satu kesatuan dengan ajaran islam.123

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan urusan dalam skala Aceh salah satunya adalah pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan. Sebagai salah satu provinsi yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia Provinsi Aceh tunduk pada berbagai peraturan hukum Ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Nilai-nilai islam yang telah sejak lama berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh secara tidak langsung mempengaruhi hukum ketenagakerjaan di Provinsi Aceh. Apabila dilihat pelaksanaannya di masyarakat akan tampak bahwa disamping menjalankan peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah, pemerintah Aceh juga menjalankan

121

Ali Hasjmy, Op. Cit, hlm. 67 122

Ibid, hlm. 69 123

(45)

peraturan yang tidak diatur di dalam produk hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, peraturan-peraturan tersebut berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang telah sejak lama dianut di wilayah Aceh bahkan beberapa kebiasaan tersebut kini telah diatur di dalam Qanun Aceh.

Peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang selama ini berlaku di wilayah Provinsi Aceh yang tidak terdapat di dalam produk hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat ialah:

1. Peraturan terkait zakat penghasilan.

Zakat penghasilan adalah zakat yang dibayarkan atas penghasilan/pendapatan karena melakukan sesuatu pekerjaan atau keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha.124 Kewajiban mengeluarkan zakat penghasilan/profesi di Aceh saat ini telah menjadi hukum positif dengan diaturnya hal tersebut di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007. Sebelumnya juga telah dikuatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 16 Juli 1978 dengan mengeluarkan fatwa bahwa: Pertama, yang dimaksud dengan jasa adalah hasil yang diperoleh sebagai imbalan dari guna/manfaat sesuatu (seperti gaji, upah, sewa, hasil profesi dan lain sebagainya); Kedua, jasa diwajibkan zakat berdasarkan ketentuan Q.S. Al –Baqarah ayat 267; Ketiga, nisab dan qadar zakatnya dipersamakan dengan nisab dan qadar zakat emas.

Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan fatwa tentang perhitungan nisab zakat harta pada 26 Juni

124

(46)

1998 yang terdiri dari: Pertama, penghasilan dari sektor jasa wajib dizakati apabila jumlahnya dalam setahun sudah senilai dengan harga 94 gram emas murni dan pembayaran/ pemungutannya dilakukan pada setiap kali memperoleh penghasilan; Kedua, dasar perhitungan harga emas murni pergram adalah pada waktu pembayaran atau pemungutan. Zakat penghasilan diambil/dipungut dari PNS/pejabat/karyawan berasal dari jenis penghasilan berupa gaji dan penghasilan lainnya termasuk tunjangan beras, tunjangan jabatan, serta penghasilan pimpinan dan anggota DPRA, termasuk juga Tunjangan Prestasi Kerja (TPK).125

Tata cara pemotongan zakat penghasilan ditentukan pada saat pembayaran gaji/honorarium bulanan seorang pegawai/pejabat/karyawan, apabila jumlah penghasilannnya belum mencapai nishab zakat yaitu sebesar Rp.2.200.000,-/bulan maka yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban rnembayar zakat, sebaliknya apabila penghasilannya diatas Rp.2.200.000,/bu lan maka akan langsung dipotong zakatnya 2,5% sebelum dipotong pajak penghasilan (PPh).126 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang di atur pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ke empat atas UU.No.7/1983 tentang Pajak Pengahsilan. Zakat dari TPK dan tunjangan jabatan dipotong 2,5% dari jumlah pembayaran

125

Surat Kepala Baitul Mal Aceh No. 451.12/935 tanggal 15 September 2008. 126

Pedoman Pemungutan Zakat Penghasilan/Profesi dan Arah Penggunaan Zakat" yang diterbitkan oleh Baitul Mal Aceh Tahu n 2009, Bab N. Pedoman dan Tata Cara P erhitungan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis Leverage yang nampak pada Gambar 4 didapatkan hasil bahwa yang memberikan sensitivitas utama terhadap status keberlanjutan dimensi sosial adalah

Realitas di sekolah, kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap terpisah, kurang berinteraksi dengan kegiatan pendidikan lainnya. Berkaitan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab dan upaya bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar bahasa

Maribel Peralta and Guadalupe Quito (2010, p. 13) state that Jazz Chants is an active learning which provides better learning than simple memorization. Most people are

Intrusion Prevention Systems (IPS) is a software system, which is used to detect threats that occur in a network or network system as an action of data protection that is in

Pada maltosa, ikatan glikosidik terjadi pada atom C-1’ dari satu glukosa dengan atom C-4 dari glukosa yang lain, sehingga ikatannya disebut. ikatan glikosidik-

(2011) Hubungan Antara Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Dengan Status Gizi Balita Pada Rumah Tangga di Daerah Rawan Pangan Kabupaten Indramayu.. Universitas