BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap daerah di Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang turut memperkaya
khazanah budaya bangsa. Di dalam konteks Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau salah
satu wilayah yang menyumbang bagi keanekaragaman tersebut adalah kepulauan Maluku.
Wilayah yang pernah mengalami konflik di tahun 1999-2002 ini dihuni oleh beragam suku
dengan keunikan budayanya yang berpotensi bagi kerukunan antar masyarakat. Dinamika
konflik sosial yang pernah terjadi di Maluku menyebabkan masyarakat suku atau desa yang
semula hidup berdampingan dan saling menolong berubah menjadi saling curiga dan saling
bertikai. Sebagai upaya menciptakan kembali kerukunan dan kedamaian pascakonflik,
banyak kalangan mulai berbicara tentang bagaimana budaya-budaya di Maluku dapat
menjadi media integrasi sosial.1 Budaya dianggap sebagai alat yang paling efektif dalam
merajut kembali solidaritas sosial masyarakat Maluku. Sayangnya, penelitian-penelitian yang
dilakukan selama ini banyak berbicara soal pela-gandong2dan hukum larvul ngabal,3budaya
moritari sendiri belum disentuh oleh para peneliti dalam membahas integrasi masyarakat di Maluku.
Budaya moritari merupakan budaya hidup bersama dengan rukun dalam bingkai kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Teon-Nila-Serua (TNS), Kabupaten Maluku
1
Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku (Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2011). Eklevina Pattinama, Integrasi Baru Di Pulau Saparua (Dis.Doktor: Antropologi, Universitas Indonesia, 2009).
2
Pela adalah ikatan persaudaraan lintas agama antara dua desa atau lebih berdasar atas perjanjian yang dibuat oleh nenek moyang/leluhur. Pascakonflik Maluku budaya pela dimanfaatkan sebagai unsur penting bagi penyelesaian konflik. Rachel Iwamony, The Reconciliatory Potential of The Pela In The Moluccas; A Disertation (Ph.D Diss.:Vrije Universiteit, Amsterdam, 2010), 61-165.
3
2 Tengah, Provinsi Maluku. Istilah moritari sering dipadukan dengan istilah solilakta, sehingga masyarakat TNS juga mengenal budaya ini dengan sebutan moritari-solilakta.4 Secara etimologis istilah moritari berasal dari bahasa setempat mori yang berarti hidup atau kehidupan, tari yang berarti cara atau daya upaya. Moritari adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan daya upaya atau cara hidup. Sedangkan solilakta berasal dari kata soli
yang berarti sikap atau perilaku, dan lakta yang berarti langkah. Jadi Solilakta adalah sikap/perilaku/langkah hidup seseorang. Dua istilah ini saling berkaitan satu dengan lainnya.
Jika moritari adalah suatu konsep pola hidup bersama dalam masyarakat, maka solilakta
merupakan bentuk konkret dari pola hidup tersebut.
Pentingnya moritari bagi masyarakat TNS menyebabkan budaya ini telah menyatu dalam berbagai aktivitas masyarakat. Misalnya, dalam aktivitas yang berkaitan dengan
keadaan dukacita seperti kematian maupun yang berkaitan dengan keadaan sukacita seperti
upacara perkawinan adat, upacara pelantikan kepala klan (kepala soa/mata rumah),5upacara pelantikan raja dan perangkat pemerintahan desa (saniri negeri), syukuran (sidi gereja, baptisan, hari ulang tahun), pembangunan rumah tinggal, pembangunan tempat ibadah,
pembangunan infrastruktur desa, dan pembukaan lahan pertanian baru. Biasanya,
aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan antusias oleh masyarakat setempat secara gotong-royong.
Anggota masyarakat setempat bahkan rela menyumbangkan tenaga maupun materi dalam
jumlah besar demi berlangsungnya aktivitas-aktivitas ini.
Umumnya masyarakat TNS sebagai pemangku budaya moritari merupakan komunitas yang berasal dari Pulau Teon, Nila, dan Serua yaitu tiga pulau kecil yang letaknya
berdekatan dengan Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sejak
4
Penggunaan istilah solilakta yang sering dipadukan dengan istilah moritari (moritari-solilakta) identik dengan masyarakat Pulau Serua, Kecamatan TNS. Secara khusus pemakaian istilah moritari lebih dikenal oleh masyarakat Pulau Nila termasuk masyarakat Wotay. Bagi masyarakat setempat istilah moritari tidak hanya mengandung konsep hidup, tetapi sekaligus menegaskan perwujudan dari konsep hidup tersebut. Secara umum masyarakat Kecamatan TNS juga mengenal budaya ini dengan sebutan moritari.
5
3 terjadinya bencana alam yang menimpa daerah ini di tahun 1968, penduduk asli TNS
dievakuasi oleh pemerintah dari Pulau Teon, Nila, dan Serua, menuju lokasi penampungan
sementara milik pemerintah yang berada di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sepuluh tahun pascabencana tepatnya di tahun 1978
masyarakat TNS akhirnya menetap di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi
Maluku yang merupakan Kecamatan TNS sekarang.
Meskipun komunitas masyarakat TNS telah bermukim di wilayah yang baru namun
falsafah hidup moritari masih tetap dipegang. Menurut Soerjono Soekanto masyarakat senantiasa mengalami perubahan baik secara cepat dan berpengaruh luas, maupun lambat dan
pengaruhnya terbatas. Perubahan-perubahan tersebut hanya akan dapat ditemukan jika
menelusuri susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan
membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang
lampau.6 Jika menelusuri kehidupan masyarakat TNS di tempat asal dan membandingkannya
dengan kehidupan masyarakat setempat di lokasi pemukiman baru, maka akan ditemukan
adanya perubahan dalam berbagai bidang hidup komunitas tersebut. Salah satu perubahan
nyata dapat dijumpai di bidang pendidikan. Sebelum berdomisili di Kecamatan TNS
sekarang, masyarakat TNS kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan. Kondisi ini
disebabkan oleh belum tersedianya fasilitas pendidikan di daerah tiga pulau tersebut,
sehingga untuk mengakses layanan pendidikan di berbagai tingkatan masyarakat setempat
harus berlayar menggunakan kapal laut ke Pulau Banda maupun Pulau Ambon. Baru setelah
pindah ke Pulau Seram, masyarakat TNS dengan mudah dapat memperoleh layanan
pendidikan di berbagai tingkatan sebab telah tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.
Lebih lanjut, sosiolog Robert H. Lauer mengemukakan bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat dapat juga mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
6
4 pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang, serta interaksi sosial.7 Pernyataan ini dapat mengarah
pada perubahan pemahaman masyarakat TNS tentang norma dan nilai, khususnya norma dan
nilai yang terkandung dalam budaya moritari akibat perubahan sosial masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan awal penulis, konsepsi tentang nilai-nilai moritari memang masih dipegang teguh namun hanya pada generasi tua dalam komunitas masyarakat lokal
(tua-tua adat), sedangkan generasi muda sudah kurang memegang teguh nilai-nilai moritari. Beberapa faktor yang diduga kuat mempengaruhi situasi di atas terkait dengan perubahan
masyarakat TNS secara umum, diantaranya terjadi kontak dengan budaya pendatang lain
akibat perpindahan masyarakat dari TNS ke Pulau Seram, serta pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Selain itu, tidak diwariskannya nilai-nilai moritari dari generasi tua kepada generasi muda menyebabkan generasi muda kurang memiliki
pemahaman yang baik tentang budaya ini.
Di samping adanya kontak dengan kebudayaan lain serta kemajuan IPTEK seperti
yang telah dialami oleh komunitas masyarakat Wotay secara khusus, dan masyarakat TNS
secara umum, Soekanto mengemukakan bahwa indikasi terjadinya perubahan sosial juga
didorong oleh toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang, penduduk yang
heterogen, sikap masyarakat yang tradisionil, terdapat kepentingan-kepentingan yang
tertanam kuat (vested interest), rasa takut akan goyahnya kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, serta hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.8 Keterangan
tersebut memperlihatkan bahwa perubahan sosial selain memberikan dampak positif berupa
kemajuan IPTEK, sekaligus juga membawa dampak negatif bagi komunitas masyarakat lokal
karena dapat mengikis nilai-nilai budaya yang berfungsi menjaga ikatan sosial masyarakat
penganutnya. Situasi ini menjadi ancaman bagi komunitas masyarakat Wotay sebagai
7
Robert H.Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial; Edisi Kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 5.
8
5 pemegang budaya moritari, karena dapat menyebabkan lunturnya nilai-nilai persekutuan dan kekeluargaan yang terkandung di dalam budaya tersebut.
Persekutuan hidup kekeluargaan yang terkandung di dalam budaya moritari menjadi penanda relasi antar anggota masyarakat, antar kerabat, antar soa/mata rumah, maupun antar desa. Budaya moritari sangat penting bagi masyarakat TNS sebab merupakan landasan untuk mengintegrasikan masyarakat setempat dalam situasi hidup yang harmonis dan mencegah
terjadinya konflik. Dengan kata lain, kedudukan moritari bagi kehidupan masyarakat setempat dapat dipandang sebagai pranata yaitu sistem pola-pola resmi yang dianut oleh
warga masyarakat untuk berintegrasi, suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian
tindakan berpola mantap guna memenuhi keperluan yang khusus dalam kehidupan
masyarakat.9
Salah satu desa yang mendapat sorotan khusus dalam penulisan ini adalah desa
Wotay.10 Di samping masih memegang teguh nilai-nilai moritari yang nyata dari tingginya partisipasi masyarakat terhadap berbagai aktivitas moritari,11masyarakat Wotay juga sangat terbuka terhadap keberadaan para pendatang dalam berbagai aktivitas tersebut.12 Meskipun
begitu, segregasi dan konflik tidak dapat dihindari oleh komunitas ini. Sudah menjadi
keharusan bahwa aktivitas hidup masyarakat Wotay yang dilakukan atas dasar moritari
9
Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta, Dasar-dasar Sosiologi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 69.
10Masyarakat adat Wotay terhimpun dalam dua kelompok klan (kelompok soa/matarumah) yaitu
ataru ah Fotayte ’ a dan ataru ah Sereral’ a. Nama Fotayte ’ a berasal dari bahasa Wotay, fotay yang
artinya Wotay, dan te ’ a yang artinya orang yang pertama tinggal. Fotayte ’ a dapat diartikan dengan orang yang pertama tinggal di Wotay, dalam hal ini merujuk pada marga Karesina sebagai tuan tanah di Wotay. Sedangkan nama Sereral’ a berasal dari bahasa setempat syere’ yang artinya masuk, dan ralna yang artinya keluar. Sereral’ a diartikan sebagai orang yang masuk dan keluar. Pengertian ini berkaitan dengan sistem perkawinan antar soa/matarumah di Wotay. Dua matarumah ini lahir dari persahabatan antara leluhur marga Karesina dengan leluhur marga Purmiasa yakni dua marga besar yang ada di Wotay, sekaligus membentuk
soa/ ataru ah Fotayte ’ a dan Sereral ’a. Marga-marga lainnya lalu terintegrasi ke dalam kedua mata
rumah ini berdasarkan ketentuan adat.
11
Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat masyarakat Wotay, Th. Lewaney pada Sabtu, 09 April 2016, diketahui bahwa tingginya partisipasi masyarakat Wotay terhadap aktivitas yang berdasar atas budaya
moritari tampak dalam upacara/pesta perkawinan adat. Meskipun begitu aktivitas lainnya yang berdasar atas
moritari masih tetap berjalan dengan baik.
12
6 berjalan secara damai. Namun seringkali aktivitas tersebut justru memicu konflik dan
perpecahan. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi beraneka ragam diantaranya perselisihan
pendapat saat berlangsungnya pertemuan-pertemuan adat (misalnya dalam pemilihan kepala
desa/raja negeri), maupun perkelahian antar warga yang seringkali memakan korban
luka-luka (misalnya dalam pesta-pesta adat dan dalam proses pembangunan rumah). Akibatnya
hubungan kekeluargaan yang terjalin antar anggota masyarakat seringkali renggang dan tidak
harmonis lagi. Jika tidak diatasi, maka situasi-situasi tersebut dapat menghambat terciptanya
integrasi masyarakat Wotay yang telah terbina sejak dulu di bawah naungan moritari.
Menurut William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff integrasi sosial adalah sebuah
proses di mana individu-individu atau kelompok-kelompok yang dahulunya tidak sama
menjadi dikenal dalam pembangunan dan cara berpikir. Lebih lanjut Astrid Susanto
menegaskan bahwa proses integrasi bukanlah sebuah proses yang berjalan cepat karena
berhubungan juga dengan proses mental meliputi penyesuaian-penyesuaian karakter secara
individual-komunal yang mencakup berbagai gejolak emosional dan sikap dari individu atau
kelompok tersebut.13 Integrasi sebagai salah satu proses dan hasil kehidupan sosial
merupakan alat yang bertujuan untuk mewujudkan suatu keadaan budaya yang homogen,
yang mana jika homogenitas itu tercapai, maka akan menjamin keberlangsungan hidup
kelompok tersebut. Proses integrasi dinyatakan berhasil apabila anggota masyarakat merasa
telah mengisi kebutuhan satu sama lain sehingga tercapailah semacam konsensus mengenai
norma-norma dan nilai sosial bersama.14
Dalam kaitan dengan integrasi sosial masyarakat, Emile Durkheim memahami
masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling bergantung melalui
penggunaan metafora organik yang ditujukan bagi ide masa lalu, dan metafora mekanik yang
13
Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta: Binacipta, 1983), 104-105.
7 ditujukan bagi modernisasi.15 Menurut Durkheim kumpulan mekanik merupakan
satu-satunya kehidupan kolektif yang dihasilkan bukan dari spontanitas internal melainkan dari
dorongan eksternal, dan secara objektif terdapat di dalam masyarakat kontemporer yang
beraktivitas secara kolektif; sedangkan solidaritas organik dimaksudkan untuk menandakan
ciri khas internal, fungsi yang saling bergantung, dan mengorganisasikan masyarakat industri
yang ditandai oleh meningkatnya perbedaan peran, pekerjaan, strata, dan cara hidup.16
Lebih lanjut, Durkheim memberikan pembedaan antara solidaritas mekanik yang
ditemukan dalam masyarakat kurang maju dengan solidaritas organik yang ditemukan dalam
masyarakat maju. Dalam masyarakat di mana solidaritas mekanik berlaku, struktur
masyarakat berdasar pada klan lalu meluas pada daerah teritorial, rantai sosial relatif lemah,
volume populasi relatif rendah, moral dan material relatif rendah, kesadaran kelompok tinggi,
otoritas kolektif bersifat absolut, dan mementingkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Sedangkan dalam masyarakat di mana solidaritas organik berlaku struktur masyarakat
terorganisir, rantai sosial relatif kuat, volume populasi relatif tinggi, moral dan material
relatif tinggi, kesadaran kolektif rendah, memberikan banyak ruang bagi inisiasi dan refleksi
individu, serta memiliki orientasi yang semakin sekuler.17
Merujuk pada pandangan Durkheim di atas, dapat dikatakan bahwa individu dalam
hubungannya dengan masyarakat memerlukan ikatan komunal untuk menyikapi berbagai
fenomena sosial. Menurut Daniel L. Pals, situasi tersebut memerlukan adanya solidaritas
sosial. Komunitas awal cenderung bersandar pada solidaritas mekanik di mana perilaku yang
baik diperoleh dengan memberikan hukuman yang sering keras kepada setiap orang yang
melanggar kode moral kelompok. Sedangkan dalam komunitas yang lebih modern komitmen
moral berkembang dengan cara lain dikarenakan adanya pembagian kerja. Komitmen moral
15
Emile Durkheim, The Division of Labor In Society, terj. W.D.Halls (New York: Free Press, 2014), 57-88.
16
Durkheim, The Divisio of Labor…, 57-88.
17
8 tidak dipengaruhi oleh ancaman hukuman tetapi dari kebutuhan yang dituntut oleh setiap
orang demi kerja orang lain. Di sini, penegakan hukum pasti bersifat internal. Suatu
kesalahan yang dilakukan oleh seseorang harus dilihat sebagai hal yang merusakkan orang
lain yang padanya seseorang itu bergantung.18 Masyarakat kuno juga memiliki hati nurani
kolektif yang di dalamnya ada kesepakatan serupa tentang yang benar dan yang salah.
Sebaliknya masyarakat modern ditandai dengan moral individualisme yang masih
membutuhkan suatu fondasi dasar moral umum, tetapi karena mengizinkan keanekaragaman
dan kebebasan individual yang lebih banyak maka hati nurani kolektif masyarakat kuno
terbatas hanya untuk beberapa perintah dan kewajiban.19
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan sosial masyarakat Wotay
berpengaruh bagi eksistensi masyarakat setempat. Menurut Tom Campbell, integrasi sosial
dapat dipengaruhi oleh adanya perubahan-perubahan sosial. Campbell berpendapat bahwa
perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat sederhana menjadi
masyarakat-masyarakat kompleks pada dasarnya adalah sebab-sebab material, yaitu
perbandingan populasi dengan wilayah yang pada gilirannya mengarah pada interaksi sadar
diri dan karenanya juga kepada pembagian kerja.20
Bertolak dari perspektif integrasi sosial seperti yang telah dipaparkan di atas, integrasi
masyarakat Wotay baiknya dipandang sebagai suatu upaya menyatukan berbagai perbedaan
masyarakat untuk mencapai kehidupan bersama yang damai dan harmonis. Apalagi di tengah
arus perubahan sosial masyarakat Wotay yang dapat mengancam integrasi masyarakat
setempat, diperlukan nilai dan norma yang dipegang bersama guna mewujudkan integrasi
sosial masyarakat. Dalam paradigma inilah moritari dapat berperan untuk menciptakan integrasi sosial masyarakat Wotay. Pentingnya moritari bagi masyarakat Wotay mendorong
18
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz (Yogyakarta: Qalam, 2001), 159-160.
19
Pals, Seve Theories of Religio …, 159-160.
20
9 penulis untuk mengetahui; 1. Bagaimana pemahaman masyarakat Wotay tentang moritari ?; 2. Apa makna moritari bagi masyarakat Wotay?; 3. Bagaimana fungsi dan peran moritari
bagi integrasi sosial masyarakat Wotay?
Oleh sebab itu, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat
Wotay tentang moritari, mendeskripsikan makna moritari bagi masyarakat Wotay, serta mengetahui fungsi dan peran moritari bagi integrasi sosial masyarakat Wotay. Sehingga penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi masyarakat Wotay berupa
pikiran-pikiran penting tentang moritari serta perannya bagi integrasi masyarakat sekitar. Sedangkan secara akademis penulisan ini diharapkan dapat berkontribusi bagi integrasi sosial
di Maluku berbasis pengembangan kebudayaan lokal, serta memperkaya literatur budaya bagi
program pascasarjana Magister Sosiologi Agama (MSA), Universitas Kristen Satya Wacana.
1.2. Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan
kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data yang
relevan dan diperoleh dari situasi yang alamiah.21 Melalui pendekatan kualitatif, penulis akan
mendeskripsikan situasi sosial masyarakat Wotay yang mempengaruhi pemaknaan terhadap
moritari.
Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
observasi yaitu cara untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks, dan maknanya
dalam upaya mengumpulkan data penelitian.22 Wawancara yaitu cara memperoleh informasi
yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab yang bersifat
21
Dja ’a Satori da Aa Ko ariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,2011), 25.
22Satori dan Aan Komariah, Metodologi Pe elitia …,
10 eksploratif.23 Sumber data penelitian berasal dari narasumber yang dapat memberikan
informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu tokoh-tokoh adat, pemerintah
desa/negeri yang terdiri dari kepala desa (raja negeri) dan jajaran staf pemerintahan negeri
(saniri negeri), tokoh pemuda, serta masyarakat umum baik itu masyarakat asli Wotay maupun masyarakat pendatang yang telah menetap di Desa Wotay. Di samping itu, informasi
tentang moritari dapat digali melalui sumber tertulis yang meliputi sejarah desa, sejarah lahirnya moritari, serta berbagai mitos yang terkait dengan moritari.
Mengingat luasnya cakupan wilayah Kecamatan TNS yang terdiri dari 17 desa, lokasi
penelitian akan difokuskan di Desa Wotay. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa Desa Wotay merupakan komunitas adat dalam wilayah Kecamatan TNS
yang masih sangat kuat memegang nilai-nilai moritari namun tidak terhindar dari persoalan yang dapat mengancam integrasi sosial masyarakat setempat.
1.3. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab:
Bab I. Pendahuluan. Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, signifikansi/manfaat penulisan, metodologi penelitian yang terdiri dari jenis
penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, lokasi penelitian, serta sistematika
penulisan.
Bab II. Integrasi sosial dan perubahan sosial. Di dalamnya menjelaskan teori integrasi
sosial yang terdiri dari definisi integrasi sosial, integrasi dan konflik sebagai gejala sosial,
fase-fase terciptanya integrasi sosial, solidaritas dalam rangka menciptakan integrasi sosial,
integrasi sosial menurut Emile Durkheim. Teori perubahan sosial yang terdiri dari perubahan
23Satori dan Aan Komariah, Metodologi Pe elitia …,
11 sosial; pengertian dan bentuk, perubahan sosial masyarakat desa, serta pengaruh perubahan
sosial terhadap integrasi sosial.
Bab III. Moritari: Pola hidup masyarakat Wotay tetap bertahan di tengah arus perubahan. Di dalamnya mendeskripsikan tentang profil makro masyarakat Wotay yang
terdiri dari asal mula terbentuknya masyarakat Wotay, letak geografis Desa Wotay, sistem
pemerintahan, mata pencaharian penduduk, sistem kekerabatan, dan sistem kepercayaan.
Moritari: cermin hidup masyarakat Wotay yang terdiri dari pengertian moritari, munculnya
moritari, bentuk-bentuk moritari, dinamika pelaksanaan moritari, nilai-nilai penting moritari.
Moritari: perjumpaan dengan Injil, dan perubahan sosial masyarakat Wotay.
Bab IV. Integrasi sosial masyarakat Wotay. Bab ini akan membahas tentang moritari:
pemaknaannya bagi masyarakat Wotay, moritari: tantangan integrasi sosial masyarakat Wotay.
BAB V. Kesimpulan. Bagian ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan