• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Moritari bagi Integrasi Sosial Masyarakat Wotay Kecamatan Teon-Nila-Serua (TNS) T2 752015011 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Moritari bagi Integrasi Sosial Masyarakat Wotay Kecamatan Teon-Nila-Serua (TNS) T2 752015011 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap daerah di Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang turut memperkaya

khazanah budaya bangsa. Di dalam konteks Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau salah

satu wilayah yang menyumbang bagi keanekaragaman tersebut adalah kepulauan Maluku.

Wilayah yang pernah mengalami konflik di tahun 1999-2002 ini dihuni oleh beragam suku

dengan keunikan budayanya yang berpotensi bagi kerukunan antar masyarakat. Dinamika

konflik sosial yang pernah terjadi di Maluku menyebabkan masyarakat suku atau desa yang

semula hidup berdampingan dan saling menolong berubah menjadi saling curiga dan saling

bertikai. Sebagai upaya menciptakan kembali kerukunan dan kedamaian pascakonflik,

banyak kalangan mulai berbicara tentang bagaimana budaya-budaya di Maluku dapat

menjadi media integrasi sosial.1 Budaya dianggap sebagai alat yang paling efektif dalam

merajut kembali solidaritas sosial masyarakat Maluku. Sayangnya, penelitian-penelitian yang

dilakukan selama ini banyak berbicara soal pela-gandong2dan hukum larvul ngabal,3budaya

moritari sendiri belum disentuh oleh para peneliti dalam membahas integrasi masyarakat di Maluku.

Budaya moritari merupakan budaya hidup bersama dengan rukun dalam bingkai kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat Teon-Nila-Serua (TNS), Kabupaten Maluku

1

Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku (Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2011). Eklevina Pattinama, Integrasi Baru Di Pulau Saparua (Dis.Doktor: Antropologi, Universitas Indonesia, 2009).

2

Pela adalah ikatan persaudaraan lintas agama antara dua desa atau lebih berdasar atas perjanjian yang dibuat oleh nenek moyang/leluhur. Pascakonflik Maluku budaya pela dimanfaatkan sebagai unsur penting bagi penyelesaian konflik. Rachel Iwamony, The Reconciliatory Potential of The Pela In The Moluccas; A Disertation (Ph.D Diss.:Vrije Universiteit, Amsterdam, 2010), 61-165.

3

(2)

2 Tengah, Provinsi Maluku. Istilah moritari sering dipadukan dengan istilah solilakta, sehingga masyarakat TNS juga mengenal budaya ini dengan sebutan moritari-solilakta.4 Secara etimologis istilah moritari berasal dari bahasa setempat mori yang berarti hidup atau kehidupan, tari yang berarti cara atau daya upaya. Moritari adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan daya upaya atau cara hidup. Sedangkan solilakta berasal dari kata soli

yang berarti sikap atau perilaku, dan lakta yang berarti langkah. Jadi Solilakta adalah sikap/perilaku/langkah hidup seseorang. Dua istilah ini saling berkaitan satu dengan lainnya.

Jika moritari adalah suatu konsep pola hidup bersama dalam masyarakat, maka solilakta

merupakan bentuk konkret dari pola hidup tersebut.

Pentingnya moritari bagi masyarakat TNS menyebabkan budaya ini telah menyatu dalam berbagai aktivitas masyarakat. Misalnya, dalam aktivitas yang berkaitan dengan

keadaan dukacita seperti kematian maupun yang berkaitan dengan keadaan sukacita seperti

upacara perkawinan adat, upacara pelantikan kepala klan (kepala soa/mata rumah),5upacara pelantikan raja dan perangkat pemerintahan desa (saniri negeri), syukuran (sidi gereja, baptisan, hari ulang tahun), pembangunan rumah tinggal, pembangunan tempat ibadah,

pembangunan infrastruktur desa, dan pembukaan lahan pertanian baru. Biasanya,

aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan dengan antusias oleh masyarakat setempat secara gotong-royong.

Anggota masyarakat setempat bahkan rela menyumbangkan tenaga maupun materi dalam

jumlah besar demi berlangsungnya aktivitas-aktivitas ini.

Umumnya masyarakat TNS sebagai pemangku budaya moritari merupakan komunitas yang berasal dari Pulau Teon, Nila, dan Serua yaitu tiga pulau kecil yang letaknya

berdekatan dengan Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sejak

4

Penggunaan istilah solilakta yang sering dipadukan dengan istilah moritari (moritari-solilakta) identik dengan masyarakat Pulau Serua, Kecamatan TNS. Secara khusus pemakaian istilah moritari lebih dikenal oleh masyarakat Pulau Nila termasuk masyarakat Wotay. Bagi masyarakat setempat istilah moritari tidak hanya mengandung konsep hidup, tetapi sekaligus menegaskan perwujudan dari konsep hidup tersebut. Secara umum masyarakat Kecamatan TNS juga mengenal budaya ini dengan sebutan moritari.

5

(3)

3 terjadinya bencana alam yang menimpa daerah ini di tahun 1968, penduduk asli TNS

dievakuasi oleh pemerintah dari Pulau Teon, Nila, dan Serua, menuju lokasi penampungan

sementara milik pemerintah yang berada di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten

Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Sepuluh tahun pascabencana tepatnya di tahun 1978

masyarakat TNS akhirnya menetap di Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi

Maluku yang merupakan Kecamatan TNS sekarang.

Meskipun komunitas masyarakat TNS telah bermukim di wilayah yang baru namun

falsafah hidup moritari masih tetap dipegang. Menurut Soerjono Soekanto masyarakat senantiasa mengalami perubahan baik secara cepat dan berpengaruh luas, maupun lambat dan

pengaruhnya terbatas. Perubahan-perubahan tersebut hanya akan dapat ditemukan jika

menelusuri susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan

membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang

lampau.6 Jika menelusuri kehidupan masyarakat TNS di tempat asal dan membandingkannya

dengan kehidupan masyarakat setempat di lokasi pemukiman baru, maka akan ditemukan

adanya perubahan dalam berbagai bidang hidup komunitas tersebut. Salah satu perubahan

nyata dapat dijumpai di bidang pendidikan. Sebelum berdomisili di Kecamatan TNS

sekarang, masyarakat TNS kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan. Kondisi ini

disebabkan oleh belum tersedianya fasilitas pendidikan di daerah tiga pulau tersebut,

sehingga untuk mengakses layanan pendidikan di berbagai tingkatan masyarakat setempat

harus berlayar menggunakan kapal laut ke Pulau Banda maupun Pulau Ambon. Baru setelah

pindah ke Pulau Seram, masyarakat TNS dengan mudah dapat memperoleh layanan

pendidikan di berbagai tingkatan sebab telah tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.

Lebih lanjut, sosiolog Robert H. Lauer mengemukakan bahwa perubahan-perubahan

yang terjadi di dalam masyarakat dapat juga mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,

6

(4)

4 pola-pola perikelakuan, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam

masyarakat, kekuasaan dan wewenang, serta interaksi sosial.7 Pernyataan ini dapat mengarah

pada perubahan pemahaman masyarakat TNS tentang norma dan nilai, khususnya norma dan

nilai yang terkandung dalam budaya moritari akibat perubahan sosial masyarakat setempat. Berdasarkan pengamatan awal penulis, konsepsi tentang nilai-nilai moritari memang masih dipegang teguh namun hanya pada generasi tua dalam komunitas masyarakat lokal

(tua-tua adat), sedangkan generasi muda sudah kurang memegang teguh nilai-nilai moritari. Beberapa faktor yang diduga kuat mempengaruhi situasi di atas terkait dengan perubahan

masyarakat TNS secara umum, diantaranya terjadi kontak dengan budaya pendatang lain

akibat perpindahan masyarakat dari TNS ke Pulau Seram, serta pengaruh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Selain itu, tidak diwariskannya nilai-nilai moritari dari generasi tua kepada generasi muda menyebabkan generasi muda kurang memiliki

pemahaman yang baik tentang budaya ini.

Di samping adanya kontak dengan kebudayaan lain serta kemajuan IPTEK seperti

yang telah dialami oleh komunitas masyarakat Wotay secara khusus, dan masyarakat TNS

secara umum, Soekanto mengemukakan bahwa indikasi terjadinya perubahan sosial juga

didorong oleh toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang, penduduk yang

heterogen, sikap masyarakat yang tradisionil, terdapat kepentingan-kepentingan yang

tertanam kuat (vested interest), rasa takut akan goyahnya kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, serta hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.8 Keterangan

tersebut memperlihatkan bahwa perubahan sosial selain memberikan dampak positif berupa

kemajuan IPTEK, sekaligus juga membawa dampak negatif bagi komunitas masyarakat lokal

karena dapat mengikis nilai-nilai budaya yang berfungsi menjaga ikatan sosial masyarakat

penganutnya. Situasi ini menjadi ancaman bagi komunitas masyarakat Wotay sebagai

7

Robert H.Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial; Edisi Kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 5.

8

(5)

5 pemegang budaya moritari, karena dapat menyebabkan lunturnya nilai-nilai persekutuan dan kekeluargaan yang terkandung di dalam budaya tersebut.

Persekutuan hidup kekeluargaan yang terkandung di dalam budaya moritari menjadi penanda relasi antar anggota masyarakat, antar kerabat, antar soa/mata rumah, maupun antar desa. Budaya moritari sangat penting bagi masyarakat TNS sebab merupakan landasan untuk mengintegrasikan masyarakat setempat dalam situasi hidup yang harmonis dan mencegah

terjadinya konflik. Dengan kata lain, kedudukan moritari bagi kehidupan masyarakat setempat dapat dipandang sebagai pranata yaitu sistem pola-pola resmi yang dianut oleh

warga masyarakat untuk berintegrasi, suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian

tindakan berpola mantap guna memenuhi keperluan yang khusus dalam kehidupan

masyarakat.9

Salah satu desa yang mendapat sorotan khusus dalam penulisan ini adalah desa

Wotay.10 Di samping masih memegang teguh nilai-nilai moritari yang nyata dari tingginya partisipasi masyarakat terhadap berbagai aktivitas moritari,11masyarakat Wotay juga sangat terbuka terhadap keberadaan para pendatang dalam berbagai aktivitas tersebut.12 Meskipun

begitu, segregasi dan konflik tidak dapat dihindari oleh komunitas ini. Sudah menjadi

keharusan bahwa aktivitas hidup masyarakat Wotay yang dilakukan atas dasar moritari

9

Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta, Dasar-dasar Sosiologi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 69.

10Masyarakat adat Wotay terhimpun dalam dua kelompok klan (kelompok soa/matarumah) yaitu

ataru ah Fotayte ’ a dan ataru ah Sereral’ a. Nama Fotayte ’ a berasal dari bahasa Wotay, fotay yang

artinya Wotay, dan te ’ a yang artinya orang yang pertama tinggal. Fotayte ’ a dapat diartikan dengan orang yang pertama tinggal di Wotay, dalam hal ini merujuk pada marga Karesina sebagai tuan tanah di Wotay. Sedangkan nama Sereral’ a berasal dari bahasa setempat syere’ yang artinya masuk, dan ralna yang artinya keluar. Sereral’ a diartikan sebagai orang yang masuk dan keluar. Pengertian ini berkaitan dengan sistem perkawinan antar soa/matarumah di Wotay. Dua matarumah ini lahir dari persahabatan antara leluhur marga Karesina dengan leluhur marga Purmiasa yakni dua marga besar yang ada di Wotay, sekaligus membentuk

soa/ ataru ah Fotayte ’ a dan Sereral ’a. Marga-marga lainnya lalu terintegrasi ke dalam kedua mata

rumah ini berdasarkan ketentuan adat.

11

Berdasarkan wawancara dengan tokoh adat masyarakat Wotay, Th. Lewaney pada Sabtu, 09 April 2016, diketahui bahwa tingginya partisipasi masyarakat Wotay terhadap aktivitas yang berdasar atas budaya

moritari tampak dalam upacara/pesta perkawinan adat. Meskipun begitu aktivitas lainnya yang berdasar atas

moritari masih tetap berjalan dengan baik.

12

(6)

6 berjalan secara damai. Namun seringkali aktivitas tersebut justru memicu konflik dan

perpecahan. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi beraneka ragam diantaranya perselisihan

pendapat saat berlangsungnya pertemuan-pertemuan adat (misalnya dalam pemilihan kepala

desa/raja negeri), maupun perkelahian antar warga yang seringkali memakan korban

luka-luka (misalnya dalam pesta-pesta adat dan dalam proses pembangunan rumah). Akibatnya

hubungan kekeluargaan yang terjalin antar anggota masyarakat seringkali renggang dan tidak

harmonis lagi. Jika tidak diatasi, maka situasi-situasi tersebut dapat menghambat terciptanya

integrasi masyarakat Wotay yang telah terbina sejak dulu di bawah naungan moritari.

Menurut William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff integrasi sosial adalah sebuah

proses di mana individu-individu atau kelompok-kelompok yang dahulunya tidak sama

menjadi dikenal dalam pembangunan dan cara berpikir. Lebih lanjut Astrid Susanto

menegaskan bahwa proses integrasi bukanlah sebuah proses yang berjalan cepat karena

berhubungan juga dengan proses mental meliputi penyesuaian-penyesuaian karakter secara

individual-komunal yang mencakup berbagai gejolak emosional dan sikap dari individu atau

kelompok tersebut.13 Integrasi sebagai salah satu proses dan hasil kehidupan sosial

merupakan alat yang bertujuan untuk mewujudkan suatu keadaan budaya yang homogen,

yang mana jika homogenitas itu tercapai, maka akan menjamin keberlangsungan hidup

kelompok tersebut. Proses integrasi dinyatakan berhasil apabila anggota masyarakat merasa

telah mengisi kebutuhan satu sama lain sehingga tercapailah semacam konsensus mengenai

norma-norma dan nilai sosial bersama.14

Dalam kaitan dengan integrasi sosial masyarakat, Emile Durkheim memahami

masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi dan saling bergantung melalui

penggunaan metafora organik yang ditujukan bagi ide masa lalu, dan metafora mekanik yang

13

Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Jakarta: Binacipta, 1983), 104-105.

(7)

7 ditujukan bagi modernisasi.15 Menurut Durkheim kumpulan mekanik merupakan

satu-satunya kehidupan kolektif yang dihasilkan bukan dari spontanitas internal melainkan dari

dorongan eksternal, dan secara objektif terdapat di dalam masyarakat kontemporer yang

beraktivitas secara kolektif; sedangkan solidaritas organik dimaksudkan untuk menandakan

ciri khas internal, fungsi yang saling bergantung, dan mengorganisasikan masyarakat industri

yang ditandai oleh meningkatnya perbedaan peran, pekerjaan, strata, dan cara hidup.16

Lebih lanjut, Durkheim memberikan pembedaan antara solidaritas mekanik yang

ditemukan dalam masyarakat kurang maju dengan solidaritas organik yang ditemukan dalam

masyarakat maju. Dalam masyarakat di mana solidaritas mekanik berlaku, struktur

masyarakat berdasar pada klan lalu meluas pada daerah teritorial, rantai sosial relatif lemah,

volume populasi relatif rendah, moral dan material relatif rendah, kesadaran kelompok tinggi,

otoritas kolektif bersifat absolut, dan mementingkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Sedangkan dalam masyarakat di mana solidaritas organik berlaku struktur masyarakat

terorganisir, rantai sosial relatif kuat, volume populasi relatif tinggi, moral dan material

relatif tinggi, kesadaran kolektif rendah, memberikan banyak ruang bagi inisiasi dan refleksi

individu, serta memiliki orientasi yang semakin sekuler.17

Merujuk pada pandangan Durkheim di atas, dapat dikatakan bahwa individu dalam

hubungannya dengan masyarakat memerlukan ikatan komunal untuk menyikapi berbagai

fenomena sosial. Menurut Daniel L. Pals, situasi tersebut memerlukan adanya solidaritas

sosial. Komunitas awal cenderung bersandar pada solidaritas mekanik di mana perilaku yang

baik diperoleh dengan memberikan hukuman yang sering keras kepada setiap orang yang

melanggar kode moral kelompok. Sedangkan dalam komunitas yang lebih modern komitmen

moral berkembang dengan cara lain dikarenakan adanya pembagian kerja. Komitmen moral

15

Emile Durkheim, The Division of Labor In Society, terj. W.D.Halls (New York: Free Press, 2014), 57-88.

16

Durkheim, The Divisio of Labor…, 57-88.

17

(8)

8 tidak dipengaruhi oleh ancaman hukuman tetapi dari kebutuhan yang dituntut oleh setiap

orang demi kerja orang lain. Di sini, penegakan hukum pasti bersifat internal. Suatu

kesalahan yang dilakukan oleh seseorang harus dilihat sebagai hal yang merusakkan orang

lain yang padanya seseorang itu bergantung.18 Masyarakat kuno juga memiliki hati nurani

kolektif yang di dalamnya ada kesepakatan serupa tentang yang benar dan yang salah.

Sebaliknya masyarakat modern ditandai dengan moral individualisme yang masih

membutuhkan suatu fondasi dasar moral umum, tetapi karena mengizinkan keanekaragaman

dan kebebasan individual yang lebih banyak maka hati nurani kolektif masyarakat kuno

terbatas hanya untuk beberapa perintah dan kewajiban.19

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, perubahan sosial masyarakat Wotay

berpengaruh bagi eksistensi masyarakat setempat. Menurut Tom Campbell, integrasi sosial

dapat dipengaruhi oleh adanya perubahan-perubahan sosial. Campbell berpendapat bahwa

perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat sederhana menjadi

masyarakat-masyarakat kompleks pada dasarnya adalah sebab-sebab material, yaitu

perbandingan populasi dengan wilayah yang pada gilirannya mengarah pada interaksi sadar

diri dan karenanya juga kepada pembagian kerja.20

Bertolak dari perspektif integrasi sosial seperti yang telah dipaparkan di atas, integrasi

masyarakat Wotay baiknya dipandang sebagai suatu upaya menyatukan berbagai perbedaan

masyarakat untuk mencapai kehidupan bersama yang damai dan harmonis. Apalagi di tengah

arus perubahan sosial masyarakat Wotay yang dapat mengancam integrasi masyarakat

setempat, diperlukan nilai dan norma yang dipegang bersama guna mewujudkan integrasi

sosial masyarakat. Dalam paradigma inilah moritari dapat berperan untuk menciptakan integrasi sosial masyarakat Wotay. Pentingnya moritari bagi masyarakat Wotay mendorong

18

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C. Geertz (Yogyakarta: Qalam, 2001), 159-160.

19

Pals, Seve Theories of Religio …, 159-160.

20

(9)

9 penulis untuk mengetahui; 1. Bagaimana pemahaman masyarakat Wotay tentang moritari ?; 2. Apa makna moritari bagi masyarakat Wotay?; 3. Bagaimana fungsi dan peran moritari

bagi integrasi sosial masyarakat Wotay?

Oleh sebab itu, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat

Wotay tentang moritari, mendeskripsikan makna moritari bagi masyarakat Wotay, serta mengetahui fungsi dan peran moritari bagi integrasi sosial masyarakat Wotay. Sehingga penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi masyarakat Wotay berupa

pikiran-pikiran penting tentang moritari serta perannya bagi integrasi masyarakat sekitar. Sedangkan secara akademis penulisan ini diharapkan dapat berkontribusi bagi integrasi sosial

di Maluku berbasis pengembangan kebudayaan lokal, serta memperkaya literatur budaya bagi

program pascasarjana Magister Sosiologi Agama (MSA), Universitas Kristen Satya Wacana.

1.2. Metodologi Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu

suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan

kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data yang

relevan dan diperoleh dari situasi yang alamiah.21 Melalui pendekatan kualitatif, penulis akan

mendeskripsikan situasi sosial masyarakat Wotay yang mempengaruhi pemaknaan terhadap

moritari.

Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

observasi yaitu cara untuk mengetahui keberadaan objek, situasi, konteks, dan maknanya

dalam upaya mengumpulkan data penelitian.22 Wawancara yaitu cara memperoleh informasi

yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab yang bersifat

21

Dja ’a Satori da Aa Ko ariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta,2011), 25.

22Satori dan Aan Komariah, Metodologi Pe elitia …,

(10)

10 eksploratif.23 Sumber data penelitian berasal dari narasumber yang dapat memberikan

informasi yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini yaitu tokoh-tokoh adat, pemerintah

desa/negeri yang terdiri dari kepala desa (raja negeri) dan jajaran staf pemerintahan negeri

(saniri negeri), tokoh pemuda, serta masyarakat umum baik itu masyarakat asli Wotay maupun masyarakat pendatang yang telah menetap di Desa Wotay. Di samping itu, informasi

tentang moritari dapat digali melalui sumber tertulis yang meliputi sejarah desa, sejarah lahirnya moritari, serta berbagai mitos yang terkait dengan moritari.

Mengingat luasnya cakupan wilayah Kecamatan TNS yang terdiri dari 17 desa, lokasi

penelitian akan difokuskan di Desa Wotay. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas

pertimbangan bahwa Desa Wotay merupakan komunitas adat dalam wilayah Kecamatan TNS

yang masih sangat kuat memegang nilai-nilai moritari namun tidak terhindar dari persoalan yang dapat mengancam integrasi sosial masyarakat setempat.

1.3. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab:

Bab I. Pendahuluan. Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penulisan, signifikansi/manfaat penulisan, metodologi penelitian yang terdiri dari jenis

penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, lokasi penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab II. Integrasi sosial dan perubahan sosial. Di dalamnya menjelaskan teori integrasi

sosial yang terdiri dari definisi integrasi sosial, integrasi dan konflik sebagai gejala sosial,

fase-fase terciptanya integrasi sosial, solidaritas dalam rangka menciptakan integrasi sosial,

integrasi sosial menurut Emile Durkheim. Teori perubahan sosial yang terdiri dari perubahan

23Satori dan Aan Komariah, Metodologi Pe elitia …,

(11)

11 sosial; pengertian dan bentuk, perubahan sosial masyarakat desa, serta pengaruh perubahan

sosial terhadap integrasi sosial.

Bab III. Moritari: Pola hidup masyarakat Wotay tetap bertahan di tengah arus perubahan. Di dalamnya mendeskripsikan tentang profil makro masyarakat Wotay yang

terdiri dari asal mula terbentuknya masyarakat Wotay, letak geografis Desa Wotay, sistem

pemerintahan, mata pencaharian penduduk, sistem kekerabatan, dan sistem kepercayaan.

Moritari: cermin hidup masyarakat Wotay yang terdiri dari pengertian moritari, munculnya

moritari, bentuk-bentuk moritari, dinamika pelaksanaan moritari, nilai-nilai penting moritari.

Moritari: perjumpaan dengan Injil, dan perubahan sosial masyarakat Wotay.

Bab IV. Integrasi sosial masyarakat Wotay. Bab ini akan membahas tentang moritari:

pemaknaannya bagi masyarakat Wotay, moritari: tantangan integrasi sosial masyarakat Wotay.

BAB V. Kesimpulan. Bagian ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan Politik Perempuan Indonesia _ 119 privasi - Hak untuk Bergama menurut keyakinan masing- masing - Hak untuk menyatakan pendapat - Hak untuk berkumpul dan

Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas,

Dan orang-orang yang memberikan apa yang t elah mereka berikan, dengan hat i yang t akut , (karena mereka t ahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka..

Dimensi kemudahan perbaikan ( Serviceability ), meliputi kecepatan, kemudahan, serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang diberikan tidak terbatas hanya

The biggest acoustic problem in Masjid Nurul Iman is the reflecting area and the dome ceiling that has caused the very huge reflected sound, especially inside the dome

Negeri Sumatera Utara Medan, maka penulis menyusun skripsi ini dengan judul “ PENGARUH KEPERCAYAAN, RELIGIUSITAS DAN PENDAPATAN TERHADAP RENDAHNYA MINAT MASYARAKAT

Pertama , perencanaan pembelajaran sejarah di SKB Sukoharjo cukup baik dengan melalui tahap awal yaitu In House Training yang diberikan kepada tutor atau pendidik untuk

Dalam suatu organisasi atau perusahaan analisis modal kerja adalah salah satu faktor penting dan salah satu faktor yang diperlukan perusahaan karena analisis