• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN KETEL SECARA BERTAHAP. Oleh Ika Puspa Sari F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN KETEL SECARA BERTAHAP. Oleh Ika Puspa Sari F"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN KETEL SECARA BERTAHAP

Oleh Ika Puspa Sari

F34103092

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KAJIAN PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN KETEL SECARA BERTAHAP

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh Ika Puspa Sari

F34103092

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN KETEL SECARA BERTAHAP

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh Ika Puspa Sari

F34103092

Dilahirkan pada 14 Juli 1985 di Lampung Tengah

Tanggal lulus : Februari 2008

Disetujui, Bogor, Februari 2008

(4)

IKA PUSPA SARI. F34103092. Kajian proses penyulingan minyak akar wangi dengan peningkatan tekanan ketel secara bertahap. Dibawah bimbingan Meika Syahbana Rusli dan Edy Mulyono. 2008

RINGKASAN

Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang diperoleh melalui proses penyulingan, dan merupakan salah satu bahan baku parfum paling penting. Minyak akar wangi baik untuk campuran minyak atsiri lain terutama dengan minyak cendana, nilam dan mawar. Sebagian besar tanaman akar wangi diusahakan di daerah Jawa Barat yang meliputi wilayah Garut, Sukabumi, Bandung, Sumedang dan Kuningan serta Jawa Tengah meliputi Wonosobo, dan Sumowono dan juga sedikit di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh peningkatan tekanan ketel secara bertahap terhadap kinerja proses penyulingan minyak akar wangi serta melihat pengaruh penjemuran dan perajangan bahan baku terhadap rendemen dan mutu minyak yang dihasilkan.

Rancangan perobaan yang digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan dengan masing-masing dua taraf. Pada perlakuan tersebut minyak dipisahkan menjadi 3 fraksi berdasarkan peningkatan tekanan yang dilakukan. Peningkatan tekanan dilakukan berdasarkan penurunan laju distilasi yang diukur setiap 0,5 jam. Perlakuan yang dilakukan sebelum proses penyulingan akar wangi tersebut adalah 6R (Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 6 jam dan dilakukan perajangan), 6TR (Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 6 jam, tanpa dilakukan perajangan), 12R (Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 12 jam dan dilakukan perajangan), dan 12TR (Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 12 jam, tanpa dilakukan perajangan).

Kadar air bahan yang digunakan berkisar antara 12 sampai 40 persen dengan kadar minyak 4 sampai 6 persen. Mutu minyak akar wangi hasil penyulingan pada umumnya masuk dalam rentang nilai mutu SNI yang ditetapkan. Rendemen minyak total yang diperoleh pada penyulingan minyak akar wangi berkisar antara 2,30 sampai 3 persen. Rendemen minyak paling besar diperoleh pada proses penyulingan dengan perlakuan penjemuran 6 jam dan dirajang. Rendemen minyak dengan perlakuan dirajang lebih tinggi daripada yang tidak rajang. Pada perlakuan penyulingan tidak dirajang rendemen minyak yang dihasilkan hampir sama. Sifat mutu minyak akar wangi yang berupa bobot jenis, indeks bias, bilangan asam maupun bilangan ester pada umumnya semakin meningkat dengan adanya kenaikan tekanan. Warna minyak yang dihasilkan semakin tua pada tekanan yang lebih tinggi, namun tidak mempengaruhi sifat kelarutan minyak dalam alkohol 95%.

Lama penjemuran dan perajangan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen, bobot jenis maupun bilangan ester minyak yang dihasilkan. Dari keempat perlakuan, proses yang menghasilkan rendemen cukup banyak dengan mutu yang lebih baik dibandingkan yang lain adalah perlakuan penjemuran 12 jam dan dirajang. Pada analisis mutu indeks bias dan bilangan asam, lama penjemuran memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan perajangan tidak

(5)

berpengaruh nyata terhadap keduanya. Minyak hasil penyulingan perlakuan penjemuran 6 jam relatif lebih jernih daripada minyak dengan perlakuan penjemuran selama 12 jam berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual. Hasil uji kelarutan dalam etanol 95% minyak akar wangi hasil penyulingan pada semua perlakuan baik pada fraksi minyak maupun minyak campurannya dapat larut dengan etanol 95% pada perbandingan 1:1, melarut dengan sempurna, jernih dan seterusnya juga jernih. Peningkatan uap secara bertahap tidak merusak mutu dari minyak yang dihasilkan.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Kajian Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Peningkatan Tekanan Ketel secara Bertahap, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc, staf pengajar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian sebagai dosen pembimbing akademik.

2. Ir. Edy Mulyono, MS, staf peneliti pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian sebagai pembimbing kedua.

3. Seluruh karyawan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen terutama Bapak Adom dan Kak Dani.

4. Kak Hari dan rekan-rekan TIN 40 serta rekan Satelit 1 yang telah memberikan bantuan dan motivasinya.

5. Yulia, Wida, Mbak Icha, A’ Ade atas bantuan dan dukungannya.

6. Semua pihak lain yang turut membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bogor, Februari 2008 Penulis

(7)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN ... 1 A. LATAR BELAKANG ... 1 B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. TANAMAN AKAR WANGI ... 3

B. MINYAK AKAR WANGI ... 4

C. KOMPOSISI DAN FISIKO KIMIA MINYAK ... 7

D. PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN... 16

A. BAHAN DAN ALAT ... 16

B. TAHAPAN PENELITIAN... 18

1. Penelitian Pendahuluan ... 18

2. Penelitian Utama ... 18

C. RANCANGAN PERCOBAAN ... 19

D. PROSEDUR PERCOBAAN... 20

E. PARAMETER YANG DIUKUR ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU ... 23

B. KINERJA PROSES ... 25

1. Rendemen... 25

2. Laju Destilat... 28

3. Suhu Destilat... 29

(8)

2. Bobot Jenis ... 32

3. Indeks Bias ... 35

4. Bilangan Asam ... 37

5. Bilangan Ester ... 42

6. Kelarutan dalam Alkohol 95%... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 44

A. KESIMPULAN ... 44

B. SARAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Luas Lahan Budi Daya Akar Wangi di Kabupaten Garut ... 4 Tabel 2. Standar Nasional Indonesia Akar Wangi (SNI 06-2386-1991) ... 7 Tabel 3. Perkembangan Nilai Ekspor-Impor Minyak Akar Wangi Indonesia 11 Tabel 4. Kadar Air dan Kadar Minyak Akar Wangi... 24 Tabel 5. Kelarutan Minyak Akar Wangi dalam Alkohol 95%... 43

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Akar Wangi ... 16

Gambar 2. Rangkaian Peralatan Penyulingan Sistem Kukus... 17

Gambar 3. Diagram Alir Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi... 21

Gambar 4. Neraca massa proses penjemuran bahan baku... 24

Gambar 5. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Rendemen... 25

Gambar 6. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Volume Minyak per Tekanan... 27

Gambar 7. Grafik Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Laju Destilat... 29

Gambar 8. Grafik Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Suhu Destilat... 30

Gambar 9. Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan ... 32

Gambar 10. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Bobot Jenis Minyak Campuran... 34

Gambar 11. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Bobot Jenis Minyak per Tekanan... 34

Gambar 12. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Indeks Bias Minyak Campuran... 36

Gambar 13. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Indeks Bias Minyak per Tekanan... 37

Gambar 14. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Bilangan Asam Minyak Campuran... 39

Gambar 15. Histogram Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan terhadap Bilangan Asam Minyak per Tekanan... 39

Gambar 16. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Bilangan Ester Minyak Campuran... 41

Gambar 17. Histogram Hubungan Lama Penjemuran dan Perajangan terhadap Bilangan Ester Minyak per Tekanan... 42

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Analisis Mutu Minyak Akar Wangi... 48 Lampiran 2. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan

terhadap Rendemen... 52 Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan

terhadap Bobot Jenis... 52 Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan

terhadap Indeks Bias... 52 Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan

terhadap Bilangan Asam... 53 Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Penjemuran dan Pengeringan

(12)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Minyak akar wangi merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang telah menjadi komoditas ekspor Indonesia. Bagian tanaman yang digunakan sebagai penghasil minyak adalah akar dari tanaman Vetiver zizanioides STAPF. Minyak akar wangi asal Indonesia di pasar dunia dikenal dengan nama java vetiver oil, selain memiliki aroma yang halus juga berfungsi sebagai pengikat aroma karena daya fiksasinya yang kuat, sehingga banyak digunakan dalam berbagai industri wangi-wangian seperti parfum, deodoran, lotion, dan sabun (Guenther, 1985). Setiap tahunnya, perdagangan minyak akar wangi dunia diperkirakan mencapai 250 ton dengan Haiti, Indonesia (Jawa), China, India, Brazil, Reunion yang menjadi produsen-produsen utama, dan AS, Eropa, India, dan Jepang menjadi konsumennya. Di Indonesia, tanaman akar wangi pada umumnya masih diusahakan oleh petani dalam bentuk usaha berskala kecil (Anon., 1987; Rusli et al., 1985).

Dibandingkan dengan minyak akar wangi dari negara lain, minyak akar wangi Indonesia memiliki rendemen dan mutu yang lebih rendah. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah waktu penyulingan yang relatif lama. Pada umumnya produsen minyak akar wangi di Kabupaten Garut melakukan penyulingan dalam waktu cukup lama (12-14 jam). Hal ini menunjukkan proses penyulingan dan peralatan yang digunakan kurang efisien. Proses semacam ini berdampak pada pemakaian energi yang besar dan biaya produksi menjadi semakin mahal. Meningkatnya harga bahan bakar minyak disertai tekanan harga minyak akar wangi Indonesia di pasar dunia, berdampak pada rendahnya harga minyak akar wangi dalam negeri sehingga pengusahaan akar wangi menjadi kurang menarik.

Faktor penyebab lain diduga akibat proses penyulingan yang tidak berdasarkan standar mutu yang ditetapkan, seperti penggunaan tekanan tinggi. Minyak akar wangi sebagian besar dihasilkan oleh produsen dengan teknologi yang masih bersifat tradisional sehingga kontinuitas, rendemen, dan mutu minyak yang konsisten tidak terpenuhi. Rendahnya mutu minyak yang dihasilkan oleh

(13)

produsen minyak akar wangi di Garut dicerminkan oleh bau gosong dan kadar vetiverol yang rendah (< 50%) hal ini dimungkinkan karena proses penyulingan yang digunakan belum tepat. Untuk meningkatkan pengembangan produk pengolahan minyak atsiri menurut Dereinda et al., (1992) diperlukan : (a) peningkatan teknologi; (b) rekayasa proses pengolahan; dan (c) membuat rancang bangun alat yang tepat. Rekayasa proses penyulingan minyak akar wangi dapat dilakukan melalui penyulingan dengan peningkatan tekanan secara bertahap. Dengan menerapkan sistem ini diharapkan dapat diperoleh minyak akar wangi sesuai standar mutu internasional, rendemen yang tinggi serta proses penyulingan yang lebih efektif.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari pengaruh peningkatan tekanan ketel secara bertahap terhadap kinerja proses penyulingan minyak akar wangi.

2. Melihat pengaruh penjemuran dan perajangan bahan baku terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi skala laboratorium.

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAMAN AKAR AWANGI

Tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides STAPF) ditemukan secara liar, setengah liar dan sengaja ditanam di berbagai negara beriklim tropis dan subtropis. Tanaman akar wangi termasuk keluarga Graminae, berumpun lebat, akar tinggal bercabang banyak dan berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai merah tua. Rumpun tanaman akar wangi terdiri atas beberapa anak rumpun yang nantinya dapat dijadikan bibit (Santoso, 1993). Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan, yang mengandung minyak atsiri berwujud kental dengan bau halus dan tahan lama (Ketaren, 1985). Menurut Heyne (1987), hanya bagian akar yang mengandung minyak sedangkan batang, daun dan bagian lain tidak mengandung minyak. Akar yang menghasilkan minyak dengan mutu yang baik dipanen pada umur 22 bulan dan rendemen akar yang diperoleh 190 gram per rumpun.

Di Indonesia, sebagian besar tanaman akar wangi dibudidayakan di daerah Jawa Barat yang meliputi wilayah Garut, Sukabumi, Bandung, Sumedang dan Kuningan serta Jawa Tengah meliputi Wonosobo, dan Sumowono dan juga sedikit di Sumatera Utara (Rusli et al., 1985). Daerah yang tercatat sebagai sentra produksi utama adalah Kabupaten Garut, dimana hampir 90% produksi minyak akar wangi nasional dihasilkan berasal dari daerah ini (Santoso, 1993). Budi daya Akar wangi di Kabupaten Garut didasarkan pada keputusan Bupati Kabupaten Garut Nomor : 520/SK.196-HUK/96 tanggal 6 Agustus 1996. Keputusan tersebut menetapkan luas areal perkebunan akar wangi dan pengembangannya oleh masyarakat seluas 2.400 ha dan tersebar di empat kecamatan. Luas areal pada masing-masing kecamatan yaitu kecamatan Samarang seluas 750 ha, Kecamatan Bayongbong seluas 210 ha, Kecamatan Cilawu seluas 240 ha, dan Kecamatan Leles seluas 750 ha. Selama tahun 2004 tercatat 2.400 ha luas garapan perkebunan akar wangi yang memproduksi minyak sebanyak 72 ton yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

(15)

Tabel 1. Luas Lahan Budi Daya Akar Wangi di Kabupaten Garut Kecamatan Ha Ton Cilawu 240,00 7,20 Bayongbong 210,00 6,30 Samarang 750,00 22,50 Pasirwangi 450,00 13,50 Leles 750,00 22,50 Jumlah 2.400,00 72,00

Sumber: Pemerintah Kabupaten Garut, 2007

B. MINYAK AKAR WANGI

Menurut Guenther (1972) minyak akar wangi merupakan salah satu ramuan (bahan baku) parfum paling mahal dan paling penting, yang banyak digunakan dalam parfum kosmetik dan sebagai pewangi sabun. Minyak ini penting artinya karena berbau tipe oriental yang kuat. Minyak ini dalam parfum menghasilkan bau keras yang menyenangkan dan tahan lama sekaligus berfungsi sebagai fiksatif alami. Tetapi jika pemakaiannya berlebihan mengakibatkan kesan bau woody. Minyak akar wangi baik untuk campuran minyak atsiri lain terutama dengan minyak cendana, nilam dan mawar. Minyak akar wangi untuk tujuan diperdagangkan dapat diekstrak dengan cara penyulingan bagian akar. Bagian akar mengandung minyak yang berbau wangi, karena itu akar tersebut sering juga digunakan untuk mengharumkan pakaian secara langsung (Ketaren, 1985).

Mutu maupun sifat-sifat fisiko-kimia minyak atsiri dipengaruhi oleh keadaan bahan (umur, keadaan kering atau segar) dan cara penyulingan yang dilakukan (penyulingan air, penyulingan air dan uap, serta penyulingan uap), tingkat perajangan bahan, jumlah bahan, lamanya penyulingan, besarnya tekanan yang dipakai, dan lain-lain (Guenther, 1947). Menurut Guenther (1950), mutu minyak akar wangi yang dihasilkan bergantung pada umur akar, dan lama penyulingan. Semakin tua akar (diatas 20 bulan) mutu minyak akan semakin baik. Jika semakin lama penyulingan (36 jam pada tekanan 1 atmosfer), minyak yang dihasilkan berwarna gelap lebih pekat, bobot jenis dan putaran optik yang tinggi. Minyak ini berbau lebih sempurna, tahan lama dan bermutu lebih baik dibanding minyak (light oil) yang dihasilkan dari akar yang muda dengan penyulingan lebih

(16)

singkat. Minyak akar wangi akan lebih tinggi mutunya setelah disimpan lama. Untuk minyak yang baru disuling biasanya berbau rumput (Somaatmadja, 1972).

Lama penyulingan dapat mempengaruhi nilai dan bau dari suatu komponen minyak. Komponen minyak yang menentukan nilai dan bau adalah komponen minyak dengan titik didih tinggi, yang hanya dapat disuling dengan waktu penyulingan yang cukup lama. Waktu penyulingan mempengaruhi kontak air atau uap air dengan bahan. Penyulingan yang lebih lama akan mengakibatkan banyak minyak dapat terbawa oleh uap (Rusli, 1974). Dengan mengalirkan sejumlah uap lewat panas (superheated steam) pada akhir proses penyulingan, maka waktu penyulingan dapat dipersingkat. Untuk menghasilkan minyak akar wangi bermutu tinggi, dapat juga dilakukan dengan cara menyimpan akar kering sebelum disuling. Proses penuaan (aging) minyak akar wangi, bertujuan untuk memperbaiki bau minyak, terutama untuk menghilangkan bau “green” (green odor). Khususnya minyak akar wangi Indonesia digolongkan dalam satu jenis mutu, dengan nama “Java vetiver oil” (Ketaren, 1985).

Minyak yang disuling dari akar muda (berumur sekitar satu tahun) mempunyai bobot jenis rendah, nilai putaran optik yang rendah (d. = +13˚ s/d +17˚) dan sukar larut dalam alkohol, serta sebagian besar terdiri dari terpene dan seskuiterpene. Akar yang telah tua (umur dua tahun atau lebih) menghasilkan minyak dengan bobot jenis lebih tinggi, putaran optik lebih tinggi (+19˚ s/d +23˚) dan bersifat lebih larut dalam alkohol, serta berbau lebih wangi (Ketaren, 1985). Mutu minyak akar wangi yang baik secara fisik ditandai oleh berat jenis, putaran optik, dan viskositas yang tinggi. Minyak akar wangi yang berkualitas baik secara sensorik ditunjukkan oleh penampakan warna minyak yang kuning jernih hingga coklat jernih, tidak berbau gosong, berbau lebih sempurna dan lebih tahan lama (Dianawati, 2001). Warna dalam minyak atsiri mendapat perhatian penting karena ada kecenderungan konsumen lebih menyukai minyak yang berwarna muda (light) (Ketaren, 1985). Umumnya minyak akar wangi berwarna coklat kuning sampai coklat tua kehitam-hitaman. Warna ini disamping bergantung pada umur tanaman dan lama penyimpanan akar, juga sangat dipengaruhi oleh bahan konstruksi alat penyuling, terutama pada bagian alat pendingin dan pemisah minyak (Rusli et al., 1990).

(17)

Mutu minyak yang baik secara kimia ditunjukkan oleh nilai bilangan ester dan bilangan ester setelah asetilasi yang tinggi. Bilangan ester sangat penting dalam penentuan mutu minyak akar wangi karena ester merupakan komponen yang berperan dalam menentukan aroma minyak. Semakin tinggi nilai bilangan ester setelah asetilasi maka mutu minyak akar wangi makin tinggi (Rohayati, 1997). Proses penyulingan yang tidak terkontrol, reaksi senyawa dalam minyak dengan ion logam, serta reaksi polimerisasi senyawa-senyawa penyusun minyak mengakibatkan warna minyak menjadi gelap, mengandung kotoran terlarut serta berbau gosong. Hal ini menjadi masalah utama yang menyebabkan rendahnya mutu minyak akar wangi. Beberapa proses yang dapat mengakibatkan perubahan sifat kimia minyak adalah proses hidrolisa, oksidasi, dan polimerisasi (resinifikasi) (Ketaren, 1985).

Kerusakan karena proses hidrolisa dapat terjadi dalam minyak atsiri, dimana senyawa ester yang terdapat dalam minyak akan terhidrolisa secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai katalisator. Asam organik hasil hidrolisa ester dan yang terdapat secara alamiah dalam minyak, dapat bereaksi dengan ion logam membentuk garam sehingga mengakibatkan minyak berubah warna menjadi gelap. Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpen. Peroksida sebagai hasil reaksi oksidasi, bersifat labil dan dapat berisomerisasi karena adanya air sehingga membentuk senyawa aldehid, dan asam organik yang menyebabkan perubahan bau ke arah yang tidak dikehendaki. Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin dan merupakan senyawa polimer. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan minyak yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi, serta selama penyimpanan. Resin yang terbentuk sukar larut dalam alkohol dan mengendap menjadi serpihan-serpihan dalam minyak sehingga mengakibatkan minyak keruh (Yanto, 2004).

Standar mutu minyak akar wangi dalam perdagangan internasional belum seragam, dan masing-masing negara penghasil dan pengimpor menentukan standar minyak akar wangi menurut kebutuhan sendiri. Standar mutu minyak akar wangi Indonesia ditentukan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 06-2386-1991) pada Tabel 2.

(18)

Tabel 2. Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2386-1991

Karakteristik Nilai

Bobot jenis pada 20˚C 0,9780-1,0380

Warna Kuning muda sampai coklat merah

Indeks bias pada 20˚C 1,5130-1,5280

Zat asing Negatif

Bilangan ester 5-25

Bilangan ester setelah asetilasi 100-125

Kelarutan (alkohol 95%) 1 : 1 jernih dan seterusnya

C. KOMPOSISI DAN SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK AKAR WANGI Komposisi kimia minyak akar wangi secara umum terdiri dari senyawa-senyawa kelompok terpen, seskuiterpen (vetiven) dan senyawa-senyawa hidrokarbon beroksigen yang terdiri dari vetiveron (vetivone), dan vetiverol (vetivenol) (Ketaren, 1985). Komponen utama minyak akar wangi adalah vetivone yang terdiri dari alpha dan beta vetivone, dan bau minyak akar wangi terutama disebabkan persenyawaan ini (keton). Rumus molekul dari vetivone adalah C15H22O, dengan berat molekul 218,33 (Guenther, 1972). Komponen penting

lainnya adalah vetiverol, senyawa ini sangat mempengaruhi bilangan ester setelah asetilasi dan menurut Moestafa (1988), peningkatan kadar vetiverol di dalam minyak akar wangi sekaligus meningkatkan mutu minyak akar wangi. Minyak akar wangi yang berkadar vetiverol rendah dapat ditingkatkan dengan deterpenasi cara penyulingan bertingkat. Guenther (1972) menyatakan bahwa rumus vetiverol adalah C15H24O dengan berat molekul 220,34.

Sifat fisiko kimia dari komponen-komponen minyak akar wangi adalah sebagai berikut :

a. Vetiven (Guenther, 1972) o Rumus bangun :

o Rumus molekul : C15H24

(19)

Senyawa ini terdiri dari seskuiterpen bisiklik dan trisiklik : o Senyawa bisiklik :

titik didih antara : 132-133 ˚C indeks bias pada suhu 15˚C : 1,5179

bobot jenis : 0,9339

o Senyawa trisiklik :

titik didih : 126-127 ˚C indeks bias pada suhu 15 ˚C : 1,5143

bobot jenis : 0,9372

b. Vetivone (Buchi, 1978)

o Stereoisomer : alpha dan beta vetivon o Berat molekul : 218

o Rumus molekul : C15H22O

c. Khusinol (Rao, 1963) o Merupakan terpen-O

o Bentuk kristalnya : seperti petroleum o Berat molekulnya : 220

o Rumus molekulnya : C15H24O

o Titik leleh : 87 ˚C

o Putaran optik pada 20 ˚C : -168,4˚ o Indeks bias pada suhu 25 ˚C : 1,4999

o Rumus bangun :

d. Eudesmol (Siregar, 1993)

o Senyawa ini terdiri dari tiga stereoisomer yaitu alpha, beta, dan gamma eudesmol

o Rumus molekul : C15H26O o Berat molekul : 222

(20)

o Alpha eudesmol titik leleh : 102 ˚C titik didih : 156 ˚C putaran optik : (+) 31,4˚ rumus bangun : o Beta eudesmol titik leleh : 76 ˚C putaran optik : (+) 63,8˚ rumus bangun : o Gamma eudesmol titik didih : 83 ˚C putaran optik : (+) 66,7˚ rumus bangun : e. Vetikadiol o Merupakan terpen-O

o Merupakan isomer bisiklik dari vetiverol o berat molekul : 222

o titik lelehnya : 111,5-116,1˚C

o titik didih : 110 ˚C pada tekanan 0,8 mmHg o rumus bangun :

f. Vetivazulen (Pfau dan Platter, 1942) Senyawa ini termasuk senyawa terpen

(21)

o titik leleh : 31,5-32 ˚C o titik didih : 140 ˚C

o rumus bangun :

g. Khusol (Siregar, 1993)

Senyawa ini termasuk terpen-O bisiklik

o berat molekul : 220

o titik leleh : 101 ± 2 ˚C

o putaran optik pada 27 ˚C : 137˚

o titik didih : 155 ˚C

o indeks bias pada suhu 27 ˚C : 1,5060 o rumus bangun :

h. Vetiverol (Guenther, 1972) rumus bangun :

berat molekul : 220,34

kadar : 45-65% (seskuiterpen alkohol bebas, sebagian besar alkohol yaitu merupakan campuran alkohol primer (C15H24O)

sekitar 60% sebagian besar alkohol trisiklik dan 10% alkohol bisiklik serta sisanya merupakan alkohol bisiklik tersier (Ketaren, 1985)

i. Asam Palmitat (Guenther, 1972) Merupakan isomer-cis

Rumus molekul : (CH3COOCH2 (CH2)14CH3

Titik leleh : 15-16 ˚C

Indeks bias pada suhu 20 ˚C : 1,4593

j. Asam vetivenat

Rumus molekul : C15H22O2

(22)

Reaksi esterifikasi antara asam vetivenat dengan vetivenol menghasilkan suatu senyawa ester pada minyak akar wangi yang disebut sebagai vetivenil vetivenat

Negara produsen minyak akar wangi dunia selain Indonesia adalah Haiti, Reunion, Cina, India, Brazil dan Jepang. Pesaing utama minyak akar wangi Indonesia di pasar dunia yaitu Haiti dan Reunion, karena minyak akar wangi yang berasal dari Reunion diyakini sebagai minyak akar wangi yang terbaik (Chomchalow, 2001). Volume perdagangan minyak akar wangi dunia rata-rata 250.000 kg per tahun (Lavania, 2004), dengan konsumen utamanya yaitu USA, Eropa, India dan Jepang. Pada tahun 2002, Amerika Serikat mengimpor minyak akar wangi 13.395 kg dengan nilai US$ 675.000 (ITC, 2003). Berdasarkan data statistik Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2007), perkembangan ekspor dan impor minyak akar wangi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Nilai Ekpor-Impor Minyak Akar Wangi Indonesia Perdagangan (US$) Tahun Ekspor Impor 2001 1.759.241,0 43.728,0 2002 1.078.451,0 45.318,0 2003 1.428.682,0 48.683,0 2004 2.445.744,0 51.306,0 2005 1.544.618,0 21.690,0 Januari-November 2005 1.474.853,0 21.690,0 Januari-November 2006 2.053.741,0 23.945,0

Sumber : Depdag RI, 2007

Harga minyak akar wangi Indonesia di pasar dunia pada tahun 2007 sangat bervariasi, yaitu antara US$ 60-65 per kilo (Uhe, 2007). Mutu minyak yang dihasilkan oleh Indonesia dan Cina kurang begitu baik dibandingkan negara lainnya karena memiliki warna gelap dengan karakter smoky burn yang

(23)

disebabkan oleh penggunaan peralatan distilasi yang masih tradisional. Menurut Chomchalow (2001), akibat mutunya kurang baik, maka minyak akar wangi asal Indonesia di pasar dunia sering mendapatkan potongan harga sehingga sangat merugikan.

D. PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI

Dianawati (2001) menyatakan bahwa saat panen yang baik adalah apabila tanaman akar wangi berumur antara 1,5-2 tahun karena kandungan minyak pada akar dalam keadaan optimal (Santoso, 1993). Akar yang telah dipanen selanjutnya mengalami proses persiapan sebelum disuling. Proses penyiapan bahan baku melalui beberapa tahap antara lain pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan. Dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, proses penyulingan minyak akar wangi dapat dikatakan relatif lebih sulit dilakukan, disebabkan oleh sel-sel minyak yang terletak pada bagian dalam jaringan akar yang relatif keras. Untuk mengeluarkannya, minyak harus berdifusi dari bagian dalam jaringan akar ke permukaan yang umumnya berjalan cukup lambat. Fraksi yang paling bernilai pada minyak akar wangi (vetiverol dan vetivone) yang memiliki titik didih dan bobot jenis yang tinggi, demikian pula komponen lain seperti seskuiterpen, sehingga fraksi ini memiliki kontribusi yang besar terhadap lamanya waktu penyulingan (Chomchalow, 2001). Untuk mempermudah proses penyulingan minyak akar wangi dapat dilakukan perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang mengandung minyak dengan beberapa cara, yaitu dengan cara pengeringan dan pengecilan ukuran bahan (size reduction).

Proses pengeringan adalah proses pengambilan atau penurunan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan (Brooker, 1974; Hall, 1957). Ketaren (1985) menyatakan bahwa pengeringan dapat mempercepat proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak, akan tetapi selama pengeringan kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena penguapan dan oksidasi oksigen udara. Menurut Guenther (1949), minyak atsiri

(24)

pembuluh-pembuluh, kantong-kantong minyak atau glandular. Jika bahan dibiarkan atau dikeringkan, sebagian minyak atsiri akan menguap melalui jaringan tanaman ke permukaan bahan. Proses ini terjadi karena adanya peristiwa hidrodifusi dengan air sebagai media. Peristiwa hidrodifusi ini adalah bergeraknya suatu senyawa dengan air melalui selaput tipis dalam jaringan tanaman. Selama pengeringan atau pelayuan, membran sel akan pecah sehingga dapat membentuk cairan sel, yang dapat bebas masuk dan keluar sel dan membentuk campuran sel baru. Kehilangan minyak selama pengeringan atau pelayuan lebih besar daripada kehilangan minyak selama penyimpanan bahan. Suhu pengeringan yang tinggi dapat menurunkan rendemen minyak, tetapi jika proses pengeringan atau pelayuan terlalu lambat dan lembab dapat menyebabkan bahan berjamur dan mudah rusak karena busuk (Somaatmadja 1975).

Proses perajangan bertujuan memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan mengurangi sifat kamba. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan proses penyulingan minyak hanya bergantung pada proses difusi yang relatif berlangsung sangat lambat (Guenther, 1947). Tetapi proses perajangan ini juga memiliki beberapa kelemahan salah satu diantaranya adalah komposisi minyak akan berubah. Hal ini dapat terjadi karena minyak atsiri terdiri dari campuran yang mengandung komponen dapat menguap (Gusmalini, 1987). Pada umumnya perajangan dilakukan pada ukuran 20-30 cm (Ketaren, 1985). Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik uapnya dan proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air. Jumlah minyak yang menguap bersama-sama dengan uap air ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: a) besarnya tekanan uap yang digunakan, b) berat molekul masing-masing komponen dalam minyak, dan c) kecepatan minyak yang keluar dari bahan yang mengandung minyak (Ketaren, 1985).

Dalam industri minyak atsiri telah dikenal 3 macam sistem penyulingan, yaitu : a) penyulingan dengan air (water distillation), b) penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation), dan c) penyulingan dengan uap steam distillation). Peranan kecepatan penyulingan pada sistem penyulingan air dan uap (kukus) tidak sepenting dalam penyulingan air. Kecepatan penyulingan

(25)

berpengaruh langsung terhadap kecepatan memproduksi minyak, namun tidak selalu berpengaruh terhadap mutu atau rendemen minyak. Dalam beberapa hal, metode penyulingan air dan uap (kukus) lebih efisien daripada metode penyulingan air karena jumlah bahan bakar yang dibutuhkan lebih kecil, waktu penyulingan lebih singkat, dan rendemen minyak yang dihasilkan lebih besar walaupun dengan kecepatan penguapan yang lebih lama (Guenther, 1947).

Tekanan uap yang tinggi dapat menyebabkan dekomposisi pada minyak, oleh karena itu penyulingan lebih baik dimulai dengan tekanan rendah, kemudian tekanan meningkat secara bertahap sampai pada akhir proses, yaitu ketika minyak yang tertinggal dalam bahan relatif kecil, dan hanya komponen minyak bertitik didih tinggi saja yang masih tertinggal dalam minyak. Pada saat kandungan minyak dalam bahan menurun dengan cepat, perbandingan antara (air : minyak) pada kondensat akan meningkat. Hal ini disebabakan karena uap tidak dapat kontak secara efisien dengan minyak di dalam bahan, kecepatan reaksi menurun, dan juga karena komponen yang tertinggal sebagian besar bertitik didih tinggi (Guenther, 1947). Penyulingan dengan api besar akan meningkatkan rendemen, karena uap air yang berhubungan dengan sel yang mengandung minyak dalam jaringan lebih banyak. Pemberian panas yang makin besar meningkatkan proses penguapan (Rusli et al., 1979).

Kepadatan akar segar dalam ketel penyuling adalah 350 sampai 400 gr/liter, sedangkan untuk akar kering 100 gr/liter. Dengan lama penyulingan sekitar 18 jam, diperoleh rendemen minyak akar wangi 0,4 sampai 0,5% untuk akar segar dan 1,6 sampai 2,1% untuk akar kering. Kepadatan bahan dalam ketel dan lama penyulingan berpengaruh terhadap rendemen dan sifat kimia minyak akar wangi yang dihasilkan. Pada penyulingan akar wangi secara dikukus dengan kepadatan bahan 0,07 kg/liter dapat menghasilkan rendemen 2,02% (Harjono dan Rusli, 1973). Pengisian bahan ke dalam ketel suling harus diatur sehingga merata. Menurut Sukirman dan Aliman (1979), kepadatan bahan dalam ketel suling berhubungan dengan penetrasi uap, kapasitas ketel dan efisiensi uap. Sedangkan Guenther (1972), menyatakan bahwa tingkat kepadatan bahan berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang terlalu tinggi

(26)

Semakin tinggi bahan dalam ketel, akan makin rendah rendemen, akan semakin besar jarak yang ditempuh dan halangan yang dialami uap air sehingga pertambahan jarak dan gesekan yang dialami uap air akan mengakibatkan semakin rendahnya kecepatan penyulingan dan dengan sendirinya makin kecil rendemen yang diperoleh. Ukuran dan bentuk ketel suling mempengaruhi efisiensi dan efektifitas penyulingan. Ketel berbentuk kubus mudah dalam pengisian dan pengosongan tetapi distribusi uap panas kurang merata. Bentuk ketel suling yang umum digunakan adalah bentuk silinder (Rusli et al., 1979).

(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah akar wangi segar, varietas pulus wangi yang berasal dari Garut dengan umur panen 10 sampai 15 bulan (yang telah ditanam dilahan petani). Bahan kimia yang digunakan antara lain etanol 95%, indikator PP, larutan KOH 0,1 N, KOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, Na2SO4 anhidrit dan aquades, bahan bakar minyak tanah. Contoh bahan baku

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Akar wangi

2. Alat

Percobaan penyulingan ini menggunakan sistem penyulingan kukus yang terdiri dari beberapa alat diantaranya : ketel suling, alat pendingin (kondensor), labu florentine dan penampung minyak. Pada penyulingan akar secara dikukus, perbandingan garis tengah dan tinggi ketel penyuling efektif maksimum 1:1,5 untuk mencegah kehilangan panas terutama bila penyulingan dilakukan di tempat terbuka, sebaiknya ketel penyuling memakai isolasi (Rusli

et al., 1990). Ketel suling yang digunakan terbuat dari stainless steel dengan diameter 44 cm dan tinggi 71 cm, dengan volume keseluruhan 107.902,96 cm3 dan volume yang dapat diisikan bahan adalah 53.191,6 cm3. Pengaturan

(28)

besar kecilnya pembukaan katup yang terdapat di pipa leher angsa sebelum kondensor dan mengatur besarnya nyala api dari kompor listrik minyak tanah yang digunakan.

Kondensor yang digunakan adalah jenis penukar panas turbular dengan air sebagai media pendingin. Dimensi dari kondensor yang dipakai berdiameter 10 cm dan panjang 106 cm. Agar pemisahan minyak cukup baik biasanya digunakan 2 atau 3 alat pemisah minyak (Rusli et al., 1990). Separator yang digunakan terdiri dari 3 lapis bejana, di mana satu bejana terletak di dalam bejana yang lain. Bejana dalam memiliki lubang pada bagian bawah dan bejana luar memiliki lubang pada bagian atas sebagai tempat keluarnya air. Minyak yang tersuling akan terperangkap di dalam bejana. Rangkaian peralatan penyulingan yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b) (c)

Keterangan gambar :

(a) kompor listrik berbahan bakar minyak tanah (b) ketel suling dan kondensor

(c) separator

Gambar 2. Rangkaian peralatan penyulingan sistem kukus

Alat ukur yang digunakan adalah aufhauser, termometer, clevenger, gelas ukur dan neraca analitik. Alat-alat yang digunakan untuk menguji sifat fisika-kimia minyak akar wangi antara lain gelas piala 250 ml, gelas piala 500 ml, gelas ukur 1000 ml, gelas ukur 250 ml, corong pemisah 250 ml, penangas air, piknometer 10 ml, refraktometer, water bath, cahaya natrium atau lampu,

(29)

buret, pendingin tegak, gelas ukur 10 ml dan 25 ml, tabung reaksi, labu penyabunan, kondensor, pipet standar kapasitas 25 ml, erlenmeyer, dan botol kaca 60 ml.

B. TAHAPAN PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan

Pada tahap ini akan dilakukan analisa karakteristik bahan baku yang meliputi perhitungan kadar air bahan dan kadar minyak pada tiap perlakuan. Perlakuan yang diberikan ada 3 macam yaitu pada akar wangi segar tanpa dicuci dan tanpa dirajang), akar wangi jemur 6 jam (tanpa dicuci dan tanpa dirajang), dan akar wangi jemur 12 jam (2 hari penjemuran).

2. Penelitian Utama

Data-data kondisi operasi hasil penelitian sebelumnya, dijadikan acuan untuk merancang proses penyulingan di mana pada tahap ini dilakukan peningkatan tekanan penyulingan secara bertahap. Pada tahap ini dilakukan 4 macam perlakuan pada bahan baku. Dari tiap-tiap perlakuan tersebut minyak dipisahkan menjadi 3 fraksi berdasarkan peningkatan tekanan yang dilakukan. Peningkatan tekanan dilakukan berdasarkan penurunan laju distilasi yang diukur setiap 0,5 jam. Perlakuan yang dilakukan pada proses penyulingan akar wangi tersebut adalah sebagai berikut.

6R : Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 6 jam dan dilakukan perajangan.

6TR : Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 6 jam, tanpa dilakukan perajangan.

12R : Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 12 jam dan dilakukan perajangan.

12TR : Penyulingan dengan perlakuan bahan berupa penjemuran selama 12 jam, tanpa dilakukan perajangan.

(30)

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Analisa data dilakukan dengan menggunakan Rancangan percobaan Acak Lengkap Faktorial (RAL) dengan 2 faktor dan 2 taraf perlakuan, perlakuan lama penjemuran (6 jam dan 12 jam) dan perlakuan fisik bahan (dirajang dan tidak dirajang). Rancangan percobaan ini digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap minyak yang telah dicampur pada setiap tekanan penyulingan. Masing-masing rancangan percobaan di atas diuraikan sebagai berikut:

Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor (Sudjana, 1980) Faktor A : Lama penjemuran

A1 = penjemuran 6 jam A2 = penjemuran 12 jam Faktor B : Perajangan

B1 = dirajang B2 = tidak dirajang

Model umum rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij +

ε

k (ij)

Yijk = peubah yang diukur

µ = pengaruh rata-rata

Ai = pengaruh faktor A pada taraf ke-i

Bj = pengaruh faktor B pada taraf ke-j

(AB)ij = pengaruh interaksi faktor A dengan faktor B pada taraf ke-i dan

ke-j

ε

k (ij) = faktor kesalahan satuan percobaan ke-k dalam kombinasi

perlakuan ke-ij

Untuk membuktikan pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang dicoba maka dilakukan uji sidik ragam. Jika F Hitung > F Tabel pada selang kepercayaan 95% berarti faktor tersebut berpengaruh nyata atau sangat nyata terhadap sifat fisiko-kimia minyak akar wangi. Bila terjadi interaksi antar faktor perlakuan yang diuji maka dilanjutkan dengan uji Duncan.

(31)

D. PROSEDUR PERCOBAAN

Prosedur dari penelitian tahap pendahuluan adalah sebagai berikut. Mula-mula akar wangi dicuci dan dibersihkan dari kotoran-kotoran. Kotoran berupa batu, pasir, tanah, tangkai, daun, dan kotoran lain dapat mengganggu pelaksanaan penyulingan. Bahan yang telah dicuci kemudian ditiriskan, dan ditimbang. Setelah bahan ditimbang, bahan segera dikeringkan, cara pengeringan yang dilakukan merujuk pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Sugiharto (1993) yaitu akar wangi dijemur selama 1 sampai 2 hari (6 jam/hari) di bawah sinar matahari dan ditimbang lagi setelah bahan kering.

Sebelum dimasukkan ke dalam alat penyuling, akar wangi dirajang terlebih dahulu pada penyulingan dengan perlakuan perajangan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penguapan minyak atsiri dan untuk mengurangi sifat kamba dari bahan. Akar wangi selanjutnya ditimbang sebanyak 3500 gr dan diletakkan di atas alas berlubang yang terletak beberapa sentimeter di atas air dalam ketel penyuling. Pada tahap penelitian utama, sebelum proses penyulingan berlangsung dilakukan pengecekan terhadap semua peralatan penyulingan baik berupa sekrup, kondensor, kondensat, maupun uap yang akan dialirkan harus disesuaikan untuk menghindari kebocoran. Proses penyulingan berlangsung selama 8 jam (1 jam pada tekanan 0,5 bar, 1 jam pada tekanan 1,0 bar, 3 jam pada tekanan 1,5 bar dan 3 jam pada tekanan 2,0 bar) dengan heating time (waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan destilat pertama kali menetes dari awal proses penyulingan)selama 1 jam. Diagram alir proses penyulingan dapat dilihat pada Gambar 3.

(32)

Gambar 3. Diagram alir proses penyulingan minyak akar wangi Penjemuran : - 6 jam - 12 jam Analisa sifat fisiko-kimia Bahan baku akar wangi

Pencucian Tanpa Pencucian

Penjemuran : - 6 jam - 12 jam

Perajangan Tanpa Perajangan

Penyulingan

minyak akar wangi

Analisa kadar air&kadar minyak

(33)

E. PARAMETER YANG DIUKUR

Parameter-parameter yang diukur meliputi rendemen, kadar air dan kadar minyak akar wangi dalam bahan, tekanan, suhu, volume minyak yang tersuling selama proses penyulingan, dan laju destilat selama proses penyulingan berlangsung. Rendemen minyak ditentukan berdasarkan perbandingan antara volume minyak yang dihasilkan dengan berat awal bahan yang disuling. Pengukuran kadar air bertujuan untuk mengetahui kandungan air yang terdapat di dalam bahan yang disuling, sedangkan kadar minyak bertujuan untuk mengetahui jumlah minyak yang terdapat di dalam bahan yang akan disuling.

Tekanan di dalam ketel penyuling diukur dengan pressure gauge yang terdapat pada tutup ketel suling. Tekanan ketel ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kondisi penyulingan dan waktu penyulingan yang ditetapkan. Suhu yang diamati adalah suhu destilat dan suhu keluaran air kondensor yang diukur menggunakan termometer. Volume minyak yang dihasilkan diukur menggunakan gelas ukur 10 ml dan 25 ml. Laju destilat diukur berdasarkan jumlah destilat yang keluar dari kondensor menggunakan gelas ukur 1 liter selama selang waktu tertentu. Tujuannya untuk mengetahui konsumsi uap yang digunakan selama penyulingan. Selain itu juga dilakukan pengukuran terhadap mutu dari minyak akar wangi hasil penyulingan yang disajikan pada Lampiran 1.

(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU

Karakteristik bahan baku yang dilakukan meliputi pengukuran kadar air dan kadar minyak bahan baku. Hasil dari pengaruh keempat perlakuan terhadap kadar air dan kadar minyak bahan disajikan pada Tabel 4. Akar wangi yang mengalami proses pencucian terlebih dahulu, memiliki kadar air dan kadar minyak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dicuci. Selain pengaruh perlakuan pencucian bahan baku, lama penjemuran juga berpengaruh terhadap kadar air dan kadar minyak bahan baku. Penjemuran 12 jam memiliki kadar air yang lebih sedikit dengan kadar minyak yang lebih tinggi dibandingkan dengan penjemuran akar wangi selama 6 jam. Proses pencucian dan penjemuran bahan yang dilakukan dapat membantu proses penyulingan agar berjalan dengan sempurna. Penyulingan tidak dapat berjalan dengan sempurna jika bahan olah berkadar air tinggi. Selain itu proses penjemuran akan menghasilkan kadar minyak lebih tinggi, karena bahan yang masih mengandung kadar air tinggi lebih sukar disuling dan memerlukan waktu penyulingan yang lebih lama. Proses pencucian bahan baku juga bertujuan untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang dapat mengganggu proses penyulingan. Jika bahan yang disuling masih kotor, maka dapat mempengaruhi warna dari minyak yang dihasilkan, kemungkinan berwarna keruh dan lebih tua. Selain itu, dengan adanya tanah dan kotoran akan mengurangi kapasitas bahan baku yang seharusnya dapat dimasukkan ke dalam ketel suling.

Selama proses penjemuran berlangsung, kelembaban relatif dan suhu udara rata-rata adalah 60,62 persen dan 27,4°C (dengan kisaran suhu 24,1°C hingga 30,8°C). Kadar air bahan segar yang dicuci dan tidak dicuci masih sangat tinggi dengan kadar minyak lebih rendah (hanya sekitar 3 persen). Setelah dikeringkan selama 6 jam, kadar air bahan berkurang 7 kali lipat dari kadar air sebelumnya. Kadar air bahan setelah dikeringkan selama 6 jam kurang lebih 30 sampai 40 persen pada kondisi setelah dicuci maupun yang tidak dicuci terlebih dahulu, kadar minyak bahan pun meningkat 3 sampai 5 persen (berdasarkan bobot kering bahan) setelah dikeringkan. Kadar air bahan yang dikeringkan selama 12

(35)

jam berkurang setengahnya dari kadar air bahan pada penjemuran selama 6 jam. Sedangkan kadar minyaknya makin meningkat mencapai 4 sampai 6 persen. Bobot tanah dan kotoran yang hilang selama pengeringan dari bahan yang dicuci maupun tidak dicuci sebesar 1162,44 gr.

Tabel 4. Kadar air dan kadar minyak bahan baku akar wangi

Perlakuan Kadar air (%)* Kadar minyak (%)*

Akar wangi segar (setelah panen) - Dicuci - Tidak dicuci 274,07 217,65 3,74 3,39 Akar wangi penjemuran 6 jam

- Dicuci - Tidak dicuci 39,73 31,58 5,59 3,95 Akar wangi penjemuran 12 jam

- Dicuci - Tidak dicuci 12.22 12.36 6,28 4,49 * berdasarkan bobot kering bahan

Neraca masssa (Gambar 4) dari proses penjemuran akar wangi disajikan sebagai berikut:

uap air = 1346,15 gr uap air = 102,86 gr

Dicuci Penjemuran 6 jam Penjemuran 12 jam

2000,00 gr 300,00 gr 150,00 gr

air = 1465,34 gr air = 119,19 gr air = 16,33 gr p.k = 133,67 gr p.k = 133,67 gr p.k = 133,67 gr

k.a = 274,07% k.a = 39,73% k.a = 12,22%

Akar wangi segar

5000 gr lost tanah = 401,00 gr lost tanah = 47,14 gr

uap air = 1874,70 gr uap air = 130,50 gr ≠Dicuci Penjemuran 6 jam Penjemuran 12 jam

3000,00 gr 750,00 gr 450,00 gr

air = 2054,70gr air = 180,00 gr air = 49,50 gr p.k = 400,50 gr p.k = 400,50 gr p.k = 400,50 gr k.a = 217,65% k.a = 31,58% k.a = 12,36%

lost tanah = 544,80 gr lost tanah = 169,50gr

Gambar 4. Neraca massa proses penjemuran bahan baku

Keterangan : p.k = bahan kering + tanah

(36)

B. KINERJA PROSES 1. Rendemen

Rendemen minyak akar wangi yang dihasilkan oleh petani di Kabupaten Garut berkisar antara 0,27 sampai 0,35 persen (Disbunhut, 2001; Pikiran Rakyat, 2005), jauh lebih rendah dari potensial rendemen minyak wangi yang bisa mencapai 0,3 sampai 2,0 persen (Lavania, 2004). Hal ini dapat dipahami mengingat sebagian besar produsen minyak akar wangi di Kabupaten Garut masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Teknologi penyulingan yang diterapkan oleh produsen di Kabupaten Garut pada umumnya menggunakan sistem kukus. Hasil perolehan minyak akar wangi dari percobaan penyulingan yang telah dilakukan berkisar antara 60-78 ml (rendemen 2,30-3,00 persen). Pada perlakuan perajangan, rendemen minyak akar wangi dari penjemuran 6 jam lebih tinggi daripada rendemen minyak akar wangi pada penjemuran 12 jam. Sedangkan pada perlakuan yang tidak dirajang, kedua proses penjemuran (baik pada penjemuran 6 jam maupun penjemuran 12 jam), menghasilkan rendemen minyak yang hampir sama. Histogram dari rendemen minyak akar wangi secara keseluruhan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap rendemen minyak akar wangi

Penjemuran dapat mempengaruhi jumlah kadar air pada bahan. Bahan yang masih memiliki kadar air dalam jumlah yang cukup tinggi akan

3.05 2.5 2.34 2.43 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 rajang tidak Perajangan R e n d e m e n ( % )

(37)

mempersulit proses penguapan minyak dalam bahan karena dapat mengambat proses penetrasi uap. Penyulingan akar wangi yang dijemur 6 jam, menghasilkan rendemen minyak yang lebih tinggi daripada hasil penyulingan minyak dengan lama penjemuran 12 jam. Hal ini dimungkinkan karena pada bahan yang dijemur selama 12 jam, kadar minyak akar wangi di dalam bahan berkurang karena ikut teruapkan bersama uap air.

Rata-rata rendemen hasil proses penyulingan akar wangi yang dirajang, cenderung lebih besar daripada rendemen minyak hasil penyulingan bahan yang tidak dirajang, karena perajangan dapat memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan mengurangi sifat kamba. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan proses penyulingan minyak hanya bergantung pada proses difusi yang berlangsung relatif lambat (Guenther, 1947). Proses perajangan atau pengecilan ukuran berfungsi membuka kantong-kantong minyak sebanyak mungkin, sehingga uap air lebih efektif untuk menguapkan minyak.

Rendemen minyak pada bahan yang disuling dengan perlakuan penjemuran 6 jam dirajang lebih tinggi daripada minyak hasil penyulingan dengan perlakuan penjemuran selama 12 jam dirajang. Sedangkan pada perlakuan yang tidak dirajang, rendemen minyak hasil proses penjemuran 6 jam maupun 12 jam relatif sama. Hal ini dimungkinkan karena pada saat penyimpanan bahan baku setelah dikeringkan, kedua macam bahan telah mencapai kadar air kesetimbangan, sehingga kadar air dalam bahan tidak berbeda terlalu jauh. Oleh karena itu pada perlakuan bahan yang tidak dirajang, hasil minyak akar wangi dari proses penyulingan hampir sama.

Akan tetapi berdasarkan analisis sidik ragam baik pada pengaruh perajangan maupun lama penjemuran tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak akar wangi (Pr>F = 0,2210 dan Pr>F = 0,4430) (Lampiran 2). Keterbatasan kemampuan ketel suling juga menjadi faktor kendala dalam proses penyulingan. Ketel suling yang digunakan hanya mampu dioperasikan dengan tekanan maksimal 2,0 bar. Sedangkan minyak akar wangi pada umumnya banyak mengandung fraksi berat yang hanya

(38)

dapat dimungkinkan pada saat proses penyulingan berlangsung, banyak minyak yang belum terekstrak, yang menyebabkan belum terlihatnya perbedaan yang signifikan pada kedua perlakuan, baik perlakuan penjemuran maupun perajangan. Selain itu volume air yang digunakan untuk menghasilkan uap juga sangat terbatas, sehingga bila proses penyulingan diperpanjang waktunya, kebutuhan air tidak dapat tercukupi.

Hasil perolehan minyak per tahapan penyulingan paling banyak dihasilkan pada tekanan 1,5 bar. minyak yang pertama tersuling adalah minyak dengan titik didih rendah, dan makin lama makin sedikit minyak yang diperoleh karena membutuhkan waktu lama untuk memperoleh minyak yang mempunyai berat molekul yang besar dengan titik didih yang tinggi. Histogram perolehan jumlah minyak per tahapan penyulingan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap volume minyak akar wangi per tahapan penyulingan

Akar wangi dirajang

23.3 17 41.4 31.2 31.3 24.6 0 20 40 60 80 100

jemur 6 jam jem ur 12 jam

Penjemuran V o lu m e m in y a k ( m l) Tekanan 2,0 bar Tekanan 1,5 bar Tekanan 1,0 bar

(39)

Gambar 6. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap volume minyak akar wangi per tahapan penyulingan

2. Laju destilat

Laju penyulingan adalah nilai perbandingan antara jumlah air suling dan waktu (jumlah air yang disuling tiap jam). Kecepatan laju destilasi harus diatur sesuai dengan diameter alat dan volume antar ruang dari bahan (derajat perajangan). Jika kecepatan destilasi terlalu rendah, maka uap akan terhenti pada bagian bahan yang padat, dan proses ekstraksi minyak tidak mungkin berlangsung dengan sempurna. Tapi sebaliknya, jika kecepatan terlalu tinggi, uap akan memecahkan bahan dan membentuk jalur uap (rat holes) dan sebagian besar bahan tidak terkena uap (Guenther, 1949).

Selama proses penyulingan, laju penyulingan diatur secara manual dengan cara membuka dan menutup katup ketel yang terdapat di pipa leher angsa sebelum kondensor. Laju destilasi diukur dengan cara menampung air (ml) suling setiap 30 menit yang dihitung dalam kg destilat/menit/kg bahan. Laju destilat pada proses penyulingan minyak akar wangi yang dilakukan berkisar pada 73 sampai 86 ml/menit. Grafik perubahan laju destilat selama proses penyulingan disajikan pada Gambar 7. Laju destilat proses penyulingan pada awal penyulingan lebih besar daripada pada akhir penyulingan. Pada awal proses penyulingan, banyak minyak dengan titik rendah yang terekstrak, sedangkan pada akhir proses, laju destilat cenderung lebih kecil minyak

Akar wangi tidak dirajang

21.9 18.4 33.9 35 22.2 22.5 0 20 40 60 80 100

jem ur 6 jam jemur 12 jam

Penjemuran V o lu m e m in y a k ( m l) Tekanan 2,0 bar Tekanan 1,5 bar Tekanan 1,0 bar

(40)

Gambar 7. Grafik perubahan laju destilat selama proses penyulingan

3. Suhu destilat

Suhu destilat pada proses penyulingan minyak akar wangi selama proses penyulingan berlangsung berkisar antara 30 sampai 40°C dan suhu air keluar dari kondensor berkisar antara 40 sampai 50°C. Suhu destilat ini sangat ditentukan oleh kemampuan kondensor untuk mendinginkan uap yang dihasilkan dari proses penyulingan. Kondensor akan dikatakan baik jika suhu destilat yang dihasilkan sekitar 30°C dan suhu air yang keluar dari kondensor maksimal 80°C (Guenther, 1947). Pada awal proses penyulingan laju alir uap yang berasal dari ketel suling relatif lebih besar daripada di akhir proses penyulingan. Besarnya laju alir uap mempengaruhi kerja kondensor dalam proses mendinginkan uap. Pada saat laju laju alir uap relatif cepat, kecepatan aliran uap pada kondensor juga cepat, sehingga destilat kemungkinan masih bersuhu relatif tinggi. Sedangkan pada saat laju alir uap dari ketel suling relatif kecil, uap dapat mengalir melalui kondensor lebih lama, sehingga suhu destilat keluar dari kondensor bisa lebih dingin/rendah.

Tingginya suhu destilat pada awal penyulingan disebabkan bahan olah dalam ketel berada pada tahap “warming up”, proses kondensasi mulai terjadi, dan uap mulai agak panas. Selain itu kenaikan tekanan akan memperbesar peluang uap dapat berpenetrasi dengan bahan. Kadar minyak dalam kondensat

0 20 40 60 80 100 L a ju d e s ti la t (m l/ m e n it )

Jemur 6 jam, dirajang 86.8 88.5 78

Jemur 12 jam, dirajang 79.3 77.4 84.8

Jemur 6 jam, tidak dirajang 84.3 79.2 79.4

Jemur 12 jam tidak dirajang 78.8 77.5 73.5

(41)

tidak sama dari awal sampai akhir penyulingan. Karena pada akhir penyulingan kadar minyak yang dapat tersuling cenderung sedikit maka suhu destilatnya lebih rendah daripada awal penyulingan. Semakin tinggi tekanan penyulingan akan mengakibatkan suhu proses yang semakin tinggi pula. Dengan semakin tingginya suhu maka proses difusi akan berjalan lebih cepat sehingga penguapan minyak yang terkandung di dalam bahan baku akan lebih mudah dan cepat (Lesmayati, 2004). Suhu destilat selama proses penyulingan berlangsung disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik perubahan suhu destilat selama proses penyulingan

C. MUTU MINYAK AKAR WANGI 1. Warna

Warna termasuk dalam parameter yang menjadi pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Pada umumnya warna minyak yang lebih muda lebih disukai daripada warna minyak yang tua/gelap. Penampakan minyak akar wangi hasil penyulingan dapat dilihat pada Gambar 9 dengan urutan tekanan 1,0 bar, 1,5 bar, dan 2,0 bar pada setiap perlakuan. Secara visual, dapat dilihat bahwa minyak akar wangi hasil dari perlakuan penjemuran bahan selama 12 jam memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan minyak yang bahan bakunya dikeringkan selama 6 jam. Hal ini dimungkinkan pada minyak

20 25 30 35 40 S u h u d e s ti la t (° C )

Jemur 6 jam, dirajang 38.1 38.7 36.2

Jemur 12 jam, dirajang 38.5 38.1 36.7

Jemur 6 jam, tidak dirajang 36.9 37.7 36.5

Jemur 12 jam tidak dirajang 34.8 37.8 36.3

(42)

kerusakan karena bahan lebih lama kontak langsung dengan matahari, sehingga terjadi perubahan komponen-komponen dalam minyak yang menyebabkan minyak berwarna lebih relatif lebih tua/gelap. Selain itu, mungkin juga disebabkan perbedaan komposisi dari komponen di dalam minyak yang tersuling antara minyak dengan perlakuan penjemuran 6 jam dan penjemuran 12 jam. Pada minyak dengan penjemuran 12 jam, lebih banyak mengandung ester, dengan berat molekul tinggi dan cenderung berwarna relatif lebih tua/gelap. Sedangkan pada minyak dengan perlakuan penjemuran 6 jam, lebih banyak mengandung komponen minyak berfraksi ringan yang mempunyai warna lebih jernih.

Warna yang tua/gelap dari minyak hasil penyulingan pada tekanan 2,0 bar dapat disebabkan oleh suhu ketel yang tinggi. Tingginya suhu proses penyulingan dapat menyebabkan terjadinya proses burnt, selain itu juga memungkinkan terjadinya reaksi polimerisasi dan degradasi warna pada minyak sehingga warna tampak lebih tua/gelap (kecoklatan). Berubahnya warna minyak menjadi coklat dapat juga terjadi karena kerusakan minyak pada saat proses hidrolisa ester, dimana ester akan akan terhidrolisa secara sempurna dengan adanya air dan asam sebagai katalisator. Asam organik hasil hidrolisa ester dan yang terdapat secara alamiah, dapat bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam, yang mengakibatkan minyak berubah warna menjadi gelap (Rohayati, 1997). Beberapa fraksi dalam minyak atsiri dapat membentuk resin. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan minyak (ekstraksi) yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi, serta selama penyimpanan. Resin yang terbentuk sukar larut dalam olkohol, sehingga membentuk dispersi dan menyebabkan minyak menjadi keruh dan membentuk endapan dalam minyak atsiri (Rohayati, 1997). Secara umum penyebab timbulnya warna dalam minyak atsiri adalah zat warna alamiah yang terdapat dalam bahan yang mengandung minyak, dan ikut terekstrak bersama minyak selama proses ekstraksi. Selain itu warna dapat timbul sebagai reaksi antar komponen, degradasi dari zat warna alamiah, reaksi senyawa dalam minyak dengan ion logam, serta reaksi polimerisasi senyawa-senyawa penyusun minyak (Rohayati, 1997).

(43)

1,0 bar 1,5 bar 2,0 bar 1,0 bar 1,5 bar 2,0 bar

A) B)

1,0 bar 1,5 bar 2,0 bar 1,0 bar 1,5 bar 2,0 bar

C) D)

Gambar 9. Minyak akar wangi hasil penyulingan

Keterangan :

A) minyak akar wangi penjemuran 6 jam, dirajang B) minyak akar wangi penjemuran 6 jam, tidak dirajang C) minyak akar wangi penjemuran 12 jam, dirajang D) minyak akar wangi penjemuran 12 jam, tidak dirajang

2. Bobot jenis

Guenther (1972) menyatakan bahwa bobot jenis minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan akar wangi bergantung pada umur, jenis akar wangi yang disuling dan lama penyulingan. Makin tinggi umur akar wangi dan makin lama penyulingan, makin tinggi berat jenis minyak yang dihasilkan. Dalam penelitian ini dipergunakan akar wangi yang mempunyai jenis dan umur yang sama yaitu varietas pulus wangi dengan umur 10 bulan. Parameter ini penting untuk mengetahui adanya zat asing dalam suatu cairan serta perubahan-perubahan lain yang mempengaruhi mutunya (Guenther, 1947). Bobot jenis yang baik menurut standar SNI minyak akar wangi 06-2386-1991 berkisar antara 0,9780 sampai 1,0380. Bobot jenis minyak hasil

(44)

nilai standarnya. Besarnya nilai bobot jenis tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya fraksi berat pada komponen minyak dengan berat molekul tinggi ikut tersuling bersamaan dengan peningkatan tekanan. Selain itu pada minyak dengan perlakuan perajangan juga memiliki nilai bobot jenis yang lebih tinggi dikarenakan minyak akan lebih mudah teruapkan dan fraksi berat lebih mudah dikeluarkan dengan pecahnya sel-sel yang melindungi minyak akibat proses perajangan yang dilakukan.

Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perajangan (Pr>F = 0,1950) maupun lama penjemuran (Pr>F = 0,1207) tidak berpengaruh nyata terhadap bobot jenis minyak campuran (Lampiran 3). Bobot jenis minyak pada lama penjemuran 6 jam dirajang, hampir sama dengan nilai bobot jenis minyak pada penjemuran 12 jam. Sedangkan pada perlakuan yang tidak dirajang, bobot jenis minyak dengan lama penjemuran 12 jam lebih tinggi daripada bobot jenis minyak dengan lama penjemuran 6 jam. Nilai bobot jenis minyak pada penjemuran 6 jam maupun penjemuran 12 jam yang dirajang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dirajang. Tingginya nilai bobot jenis pada perlakuan perajangan mungkin disebabkan pada penyulingan dengan perajangan minyak yang memiliki bobot molekul lebih besar lebih mudah terekstrak daripada bahan yang tidak dirajang. Pengaruh perajangan dan lama penjemuran dengan nilai bobot jenis disajikan pada Gambar 10.

Pada minyak akar wangi yang dipisahkan per tekanan, nilai bobot jenis pada perlakuan yang dirajang dengan penjemuran 12 jam pada umumnya lebih tinggi daripada penjemuran 6 jam. Begitu pula pada perlakuan yang tidak dirajang, walaupun pada tekanan 1,0 bar, nilai bobot jenis dengan penjemuran 6 jam lebih tinggi daripada bobot jenis dengan penjemuran 12 jam. Pada penjemuran 6 jam maupun 12 jam, bobot jenis minyak yang dirajang cenderung lebih besar daripada bobot jenis minyak yang tidak dirajang. Pengaruh perajangan dan lama penjemuran terhadap nilai bobot jenis minyak per tekanan disajikan pada Gambar 11.

(45)

Gambar 10. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap bobot jenis minyak akar wangi

Gambar 11. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap bobot jenis minyak akar wangi per tahapan penyulingan

Akar wangi penjemuran 6 jam

1.04161.0468 1.0433 1.052 0.9983 1.0058 0.94 0.96 0.98 1 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1

jam ke- 0 s am pai 2 (1.0 bar)

jam ke- 2 sampai 5 (1.5 bar)

jam ke- 5 s am pai 8 (2.0 bar) Tahapan penyulingan B o b o t je n is ( 2 0 ° C ) Dirajang Tidak dirajang 1.0111 0.9809 1.0118 0.9972 0.965 0.97 0.975 0.98 0.985 0.99 0.995 1 1.005 1.01 1.015 dirajang tdk dirajang Pe rajangan B o b o t je n is ( 2 0 ° C )

(46)

Gambar 11. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap bobot jenis minyak akar wangi per tahapan penyulingan

3. Indeks bias

Nilai indeks bias minyak berhubungan dengan perbandingan komponen minyak hasil penyulingan. Indeks bias ditentukan oleh panjang rantai karbon yang menyusun senyawa. Semakin panjang rantai karbon, semakin besar kerapatannya sehingga sukar membiaskan cahaya yang datang. Hal ini menyebabkan indeks bias menjadi besar (Lesmayati, 2004). Menurut Rusli dan Hasanah (1976), indeks bias mempunyai korelasi positif dengan berat jenis, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi berat jenis juga berperan dalam indeks bias. Semakin tinggi tekanan nilai indeks bias makin tinggi karena makin banyak fraksi berat dengan berat molekul yang tinggi ikut teruapkan. Berat molekul yang tinggi mengindikasikan terdapat rantai karbon yang panjang dalam minyak, sehingga nilai indeks biasnya tinggi.

Menurut SNI 06-2386-1991, nilai mutu indeks bias minyak akar wangi berkisar antara 1,5130 sampai 1,5280. Nilai indeks bias pada keempat perlakuan berkisar antara 1,5192 sampai 1,5230 yang menunjukkan bahwa pada semua perlakuan, nilai indeks biasnya sesuai dengan SNI akar wangi. Analisis sidik ragam indeks bias minyak akar wangi campuran menunjukkan bahwa lama penjemuran (Pr>F = 0,0487) berpengaruh nyata terhadap indeks bias minyak minyak, sedangkan perajangan tidak berpengaruh nyata (Pr>F = 0,3513) (Lampiran 4). Indeks bias minyak hasil penyulingan bahan yang

Akar wangi penjemuran 12 jam

1.0315 1.0743 1.0799 1.0284 1.0391 1.0531 0.98 1 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1

jam ke- 0 s am pai 2 (1.0 bar)

jam ke- 2 s am pai 5 (1.5 bar)

jam ke- 5 s am pai 8 (2.0 bar) Tahapan penyulingan B o b o t je n is ( 2 0 ° C ) Dirajang Tidak dirajang

(47)

dikeringkan selama 6 jam lebih tinggi daripada bahan yang dikeringkan selama 12 jam. Nilai pada perlakuan bahan yang dirajang juga lebih tinggi pada penjemuran 6 jam maupun pada penjemuran 12 jam. Faktor penyebab tingginya nilai indeks bias pada perlakuan perajangan mungkin disebabkan banyak minyak dengan rantai karbon panjang yang tersuling pada lama penjemuran 6 jam, sedangkan pada lama penjemuran 12 jam, minyak dengan rantai karbon panjang banyak yang menguap. Histogram pengaruh perajangan dan lama penjemuran terhadap indeks bias minyak disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Histogram hubungan perajangan dan lama penjemuran terhadap indeks bias minyak akar wangi

Nilai indeks bias pada tekanan 1,0 bar berkisar antara 1,5209 sampai 1,5221, pada tekanan 1,5 bar nilai indeks biasnya diantara 1,5222 sampai 1,5245, sedangkan pada tekanan 2,0 bar nilai indeks biasnya meningkat berkisar 1,5258 sampai 1,5265. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tekanan yang berbeda tidak merubah komponen dan rantai karbon penyusun minyak akar wangi. Nilai indeks bias pada minyak yang dirajang maupun tidak cenderung sama, begitu pula dengan perlakuan pengeringan.

Pada penjemuran 6 jam dirajang, nilai indeks bias pada tiap tekanan cenderung lebih tinggi daripada indeks bias pada minyak dengan lama penjemuran 12 jam dirajang. Nilai indeks bias minyak yang dirajang, baik dengan penjemuran 6 jam maupun 12 jam lebih tinggi daripada yang tidak

1.5218 1.523 1.5192 1.5201 1.517 1.518 1.519 1.52 1.521 1.522 1.523 1.524 dirajang tdk dirajang Perajangan In d e k s b ia s ( nD 2 0 )

Gambar

Tabel 1. Luas Lahan Budi Daya Akar Wangi di Kabupaten Garut  Kecamatan   Ha   Ton   Cilawu   240,00  7,20  Bayongbong   210,00  6,30  Samarang   750,00  22,50  Pasirwangi   450,00  13,50  Leles   750,00  22,50  Jumlah   2.400,00  72,00
Tabel 2. Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-2386-1991
Tabel 3. Perkembangan Nilai Ekpor-Impor Minyak Akar Wangi Indonesia   Perdagangan (US$)   Tahun   Ekspor   Impor   2001  1.759.241,0  43.728,0  2002  1.078.451,0  45.318,0  2003  1.428.682,0  48.683,0  2004  2.445.744,0  51.306,0  2005  1.544.618,0  21.690,0  Januari-November  2005  1.474.853,0  21.690,0  Januari-November  2006  2.053.741,0  23.945,0
Gambar 2. Rangkaian peralatan penyulingan sistem kukus
+5

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi Upacara A’dangang dalam kehidupan masyarakat kawasan adat kajang adalah: (1) Agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengingat orang yang meninngal, (2) Agar

Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan soal literasi sains mengenai konteks capung berjumlah berbentuk soal pilihan ganda berjumlah 15 soal dengan 3 indikator

Gambar 4.4 System Flow menjelaskan proses Pengadaan Barang yang dimulai dari bagian admin yang mendapatkan customer untuk pengerjaan proyek, lalu bagian gudang akan

Pencegahan terjadinya ekstravasasi dapat dilakukan dengan menggunakan pembuluh darah yang paten dan dengan aliran yang cepat dan tetap memperhatikan keluhan yang

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan dapat diketahui bahwa metode pemotongan harga yang dilakukan kepada produk yang sudah melebihi waktu season yang

Seluruh Dosen, Karyawan, dan Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas Surabaya yang telah memberikan semangat dan banyak membantu dalam

Banyak pasangan bilangan bulat yang memenuhi sistem persamaan berikut. tak terhingga

Perawatan intensif tidak serta merta merujuk kepada ICU, namun pasien dengan skor MEOWS yang tinggi memiliki kebutuhan level of care yang lebih tinggi juga baik dari