• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PEMBAHASAN 5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan Aspek biologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 PEMBAHASAN 5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan Aspek biologi"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

5 PEMBAHASAN

5.1 Teknologi Penangkapan Ikan Layang Pilihan

Teknologi penangkapan ikan layang yang digunakan oleh nelayan Maluku Utara saat ini adalah mini purse seine, jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan untuk mengetahui urutan prioritas pengembangan perikanan layang di Maluku Utara.

5.1.1 Aspek biologi

Berdasarkan analisis kriteria aspek biologi (Tabel 9), untuk spesies komposisi target spesies (%), ukuran hasil tangkapan utama (cm), dan lama waktu musim penangkapan ikan layang (bulan) alat tangkap mini purse seine menempati

pada urutan prioritas pertama, jaring insang hanyut pada urutan prioritas kedua dan bagan perahu pada urutan prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena sifat alat yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok, pada kondisi ini ikan-ikan yang sudah terkurung sulit untuk meloloskan diri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baskoro (2002), bahwa pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin.

Hal lain yang menyebabkan persentase ikan layang lebih banyak tertangkap dengan pukat cincin karena alat tangkap pukat cincin didesain untuk menangkap gerembolan ikan yang hidup di permukaan air dan memanfaatkan sifat tingkah laku dari ikan yang senang membentuk schooling. Nugroho (2005) menyatakan

hasil tangkapan yang mendominasi hasil tangkapan pukat cincin biasanya adalah jenis ikan layang yaitu antara Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma.

Jaiswar et al.( 2001), menyatakan bahwa pukat cincin adalah alat

penangkapan yang bertujuan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish). Selanjutnya dikatakan tingkah laku ikan layang membentuk

(2)

gerombolan dekat dasar perairan pada siang hari dan mencari makan pada malam hari di permukaan perairan.

Hasil analisis (Tabel 9), menunjukkan bahwa jaring insang hanyut adalah alat tangkap yang mampu menangkap ikan layang dalam ukuran rata-rata terbesar bila dibandingkan dengan pukat cincin dan bagan perahu. Hal tersebut sangat berkaitan dengan selektivitas dari ketiga alat tangkap tersebut, dimana jaring insang hanyut adalah alat tangkap yang memilki selektivitas yang tinggi di bandingkan dengan alat tangkap pukat cincin dan bagan perahu. Sebagaimana penelitian yang dilakukan di kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan oleh Arifin (2008) menyatakan bahwa alat tangkap jaring insang hanyut termasuk kategori alat tangkap ramah lingkungan, sedangkan pukat cincin dan bagan perahu termasuk alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.

5.1.2 Aspek teknis

Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 10), yang dikaji berkaitan dengan efektivitas suatu unit penangkapan ikan, dimana alat tangkap tersebut dikatakan efektif jika alat tangkap tersebut memiliki produktivitas yang tinggi. Berdasarkan kriteria-kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek ini adalah nilai produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja menempatkan alat tangkap mini purse seine menempati urutan pertama dalam usaha perikanan

layang yang ada di perairan Maluku Utara.

Tingginya produktivitas yang dihasilkan alat tangkap mini purse seine

disebabkan karena prinsip pengoperasian alat tangkap ini yang bersifat aktif dengan cara melingkari tujuan penangkapan, mengkerucutkan bagian bawah jaring sehingga membentuk kantong menyebabkan ikan-ikan layang yang telah berada dalam catchable area akan sulit untuk meloloskan diri. Sedangkan untuk

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yang bersifat pasif dengan prinsip pengoperasian menghadang gerakan renang ikan sehingga peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan alat tangkap mini purse seine.

Faktor lain yang menunjang tingginya produktiviatas alat tangkap mini purse seine adalah banyaknya jumlah tenaga kerja per armada tangkap dan ukuran

(3)

alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu serta trip penangkapan bersifat one day fishing, artinya jumlah hari penangkapan juga lebih banyak

dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Irham et al., (2008), bahwa faktor-faktor teknis produksi yang

berpengaruh nyata terhadap produksi tangkapan alat tangkap mini purse seine

antara lain jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, jumlah hari tangkapan, tinggi jaring dan panjang jaring.

5.1.3 Aspek sosial

Dalam suatu usaha perikanan FAO dalam Asian Productivity Organisation Development menyatakan bahwa dalam bidang perikanan berkelanjutan faktor

sosial harus menjadi perhatian penting. Berdasarkan hasil skoring untuk aspek sosial (Tabel 11), alat tangkap mini purse seine berada pada urutan pertama,

bagan perahu pada urutan kedua dan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas ketiga. Hal ini disebabkan karena alat tangkap mini purse seine mampu

memberikan kontribusi pendapatan nelayan yang lebih tinggi dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu. Demikian juga dari aspek tenaga kerja alat tangkap mini purse seine mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak

dibandingkan dengan kedua alat tangkap lainnya. Tingkat penguasaan teknologi ketiga alat tangkap tersebut tidak mengalami kesulitan, hal ini disebabkan pada umumnya nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap tersebut, dan pada umumnya setelah tamat sekolah mereka terjun menjadi nelayan untuk membantu perekonomian keluarga dan pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya perairan pada masyarakat nelayan di Maluku Utara sangat tinggi. Pofesi nelayan umumnya dijalani seumur hidup. Keadaan ini menunjukkan bahwa perikanan telah menjadi bagian dari kehidupan nelayan, dan bahkan menjadi suatu cara hidup. Artinya, apabila terjadi gangguan pada kondisi ekologi sumberdaya perikanan, maka gangguan ini akan mempengaruhi juga pada kehidupan nelayan umumnya. Sulit pula dihindarkan sifat sumberdaya perikanan yang bersifat public property. Impliksinya adalah

(4)

kompetisi dan tindakan-tindakan lain yang bersifat mencemari atau merusak menjadi gejala yang tidak bisa dihindarkan.

5.1.4 Aspek ekonomi

Berdasarkan hasil skoring untuk aspek ekonomi (Tabel 12), yang dikaji dari segi kelayakan usaha menempatkan tangkap alat tangkap mini purse seine pada

urutan prioritas pertama sedangkan jaring insang hanyut menempati urutan prioritas kedua dan bagan perahu beraada pada prioritas ketiga

Hasil analisis kriteria kelayakan usaha pada aspek ekonomi dilakukan guna mengetahui kelayakan usaha penangkapan dari setiap alat tangkap untuk mengetahui keuntungan usaha yang di terima nelayan. Hasil analisis perhitungan nilai Net B/C mengambarkan skala penerimaan atas biaya dan modal adalah untuk alat tangkap mini purse seine sebesar 2,88. Hal ini mempunyai arti bahwa

pendapatan yang diperoleh sebesar 2,88 kali dari atas besarnya biaya yang dikeluarkan sehingga usaha tersebut layak untuk dikembangkan.

Nilai Net B/C alat tangkap mini purse seine dan nilai Net B/C dari alat

tangkap jaring insang hanyut lebih tinggi dari pada nilai B/C alat tangkap bagan perahu . Sedangkan untuk nilai NPV mini purse seine lebih besar dari kedua alat

tangkap lainnya yaitu sebesar Rp 379.547.452 dimana nilai NPV > 0 menunjukkan nilai rata-rata keuntungan bersih yang diperoleh selama 10 tahun ke depan atau dengan kata lain nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan mini purse seine di Maluku Utara memberikan keuntungkan sebesar

379.547.452 selama 10 tahun menurut nilai sekarang.

Nilai IRR yang diperoleh sebesar 55,53 % untuk alat tangakp mini purse seine. Nilai ini menunjukkan bahwa investasi usaha perikanan mini purse seine di

Maluku Utara setiap satu rupiah yang akan diinvestasikan akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 55,53 %, nilai IRR yang diperoleh mini purse seine lebih

besar dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu dengan nilai sebesar 53, 75% dan 39,33 %.

Berdasarkan hasil perhitungan BEP yang dihasilkan dari unit penangkapan

mini purse seine diperoleh nilai produksi per tahun sebesar Rp. 68.399.099,76

dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg. BEP merupakan jumlah dan nilai minimal yang harus diperoleh agar dapat menutupi total biaya

(5)

nilai produksi per tahun sehingga usaha ini akan memberikan keuntungan apabila berada pada titik sama atau lebih besar dari Rp. 68.399.099,76 dengan volume produksi per tahun sebesar 31.019,66 kg.

Nilai paybackperiode yang diperoleh alat tangkap mini purse seine yaitu 2

tahun 1 bulan. Nilai yang diperoleh ini lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu yaitu masing-masing 2 tahun 4 bulan dan 3 tahun 1 bulan. Dengan demikian unit penangkapan mini purse seine

membutuhkan periode waktu yang lebih singkat dalam pengembalian modal usaha dibandingkan alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Berdasarkan ketiga nilai kriteria kelayakan tersebut, dengan NPV bernilai positif, IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang digunakann dan nilai Net B/C lebih dari satu, maka unit penagkapan mini purse seine di Maluku Utara layak

untuk dikembangkan secara finansial dan menjadi prioritas utama dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara.

Dalam pengembangan perikanan ikan layang di Maluku Utara alat tangkap

mini purse seine merupakan alat tangkap prioritas yang disarankan untuk

dikembangkan harus tetap memperhatikan berapa jumlah alat tangkap yang optimal untuk dioperasikan di perairan Maluku Utara sehingga tidak akan akan terjadi kelebihan penggunaan alat tangkap ini. Dalam beberapa penelitian juga dikatakan bahwa alat tangkap purse seine mampu memberikan keuntungan yang

maksimal tetapi selain dengan melakukan analisis finansial juga untuk ke depan terlebih perlu faktor-faktor produksi terhadap usaha perikanan purse seine.

Masyahoro (2001) menyatakan bahwa faktor lama operasi/trip dan ukuran panjang jaring purse seine akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap

besarnya hasil tangkapan dalam operasi penangkapan ikan layang mengunakan alat tangkap purse seine.

Keunggulan alat tangkap tangkap pukat cincin disebabkan antara lain karena tingginya produktivitas menyebabkan pendapatan kotor yang cukup besar dibandingkan kedua alat tangkap tersebut sehingga dari segi ekonomi alat tangkap

mini purse seine menempati urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan

(6)

5.1.5 Aspek keramahan lingkungan

Berdasarkan hasil analisis keramahan lingkungan dari ketiga alat tangkap (Tabel 13), menempatkan alat tangkap jaring insang hanyut pada urutan prioritas pertama, selanjutnya mini purse seine, sedangkan bagan perahu termasuk alat

tangkap yang dianggap kurang ramah lingkungan dan berada pada prioritas ke tiga.

Jaring insang hanyut dikategorikan alat tangkap yang ramah lingkungan karena alat tangkap ini dioperasikan di kolom air. Selain itu, ukuran ikan dan jenis ikan yang tertangkap juga selektif sehingga tidak akan mempengaruhi keseimbangan struktur umur populasi ikan (Suharyanto, 1998).

Tujuan utama penangkapan dari alat tangkap pukat cincin adalah kelompok ikan pelagis kecil dan ikan yang dominan tertangkap pada alat tangkap ini adalah ikan layang atau di Maluku Utara dikenal dengan “ikan sorihi”. Berdasarkan hasil pengelompokkan alat tangkap pada tingkat keramahan lingkungan pukat cincin di kategorikan pada alat tangkap yang kurang ramah lngkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat (Atmaja dan Haluan, 2003) bahwa alat tangkap purse seine

memang cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan target spesies sehingga

tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi, namun demikian pada kondisi-kondisi tertentu terdapat beberapa populasi yang ukurannya berbeda dan berukuran kecil. Bila menggunakan rumpon maka beberapa ikan yang berukuran kecil juga ikut tertangkap, sehingga kategori ramah lingkungan alat tangkap pukat cincin tergolong dalam kategori sedang.

Bagan perahu dikategorikan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan disebabkan karena selektivitas dan hasil tangkapan sampingan (by catch) memiliki

nilai yang rendah mampu menangkap semua jenis ikan yang ada dalam areal penangkapan dari berbagai jenis dan ukuran ini dibandingkan dengan alat tangkap lainnya dan jika dihubungkan dengan nilai aspek biologi menunjukkan bahwa hasil-hasil tangkapan ikan layang yang diperoleh relatif berukuran kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Najamuddin (2004), yang menyatakan alat tangkap bagan perahu termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar.

(7)

Menurut Shepherd (1992), menyatakan bahwa penangkapan ikan-ikan kecil lebih berbahaya dari pada penangkapan ikan memijah, karena lebih banyak jumlah ikan yang diambil dengan berat yang sama, dan juga ikan-ikan lebih kecil lebih mudah ditangkap bertahun-tahun sampai memijah. Jika ditangkap pada fase-fase sebelum memijah, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memijah, sementara tidak semua ikan yang memijah dapat ditangkap dan mereka mempunyai kesempatan memijah sekurang-kurangnya sekali.

Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (2000), bahwa alat tangkap ikan disebut ramah lingkungan bila memenuhi 9 kriteria tersebut selanjutnya menurut Arimoto (1999) diacu dalam Samuel (2003), teknologi penangkapan ikan ramah

lingkungan adalah suatu alat tangkap yag tidak memberikan dampak lingkungan, tidak merusak dasar perairan (benthik disturbance), kemungkinan hilangnya alat

tangkap kecil, serta kontribusinya terhadap polusi rendah.

5.1.6 Aspek gabungan biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan

Berdasarkan hasil dari total standarisasi aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan unit penangkapan ikan layang (minipurse seine, jaring insang hanyut, bagan perahu) di perairan Maluku Utara (Tabel 15),

maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap mini purse seine

pada urutan pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam usaha perikanan ikan layang yang diprioritaskan untuk dikembangkan adalah alat tangkap mini purse seine sesuai dengan pendapat Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002)

yang menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling

produktif untuk dikembangkan.

Analisis aspek gabungan dari aspek biologi, teknik, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan dimaksudkan untuk menilai penampilan alat tangkap secara menyeluruh. Hasil dari analisis ini merupakan salah satu indikator menyeluruh tentang bagaimana keberlanjutan dari suatu usaha penangkapan ikan layang yang ada di perairan Maluku Utara dan urutan prioritas dari alat tangkap yang ada.

(8)

5.2 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Ikan Layang 5.2.1 Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY)

Data produksi dan upaya tangkap yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada jenis alat tangkap yaitu, mini purse seine, jaring insang hanyut

dan bagan perahu. Standarisasi alat tangkap sangat diperlukan untuk menyeragamkan kemampuan suatu alat tangkap ikan dalam menangkap ikan. sehingga diperoleh catch gabungan, total effort standar dan CPUE standar. Hasil

standarisasi menghasilkan mini purse seine sebagai alat tangkap standar, karena

alat tangkap ini mempunyai nilai CPUE per tahun lebih besar dibandingkan alat

tangkap jaring insang hanyut dan bagan perahu.

Hasil korelasi antara CPUE dengan effort pada Gambar 16 menunjukkan

hubungan yang negatif, yaitu semakin tinggi effort semakin rendah nilai CPUE.

Korelasi negatif antara CPUE dengan effort mengindikasikan bahwa produktivitas

alat tangkap layang akan menurun apabila effort mengalami peningkatan.

Perhitungan potensi maksimum lestari yang dianalisis menggunakan metode Schaefer menghasilkan nilai hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan (Cmsy) sebesar 20.109,43 ton per tahun. Nilai Cmsy yang diperoleh menunjukkan

tingkat produksi maksimum lestari yaitu hasil tangkapan ikan layang yang dapat ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya perikanan yang terdapat di perairan Maluku Utara. Sedangkan nilai upaya penangkapan lestari yang diperoleh sebesar 32.448 trip standard mini purse seine . Nilai upaya penangkapan

yang diperoleh ini sudah mendekati nilai upaya penangkapan aktual (2007). Hal ini berarti peluang untuk penambahan armada penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara sangat kecil.

Hubungan antara upaya penangkapan dan hasil tangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara (Gambar 17) berbentuk parabola (fungsi kuadratik),

artinya setiap penambahan tingkat upaya penangkapan (E) maka akan

meningkatkan hasil tangkapan (C) sampai mencapai titik maksimum, kemudian

akan terjadi penurunan hasil tangkapan untuk tiap peningkatan intensitas pengusahaan sumberdaya.

(9)

5.2.2 Bio-ekonomik perikanan layang

Potensi ekonomi lestari (MEY) adalah nilai maksimum hasil tangkapan yang

dapat memberikan keuntungan maksimum. MEY perlu dihitung agar aktivitas

eksploitasi sumberdaya perikanan dapat berjalan dengan sehat, dan efisien untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum tanpa mengganggu proses regenerasi atau daya pulih sumberdaya tersebut. Harga ikan dan biaya operasional merupakan komponen penting yang diperlukan untuk menghitung nilai hasil tangkapan yang memberikan keuntungan maksimum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya penangkapan yang dibutuhkan dalam ekspolitasi sumberdaya ikan layang sebesar Rp 988,375 per trip penangkapan. Biaya penangkapan yang digunakan ini adalah biaya penangkapan pada alat tangkap standard ((mini purse seine), dimana dalam usaha penangkapan

ikan layang memerlukan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable) cost). Dalam penelitian ini, yang dimaksud biaya tetap adalah biaya yang sifatnya

tidak habis digunakan dalam satu kali operasional penangkapan. Biaya tetap terdiri atas penyusutan kapal, penyusutan alat tangkap, penyusutan mesin dan perlengkapan lainnya. Biaya tidak tetap adalah biaya yang sifatnya habis pakai pada setiap operasi penangkapan. Biaya tidak tetap meliputi biaya bahan bakar, es ,ransum dan retribusi. Adapun harga jual ikan layang (Decapterus spp) di

Maluku Utara berkisar antara Rp 5500,00 sampai dengan Rp 6500,00 dengan harga rata-rata (p) sebesar Rp 6.000,00 per kg .

Analisis optimalisasi bio-ekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan model Gordon-Schaefer pada berbagai kondisi pengelolaan menunjukkan bahwa pada kondisi pengeloaan MSY memiliki hasil tangkapan

lebih besar dibandingkan dengan hasil tangkapan yang diperoleh pada kondisi pengelolaan MEY, aktual dan open acces. Hasil tangakpan ikan layang pada

kondisi MSY adalah kondisi hasil tangkapan yang maksimum lestari dimana jika

hasil tangkapan sudah melebihi kondisi hasil tangkapan ini maka mengakibatkan sumberdaya ikan layang tersebut menjadi tidak sustainable.

Perbandingan upaya penangkapan pada berbagai kondisi pengelolaan (Gambar 19), mengilustrasikan bahwa upaya penangkapan yang dilakukan armada penangkapan ikan layang pada kondisi open acces lebih besar dibandingkan pada

(10)

ketiga kodisi pengeloaan lainnya. Sebaliknya bila dilihat dari rente ekonomi tertinggi atau keuntungan optimum lestari yang diperoleh nelayan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara, dicapai pada kondisi pengelolaan MEY dan terendah yaitu pada kondisi open acces.

Berkurangnya nilai rente ekonomi dalam pengusahaan perikanan laying ini akan terus berlangsung hingga dicapai keuntungan normal yaitu pada saat tingkat upaya penangkapan yang dilakukan mencapai keseimabangan open acces (π =0). Jika

terjadi peningkatan upaya penangkapan melebihi kondisi ini maka akan mengakibatkan kerugian bagi nelayan. Dengan adanya keuntungan dalam pengelolaan sumberdaya menjadi pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan armada penangkapan maupun upaya penangkapan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.

Pada kondisi pengelolaan open acces, meskipun total penerimaan semakin

menurun, selagi total penerimaan masih lebih besar dari total biaya penangkapan (rente ekonomi positif), maka kondisi ini akan tetap dijalankan oleh nelayan untuk bertahan dalam usaha penangkapan, dimana nelayan akan meningkatkan effort.

Jika tingkat effort sudah berlebihan, sehingga total penerimaan lebih kecil dari

total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna

sustainability spesies tertentu, stok yang harus lestari, walaupun rekruitmen oleh

alam terus berjalan, namun effort yang meningkat tajam setiap tahunnya akan

berimbas kepada produksi dan pendapatan nelayan itu sendiri. Pada kondisi open acces tidak ada batasan bagi nelayan untuk tetap memanfaatkan sumberdaya.

Secara ekonomi pengusahaan sumberdaya pada kondisi open access tidak

menguntungkan karena keuntungan komparatif sumberdaya akan terbagi habis. Akibat sifat sumberdaya yang open access maka nelayan cenderung akan

mengembangkan jumlah armada penangkapan maupun tingkat upaya penangkapannya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya, maka tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh lama kelamaan akan berkurang atau tidak memperoleh keuntungan sama sekali. Oleh karena itu pengusahaan sumberdaya perlu dibatasi pada kondisi maximum

(11)

economic yield atau terkendali agar dapat memberikan keuntungan yang

maksimum dikarenakan upaya penangkapan yang terkendali sehingga total penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pada total pengeluaran.

5.3 Alokasi Optimum Upaya Penangkapan Ikan Layang

Pengalokasian jumlah unit penangkapan dari teknologi penangkapan ikan terpilih dilakukan dengan tujuan agar kegiatan perikanan layang di Maluku Utara dapat berjalan efisien, lestari dan berkelanjutan.

Model linear goal programming yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki tiga variabel keputusan dan tiga kendala tujuan. Variabel keputusan yang dimaksud adalah jumlah unit penangkapan ikan layang terpilih (minipurse seine) sebagai (X1). Adapun ketiga kendala tujuan yang dimaksud adalah: (1)

mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan MEY, (2) mengoptimalkan upaya penangkapan/jumlah hari operasi penangkapan sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat fMEY, dan (3) mengoptimalkan

tingkat penyerapan tenaga kerja.

Hasil olahan LINDO dalam optimasi alokasi armada penangkapan ikan layang pilihan di perairan Maluku Utara memperlihatkan nilai fungsi tujuan sebesar 1064. Hal ini menunjukkan bahwa dari tujuan atau target yang diinginkan, maka tujuan atau target yang tercapai adalah mengoptimalkan hasil tangkapan sumberdaya ikan layang dengan pertimbangan MEY dan mengoptimalkan jumlah hari operasi sesuai dengan upaya penangkapan pada tingkat EMEY. Hal ini

ditunjukkan dari nilai variabel deviasional (DA atau DB) sama dengan nol. Sedangkan tujuan untuk mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga kerja merupakan tujuan yang tidak tercapai, dimana jumlah tenaga kerja yang terserap hanya mencapai 2626 orang.

Jika dibandingkan hasil analisis alokasi unit penangkapan mini purse siene

(202 unit) dengan jumlah mini purse siene yang ada pada tahun 2007 (213 unit),

maka jelas perlu adanya rasionalisasi jumlah unit penangkapan, yaitu disarankan untuk melakukan pengurangan jumlah mini purse siene sebesar 11 unit.

(12)

analisis pengalokasian unit penangkapan, utamanya adalah produktivitas unit penangkapan dan jumlah hasil tangkapan pada kondisi maximum economic yield

(Cmey) nya.

Nilai poduktivitas dalam analisis ini menggunakan nilai produktivitas ideal usaha yang menguntungkan, yang nilainya nyata lebih tinggi dari nilai produktivitas aktual sekarang, dengan demikian jumlah unit penangkapan yang dialokasikan jelas lebih sedikit dari yang ada.

Selanjutnya, untuk mengimplementasikan hasil yang diperoleh, tentunya tidak langsung dilakukan pengurangan atau pembatasan jumlah mini purse siene

secara drastis. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan rasional, seperti melakukan pengalihan usaha dari unit penangkapan yang berlebih ke unit penangkapan yang belum optimal, dan tidak lagi memperpanjang ijin usaha unit penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya.

5.4 Biologi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus)

Hasil pengamatan terhadap 2000 ekor ikan layang biru yang terdiri dari 645 ekor ikan jantan dan 1355 ekor ikan betina diperoleh perbandingan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1,8 (Tabel 18).

Berdasarkan data rasio kelamin tersebut menunjukkan bahwa persentase ikan layang biru betina lebih besar dari ikan jantan, hal tersebut diduga di pengaruhi oleh tingginya faktor kematian penangkapan disamping itu diduga laju mortalitas alaminya juga berbeda. Hal lain yang menyebabkan ketidak seimbangan rasio kelamin jantan dan betina diduga karena pada bulan-bulan tersebut sebagian besar ikan-ikan betina melakukan pemijahan. Hal tersebut sesuai pernyataan Kilingbell (1978), bahwa terjadinya penyimpangan dari konsep keseimbangan rasio kelamin merupakan suatu pertanda bahwa proses pemijahan sedang terjadi. Wahyono dan Dharmadi (2000), melakukan penelitian di perairan Sulawesi Utara tentang beberapa aspek biologi perikanan malalugis biru dihasilkan rasio kelamin jantan dan betina adalah 1 : 1.

Menurut Bal dan Rao (1984) diacu dalam Nugroha dan Mardilijah (2006),

variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi dikarenakan 3 faktor yaitu perbedaan tingkah laku seks, kondisi lingkungan dan penangkapan. Pendugaan

(13)

rasio jenis kelamin sangat dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam produksi, rekruitmen dan konservasi sumberdaya ikan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan layang biru yang tertangkap memiliki ukuran yang bervariasi, dimana panjang rata-rata maupun berat rata-rata ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Frekuensi panjang ikan layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara umumnya berukuran relatif besar dibandingkan dengan jenis ikan pelagis kecil lainnya. Penelitian Hariati (2004) di perairan Banda Aceh menunjukkan bahwa ikan layang biru yang ditemukan berukuran antara 16 – 32 cm FL, dengan modus 28,5 cm. Sementara di perairan sebelah barat Sumatera Utara berukuran antara 16 – 26 cm FL dengan modus 20,5 dan 23,5 cm. Sedangkan di perairan Parigi (Teluk Tomini) berukuran 16 cm – 27 cm FL, dengan modus 19,5 dan 25 cm. Dengan demikian maka ukuaran ikan layang biru yang tertangkap di perairan Maluku Utara berukuran relatif lebih besar dibandingakan dengan ukuran ikan yang di temukan pada penelitian-penelitian tersebut.

Ukuran panjang total layang biru yang diperoleh selama penelitian menunjukkan varaisi ukuran yang berbeda. Adanya variasi ukuran dari ikan layang biru jantan maupun betina tersebut, diduga karena populasi ikan layang di perairan Maluku Utara terdiri dari beberapa kelompok, dimana hal tersebut dapat terlihat jelas dari pergeseran ukuran kelompok panjang dalam populasi berdasarkan waktu dari ikan tersebut.

Frekuensi panjang ikan layang biru jantan dan betina yang diperoleh selama penelitian memiliki 3 (tiga) kelompok umur, yaitu kelompok umur pertama lebih muda dari kelompok umur berikutnya sejalan dengan semakin penjangnya ukuran ikan. Kelompok umur tersebut jelas menunjukkan adanya variasi ukuran ikan layang biru yang tertangkap di lokasi penelitian.

Berdasarkan dugaan parameter pertumbuhan ikan layang biru di perairan Maluku Utara dengan metode Plot Ford-Walford di peroleh nilai dugaan parameter pertumbuhan Von Bartalanffy yaitu panjang maksimum (L), nilai koefiesien pertumbuhan (K ) dan umur teoritis (t0) ikan layang biru betina lebih

(14)

Kurva pertumbuhan panjang layang biru jantan jantan maupun betina (Gambar 26), mengekspresikan hubungan pola pertumbuhan dan umur maksimum dari populasi ikan layang biru jantan dan betina di perairan Maluku Utara. Dari kurva tersebut terlihat bahwa ikan layang biru jantan mencapai panjang maksimum 330,34 mm pada umur 48 bulan atau 4 tahun, demikian pula ikan layang biru betina mencapai panjang maksimum 335,73 mm pada umur 48 bulan atau 4 tahun. Dengan umur tersebut menunjukkan pada umur 48 bulan atau 4 tahun tidak terjadi lagi pertumbuhan atau penambahan panjang baik untuk ikan layang biru jantan maupun betina. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo (1988), menjelaskan bahwa umur maksimum dari ikan layang kira-kira 5 tahun. Panjang infinity (L∞) merupakan ukuran panjang maksimum ikan layang di

tersebut di daerah penangkapan atau bisa disebut juga dengan panjang maksimum. Nilai L∞ dan K yang diperoleh dalam penelitian ini (Tabel 20) apabila

dibandingkan dengan nilai penelitian L∞dan K hasil penelitian Widodo (1998)

dengan ikan spesies yang sama di Laut Jawa dengan nilai L∞= 256 mm dan

K = 0,50 per bulan menunjukkan perbedaan yang cukup besar. Menurut Csirke (1988) diacu dalam Merta (1992) perbedaan nilai parameter pertumbuhan (L∞

dan K) dari spesies ikan yang sama pada lokasi yang berbeda di pengaruhi oleh faktor lingkungan masing-masing perairan seperti ketersediaan makanan, suhu perairan, oksigen terlarut, ukuran ikan, kematangan gonad. Widodo (1988) kecenderungan ketidaktepatan nilai parameter pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh komposisi ikan contoh yang dianalisis dari pada cara atau metode yang digunakan.

Menurut Effendie (1997), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain jumlah makanan yang di makan, jumlah ikan di suatu perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan (umur, keterunan dan genetik).

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang berat ikan layang biru yang di hitung secara terpisah baik jantan maupun betina di peroleh nilai koefiseien regresi lebih kecil dari 3 dan nilai r yaitu untuk ikan jantan 0.7635 dan ikan betina

(15)

0.8010. Nilai koefisien regresi (b) yang diperoleh menunjukkan keseimbangan pertumbuhan panjang dan berat ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan layang biru di perairan Maluku Utara berpola ”Alometrik Minor, yang mengandung arti pertumbuhan panjang tubuh ikan lebih cepat dari pertumbuhan beratnya. Sedangkan nilai r yang tinggi mengindikasikan bahwa adanya keeratan hubungan antara panjang dan berat tubuh dari ikan layang.

Penelitian pernah dilakukan oleh beberapa peneliti pada daerah yang berbeda diantaranya, di Laut Jawa dilakukan oleh Widodo (1988) didapatkan nilai b = 2,997 untuk ikan jantan dan b = 3,034 untuk ikan betina dan di perairan Teluk Ambon dilakukan oleh Sumadhiharga (1991) diperoleh nilai b = 2,298. Perbedaan nilai b dari beberapa penelitian ini diduga karena dipengaruhi oleh perbedaan musim dan tingkat kematangan gonad serta oleh aktivitas penangkapan. Menurut Graham (1935) diacudalam Soumokil (1996) tekanan penangkapan yang cukup

tinggi pada suatu daerah turut mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan populasi ikan.

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah (Effendie, 1979). Penentuan tingkat kematangan gonad sangat penting di lakukan, karena sangat berguna untuk mengetahui perbandingan antara gonad yang masak dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu siklus (Effendie, 1997). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara morfologis (visual) dan secara histologis. Untuk penelitian di perairan Maluku Utara penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan secara morfologis (visual).

Hasil pengamatan tingkat kematangan gonad ikan layang biru contoh jantan dan betina selama peneltian, ditemukan dalam beberapa tingkat kematangan gonad yaitu TKG I (inmature), TKG II (maturing) TKG III (mature), TKG IV

(ripe) dan TKG V (spent). Berdasarkan Tebel 22, menjelaskan bahwa Ikan layang

biru jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian didominasi ikan-ikan yang belum matang gonad. Kondisi seperti ini apabila terjadi dalam waktu yang panjang, maka berdampak buruk pada kelangsungan hidup dari sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.

(16)

Hasil pengamatan menunjukkan ikan layang biru jantan dan betina yang telah matang gonad ditemukan sepanjang periode penelitian dengan jumlah terbanyak ditemukan pada bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa untuk ikan layang biru betina di perairan Maluku Utara diduga memijah hampir setiap bulan dengan puncak pemijahan pada bulan April atau Mei. Hal tersebut senada dengan pernyataan Widodo (1988), berdasarkan hasil penelitian terhadap musim pemijahan ikan layang di Laut Jawa, diperoleh ikan jenis tersebut dengan tingkat kematangan gonad IV terbanyak pada bulan Maret dan bulan Juli dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan April/Mei dan Agustus/September.

Gambar 29, menjelaskan bahwa peningkatan jumlah ikan layang biru (Decapterus macarellus) contoh betina yang matang gonad selalu diikuti dengan

peningkatan jumlah ikan layang biru contoh jantan. Hal tersebut memberi peluang yang cukup baik bagi induk-induk ikan layang biru untuk melakukan perkawinan. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa ikan layang biru (Decapterus macarellus) di perairan Maluku Utara dapat memijah beberapa kali dalam satu

musim dengan puncak musim pemijahan pada bulan April atau bulan Mei. Hal ini sesuai di kemukakan oleh Suwarso dan Hariati (1988), bahwa dari variasi indeks kematangan gonad menurut ukuran dan tingkat kematangan gonad diketahui pemijahan ikan layang biru berlangsung relatif lama dan bersifat sebagian-sebagian (partial spawning).

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif.

Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan layang biru yang matang gonad pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa ikan layang biru jantan maupun betina mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang total rata-rata 25,8 cm. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Hariati (2004), yang dilakukan di perairan Banda Aceh menghasilkan panjang rata-rata pertama kali matang gonad ikan layang biru (Decapterus macarellus)

(17)

yaitu 24,9 cm, sedangkan di perairan Teluk Tomini dan di periaran Laut Sulawesi pada tahun 1997 adalah 22,8 cm. Saat pertama kali ikan mencapai kematangan gonad menurut Effendie (1992), di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi ikan terhadap lingkungan (faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor eksternal). Perbedaan ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama disebabkan oleh perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri.

Dengan tertangkapnya khususnya ikan layang biru betina yang matang gonad pada berbagai ukuran mulai dari ukuran yang terkecil sampai ukuran yang besar memberikan petunjuk bahwa ikan-ikan tersebut bertelur dan memijah lebih dari satu kali dalam hidupnya. Selain melalui pengamatan tingkat kematangan gonad, musim pemijahan ikan dilakukan di suatu perairan dapat diteliti melalui pengamatan terhadap jumlah telur yang sudah masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah (Batts,1972).

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Menurut Effendie (1992), kegunaan fekunditas adalah sebagai bagaian dari studi sistimatik atau studi mengenai ras, dinamika populasi, produkstivitas, potensi reproduksi dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang akuakultur jumlah telur yang dihasilkan berguna dalam persiapan fasilitas kultur ikan.

Hasil pengamatan terhadap contoh ikan layang biru betina yang telah, diperoleh kisaran fekunditas ikan layang biru di perairan Maluku Utara antara 28875 - 84000 butir. Adanya variasi jumlah telur pada berbagai ukuran panjang ikan layang biru menunjukkan kemungkinan adanya kegiatan pengeluaran telur yang terjadi setiap saat.

Fekunditas yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kisaran yang berbeda dengan hasil penelitian beberapa penelitian sebelumnya antara lain. Soumokil (1996) yang meghitung jumlah telur dari 100 ekor ikan Decapterus russelli betina dengan ukuran nilai tengah panjang 170 mm-280 mm mengandung

telur sebanyak 20874 -70112 butir. Burhanuddin dan Djamali (1977) yang telah mencacah 20 ekor ikan Decapterus russelli betina dari perairan Pulau Panggang

(Pulau-Pulau Seribu) dengan ukuran panjang baku 166-299 mm mengandung telur sebanyak 20000-80000 butir. Penelitian yang pernah dilakukan di perairan

(18)

Teluk Ambon diperoleh ikan momar betina mengandung telur sebanyak 6641 - 97724 butir. Adanya perbedaan jumlah telur dari berbagai hasil penelitian disebabkan oleh perbedaan ukuran panjang dan diameter telur yang diteliti (Burhanuddin dan Djamali, 1977).

Hasil analisis regresi antara panjang total ikan dengan jumlah telur memperoleh suatu hubungan yang erat dimana respon jumlah telur sangat dipengaruhi oleh panjang total ikan layang biru betina yang telah siap memijah. Atau mengandung arti bahwa semakain panjang induk ikan maka semakin bertambah jumlah telurnya.

5.5 Mesh Size Minimum Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan

Pembatasan mesh size jaring yang dapat digunakan untuk menangkap jenis

ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik perikanan bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus didasarkan pada kondisi biologi ikan-ikan yang ada dilapangan.

Lingkar badan ikan diukur sebagai dasar dalam penentuan ukuran mata jaring. Pada umumnya ikan akan terjerat pada jaring apabila lingkar kepala ikan sama dengan ukuran mata jaring.

Hasil perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang biru jantan dan betina selama penelitian diperoleh panjang total rata-rata 258 mm (25,8 cm). Sebagai faktor kehati-hatian dan keamanan populasi, maka dalam penentuan ukuran mata jaring sebagai faktor pembanding merujuk pada ukuran ikan pertama kali matang gonad yang diperoeh yaitu 258 mm (25,8 cm). Dari panjang tersebut disubstitusikan pada persamaan regresi dan didapatkan lingkar badan ikan layang biru yaitu 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam

menangkap ikan layang di Maluku Utara memiliki ukuran mesh size 2,54 cm –

3.81 (1 inchi – 1,5 inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size 1.90 cm (0,75 inchi). Dengan demikian ukuran mata

jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tersebut tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad atau dengan kata lain mesh size

(19)

alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ukuran ikan yang baru pertama kali memijah.

Data sampel hasil tangkapan yang diperoleh menunjukkan 1077 ekor atau 53,85% ikan layang biru berukuran panjang lebih kecil dari 25,8 cm. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan yang belum pernah memijah. Secara biologis, hal ini sangat mengganggu keberlanjutan populasi ikan layang. Melihat kondisi tersebut dan untuk lebih mempertahankan keberlanjutan populasi ikan layang biru di perairan Maluku Utara, diperlukan penerapan aturan penggunakan ukuran mata jaring minimum.

Dalam rangka penerapan perikanan yang bertanggung jawab, pengaturan mata jaring (mesh size) alat tangkap mni purse seine terhadap ukuran ikan di

perairan Maluku Utara perlu diperhatikan, agar dapat diloloskan ukuran ikan yang belum pernah memijah (panjang total < 25,8 cm). Ukuran mata jaring alat tangkap

mini purse seine yang sebaiknya digunakan agar dapat meloloskan ukuran ikan

yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2 inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size 2,54 cm (1 inchi).

Sebagaimana telah di atur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 123/Kpt/Um/3/1975 tentang ketentuan lebar mata jaring purse seine yang

digunakan dalam penangkapan ikan-ikan pelagis kecil, menetapkan bahwa melarang penggunaan ukuran mata jaring purse seine kurang dari dua inci pada

bagian sayap dan kurang dari satu inci pada bagian kantong.

Pengaturan ukuran mata jaring minimum lebih ditekankan pada bagian badan dan sayap karena kedua bagian ini memiliki persentase ukuran terbesar dari total panjang alat tangkap yaitu mencapi 80%. Di samping itu pengaturan kembali mesh size pada bagian badan dan sayap dilakukan dengan tujuan agar

ikan-ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran ikan di bawah ukuran pertama kali matang gonad dapat lolos ketika proses pelingkaran jaring (setting) di lakukan.

Perbaikan selektivitas alat penangkap ikan dapat dilakukan dengan penerapan ukuran mata jaring minimum atau dengan sistem penggunaan jaring tertentu dengan ukuran mata jaring yang lebih besar yang berfungsi sebagai jalan bagi ikan-ikan ukuran kecil untuk meloloskan diri karena menurut (FAO, 1995),

(20)

informasi ukuran mata jaring minimun sangat penting dalam penerapan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. Ukuran mata jering yang digunakan memberikan gambaran ukuran ikan yang akan tertangkap.

Pembatasan ukuran mata jaring yang dapat digunakan untuk menangkap jenis ikan tertentu merupakan suatu keharusan dalam penerapan kode etik perikanan bertanggung jawab (CCRF). Penentuan ukuran mata jaring harus didasarkan pada kondisi biologi ikan-ikan yang ada di lapangan

Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara sangat tergantung dari bagaimana sumberdaya ikan layang tersebut dieksploitasi. Oleh karena itu perlu digunakan alat tangkap yang selektif yang mampu meloloskan ikan-ikan yang berukuran tertentu, yaitu yang belum pernah mencapai kematangan gonad. Dengan demikian, ikan-ikan yang tertangkap minimal sudah pernah melakukan reproduksi sekali dalam masa hidupnya. Disamping itu dalam menjaga kesimbungan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara, maka hal yang terpenting yang harus dihindari adalah dengan tidak melakukan penangkapan ikan pada saat musim pemijahan, sehingga ikan-ikan dengan bebas melakukan pemijahan tanpa ada gangguan akibat tekanan penangkapan.

5.6 Pola Musim dan Daerah Penangkapan Ikan Layang

Berdasarkan hasil analisis indeks musim penangkapan, menunjukkan bhawa musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung dari bulan Meret -Oktober dan titik puncak terjadi pada bulan Agustus. Musim penangkapan ikan layang terjadi pada saat musim timur, musim peralihan timur-barat dan musim peralihan barat-timur. Sedangkan pada musim barat barat (bulan Desember - Februari) bukan merupakan musim penangkapan ikan. Pada bulan-bulan ini hanya sedikit perahu maupun kapal penangkapan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut ditandai dengan adanya gelombang yang cukup besar, sehingga dapat menghambat jalannya proses mengoperasian alat tangkap.

Berdasarkan grafik pola musim penangkapan ikan layang (Gambar 30), menunjukkan bahwa pada musim timur yaitu bulan Juli - September, merupakan

(21)

musim yang sangat baik untuk melakukan penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara. Waktu penangkapan yang baik ini juga didukung dengan adanya pola musim yang memungkinkan ikan layang hidup dan berkembang di perairan Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun menguntungkan.

Perbedaan musim penangkapan ikan ini terutama dipengaruhi oleh perubahan hembusan angin, dimana di Indonesia dikenal dengan 4 jenis musim angin yaitu, musim Barat, musim Timur, musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat. Sebagaimana di jelaskan oleh Nontji (2007), angin yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam satu tahun terjadi dua kalai pembalikan arah yang masing-masing disebut dengan angin musim barat dan musim timur, sedangkan antara dua kali perubahan musim terdapat juga dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat-Timur dan musim peralihan Timur-Barat.

Pada musim timur (Juni - Agustus) kondisi perairan relatif tenang sehingga sangat membantu bagi nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Saat musim timur perairan laut Banda dan Laut Maluku diduga lebih subur, hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2002), bahwa gerakan arus yang cenderung berasal dari belahan bumi Selatan, namun setelah masuk ke Laut Banda mengakibatkan terjadinya Upwelling. Akibat dari upwelling ini ditemukannya

suhu air yang rendah di permukaan yaitu rata-rata 3ºC lebih rendah dari pada musim barat, sedangkan salinitas 1% lebih tinggi. Kandungan fosfat dan nitrat juga ikut naik menjadi dua kali lipat dan kandungan plankton pun mengalami peningkatan. Dilanjutkan oleh Nontji (2007), bahwa pada bulan Juni-Agustus aruas kuat datang dari utara Papua yang terlebih dahulu melingkari ujung selatan Halmahera untuk kemudian berbelok ke utara dan kembali ke Samudera Pasifik bersatu dengan arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current).

Dengan adanya arus maka masa air dilapisan permukaan akan terbawa mengalir, sebagai akibatnya air dari lapisan bawah naik ke permukaan yang dikenal dengan upwelling yang kaya akan unsur hara. Konsentrasi unsur hara

yang tinggi di lokasi upwelling meningkatkan kesuburan perairan sehingga

mendukung kelimpahan dan pertumbuhan plankton yang kemudian memberikan daya tarik bagi ikan-ikan untuk mencari makan.

(22)

Hasil penelitian Amri et al., (2006) tentang kondisi hidrologis dan

kaitannya dengan hasil tangkapan ikan malalugis biru di perairan Teluk Tomini menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan malalugis biru berkorelasi dengan peningkatan konsentrasi kesuburan perairan yang terjadi pada musim Timur (bulan Agustus sampai dengan September) akibat terjadi upwelling di bagian

Mulut Teluk. Selanjutnya hasil penelitian Arifin (2006), menemukan bahwa

upwelling, front dan sebaran klorofil-a di perairan Maluku terjadi pada bulan Juli

dan Agustus. Dengan demikian pada bulan-bulan tersebut kondisi perairan kaya akan unsur hara. Kondisi lingkungan seperti ini sangat mendukung keberadaan ikan layang dalam mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970), bahwa ikan layang sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan biasanya beruaya mengikuti kadar garam dan ketersediaan makanan. Habitat lingkungan yang disenangi umumnya sekitar upwelling dan turbulensi. Demikian pula dikemukakan

Syahailatua (2004) diacu dalam Amri et al., (2006), bahwa daerah upwelling

merupakan daerah penangkapan ikan-ikan pelagis kecil.

Faktor oseanografi seperti salinitas yang cocok juga turut berperan bagi keberadaa ikan layang di perairan Maluku Utara, dimana kisaran salinitas di perairan Maluku Utara pada musim timur berkisar antara 32,5-33,5 promil. Kondisi salinitas seperti ini, memang sesuai dengan kebiasaan hidup dari ikan layang yang senang beruaya pada perairan dengan salinitas yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh (Djamali, 1995), layang cenderung melakukan ruaya mengikuti massa air, sebaran salinitas yang tinggi (di atas 32 promil), serta ketersediaan makanan.

Selain faktor kondisi perairan dan unsur hara musim penangkapan ikan layang di Maluku Utara diduga dipengaruhi oleh waktu pemijahan dari ikan tersebut. Hal ini terjadi karena pada saat musim-misim pemijahan biasanya di manfaatkan nelayan sebagai musim penangkapan bagi ikan layang, dan hal ini terjadi sebagaimana hasil analisis musim pemijahan pada sub bab sebelumnya diperoleh puncak musim pemijahan ikan layang di Maluku Utara diduga terjadi pada bulan April/Mei. Demikian pula yang di temukan Widodo (1998) di perairan Jawa terhadap jenis ikan yang sama diduga musim puncak pemijahan terjadi

(23)

pada bulan Agustus/September. Sedangkan musim penangkapan ikan layang di Maluku Utara terjadi dimulai dari bulan Maret - September dengan musim puncak terjadi pada bulan Agustus. Kondisi seperti ini bila terjadi secara terus menerus maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap ketersediaan sumberdaya ikan layang di alam.

Berdasarkan data hasil wawancara dengan nelayan dan data titik koordinat posisi lokasi pemasangan rumpon, maka dengan bantuan perangkat lunak AreView Gis 33 dapat dipetakan daerah penangkapan dan musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara.

Daerah penangkapan ikan layang di Maluku Utara tidak tersebar merata di setiap perairan, hanya terkonsentrasi pada daerah tertentu. Pemanfaatan ikan layang di bagian tengah Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPN Ternate dan PPI Dufa-dufa dan sebagian besar daerah penangkapannya berada di perairan barat Halmahera antara pulau Ternate hingga ujung Utara Halmahera diantaranya mencakup wilayah perairan Batang Dua, Ternate, Tidore, Mare, Moti, Makian hingga perairan sekitar pulau Kayoa. Dan biasanya kegiatan penangkapan di lokosi-lokasi tersebut di lakukan pada akhir bulan Februari hingga Mei dan bulan Juli hingga September.

Pemanfaatan ikan layang di bagian selatan Maluku Utara tersebar disepanjang ujung selatan Halmahera hingga bagain barat pulau Bacan tepatnya di perairan antara pulau Kasiruta hingga mencapai perairan laut Maluku bagi armada yang berukuran relatif besar. Kegiatan penangkapan di daerah tersebut biasanya dilakukukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Bacan dan kegiatan penangkapan dilakukan sekitar bulan April - Oktober. Sedangkan pemanfaatan

ikan layang di perairan bagian Utara Maluku Utara dilakukan oleh nelayan yang berpangkalan di PPP Tobelo yaitu sebagian besar tersebar di perairan utara Morotai dan perairan sekitar Teluk kao di mana waktu penangkapan dilakukan dari bulan April - September. Umumnya puncak-puncak waktu penangkapan ikan layang di perairan Maluku utara dimulai dari bulan Maret hingga Oktober.

Pemetaan sebaran ikan layang secara bulanan di perairan Maluku Utara bervariasi sepanjang tahun, hal tersubut disebabkan ikan akan selalu mencari habitatnya yang cocok untuk melangsungkan kehidupannya. Keberadaan ikan

(24)

pada suatu daerah penangkapan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Suhu dan salinitas merupakan faktor oseanografi yang sangat berpengaruh terhadap sebaran ikan pelagis termasuk ikan layang (Leavestu dan Hayes 1981). Daerah penangkapan ikan dikatakan baik bila tersedia ikan, parameter oseanografi mendukung, serta kondisi perairan mendukung untuk pengoperasian alat tangkap.

5.7 Pola Pengembangan Berkelanjutan Sumberdaya Ikan Layang di Perairan Maluku Utara

Pola pengembangan yang dimaksud dalam kajian ini adalah sebuah bentuk atau kerangka pengembangan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan layang di provinsi Maluku Utara, bukan merupakan pemodelan atau model matematis. Secara umum pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang adalah bentuk pengaturan terhadap jumlah hasil tangkapan dan ukuran ikan yang ditangkap sebagai respon terhadap kondisi perikanan dan tingkat eksploitasi yang terus meningkat.

Setalah mempertimbangkan aspek-aspek yang telah dikaji pada hasil dan pembahasan, maka diperoleh keragaan nilai optimal untuk semua kompenen perikanan layang yang menjadi fokus kajian di perairan Maluku Utara yaitu terdiri dari: (1) alat tangkap ikan layang pilihan (mini purse seine), (2) pemanfaatan

sumberdaya ikan layang optimal, (3) biologi ikan layang, (4) mesh size optimum

alat tangkap pilihan (mini purse seine), serta (5) waktu dan daerah penangkapan

ikan layang yang tepat. Keragaan nilai optimal ini selanjutnya menjadi pola bagi pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara. Secara jelas pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara dapat dirangkum pada Gambar 30.

(25)

Waktu dan Daerah Penangkapan Ikan Layang yang Tepat

¾Pola musim penangkapan: bulan Maret - Oktober dengan puncak musimnya bulan Agustus (musim timur).

¾Musim penangkapan ikan layang pada tiap DPI:

• Bagian tengah Maluku Utara: Perairan Batang Dua, Ternate, Mare, Moti, Makian dan Perairan Kayoa. Musim penangkapan bulan Feb - Mei dan Juli - Sept.

• Bagian selatan Maluku Utara: Perairan Obi, Bacan dan Laut Maluku. Musim penangkapan bulan April - Okt.

• Bagian Utara Maluku Utara: Perairan Utara Morotai dan Teluk Kao. Musim penangkapan bulan Apr -Sept.

Implikasi Kebijakan

- Mini purse seine, unit penangkapan prioritas yang dikembangkan dalam perikanan layang.

- Pembatasan jumlah produksi agar tidak melebihi nilai produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton/thn, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical dan economical overfishing. - Pengurangan dan pembatasan jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202 unit, dan

tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik optimalnya.

- Pembatasan semantara waktu operasi penangkapan pada waktu puncak musim pemijahan.

- Penerapan batas minimum mesh size mini purse seine dan pelarangan pendaratan ikan-ikan dibawah ukuran belum pernah memijah.

- Perluasan DPI layang hingga mencapai 4 – 6 mil laut dari fishing base.

- Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unitpenangkapan lainnya yang belum optimal, seperti pada usaha penangkapan ikan demersal.

- Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan usaha perikanan lainnya yang dianggap belum optimal, seperti perikanan tangkap ikan demersal, usaha pengolahan dan budidaya ikan.

- Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang.

- Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan layang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar. - Koordinasi antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk melakukan

pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan.

Biologi Ikan Layang

- Kisaran panjang 211 – 315 mm

- Rasio kalamin jantan dan betina 1 : 1,8.

- Pertumbuhan ikan betina lebih cepat dari ikan jantan.

- Panjang maks ikan betina (335,73) mm dan jantan (330,34 mm) di capai pada usia 4 tahun.

- Pola pertumbuhan Alometrik minor - Matang gonad terbanyak pada bulan

Maret dan ukuran panjang pertama kali matang gonad 25,8 cm.

- Pola pemijahan terjadi beberapa kali selama musim pemijahan dengan puncaknya bulan April/Mei.

- Fekunditas sebanyak 288875 – 84000

buitr dengan kisaran panjang ikan 268 – 310 mm.

Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang Optimal

C opt = 19.754, 248 ton/thn

E opt = 28.135 trip/thn

π max = Rp. 90.717.199.850,00

Alokasi E opt = 202 unit Tenaga kerja opt = 2626 orang Mesh Size Optimum

Alat Tangkap Pilihan (mini purse seine)

- Bagian badan & sayap = 5,08 cm (2 inci)

- Bagian kantong = 2,54 cm (1 inci)

Alat Tangkap Ikan Layang Pilihan

Mini purse seine

Usaha Perikanan Ikan Layang Berkelanjutan

POLA PENGEMBANGAN

(26)

Berdasarkan keragaan nilai optimal dari komponen perikanan layang dikaji serta keterkaitan antara berbagai kompenen tersebut, maka dihasilkan beberapa implikasi kebijakan yang nantinya sangat berguna dan diharapkan akan menjadi acuan dalam pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.

Beberapa implikasi kebijakan yang dihasilkan dari pola pengembangan berkelanjutan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara adalah sebagai berikut : 1) Mini purse siene adalah jenis teknologi penangkapan yang diprioritaskan

untuk dikembangkan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara.

2) Pembatasan produksi hasil tangkapan ikan layang agar tidak melebihi nilai produksi optimum, yaitu sebasar 19.754,24 ton per tahun, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biological dan economical overfishing.

3) Membuat dan menetapkan regulasi tentang pengurangan dan pembatasan jumlah unit mini purse seine hingga mencapai jumlah optimal yaitu 202

unit dan tidak lagi memperpanjang ijin usahanya hingga mencapai titik optimalnya.

4) Perlu dilakukan pembatasan sementara waktu operasi penangkapan pada waktu (bulan) musim puncak pemijahan ikan layang.

5) Perlu diterapkannya batas minimum mesh size alat tangkap mini purse seine

dan pelarangan pendaratan ikan-ikan di bawah ukuran belum pernah memijah.

6) Kegiatan penangkapan dibatasi pada daerah dekat pantai dan sebaiknya diarahkan hingga mencapai 4 - 6 mil laut dari fishing base.

7) Melakukan pengalihan unit mini purse seine yang berlebih ke unit

penangkapan yang belum optimal, seperti pada usaha penangkapan ikan demersal.

8) Mengarahkan nelayan yang tidak terserap, dengan melakukan kegiatan usaha perikanan lainnya yang dianggap belum optimal, seperti perikanan tangkap ikan demersal, usah pengolahan dan budidaya ikan.

(27)

9) Pengaturan kembali sistem bagi hasil dalam usaha perikanan ikan layang. 10) Peningkatan kapasitas cool storage dan penerapan teknologi tepat guna

untuk menjaga mutu ikan layang dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpuh pada penjualan ikan segar.

11) Pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang.

Hasil identiifikasi jenis teknologi penangkapan terpilih berdasarkan kaidah aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi masing-masing memilih mini purse seine

sebagai alat tangkap yang layak dikembangkan. Penekanan terhadap aspek keramahan lingkungan maka mini purse seine berada pada posisi prioritas kedua

setalah jaring insang hanyut. Namun tinjauan terhadap keseluruhan aspek memilih

mini purse seine sebagai alat tangkap utama yang layak dikembangkan dalam

pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Haluan dan Nurani (1988), dan Yuliansyah (2002) yang menyatakan bahwa alat tangkap purse seine adalah alat tangkap yang paling

produktif untuk dikembangkan. Penelitian tentang penentuan unit penangkapan pilihan ikan layang juga pernah dilakukan oleh Arifin (2008) di Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, memilih purse seine sebagai alat tangkap yang

di prioritaskan untuk dikembangkan di daerah tersebut.

Beberapa keunggulan mini purse seine yang telah diidentifikasi antara lain

adalah penyerapan yang paling tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja, memilki produkstivitas yang tinggi, hasil tangkapan bermutu baik, dan tingginya keuntungan bersih yang dicapai.

Keunggulan mini purse seine yang perlu dipertahankan dan dikembangkan

adalah kemampuan menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan produktivitas yang paling tinggi yang memungkinkan mendapat keuntungan yang tinggi pula. Hal senada juga dihasilkan oleh Suardi (2005), yang mengkaji tentang pengembangan perikanan tangkap pelagis kecil untuk pemberdayaan nelayan di Kota Palopo, yang mana merekomendasikan pukat cincin sebagai unit penangkapan unggulan karena memiliki trend produktivitas yang produktif.

(28)

Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimilki alat tangkap mini purse seine

tersebut, dapat menggambarkan bahwa aspek sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang di Maluku Utara merupakan prioritas utama yang dipertimbangkan.

Kelebihan lain dari minipurse seine adalah ikan hasil tangkapannya bermutu

baik. Hal ini disebabkan oleh fungsi jaring pada mini purse seine yang hanya

sebagai dinding penghalang lolosnya ikan yang telah dikelilingi. Namun disisi lain kelebihan tersebut membawa dampak negatif dari mini purse seine yang

kecilnya mesh size jaring sehingga ikan-ikan yang berukuran kecil sulit untuk

meloloskan diri ketika sudah dikelilingi alat tangkap.

Keunggulan mini purse seine perlu dipertahankan dan dapat dikondisikan

serta dioptimalkan di lapangan. Sedangkan kekurangannya diupayakan untuk diminimalkan. Dengan mengenali keunggulan dan kekurangan mini purse seine

secara baik dan megantisipasi efek negitifnya, maka pemanfaatan sumberdaya ikan layang secara berkelanjutan dapat tercapai.

Alokasi hasil tangkapan yang dianjurkan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku adalah sebasar 19.754, 248 ton per tahun, sehingga dapat mengurangi tingkat upaya untuk mengcegah terjadinya biolgical dan economical overfishing. Mengingat keterbatasan akses dan sumberdaya ikan

layang yang hanya terkonsentrasi disekitar perairan pantai, pembatasan jumlah hasil tangkapan sebnyak 19.754, 248 ton tersebut harus dilakukan walaupun secara biologi belum mencapai titik MSY. Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya ikan layang pada tahun-tahun berikutnya tetap terjaga.

Jumlah unit penangkapan mini purse seine yang ada pada tahun 2007 adalah

213 unit. Sedangkan jumlah unit mini purse seine yang optimal yang dialakosikan

sebesar 202 unit. Dengan demikian perlu dilakukan pengurangan jumlah upaya sebesar 11 unit. Disamping itu tidak lagi dilakukan perpanjangan ijin usaha unit penangkapan mini purse siene hingga mencapai titik optimalnya. Pengurangan

jumlah unit penangkapann yang berlebih dan pembatasan izin usaha untuk sementara adalah sangat dianjurkan agar kegiatan operasi penangkapan dapat berlangsung efisien.

(29)

Penetapan hasil tangkapan sesuai dengan quota untuk pengelolaan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara perlu dilakukan guna mengatur pemanfaatan stok dari sumberdaya ikan layang di wilayah ini. Bergin dan Haward (1994) melaporkan bahwa sejak 1985, Australia, Jepang, dan Selandia Baru sebagi pemilik hak quota telah menentukan quota tahunan untuk memanfaatkan stok tuna sirip biru. Holden (1995) menambahkan bahwa alokasi hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan telah diterapkan beberapa dekade yang lalu seperti untuk stok ikan plaice, round fish, cod, haddok dan whitting di Laut Utara (sistem TAC), ikan tuna di Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia (sistem quota), dan

stok mackerel di perairan English dan Bristol Channel (pembatasan jumlah alat

tangkap dan close season).

Bergin dan Haward (1994) memberikan fakta untuk kasus stok tuna sirip biru, walaupun kebijakan sistem quota telah diterapkan sejak tahun 1985, kolepsnya sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dicegah oleh karena adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap konsumsi ikan tersebut, sehingga hasil tangkapan mengalami penurunan drastis. Oleh karena itu Bergin dan Haward (1994) dan FAO (1994) agar pembatasan alokasi hasil tangkapan juga disertai dengan peraturan lainnya seperti mengurangi tingkat upaya penangkapan, melakukan penutupan area (closed area) di tempat yang diduga sebagai tempat

bertelur selama musim bertelur (closed season).

Keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh ketersedian stok ikan di perairan. Nelayan biasanya tidak akan pergi melaut untuk beberapa waktu bila hasil tangakapan yang diperoleh sebelumnya sedikit dan akan melaut kembali atau meningkatkan upaya penangkapan ketika tiba musim ikan.

Pola musim penangkapan ikan layang di Maluku Utara berdasarkan hasil analisis berlangsung pada bulan Maret-Oktober dengan puncak penangkapan berlangsung pada bulan Agustus yang bertepatan dengan musim timur. Pada musim timur merupakan musim penangkapan ikan layang disebabkan pada musim ini kondisi perairan relatif tenang sehingga sangat membantu bagi nelayan dalam mengoperasikan alat tangkapnya. Disamping itu pada musim timur di perairan Maluku dan Maluku Utara diduga lebih subur, karena terjadinya

(30)

upwelling, sehingga kondisi perairan menjadi kaya akan unsur hara dan sangat

mendukung bagi keberadaan ikan layang untuk mendapatkan makanan. Kondisi salinitas yang relatif tinggi pada musim timur ternyata turut memberikan dampak positif bagi keberadaan ikan layang di perairan Maluku Utara.

Pola musim sangat berpengaruh pada hasil tangkapan ikan layang, karena waktu penangkapan yang baik dapat memungkinkan ikan layang hidup dan berkembang di perairan Maluku Utara, sehingga hasil tangkapannya pun menguntungkan.

Berdasarkan hasil penelitian tentang parameter populasi ikan layang yaitu berkaitan dengan musim pemijahan ikan layang menunjukkan bahwa puncak pemijahan ikan layang terjadi pada bulan April atau Mei. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa pola musim penangkapan ikan layang di perairan Maluku Utara berlangsung pada saat musim pemijhan ikan. Oleh karena itu perlu di dilakukan pembatasan waktu operasi penangkapan pada saat musim puncak pemijahan ikan layang. Dengan kata lain perlu diterapkan kabijakan penutupan musim penangkapan bagi para nelayan, karena kondisi seperti ini bila terjadi secara terus menerus maka akan memberikan dampak yang buruk terhadap ketersediaan sumberdaya ikan layang di alam.

Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistem penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumber daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington dan Ratting (1984) diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan

adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak, (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit.

Informasi biologi yang digunakan sebagai dasar penerapan batas minimum adalah ukuran lingkar badan ikan. Hasil penelitian menghasilkan persamaan hubungan yang linear antara lingkar badan dengan panjang ikan dengan koefisien

(31)

korelasi 0,89. Hubungan antara panjang ikan (X) dan lingkar badan (Y) ditunjukkan oleh persamaan Y = -2.3283 + 0.4836 X.

Perhitungan ukuran pertama kali matang gonad diperoleh panjang total ikan 258 mm (25,8 cm) untuk layang jantan maupun betina. Sedangkan panjang lingkar badan ikan layang biru yang tertangkap ketika matang gonad adalah 10,15 cm. Alat tangkap mini purse seine yang digunakan dalam menangkap ikan layang

biru memilki ukuran mesh size 2,54 cm – 3,81 cm (1 inchi – 1,5 inchi) untuk

bagian badan dan sayap sedangkan bagian sayap 1,90 cm (0,75 inchi). Dengan demikian ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan layang biru tidak mampu meloloskan ikan pada ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran ikan dibawah ukuran pertama kali matang gonad. Berdasarkan fakta tersebut maka mata jaring mini purse seine idial yang seyogianya digunakan

agar dapat meloloskan ukuran ikan yang belum pernah memijah yaitu 5,08 cm (2 inchi) untuk bagian badan dan sayap, sedangkan bagian kantong ukuran mesh size

2.54 cm (1 inchi).

Alasan yang menjadi dasar penerapan batas minimum mesh size jaring atau

ukuran ikan yang tertangkap dalam pemanfaatan sumber daya ikan layang adalah memberi kesempatan ikan muda dan atau yang berukuran kecil untuk meloloskan diri sebelum proses penangkapan berakhir. Penerapan Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan ikan layang di perairan Maluku Utara, agar tidak terjadi kelebihan tangkap ikan dalam masa pertumbuhan (growth overfishing).

Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berreproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. Oleh karena itu penerapan kebijakan batas minimum mesh size jaring perlu disertai dengan peraturan pelarangan pendaratan

(32)

ikan-ikan dibawah ukuran yang diizinkan, yaitu menghilangkan setiap keinginan dari nelayan mempergunakan mesh size jaring yang lebih kecil.

Beddington dan Retting (1984) diacudalam Bintoro (2005) mengemukakan

alasan pembatasan minimum mesh size adalah ikan muda yang umumnya

berukuran kecil akan mampu meloloskan diri dari penangkapan yang menggunakan alat tangkap jaring yang mempunyai mesh size besar sehingga

dapat meningkatkan kemungkinan ikan muda untuk tumbuh dan menambah kepadatan stok ikan tersebut pada musim berikutnya. Untuk pemanfaatan sumber daya ikan layang di perairan Maluku Utara, minimum mesh size alat tangkap perlu

ditentukan agar ikan muda mempunyai kesempatan untuk berkembang dan menambah stok ikan layang pada musim berikutnya.

Usaha pemanfaatan sumberdaya ikan layang di perairan Maluku Utara menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Kegiatan penangkapan ikan layang lebih dominan di lakukan oleh kapal-kapal mini purse seine dengan kapasitas 13 - 18 GT dengan panjang jaring 200 - 300 meter dan

daerah penangkapannya hanya berjarak sekitar 2 hingga 3 mil dari fishing base,

sehingga apabila kegiatan ini dilakukan dalam waktu yang berkepanjangan maka berdampak pada terjadi over fishing, yang mana faktor pemicunya karena

lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort.

Berdasarkan batas wilayah laut yang diperuntukan sesuai dengan kawasan yang layak untuk perikanan tangkap dengan jalur penangkapan alat tangkap purse seine dengan ukuran kurang dari 150 meter berada pada jalur penangkapan 3

sampai 6 mil laut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Dengan demikian penggunaan daerah penangkapan untuk eksploitasi sumber daya ikan layang di Maluku Utara perlu di lakukan perluasan. Ditambahkan oleh Purbayanto (2003), salah satu konsep pembangunan berkelanjutan yang harus diupayakan adalah membatasi dan mengendalikan jumlah armada penangkapan ikan tradisional yang beroperasi di wilayah perairan pantai pada jalur penangkapan Ia (perairan pantai hingga 3 mil). Pembatasan ini dilakukan dengan cara hanya memperbolehkan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah lingkungan (yaitu alat tangkap yang

Gambar

Gambar 30  Pola  pengembangan  berkelanjutan  sumberdaya  ikan layang di perairan Maluku Utara

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian daya hambat Staphylococcus saprophyticus dari ekstrak jahe menunjukan bahwa pada kontrol negatif tidak terdapat diameter zona hambat dan pada konsentrasi

Based on questionnaire that has been shared and filled, it can be said that the Expert System of Thesis Title Topic Selection with Forward Chaining Method Web Based

Berdasarkan analisis yang didapat dari observasi terhadap anak usia 5-6 tahun di TK Kasih Ibu Desa Muara Jalai Kecamatan Kampar Utara dapat dilihat dari 35 anak, bahwa :

Skemp, pemahaman Neni, Ayu, Diyan, dan Andri dapat dikategorikan pada tingkat pemahaman relasional, sedangkan pemahaman Anka dan Mandha dapat dikategorikan pada tingkat

 Untuk memperluas dan menambah pengetahuan peserta didik  Sebagai dasar pengetahuan bagi siswa untuk pembelajaran  Menjadi bahan yang digunakan dalam pembelajaran. Media

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mi tapioka dengan penambahan konsentrat protein jagung dan tepung tempe berpengaruh sangat nyata terhadap angka

Luaran yang di targetkan tercapai yaitu kedua mitra mampu membuat alat pengasapan ikan sistem tertutup dengan 5 tingkatan / susunan rak dengan kapasitas ikan (jenis

Kami telah membaca pengenepian di atas dan kami faham bahawa dengan menandatangani borang ini maka kami bersetuju bahawa telah menjadi niat kami untuk mengecualikan dan