• Tidak ada hasil yang ditemukan

SITUASI DAN KEBERADAAN TERNAK KERBAU DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SITUASI DAN KEBERADAAN TERNAK KERBAU DI INDONESIA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SITUASI DAN KEBERADAAN TERNAK KERBAU

DI INDONESIA

ABDULLAH M.BAMUALIM1danZULBARDI MUHAMMAD2 1

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 2

Balai Penelitian Ternak, Bogor

ABSTRAK

Banyak yang tidak menyadari bahwa selama ini kerbau sudah memasok daging yang dikenal sebagai “daging sapi” di pasar Indonesia. Tidak kurang dari 40 ribu ton daging kerbau setiap tahun sudah dianggap daging sapi. Inilah nasib ternak kerbau yang mampu hidup sederhana memakan hijauan apa adanya, bernaung di malam hari di pinggir hutan ataupun dengan kandang seadanya, akan tetapi kerbau merupakan converter

sejati biomassa pakan yang sangat rendah nilai gizinya. Kerbau menghasilkan produk berupa daging, tenaga dan susu yang sangat berkualitas untuk kesehatan, kebutuhan dan kecerdasan manusia. Pengorbanan kerbau ini perlu diberi imbalan perbaikan berupa tindakan peningkatan produksi dan populasinya agar masyarakat petani dapat memetik hasilnya. Upaya pemeliharaan ternak kerbau yang biasanya bagi masyarakat pemilik kerbau sebagai ternak keeper atau user agar dapat dijadikan sebagai producer atau menjadi breeder. Rangsangan pemberian reward bagi pemilik kerbau yang terbaik dari hasil suatu kompetisi produksi, reproduksi dan ketangkasan ternak juga diharapkan akan menjadikan kebanggaan pemilik ternak serta peningkatan harga jual. Demikian pula apabila diikuti sejauhmana kemampuan ternak kerbau yang bukan tipe perah namun dapat pula menambah pendapatan para pemilik melalui penjualan pascapanen susu kerbau berupa dadih, dali, danke ataupun susu goreng.

Kata kunci: Kerbau, produksi daging, tenaga kerja, dadih

PENDAHULUAN

Kerbau adalah suatu aset nasional Indonesia yang sering dilupakan. Kepemilikan kerbau bagi petani mempunyai jangkauan luas di pedesaan walaupun masih berada di bawah kepemilikan ternak sapi. Umumnya kepemilikan kerbau tidak diikuti dengan kepemilikan sapi. Pada tahun 2005 populasi kerbau di Indonesia adalah 2.428.000 ekor, sedangkan populasinya pada tahun 1941 adalah 3.118.000 ekor. Walaupun populasi kerbau menurun yang tidak merata di sebagian besar wilayah Indonesia, kerbau dalam jangka waktu 10 tahun terakhir telah menyumbang rata-rata 44.518 ton daging per tahun setara dengan 2,11% dari produksi daging nasional (DIRJEN

PETERNAKAN, 2006).

Kerbau di Pulau Jawa mengalami penurunan populasi yang cukup

populasi kerbau dan perkembangan populasinya masih berada pada tempat tertinggi di Indonesia diikuti oleh Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

Secara tidak langsung, cukup besar andil kerbau dalam pencapaian swasembada beras sebagai ternak kerja, menghasilkan kulit, dan susu yang diolah secara tradisional demi memperbaiki gizi rakyat berupa dadih, danke, dali dan sebangsanya serta menghasilkan pupuk untuk menjaga kesuburan tanah. Kontribusinya akan bertambah banyak lagi jika dihitung dari aspek ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Termasuk juga fungsi kerbau sebagai ternak pada acara adat, ritual serta olah raga di berbagai daerah. Hanya saja perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia masih kurang baik, termasuk perbaikan mutu genetiknya masih tertinggal jauh dari ternak

(2)

untuk Indonesia adalah produksi daging dan susu sebagai bahan dasar perbaikan gizi masyaratkat. Permintaan dan penawaran daging dan susu semakin tidak berimbang sehingga impor semakin membengkak dari tahun ke tahun.

Ternak kerbau merupakan converter sejati biomassa pakan yang rendah nilai gizinya seperti limbah pertanian dan rumput alam yang secara morfologis “bulky” dan dinding sel penyusunnya didominasi oleh serat kasar berupa selulosa dan hemiselulosa, menjadi produk berupa daging dan susu yang sangat berkualitas untuk kesehatan dan kecerdasan manusia (SUHUBDY, 2006).

Penggunaan tenaga kerja ternak kerbau lebih efisien daripada penggunaan tenaga manusia, keadaan ini memang dimaklumi. Namun masih kalah jauh apabila dibanding dengan penggunaan traktor. Hasil analisis yang menarik dilaporkan oleh KASRYNO et al. (1989) bahwa persentase perubahan biaya sewa/penggunaan tenaga kerja ternak adalah paling tinggi dibanding dengan upah tenaga kerja manusia dan sewa traktor. Akan tetapi sebagai dampak makin meningkatnya harga BBM, penggunaan traktor cenderung makin menurun. Hasil kerja ternak kerbau lebih lambat, namun kapasitas tenaga ternak kerbau relatif lebih kuat. Faktor pembatas lambannya ternak kerbau adalah mudah terkena cekaman panas sehingga daya kerjanya cepat menurun terutama pada musim kemarau. Untuk menghindari penurunan daya kerja karena cekaman panas, perlu penyediaan air atau tempat berkubang .

Kerbau lumpur yang banyak dipelihara masyarakat memang bukan kerbau tipe susu tetapi di beberapa daerah para peternak kerbau melakukan pemerahan. Produksi susu dari setiap ternak kerbau yang diperah berkisar 1,50-2,50 liter/ekor/hari dengan lama pemerahan sekitar 7 bulan (ZULBARDI, 2002). Nilai gizi susu kerbau terlihat lebih tinggi dari kandungan gizi susu sapi dengan kandungan

kadar protein 5,25 vs 3,27%; kadar lemak 8,79 vs 3,45%; kadar air 82,42 vs 87,96% (SIRAIT, 1995). Kadar lemak susu kerbau pada umumnya (tipe perah dan tipe daging) antara 6,6–9,0% di atas kadar lemak susu sapi 3,6– 4,9% (DHANDA, 2006) yang antara lain sangat dipengaruhi oleh bangsa ternak dan faktor pakan. Tingginya kadar lemak di dalam susu kerbau, secara sadar atau tidak sadar membuat para pemerah susu kerbau berhasil membuat produk pascapanen yang spesifik sehingga ditemukanlah dali di Sumatera Utara, dadih di Sumatera Barat, dangke di Sulawesi, susu goreng di NTT dan lain sebagainya.

Pada umumnya, peminat meminum susu kerbau relatif sedikit. Mungkin hal ini akibat persediaan yang terbatas, tidak ada pemasaran atau tidak disukai karena kandungan lemak yang dapat menyebabkan diare apabila susu kerbau diminum dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu upaya pengembangan ternak kerbau perlu mendapat perhatian sehingga tidak lagi berstatus sebagai unsur pelengkap, tetapi menjadi salah satu komoditas yang dapat diandalkan bagi kehidupan masyarakat peternak.

POPULASI DAN PENYEBARAN KERBAU

Populasi kerbau di Indonesia penyebarannya tidak merata, sebagian besar berada di Pulau Sumatera 54,13% dan sisanya tersebar di berbagai pulau. Pulau Jawa menampung sekitar 21,95% dari populasi kerbau nasional. Perincian populasi antara pulau diperinci pada Tabel 1. Populasi terbanyak dijumpai di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam 411.198 ekor (16,93%) dari populasi kerbau nasional, diikuti Sumatera Barat 327.723 ekor (13,50%), Sumatera Utara 265.147 ekor (10,92%), Sulawesi Selatan 162.124 ekor (6,68% dan Nusa Tenggara Barat (NTB) 158.360 ekor (6,52%).

(3)

Tabel 1. Penyebaran kerbau di Indonesia Populasi Nomor Pulau Ekor Persen 1 Sumatera 1.314.496 54,13 2 Jawa 533.076 21,95 3 Nusa Tengggara 304.545 12,54 4 Kalimantan 74.920 3,09 5 Sulawesi 174.919 7,20 6 Maluku 24.727 1,02 7 Papua 1.508 0,06 Indonesia 2.428.191 100.00

Sumbe: Ditjen Peternakan (2006)

Perkembangan populasi kerbau juga bervariasi antar propinsi. Di beberapa propinsi terjadi peningkatan akan tetapi banyak propinsi mengalami penurunan sehingga secara nasional memberikan dampak penurunan dalam kurun waktu dua dekade terakhir.

Penyebaran ini banyak dipengaruhi oleh habitatnya yang menghendaki zona paling ideal bagi ternak kerbau bermukim yakni pada kisaran temperatur 16º–24ºC, dengan batas toleransi mencapai 27,6ºC. Temperatur tubuh kerbau dalam keadaan normal 37,4º-37,8ºC, pulsa jantung 38,6–44,7 kali/menit, dan respirasi 25,6–29,4 kali/menit (MARKVICHITR, 2006). Karakteristik sangat perlu diperhatikan karena sebagian besar kerbau yang ada di Indonesia adalah kerbau lumpur. Akibat proses adaptasi selama beberapa generasi maka muncul berbagai tipe kerbau spesifik menurut agroekosistem yang membentuknya. Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau rawa, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu di daerah Taman Nasional Baluran didapatkan pula kerbau liar (SIREGAR

et al., 1998a).

Demikian pula sebagai dampak adanya zona ideal kerbau tersebut yang membawa penyebaran populasi kerbau akan berada di

Kerbau yang begitu lama berkembang dan dipelihara pada suatu agroekosistem yang spesifik telah terseleksi secara alamiah dan menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Keragaman genetik kerbau ini perlu dispesifikasi dan dijaga kelestariannya sebagai sumber plasma nuftah dengan suatu sistem konservasi yang jelas. Plasma nutfah ini sangat diperlukan dalam rekayasa genetik di masa depan untuk mendapatkan kerbau dengan sifat yang diinginkan sesuai kebutuhan dalam mengoptimasikan penggunaan kerbau untuk memenuhi kebutuhan manusia (SIREGARet al., 1998a).

Kerbau mempunyai kelebihan dibandingkan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Dalam kondisi kualitas pakan yang relatif kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau masih lebih baik dibandingkan sapi, dan masih dapat berkembang biak dengan baik.

Kerbau dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering. Hal ini sebagai suatu dampak pengaruh lingkungan telah menjadikan semacam evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti:

(4)

Tabel 2. Populasi, pemotongan, produksi daging dan jumlah kelahiran kerbau sampai tahun 2010 Tahun Uraian 2006 2007*) 2008*) 2009*) 2010*) Populasi (ekor) 2.426.609 2.425.218 2.423.829 2.422.440 2.421.052 Pemotongan (ekor) 196.774 196.661 196.548 196.436 196.323 Daging (ton) 41.224 41.200 41.177 41.153 41.130 Kelahiran (ekor) 195.382 195.270 195.159 195.047 194.935 Sumber:DITJEN PETERNAKAN (2006) * Angka perkiraan

Indonesia (HARDJOSUBROTO, 2006). Namun untuk memperoleh fungsi morfologi faali tubuh, kerbau masih memerlukan tempat untuk berkubang atau berendam diri di air sebagai akibat dari kelenjar keringat kerbau yang berkembangnya tidak sebaik perkembangan kelenjar keringat sapi.

Rata-rata pemotongan ternak kerbau pada sepuluh tahun terakhir (1995-2005) adalah 8,1% sehingga setiap tahun akan memasok daging kerbau (dibaca daging sapi) sekitar 41 ribu ton. Nilai kelahiran diperhitungkan dari selisih populasi tahun sekarang dikurangi dengan tahun lampau ditambah dengan jumlah pemotongan ternak.

Pemotongan ternak kerbau betina produktif di Rumah Potong Hewan (RPH) Sumatera Barat telah memberi kerugian 27% (ZESFIN, 1975). Besarnya kerugian yang terjadi akibat pemotongan ternak kerbau betina produktif terhadap perkembangan populasi kerbau di Indonesia pernah pula dilaporkan ZULBARDI

(1982) dimana angka pemotongan betina produktif relatif lebih tinggi dan dapat mencapai 71,8% seperti yang dilaporkan di NTB (MUTHALIB, 2006). Gambaran di atas memperlihatkan kejadian serupa dapat terjadi di daerah lain yang kebetulan belum terungkap. Ini suatu malapetaka mengapa populasi ternak kerbau cenderung menurun.

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi kerbau adalah kurangnya pejantan akibat penjualan ternak jantan yang cukup banyak. Hal ini disebabkan kerbau jantan lebih cepat dapat diuangkan dibandingkan dengan ternak betina. Konsekuensinya, peternak mengalami kesulitan memperoleh pejantan untuk mengawini ternak mereka. Perhatian peternak terhadap keberadaan pejantan kurang walaupun mereka mengetahui kesulitan pejantan untuk

mengawinkan ternak mereka. Ini suatu ironis sebagaimana ditemukan di Kabupaten Brebes Jawa Tengah, dari sejumlah 172 ekor kerbau milik petani terdapat sebanyak 147 ekor betina dan 25 ekor jantan. Namun kerbau jantan tersebut yang dapat dipakai sebagai pemacek hanya 2 ekor, pejantan muda satu ekor dan lainnya lepas sapih.

Jumlah pemilikan kerbau bervariasi dari 2-76 ekor per peternak. Umumnya kerbau dikandangkan di bawah rumah peternak ataupun di kandang sederhana di sekitar rumah peternak yang bersangkutan. Kondisi kerbau juga sangat bervariasi dari kondisi yang kurus sampai sangat gemuk (SIREGARet al., 1998b). Di beberapa daerah kadangkala ditemui para pemilik kerbau tidak mengetahui jumlah ternak mereka dengan pasti oleh karena kerbau mereka tidak memiliki kandang kecuali di pinggir hutan di bawah pepohonan.

MANFAAT KERBAU BAGI PETERNAK

Sarana dan prasarana dalam sistem agribisnis kerbau masih tertinggal jauh karena memang produksi belum masuk pada era usaha komersial melainkan masih dalam proses produksi bercorak “Zero input”. Belum ada pasar hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko peternakan kerbau dan sebagainya yang dibutuhkan oleh suatu sistem agribisnis kerbau.

Sistem produksi masih tradisional yang lebih mengarah pada “Zero cost” bukan pada efisiensi usaha dan belum berorientasi pada pasar. Dengan demikian potensi kerbau belum dapat dimaksimalkan sebagai penghasil daging, susu, kulit dan kompos sebagaimana yang diharapkan oleh perkembangan pasar dan dalam membangun pertanian yang berkesinambungan.

(5)

Penghasil daging

Kerbau senantiasa memasok daging cukup signifikan dalam kurun waktu 1969–2005, namun hanya dikenal sebagai daging sapi. Kerbau dipotong setiap tahun rata-rata sebanyak 207.850 ekor (8,11%), pemotongan maksimal mencapai 316.064 ekor (9,50%) dan minimal 175.249 ekor (6,97%). Kerbau telah memasok daging tertinggi pada tahun 1982 yang mencapai 70.200 ton dan pemasok daging terendah tahun 2004 hanya sebanyak 40.200 ton (DITJEN PETERNAKAN, 2006).

Berat karkas kerbau jantan kondisi gemuk 187,78 ± 38,58 kg, kondisi sedang 152,45 ±13,88 kg dan kondisi kurus 139,74 ± 16,45 kg sedangkan berat karkas kerbau betina kondisi gemuk 181,45 ± 16,39 kg, kondisi sedang 151,96 ± 13,38 kg dan kondisi kurus 127,10 ± 20,36 kg (ZULBARDI, 1975). Perbaikan pemberian makanan tambahan berupa konsentrat berkualitas bagus telah menaikkan persentase karkas sampai 52,41% dari kerbau yang berbobot badan antara 198-456 kg (MORAN, 1978).

Tampilan produksi kerbau

Sampai disapih, umumnya bobot badan kerbau sudah mencapai 120 kg (jantan) dan 110 kg (betina) (SASTRODIHARDJO et al., 1981). Seharusnya kerbau tersebut akan mencapai bobot 430 kg jantan dan 415 kg betina setelah berumur 600 hari (± 20 bulan). Di lapang bobot badan kerbau yang dipelihara secara tradisional bagi induk kerbau berumur 3 tahun memiliki bobot badan 215,2 ± 23.2 kg, 4 tahun 235,6 ± 22,4 kg dan 5 tahun 333,8 ± 22,9 kg (SIREGAR et al., 1998a). Sedangkan di Thailand bobot induk kerbau 365,3 ± 27,59 kg pada umur 600 hari (TECHAKUMPHU, 2006). Dampak pemeliharaan secara tradisional tanpa disadari sebenarnya telah mengurangi bobot yang cukup besar.

Pemberian hijauan secara sukarela dan

al.,1998a). Dengan demikian akan terjadi perbedaan PBB sekitar 0,44 kg/hari yang dapat memberi pengaruh penyediaan daging yang signifikan. Selama setahun akan diperoleh 159 kg daging, setara dengan Rp 3.975.000 (asumsi penjualan bobot hidup Rp.25.000/kg).

Produksi daging 10 tahun terakhir rata-rata 44.518 ton per tahun (DITJEN PETERNAKAN, 2006). Nilai ini akan jauh lebih meningkat jika usaha pemeliharaan ternak kerbau secara tradisional dapat dikelola menjadi pemeliharaan yang lebih intensif disertai dengan pemberikan konsentrat. Upaya perbaikan tersebut akan menaikkan rata-rata pemasok daging meliputi jumlah 97.495 ton/tahun sehingga dalam jangka waktu 10 tahun akan diperoleh 1.072.443 ton dengan nilai mencapai Rp. 42.897.720.000 (asumsi di pasar Rp.40.000/kg daging).

Tenaga kerja

Salah satu alasan petani memelihara ternak besar adalah sebagai sumber tenaga kerja. Peranan ternak sapi/kerbau sebagai tenaga kerja mengolah sawah dapat merupakan kegiatan yang kompetitif artinya tenaga kerja yang satu dapat mengurangi tenaga lain. Mungkin pula substitusional, artinya peranan tenaga kerja yang satu dapat digantikan tenaga yang lain dan mungkin komplementer, artinya peranan tenaga tersebut saling melengkapi, yakni penambahan satu tenaga kerja akan dilengkapi tenaga lain, atau tidak saling berpengaruh. Hasil pengamatan MULYADI et al. (1981) menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja ternak tidak nyata berkorelasi dengan penggunaan tenaga kerja keluarga. Hal ini berarti bahwa banyaknya tenaga ternak (kerbau) yang digunakan sama sekali tidak dipengaruhi dan terlepas dari banyaknya penggunaan tenaga kerja keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga yang dipergunakan dalam usahatani pada porsi yang berbeda dengan tenaga ternak (membajak

(6)

mengemudi ternak saat membajak/menggaru atau menanam padi.

Hasil kerja ternak kerbau lebih lambat, namun kapasitas tenaga ternak kerbau relatif lebih kuat. Faktor pembatas lambannya ternak kerbau adalah mudah terkena cekaman panas sehingga daya kerjanya cepat menurun, terutama pada musim kemarau. Untuk menghindari penurunan daya kerja karena cekaman panas, perlu penyediaan air atau tempat berkubang. Apabila hasil pengamatan yang didapat SANTOSO et al. (1989) dihitung per jam, maka dalam satu jam dicapai luas olahan (ternak kerbau dalam bentuk pasangan) sekitar 546 m2 atau untuk luasan satu ha dapat

diselesaikan dalam waktu 18,3 jam vs 21,6 jam (sapi). Pada bentuk tunggal, ternak kerbau memerlukan waktu 22,2 jam dan ternak sapi 26 jam .

Ternak kerbau sebagai hewan berdarah panas (homeotherm) akan berusaha melepas panas (yang berlebih) sesuai dengan hukum fisika, sebagai usaha mempertahankan panas tubuh yang ideal yakni dengan mekanisme pengeluaran keringat dan mempertinggi frekuensi pernapasan. Namun karena mekanisme "berkeringat" tidak efisien (kulit tebal dan kelenjar keringat sedikit), maka ternak kerbau senang berendam untuk mempertahankan kondisi yang ideal. Oleh karena itu dalam pengerjaannya sebagai ternak kerja sebaiknya dilaksanakan pada pagi hari (06.00-10.00) dan pada sore hari (15.00-18.00)

Produksi susu

Produksi susu kerbau berkisar 1,5–2,5 liter per hari jika dibandingkan dengan produksi susu sapi memang terasa volumenya kurang. Akan tetapi jika susu kerbau ini diolah menjadi dadih, hasil susu kerbau yang hanya sedikit tersebut merupakan sumber penghasilan yang cukup berarti dan bisa mencapai Rp.30.000-32.000 per hari. (ZULBARDI, 2002). Dengan lama produksi sampai 7 bulan menjadikan pendapatan dari penjualan dadih per tahun diperkirakan melampaui pendapatan rata-rata Indonesia.

Dadih hasil pengolahan dari susu kerbau yang dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian disimpan pada suhu kamar selama 1-2 hari. Susu yang baru diperah langsung

dimasukkan ke dalam tabung bambu yang kemudian ditutup dengan daun pisang. Tata cara pembuatan dadih seolah-olah sudah baku sehingga sampai sekarang tidak tersentuh oleh kemajuan teknologi, kecuali untuk penutup tabung yang biasa digunakan daun pisang dan diikat pelepah pisang telah diganti dengan penutup plastik yang diikat dengan tali plastik atau gelang karet.

Pembuatan dadih turun-temurun dari orang tua (70%) dan sebagian besar (66,9%) produksinya dijual di pasar lokal atau dipasarkan melalui pedagang pengumpul di pasar yang strategis. Produksi dari lima Kabupaten di Sumatera Barat sekitar 105,82 ton/tahun (SUGHITA, 1998).

UPAYA PEMACU PEMELIHARAAN KERBAU

Pada umumnya kerbau diperoleh peternak melalui warisan orang tua, sangat umum ditemui, walaupun ada juga yang membeli ataupun diperoleh melalui usaha paron. Tujuan pemeliharaan sangat klasik yakni sebagai tabungan. Oleh karena sebagai tabungan maka kerbau dipelihara sesederhana mungkin. Oleh karena itu tidaklah mengherankan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini populasi kerbau cenderung terus menurun. Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki kerbau hanya sebagai keeper atau user, bukan sebagai

producer atau breeder (DIWYANTO dan

HANDIWIRAWAN, 2006)

Masalah yang perlu diperbaiki adalah sosialisasi kepada para peternak kerbau bahwa pemberian input bagi ternak kerbau merupakan suatu investasi yang dapat memberi keuntungan.

Salah satu usaha yang perlu dijalankan adalah melakukan tindakan reward kepada pemilik kerbau melalui kontes ternak kerbau, sehingga mendorong untuk memiliki kerbau yang baik pada skala nasional maupun regional. Dengan demikian harga jual kerbau akan meningkat. Demikian pula pada kesempatan kontes tersebut dapat dilakukan penyebaran pejantan unggul sebagai hasil seleksi alamiah dengan harapan agar intensifikasi kawin alam (InKA) dapat dilakukan secara lebih luas.

(7)

Selain itu para peternak dapat memperoleh keuntungan dari hasil susu kerbau yang diolah menjadi dadih, dali, dangke atau susu goreng sehingga usaha ini menjadi sumber pendapatan utama kehidupan keluarga.

KESIMPULAN

Kerbau sebenarnya mendapat tempat di hati masyarakat, namun belum dianggap sebagai komoditas ekonomi untuk dikembangkan di berbagai tempat di Indonesia. Melihat kemampuan adaptasinya maka pengembangan dan penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia. Jumlah daging kerbau yang diproduksi sebenarnya masih dapat dipacu menjadi lebih banyak lagi apabila dilakukan perbaikan pengelolaan pemeliharaan mulai dari pemberian pakan hingga menempatkan pasar daging kerbau menjadi lebih luas. Kebutuhan sosial budaya di beberapa tempat membuat harga kerbau menjadi tinggi dan dapat memberikan keuntungan lebih besar bagi petemak.

Sampai saat ini belum diberikan suatu penghargaan yang pantas terhadap ternak kerbau baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional. Variasi individu kerbau yang sangat besar dalam konformasi bentuk tubuh, produksi daging, pertumbuhan, temperamen dan produksi susu merupakan peluang bagi upaya meningkatkan mutu genetik kerbau. Terutama dalam memacu nilai tambah tenak kerbau.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk memacu pemeliharaan kerbau di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui kontes ternak, seleksi ternak unggul dan meningkatkan nilai tambah ternak dan produk ternak (seperti susu) yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

DHANDA, O.P. 2006. Buffalo Production Scenario in India Opportunities and Challenges.

DITJEN PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan Deptan. RI. Jakarta.

DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek penyaringan dan distribusi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Tenak Kerbau Mendukung Kecukupan Daging Sapi. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hal. 3-12. HARDJOSUBROTO, W. 2006. Kerbau : Mutiara yang

terlupakan. Orasi Purna Tugas UGM. Yogyakarta 17 Juli 2006.

KASRYNO,F.,I.W.RUSASTRA andP.SIMATUPANG. 1989. Effect of government policies on draught livestock development in Indonesia. Proc of an Intern. Res. Symp. of Draught Animals in Rural Development.

MARKVICHITR, K.2006.Role of Reactive Oxygen Species in the Buffalo Sperm Fertility Assessment. Proceeding Internatonal Seminar The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. ICARD and FFTC-ASPAC Bogor. Indonesia. August 29-31. p.68-78. MORAN, J.B. L978. Perbandingan “Performance”

Jenis Sapi Daging Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ditjen Peternakan – P4 Bogor dan Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Bogor, 24-25 Juli l978. Hal. 28-31.

MULYADI, M., SANTOSO dan K. SURADISASTRA . 1981. Peranan tenaga kerja ternak kerbau pada usahatani sawah di Sumedang. Bull .

Lemb.Penel. Peternakan. 27: 21-30 .

MUTHALIB, H.A. 2006. Potensi sumberdaya ternak kerbau di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Badan Litbangtan Puslitbangnak bekerja sama dengan Direktorat Pembibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Pemda Kabupaten Sumbawa. Hal. 64 – 72.

(8)

SASTRODIHARDJO,S.,M.ZULBARDI DAN P.SITORUS. 1981.Pertambahan Bobot Badan AnakKerbau Lumpur (Bubalus bubalis) di Kabupaten Bogor. Buletin Balai Penelitian Ternak (28): 41-48.

SIRAIT,C.HdanH.SETYANTO. 1995. Evaluasi mutu dadih di daerah produsen. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pengolahan dan Hasil-hasil Penelitian. Balitnak, Ciawi Bogor, 25 – 26 Oktober 1994. Buku I: 284 – 280.

SIREGAR, A.R., K. DIWYANTO, E BASUNO, A. THALIB, T. SARTIKA, R.N. MATONDANG, J. BESTARI, M. ZULBARDI, M. SITORUS, T. PANGGABEAN, E. HANDIWIRAWAN, Y. WIDYAWARI dan N. SUPRYATNA. 1998a. Karakteristik Performan Nutrisi, Mikroba Rumen, Morfologi Darah dan Dinamika Populasi Kerbau Lumpur di Pulau Jawa. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Hal. 555 - 570 .

SIREGAR,A.R.,P.SITUMORANG,M.ZULBARDI,LEO

P.BATUBARA,A.WILSON,E.BASUNO, S.E. SINULINGGA dan C.H. SIRAIT 1998b. Peningkatan Produktivitas Kerbau Dwiguna (Daging dan Susu). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Hal. 571 – 584

SUGHITA, I. M. 1998. Makalah Teknologi Pembuatan dadih. (a review). Fapet. Unand., Padang. 18 halaman.

SUHUBDY. 2006. Inovasi teknologi pakan aplikatif untuk pengembangan usaha ternak kerbau. Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau. Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekejasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Besar. Bogor. Hlm. 40.

SUMADI dan KUNCORO. 1982. Hubungan antara kedalaman bajak, panjang garu dan luas sawah yang dikerjakan dengan ternak kerbau di Kabupaten Klaten. Proc. Seminar Penelilitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Bogor. Pp. 69-77.

TECHAKUMPHU, M. 2006. Physiology and Reproductive Biotechnology in Swamp Buffalo (Bubalus bubalis). Proceeding International Seminar the Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. ICARD and FFTC – ASPAC Bogor. Indonesia. August 29-31. p. 121-129.

ZESFIN, B.P. 1975. Kerugian dalam Bidang Reproduksi Akibat dari Pemotongan Ternak Besar di Sumatera Barat. Tesis. Sarjana Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang.

ZULBARDI, M. 1975. Korelasi antara Ukuran-Ukuran Badan dengan Berat Karkas pada Kerbau di Rumah Potong Padang. Tesis Sarjana Peternakan Universitas Andalas Padang. ZULBARDI, M. 2002. Inventarisasi Data, Analisa

Peluang dan Penyusunan Model Pengembangan Potensi Peternakan Kerbau Perah di Sumatera Barat. Laporan penelitian. Direktorat Budidaya Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Petemakan. Jakarta. ZULBARDI, M. 1982. Manfaat Pengendalian

Pemotongan Kerbau Betina Produktif. Media Peternakan Fak. Peternakan IPB. Bogor 7 (4): 46 - 53.

ZULBARDI,M.,L.P. BATUBARA, A.R.SIREGAR, A. WILSON dan E.BASUNO. 1998a. Peningkatan Sumberdaya Kerbau Melalui Perbaikan Pakan di Desa Sabatolang Kecamatan Sipirok, Kabupeten Tapanuli Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 - 19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hal. 547 – 554.

Gambar

Tabel 1. Penyebaran kerbau di Indonesia  Populasi  Nomor Pulau  Ekor Persen  1 Sumatera  1.314.496  54,13  2 Jawa  533.076  21,95  3 Nusa  Tengggara  304.545  12,54  4 Kalimantan  74.920 3,09  5 Sulawesi  174.919  7,20  6 Maluku  24.727  1,02  7 Papua  1.508  0,06  Indonesia 2.428.191  100.00
Tabel 2. Populasi, pemotongan, produksi daging dan jumlah kelahiran kerbau sampai tahun 2010  Tahun  Uraian  2006 2007 *)  2008 *)  2009 *)  2010 *) Populasi  (ekor)  2.426.609 2.425.218 2.423.829 2.422.440 2.421.052  Pemotongan (ekor)  196.774  196.661  196.548  196.436  196.323  Daging  (ton)  41.224 41.200 41.177 41.153 41.130  Kelahiran (ekor)  195.382  195.270  195.159  195.047  194.935

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku menggaram gajah diperoleh dari pengamatan secara deskriptif, dan wawancara terhadap mahout gajah, dan kandungan garam dalam tanah diperoleh secara observasi dengan

)5 Laporan dikirimkan ke Dinas Kesehatan Kota Metro untuk dilakukan verifikasi selambat-lambatnya tanggal 15 untuk kegiatan yang bersumber dari dana Subsidi

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ketersediaan dan pengelolaan kelembagaan masyarakat pesisir kawasan daerah perlindungan laut dalam meningkatkan taraf

Di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah disebutkan di atas

Buku ini merupakan sebuah analisis tentang propaganda yang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia dan para pendukungnya dalam mempromosikan tawaran bantuan beras kepada

Obat utama yaitu obat kronis yang diresepkan oleh Dokter Spesialis/Sub Spesialis di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dan tercantum pada Formularium Nasional

Konsumen pria dan wanita dengan usia yang berbeda memiliki penilaian yang sama baik/tinggi pada variabel desain kemasan (desain grafis, struktur desain, informasi produk)

molekul 2 hidrogen peroksida (zarah bertindak balas). • Oleh itu, kadar tindak balas meningkat. Mangkin tidak meningkatkan frekuensi perlanggaran antara zarah-zarah yang