• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 di KPH Bojonegoro Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

3.2 Sumber Data dan Jenis Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari :

1. Buku RKPH KPH Bojonegoro selama 4 jangka yaitu jangka 1972-1981, jangka 1982-1991, jangka 1992-2001 dan jangka 2002-2011

2. Laporan audit sumberdaya hutan KPH Bojonegoro tahun 2007 Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

1. Hasil risalah hutan KPH Bojonegoro jangka 1972-1981, jangka 1982-1991, jangka 1982-2001 dan jangka 2002-2011

2. Data register kelas hutan per Bagian Hutan

3. Tabel ikhtisar luas kelas hutan pada berbagai jangka per Bagian Hutan 4. Tabel etat luas dan etat volume berbagai jangka

5. Realisasi dan rencana produksi 10 tahun terakhir 6. Realisasi dan rencana penanaman 10 tahun terakhir 7. Realisasi dan rencana penjarangan 10 tahun terakhir

8. Tingkat kerusakan atau gangguan terhadap hutan 10 tahun terakhir. 3.3 Kerangka Pemikiran

Permasalahan utama yang dianalisis dalam kajian ini adalah tingkat kelestarian tegakan dan produksi kayu di KPH Bojonegoro pada masa yang akan datang. Hal ini dapat dijawab dengan membuat prediksi berdasarkan evaluasi kondisi tegakan saat ini dan selama 30 tahun terakhir (tiga jangka). Dari hasil evaluasi tersebut dapat dianalisis kecenderungan struktur kelas hutan dan potensinya serta gambaran realisasi kegiatan pengelolaan hutan pada dua jangka Rencana Pengaturan

(2)

Kelestarian Hutan (RPKH) yang berurutan (yakni pada tahun ke t dan t + 10). Perubahan struktur luas kelas hutan selama sepuluh tahun, baik menjadi areal produktif (pindah kelas umur), non produktif (turun potensi menjadi tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, atau miskin riap) maupun menjadi tanaman baru (kelas umur I), digunakan sebagai dasar penyusunan model proyeksi untuk memprediksi struktur kelas hutan pada jangka yang akan datang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu yang dibangun atas dasar kondisi sumberdaya hutan selama 30 tahun terakhir. Dalam kajian ini, diasumsikan bahwa kondisi struktur kelas hutan sebelum masa penjarahan (tahun 1997-1998) merupakan kondisi normal dengan laju kerusakan hutan cenderung minimal, kondisi struktur kelas hutan setelah masa penjarahan mencerminkan kondisi pesimis dengan laju kerusakan hutan cenderung lebih besar, serta penetapan target maksimum kerusakan yang boleh terjadi sebesar 20 % per jangka (2 % per tahun) mencerminkan kondisi harapan.

Model proyeksi digunakan untuk memprediksi struktur kelas hutan pada masa yang akan datang berdasarkan struktur kelas hutan jati saat ini (yakni hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007). Model proyeksi dianalisis dengan menggunakan berbagai faktor kerusakan. Berdasarkan struktur kelas hutan jati saat ini dan asumsi berbagai tingkat kerusakan maka dilakukan pengaturan hasil (metode Burns), yang meliputi : perhitungan etat, pengujian etat, dan jangka benah. Selanjutnya, dapat ditentukan proyeksi luas dan volume tebangan (terutama tebangan A2 dan E) pada setiap jangka dihitung berdasarkan metode Burns tersebut. Analisis lebih lanjut terhadap hasil proyeksi dilakukan guna memperoleh suatu rumusan skenario pengelolaan yang dapat dijadikan dasar penyusunan rencana kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan pada masa mendatang. Alur dari kerangka pemikiran untuk kajian kelestarian tegakan dan produksi kayu jati di KPH Boojonegoro disajikan pada Gambar 1. berikut :

(3)

Gambar 1 Kerangka pemikiran untuk kajian kelestarian tegakan dan produksi kayu di KPH Bojonegoro

Evaluasi kondisi sumberdaya hutan pada 30 tahun lalu :

Struktur kelas hutan Realisasi pengelolaan Realisasi pengelolaan Audit sumberdaya hutan terakhir (2007) Struktur kelas hutan pada tahun ke-t Struktur kelas hutan pada tahun ke t +10

Struktur kelas hutan saat ini

Asumsi-asumsi

Model proyeksi :

Alih tumbuh (pindah kelas umur)

Kerusakan (TK,TJBK,MR) Tanaman muda (KU I)

Sumber hasil/produksi jati

Tingkat kerusakan : Harapan

Normal Pesimis Pengaturan hasil (metode Burns) :

Perhitungan etat Pengujian etat Jangka benah

Proyeksi jangka mendatang : Struktur kelas hutan

Luas dan volume tebangan (A3,E)

Analisis hasil proyeksi dan formulasi skenario pengelolaan

(4)

3.4 Asumsi-asumsi Dasar

Asumsi-asumsi yang digunakan adalah :

1. Kondisi sumberdaya hutan beserta kecenderungan perubahannya selama 30 tahun terakhir dapat dijadikan dasar untuk prediksi kondisi sumberdaya hutan pada masa mendatang. Dalam hal ini diasumsikan pula bahwa :

1.1 Kondisi sumberdaya hutan sebelum masa penjarahan mencerminkan kondisi normal dimana laju kerusakan hutan cenderung rendah, sehingga dapat dijadikan dasar prediksi dalam situasi tingkat gangguan hutan relatif rendah

1.2 Kondisi sumberdaya hutan setelah masa penjarahan mencerminkan kondisi pesimis dimana laju kerusakan hutan umumnya disebabkan oleh penjarahan hutan besar-besaran dan tidak terkendali, sehingga dapat dijadikan dasar prediksi dalam situasi tingkat gangguan hutan tinggi. 1.3 Kondisi dengan target kerusakan maksimum yang boleh terjadi sebesar

20 % per jangka ( 2 % per tahun) mencerminkan kondisi harapan. 2. Total luas areal hutan yang bisa untuk tujuan produksi (jumlah dari areal

produktif dan non produktif) selama jangka proyeksi diasumsikan tetap, dengan alasan tidak ada kemungkinan terjadinya penambahan areal KPH pada masa mendatang.

3. Kelas hutan miskin riap (MR) pada jangka yang akan datang diasumsikan berasal dari tegakan kelas umur IV, V, dan VI.

3.5 Analisis Data

Berdasarkan kerangka pemikiran dan asumsi-asumsi di atas, proses analisis data dilakukan dengan penyusunan model proyeksi yang digunakan untuk memprediksi potensi sumberdaya hutan pada masa yang akan datang, baik dalam hal struktur kelas hutan maupun potensi hasilnya (luas dan volume tebangan). Proses analisis data sebagai berikut :

(5)

1. Tingkat kelestarian dan kerusakan hutan

Gambaran kondisi sumberdaya hutan pada masa lalu dapat diperoleh dengan mengevaluasi struktur kelas hutan serta rencana dan realisasi kegiatan pengelolaan hutan selama empat jangka (jangka 1975-1984, 1982-1991, 1992-2001, dan 2002-2011) dan hasil audit sumberdaya hutan tahun 2007. Berdasarkan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya hutan pada jangka lalu dan saat ini selanjutnya disusun suatu model proyeksi untuk memprediksi potensi sumberdaya hutan pada masa mendatang, baik dalam hal struktur kelas hutan maupun potensi hasilnya (luas dan volume penebangan). Pada dasarnya, model proyeksi tersebut menggambarkan perubahan/dinamika tegakan suatu jangka ke jangka berikutnya. Dinamika tegakan yang tercakup dalam model proyeksi ini adalah:

1. Alih tumbuh, yaitu perpindahan tegakan dari satu kelas umur ke kelas umur diatasnya. Besarnya laju alih tumbuh dinyatakan sebagai tingkat kelestarian yang dihitung dengan rumus :

= , untuk i = 1,2,…,7; j = 2,3,…,8

dimana : = persentase alih tumbuh (tingkat kelestarian) dari tegakan kelas umur ke-i pada jangka sebelumnya menjadi tegakan kelas umur ke-j pada jangka berikutnya

= luas (ha) tegakan kelas umur ke-i (ha) pada jangka sebelumnya = luas (ha) tegakan kelas umur ke-j (ha) pada jangka berikutnya. 2. Kerusakan dan penurunan potensi tegakan, dimana adanya gangguan hutan dapat

menyebabkan hilangnya luasan suatu tegakan kelas umur untuk tumbuh menjadi tegakan kelas umur berikutnya. Karena ada gangguan hutan tersebut maka nilai p tidak mungkin 100% sehingga akan terdapat tingkat kerusakan (q, %) sebesar :

= 100% - , untuk i = 1,2,…,7; j = 2,3,…,8 Dalam hal ini terdapat kemungkinan kerusakan tegakan sebagai berikut :

2.1 Pada tegakan kelas umur I, kelas umur II, dan kelas umur III mengalami kerusakan menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang,

(6)

dimana tingkat kerusakannya (t, %) akan sama dengan nilai , , dan

2.2 Pada tegakan kelas umur IV , kelas umur V dan kelas umur VI mengalami kerusakan selain menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang dan juga penurunan potensi tegakannya menjadi miskin riap. Oleh karena itu, tingkat kerusakan (q, %) pada ketiga kelas umur tersebut terdiri atas tingkat kerusakan menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang (t, %) dan tingkat penurunan potensi menjadi miskin riap (r, %), sehingga :

= + , untuk i = 4,5,6; j = 5,6,7

Besarnya nilai t dan r dihitung berdasarkan proporsi luasan tanah kosong, tanaman jati bertumbuhan kurang, dan miskin riap pada tegakan berumur 40 tahun ke atas dari data hasil audit sumberdaya hutan KPH Bojonegoro tahun 2007.

3. Penambahan tanaman baru, yaitu luasan areal non produktif yang ditanami dan menjadi tegakan kelas umur I pada jangka berikutnya. Persentase penambahan tanaman baru (b, %) dihitung dengan rumus :

Uk,t = x 100%, untuk k = 1,2,…n; l = 2,3,…n

Dimana : Uκ,ι = persentase penambahan tanaman baru dari jangka ke-k

(sebelumnya) menjadi ke-l (berikutnya)

α = luas kelas umur I (ha) pada jangka ke-l (berikutnya)

t = luas tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang (ha) pada awal jangka ke-l (sebelumnya)

b = luas tebangan A2 (ha) dalam jangka ke-l (sebelumnya) c = luas tebangan B dan D (ha) dalam jangka ke-l (sebelumnya).

Berdasarkan data struktur luas kelas hutan selama empat jangka dan audit sumberdaya hutan tahun 2007, dapat dihitung besarnya tingkat kelestarian dan kerusakan kelas hutan di KPH Bojonegoro. Untuk keperluan proyeksi pada berbagai

(7)

tingkat gangguan hutan, selanjutnya ditentukan nilai rata-rata tingkat kelestarian dan kerusakan yang mencerminkan kondisi :

1. Normal, yakni rata-rata dari persentase kelestarian atau kerusakan mulai periode jangka 1975-1984, jangka 1982-1991, hingga sebelum terjadinya masa penjarahan.

2. Pesimis, yakni rata-rata (terboboti perbedaan lama jangka) mulai periode terjadinya masa penjarahan, jangka 2002-2011, hingga tahun 2007.

3. Harapan, yakni target kerusakan maksimum yang boleh terjadi sebesar 20 % per jangka ( 2 % per tahun).

2. Kelestarian tegakan

Struktur kelas hutan pada jangka mendatang diprediksi dengan cara mengalikan luas masing-masing kelas hutan pada jangka sebelumnya dengan persentase tingkat kelestarian sehingga dapat diprediksi luas suatu kelas umur yang beralih ke kelas umur berikutnya. Luas suatu kelas umur yang rusak menjadi tanah kosong dan tanaman jati bertumbuhan kurang atau miskin riap diprediksi dari persentase tingkat kerusakannya. Penambahan tanaman baru pada kelas umur I diprediksi berdasarkan persentase kemampuan rata-rata penanaman. Pengurangan luas areal produktif (kelas umur VII ke atas) dimungkinkan karena adanya penebangan dalam jangka yang dihitung berdasarkan perhitungan etat.

3. Kelestarian Produksi Kayu Jati

Pada setiap awal jangka proyeksi dari masing-masing skenario dilakukan perhitungan etat (luas dan volume) dari tebangan A (tebang habis) dan tebangan E (penjarangan komersil) berdasarkan struktur kelas hutan yang terbentuk guna menentukan besarnya luas dan volume penebangan pada tiap jangka proyeksi. Etat tebangan dihitung berdasarkan metode Burn (umur tebang rata-rata). Dalam perhitungan tersebut, digunakan nilai rata-rata bonita, kerapatan bidang dasar (KBD), dan faktor koreksi (FK). Selama jangka proyeksi, ketiga faktor tersebut diasumsikan tetap dengan pertimbangan bahwa :

1. Bonita mencerminkan kualitas tempat tumbuh yang tidak mudah berubah dalam tempo singkat (walaupun terdapat kecenderungan semakin menurun)

(8)

2. Kerapatan bidang dasar (KBD) merupakan ukuran kerapatan tegakan yang dipengaruhi oleh gangguan/kerusakan hutan. Dalam kajian ini, perubahan luas akibat gangguan hutan telah dipertimbangkan dalam skenario proyeksi (normal, harapan, dan pesimis), sehingga juga dapat mencerminkan perubahan kerapatan bidang dasar (KBD) selama jangka proyeksi.

3. Faktor koreksi (FK) merupakan suatu koreksi sistematis terhadap penyimpangan antara realisasi dan rencana, yang dapat mencerminkan rata-rata pencapaian produksi pada jangka panjang.

Hasil perhitungan dan pengujian etat ditindaklanjuti dengan tahapan jangka benah jika ada KU yang sudah waktunya ditebang (berdasarkan pengujian etat) masih memiliki umur di bawah UTM (umur tebang minimum). Prosedur jangka benah yang dilakukan berpedoman pada SK Direksi Perum Perhutani No. 042.9/DIR tanggal 15 September 1983. Selanjutnya, disusun bagan tebang hipotesis untuk menentukan luas dan volume tebangan, khususnya untuk jangka proyeksi pertama.

Taksiran luas dan volume tebangan penjarangan dihitung dengan rumus : Le1j = 10 5 2 1 i aij

Ve 1j

=

L

e

1j.v

e

1

Dimana : Le1j = luas tebangan penjarangan (ha/tahun) pada jangka ke-j

α1ij = total luas KU II-V pada jangka ke-j

Ve1j = volume tebangan jati pada jangka ke-j

e

v 1 = rata-rata volume per hektar tebangan penjarangan. Faktor koreksi untuk prediksi akhir ditentukan berdasarkan rumus :

FKl =

l

l

k b

dan FK

v =

v

v

k b

Dimana : FKl = faktor koreksi untuk prediksi luas tebangan FKv = faktor koreksi untuk prediksi volume tebangan

Lb,vb = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk tiap bagian hutan dan kemudian digabungkan untuk tingkat KPH.

(9)

Lk,vk = prediksi luas dan volume tebangan yang dihitung untuk level KPH.

Untuk memperoleh taksiran nilai finansial dari hasil tebangan yang lebih realistis sesuai kualitas dan harga kayunya, maka prediksi volume tebangan A2 dan E pada setiap jangka proyeksi diklasifikasikan berdasarkan jenis sortimen AI, AII, dan AIII.

Gambar

Gambar 1   Kerangka pemikiran untuk  kajian kelestarian tegakan dan produksi kayu  di KPH Bojonegoro

Referensi

Dokumen terkait

Penulis tertarik untuk membahas angkatan 66 sebagai tulisan ilmiah mengingat belum banyak tulisan-tulisan ilmiah menyangkut angkatan 66 dan TRITURA di Jambi bahkan

hasil penelitian mengenai peran dan strategi yang dilakukan KAPSTRA dalam tujuh tahun proses pemberdayaan masyarakatdi Dusun Sejati Desa, Moyudan inilah yang nantinya akan

Berdasarkan analisis data dapat diketahui bahwa harga sewa kios maha l bagi pedagang yang menyebabkan kecilnya minat pedagang di Desa Pulore jo untuk berdagang di Pas

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pada periode dua tahun sebelum IPO perusahaan terbukti melakukan manajemen laba melalui income-increasing

Proses matching histogram diperlukan untuk meningkatkan kontras suatu citra, peningkatan kontras enhancement menggunakan metode transformasi orthogonal dari nilai

Collateralizable assets yang tinggi membuat kreditor lebih terjamin dan kreditor tidak perlu melakukan pembatasan yang ketat terhadap kebijakan dividen

Pertumbuhan salak hibrida yang dapat beradaptasi dengan lingkungan Tanjung Pinang lebih baik dibandingkan dengan kontrol salak lokal Bintan dan GD-JW, yang

Terdahulu, penelitian mengenai imobilisasi enzim glukoamilase pada silika mesostructured cellular foam (MCF) untuk proses hidrolisis pati tapioka secara batch membentuk gula