• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga) SKRIPSI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN

MAHRAM

MUSHAHARAH

(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram

Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah

Oleh:

ROKHANA KHALIFAH AL AMIN

NIM 21109019

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

(2)
(3)

PERKAWINAN

MAHRAM

MUSHAHARAH

(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram

Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah

Oleh:

ROKHANA KHALIFAH AL AMIN

NIM 21109019

JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

ْﺮُﻛ ٍﻦِﻣْﺆُﻣ ْﻦَﻋ َﺲَّﻔَﻧ ْﻦَﻣ

ِبَﺮُﻛ ْﻦِﻣ ًﺔَﺑْﺮُﻛ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﺲَّﻔَﻧ ،ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ِبَﺮُﻛ ْﻦِﻣ ًﺔَﺑ

،ِةَﺮِﺧﻵاَو ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ﻲِﻓ ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا َﺮَّﺴَﯾ ،ٍﺮِﺴْﻌُﻣ ﻰَﻠَﻋ َﺮَّﺴَﯾ ْﻦَﻣَو ،ِﺔَﻣﺎَﯿِﻘْﻟا ِمْﻮَﯾ

ْﻮَﻋ ﻲِﻓ ُﷲاَو ،ِةَﺮِﺧﻵاَو ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ﻲِﻓ ُﷲا ُهَﺮَﺘَﺳ ﺎًﻤِﻠْﺴُﻣ َﺮَﺘَﺳ ْﻦَﻣَو

َنﺎَﻛ ﺎَﻣ ِﺪْﺒَﻌْﻟا ِن

،ِﮫﯿِﺧَأ ِنْﻮَﻋ ﻲِﻓ ُﺪْﺒَﻌْﻟا

“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan di hari Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, niscaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aiba di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya.”

Our greatest glory isn’t in never failing, but in rising up every time we fail

“kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi pada kemampuan kita untuk bangkit setiap kali terjatuh”

PERSEMBAHAN

(8)

ABSTRAK

Al Amin, Rokhana Khalifah. 2013. Perkawinan Mahram Mushaharah (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga). Skripsi, Jurusan Syariah, Program Studi al Ahwal al Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat Ph.D.

Kata Kunci: perkawinan, mahram dan mushaharah

Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinan terlarang yang banyak terjadi di masyarakat, salah satunya adalah perkawinan mahram mushaharah/semenda yang dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Sidorejo. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana makna teks Al Quran yang menjelaskan tentang larangan perkawinan mushaharah

khususnya terhadap anak tiri? (2) bagaimana kronologi perkawinan mahram mushaharah di Kecamatan Sidorejo? dan (3) apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan mahram mushaharah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir normatif.

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Saya menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Imam Soetomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga;

2. Bapak Munajat Ph. D., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;

3. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga;

4. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah;

5. Seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama 8 semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat;

6. Suami dan orang tuaku yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi;

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin.

Wassalamualaikum wr.wb.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 2

B.Fokus Penelitian ... 6

C.Tujuan Penelitian ... 6

D.Kegunaan Penelitian ... 7

E.Penegasan Istilah ... 7

F.Telaah Pustaka ... 8

G.Metode Penelitian ... 12

H.Sistematika Penulisan ... 17

BAB II. PERKAWINAN ... 10

A.Definisi Perkawinan ... 19

B.Tujuan Perkawinan menurut Hukum Islam ... 21

C.Asas Hukum Perkawinan... 27

D.Rukun dan Syarat Perkawinan ... 28

E.Macam-Macam Akad Nikah ... 32

1.Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya ... 33

2.Akad Nikah Rusak dan Hukumnya ... 34

(11)

F.Perempuan-Perempuan yang Diharamkan (Muharramat) ... 37

1.Keharaman Mutlak ... 37

2.Keharaman Sementara... 45

BAB III. PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAN DI KECAMATAN SIDOREJO ... 49

A.Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo ... 49

B.Perkawinan MahramMushaharah di Kecamatan Sidorejo ... 52

BAB IV. ANALISIS ... 58

A.Larangan Menikah dengan Anak Tiri ... 58

B.Latar Belakang Terjadinya Perkawinan MahramMushaharah ... 61

C.Dampak Perkawinan MahramMushaharah ... 65

D.Upaya Penanggulangan ... 67

BAB IV. PENUTUP ... 70

A.Kesimpulan ... 70

B.Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

Lampiran-Lampiran ... 76

(12)

DAFTAR TABEL

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,

tujuan perkawinan salah satunya untuk membentuk sebuah keluarga yang

harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia demi terwujudnya ketenangan,

kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Islam dengan segala

kesempurnannya, memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam

kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan

dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci

antara laki-laki dan perempuan (Latief, 1982:12). Dalam Islam, perkawinan juga

merupakan salah satu perintah yang diperuntukkan bagi kaum muslimin

sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bahwa “perkawinan yang

sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau

mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah”(KHI:Pasal 1).

Dalam Islam, perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan

seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam

suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami

istri. Ini sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:

“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah

(15)

merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar dua lawan jenis yang

semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan berhubungan

intim. Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum, 30:21).

Perkawinan amatlah penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan

perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat

sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Islam mengatur

masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat

manusia hidup berkehormatan. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan

ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq

(Basyir, 1996:1).

Diaturnya kehidupan manusia dalam perkawinan semata-mata adalah demi

menjaga kehormatan mereka. Namun, moral manusia yang semakin menipis

bahkan sebagian telah hilang, menjadikan mereka buta akan hukum yang

mengatur dan membatasi hidup mereka. Dengan bangganya mereka menerobos

batas-batas hukum tersebut, termasuk dalam masalah perkawinan ini. Mereka

(16)

Padahal dalam perkawinan, mereka telah diatur oleh kaidah-kaidah hukum yang

harus mereka taati. Khususnya bagi umat Islam, aturan ini telah ada sejak

turunnya firman Allah yang mengatur tentang perkawinan.

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut

selektivitas. Artinya, bahwa seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan

terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa

ia terlarang untuk menikah (Amir, 2004:144). Hal ini untuk menjaga agar

pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada.

Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi,

yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi).

Sementara, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul

berbagai permasalahan di dalam kehidupan masyarakat terutama yang terkait

dengan perkawinan. Salah satunya yakni sering ditemui perkawinan yang

sebetulnya dilarang namun nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti

halnya perkawinan yang terjadi antara saudara (hubungan nasab/incest), antar

saudara sepersusuan, ataupun mushaharah/semenda. Hal tersebut dapat

dikarenakan ketidaktahuan, pengetahuan agama yang minim, bahkan moral yang

rendah. Sehingga meski mereka sudah mengetahui bahwa perkawinan tersebut

dilarang, tapi tetap saja aturan yang haq tersebut dilanggar dan terjadilah

perkawinan yang terlarang tersebut. Bila perkawinan dilakukan atas dasar cinta,

hal ini menabrak garis haram yakni perzinahan. Bila tanpa cinta, menabrak garis

(17)

ini tentu terjadi secara illegal entah itu nikah dibawah tangan atau pemalsuan data

nikah saat pendaftaran nikah di KUA.

Perkawinan-perkawinan terlarang yang banyak terjadi dalam kehidupan

masyarakat kini, sesungguhnya telah sejak lama diatur dalam Al Quran. Allah

SWT berfirman dalam surat An Nisa yang berbunyi:

ôM tBÌh



ãm

(18)

Berdasarkan pada ayat diatas, anak tiri termasuk dalam golongan wanita

yang haram dinikahi, yang hal ini termasuk dalam perkawinan

mushaharah/semenda. Meskipun dalam ayat tersebut terdapat kata

Nà2 Í‘ qàf ãm’ Îû

yang bermakna “dalam pemeliharaanmu”, sehingga makna ayat

secara tekstual dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa larangan menikahi anak

tiri tidak berlaku mutlak ataupun menyeluruh. Secara tekstual ayat tersebut dapat

bermakna bahwa larangan tidak berlaku bagi anak tiri yang tidak berada dalam

pemeliharaan ayah tirinya. Sebaliknya, larangan hanya berlaku bagi anak tiri yang

berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya. Sehingga hal ini bisa saja dijadikan

alasan bagi mereka para pelaku perkawinan terlarang khususnya perkawinan

terlarang dengan anak tiri. Pengetahuan agama yang minim memungkinkan

seseorang memaknai firman Allah secara tekstual. Padahal banyak makna yang

terkandung di dalam firman Allah dalam Al Quran bukanlah makna tekstual

melainkan kontesktual.

Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, bahwa banyak kasus

pernikahan terlarang termasuk pula yang terjadi di wilayah Kecamatan Sidorejo

Kota Salatiga. Meskipun dalam setiap daerah, termasuk pula di Kecamatan

Sidorejo, setiap Desa tentu dapat ditemui tokoh Agama, Ustadz, ataupun

komponen masyarakat yang lain, namun keberadaan mereka tidak mampu

melawan pernikahan terlarang yang nyata terjadi dihadapan mereka. Dari sinilah

(19)

semenda yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pemilihan

tempat penelitian di lingkup Kecamatan Sidorejo ini dikarenakan terdapat dua

kasus perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak tirinya di lingkup Kecamatan

Sidorejo.

Perkawinan antar kerabat mushaharah ini sangatlah menarik untuk diteliti,

oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat ini

yang kemudian dirumuskan dalam sebuah judul penelitian “PERKAWINAN

MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan

MahramMushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka perlu

dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini

dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan tema, yaitu:

1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram

mushaharah?

2. Bagaimana kronologi terjadinya perkawinan mahrammushaharah di wilayah

Kecamatan Sidorejo?

3. Faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan mahram

mushaharah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang perkawinan mahram

(20)

2. Untuk mengetahui kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah

yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo,

3. Untuk mengetahui sebab terjadinya perkawinan mahrammushaharah,

D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat teoritis

a) Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu

pengetahuan yang telah diperoleh;

b) Dapat menambah wawasan atau memberikan sumbangan informasi

tentang Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum perkawinan;

c) Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai

keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

a) Sebagai bahan acuan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh

masyarakat, tokoh masyarakat dalam penyelesaian kasus perkawinan yang

jelas-jelas dilarang oleh Undang-Undang maupun Al Quran khususnya di

wilayah hukum Salatiga;

b) Memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana

Syariah (S.Sy).

E. Penegasan Istilah

1. Perkawinan: perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang

sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk

(21)

2. Mushaharah: Ditinjau dari segi bahasa, muhrim mushaharah terdiri dari dua

kata yaitu muhrim dan mushaharah. Muhrim atau mahrom berasal dari

kata harama yang artinya “mencegah”, bentuk mashdar dari kata harama, yang

artinya yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, maka mahrom

secara istilah adalah orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi.

Sedangkan mushaharah menurut Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab FiqhAla

Madzahibil Arba’ah, adalah sifat yang menyerupai kekerabatan. Mushaharoh

menurut istilah ialah hubungan kekeluargaan sebab adanya ikatan pernikahan.

Jadi apabila kata mahram dan mushaharah digabung dapat diartikan

orang-orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi sebab adanya ikatan

kekeluargaan dari hasil suatu pernikahan.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd disebutkan bahwa

orang-orang yang haram dinikahi karena muhrim mushaharah ada empat macam

yaitu ibu dari istri (mertua), anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak

tiri), istri bapak (ibu tiri), istri anak (menantu).

F. Telaah Pustaka

Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat

kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam

penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu

perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat

dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaaan hasil

kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasan

(22)

Penelitian ini tentu saja bukan merupakan penelitian pertama yang

mengangkat permasalahan perkawinan terlarang yang terjadi di kehidupan

masyarakat. Ada beberapa penelitian terkait dengan perkawinan yang dilarang

oleh Agama maupun Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. salah satunya

yang telah dilakukan oleh mahasiswa jurusan Syariah Program Studi Ahwal al

Syakhshiyyah STAIN Salatiga, yang tentunya dengan fokus dan permasalahan

yang berlainan.

Penelitian terhadap perkawinan yang terlarang, sebelumnya pernah

dilakukan oleh Pamungkas (2008), dengan judul “Poligami Dengan Mahram

Ghairu Mu’abbad (Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari

Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)” dengan menggunakan metode penelitian

field research yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian oleh Pamungkas ini

mengangkat permasalahan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat di

Dukuh Banjaran Kota Salatiga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Pamungkas, ditemukan beberapa kasus perkawinan yang diharamkan namun

kenyataannya, perkawinan tersebut terjadi di masyarakat. Perkawinan yang

dimaksud adalah perkawinan yang terjadi dengan istri kedua yang berstatus

mahram ghairu mu’abbad. Dalam skripsinya, Pamungkas mencantumkan

kategori perempuan yang berstatus mahram ghairu mu’abbad yakni saudara

perempuan kandung istri, bibi istri dari pihak ayah dan dari pihak ibu, perempuan

yang sedang iddah, perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan dengan

orang lain, dan perempuan yang ditalak tiga sebelum ada muhallil. Perempuan

(23)

penelitiannya, ia berfokus pada poligami dengan perempuan yang haram dinikahi

sementara oleh laki-laki yang telah memperistri saudara kandungnya. Penelitian

ini menjelaskan bahwa di dukuh Banjaran terdapat pernikahan dengan mahram

ghairu mu’abbad, beberapa kasus ditemukan menikah secara sah dihadapan

petugas KUA, dan sebagian lain menikah tanpa dicatatkan. Pernikahan tersebut

menimbulkan dampak yakni batalnya pernikahan secara hukum Islam ataupun

Undang-Undang kecuali hilang sebab keharamannya.

Beragam problematika seputar perkawinan banyak ditemui di sekitar kita.

Maka dari itu tidak sedikit pula penelitian yang bertemakan perkawinan

khususnya permasalahan yang terjadi dalam perkawinan, proses perkawinan, dan

apapun yang berhubungan dengan perkawinan. Seperti yang dilakukan oleh

mahasiswi STAIN Salatiga, Sariyanti (2007) dengan judul penelitiannya

“Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah”. Penelitian tersebut berangkat

dari problematika yang terjadi di masyarakat yakni maraknya pemuda pemudi

yang melakukan hubungan luar nikah hingga hamil dan yang lebih parah, perilaku

menyimpang tersebut dilakukan pula oleh anak-anak dibawah umur. Dalam

penelitiannya Sariyanti menganalisis dua kasus pengajuan dispensasi nikah di

Pengadilan Agama Salatiga tahun 2005. Kedua kasus tersebut serupa yakni para

pemohon atau calon mempelai yang mengajukan permohonan seluruhnya berusia

dibawah ketentuan minimal usia perkawinan yang disebut dalam Undang-Undang

Perkawinan pasal 7 (1). Usia minimal bagi pasangan calon mempelai adalah 19

tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam pertimbangan hakim

(24)

ﺢﻟﺎﺼﻤﻟا ﺐﻠﺟ ﻰﻠﻋ مﱠﺪﻘﻣ ﺪﺳﺎﻔﻤﻟا ءرد

“Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”

ُرَﺮَﻀْﻟا

ُلاَﺰُﯾ

“Kemadharatan harus dihilangkan”

Hakim berpendapat jika tidak segera dinikahkan maka akan menambah dosa dan

terjadi perkawinan bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum

yang terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan.

Hampir serupa dengan penelitian Sariyanti, Maimun (2007) yang juga

mahasiswi STAIN Salatiga melakukan penelitian di wilayah Sumatra Selatan

yang marak terjadi perkawinan di bawah umur. Dalam penelitiannya yang

berjudul “Pernikahan di Bawah Umur di Kalangan Orang Sumatra”, Maimun

memaparkan beberapa faktor yang mendorong terjadinya fenomena nikah bawah

umur di Lubuk Linggau Sumatra. Faktor pertama yang ia sebutkan dan

berpengaruh besar adalah kehendak sewenang-wenang orang tua terhadap

anaknya. Anak tidak mampu menolak perintah orang tua, mayoritas anak terlalu

lemah untuk menentang kehendak orang tuanya. Faktor lainnya adalah kemauan

anak itu sendiri karena melihat kawan-kawan seusianya yang sudah menikah.

Adat dan budaya juga berperan dalam hal ini, kebiasaan masyarakat memberikan

stempel untuk anak yang belum juga menikah dengan stempel “perawan tua” atau

“tidak laku” membuat alam bawah sadar anak bekerja bahwa ada keharusan untuk

segera menikah meski umur belum memenuhi batas minimal yang ditetapkan

undang-undang. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat membuat

(25)

Faktor agama ternyata juga berperan dalam hal ini, masyarakat Lubuk Linggau

berpedoman pada Siti Aisyah yang juga menikah di usia dini dengan Nabi

Muhammad. Terjadinya perkawinan di bawah umur di Lubuk Linggau juga

disebabkan pada kekhawatiran orang tua terhadap anaknya bila terjerumus dalam

lembah maksiat. Oleh karena itu, perkawinan merupakan jalan yang terbaik yang

ditempuh meski anak belum mampu secara material dan immaterial. Dari

penelitian Maimun pula, ditemukan bahwa dampak negatif dari perkawinan

bawah umur tersebut adalah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga,

seringnya cekcok dan cemburu yang berlebihan.

G. Metode Penelitian

Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok

permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi

penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara

seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu

kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun

laporan (Narbuko, 1997:23).

Dengan demikian metodologi penelitian adalah cara yang dipakai untuk

mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai

satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian, penulis

menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan

(26)

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dengan memanfaatkan berbagai

metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasa digunakan adalah

wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2006:6).

Landasan berfikir dalam penelitian ini menggunakan landasan berfikir

normatif, yakni metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan

pustaka atau data sekunder (Soekanto, Mamudji, 2001:13). Dalam hal ini landasan

berfikir menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam al quran. Penelitian ini

untuk mengidentifikasi konsep, asas, serta prinsip syariah yang digunakan untuk

mengatur permasalahan mengenai perkawinan (Sedarmayanti, Hidayat, 2002:23). 2. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga,

dengan pertimbangan bahwa di lingkup Kecamatan Sidorejo ditemui dua kasus

pernikahan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang maupun

Hukum Islam. Salah satu pelaku berada di wilayah kecamatan Sidorejo dan yang

lain berada di wilayah kecamatan Salatiga. Penelitian ini dilakukan terbuka

dengan memberitahukan kepada para objek penelitian dan para informan

mengenai penelitian yang dilakukan.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan

mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini didapat dari

informan, atau peristiwa-peristiwa yang diamati seperti wawancara, dokumentasi

(27)

1) Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam

percakapan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2001:25). Untuk memperoleh

data yang valid, dilakukan wawancara langsung terhadap beberapa subyek

diantaranya para pelaku, keluarga pelaku, tetangga sekitar tempat tinggal pelaku,

tokoh masyarakat setempat, para saksi nikah, Kiai/Ustadz yang mengetahui

terjadinya perkawinan mushaharah, pembantu PPN, dan tokoh masyarakat yang

menikahkan para pelaku.

2) Dokumentasi

Setelah didapat data dari hasil wawancara, sebagai penunjangnya

diperlukan pula dokumen-dokumen seperti KTP para pelaku, Kartu Keluarga,

salinan Akta Perkawinan bila ada. Dokumen dokumen ini diperlukan untuk

mengecek keabsahan hasil wawancara yang dilakukan dengan para pelaku

perkawinan.

3) Observasi.

Observasi adalah studi yang disengaja, sistematis tentang fenomena sosial

gejala-gejala psikis, dengan jalan pengamatan. Observasi adalah penelitian yang

dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek

yang diteliti (Narbuko, 1997:37).

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan sebagai pelengkap dan peneliti

bertindak sebagai pengamat penuh yakni mengamati objek yang terjadi di situasi

sebenarnya dalam kesehariannya. Dari observasi ini, peneliti dapat mengetahui

(28)

beragama. Sehingga dari data observasi penulis dapat menganalisis faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan mahrammushaharah.

b.Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan

untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadist,

perundang-undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan materi yang

diteliti. Al Qur’an menjadi landasan utama teori dalam data sekunder ini,

disamping itu, data pustaka juga digali dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,

buku-buku mengenai fiqh munakahat, hukum perkawinan Islam, dan

artikel-artikel dari website.

4. Metode Analisa Data

Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah

tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa

sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab

persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Adapun metode analisa data yang

dipilih adalah model analisa interaktif. Didalam model analisa interaktif menurut

Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006:113) terdapat tiga komponen pokok

berupa:

a. Reduksi data

Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang

mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting

(29)

b. Sajian Data

Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan

kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti

akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu

pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut,

c. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang

terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus di uji

validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh. Adapun

proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah

mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya

diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian

diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga

memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.

5. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama observasi awal

lapangan, kemudian peneliti menentukan topik penelitian dan mencari informasi

umum mengenai adanya perkawinan terlarang yakni perkawinan mahram

mushaharah. Tahap selanjutnya, peneliti terjun ke lapangan untuk mencari data

informan dan pelaku, juga melakukan observasi dan wawancara terhadap pelaku

dan para informan lain yakni keluarga pelaku, tokoh masyarakat/agama sekitar

(30)

menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif

dengan pendekatan normatif.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan

penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan sebagai

berikut:

BAGIAN PERTAMA : Bagian ini berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka terhadap

penelitian terdahulu untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu

yang pernah dilakukan, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan

jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, analisis data, tahap-tahap

penelitian, dan terakhir yakni sistematika pembahasan.

BAGIAN KEDUA: Dalam bagian kedua ini, berisi tinjauan umum tentang

perkawinan, tujuan perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat sah perkawinan,

macam-macam akad nikah dan akibat hukumnya, dan perkawinan yang

diharamkan.

BAGIAN KETIGA: dalam bagian ini, memaparkan seluruh hasil penelitian yang

peneliti lakukan meliputi letak geografis, kondisi sosial keagamaan, gambaran

penduduk Kecamatan Sidorejo, budaya, kehidupan beragama, profil pasangan

pelaku perkawinan muhrim mushaharah dan data yang berkaitan dengan kasus

perkawinan mushaharah.

BAGIAN KEEMPAT: bagian ini berisi analisis praktek perkawinan muhrim

(31)

pendapat-pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat terhadap praktek perkawinan

muhrim mushaharah dan solusi untuk mengatasi permasalahan masyarakat seperti

ini.

BAGIAN KELIMA: berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN

A. Definisi Perkawinan

Dalam bahasa Arab kata “nikah” (

حﺎـــﻜﻧ

) diartikan adh-dhamm

(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtlath (bercampur). Dalam bahasa Arab

misalnya dikatakan:

رﺎَܥـ ْ ﺷﻷا ْ ﺖَﺤـَ ﻛ ﺎَﻱَﻰَﺗ

ُة

Artinya: Pohon-pohon itu kawin; dimaksudkan ketika bergabung satu dengan

yang lain. Atau jika dikatakan:

َ ضْ رﻷا ُ ﺮ َ ﻄــﻤْ ﻟا َ ﺢَ ﻜـَﻧ

Artinya:Hujan itu bergabung dengan tanah; maksudnya ketika air hujan itu

bercampur dengan tanah (Azam, Hawwas, 2009:37).

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi yang dikutip oleh

Dr.H. Abd. Rahman Gazaly (2006:8) di antaranya adalah:

ﻟا

ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا ﻞِ ܩَ وِ ةَ ا ْ ﺮَ ﻤْ ﻟ ِ ِ ﻞُܢ ﺮﻟا ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا َ ْ

ُﻫ ﺎًﻉْ َ ﴍ ُ جا َ و ﺰ

ِ ﻣَﺪْ ِ ﻔُ ﯿـِ ﻟ ُعِرﺎ ﺸﻟا ُﻪَﻌ َ ﺿَ وٌﺪْﻘَﻋَ ﻮ

ِﻞُܢ ﺮﻟا ِ ِ ةَ ا ْ ﺮَ ﳌا ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا ﻞِ ܩَ و ِ ةَ ا ْ ﺮَ ﻤْ ﻟا

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”

Ghazaly mengutip dari Abu Yahya Zakariya Al-Anshary dalam Fath al Wahhab

(33)

َا

ﻨﻟ

ٌﺪْﻘَﻋَ ﻮُﻫ ﺎًﻉْ َ ﴍ ُ ح َ ﲀ

ِ ﻩِﻮْ َ ﳓ ْ وَ أ ٍ ح َ ﲀْﻮا ِﻆِ ﻔْ ﻠِﺑ ٍ ﺊ ْ ﻃَ وَ ﺔَܩ َ ِ ا ُ ﻦ ﻤ َ ﻀَﺘَﯾ

“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya”.

Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya

menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti

majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah

menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan

kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65). Sedangkan dalam bahasa

Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya

membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan hubungan kelamin

(DepDikbud, 1994:456).

Para ulama merinci makna lafal nikah menjadi empat macam. Pertama,

nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya

nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti

kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).

Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilath

(pencampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah diucapkan pada dua

makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri. Nikah

menurut syara’ maknanya tidak keluar dari dua makna tersebut (Azzam, Hawwas,

2009:38).

Adapun perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau

perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan

(34)

ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah (Basyir,

1999:14). Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun

1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi

Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuan dinyatakan dalam pasal 2

sebagai berikut, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. B. Tujuan Perkawinan

Tujuan utama perkawinan ialah menaati perintah Allah untuk memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang

damai dan teratur (Ramulyo, 1996:26). Dalam buku Ny. Soemijati (1982),

disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi

tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan

kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat.

Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas

pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki

tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan agama. Di antaranya

(35)

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

Manusia diciptakan oleh Allah memiliki naluri kecenderungan untuk

mempunyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang diakui oleh

dirinya sendiri, masyarakat, agama dan Negara. Anak merupakan buah hati dan

belahan jiwa. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga

sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia bahkan akan memberi

tambahan amal kebajikan di akhirat, manakala dapat mendidiknya menjadi anak

yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi Saw::

ٍ ث َ ﻼَﺛ ْ ﻦ ِ ﻣ ﻻِ ا ُ ُ َ َ ﲻ َ ﻊ َ ﻄَﻘْﻧِإ ُ نﺎ َ ﺴْﻭ ِﻹ َ تﺎَﻣاَ ذِ ا

:

ٍ ﺢِ ﻟﺎَﻓﺻٍ َ َ و ْ وَ ا ِ ﻪِﺑ ُﻊَﻔَܘْﻰُﯾ ٍ ْ ﲅِ ﻉ ْ وَ أ ٍ ﺔَﯾِرﺎَܢ ٍ ﺔَﻗ َ ﺪ َ ﺻ

ُ َ ْ ﻮُﻋ ْ ﺪَﯾ

)

ﺲﻭأ ﻦﻋ ﲅﺴﻣو ىﺮﺨﺒﻟ ﻩاور

.(

“Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendoakannya (HR. Muslim dari Anas).

Begitu besarnya peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga

diterangkan dalam hadits Nabi Saw bahwa seorang yang kehilangan putranya

yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api

neraka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas:

ُﳞِ ا ِ ﻪِ ﺘَ ْ ﲪَ ر ِ ﻞ ْ ﻀَﻔِﺑ َ ﺔﻨَﺠْ ﻟا ُ ﷲ ُ َ َܮْدَ أ ﻻِ ا َ ﺚَﻨَﳊاا ْ ﻮُﻐُ ﻠْ ﺒَﯾ ْ ﻢَ ﻟ ٌ ﺔَﺛ َ ﻼَﺛ ُ َ ُ تْ ﻮُ ﻤَﯾ ِ

ِ ﲅ ْ ﺴُﻣ ْ ﻦِ ﻣ ﺎـَﻣ

ْ ﻢ

)

ﺲﻭأ ﻦﻋ ﲅﺴﻣو ىﺮﺨﺒﻟ ﻩاور

(36)

“Tiada seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh, melainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surge karena karunia rahmat Allah SWT terhadap anak-anak itu” (Ghazaly, 2006:26).

2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung

jawab

Sudah menjadi kodrat iradah Allah Swt, bahwa manusia diciptakan

berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah Swt mempunyai keinginan untuk

berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah Swt:

z` Îiƒã—

“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali Imran, 3:14).

Oleh Al Quran dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang

satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al Baqarah yang

“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…”(Al Baqoroh, 2:187).

Dalam hal itu, Allah Swt mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria

(37)

pelanggaran, seperti dinyatakan ayat selanjutnya. Disamping perkawinan untuk

pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di

kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran

cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan

keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan

yang tidak terikat oleh satu norma (Ghazaly, 2006:28).

3. Memelihara diri dari kerusakan

Sesuai dengan surat Ar Ruum 21 bahwa ketenangan hidup dan cinta serta

kasih sayang keluarga dapat diwujudkan melalui perkawinan. Orang-orang yang

tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami

ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan entah kerusakan dirinya sendiri

atau orang lain bahkan masyarakat. Karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan

nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik,

sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:

¨b Î) }§ øÿ ¨Z9$# 8ou‘$¨BV{

Ïäþq



¡ 9$$Î/

“….sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada

kejahatan….”(Yusuf, 12:53).

Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah

menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi

gejolak nafsu seksual seperti tersebut dalam hadits Nabi Saw:

َ أ ُﻪﻧِ ﺎَﻓ

ِ ج ْ ﺮَﻔْ ﻠِ ﻤ ُ ﻦ َ ﺼ ْ ﺣَ أ َ وِ َ ﴫَ ﺒْ ﻠِ ﻤ ﺾَﻏ

...

(38)

Nikah dapat menjaga diri manusia dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran

yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing

pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah (Azzam, Hawwas,

2009:39).

4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal

Ghazaly menyatakan bahwa hidup sehari hari menunjukkan bahwa

orang-orang yang belum berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh

emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Demikian pula

dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif

dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga di rumah. Jarang pemuda

pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari depannya, kebanyakan mereka

berfikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin memikirkan bagaimana

caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian

pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan mengetahui bagaimana cara

penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa

tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat untuk mencari rejeki

sebagai bekal hidup sekeluarga dan hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi

untuk diri dan keluarganya (Ghazaly, 2006:30).

5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang

sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang

Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri melainkan

bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang

(39)

ª! $#ur menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu…”(An Nahl, 16:72).

Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup.

Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan

masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota

keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat yang

menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman

masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan

pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga.

Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam

menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga

yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan

dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya

(Ghazaly, 2006: 32).

Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan nikah dalam syariat Islam

sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi tingginya derajat manusia yang

sesuai dengan karakter alam dan sejalan dengan kehidupan sosial alam untuk

mencapai derajat sempurna. Karena hikmah yang besar inilah, Islam sangat

menganjurkan menikah dan Nabi Muhammad SAW sangat melarang umatnya

(40)

C. Asas Hukum Perkawinan

Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat dan juga harus

memperhatikan larangan-larangan perkawinan. Dalam membicarakan larangan

perkawinan menurut hukum Islam ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu:

1. Asas absolut abstrak: suatu asas dalam hukum perkawinan dimana jodoh atau

pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dahulu sudah ditentukan oleh Allah

atas permintaan manusia yang bersangkutan;

2. Asas selektivitas: suatu asas dalam suatu perkawinan dimana seseorang yang

hendak menikah harus menyeleksi terlebih dahulu dengan siapa ia boleh

menikah dan dengan siapa ia dilarang menikah;

3. Asas legalitas: suatu asas dalam perkawinan yang mana pencatatan

perkawinan itu wajib hukumnya (Ramulyo, 1996:34).

Mohammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, mengemukakan enam asas hukum perkawinan Islam lainnya antara

lain:

4. Asas kesukarelaan : asas kesukarelaan tidak hanya ada pada kedua calon

mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua

masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah

merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana

ditentukan dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.

5. Asas persetujuan: dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah

diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak

(41)

6. Asas kebebasan memilih: setiap orang berhak memilih pasangan

perkawinannya secara bebas asalkan sesuai syariat Islam, yaitu tidak

melanggar larangan perkawinan menurut Islam karena perkawinan adalah

lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai

sendi pokok masyarakat dan bangsa (Djubaidah, 2010:101).

7. Asas kemitraan: dalam ajaran Islam, akad nikah dengan sighat ijab qabul itu

tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap istri atau sebaliknya.

Pembagian tugas antara suami istri pun bukan dalam makna yang satu

menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah agar terwujud keturunan yang salih dan

salihah.

8. Asas monogami terbuka: pada asasnya perkawinan menurut Islam adalah

monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami diperbolehkan

melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak

empat orang istri.

9. Asas untuk selama-lamanya: tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya,

bukan untuk sementara waktu dan sekedar bersenang-senang atau rekreasi

semata (Djubaidah, 2010:106). D. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan

hukum. Rukun menentukan sah atau tidaknya sesuatu, sehingga jika salah satu

rukun dalam perkawinan tidak dipenuhi, maka berakibat perbuatan hukum

(42)

Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang

menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya

perbuatan tersebut (Djubaidah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang

harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), dan

sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka

untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.(Ghazaly, 2006:46).

Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun perkawinan terdiri dari

calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi

lelaki dan ijab kabul. Jika kelima unsur tersebut terpenuhi, maka perkawinan sah,

tetapi sebaliknya jika salah satu atau beberapa rukun dari kelima rukun

perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak sah (Djubaidah, 2010:107).

Sedangkan syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang

menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaidah,

2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang

menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.

Rukun dan syarat dalam perkawinan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak

dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam

Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah: Nikah fasid yaitu nikah yang tidak

memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak

memenuhi rukunnya. Dan hukum nikah fasid atau batil adalah sama yakni tidak

(43)

1. Adanya calon suami,

2. Adanya calon istri,

3. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,

4. Adanya dua orang saksi,

5. Sighat akad nikah (Rofiq, 1998:72).

Syarat yang merupakan bagian dari masing masing rukun perkawinan antara lain:

1. Syarat-syarat calon suami:

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya

sendiri.

e. Tidak terdapat halanga perkawinan atau bukan merupakan mahram dari

calon istri

2. Syarat-syarat calon istri:

a. Beragama Islam

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai persetujuannya

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Syarat-syarat wali:

a. Laki-laki

(44)

c. Baligh

d. Mempunyai hak perwalian

e. Waras akalnya

f. tidak terdapat halangan perwaliannya

4. Syarat-syarat saksi

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Islam

c. Baligh

d. Hadir dalam ijab qabul

e. Dapat mengerti maksud akad

5. Syarat-syarat akad

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, atau

tazwij

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram

haji/umrah

g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon

mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan

(45)

Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II

pasal 6:

a. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,

b. untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,

c. dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,

d. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).

Sedangkan Abdul Aziz Muhammad Azzam (2009:100), seorang Guru

Besar Universitas Al Azhar Mesir dalam bukunya menyebutkan bahwa syarat sah

akad ada tiga yakni:

a. Persaksian

b. Wanita yang dinikah bukan mahram

c. Sighat akad

Pernyataan yang hampir senada dikemukakan oleh Basyir (1999) bahwa syarat

sahnya perkawinan adalah:

a. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi

suaminya

b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki

c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. E. Macam-Macam Akad Nikah

Hukum suatu pernikahan dan pengaruh yang ditimbulkannya mengikuti

(46)

akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah berbeda dengan

akad yang bergantung, fasid dan batil. Beberapa pengaruh yang ditimbulkan dari

keempat macam akad pernikahan sebagai berikut: 1. Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya

Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Hawwas dalam

bukunya Fiqh Munakahat, pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala

persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan yakni kedua

orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, sighat-nya menunjukkan

pemilikan kesenangan secara abadi, menyatu dalam suat majelis ijab-qabul, pihak

yang mengucapkan ijab dapat mendengar suara pihak yang mengucap qabul dan

sebaliknya, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadi, dihadiri dua

orang saksi yang memenuhi segala persyaratan persaksian, dan kedua pihak yang

berakad berakal dan baligh. Ketika berkumpul syarat-syarat tersebut, maka akad

pernikahan menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara yakni:

a. Timbul beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban suami terhadap istri

disebabkan tuntutan akad pernikahan diantaranya, mahar, kewajiban memberi

nafkah, tidak menyakiti istri dengan perbuatan atau perkataan kecuali

diperbolehkan syara’, dan kewajiban suami berlaku adil jika terjadi poligami.

b. Kewajiban istri terhadap suami sebab tuntutan akad diantarnya, patuh

terhadap suami kecuali ada larangan syara’, istri tunduk pada pengajaran

suami dalam hal yang diperbolehkan syara’,

c. Beberapa pengaruh kewajiban atas masing-masing suami-istri terhadap

(47)

mewarisi, keharaman saudara sambung, kehalalan bagi masing-masing suami

istri bersenang-senang dengan cara yang diizinkan syara’, wajib mempergauli

pasangannya dengan cara yang baik. (Azzam, Hawwas, 2009:129).

2. Akad Nikah yang Rusak dan Hukumnya

Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil

adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokokdan sifatnya seperti menjual bangkai

atau menikahi wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang

disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari

beberapa syarat seperti akad nikah tanpa saksi. Sehingga, jika cacat terjadi pada

rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad disebut fasid.

Hukum akad fasid ini tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh

pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini

hukumnya maksiat. Bagi kedua suami istri yang telah melakukan akad fasid

hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid

tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah berdasarkan kesadaran

sendiri maka bagi yang mengetahuinya wajib memisahkan mereka atau

melaporkan ke penghulu agar dipisahkan.

Ada beberapa pengaruh akibat percampuran dalam akad fasid, yaitu:

a. Menolak hukuman zina karena adanya syubhat (kesamaran)

b. Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya adalah membayar minimal

(48)

c. Dengan percampuran ini, haram baginya saudara sambung, haram atas

laki-laki semua orang tua wanita tersebut dan anak-anaknya. Demikian pula haram

atas wanita semua orang tua laki-laki dan anak-anaknya.

d. Kewajiban iddah yang dihitung sejak hari perpisahan, baik perpisahan ini

dilakukan sendiri atau dipisahkan penghulu atau pengadilan. Waktu iddah

dalam perpisahan ini deperti iddah talak sampai pada kondisi ditinggal wafat

suami, yakni empat bulan sepuluh hari.

e. Penetapan nasab anak yang dikandung istri, karena untuk menghidupkan dan

menjaga ketersia-siaan mereka.

Beberapa hukum yang ditetapkan pada akad fasid, tidak menimbulkan

pengaruh pernikahan seperti, penetapan hak waris antara laki-laki dan perempuan,

kewajiban nafkah, tempat tinggal, dan kepatuhan suami, semua itu tidak ada

dalam akibat pernikahan dengan akad fasid (Azzam, Hawwas, 2009:133). 3. Akad Nikah Batil dan Hukumnya

Akad batil adalah semua akad yang didalamnya terjadi kecacatan dalam

sighat (ijab-qabul), misalnya ungkapan kedua pihak yang berakad tidak

menunjukkan pemilikan manfaat secara abadi. Atau cacat yang terjadi pada syarat

dua orang yang berakad, misalnya salah satu atau kedua pihak masih kecil dan

tidak mumayyiz, atau mereka gila. Atau kehilangan satu dari beberapa syarat

terjadinya akad. Ditambah lagi wanita tidak menghalalkan bagi seorang suami,

misalnya ia saudara perempuan sesusuan atau ber-iddah dari talak orang lain, atau

(49)

mengetahui hal tersebut pada saat akad berlangsung. Maka pernikahan yang tidak

memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil.

Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan

pengaruh sesuatu seperti pengaruh yang ditimbulkan dari akad yang sah. Di sini

tidak ada kewajiban mahar, nafkah, taat, tidak pula menetapkan hubungan waris

dan saudara sambng, dan tidak terjadi talak, karena talak merupakan cabang dari

perwujudan pernikahan yang sah.

Adapun yang termasuk nikah batil ada tiga macam, yaitu:

a. Orang yang tidak mampu melakukan akad dengan sendirinya maka akadnya

batil, seperti orang gila, kurang akal, dan orang yang disamakan dengannya;

b. Seorang laki-laki yang mengadakan akad dengan perempuan yang tidak halal

baginya;

c. Jika nonmuslim berakad menikahi wanita muslimah maka nikahnya batil

karena hilangnya status.

Akad-akad seperti yang telah disebutkan tidak menimbulkan pengaruh

pernikahan, keduanya wajib dipisahkan. Jika telah bercampur, percampuran

tersebut tidak dapat mengangkat kebatilan, hukumnya sama dengan berzina.

Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila terjadi akad batil yang bukan termasuk

akad yang syubhat maka harus ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir

sepadan datang dari Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin

Hambal bahwa kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had

zina jika mereka mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah,

(50)

wanita tidak wajib iddah. Sedangkan status nasab anak, menurut pendapat Abu

Hanifah, nasab anak tidak diakui. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat

nasab anak tetap diakui demi menjaga hak anak dan kemaslahatannya. Di antara

ulama berpendapat bahwa perzinaan menetapkan keharaman saudara sambung.

Oleh karena itu, karena akad ini pula haram atas salah satu dari orangtua atau

anak-anak seorang pezina menikahi perempuan yang dizinai dan menjadi haram

(mahram) wanita yang dizinai terhadap orang tua dan anak-anaknya (Azzam,

Hawwas, 2009:135).

F. Perempuan-perempuan yang Diharamkan (Muharramat)

Di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya,

tidak halal sekarang dan tidak akan halal pada masa-masa akan datang, yang

disebut haram abadi. Dan di antara wanita ada yang haram untuk dinikahi seorang

laki-laki sementara, keharaman berlangsung selama ada sebab dan akan menjadi

halal jika sebab keharaman itu hilang, ini yang disebut keharaman sementara atau

(51)

diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,” (An Nisa, 4:23). Demikianlah Islam menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal

itu tidak lain agar tatanan keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak

terlepas, dan agar tatanan masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan

memunculkan ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi,

2005:418). Makna ayat tersebut sudah jelas bahwa seorang pria dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian

nasab, yakni:

1) Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, neneknya bapak, neneknya ibu dan

seterusnya ke atas;

2) anak perempuan, termasuk pula cucu perempuan dan seterusnya ke bawah;

3) wanita keturunan ayah dan ibu atau anak-anaknya orang tua,entah itu

saudara perempuan sekandung ataupun tiri, putri saudara laki-laki, putri

saudara perempuan, putri dari anaknya saudara laki-laki, putri dari anaknya

saudara perempuan dan seterusnya sampai ke bawah;

4) anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah satu

tingkat (Azzam, Hawwas, 2009:137). b. Hubungan Persusuan

Perempuaan-perempuan yang haram dinikahi karena persusuan adalah: ibu

yang menyusui dan saudara perempuan sesusuan. Rasulullah saw bersabda:

(52)

“Haram sebab persusuan adalah apa yang haram sebab nasab”. (HR. Ibnu Majah dan A Tirmidzi)

Sehingga wanita yang diharamkan sebab persusuan adalah:

1) Ibu yang menyusuinya da seterusnya menurut garis lurus ke atas;

2) Dengan wanita sepersusuan, anak-anak dari wanita sepersusuan dan

seterusnya ke bawah;

3) Anak-anak kedua orang tua sepersusuan;

4) Anak-anak kakek dan nenek sepersusuan;

5) Istri orang tua sepersusuan, yakni istri bapak sepersusuan, istri kakek

sepersusuan;

6) Istri anak sepersusuan, yakni istri anak laki-laki sepersusuan atau istri cucu

putra dari anak laki-laki.

7) Orang tua istri sepersusuan

8) Anak-anak istrinya sepersusuan, yakni putrinya, cucu putri dari anak putri

dan cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan. (Azzam, Hawwas,

2009:155).

c. Hubungan Mushaharah

Disebut juga hubungan persambungan atau semenda, yakni yang

diharamkan akibat adanya hubungan pernikahan, ada empat:

1) Ibu mertua baik telah bercampur dengan istri atau belum,

Diceritakan dari Imam Ali ra. bahwa tidak haram menikahi ibu mertua kecuali

telah melakukan hubungan seksual dengan putrinya. Sebagaimana juga tidak

haram putrinya kecuali telah melakukan hubungan seksual dengan ibunya.

(53)

laki-laki yang menalak istrinya qabla dukhul, apakah laki-laki tersebut boleh

menikahi ibunya? Ali ra. menjawab: “Keduanya satu tingkat menduduki satu

kedudukan. Jika putri ditalak qabla dukhul maka ia boleh menikahi ibunya”.

Hujjah jumhur ulama adalah keumuman lafadz firman Allah dalam surat

An Nisa 23:

àö

…Nä3 ͬ!$|¡ ÎS M »yg¨Bé&ur … yang diakadi wanitanya kemudian masuklah

ibunya dalam keumuman ayat. Ibnu Abbas berkata:“Samarkanlah apa yang telah disamarkan Al Quran”, maksudnya umumkanlah hukum di segala keadaan,

jangan memperinci antara yang telah dicampuri atau tidak karena yang dimaksud

nikah disini adalah akadnya. Sehingga akad inilah yang menyebabkan keharaman,

baik telah bercampur atau belum (Azzam, Hawwas, 2009:142).

2) Anak-anak perempuan tiri,

Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, dan

wanita ini mempunyai anak perempuan dari orang lain maka tidak halal bagi

laki-laki tersebut menikahi anak dari perempuan yang telah ia nikahi ba’da dukhul.

Baik perempuan tersebut masih tetap menjadi istri atau telah ditalak atau telah

meninggal dunia. Sebagaimana lanjutan firman Allah swt dalam surah An Nisa:

Gambar

Tabel 3.1 Data Pendidikan Terakhir Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni
Tabel 3.2 Data Mutasi Penduduk Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni
Tabel 3.3 Data Pemeluk Agama Kecamatan Sidorejo Bulan April-Juni

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah modifikasi perilaku teknik token economy berpengaruh terhadap perilaku maladaptif anak tunagrahita sedang kelas III SLB C

Untuk perhitungan selanjutnya menggunakan Uji t maka diperoleh thitung 2,09 > ttabel 1,67 dengan sig < 0,05 yaitu 0,04 sehingga dalam perhitungan H0 ditolak, artinya H1

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa dan merancang aplikasi data warehouse untuk memperoleh informasi yang cepat, lengkap dan akurat mengenai data karyawan dalam

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tentang diversi dengan suatu penelitian yang berjudul: “ PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK

Attached is a zip file with an Change Request word document and a modified KML

Mother wants to make fried rice for a party.. She needs three ounces of salt and one kilogram of

Counter-pressure sangat berperan dalam menurunkan tingkat nyeri persalinan, Metode Counter-pressure tidak mempengaruhi perubahan kadar PG-E

[r]