PERKAWINAN
MAHRAM
MUSHAHARAH
(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram
Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
ROKHANA KHALIFAH AL AMIN
NIM 21109019
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
PERKAWINAN
MAHRAM
MUSHAHARAH
(Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram
Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
ROKHANA KHALIFAH AL AMIN
NIM 21109019
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
ْﺮُﻛ ٍﻦِﻣْﺆُﻣ ْﻦَﻋ َﺲَّﻔَﻧ ْﻦَﻣ
ِبَﺮُﻛ ْﻦِﻣ ًﺔَﺑْﺮُﻛ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﺲَّﻔَﻧ ،ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ِبَﺮُﻛ ْﻦِﻣ ًﺔَﺑ
،ِةَﺮِﺧﻵاَو ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ﻲِﻓ ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا َﺮَّﺴَﯾ ،ٍﺮِﺴْﻌُﻣ ﻰَﻠَﻋ َﺮَّﺴَﯾ ْﻦَﻣَو ،ِﺔَﻣﺎَﯿِﻘْﻟا ِمْﻮَﯾ
ْﻮَﻋ ﻲِﻓ ُﷲاَو ،ِةَﺮِﺧﻵاَو ﺎَﯿْﻧُّﺪﻟا ﻲِﻓ ُﷲا ُهَﺮَﺘَﺳ ﺎًﻤِﻠْﺴُﻣ َﺮَﺘَﺳ ْﻦَﻣَو
َنﺎَﻛ ﺎَﻣ ِﺪْﺒَﻌْﻟا ِن
،ِﮫﯿِﺧَأ ِنْﻮَﻋ ﻲِﻓ ُﺪْﺒَﻌْﻟا
“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan daripada kesusahan-kesusahan di hari Qiamat. Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, niscaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutup aiba di dunia dan akhirat. Allah sentiasa bersedia menolong hambaNya selagi mana dia suka menolong saudaranya.”
Our greatest glory isn’t in never failing, but in rising up every time we fail
“kemenangan terbesar kita bukan terletak pada tidak pernah gagalnya kita, tetapi pada kemampuan kita untuk bangkit setiap kali terjatuh”
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
Al Amin, Rokhana Khalifah. 2013. Perkawinan Mahram Mushaharah (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Mahram Mushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga). Skripsi, Jurusan Syariah, Program Studi al Ahwal al Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Munajat Ph.D.
Kata Kunci: perkawinan, mahram dan mushaharah
Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinan terlarang yang banyak terjadi di masyarakat, salah satunya adalah perkawinan mahram mushaharah/semenda yang dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Sidorejo. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana makna teks Al Quran yang menjelaskan tentang larangan perkawinan mushaharah
khususnya terhadap anak tiri? (2) bagaimana kronologi perkawinan mahram mushaharah di Kecamatan Sidorejo? dan (3) apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan mahram mushaharah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir normatif.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Saya menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. oleh karena itu, Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Imam Soetomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga;
2. Bapak Munajat Ph. D., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini;
3. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari’ah STAIN Salatiga;
4. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah;
5. Seluruh dosen STAIN Salatiga, yang selama 8 semester telah membagi ilmunya yang sangat bermanfaat;
6. Suami dan orang tuaku yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi;
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Teriring do’a dan harapan semoa amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN KELULUSAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 2
B.Fokus Penelitian ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 6
D.Kegunaan Penelitian ... 7
E.Penegasan Istilah ... 7
F.Telaah Pustaka ... 8
G.Metode Penelitian ... 12
H.Sistematika Penulisan ... 17
BAB II. PERKAWINAN ... 10
A.Definisi Perkawinan ... 19
B.Tujuan Perkawinan menurut Hukum Islam ... 21
C.Asas Hukum Perkawinan... 27
D.Rukun dan Syarat Perkawinan ... 28
E.Macam-Macam Akad Nikah ... 32
1.Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya ... 33
2.Akad Nikah Rusak dan Hukumnya ... 34
F.Perempuan-Perempuan yang Diharamkan (Muharramat) ... 37
1.Keharaman Mutlak ... 37
2.Keharaman Sementara... 45
BAB III. PERKAWINAN MAHRAM MUSHAHARAN DI KECAMATAN SIDOREJO ... 49
A.Gambaran Umum Kecamatan Sidorejo ... 49
B.Perkawinan MahramMushaharah di Kecamatan Sidorejo ... 52
BAB IV. ANALISIS ... 58
A.Larangan Menikah dengan Anak Tiri ... 58
B.Latar Belakang Terjadinya Perkawinan MahramMushaharah ... 61
C.Dampak Perkawinan MahramMushaharah ... 65
D.Upaya Penanggulangan ... 67
BAB IV. PENUTUP ... 70
A.Kesimpulan ... 70
B.Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
Lampiran-Lampiran ... 76
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya,
tujuan perkawinan salah satunya untuk membentuk sebuah keluarga yang
harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia demi terwujudnya ketenangan,
kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Islam dengan segala
kesempurnannya, memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan
dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci
antara laki-laki dan perempuan (Latief, 1982:12). Dalam Islam, perkawinan juga
merupakan salah satu perintah yang diperuntukkan bagi kaum muslimin
sebagaimana terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bahwa “perkawinan yang
sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah”(KHI:Pasal 1).
Dalam Islam, perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunannya dalam
suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami
istri. Ini sesuai dengan bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar dua lawan jenis yang
semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan berhubungan
intim. Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar Ruum, 30:21).
Perkawinan amatlah penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Islam mengatur
masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat
manusia hidup berkehormatan. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq
(Basyir, 1996:1).
Diaturnya kehidupan manusia dalam perkawinan semata-mata adalah demi
menjaga kehormatan mereka. Namun, moral manusia yang semakin menipis
bahkan sebagian telah hilang, menjadikan mereka buta akan hukum yang
mengatur dan membatasi hidup mereka. Dengan bangganya mereka menerobos
batas-batas hukum tersebut, termasuk dalam masalah perkawinan ini. Mereka
Padahal dalam perkawinan, mereka telah diatur oleh kaidah-kaidah hukum yang
harus mereka taati. Khususnya bagi umat Islam, aturan ini telah ada sejak
turunnya firman Allah yang mengatur tentang perkawinan.
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya, bahwa seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan
terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa
ia terlarang untuk menikah (Amir, 2004:144). Hal ini untuk menjaga agar
pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada.
Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi,
yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi).
Sementara, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul
berbagai permasalahan di dalam kehidupan masyarakat terutama yang terkait
dengan perkawinan. Salah satunya yakni sering ditemui perkawinan yang
sebetulnya dilarang namun nyata terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti
halnya perkawinan yang terjadi antara saudara (hubungan nasab/incest), antar
saudara sepersusuan, ataupun mushaharah/semenda. Hal tersebut dapat
dikarenakan ketidaktahuan, pengetahuan agama yang minim, bahkan moral yang
rendah. Sehingga meski mereka sudah mengetahui bahwa perkawinan tersebut
dilarang, tapi tetap saja aturan yang haq tersebut dilanggar dan terjadilah
perkawinan yang terlarang tersebut. Bila perkawinan dilakukan atas dasar cinta,
hal ini menabrak garis haram yakni perzinahan. Bila tanpa cinta, menabrak garis
ini tentu terjadi secara illegal entah itu nikah dibawah tangan atau pemalsuan data
nikah saat pendaftaran nikah di KUA.
Perkawinan-perkawinan terlarang yang banyak terjadi dalam kehidupan
masyarakat kini, sesungguhnya telah sejak lama diatur dalam Al Quran. Allah
SWT berfirman dalam surat An Nisa yang berbunyi:
ôM tBÌh
ãmBerdasarkan pada ayat diatas, anak tiri termasuk dalam golongan wanita
yang haram dinikahi, yang hal ini termasuk dalam perkawinan
mushaharah/semenda. Meskipun dalam ayat tersebut terdapat kata
Nà2 Í‘ qàf ãm’ Îû
yang bermakna “dalam pemeliharaanmu”, sehingga makna ayatsecara tekstual dapat menimbulkan kesimpulan, bahwa larangan menikahi anak
tiri tidak berlaku mutlak ataupun menyeluruh. Secara tekstual ayat tersebut dapat
bermakna bahwa larangan tidak berlaku bagi anak tiri yang tidak berada dalam
pemeliharaan ayah tirinya. Sebaliknya, larangan hanya berlaku bagi anak tiri yang
berada di bawah pemeliharaan ayah tirinya. Sehingga hal ini bisa saja dijadikan
alasan bagi mereka para pelaku perkawinan terlarang khususnya perkawinan
terlarang dengan anak tiri. Pengetahuan agama yang minim memungkinkan
seseorang memaknai firman Allah secara tekstual. Padahal banyak makna yang
terkandung di dalam firman Allah dalam Al Quran bukanlah makna tekstual
melainkan kontesktual.
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, bahwa banyak kasus
pernikahan terlarang termasuk pula yang terjadi di wilayah Kecamatan Sidorejo
Kota Salatiga. Meskipun dalam setiap daerah, termasuk pula di Kecamatan
Sidorejo, setiap Desa tentu dapat ditemui tokoh Agama, Ustadz, ataupun
komponen masyarakat yang lain, namun keberadaan mereka tidak mampu
melawan pernikahan terlarang yang nyata terjadi dihadapan mereka. Dari sinilah
semenda yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pemilihan
tempat penelitian di lingkup Kecamatan Sidorejo ini dikarenakan terdapat dua
kasus perkawinan yang terjadi antara ayah dan anak tirinya di lingkup Kecamatan
Sidorejo.
Perkawinan antar kerabat mushaharah ini sangatlah menarik untuk diteliti,
oleh sebab itu, penulis mengangkat persoalan yang terjadi dalam masyarakat ini
yang kemudian dirumuskan dalam sebuah judul penelitian “PERKAWINAN
MAHRAM MUSHAHARAH (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan
MahramMushaharah di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan, maka perlu
dibuat rumusan masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Hal ini
dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan tema, yaitu:
1. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang definisi perkawinan mahram
mushaharah?
2. Bagaimana kronologi terjadinya perkawinan mahrammushaharah di wilayah
Kecamatan Sidorejo?
3. Faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan mahram
mushaharah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang perkawinan mahram
2. Untuk mengetahui kronologi terjadinya perkawinan mahram mushaharah
yang terjadi di lingkup Kecamatan Sidorejo,
3. Untuk mengetahui sebab terjadinya perkawinan mahrammushaharah,
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoritis
a) Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh;
b) Dapat menambah wawasan atau memberikan sumbangan informasi
tentang Hukum Islam khususnya dalam masalah hukum perkawinan;
c) Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai
keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a) Sebagai bahan acuan dalam upaya pemecahan masalah yang di hadapi oleh
masyarakat, tokoh masyarakat dalam penyelesaian kasus perkawinan yang
jelas-jelas dilarang oleh Undang-Undang maupun Al Quran khususnya di
wilayah hukum Salatiga;
b) Memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.Sy).
E. Penegasan Istilah
1. Perkawinan: perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan perkawinan bertujuan untuk
2. Mushaharah: Ditinjau dari segi bahasa, muhrim mushaharah terdiri dari dua
kata yaitu muhrim dan mushaharah. Muhrim atau mahrom berasal dari
kata harama yang artinya “mencegah”, bentuk mashdar dari kata harama, yang
artinya yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, maka mahrom
secara istilah adalah orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi.
Sedangkan mushaharah menurut Abdurrahman al-Juzairi dalam kitab FiqhAla
Madzahibil Arba’ah, adalah sifat yang menyerupai kekerabatan. Mushaharoh
menurut istilah ialah hubungan kekeluargaan sebab adanya ikatan pernikahan.
Jadi apabila kata mahram dan mushaharah digabung dapat diartikan
orang-orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi sebab adanya ikatan
kekeluargaan dari hasil suatu pernikahan.
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd disebutkan bahwa
orang-orang yang haram dinikahi karena muhrim mushaharah ada empat macam
yaitu ibu dari istri (mertua), anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak
tiri), istri bapak (ibu tiri), istri anak (menantu).
F. Telaah Pustaka
Penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas, menegaskan, melihat
kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam
penelitian atau pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu
perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat
dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaaan hasil
kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam melakukan pembahasan
Penelitian ini tentu saja bukan merupakan penelitian pertama yang
mengangkat permasalahan perkawinan terlarang yang terjadi di kehidupan
masyarakat. Ada beberapa penelitian terkait dengan perkawinan yang dilarang
oleh Agama maupun Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. salah satunya
yang telah dilakukan oleh mahasiswa jurusan Syariah Program Studi Ahwal al
Syakhshiyyah STAIN Salatiga, yang tentunya dengan fokus dan permasalahan
yang berlainan.
Penelitian terhadap perkawinan yang terlarang, sebelumnya pernah
dilakukan oleh Pamungkas (2008), dengan judul “Poligami Dengan Mahram
Ghairu Mu’abbad (Studi Kasus di Dukuh Banjaran Kelurahan Mangunsari
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)” dengan menggunakan metode penelitian
field research yang bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian oleh Pamungkas ini
mengangkat permasalahan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat di
Dukuh Banjaran Kota Salatiga. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Pamungkas, ditemukan beberapa kasus perkawinan yang diharamkan namun
kenyataannya, perkawinan tersebut terjadi di masyarakat. Perkawinan yang
dimaksud adalah perkawinan yang terjadi dengan istri kedua yang berstatus
mahram ghairu mu’abbad. Dalam skripsinya, Pamungkas mencantumkan
kategori perempuan yang berstatus mahram ghairu mu’abbad yakni saudara
perempuan kandung istri, bibi istri dari pihak ayah dan dari pihak ibu, perempuan
yang sedang iddah, perempuan yang masih dalam ikatan perkawinan dengan
orang lain, dan perempuan yang ditalak tiga sebelum ada muhallil. Perempuan
penelitiannya, ia berfokus pada poligami dengan perempuan yang haram dinikahi
sementara oleh laki-laki yang telah memperistri saudara kandungnya. Penelitian
ini menjelaskan bahwa di dukuh Banjaran terdapat pernikahan dengan mahram
ghairu mu’abbad, beberapa kasus ditemukan menikah secara sah dihadapan
petugas KUA, dan sebagian lain menikah tanpa dicatatkan. Pernikahan tersebut
menimbulkan dampak yakni batalnya pernikahan secara hukum Islam ataupun
Undang-Undang kecuali hilang sebab keharamannya.
Beragam problematika seputar perkawinan banyak ditemui di sekitar kita.
Maka dari itu tidak sedikit pula penelitian yang bertemakan perkawinan
khususnya permasalahan yang terjadi dalam perkawinan, proses perkawinan, dan
apapun yang berhubungan dengan perkawinan. Seperti yang dilakukan oleh
mahasiswi STAIN Salatiga, Sariyanti (2007) dengan judul penelitiannya
“Dispensasi Kawin Karena Hubungan Luar Nikah”. Penelitian tersebut berangkat
dari problematika yang terjadi di masyarakat yakni maraknya pemuda pemudi
yang melakukan hubungan luar nikah hingga hamil dan yang lebih parah, perilaku
menyimpang tersebut dilakukan pula oleh anak-anak dibawah umur. Dalam
penelitiannya Sariyanti menganalisis dua kasus pengajuan dispensasi nikah di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2005. Kedua kasus tersebut serupa yakni para
pemohon atau calon mempelai yang mengajukan permohonan seluruhnya berusia
dibawah ketentuan minimal usia perkawinan yang disebut dalam Undang-Undang
Perkawinan pasal 7 (1). Usia minimal bagi pasangan calon mempelai adalah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Dalam pertimbangan hakim
ﺢﻟﺎﺼﻤﻟا ﺐﻠﺟ ﻰﻠﻋ مﱠﺪﻘﻣ ﺪﺳﺎﻔﻤﻟا ءرد
“Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”
ُرَﺮَﻀْﻟا
ُلاَﺰُﯾ
“Kemadharatan harus dihilangkan”
Hakim berpendapat jika tidak segera dinikahkan maka akan menambah dosa dan
terjadi perkawinan bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum
yang terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak anak yang dilahirkan.
Hampir serupa dengan penelitian Sariyanti, Maimun (2007) yang juga
mahasiswi STAIN Salatiga melakukan penelitian di wilayah Sumatra Selatan
yang marak terjadi perkawinan di bawah umur. Dalam penelitiannya yang
berjudul “Pernikahan di Bawah Umur di Kalangan Orang Sumatra”, Maimun
memaparkan beberapa faktor yang mendorong terjadinya fenomena nikah bawah
umur di Lubuk Linggau Sumatra. Faktor pertama yang ia sebutkan dan
berpengaruh besar adalah kehendak sewenang-wenang orang tua terhadap
anaknya. Anak tidak mampu menolak perintah orang tua, mayoritas anak terlalu
lemah untuk menentang kehendak orang tuanya. Faktor lainnya adalah kemauan
anak itu sendiri karena melihat kawan-kawan seusianya yang sudah menikah.
Adat dan budaya juga berperan dalam hal ini, kebiasaan masyarakat memberikan
stempel untuk anak yang belum juga menikah dengan stempel “perawan tua” atau
“tidak laku” membuat alam bawah sadar anak bekerja bahwa ada keharusan untuk
segera menikah meski umur belum memenuhi batas minimal yang ditetapkan
undang-undang. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat membuat
Faktor agama ternyata juga berperan dalam hal ini, masyarakat Lubuk Linggau
berpedoman pada Siti Aisyah yang juga menikah di usia dini dengan Nabi
Muhammad. Terjadinya perkawinan di bawah umur di Lubuk Linggau juga
disebabkan pada kekhawatiran orang tua terhadap anaknya bila terjerumus dalam
lembah maksiat. Oleh karena itu, perkawinan merupakan jalan yang terbaik yang
ditempuh meski anak belum mampu secara material dan immaterial. Dari
penelitian Maimun pula, ditemukan bahwa dampak negatif dari perkawinan
bawah umur tersebut adalah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga,
seringnya cekcok dan cemburu yang berlebihan.
G. Metode Penelitian
Untuk mengetahui adanya segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok
permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi
penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara
seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu
kegiataan untuk mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun
laporan (Narbuko, 1997:23).
Dengan demikian metodologi penelitian adalah cara yang dipakai untuk
mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai
satu tujuan. Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian, penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif, metode yang biasa digunakan adalah
wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen (Moleong, 2006:6).
Landasan berfikir dalam penelitian ini menggunakan landasan berfikir
normatif, yakni metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder (Soekanto, Mamudji, 2001:13). Dalam hal ini landasan
berfikir menggunakan dalil-dalil yang terdapat dalam al quran. Penelitian ini
untuk mengidentifikasi konsep, asas, serta prinsip syariah yang digunakan untuk
mengatur permasalahan mengenai perkawinan (Sedarmayanti, Hidayat, 2002:23). 2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga,
dengan pertimbangan bahwa di lingkup Kecamatan Sidorejo ditemui dua kasus
pernikahan yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang maupun
Hukum Islam. Salah satu pelaku berada di wilayah kecamatan Sidorejo dan yang
lain berada di wilayah kecamatan Salatiga. Penelitian ini dilakukan terbuka
dengan memberitahukan kepada para objek penelitian dan para informan
mengenai penelitian yang dilakukan.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan
mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini didapat dari
informan, atau peristiwa-peristiwa yang diamati seperti wawancara, dokumentasi
1) Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam
percakapan untuk memperoleh informasi (Nasution, 2001:25). Untuk memperoleh
data yang valid, dilakukan wawancara langsung terhadap beberapa subyek
diantaranya para pelaku, keluarga pelaku, tetangga sekitar tempat tinggal pelaku,
tokoh masyarakat setempat, para saksi nikah, Kiai/Ustadz yang mengetahui
terjadinya perkawinan mushaharah, pembantu PPN, dan tokoh masyarakat yang
menikahkan para pelaku.
2) Dokumentasi
Setelah didapat data dari hasil wawancara, sebagai penunjangnya
diperlukan pula dokumen-dokumen seperti KTP para pelaku, Kartu Keluarga,
salinan Akta Perkawinan bila ada. Dokumen dokumen ini diperlukan untuk
mengecek keabsahan hasil wawancara yang dilakukan dengan para pelaku
perkawinan.
3) Observasi.
Observasi adalah studi yang disengaja, sistematis tentang fenomena sosial
gejala-gejala psikis, dengan jalan pengamatan. Observasi adalah penelitian yang
dilakukan dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek
yang diteliti (Narbuko, 1997:37).
Dalam penelitian ini, observasi dilakukan sebagai pelengkap dan peneliti
bertindak sebagai pengamat penuh yakni mengamati objek yang terjadi di situasi
sebenarnya dalam kesehariannya. Dari observasi ini, peneliti dapat mengetahui
beragama. Sehingga dari data observasi penulis dapat menganalisis faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya perkawinan mahrammushaharah.
b.Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui studi pustaka yang bertujuan
untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadist,
perundang-undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan materi yang
diteliti. Al Qur’an menjadi landasan utama teori dalam data sekunder ini,
disamping itu, data pustaka juga digali dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
buku-buku mengenai fiqh munakahat, hukum perkawinan Islam, dan
artikel-artikel dari website.
4. Metode Analisa Data
Setelah data di kumpulkan dengan lengkap, tahapan berikutnya adalah
tahap analisa data. Pada tahap ini data akan dimanfatkan sedemikian rupa
sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
persoalaan yang diajukan dalam penelitian. Adapun metode analisa data yang
dipilih adalah model analisa interaktif. Didalam model analisa interaktif menurut
Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006:113) terdapat tiga komponen pokok
berupa:
a. Reduksi data
Reduksi data adalah sajian analisa suatu bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting
b. Sajian Data
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti
akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu
pada anailisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut,
c. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus di uji
validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh. Adapun
proses analisisnya adalah sebagai berikut : Langkah pertama adalah
mengumpulkan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya
diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian
diadakan penyajian data yaitu rakitan organisasi informasi atau data sehingga
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan.
5. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama observasi awal
lapangan, kemudian peneliti menentukan topik penelitian dan mencari informasi
umum mengenai adanya perkawinan terlarang yakni perkawinan mahram
mushaharah. Tahap selanjutnya, peneliti terjun ke lapangan untuk mencari data
informan dan pelaku, juga melakukan observasi dan wawancara terhadap pelaku
dan para informan lain yakni keluarga pelaku, tokoh masyarakat/agama sekitar
menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif
dengan pendekatan normatif.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan penulisan
penelitian, maka secara garis besar dapat di gunakan sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAGIAN PERTAMA : Bagian ini berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka terhadap
penelitian terdahulu untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
yang pernah dilakukan, metode penelitian yang berisi tentang pendekatan dan
jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, analisis data, tahap-tahap
penelitian, dan terakhir yakni sistematika pembahasan.
BAGIAN KEDUA: Dalam bagian kedua ini, berisi tinjauan umum tentang
perkawinan, tujuan perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat sah perkawinan,
macam-macam akad nikah dan akibat hukumnya, dan perkawinan yang
diharamkan.
BAGIAN KETIGA: dalam bagian ini, memaparkan seluruh hasil penelitian yang
peneliti lakukan meliputi letak geografis, kondisi sosial keagamaan, gambaran
penduduk Kecamatan Sidorejo, budaya, kehidupan beragama, profil pasangan
pelaku perkawinan muhrim mushaharah dan data yang berkaitan dengan kasus
perkawinan mushaharah.
BAGIAN KEEMPAT: bagian ini berisi analisis praktek perkawinan muhrim
pendapat-pendapat tokoh agama, tokoh masyarakat terhadap praktek perkawinan
muhrim mushaharah dan solusi untuk mengatasi permasalahan masyarakat seperti
ini.
BAGIAN KELIMA: berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN
A. Definisi Perkawinan
Dalam bahasa Arab kata “nikah” (
حﺎـــﻜﻧ
) diartikan adh-dhamm(berkumpul atau bergabung) dan al-ikhtlath (bercampur). Dalam bahasa Arab
misalnya dikatakan:
رﺎَܥـ ْ ﺷﻷا ْ ﺖَﺤـَ ﻛ ﺎَﻱَﻰَﺗ
ُة
Artinya: Pohon-pohon itu kawin; dimaksudkan ketika bergabung satu dengan
yang lain. Atau jika dikatakan:
َ ضْ رﻷا ُ ﺮ َ ﻄــﻤْ ﻟا َ ﺢَ ﻜـَﻧ
Artinya:Hujan itu bergabung dengan tanah; maksudnya ketika air hujan itubercampur dengan tanah (Azam, Hawwas, 2009:37).
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi yang dikutip oleh
Dr.H. Abd. Rahman Gazaly (2006:8) di antaranya adalah:
ﻟا
ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا ﻞِ ܩَ وِ ةَ ا ْ ﺮَ ﻤْ ﻟ ِ ِ ﻞُܢ ﺮﻟا ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا َ ْ
ُﻫ ﺎًﻉْ َ ﴍ ُ جا َ و ﺰ
ِ ﻣَﺪْ ِ ﻔُ ﯿـِ ﻟ ُعِرﺎ ﺸﻟا ُﻪَﻌ َ ﺿَ وٌﺪْﻘَﻋَ ﻮ
ِﻞُܢ ﺮﻟا ِ ِ ةَ ا ْ ﺮَ ﳌا ِ عﺎَﺘْ ﻤِ ﺘ ْ ﻐﺳا ﻞِ ܩَ و ِ ةَ ا ْ ﺮَ ﻤْ ﻟا
“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”
Ghazaly mengutip dari Abu Yahya Zakariya Al-Anshary dalam Fath al Wahhab
َا
ﻨﻟ
ٌﺪْﻘَﻋَ ﻮُﻫ ﺎًﻉْ َ ﴍ ُ ح َ ﲀ
ِ ﻩِﻮْ َ ﳓ ْ وَ أ ٍ ح َ ﲀْﻮا ِﻆِ ﻔْ ﻠِﺑ ٍ ﺊ ْ ﻃَ وَ ﺔَܩ َ ِ ا ُ ﻦ ﻤ َ ﻀَﺘَﯾ
“Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya”.
Imam Syafi’i mengartikan nikah sebagai suatu akad yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti
majazi, nikah itu artinya hubungan seksual. Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah
menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengan nikah menjadi halal hubungan
kelamin antara pria dan wanita (Ibrahim, 1971:65). Sedangkan dalam bahasa
Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis atau melakukan hubungan kelamin
(DepDikbud, 1994:456).
Para ulama merinci makna lafal nikah menjadi empat macam. Pertama,
nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti kiasan. Kedua, sebaliknya
nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti
kiasan. Ketiga, nikah lafal musytarak (mempunyai dua makna yang sama).
Keempat, nikah diartikan adh-damm (bergabung secara mutlak) dan al-ikhtilath
(pencampuran). Dari keterangan tersebut, jelas bahwa nikah diucapkan pada dua
makna yaitu akad pernikahan dan hubungan intim antara suami dan istri. Nikah
menurut syara’ maknanya tidak keluar dari dua makna tersebut (Azzam, Hawwas,
2009:38).
Adapun perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau
perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah (Basyir,
1999:14). Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi
Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuan dinyatakan dalam pasal 2
sebagai berikut, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. B. Tujuan Perkawinan
Tujuan utama perkawinan ialah menaati perintah Allah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang
damai dan teratur (Ramulyo, 1996:26). Dalam buku Ny. Soemijati (1982),
disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syariat.
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas
pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki
tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi, dan agama. Di antaranya
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Manusia diciptakan oleh Allah memiliki naluri kecenderungan untuk
mempunyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang diakui oleh
dirinya sendiri, masyarakat, agama dan Negara. Anak merupakan buah hati dan
belahan jiwa. Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga
sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia bahkan akan memberi
tambahan amal kebajikan di akhirat, manakala dapat mendidiknya menjadi anak
yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi Saw::
ٍ ث َ ﻼَﺛ ْ ﻦ ِ ﻣ ﻻِ ا ُ ُ َ َ ﲻ َ ﻊ َ ﻄَﻘْﻧِإ ُ نﺎ َ ﺴْﻭ ِﻹ َ تﺎَﻣاَ ذِ ا
:
ٍ ﺢِ ﻟﺎَﻓﺻٍ َ َ و ْ وَ ا ِ ﻪِﺑ ُﻊَﻔَܘْﻰُﯾ ٍ ْ ﲅِ ﻉ ْ وَ أ ٍ ﺔَﯾِرﺎَܢ ٍ ﺔَﻗ َ ﺪ َ ﺻ
ُ َ ْ ﻮُﻋ ْ ﺪَﯾ
)
ﺲﻭأ ﻦﻋ ﲅﺴﻣو ىﺮﺨﺒﻟ ﻩاور
.(
“Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendoakannya (HR. Muslim dari Anas).
Begitu besarnya peranan anak terhadap amal orang tuanya, sehingga
diterangkan dalam hadits Nabi Saw bahwa seorang yang kehilangan putranya
yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api
neraka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas:
ُﳞِ ا ِ ﻪِ ﺘَ ْ ﲪَ ر ِ ﻞ ْ ﻀَﻔِﺑ َ ﺔﻨَﺠْ ﻟا ُ ﷲ ُ َ َܮْدَ أ ﻻِ ا َ ﺚَﻨَﳊاا ْ ﻮُﻐُ ﻠْ ﺒَﯾ ْ ﻢَ ﻟ ٌ ﺔَﺛ َ ﻼَﺛ ُ َ ُ تْ ﻮُ ﻤَﯾ ِ
ِ ﲅ ْ ﺴُﻣ ْ ﻦِ ﻣ ﺎـَﻣ
ْ ﻢ
)
ﺲﻭأ ﻦﻋ ﲅﺴﻣو ىﺮﺨﺒﻟ ﻩاور
“Tiada seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh, melainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surge karena karunia rahmat Allah SWT terhadap anak-anak itu” (Ghazaly, 2006:26).
2. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan tanggung
jawab
Sudah menjadi kodrat iradah Allah Swt, bahwa manusia diciptakan
berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah Swt mempunyai keinginan untuk
berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah Swt:
z` Îiƒã—
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali Imran, 3:14).
Oleh Al Quran dilukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang
satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al Baqarah yang
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…”(Al Baqoroh, 2:187).
Dalam hal itu, Allah Swt mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria
pelanggaran, seperti dinyatakan ayat selanjutnya. Disamping perkawinan untuk
pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang di
kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran
cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan
keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan
yang tidak terikat oleh satu norma (Ghazaly, 2006:28).
3. Memelihara diri dari kerusakan
Sesuai dengan surat Ar Ruum 21 bahwa ketenangan hidup dan cinta serta
kasih sayang keluarga dapat diwujudkan melalui perkawinan. Orang-orang yang
tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami
ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan entah kerusakan dirinya sendiri
atau orang lain bahkan masyarakat. Karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan
nafsu itu condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik,
sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:
¨b Î) }§ øÿ ¨Z9$# 8ou‘$¨BV{
Ïäþq
¡ 9$$Î/…
“….sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan….”(Yusuf, 12:53).
Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah
menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi
gejolak nafsu seksual seperti tersebut dalam hadits Nabi Saw:
…
َ أ ُﻪﻧِ ﺎَﻓ
ِ ج ْ ﺮَﻔْ ﻠِ ﻤ ُ ﻦ َ ﺼ ْ ﺣَ أ َ وِ َ ﴫَ ﺒْ ﻠِ ﻤ ﺾَﻏ
...
Nikah dapat menjaga diri manusia dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran
yang diharamkan dalam agama. Karena nikah memperbolehkan masing-masing
pasangan melakukan hajat biologisnya secara halal dan mubah (Azzam, Hawwas,
2009:39).
4. Menimbulkan kesungguhan bertanggung jawab dan mencari harta yang halal
Ghazaly menyatakan bahwa hidup sehari hari menunjukkan bahwa
orang-orang yang belum berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh
emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung jawab. Demikian pula
dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif
dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga di rumah. Jarang pemuda
pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari depannya, kebanyakan mereka
berfikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin memikirkan bagaimana
caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian
pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan mengetahui bagaimana cara
penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa
tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat untuk mencari rejeki
sebagai bekal hidup sekeluarga dan hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi
untuk diri dan keluarganya (Ghazaly, 2006:30).
5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang
sejahtera berdasarkan cinta dan kasih sayang
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri melainkan
bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang
ª! $#ur menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu…”(An Nahl, 16:72).
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup.
Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan
masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota
keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat yang
menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman
masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan
pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga.
Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan
dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya
(Ghazaly, 2006: 32).
Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan nikah dalam syariat Islam
sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi tingginya derajat manusia yang
sesuai dengan karakter alam dan sejalan dengan kehidupan sosial alam untuk
mencapai derajat sempurna. Karena hikmah yang besar inilah, Islam sangat
menganjurkan menikah dan Nabi Muhammad SAW sangat melarang umatnya
C. Asas Hukum Perkawinan
Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat dan juga harus
memperhatikan larangan-larangan perkawinan. Dalam membicarakan larangan
perkawinan menurut hukum Islam ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu:
1. Asas absolut abstrak: suatu asas dalam hukum perkawinan dimana jodoh atau
pasangan suami istri itu sebenarnya sejak dahulu sudah ditentukan oleh Allah
atas permintaan manusia yang bersangkutan;
2. Asas selektivitas: suatu asas dalam suatu perkawinan dimana seseorang yang
hendak menikah harus menyeleksi terlebih dahulu dengan siapa ia boleh
menikah dan dengan siapa ia dilarang menikah;
3. Asas legalitas: suatu asas dalam perkawinan yang mana pencatatan
perkawinan itu wajib hukumnya (Ramulyo, 1996:34).
Mohammad Daud Ali, Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, mengemukakan enam asas hukum perkawinan Islam lainnya antara
lain:
4. Asas kesukarelaan : asas kesukarelaan tidak hanya ada pada kedua calon
mempelai, tetapi juga harus terdapat pada kesukarelaan kedua orang tua
masing-masing calon mempelai. Kesukarelaan wali pihak perempuan adalah
merupakan salah satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.
5. Asas persetujuan: dalam memilih pasangan perkawinan, perempuan muslimah
diberikan kebebasan untuk memilih melalui pernyataan menerima atau tidak
6. Asas kebebasan memilih: setiap orang berhak memilih pasangan
perkawinannya secara bebas asalkan sesuai syariat Islam, yaitu tidak
melanggar larangan perkawinan menurut Islam karena perkawinan adalah
lembaga yang membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, selain sebagai
sendi pokok masyarakat dan bangsa (Djubaidah, 2010:101).
7. Asas kemitraan: dalam ajaran Islam, akad nikah dengan sighat ijab qabul itu
tidak berarti terjadinya penguasaan suami terhadap istri atau sebaliknya.
Pembagian tugas antara suami istri pun bukan dalam makna yang satu
menguasai yang lain, tetapi dalam rangka mencapai rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah agar terwujud keturunan yang salih dan
salihah.
8. Asas monogami terbuka: pada asasnya perkawinan menurut Islam adalah
monogami, tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, suami diperbolehkan
melakukan poligami atau beristri lebih dari satu orang dan paling banyak
empat orang istri.
9. Asas untuk selama-lamanya: tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya,
bukan untuk sementara waktu dan sekedar bersenang-senang atau rekreasi
semata (Djubaidah, 2010:106). D. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun adalah unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan
hukum. Rukun menentukan sah atau tidaknya sesuatu, sehingga jika salah satu
rukun dalam perkawinan tidak dipenuhi, maka berakibat perbuatan hukum
Ensiklopedi Hukum Islam dikemukakan bahwa rukun adalah suatu unsur yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidak sahnya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya
perbuatan tersebut (Djubaidah, 2010:91). Rukun dapat pula diartikan sesuatu yang
harus ada yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), dan
sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka
untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat.(Ghazaly, 2006:46).
Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, rukun perkawinan terdiri dari
calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi
lelaki dan ijab kabul. Jika kelima unsur tersebut terpenuhi, maka perkawinan sah,
tetapi sebaliknya jika salah satu atau beberapa rukun dari kelima rukun
perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak sah (Djubaidah, 2010:107).
Sedangkan syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang
menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum. (Djubaidah,
2010:92). Syarat menurut Tihami (2010:12) adalah sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.
Rukun dan syarat dalam perkawinan keduanya wajib dipenuhi, apabila tidak
dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam
Kitab al Fiqh ‘ala al Madzahib al Arba’ah: Nikah fasid yaitu nikah yang tidak
memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukunnya. Dan hukum nikah fasid atau batil adalah sama yakni tidak
1. Adanya calon suami,
2. Adanya calon istri,
3. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
4. Adanya dua orang saksi,
5. Sighat akad nikah (Rofiq, 1998:72).
Syarat yang merupakan bagian dari masing masing rukun perkawinan antara lain:
1. Syarat-syarat calon suami:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan, tidak terpaksa dan atas kemauannya
sendiri.
e. Tidak terdapat halanga perkawinan atau bukan merupakan mahram dari
calon istri
2. Syarat-syarat calon istri:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Syarat-syarat wali:
a. Laki-laki
c. Baligh
d. Mempunyai hak perwalian
e. Waras akalnya
f. tidak terdapat halangan perwaliannya
4. Syarat-syarat saksi
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Islam
c. Baligh
d. Hadir dalam ijab qabul
e. Dapat mengerti maksud akad
5. Syarat-syarat akad
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata nikah, atau
tazwij
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai pria atau wakilnya, dan
Undang-undang Perkawinan mengatur syarat-syarat perkawinan dalam Bab II
pasal 6:
a. perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
b. untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,
c. dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya,
d. dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Rofiq, 1998:73).
Sedangkan Abdul Aziz Muhammad Azzam (2009:100), seorang Guru
Besar Universitas Al Azhar Mesir dalam bukunya menyebutkan bahwa syarat sah
akad ada tiga yakni:
a. Persaksian
b. Wanita yang dinikah bukan mahram
c. Sighat akad
Pernyataan yang hampir senada dikemukakan oleh Basyir (1999) bahwa syarat
sahnya perkawinan adalah:
a. Mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi
suaminya
b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki
c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. E. Macam-Macam Akad Nikah
Hukum suatu pernikahan dan pengaruh yang ditimbulkannya mengikuti
akan berbeda karena perbedaan sifat, pengaruh akad yang sah berbeda dengan
akad yang bergantung, fasid dan batil. Beberapa pengaruh yang ditimbulkan dari
keempat macam akad pernikahan sebagai berikut: 1. Akad Nikah Sah Murni dan Hukumnya
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Hawwas dalam
bukunya Fiqh Munakahat, pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala
persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan yakni kedua
orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, sighat-nya menunjukkan
pemilikan kesenangan secara abadi, menyatu dalam suat majelis ijab-qabul, pihak
yang mengucapkan ijab dapat mendengar suara pihak yang mengucap qabul dan
sebaliknya, istri merupakan objek penerima pernikahan yang diakadi, dihadiri dua
orang saksi yang memenuhi segala persyaratan persaksian, dan kedua pihak yang
berakad berakal dan baligh. Ketika berkumpul syarat-syarat tersebut, maka akad
pernikahan menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh-pengaruh syara yakni:
a. Timbul beberapa pengaruh yang menjadi kewajiban suami terhadap istri
disebabkan tuntutan akad pernikahan diantaranya, mahar, kewajiban memberi
nafkah, tidak menyakiti istri dengan perbuatan atau perkataan kecuali
diperbolehkan syara’, dan kewajiban suami berlaku adil jika terjadi poligami.
b. Kewajiban istri terhadap suami sebab tuntutan akad diantarnya, patuh
terhadap suami kecuali ada larangan syara’, istri tunduk pada pengajaran
suami dalam hal yang diperbolehkan syara’,
c. Beberapa pengaruh kewajiban atas masing-masing suami-istri terhadap
mewarisi, keharaman saudara sambung, kehalalan bagi masing-masing suami
istri bersenang-senang dengan cara yang diizinkan syara’, wajib mempergauli
pasangannya dengan cara yang baik. (Azzam, Hawwas, 2009:129).
2. Akad Nikah yang Rusak dan Hukumnya
Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), batil
adalah sesuatu yang tidak disyariatkan pokokdan sifatnya seperti menjual bangkai
atau menikahi wanita yang haram. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang
disyariatkan pokoknya, tidak sifatnya, yaitu sesuatu yang kehilangan satu dari
beberapa syarat seperti akad nikah tanpa saksi. Sehingga, jika cacat terjadi pada
rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad disebut fasid.
Hukum akad fasid ini tidak mewajibkan sesuatu dari pengaruh-pengaruh
pernikahan. Jika seseorang telah mencampuri wanita berdasarkan akad fasid ini
hukumnya maksiat. Bagi kedua suami istri yang telah melakukan akad fasid
hendaknya berpisah dengan kesadaran sendiri, karena melangsungkan akad fasid
tidak diperbolehkan menurut syara’. Jika tidak berpisah berdasarkan kesadaran
sendiri maka bagi yang mengetahuinya wajib memisahkan mereka atau
melaporkan ke penghulu agar dipisahkan.
Ada beberapa pengaruh akibat percampuran dalam akad fasid, yaitu:
a. Menolak hukuman zina karena adanya syubhat (kesamaran)
b. Jika mahar disebutkan dalam akad, kewajibannya adalah membayar minimal
c. Dengan percampuran ini, haram baginya saudara sambung, haram atas
laki-laki semua orang tua wanita tersebut dan anak-anaknya. Demikian pula haram
atas wanita semua orang tua laki-laki dan anak-anaknya.
d. Kewajiban iddah yang dihitung sejak hari perpisahan, baik perpisahan ini
dilakukan sendiri atau dipisahkan penghulu atau pengadilan. Waktu iddah
dalam perpisahan ini deperti iddah talak sampai pada kondisi ditinggal wafat
suami, yakni empat bulan sepuluh hari.
e. Penetapan nasab anak yang dikandung istri, karena untuk menghidupkan dan
menjaga ketersia-siaan mereka.
Beberapa hukum yang ditetapkan pada akad fasid, tidak menimbulkan
pengaruh pernikahan seperti, penetapan hak waris antara laki-laki dan perempuan,
kewajiban nafkah, tempat tinggal, dan kepatuhan suami, semua itu tidak ada
dalam akibat pernikahan dengan akad fasid (Azzam, Hawwas, 2009:133). 3. Akad Nikah Batil dan Hukumnya
Akad batil adalah semua akad yang didalamnya terjadi kecacatan dalam
sighat (ijab-qabul), misalnya ungkapan kedua pihak yang berakad tidak
menunjukkan pemilikan manfaat secara abadi. Atau cacat yang terjadi pada syarat
dua orang yang berakad, misalnya salah satu atau kedua pihak masih kecil dan
tidak mumayyiz, atau mereka gila. Atau kehilangan satu dari beberapa syarat
terjadinya akad. Ditambah lagi wanita tidak menghalalkan bagi seorang suami,
misalnya ia saudara perempuan sesusuan atau ber-iddah dari talak orang lain, atau
mengetahui hal tersebut pada saat akad berlangsung. Maka pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil.
Hukum akad ini tidak menetapkan sesuatu dan tidak menimbulkan
pengaruh sesuatu seperti pengaruh yang ditimbulkan dari akad yang sah. Di sini
tidak ada kewajiban mahar, nafkah, taat, tidak pula menetapkan hubungan waris
dan saudara sambng, dan tidak terjadi talak, karena talak merupakan cabang dari
perwujudan pernikahan yang sah.
Adapun yang termasuk nikah batil ada tiga macam, yaitu:
a. Orang yang tidak mampu melakukan akad dengan sendirinya maka akadnya
batil, seperti orang gila, kurang akal, dan orang yang disamakan dengannya;
b. Seorang laki-laki yang mengadakan akad dengan perempuan yang tidak halal
baginya;
c. Jika nonmuslim berakad menikahi wanita muslimah maka nikahnya batil
karena hilangnya status.
Akad-akad seperti yang telah disebutkan tidak menimbulkan pengaruh
pernikahan, keduanya wajib dipisahkan. Jika telah bercampur, percampuran
tersebut tidak dapat mengangkat kebatilan, hukumnya sama dengan berzina.
Menurut pendapat Abu Hanifah, apabila terjadi akad batil yang bukan termasuk
akad yang syubhat maka harus ditegakkan had (hukuman). Pendapat yang hampir
sepadan datang dari Muhammad, Abu Yusuf, Asy Syafi’i, Malik, dan Ahmad bin
Hambal bahwa kedua pihak yang melakukan akad batil wajib di-had dengan had
zina jika mereka mengetahui keharamanya. Jika kemudian keduanya berpisah,
wanita tidak wajib iddah. Sedangkan status nasab anak, menurut pendapat Abu
Hanifah, nasab anak tidak diakui. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat
nasab anak tetap diakui demi menjaga hak anak dan kemaslahatannya. Di antara
ulama berpendapat bahwa perzinaan menetapkan keharaman saudara sambung.
Oleh karena itu, karena akad ini pula haram atas salah satu dari orangtua atau
anak-anak seorang pezina menikahi perempuan yang dizinai dan menjadi haram
(mahram) wanita yang dizinai terhadap orang tua dan anak-anaknya (Azzam,
Hawwas, 2009:135).
F. Perempuan-perempuan yang Diharamkan (Muharramat)
Di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya,
tidak halal sekarang dan tidak akan halal pada masa-masa akan datang, yang
disebut haram abadi. Dan di antara wanita ada yang haram untuk dinikahi seorang
laki-laki sementara, keharaman berlangsung selama ada sebab dan akan menjadi
halal jika sebab keharaman itu hilang, ini yang disebut keharaman sementara atau
“diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,” (An Nisa, 4:23). Demikianlah Islam menetapkan batas minimal untuk menikahi kerabat, hal
itu tidak lain agar tatanan keluarga tidak menjadi rusak, agar ikatannya tidak
terlepas, dan agar tatanan masyarakat tidak hancur, yang jika sampai hancur akan
memunculkan ketimpangan-ketimpangan di tengah-tengah masyarakat (Washfi,
2005:418). Makna ayat tersebut sudah jelas bahwa seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian
nasab, yakni:
1) Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, neneknya bapak, neneknya ibu dan
seterusnya ke atas;
2) anak perempuan, termasuk pula cucu perempuan dan seterusnya ke bawah;
3) wanita keturunan ayah dan ibu atau anak-anaknya orang tua,entah itu
saudara perempuan sekandung ataupun tiri, putri saudara laki-laki, putri
saudara perempuan, putri dari anaknya saudara laki-laki, putri dari anaknya
saudara perempuan dan seterusnya sampai ke bawah;
4) anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah satu
tingkat (Azzam, Hawwas, 2009:137). b. Hubungan Persusuan
Perempuaan-perempuan yang haram dinikahi karena persusuan adalah: ibu
yang menyusui dan saudara perempuan sesusuan. Rasulullah saw bersabda:
“Haram sebab persusuan adalah apa yang haram sebab nasab”. (HR. Ibnu Majah dan A Tirmidzi)
Sehingga wanita yang diharamkan sebab persusuan adalah:
1) Ibu yang menyusuinya da seterusnya menurut garis lurus ke atas;
2) Dengan wanita sepersusuan, anak-anak dari wanita sepersusuan dan
seterusnya ke bawah;
3) Anak-anak kedua orang tua sepersusuan;
4) Anak-anak kakek dan nenek sepersusuan;
5) Istri orang tua sepersusuan, yakni istri bapak sepersusuan, istri kakek
sepersusuan;
6) Istri anak sepersusuan, yakni istri anak laki-laki sepersusuan atau istri cucu
putra dari anak laki-laki.
7) Orang tua istri sepersusuan
8) Anak-anak istrinya sepersusuan, yakni putrinya, cucu putri dari anak putri
dan cucu putri dari anak laki-laki sepersusuan. (Azzam, Hawwas,
2009:155).
c. Hubungan Mushaharah
Disebut juga hubungan persambungan atau semenda, yakni yang
diharamkan akibat adanya hubungan pernikahan, ada empat:
1) Ibu mertua baik telah bercampur dengan istri atau belum,
Diceritakan dari Imam Ali ra. bahwa tidak haram menikahi ibu mertua kecuali
telah melakukan hubungan seksual dengan putrinya. Sebagaimana juga tidak
haram putrinya kecuali telah melakukan hubungan seksual dengan ibunya.
laki-laki yang menalak istrinya qabla dukhul, apakah laki-laki tersebut boleh
menikahi ibunya? Ali ra. menjawab: “Keduanya satu tingkat menduduki satu
kedudukan. Jika putri ditalak qabla dukhul maka ia boleh menikahi ibunya”.
Hujjah jumhur ulama adalah keumuman lafadz firman Allah dalam surat
An Nisa 23:
àö
…Nä3 ͬ!$|¡ ÎS M »yg¨Bé&ur … yang diakadi wanitanya kemudian masuklah
ibunya dalam keumuman ayat. Ibnu Abbas berkata:“Samarkanlah apa yang telah disamarkan Al Quran”, maksudnya umumkanlah hukum di segala keadaan,
jangan memperinci antara yang telah dicampuri atau tidak karena yang dimaksud
nikah disini adalah akadnya. Sehingga akad inilah yang menyebabkan keharaman,
baik telah bercampur atau belum (Azzam, Hawwas, 2009:142).
2) Anak-anak perempuan tiri,
Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, dan
wanita ini mempunyai anak perempuan dari orang lain maka tidak halal bagi
laki-laki tersebut menikahi anak dari perempuan yang telah ia nikahi ba’da dukhul.
Baik perempuan tersebut masih tetap menjadi istri atau telah ditalak atau telah
meninggal dunia. Sebagaimana lanjutan firman Allah swt dalam surah An Nisa: