• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria : studi kasus - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria : studi kasus - USD Repository"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Fransisca Ratna Widiasih

NIM: 101114055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

(STUDI KASUS) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Fransisca Ratna Widiasih

NIM: 101114055

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

“Bila gunung dihadapanku

`tak juga berpindah

Kau berikanku kekuatan `tuk mendakinya Ku lakukan yang terbaik, Kau yang selebihnya

Tuhan selalu punya cara Membuatku menang pada akhirnya “

_Magnalia Dei_

(ThomaMs Alva Edison)

Everyday may not be good, but there is something good Skripsi ini saya persembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus

Orangtuaku Bpk.Yulius Yulianto dan Ibu Veronica Ketut Segenap keluarga besar

Program Studi Bimbingan dan Konseling USD Orang-orang yang ku Cinta

(6)
(7)
(8)

vii

KONSEP DIRI

ANAK YANG DIASUH OLEH SEORANG WARIA (STUDI KASUS)

Fransisca Ratna Widiasih Universitas Sanata Dharma

2014

Penelitian ini menuliskan tentang konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria. Peneliti mengambil judul “Konsep Diri Anak yang diasuh oleh Seorang Waria” karena melihat fakta yang ada di lapangan bahwa banyak anak atau kelompok yang ternyata diasuh oleh seorang waria. Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana seorang dapat menyesuaikan dirinya berada di lingkungan waria. Selain itu penelitian ini menunjukkan bagaimana konsep diri yang dimiliki anak dengan segala pengalaman dan pandangan anak mengenai dirinya dalam kehidupannya saat ini. Hal yang semakin menjadi menarik dalam penelitian ini adalah, seorang waria yang mampu mengasuh anak sampai dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai konsep diri anak yang diasuh oleh seorang waria.

Berdasarkan sifat masalahnya, penelitian ini berjenis penelitian studi kasus. Sedangkan berdasarkan sifat, tujuan dan metodenya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif.Studi kasus adalah suatu penyelidikan intensif tentang individu secara mendalam, relatif lama, terus menerus, dan menggunakan subyek tunggal yang artinya kasus dialami satu orang. Dalam penelitian kualitatif ini peneliti berperan sebagai instrumen kunci.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara secara mendalam yang didukung dari hasil observasi peneliti di lapangan. Hasil penelitian ini dibantu dengan penggunaan alat tes konsep diri yang digunakan sebagai assessment. Hasil dari alat tes didukung dari data dan informasi yang diperoleh peneliti selama proses penggalian data. Peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh dan membuat verbatim dari hasil wawancara disertakan dengan pemberian coding pada setiap hasil wawancara, lalu menganalisis hasil wawancara dan data tersebut serta merangkum semua informasi dalam suatu format penelitian studi kasus.

(9)

viii

THE SELF-CONCEPT

OF A YOUNG MAN RAISED BY A TRANSGENDER (A CASE STUDY)

Fransisca Ratna Widiasih Sanata Dharma University

2014

This study centered on the self-concept of a young man who was raised by a transgender. This study was titled ‘The self-concept of a young man raised a transgender’ due to the fact that there were a lot of kids or groups who were raised by a transgender. This study described how the subject adapted himself to the transgender community. This study also intended to elaborate the subject’s self-concept by considering his past experience and his self-image during the period of the study. The interesting aspect of this study was the fact that the subject was raised by a transgender until he reached adulthood. This study, therefore, aimed at gaining insights and information about the self-conceptof the subject who was raised by a transgender.

This study was a case study by considering the nature of the research problem. The study was also a qualitative one by considering its nature, aims and method. A case study is an intensive and deep investigation of an individual in a relatively long period. The investigation is done continuously and on a single individual who experiences the case. In this qualitative study, the researcher functioned as the key instrument. This study made the most of the in-depth interview along with field observation. The results of the study were also determined by a set of self-concept test that served as the assessment tool. The outcomes of the test were supported with data and information gathered during the data gathering. The researcher bracketed the information and made the verbatim of the interview. The verbatim then was coded. Next, the researcher analyzed the results of the interview and the data and summarized them in the form of a case study.

(10)

ix

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas pertolongan, hikmat, dan penyertaanNya dalam persiapan, pelaksanaan serta penyelesaian laporan penelitian dalam bentuk skripsi ini.

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan dari program studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungandari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M.Si., sebagai Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

2. Drs. R. Budi Sarwono, M.A., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan tulus telah memberikan waktu, motivasi, masukan, dan banyak pembelajaran berharga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. TA Prapancha Hary, M.Si., atas waktu dan kesediaannya menjadi enterpretatorterhadap hasil tes SSCT yang digunakan pada penelitian ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berguna bagi penulis.

(11)

x

dan biaya yang diberikan selama menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

7. Para sahabat setiaku (Rm. Yusup, Sr.Kiki, Mbak Pipin, Aline, Sefin, Fe, Eli, Tita, Sinyo, Eva, Sandy, Agung, Rio, Keke, Novita, Yuven) atas sharing dan dukungannya.

8. Saturninus Adven Yora Dinata atas bantuan, dukungan dan motivasi serta semangat selama pengerjaan skripsi.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam proses penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukan, saran, dan kritik terhadap karya ini sangat diperlukan. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membaca.

Yogyakarta, 28 Agustus 2014

(12)

xi

HALAMAN JUDUL ……….……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ………. iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………. v

ABSTRAK ……… vii

ABSTRACT ……….. viii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI……….. xi

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xv

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Fokus Penelitian ………. 5

C. Rumusan Masalah ……….. 5

D. Tujuan Penelitian ……… 5

E. Manfaat Penelitian ………. 5

F. Batasan Istilah ……… 6

(13)

xii

2. Pembentukan Konsep Diri………. 9

3. Proses Perkembangan Konsep Diri……… 10

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri……….. 12

B. Waria……….. 14

1. Pengertian Waria……….. 14

2. Jenis-Jenis Waria……….. 15

3. Karakteristik Waria………... 17

C. Pola Asuh……….... 18

1. Pengertian Pola Asuh………..….. 18

2. Tahap Pengasuhan………. 18

3. Tipe-Tipe Pola Asuh……….. 19

BAB III METODE PENELITIAN……….. 23

A. Jenis Penelitian ………..…. 23

B. Subjek Penelitian………. 23

C. Metode Pengumpulan Data……….. 24

D. Instrument Pengumpulan Data……….... 27

E. Teknik Analisis Data……… 29

F. Validitas Data……… 30

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN……… 32

A. Tempat Pelaksanaan Penelitian………. 32

B. Jadwal Pertemuan dengan Subjek………. 32

C. Subjek……… 33

1. Deskripsi Umum Subjek Penelitian……… 33

2. Riwayat Hidup Subjek ………..…. 34

D. Analisis ……… 36

(14)

xiii

4. Perkembangan Kognitif ……….. 43

5. Perkembangan Sosial dan Status Sosial Saat Ini……… 44

6. Ciri-Ciri Kepribadian Subjek……….. 45

E. Hasil Tes SSCT “Sack Sentences Completion Test”………..……. 46

1. Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga………...………..……. 48

2. Konsep Diri Subjek terhadap Seks……….….... 51

3. Konsep Diri Subjek terhadap Hubungan Interpersonal……….… 54

4. Konsep Diri Subjek terhadap Kondisi Diri……….... 57

BAB V PENUTUP……… 62

A. Kesimpulan………..…… 62

B. Saran……….... 63

DAFTAR PUSTAKA………... 64

(15)

xiv

Tabel 1. Panduan Wawancara Terstruktur …….………... 25

Tabel 2. Agenda Pertemuan Peneliti dengan Subjek ……… 32

Tabel 3. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga ……….. 48

Tabel 4. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Seks ………. 51

Tabel 5. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Hubungan Interpersonal ………..… 54

Tabel 6. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Kondisi Diri………..…… 57

(16)

xv

Lampiran 1. Denah Tempat Tinggal Subjek……… 66

Lampiran 2. Verbatim Hasil Wawancara ……… 67

Lampiran 3. Persetujuan sebagai Interpretator ……… 71

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah yang mendiskripsikan mengenai permasalahan yang terjadi di lapangan. Latar belakang ini menjelaskan garis besar masalah yang ditemukan oleh peneliti. Selain itu latar belakang pada bab ini juga mendiskripsikan alasan peneliti mengambil judul penelitian ini. Pada bab ini juga dipaparkan mengenai fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah.

A. Latar Belakang Masalah

Konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri. Konsep diri anak dikembangkan melalui interaksinya dengan orang lain maupun peniruan, terutama interaksinya terhadap orangtua, sosial, dan teman sebayanya. Semenjak konsep diri mulai terbentuk, anak akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya tersebut. Apabila perilaku anak tidak konsisten dengan konsep dirinya, maka akan muncul perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Apabila konsep diri anak positif, maka akan terbentuk penyesuaian diri yang baik. Sebaliknya apabila anak memiliki konsep diri negatif, maka akan terbentuk penyesuaian yang buruk.

(18)

dengan orang tua ini memberikan dasar terbentuknya konsep diri anak. Peran orang tua dalam pembentukan konsep diri anak sangat besar. Orang tua akan memberikan informasi tentang konsep diri anak melalui perilaku yang dilihat anak setiap harinya. Anak akan berperilaku seperti yang dilihat dan tertanam dalam dirinya. Setiap orang tua tentu tidak ingin melihat anaknya memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri anak yang negatif akan berpengaruh pada masa depan dan pandangan dirinya terhadap lingkungan dan masyarakat. Pengalaman-pengalaman yang didapatkan oleh seseorang pada masa kanak-kanak juga merupakan dasar bagi konsep diri anak pada saat ia tumbuh dewasa. Istilah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya“ sering digunakan masyarakat untuk

menggambarkan konsep diri yang terbentuk dari seorang anak.

(19)

Sebagian besar orang menganggap bahwa semua waria adalah sama. Anggapan yang sering orang berikan itu sebenarnya keliru. Ada beberapa jenis waria. Pertama, seseorang yang menjadi waria hanya karena tuntutan pekerjaan. Kedua, jenis waria yang rela melakukan operasi sehingga merasa benar-benar serupa dengan perempuan. Ketiga, jenis waria hanya karena senang berdandan dan berpakainan seperti perempuan. Perkembangan zaman yang semakin maju menuntut setiap aspek kehidupan mengalami perubahan, termasuk dalam cara mendidik anak. Hingga saat ini masih banyak orang tua yang mengalami kesulitan menemukan cara efektif mendidik anak, bahkan tidak sedikit orang tua merasa gagal dalam mendidik anak. Beberapa orang tua mengalami kesulitan untuk menanamkan nilai-nilai positif guna membentuk konsep diri yang positif pada diri anak. Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa tidak semua orang tua mampu dan berhasil mendidik anaknya sehingga memiliki konsep diri yang positif. Pertanyaanya adalah bagaimana dengan anak yang bukan diasuh oleh orang tua kandungnya sendiri, melainkan seorang waria?

(20)

anak yang diasuh oleh seorang waria itu negatif. Hal ini tentu saja karena waria yang memiliki latar belakang kehidupan yang bisa dikatakan tidak seimbang dan “istimewa”, baik dari lingkungan, relasi, dan gaya hidupnya.

(21)

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada konsep diri yang dimiliki oleh seorang anak yang diasuh oleh seorang waria.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep diri yang dimiliki oleh anak yang di asuh seorang waria?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan mengenai konsep diri yang dimiliki seorang anak yang diasuh seorang waria.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pengetahuan, khususnya dalam bidang penerapan bimbingan dan konseling, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya pada kajian yang sama tetapi pada ruang lingkup yang lebih luas dan mendalam.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek

(22)

b. Bagi Penulis

1) Penulis memperoleh ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang konsep diri dari anak yang diasuh oleh seorang waria 2) Penulis dapat mengembangkan ilmu dan ketrampilannya dalam

menggali mengenai konsep diri anak, karena mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikannya kepada anak yang diasuh oleh seorang waria.

c. Bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling

1) Mahasiswa bimbingan dan konseling sebagai calon konselor atau guru bimbingan dan konseling adalah pemeran utama dalam mendukung perkembangan aspek-aspek pribadi, sosial, karir, dan akademik peserta didik. Tugas seorang pendidik akan berjalan dengan baik apabila didasari pemahaman yang baik tentang kepribadian, khususnya konsep diri dari peserta didik. 2) Mahasiswa bimbingan dan konseling sebagai calon konselor

dapat mengaplikasikan pemahaman kepribadian ini khususnya pada konsep diri peserta didik dalam proses dan pendekatan konseling.

F. Batasan Istilah

(23)

1. Konsep Diri

Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan individu untuk menggambarkan dirinya. Konsep diri merupakan salah satu aspek penting yang mencakup semua pengalaman dari individu tersebut. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka gambaran tentang dirinya akan negatif. Begitupula sebaliknya, apabila konsep diri seseorang positif, maka positif pula seseorang menilai dan menggambarkan dirinya.

2. Waria

Waria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seorang pria yang mengalami ketidakserasian pada jenis biologis dan jenis kelamin mereka serta memilih hidupnya untuk menjadi seorang perempuan. Ia mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang perempuan, baik dalam tingkah laku, penampilan, busana, dandanan, pola hidup, dan seksualitasnya. Waria dalam penelitian ini termasuk dalam kategori kaum transeksual.

3. Anak Asuh

(24)

8 BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini dipaparkan mengenai pengertian konsep diri, dan akan dijelaskan pula mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri. Selain itu juga dipaparkan mengenai pengertian pola asuh. Dalam pengertian pola asuh didiskripsikan juga mengenai tahapan dan tipe-tipe pola asuh. Pengertian waria dan karakteristik waria juga dipaparkan dalam bab ini, mengingat bahwa subjek dalam penelitian ini diasuh oleh seorang waria.

A. Konsep Diri

1. Hakikat Konsep Diri

Verderber & Brook dalam Sobur (2003), konsep diri adalah semua persepsi kita terhadap aspek diri yang meliputi aspek fisik, aspek sosial, dan aspek psikologis, yang didasarkan pada pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Konsep diri (self concept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang diri manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Konsep diri menyatakan tentang pandangan dan sikap individu terhadap diri sendiri. Pandangan diri terkait dengan dimensi fisik, karakteristik individual, dan motivasi diri. Pandangan diri tidak hanya meliputi kekuatan-kekuatan individual, tetapi juga kelemahan bahkan kegagalan dirinya.

(25)

Rogers. Penelitian ini menggunakan teori dasar Rogers karena Client Centered Therapy atau berpusat pada klien ini menjadi teori yang sesuai dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Menurut Carl Rogers ( dalam Feist, 2008: 275 ) konsep diri (self concept) mencakup semua aspek keberadaan diri dan pengalaman seperti yang dipahami oleh kesadaran seorang individu. Konsep diri seseorang sangat menentukan perilaku pada individu itu sendiri. Apabila seseorang memiliki konsep diri yang positif, segala perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan. Individu akan berusaha dan berjuang untuk selalu mewujudkan konsep dirinya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang mempunyai gambaran yang negatif tentang dirinya, maka akan muncul evaluasi pula tentang dirinya. Segala informasi yang positif tentang dirinya akan diabaikan, dan informasi yang negatif yang sesuai dengan gambaran dirinya akan semakin memperkuat keyakinan akan dirinya.

2. Pembentukan Konsep Diri

(26)

karenanya, mereka memperkukuh konsep diri kita (Hardy, Heyes dalam Sobur, 2003: 510).

Pada waktu anak memesuki jenjang keremajaannya, Ia mengalami begitu banyak perubahan dalam dirinya. Sikap atau tingkah laku yang ditampilkan juga akan mengalami perubahan, dan sebagai akibatnya, sikap orang lain terhadap dirinya juga akan berubah-ubah, menyesuaikan dengan perubahan yang terampil dalam dirinya. Dapat dimengerti bahwa konsep diri pada seorang remaja cenderung untuk tidak konsisten, dan hal ini karena sikap orang lain yang dipersepsikan oleh remaja juga berubah. Akan tetapi melalui cara ini, remaja mengalami suatu perkembangan konsep diri, sampai akhirnya memiliki konsep diri yang konsisten (Rais dalam Sobur, 2003: 511)

3. Proses Perkembangan Konsep Diri

(27)

a. Pengalaman secara Situasional

Semua pengalaman yang datang tidak seluruhnya mempunyai pengaruh kuat pada diri kita. Jika pengalaman-pengalaman itu merupakan sesuatu yang sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai dan konsep diri kita, secara rasional kita terima. Sebaliknya, jika pengalaman tersebut tidak konsisten dengan nilai-nilai dan konsep diri kita, secara rasional tidak dapat kita terima. Pada tahap selanjutnya, penerimaan berbagai pengalaman mutakhir ke dalam konsep diri dapat mengubah system nilai yang kaku, yang dianut sebelumnya. Dari pengalaman ini, maka seseorang akan menjadi lebih terbuka untuk mengubah nilai-nilai, dan mengubah konsep diri kita. Dengan membuka diri (self disclosure), konsep diri kita akan menjadi lebih dekat dengan kenyataan. Sedangkan manfaat dari “membuka diri” ini

kepada orang lain akan dapat diketahui umpan balik orang lain kepada kita.

b. Interaksi dengan Orang Lain

(28)

mendekati, Ia mulai mengembangkan konsep dirinya. (Brooks dalam Sobur, 2003: 516). Atas dasar itu, pandangan seseorang terhadap diri sendiri adalah bagian dasar dari konsep diri, dan untuk memperoleh pengertian mengenai diri kita tersebut dapat dilakukan melalui “interaksi dengan orang lain”, yang tentunya disertai persepsi dan

kesadaran seseorang tentang cara orang lain tersebut melihat diri kita dan reaksi mereka terhadap kita.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

(Sobur Alex, 2003: 518-521) mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, antara lain :

a. Memandang Diri Sendiri sebagai Objek

(29)

Menurut Verderber (dalam Sobur, 2003: 518), semakin besar pengalaman positif yang diperoleh, maka semakin positif pula konsep diri seseorang. Sebaliknya, semakin besar pengalaman negatif yang diperoleh, maka semakin negatif konsep diri seseorang.

b. Reaksi dan Respon Orang Lain

Konsep diri tidak hanya berkembang melalui pandangan seseorang terhadap diri sendiri, namun juga berkembang dalam rangka interaksi dengan masyarakat. Oleh sebab itu, konsep diri dipengaruhi oleh reaksi serta respon orang lain terhadap diri individu. Apa yang ada pada diri individu, dievaluasi oleh orang lain melalui interaksi dengan orang tersebut. Evaluasi dari orang lain terhadap diri sendiri tersebut akan mempengaruhi konsep diri yang dimiliki. Jadi, konsep diri adalah hasil langsung dari cara orang lain bereaksi secara berarti kepada individu.

c. Bermain Peran

(30)

peran yang kita mainkan dan dianggap positif oleh orang lain, maka semakin positif konsep diri yang dimiliki.

d. Kelompok Rujukan

Yang dimaksud dengan reference groups atau kelompok rujukan adalah kelompok yang menjadi anggota di dalamnya. Jika sebuah kelompok dianggap penting oleh individu dan dapat menilai individu, hal ini akan menjadi kekuatan untuk menentukan konsep diri individu. Sikap yang menunjukkan rasa tidak senang atau tidak setuju terhadap kehadiran seseorang, biasanya dipergunakan sebagai bahan komunikasi dalam penilaian kelompok terhadap perilaku seseorang. Komunikasi tersebut selanjutnya akan dapat mengembangkan konsep diri seseorang sebagai akibat dari adanya pengaruh kelompok rujukan. Semakin banyak kelompok rujukan yang menganggap diri seseorang positif, semakin positif pula konsep diri yang dimiliki oleh seseorang tersebut.

B. Waria

1. Pengertian Waria

Dalam perkembangannya waria merupakan “proyek” feminitas

(31)

sebagai peran seksualnya. Waria adalah seseorang yang tidak memiliki kesesuaian antara fisik dengan identitas jenis kelaminnya (Culkin dalam Hartoyo, 2014).

Waria adalah jenis kelamin ketiga, yang memiliki sifat antara pria dan wanita, tetapi bukan penggabungan diantara keduanya. Hal tersebut merupakan sebutan awal yang menggambarkan perempuan yang terjebak dalam tubuh laki-laki. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa waria adalah seseorang yang memiliki ketidaksesuaian antara fisik, psikis, dan seks. Dalam arti secara fisik dia adalah laki-laki tetapi secara psikologis perempuan. Ketidaksesuaian yang terjadi membuat waria tidak senang terhadap alat kelaminnya dan ingin mengubahnya sebagai perempuan.

2. Jenis-Jenis Waria

Kaum waria terdiri dari kelompok manusia yang tidak homogen, mereka terdiri dari berbagai komponen yang secara ilmiah psikologik-psikiatri dapat dibedakan karena mempunyai ciri-ciri khusus. Ada beberapa kelompok kecil waria menurut Atomo (dalam Hartoyo, 2014), antara lain:

a. Kaum Transeksual

(32)

mereka biasanya menghilangkan ciri fisik laki-lakinya. Misalnya; mengoperasi bagian tubuhnya seperti payudara, dagu, kelopak mata, hidung, berpakaian seperti wanita, dan minimal mereka perlu merias diri. Orang tua asuh subjek dalam penelitian ini memenuhi kriteria penderita transeksual karena orangtua asuh subjek mengalami semua kriteria yang tercantum di atas.

b. Kaum Tranvestite

(33)

c. Kaum Homoseksual yang Menderita Tranvetisme

Selain mereka yang bersifat maskulin, feminim, kewanita-wanitaan, atau mereka yang tergolong closed type, terdapat pula homoseksual yang juga menderita transvestisme. Yaitu, mereka yang mendapat kepuasan seksual dari hubungan homoseksual dan berpakaian lawan jenis. Untuk homoseksual yang closed type, yang tidak ada atau sedikit memiliki teman homoseksual, mereka akan mengalami kesulitan dalam mencari pasangan, sehingga timbul gagasan bahwa dengan berdandan sebagai perempuan akan lebih mudah bagi mereka untuk mencari kontak homoseksual.

d. Kaum Opportunities

Kelompok ini terdiri dari mereka yang memanfaatkan kesempatan, dimana mereka menjadi wanita untuk mencari penghasilan atau nafkah. Jadi tidak terdapat kelainan seperti Kaum Transeksual, Kaum Tranvestite, dan Kaum Homoseksual yang Menderita Tranvetisme.

3. Karakteristik Waria

Adapun kriteria diagnostik seseorang dikategorikan waria (Rathus dalam Hartoyo, 2014) yaitu:

a. Merasa tidak nyaman dan tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis yang dimilikinya

(34)

c. Gangguan telah berlangsung minimal 2 tahun.

d. Tidak ada kelainan fisikal atau keabnormalitasan genetik e. Tidak memiliki kelainan mental lainnya.

C. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang adalah keluarga. Keluarga khususnya orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak menuju kedewasaan fisik dan psikis. Secara umum pola asuh diartikan sebagai proses interaksi antara orang tua dan anak (Martin & Colbert, 1997).

2. Tahap Pengasuhan

Menurut Galinsky (dalam Martin & Colbert, 1997), dalam pola asuh terdapat 5 tahap pengasuhan, yaitu image making, nurturing atau upaya mengasuh, authoritative, interdependent, dan derpature, penjelasan pada tahap-tahap pengasuhan tersebut antara lain :

a. Image Making

Image Making yaitu tahap dimana orang tua memberikan kesan

(35)

b. Nurturing atau Upaya Mengasuh

Nurtuting yaitu tahap dimana orangtua akan menunjukkan ekspresi-ekspresi kehangatan dan merespon kebutuhan dan keinginan anak.

c. Authoritative

Authotitative yaitu tahap dimana orang tua dan anak

berpartisipasi dalam menemukan alasan di belakang suatu kebijakan dan peraturan-peraturan serta konsekuensi yang akan diterima yang telah disepakati bersama

d. Interdependent

Interpendent yaitu tahap dimana anak mengembangkan

kompetensi yang dimiliki sehingga memungkinkan mereka untuk berbagi kontrol dengan orang tua.

e. Departure

Departure yaitu tahap dimana orang tua mengharapkan

anaknya dapat mengembangkan kemampuannya sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan memperoleh tujuan hidupnya yang berkaitan dengan pencapaian dalam hidup.

3. Tipe-tipe Pola Asuh

(36)

terdapat 4 tipe pola asuh yaitu, Pola asuh Authoritative (demokratis), Pola Authoritarian (otoriter), Pola Permissive (bebas/ manja), dan Pola Uninvolved (tidak terlibat).

a. Pola asuh Authoritative (demokratis).

Orangtua yang mengasuh anaknya dengan tipe seperti ini adalah orang tua yang memiliki tingkat kontrol yang tinggi dan kehangatan yang tinggi pada anaknya. Mereka memberikan penjabaran yang jelas tentang aturan-aturan dan harapan mereka. Mereka memberi penjelasan apa yang akan menjadi konsekuensi apabila anaknya tidak mengikuti peraturan atau keinginan orang tua, namun pada saat yang sama mereka akan memberikan kesempatan pada anaknya untuk mengeluarkan pendapat dan keinginannya sendiri. Mereka memberikan kebebasan bagi si anak untuk menentukan pilihannya sendiri dan menjelaskan apa yang akan terjadi bila si anak melakukan pilihannya tersebut.

b. Pola Authoritarian (otoriter)

(37)

Mereka sedikit sekali memberi kehangatan dan kasih sayang pada anaknya, seringkali berlaku kasar, dan memberi hukuman secara fisik. c. Pola Permissive (bebas/ manja)

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe seperti ini adalah orang tua yang memiliki tingkat kontrol rendah pada peraturan namun tinggi dalam memberikan kehangatan terhadap anaknya. Mereka sedikit sekali memberikan peraturan dan jarang menerapkan disiplin. Orang tua lebih menekankan pada pemberian perhatian dan kasih sayang. Mereka beranggapan bahwa disiplin dan peraturan hanya akan mengganggu perkembangan anak. Karena itu mereka memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya pada anaknya untuk melakukan apa saja asal anaknya bahagia.

d. Pola Uninvolved (tidak terlibat)

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe seperti ini adalah orang tua yang memiliki tingkat kontrol yang rendah terhadap peraturan dan kehangatan yang rendah pula. Mereka terlihat tidak tertarik bahkan tidak pernah terlibat dalam proses perkembangan anaknya. Mereka sedikit sekali bahkan hampir tidak ada memberikan kasih sayang dan perhatian pada anaknya. Mereka memberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang diinginkan anaknya karena mereka sendiri tidak peduli dengan apa saja yang diperbuat anaknya.

(38)
(39)

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai jenis penelitian dan subjek penelitian. Selain itu peneliti memaparkan mengenai metode pengumpulan data dan instrumen pengumpulan data. Pada bab ini juga dipaparkan mengenai teknik analisis data, dan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini. Metode dalam penelitian ini mendiskripsikan tentang pendekatan yang digunakan oleh peneliti. Selain itu, didiskripsikan tentang metode yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data subjek.

A. Jenis Penelitian.

Berdasarkan sifat, tujuan, dan metodenya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sedangkan berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini berjenis penelitian studi kasus. Studi kasus adalah suatu penyelidikan intensif tentang individu secara mendalam, relatif lama, terus menerus, dan menggunakan subyek tunggal yang artinya kasus dialami satu orang (Furchan, 1982). Penelitian ini menguraikan tentang konsep diri yang dimiliki Fauzi yang diasuh oleh seorang waria.

B. Subjek Penelitian

(40)

keinginan untuk menghilangkan dan menggantikan alat kelaminnya, serta hidup sebagai lawan jenisnya. Kriteria ini dimiliki oleh Yuli yang merupakan orang tua asuh Fauzi. Yuli mengoperasi beberapa bagian tubuhnya supaya menyerupai perempuan yaitu pada bagian payudara dan hidung. Yuli menggunakan pakaian perempuan saat bekerja menjadi waria maupun saat berada di rumah. Selain itu Yuli juga merias dirinya seperti perempuan, namun hal itu dilakukan hanya pada saat bekerja saja karena menghemat pemakaian kosmetik. Sikap, perilaku, dan tutur kata yang ada pada diri Yuli juga menunjukkan sisi dari seorang perempuan yang sangat halus dan lembut. Awalnya Fauzi tinggal bersama orangtua kandung, namun karena adanya masalah dalam keluarganya, maka Fauzi kabur dari rumah dan akhirnya diasuh oleh seorang waria sejak Ia berumur 16 tahun dan saat ini sudah berumur 23 tahun. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 1 orang. Subyek mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya sejak subyek masih kanak-kanak, sampai akhirnya subyek memutuskan untuk tinggal dan diasuh oleh seorang waria. Dari perjalanan hidup subyek, peneliti ingin menggali konsep diri yang dimiliki oleh subyek.

C. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara

(41)

adalah pertanyaan terbuka. Berikut ini adalah panduan wawancara terstruktur yang akan di aplikasikan pada subjek, antara lain:

Tabel 1. Panduan Wawancara Terstruktur

NO ASPEK PERTANYAAN

1. Keluarga a. Bagaimana latar belakang keluarga anda?

b. Bagaimana metode/cara mendidik keluarga anda?

c. Adakah pengalaman yang tidak terlupakan bersama keluarga?

d. Bagaimana kehidupan religius keluarga anda? e. Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar

kata rumah?

f. Apakah anda dapat berkembang di dalam keluarga anda?

g. Bagaimana keluarga memperlakukan anda? h. Kapan anda merasa tidak nyaman ketika berada

di rumah anda?

i. Saat-saat seperti apa yang anda rindukan bersama keluarga?

2. Seks a. Apakah anda menyukai wanita?

b. Bagaimana pandanganmu terhadap wanita? c. Apa alasan anda menjalin hubungan dengan

lawan jenis anda?

d. Apa yang anda rasakan ketika menjalin relasi dengan pacar anda?

e. Apa yang anda harapkan dalam kehidupan seksual anda?

f. Kapan saja anda merasakan kegairahan ?

3. Hubungan

Antar Pribadi

a. Bagaimana relasi anda terhadap teman-teman anda?

b. Apakah anda memiliki kriteria tertentu dalam memilih teman/menjalin relasi?

c. Apakah menurut anda, anda pandai dalam menjalin relasi? Mengapa ?

d. Apakah anda pribadi yang menyenangkan bagi teman-teman anda?

e. Apa saja harapan anda terhadap teman-teman anda?

f. Teman yang seperti apa yang anda inginkan ? g. Apakah anda peduli dengan orang-orang yang

ada disekitarmu?

h. Apakah hal yang paling tidak anda senangi dalam berinteraksi dengan orang lain?

4. Kondisi Diri a. Bagaimana anda menggambarkan diri anda?

(42)

saat ini?

c. Bagaimana anda menanggapi kelemahan dan kelebihan yang anda miliki?

d. Kapan anda merasa di bawah tekanan? e. Apakah anda mengahargai karya anda? f. Bagaimana anda menilai diri anda sendiri? g. Apakah anda merasa berharga?

h. Kapan anda merasa diri anda berguna? i. Kapan anda merasa terancam?

j. Apakah yang anda ketahui tentang penilaian orang lain terhadap diri anda?

2. Observasi

Observasi adalah salah satu cara mengumpulkan data dengan mengamati perilaku subjek secara langsung. Melalui observasi peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut, Marshall (dalam Sugiyono 2010: 310). Peneliti melakukan observasi saat pertama kali datang ke lokasi dan selama proses penggalian data yang dilakukan bersama subjek di tempat tinggal subyek.

3. Kunjungan Rumah

(43)

4. Tes Kepribadian

Tes kepribadian merupakan tes yang mengukur sifat, ciri-ciri, atau perilaku yang menentukan individualitas seseorang. Informasi ini membantu memprediksi perilaku di masa depan. Tes-tes ini muncul dalam beberapa variasi yang berbeda, termasuk daftar periksa, inventori, dan teknik-teknik proyeksi seperti penyesuaian kalimat (Anastasi Anne, 1997). Tujuan peneliti menggunakan tes ini adalah untuk melihat masalah dan gangguan yang dialami oleh subyek. Dari hasil tes ini akan ditemukan permasalahannya dan peneliti akan menyesuaikan dengan hasil dari lapangan.

D. Instrumen Pengumpulan Data 1. Alat Tes Kepribadian

Peneliti memberikan alat test kepribadian yang akan mengungkap konsep diri yang dimiliki oleh subyek. Alat tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah SSCT (Sack Sentence Completion Test). Penelitian ini menggunakan alat tes kepribadian SSCT yang dapat memperoleh gambaran mengenai konsep diri subjek. Interpretasi hasil tes SSCT ini dilakukan oleh seorang psikolog.

(44)

diri yang sesungguhnya. Isi kalimat-kalimat itu berkaitan dengan area-area masalah kepribadian yang sangat berpengaruh dalam menentukan tingkah laku psikis seseorang. Area-area masalah yang dimaksud menyangkut beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek konsep diri terhadap kehidupan keluarga yang meliputi serangkaian sikap terhadap orangtua dan unit keluarga.

2. Aspek konsep diri terhadap kehidupan seksual yang meliputi sikap terhadap wanita dan hubungan antar lawan jenis atau heteroseksual. 3. Aspek konsep diri terhadap relasi interpersonal yang meliputi sikap

terhadap teman & kenalan, atasan atau bawahan, dan sejawat di sekolah, kantor atau di tempat kuliah.

4. Aspek konsep diri terhadap kondisi diri yang meliputi ketakutan, perasaan bersalah, sikap seseorang terhadap kemampuannya, terhadap masa lalu, masa depan, cita-cita dan tujuan hidup.

Berdasarkan repon-respon subyek yang berupa penyempurnaan kalimat, dapat terlihat bagaimana kualitas konsep diri subyek terhadap aspek-aspek tersebut.

2. Kuesioner

(45)

Subjek dapat menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kehidupan pribadi subjek tanpa harus mertatap muka dengan peneliti.

3. Alat Perekam

Peneliti menggunakan alat perekam untuk merekam semua percakapan atau informasi yang diperoleh selama melakukan wawancara. Alat perekam digunakan oleh peneliti supaya memudahkan peneliti dalam mengumpulkan informasi yang diperoleh selama proses penelitian. Selain itu, tujuan peneliti menggunakan alat perekam ini adalah sebagai tanda bukti dari informasi yang diperoleh adalah asli dan benar adanya. Penggunaan alat perekam ini diberikan atas dasar kesepakatan peneliti dengan subjek.

4. Alat Tulis

Peneliti menggunakan alat tulis untuk mencatat hal-hal penting selama proses penelitian berlangsung supaya tidak ada hal penting yang terlewatkan.

E. Teknik Analisis Data

Data penelitian dikumpulkan dengan cara menganalisis latar belakang kehidupan, pertumbuhan jasmani, riwayat kesehatan, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, dan ciri-ciri kepribadian yang didasarkan pada teori. Peneliti menggunakan hasil alat tes sebagai dasar informasi mengenai konsep diri yang dimiliki oleh subjek. Dari hasil tes tersebut peneliti melakukan inquiry dengan metode wawancara. Selanjutnya peneliti membuat verbatim

(46)

wawancara, lalu peneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh dengan cara memilih data yang penting. Peneliti kemudian menganalisis hasil wawancara dan data tersebut serta merangkum semua informasi dalam suatu format penelitian studi kasus.

Verbatim adalah percakapan wawancara dengan cara menuliskan jawaban dari setiap pertanyaan yang diajukan pada subjek saat proses wawancara. Selanjutnya peneliti menentukan coding untuk masing-masing jawaban berdasarkan aspek dari daftar pertanyaan yang berupa kode. Pemberian kode yang dilakukan oleh peneliti hanya dimengerti oleh peneliti saja.

F. Validitas Data

Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi untuk melihat validitas penelitian. Sugiyono (2010: 330) menyatakan bahwa ada dua jenis triangulasi yaitu, triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Sedangkan triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif, (Patton dalam Moleong, 2009: 330-331).

(47)
(48)

32 BAB IV

LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Tempat Pelaksanaan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan subyek dari komunitas susteran yang memiliki kenalan pada komunitas waria. Peneliti mencari waria yang memiliki seorang anak asuh yang dibesarkan sejak umur 16 tahun. Penelitian ini diadakan di sebuah perkumpulan atau komunitas waria yang ada di daerah Sleman Yogyakarta dalam bentuk kost-kostan. Selama penggalian data, peneliti melakukan observasi, pendekatan, dan wawancara di tempat tinggal subyek (kost).

B. Jadwal Pertemuan dengan Subyek

Selama peneliti melakukan penelitian, peneliti bertemu dengan subyek untuk melakukan wawancara, observasi, pendekatan, dan penggalian data. Berikut agenda pertemuan peneliti dengan subjek dan orangtua asuh subjek:

Tabel 2. Agenda Pertemuan Peneliti dengan Subjek NO TANGGAL

PERTEMUAN

KETERANGAN TEMPAT

1. Jumat, 9 Mei 2014

Bertemu dengan kedua subyek (waria dan anak asuhnya) untuk observasi sekaligus menjelaskan penelitian belakang dan gambaran anak asuh serta menggali data mengenai waria dan anak asuhnya. Peneliti mencari informasi dari subjek dan orang tua asuh subjek. dengan anak asuh menggunakan alat

(49)

perekam dan beberapa catatan kecil 4. Selasa, 13 Mei

2014

Wawancara dengan waria dan anak asuhnya serta mengumpulkan lembar refleksi yang diminta oleh peneliti untuk anak asuhnya. Wawancara ini menggunakan alat perekam dan

Peneliti berkunjung ke tempat subjek melakukan observasi kegiatan sehari-seputar data dan informasi subyek

Kost

Wawancara dengan anak asuh waria dan mengambil lembar pertanyaan yang sudah dijawab oleh subyek

Kost

Membawa hasil tes subjek ke seorang psikolog (interpretator) untuk

Mengunjungi orang tua asuh subjek untuk mengecek kebenaran data dari subjek dengan wawancara

Kost subjek

C. Subjek

1. Deskripsi Umum Subjek Penelitian

(50)

Jenis Kelamin : laki-laki

Usia : 23

Agama : Islam

Alamat : Banyumas

Anak ke- : 2 dari 4 bersaudara Pendidikan Terakhir : SMP

Pekerjaan/Sekolah :Pengangguran Cita-cita : Band (Gitaris)

Hobby : Bermusik

Moto Hidup : “Jangan Menyerah” Harapan : SUKSES

Penampilan Fisik : Tinggi badan 172cm, berat badan 60kg, kulit sawo matang, rambut tebal gondrong (bekas rebonding), bentuk wajah lonjong kotak, mata sipit, bibir agak tebal, hidung pesek, dan alis tipis.

Sumber Informasi : Subjek dan orang tua asuh subjek. 2. Riwayat Hidup Subjek

(51)

dan disiplin. Fauzi pernah menggadaikan surat tanah miliki orang tuanya, dengan alasan ingin berinvestasi tanah. Saat tinggal di pesantren, Fauzi kabur dari pesantren tanpa sepengetahuan orang tuanya. Alasan Fauzi kabur dari pesantren karena Fauzi ingin mencari jati diri dan kebebasannya sendiri. Fauzi memutuskan untuk tinggal bersama Yuli yang merupakan orangtua asuhnya sejak berumur 16 tahun. Sejak tinggal bersama Yuli, Fauzi melakukan beberapa tindak kejahatan, salah satu diantaranya adalah membacok orang. Fauzi juga sempat terlibat narkoba dengan teman-temannya. Fauzi tidak menyelesaikan pendidikannya secara tuntas, Fauzi berhenti sekolah saat kelas 1 SMA. Fauzi tidak memiliki pekerjaan tetap, Ia hanya meminta uang saku dan kebutuhan lainnya dari Yuli.

Fauzi tinggal di daerah komplek para waria yang berada di tengah-tengah masyarakat. Fauzi tinggal di sebuah kost-kostan sederhana dengan orang tua asuhnya. Kamar Fauzi dengan Yuli terpisah dengan kayu triplek. Tidak terdapat banyak alat elektronik dalam kamar Fauzi, hanya ada kipas angin. Fauzi juga memiliki sebuah gitar karena Fauzi hoby bermain gitar dan cita-citanya kelak ingin menjadi seorang gitaris.

(52)

lebih sering keluar rumah dan menghabiskan waktu di luar. Salah satu alasan Fauzi tinggal dengan Yuli adalah karena dia mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kenyamanan dari Yuli. Yuli memenuhi setiap keinginan dan kebutuhan yang Fauzi inginkan. Fauzi bebas melakukan apapun yang Ia inginkan sesuka hati selama diasuh oleh Yuli. Saat ini Fauzi masih pengangguran, dia tidak memiliki pekerjaan. Fauzi tidak suka diatur dan diberikan aturan-aturan yang harus ditaati.

D. Analisis

1. Latar Belakang Kehidupan Keluarga Subjek

(53)

ada di daerah tempat tinggalnya. Namun harapan dan keinginan ayahnya tersebut tidak sejalan dengan keinginan Fauzi. Fauzi tidak suka dengan kehidupan religius walaupun keluarganya merupakan orang-orang yang taat pada agama. Fauzi merasa bahwa ayahnya tidak memahami apa yang diinginkan oleh Fauzi dan tidak mengerti jiwa yang dimiliki oleh Fauzi. Oleh sebab itu Fauzi lebih memilih untuk kabur dari rumah.

Peneliti :”Kalau boleh tau, sebenarnya keluargamu itu seperti apa sih, kok sampai kamu memutuskan untuk pergi?”

Subyek :“Sebenarnya pola didiknya bener, aku ga nyalahin mereka. tapi orangtua itu tidak pernah menemukan jiwa anaknya, jadi apa yang keluarga ajarkan selama ini tu bener, Cuma ga cocok aja sama hati aku . Ya..meskipun keluargaku dari orang-orang yang beragama tapi aku tuh ga pingin jadi orang yang pinter agama gitu lho…aku malah pingin hidup agak extreme”.

(CAtKK)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Fauzi sadar pola didik yang diberikan oleh orangtuanya benar, namun tidak sepaham dengan Fauzi. Fauzi lebih memilih untuk menjalankan hidupnya dengan kehendaknya sendiri dengan cara kabur dari rumah dan melakukan appaun yang Fauzi inginkan. Fauzi tidak ingin diatur oleh siapapun termasuk keluarganya. Fauzi tidak siap menerima kenyataan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab dalam hidupnya, terlihat dari Ia kabur dari rumah.

(54)

terakhirnya adalah SMA. Ibu Fauzi juga sempat membuka kreditan, di rumahnya pun terdapat peleburan emas. Selama ini, Fauzi tidak begitu banyak membicarakan ibunya, Ia lebih banyak bercerita tentang ayahnya. Fauzi juga merupakan anak kedua dari 4 bersaudara.

Selain orangtua kandung, Fauzi memiliki orangtua asuh. Fauzi memutuskan untuk tinggal dengan orang tua asuhnya yang merupakan seorang waria. Fauzi tinggal dengan keluarganya hanya sampai lulus SD saja, dan itupun saat ia masih dalam pesantren. Fauzi kabur ke luar kota dan sampai akhirnya Ia bertemu dengan Yuli yang merupakan orang tua asuhnya saat ini. Fauzi memutuskan untuk tinggal dengan Yuli sekitar tahun 2007. Orang tua asuh Fauzi beragama Islam dan bekerja sebagai pengamen, namun Yuli mengikuti berbagai kegiatan dalam komunitas warianya. Yuli lulusan dari ISI Yogyakarta dan sempat menjadi guru SD di NTT. Yuli lahir di Makasar pada tahun 1960. Fauzi mengaku nyaman dan senang tinggal bersama orang tua asuhnya tersebut.

Peneliti :”Apa alasanmu memutuskan untuk tinggal dengan Mbak Yuli ?”

Subyek :”Seneng!Nyaman! disini maksudnya nyamannya apa ya,

orangnya lembut kan, ga kayak bapakku itu cuek gitu lho Mbak. Kalo Mbak Yuli kan perhatian gitu lho Mbak.”

(55)

Sedangkan dengan Yuli, Ia bebas mengekspresikan dirinya karena Yuli mendidik Fauzi dengan bebas yang bertanggung jawab.

Fauzi diasuh oleh Yuli selama 7 tahun, tipe pola asuh yang diberikan Yuli adalah pola asuh Permissive. Menurut Baumrind (dalam Martin & Colbert, 1997) pola asuh permissive adalah pola asuh yang memiliki tingkat kontrol yang rendah namun tinggi dalam memberikan kehangatan terhadap anaknya. Mereka sedikit sekali memberikan peraturan dan jarang menerapkan disiplin. Orang tua lebih menekankan pada pemberian perhatian dan kasih sayang. Orangtua yang termasuk dalam tipe pola asuh permissive ini beranggapan bahwa disiplin dan peraturan hanya akan mengganggu perkembangan anak. Karena itu orangtua memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya pada anaknya untuk melakukan apa saja asal anaknya bahagia.

(56)

kesalahan. Fauzi menyatakan bahwa Fauzi merasa nyaman tinggal bersama orang tua asuhnya. Yuli memberikan kesempatan pada anak asuhnya untuk mengeluarkan pendapat dan keinginannya sendiri. Yuli memberikan kebebasan bagi anak asuhnya untuk menentukan pilihannya sendiri. Yuli lebih menekankan pada pemberian perhatian dan kasih sayang. Bentuk pola asuh yang diberikan Yuli dapat terlihat dari hasil wawancara berikut ini:

Yuli :”Sering Mbak, malah ngamuk-ngamuk, pecahin kaca. Jadi semenjak saat itu saya mulai berpikir, saya ga pernah memperlakukan dengan keras, walaupun kesalahannya fatal gitu, tapi saya hanya skorsing.”

(COtPA)

2. Lingkungan Fisik, Sosio-Ekonomi, dan Sosio Kultural

(57)

Keadaan ekonomi Fauzi mempengaruhi tempat tinggal Fauzi dan orangtua asuhnya saat ini. Fauzi tinggal di kost-kostan bersama orang tua asuhnya. Tempat Ia tinggal tersebut merupakan kompleks perkumpulan para waria yang lainnya. Ia tinggal bersama Yuli yang notabene adalah seorang waria, namun berbeda kamar. Awalnya Yuli dan Fauzi tinggal satu kamar, namun dengan berbagai pertimbangan dari Yuli dan demi perkembangan psikis Fauzi, ia pun memutuskan untuk menyewa satu kamar khusus untuk Fauzi. Kost-kostan yang ditempati oleh Fauzi sangat sederhana. Tembok untuk pemisah kamar Fauzi dan Yuli terbuat dari papan tipis dan tidak terdapat alat elektronik pada tempat tinggalnya seperti televisi, kulkas, ataupun AC. Tempat tinggal Fauzi hanya terdapat sebuah dispenser dan kipas angin saja. Orangtua asuh Fauzi hanya tidur di atas tikar tanpa sebuah kasur.

(58)

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, para waria yang tinggal di komplek tersebut sudah mengetahui bahwa Fauzi adalah anak yang diasuh oleh Yuli. Walaupun begitu hal ini tidak berpengaruh terhadap Fauzi. Hal ini disebabkan karena masih sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa Ia adalah anak yang diasuh oleh Yuli. Oleh sebab itu sampai saat ini pun Fauzi masih malu dan enggan untuk berjalan bersampingan dengan Yuli. Ia minder dengan pandangan orang-orang terhadap dirinya dan memikirkan persepsi orang-orang ketika melihat dia jalan dengan seorang waria.

Peneliti :”Bagaimana ketika kamu jalan bareng sama Mbak Yuli?” Subyek :”Ya..jujur aja…gimana ya…ya sampai sekarang yang aku

rasakan… misalnya aku jalan bareng dia aja MALU (berbicara pelan). Coba deh bayangin Mbak, ketika kamu melihat cowok dewasa kayak aku gini, jalan dengan waria. Apa yang terlintas?”

(CAtPtOTA)

Gambaran lingkungan tempat tinggal yang ditempati oleh Fauzi dan orangtua asuhnya dapat dilihat pada lampiran 1.

3. Pertumbuhan Jasmani dan Riwayat Kesehatan

(59)

4. Perkembangan Kognitif

Berdasarkan hasil wawancara, Fauzi adalah anak yang pintar, Fauzi menyatakan bahwa sejak SD Ia selalu mendapatkan rangking 1 dan masuk dalam 3 besar. Setiap Fauzi mendapatkan prestasi yang gemilang, Ia mendapatkan hadiah dari orang tuanya, namun ketika prestasinya menurun, Ia langsung diberikan hukuman oleh orang tuanya salah satunya adalah dikunci dalam gudang. Fauzi selalu mewakili sekolahnya untuk mengikuti lomba dalam bidang olahraga.

Sejak Fauzi duduk di bangku SMP, Ia sudah dikirim oleh keluarganya untuk mencari ilmu di pesantren di daerah Banyuwangi, namun keputusan keluarganya tersebut tidak di senangi oleh Fauzi. Hal ini disebabkan karena Fauzi tidak begitu tertarik dengan kehidupan religius dan lebih menyukai kehidupan yang bebas dan bisa dikatakan ekstreme. Oleh sebab itu, Fauzi sempat kabur dari Pesantren.

Fauzi mencintai dunia musik, dan Ia bercita-cita menjadi seorang gitaris dalam sebuah band. Data-data lain seperti rapot dan catatan sekolah Fauzi tidak dapat dilampirkan karena Fauzi tidak bersedia untuk mengambilnya ke rumah orangtua kandungnya. Hal itu disebabkan karena Fauzi memiliki masalah dengan keluarganya yang tidak dapat Ia ceritakan kepada peneliti. Fauzi mengaku takut untuk pulang ke rumahnya. Jadi informasi dan data yang diperoleh berkenaan dengan intelegensi subjek hanya berdasarkan hasil wawancara.

(60)

Subyek :” Jadi…apa ya…dibilang cerdas ya bukannya gimana, iya waktu dari SD dan SMP kan aku rangking terus, aku juga beberapa kali mewakili Banyuwangi untuk event-event besar kayak lari jauh."

(CAtPS)

5. Perkembangan Sosial dan Status Sosial Saat Ini

Fauzi adalah anak asuh adri Yuli walaupun Yuli tidak mengadopsi atau bisa dikatakan adalah anak asuh yang sah dari Yuli. Berdasarkan observasi yang diperoleh di lapangan, Fauzi termasuk anak yang aktif berbicara dan bukan orang yang pendiam. Namun ketika ditanya mengenai relasinya terhadap masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggalnya, sangat berlawanan dengan pribadi yang Ia miliki. Ia tidak begitu dekat dengan masyarakat yang ada di tempat tinggalnya, Ia juga jarang mengikuti kegiatan lingkungan. Begitu pula dengan warga yang ada di kompleknya yang sebagian besar merupakan seorang waria. Fauzi jarang berinteraksi dan bergaul dengan waria-waria yang ada di kompleknya. Hal ini terjadi karena masyarakat yang masih mendiskriminasikan para waria yang ada di kompleknya tersebut.

(61)

berani Ia beritahu tentang statusnya. Begitupula dengan beberapa perempuan yang pernah menjadi pacar Fauzi. Ia harus melihat-lihat dahulu sebelum Ia jujur tentang statusnya yang sebenarnya. Karena Ia sempat diputusi oleh pacarnya ketika mengetahui bahwa Fauzi adalah anak asuh seorang waria.

Peneliti :”Apa respon mereka setelah tahu tentang Mbak Yuli ?” Subyek :”Jujur, terkadang aku ngomong, terkadang aku ga

ngomong.”

(CAtSsAAW)

Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Fauzi belum menerima kenyataan bahwa orang tua asuhnya adalah waria. Fauzi lebih mudah menjalin relasi dengan orang-orang yang dikenalnya, namun Fauzi mengalami kesusahan dalam menjalin relasi dengan orang-orang baru apalagi yang dianggap akan menyepelekan dirinya. Hal ini berangkat dari pikiran negatif Fauzi tentang orang-orang yang memandang sebelah mata dirinya.

6. Ciri-ciri Kepribadian

(62)

Subyek :”Aku itu orangnya gamau di atur, aku juga ga peduli sama orang lain dan aku memang seperti itu dan Mbak Yuli paham itu. Mau mati ato gimana, aku ga peduli cuma respect aja. Tapi kalo peduli ngga. Maksudnya cuek prihatin aja.”

(CAtRdStM)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Fauzi tidak memiliki rasa empati dan peduli terhadap orang lain. Fauzi tidak memiliki rasa sosial yang tinggi.

E. Hasil Tes SSCT “Sack Sentences Completion Test”

Tes SSCT (Sack Sentences Completion Test) merupakan alat tes kepribadian yang mengukur konsep diri seseorang. Tes ini berbentuk kalimat yang belum lengkap dan subjek mengisi kalimat tersebut sesuai dengan pengalaman subjek. Tes ini terdiri dari beberapa aspek, yaitu konsep diri terhadap keluarga, konsep diri terhadap seks, konsep diri terhadap hubungan interpersonal, dan konsep diri terhadap kondisi diri. Setiap aspek yang dijawab oleh subjek memiliki skor X (tidak diketahui), 0 (tidak ada tanda-tanda gangguan), 1 (agak terganggu), dan 2 (sangat terganggu).

(63)

asesmen peneliti untuk melihat gangguan atau masalah yang dialami subjek. Hasil ini akan didukung dan diperkuat dengan hasil wawancara dan observasi yang didapatkan oleh peneliti.

Menurut Verderber (dalam Sobur, 2010: 518), semakin besar pengalaman positif yang kita peroleh atau kita miliki, semakin positif konsep diri kita. Sebaliknya, semakin besar pengalaman negatif yang kita peroleh atau yang kita miliki, semakin negatif konsep diri kita. Hasil tes SSCT pada subjek menunjukkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh subjek negatif. Dari data yang diperoleh di lapangan, terdapat berbagai masalah dan gangguan yang dialami pada konsep dirinya, bagaimana subjek memandang dirinya sendiri, dan bagaimana subjek memaknai pengalaman yang subjek alami. Hasil tes menunjukkan adanya indikasi perasaan kecewa terhadap keluarganya. Subjek berusaha mencari sesuatu yang membuat dirinya berada pada zona aman tanpa memikirkan resiko dan konsekuensinya. Subjek terkesan menutupi gambaran mengenai kehidupan keluarganya dibandingkan dengan keluarga lain.

(64)

1. Konsep Diri terhadap Keluarga

Hasil tes konsep diri subjek terhadap keluarga dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga NO ASPEK NO.

14 Ibu saya sangat sayang dengan saya, meskipun

44 Saya kira kebanyakan ibu

menyayngi anaknya

16 Sekiranya ayah saya sudi untuk selalu menengok

42 Kebanyakan keluarga yang

saya kenal, mereka

bahagia

0

57 Waktu saya masih kecil, keluarga saya mendidik saya dengan disiplin dan keras

1

(65)

Sobur, (2003: 518) menyatakan bahwa pada dasarnya konsep diri yang positif pada anak dapat tercipta bila kondisi keluarga menyiratkan adanya integritas dan tenggang rasa yang tinggi antar anggota keluarga. Adanya integritas dan tenggang rasa, serta sikap positif dari orang tua akan menyebabkan anak memandang orang tua sebagai figur yang berhasil, dan menganggap seorang ayah sebagai teman karib atau orang yang dapat dipercaya.

Hasil tes menunjukkan bahwa konsep diri subjek terhadap keluarga adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tes dan data yang diperoleh di lapangan tidak sesuai dengan teori. Subjek menyatakan bahwa Ibunya sangat sayang dan dekat dengannya meskipun jarak diantara mereka cukup jauh. Menurutnya setiap Ibu pasti menyayangi anaknya, Ia suka terhadap Ibunya walaupun kadang-kadang Ibunya cerewet. Dari hasil ini, Subyek tidak mengalami masalah terhadap Ibunya. Hal ini juga terlihat saat proses wawancara mengenai kehidupan keluarga dengan subjek. Subjek tidak menunjukkan adanya masalah dengan ibunya, pernyataan yang keluar lebih menekankan gambaran tentang ayah subyek.

(66)

jelas mengenai latar belakang dari peraturan yang mereka buat. Hal ini yang menyebabkan subjek kabur dari rumahnya dan menginginkan hidup yang bebas dan tidak ada yang mengatur. Hasil tes mengatakan bahwa subjek menginginkan supaya ayahnya menelfon dan memperhatikan dirinya, namun hal itu tidak sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa subjek tidak suka dengan ayahnya. Berbagai pernyataan dan pengalaman negatif diutarakan oleh subjek mengenai ayahnya. Masalah atau gangguan yang muncul disini bukanlah semata-mata dari keluarganya, tetapi dari diri subjek sendiri yang menginginkan hidupnya berjalan sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa aturan dari orangtua atau keluarga. Hal ini ditunjukkan pada hasil wawancara peneliti dengan subjek:

Subjek : “Sebenarnya pola didiknya benar, aku tidak menyalahkan mereka. itu benar… tapi orang tua itu tidak pernah menemukan jiwa anaknya gitu lho.. jadi apa yang keluarga ajarkan selama ini itu benar, Cuma ga cocok aja sama hati aku. Ya meskipun keluargaku dari orang-orang yang beragama, tapi aku tuh ga pingin jadi orang pintar agama. Aku malah pingin hidup yang agak ekstreme.”

(CAtKK)

(67)

asal anaknya bahagia. Hal ini menyebabkan kontrol diri yang kurang baik dari subjek. Walaupun subjek merasa nyaman, namun tipe pola asuh ini tidak baik bagi konsep diri subjek. (Sobur, 2010) menyatakan bahwa kondisi dan suasana keluarga yang bermacam-macam dengan sendirinya turut menentukan bagaimana dan sampai dimana proses belajar dialami dan dicapai oleh anak-anak.

Dengan tipe pola asuh seperti demikian, akan muncul kemungkinan subjek memiliki pengalaman dan konsep diri yang negatif, karena subjek akan berbuat semaunya tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap hidupnya. Subjek berpikir bahwa apa yang Ia lakukan semuanya benar walaupun yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. 2. Konsep Diri terhadap Seks

Hasil tes konsep diri subjek terhadap seks dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Seks NO ASPEK NO.

10 Saya gambarkan sebagai

seorang perempuan yang sempurna, orang yang yang mengasihi saya

0 2

25 Saya kira kebanyakan anak

perempuan menyepelekan saya

1

40 Saya percaya kebanyakan

perempuan suka

11 Bila saya melihat seorang perempuan dan laki-laki

(68)

p

26 Perasaan saya mengenai

kehidupan perkawinan

56 Kehidupan seksual saya,

normal saja.

0

JUMLAH 2

Berdasarkan pengalaman, seseorang mengetahui bahwa dunia kognitif memainkan peran dalam seksualitas individu, (Kelly dalam King, 2010). Hasil tes menunjukkan bahwa konsep diri subjek terhadap seks adalah positif. Hasil tes sangat sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan. Pandangan subjek terhadap lawan jenisnya memang seperti pada lazimnya seorang pria menilai wanita. Walaupun subjek memiliki pengalaman yang negatif dengan perempuan, namun subjek mengorientasikan kehidupan seksualnya dengan lawan jenisnya yaitu perempuan. Subyek menyatakan bahwa kebanyakan perempuan menyepelekan dirinya, suka membicarakan orang lain, dan perempuan itu cerewet juga manja. Hal ini juga didukung dari pengalaman subjek yang sebagian besar tidak baik dengan perempuan. Subjek sering disepelekan oleh perempuan karena Ia adalah anak asuh dari seorang waria dan belum memiliki pekerjaan tetap.

(69)

mengorientasikan seksualitasnya secara wajar. Hal ini disebabkan karena Subjek tinggal bersama waria yang merupakan orangtua asuhnya. Subjek mengalami kecemasan akan persepsi orang yang mengira bahwa dirinya memiliki kelainan pada seksualitasnya, yaitu menyukai sesama jenis. Jika subjek sedang memiliki uang yang banyak, subjek habiskan untuk bersenang-senang dengan “perempuan bayaran”. Hal ini diyakini karena Ia ingin menunjukkan bahwa subjek adalah laki-laki yang normal.

Orientasi seksual seseorang terhadap sesama jenis, heteroseksual, atau biseksual, sangat mungkin ditentukan oleh kombinasi faktor genetis, hormone, dan lingkungan (Baldwin & Baldwin, dalam Sobur 2010). Pada dasarnya kehidupan seksual Fauzi tidak akan lepas dari faktor-faktor budaya yang dimiliki saat ini. Lingkungan tempat Fauzi tinggal saat ini adalah lingkungan yang sebagian besar kelompoknya mengorientasikan seksualnya kepada sesama jenis. Namun dalam hal ini, Fauzi masih meyakini dirinya bahwa Ia masih normal dan tidak terpengaruh oleh budaya yang ada di dalam kelompok tempat tinggalnya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan seksual subjek tidak dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Anda tidak sadar bahwa anda adalah bagian yang terpisahkan dari lingkungan anda (Caplan dalam Sobur, 2010: 513). Pernyataan tersebut terlihat dari hasil wawancara berikut ini :

Subjek : “Tapi setelah aku pikir-pikir, ah aku normal kok…! Aku pas hidup di jalanan juga punya pacar.”

Peneliti : “Cewek kan ?”

(70)

Dari hasil wawancara dan jawaban subjek di atas, menunjukkan bahwa subjek mengorientasikan seksualnya pada lawan jenis. Subjek tidak terpengaruh oleh lingkungannya yang sebagian besar menyukai sesama jenis.

3. Konsep Diri terhadap Hubungan Interpersonal

Hasil tes konsep diri terhadap hubungan interpersonal dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Hubungan Interpersonal

23 Saya tidak senang kepada

orang yang sombong

0

38 Orang-orang yang paling

saya sukai, orang yang menyayangi saya.

0

53 Bila saya tidak ada, teman-teman saya merindukan

6 Orang-orang di atas saya cenderung menganggap saya sepele.

2 3

21 Di sekolah guru-guru saya memperhatikan saya.

0

36 Bila saya melihat atasan saya datang, menunjukkan kesungguhan kinerja saya

1

51 Orang-orang yang saya

(71)

yang harus diawasi

tersebut.

19 Bila orang kerja untuk saya, saya akan belajar menghargainya.

0

34 Orang-orang yang bekerja

untuk saya tulus mengasihi

28 Teman-teman sekerja saya

adalah anak-anak kampong yang polos

0

43 Saya senang bekerja

dengan orang yang jujur.

0

58 Orang yang bekerja

dengan saya biasanya cocok

1

JUMLAH 5

(72)

menjalin relasi dengan orang lain dan tidak bisa fleksibel. Lain dengan kelompok yang membuat diri subjek merasa aman dan nyaman. Subjek memiliki perasaan yang dekat dengan teman-temannya, Ia menyatakan bahwa teman-temannya pasti merindukan dirinya, hal ini menunjukkan bahwa pengalaman subyek dengan teman-temannya positif.

Ketika seseorang bertemu dengan orang lain, seseorang tersebut mempersepsikan berbagai isyarat sosial yang memungkinkan individu membuat suatu kesan mengenai orang tersebut (King, 2010). Dalam hal ini subjek masih memiliki pikiran yang negatif tentang bagaimana orang lain memandang dirinya. Hasil tes menunjukkan bahwa subjek merasa orang lain selalu menyepelekan dirinya. Hal ini disebabkan karena status subjek yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan merupakan anak asuh seorang waria. Menurut hasil wawancara, dalam kehidupan sehari-hari subjek merasa minder ketika harus bertemu dengan masyarakat yang melihat subjek berjalan dengan Yuli. Hasil tes juga berkali-kali menunjukkan bahwa subyek memiliki harapan bahwa orang-orang yang ada di sekitar memberikan ketulusan dan kasih sayang terhadap diri subjek. Hal ini menunjukkan adanya pengalaman dari diri subjek terhadap orang lain yang tidak mengasihinya.

(73)

asing, subjek akan memunculkan pikiran yang negatif dan secara tidak disadari subjek memiliki konsep diri yang negatif terhadap dirinya sendiri. Semakin banyak kelompok yang menganggap diri kita positif, semakin positif pula konsep diri kita (Sobur, 2003; 521).

4. Konsep Diri terhadap Kondisi Diri

Hasil tes konsep diri subjek terhadap kondisi diri dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Kondisi Diri NO ASPEK NO.

30 Kesalahan saya yang

Gambar

Tabel 1. Panduan Wawancara Terstruktur …….…………………………………………...    25
Tabel 1. Panduan Wawancara Terstruktur
Tabel 2. Agenda Pertemuan Peneliti dengan Subjek
Tabel 3. Hasil Tes Konsep Diri Subjek terhadap Keluarga
+5

Referensi

Dokumen terkait

Potensi pendanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya pada APBD Kabupaten Klungkung dan. Provinsi lima tahun terakhir menunjukan fluktuasi perkembangan baik

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Dari segi $linis gambaran sen#ral dari me#abolisme $arbohidra# dapa# disimpul$an dalam is#ilah sederhana. i$a seorang wani#a men3adi hamil ma$a ia membu#uh$an lebih ban+a$

Anak dengan pencernaan sehat umumnya akan memiliki tumbuh kembang yang optimal karena zat-zat gizi yang diperoleh dari makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat dicerna dan

Dari hasil analisis yang disajikan pada tabel 3, dapat diketahui bahwa perlakuan hormon giberelin dan perlakuan pemberian air leri berpengaruh nyata, dimana pemberian

Adapun upaya dalam mengatasi kendala dam penggunaan SAP yaitu: (1) pengguna harus yang professional dan lebih teliti dalam mengelola arsip yang akan di entry pada SAP

Data Flow Diagram atau yang sering disebut Bubble Chart atau diagram menurut Budiharto (2006:1), model proses, digram alur kerja atau model fungsi adalah alat pembuatan model