KARYA TULIS ILMIAH
ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH
KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS
PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
ICHWAN PUTRA WIJAYA
20120310245
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i
KARYA TULIS ILMIAH
ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH
KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS
PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh
ICHWAN PUTRA WIJAYA
20120310245
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii
HALAMAN PENGESAHAN KTI
ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH
KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS
PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA
Disusun oleh :
ICHWAN PUTRA WIJAYA 20120310245
Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 11 Mei 2016
Dosen Pembimbing Dosen Penguji
dr.H.Imam Masduki,Sp.M.,MS.c dr.Nur Shani Meida,Sp.M., M.Kes NIK : 17303
Mengetahui,
Kaprodi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama : Ichwan Putra Wijaya
NIM : 20120310245
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, 03 Mei 2016 Yang membuat pernyataan,
iv
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul “Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak Dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta”. Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh derajat Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. dr. H. Ardi Pramono, M.Kes., Sp. An., selaku dekan prodi Pendidikan Dokter FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. dr. H. Imam Masduki,Sp.M., MS.c selaku pembimbing Karya Tulis Ilmiah yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.
3. dr. Nur Shani Meida, Sp.M., M.Kes. selaku Penguji Karya Tulis Ilmiah yang berkenan membimbing dan membantu penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
v
5.Ayah dan Ibu yang telah mencurahkan kasih sayang yang tiada henti bagi penulis.
6.Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam selesainya penulisan Karya Tulis Ilmiah ini.
Semoga pengalaman dalam membuat Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
Yogyakarta, 03 Mei 2016 Penulis
vi
Daftar Isi
KARYA TULIS ILMIAH ...i
HALAMAN PENGESAHAN KTI ……….ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN………..iii
KATA PENGANTAR ………...iv
C. Tujuan Penelitian ………4
D. Manfaat Penelitian ………..4
E. Keaslian Penelitian ………...4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………....7
A. Tinjauan Pustaka ………....7
1. Lensa Kristalina ……….7
2. Katarak ………...9
3. Teknik Bedah Katarak ………...…...11
4. Fakoemulsifikasi ………...12
5. Komplikasi Bedah Katarak ………...14
vii
C. Hipotesis ………...……18
BAB III METODE PENELITIAN ………...……19
A Desain Penelitian ………...…………...19
B. Populasi dan Sampel Penelitian ………19
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ………21
D. Variabel Penelitian ………21
E. Definisi Operasional ………...…..22
F. Instrumen Penelitian ………...…………..22
G. Cara Pengumpulan Data ………...22
H. Analisis Data ……….24
I. Etika Penelitian ……….25
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..27
A. Hasil Penelitian ……….27
B. Pembahasan ………..30
C. Kekuatan Penelitian ………..32
D. Keterbatasan Penelitian ………32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...34
A. Kesimpulan ………...34
B. Saran ……….34
DAFTAR PUSTAKA ………...36
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
1. Skema Kerangka Konsep………...17
x
DAFTAR SINGKATAN
CME - Cystoid Macular Edema (hal 4, 13, 16, 27, 31, 32) ECCE – Extra Capsular Cataract Extraction (hal 4, 11) EKEK – Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (hal 6)
MSICS – Manual Small Incision Cataract Surgery (hal 5, 11, 12) NEI – National Eye Institutes (hal 14)
OCT – Optical Koherence Tomography (hal 4)
PKU – Pelayanan Kesehatan Umat (hal Xii, Xiii, 3, 19, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 32, 34)
SICS – Small Incision Cataract Surgery (hal 5) SMK – Sindroma Mata Kering (hal 5)
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
INTISARI
Latar belakang: Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata.Tujuan: Untuk mengetahui komplikasi yang paling sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Metode: Restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta pada periode Juni 2013 – Juni 2014. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif yang merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variable. Hasil: Lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya. Kesimpulan: bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi.
xiii
ABSTRACT
Background : Cataract is the main caused of blindness and visual impairment in this world, therefore cataract surgery become the best solution that usually done by oculist Aim : To find out the most common complications that appear post-cataract surgery with phacoemulsification technique Method : Retrospective analytic view medical records of patients who undergo the cataract surgery with phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital in the period of june 2013-june 2014. Data analysis used descriptive analysis that is statistical procedure to test the generalizability of research result based on one variable. Result : There are more female patients (56,5%) than male patients (43,5%). Found complication of Macular Edema Cistoid in one patient (1,1%) of the total 92 medical records and not found another complication. Conclusion : Cataract surgery using phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital produce post-cataract surgery complication rate of 1,1% of all patients in surgery.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari
jumlah penduduk dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di
Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab
utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah
sekira 240 ribu penderita katarak baru. Menurut data survei kesehatan rumah
tangga kesehatan nasional (SKTR-SUSKERNAS), prevalensi katarak di
Indonesia sebesar 4,99%, prevalensi katarak di Jawa dan Bali sebesar 5,48% lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2009;
Kementerian Kesehatan RI, 2005).
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan
di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang
paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu
kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun
revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan
paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi
penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas
2
(Purba dkk., 2010; Ilyas, 2004).
Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi
penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang
minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita
(Soekardi dan Hutauruk, 2004). Banyak teknik untuk melakukan bedah katarak
tetapi yang paling sering dilakukan saat ini adalah fakoemulsifikasi. Tidak semua
bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor yang mempengaruhinya termasuk
komplikasi pembedahan. Terdapat 20 pasien dari 396 kasus bedah (5%) yang
menglami komplikasi pasca bedah fakoemulsifikasi (Richard dkk,1998).
Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang
lingkupnya (Henderson dkk., 2007; Purba dkk., 2010). Komplikasi dapat terjadi
pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek
kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema
kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra
okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan
tekanan intra okular dan posterior capsular opacification (American Academy of
Ophthalmology , 2011-2012c).
Kendala yang terjadi dalam penanganan kesehatan mata antara lain belum
memadainya jumlah tenaga kesehatan terkait dibanding jumlah penduduk, belum
meratanya distribusi tenaga kesehatan terkait (70 persen dokter mata berada di
kota besar, terutama di Jawa), terbatasnya puskesmas (hanya 28 persen) yang
3
penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan dari pusat maupun daerah.
(Gizi.net, 2010)
Terdapat ayat pada Al Quran yang membahas tentang penglihatan yaitu :
Artinya : “Alangkah tajam pendengaran mereka dan alangkah terang
penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada kami. Tetapi orang-orang
yang zalim pada hari ini (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata” (QS
Maryam ayat 38).
Pembahasan : manusia banyak yang terlena oleh dunia, padahal dunia beserta
isinya akan ditinggalkan penghuninya dan akan diwarisi oleh Allah, lalu mereka
dikembalikan kepada-Nya untuk diberikan balasan. Oleh karena itu, barang siapa
yang mengerjakan kebaikan, maka pujilah Allah, dan barang siapa yang
mengerjakan selain itu, maka janganlah ada yang ia cela selain dirinya. Maka dari
itu kita harus merawat mata dan menggunakannya untuk melihat hal hal yang
positif.
B. Rumusan Masalah
Apa saja dan berapa angka kejadian komplikasi yang terjadi pasca bedah
katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1
4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui komplikasi yang
ada paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.
2. Tujuan Khusus :
Untuk mengetahui komplikasi yang paling sering muncul paska bedah
katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pasien atau masyarakat dan umum
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang
komplikasi yang ada dan tersering setelah dilakukan bedah katarak dengan teknik
fakoemulsifikasi.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat menjadi referensi atau data untuk penelitian yang lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian
1. Insiden Cystoid Macular Edema Pasca Bedah Katarak Teknik
Fakoemulsifikasi Lebih Rendah Secara Klinis Daripada Teknik Manual
Small Insicion Cataract Surgery , oleh Mia Purnama, Tesis Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana, 2014. Untuk mengetahui perbedaan insiden
CME menggunakan OCT pada pasien pasca bedah katarak dengan teknik
fakoemulsifikasi dan pasien pasca bedah katarak dengan teknik MSICS.
5
trial untuk mengetahui perbedaan insiden cystoid macular edema (CME)
pada pasien pasca bedah katarak teknik fakoemulsifikasi dan pada pasien
pasca bedah katarak teknik manual small incision cataract surgery (MSICS).
Hasil penelitian diperoleh insiden cystoid macular edema (CME) pada pasien
katarak senilis yang dilakukan ektraksi katarak dengan teknik
fakoemulsifikasi lebih rendah secara klinis daripada teknik MSICS.
2. Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma
Mata Kering, oleh Retnaniadi S dan Herwindo Dicky P, Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 27 No. 1, Februari 2012. Untuk mengetahui hubungan jenis
insisi pada operasi katarak terhadap terjadinya sindroma mata kering (SMK).
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional pada 36 sampel
yang dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan jenis insisi pada operasi
katarak, yaitu kelompok Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE),
kelompok Small Incision Cataract Surgery (SICS), dan kelompok
fakoemulsifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok ECCE
paling banyak menyebabkan SMK, kelompok Fakoemulsifikasi lebih sedikit
dari kelompok ECCE, dan kelompok SICS paling sedikit menyebabkan SMK.
3. Pengaruh Operasi Katarak Insisi Lebar Terhadap Sensibilitas Kornea dan
Kejadian Dry Eye, oleh Paramastri Arintawati, Norma D.Handojo, Siti
Sundari Suteja, Medical Hospitalia, Vol 1 (2):103-107 2012. Penelitian ini
6
penderita pasca operasi katarak dan hubungannya dengan kejadia dry eye.
Penelitian ini dilakukan dengan metode quasi experiment, one group pre-post
test design. Hasil penelitian ini terdapat penurunan sensibilitas kornea yang
bermakna pada penderita pasca operasi EKEK namun tidak berhubungan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Tinjauan Pustaka
1. LENSA KRISTALINA
ANATOMI
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan
transparan. Tebal sekitar 4 mm dan diameternya 10 mm. Dibelakang iris lensa
digantung oleh zonula ( zonula Zinnii) yang menghubungkannya dengan korpus
siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aquaeus dan disebelah posterior
terdapat vitreus. Lensa terdiri dari enam puluh lima persen air, 35% protein, dan
sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan
kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat
dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat
nyeri, pembuluh darah ataupun saraf di lensa. ( American Academy of
Opthalmology. 2005-2006)
Kapsul Lensa
Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang dapat dilewati air
8
lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat
lamelar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang
elastic.
FISIOLOGI LENSA
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot- otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa
sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga berkas
cahaya paralel atau terfokus ke retina. Untuk memfokuskan cahaya dari benda
dekat, otot siliaris berkontraksi sehingga tegangan zonula berkurang. Kapsul lensa
yang elastik kemudian mempengaruhi lensa menjadi lebih sferis diiringi oleh
peningkatan daya biasnya. Kerjasama fisiologik tersebut antara korpus siliaris,
zonula, dan lensa untuk memfokuskan benda dekat ke retina dikenal sebagai
akomodasi. Seiring dengan pertambahan usia, kemampuan refraksi lensa
perlahan-lahan berkurang.
Metabolisme Lensa Normal
Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation
(sodium dan kalium). Kedua kation berasal dari humour aqueous dan vitreous.
Kadar kalium di bagian anterior lensa lebih tinggi di bandingkan posterior. Dan
kadar natrium di bagian posterior lebih besar. Ion K bergerak ke bagian posterior
dan keluar ke aqueous humour, dari luar Ion Na masuk secara difusi dan bergerak
Na-9
K ATPase, sedangkan kadar kalsium tetap dipertahankan di dalam oleh
Ca-ATPase. Metabolisme lensa melalui glikolsis anaerob (95%) dan HMP-shunt
(5%). Jalur HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak dan
ribose, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldose
reduktse adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol
dirubah menjadi fructose oleh enzim sorbitol dehidrogenase. (Diah dkk, 2011)
2. KATARAK
Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa,
disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi (Sihota
dan Tandan, 2007). Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa
menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan
itu terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada
berbagai usia tertentu. Katarak dapat dapat terjadi pada saat perkembangan serat
lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi
(Ilyas, 2006).
Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi menjadi
katarak kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis (Ilyas, 2004). Katarak
senilis merupakan jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak
senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy
of Ophthalmology, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang
terjadi karena proses degenerasi dan biasanya mulai timbul pada usia diatas 40
10
senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium insipien, stadium imatur, stadium
matur dan stadium hipermatur (Ilyas, 2004).
Pada stadium dini pembentukan katarak, protein dalam serabut-serabut
lensa dibawah kapsul mengalami denaturasi. Lebih lanjut, protein tadi
berkoagulasi membentuk daerah keruh menggantikan serabut-serabut protein
lensa yang dalam keadaan normal seharusnya transparan
Bila suatu katarak telah menghalangi cahaya dengan hebat sehingga
mengganggu penglihatan , keadaan itu dapat diperbaiki dengan cara mengangkat
lensa melalui operasi. Bila ini dilakukan, mata kehilangan sebagian besar daya
biasnya, dan harus digantikan dengan lensa konveks yang kuat didalam mata,
namun biasanya ditanam sebuah lensa plastic buatan di dalam mata pada tempat
lensa dikeluarkan (Guyton & Hall edisi 11)
Klasifikasi Katarak
Menurut Ilyas (2006), katarak dapat diklasifikasikan ke dalam golongan
sebagai berikut yaitu : a) katarak perkembangannya (developmental) dan
degenerative, b) katarak kongenital, juvenile dan senil, c) katarak komplikata, d)
katarak traumatik.
Penyebab terjadinya kekeruhan lensa dapat digolongkan sebagai berikut
yaitu : a) Primer, berdasarkan gangguan perkembangan dan metabolism dasar
lensa, b) Sekunder, akibat tindakan pembedahan lensa, c) Komplikasi penyakit.
11
berikut yaitu: a) Katarak Kongenital yaitu katarak yang terlihat pada usia dibawah
1 tahun, b) Juvenil yaitu katarak yang terlihat pada usia 1 tahun dan dibawah usia
40 tahun, c) Katarak Persenil yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun, d) Katarak
Senil yaitu katarak yang mulai terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
3. TEKNIK BEDAH KATARAK
a. Fakoemulsifikasi
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan
kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat
(foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem
fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang
mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi
yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of
Ophthalmology , 2011-2012c).
b.Manual Small Incision Cataract Surgery
Manual Small incision cataract surgery (MSICS) merupakan teknik
alternatif dari fakoemulsifikasi. Teknik ini memberikan keuntungan dalam
pengaturan, medis, sosial ekonomi, biaya dan tidak bergantung pada mesin.
Aspek-aspek ini yang memungkinkan teknik ini dilakukan di beberapa negara
berkembang. MSICS merupakan bagian dari teknik ECCE, namun MSICS
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan ECCE konvensional diantaranya
stabilitas luka dan stabilitas refraksi yang lebih baik karena insisi luka yang kecil
12
kesempatan terjadinya kolaps bilik mata depan intra operatif yang minimal serta
komplikasi intra operatif lainnya dan minimalnya kunjungan pasca operasi
.MSICS tidak memerlukan investasi alat yang mahal, dan transfer keterampilan
terhadap operator pemula juga dapat dilakukan dengan baik. Hal ini menjadi
pertimbangan penggunaan teknik MSICS sebagai teknik yang aman dan efektif
untuk bedah katarak terutama di negara berkembang (Dhanapal dkk., 2010;
Natchiar, 2000)
4. FAKOEMULSIFIKASI
Operasi fakoemulsifikasi katarak adalah prosedur di mana perangkat
ultrasonik digunakan untuk memecah dan kemudian menghapus lensa keruh dari
mata untuk meningkatkan daya penglihatan. Penyisipan sebuah lensa intraokular
(IOL) biasanya segera di lakukan setelah proses bedah dengan fakoemulsifikasi.
Definisi
Fakoemulsifikasi adalah variasi dari ekstraksi katarak ekstrakapsular, suatu
prosedur dimana lensa dan bagian depan kapsul akan dihapus
(www.surgeryencyclopedia.com)
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan
kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat
(foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem
fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang
mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi
13
Ophthalmology, 2011-2012c). Massa lensa yang sudah dihancurkan akan
diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan
dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi (Soekardi
dan Hutauruk, 2004; Khurana, 2007). Teknologi mesin fakoemulsifikasi saat ini
sudah memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga
insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja (Purba dkk., 2010).
Tujuan
Tujuan dari teknik operasi ini adalah agar penderita katarak dapat
memperoleh tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi dengan cara membuat
sayatan sekecil mungkin untuk mengurangi induksi astigmatisme pasca operasi
(Soekardi dkk, 2004). Prosedur ini efisien, terutama jika operasi yang lancar
umumnya dikaitkan dengan hasil penglihatan yang baik. Seperti insiden CME
pada teknik fakoemulsifikasi yang mengalami komplikasi intra operatif lebih
rendah karena konstruksi insisi luka yang kecil dan stabilitas yang lebih besar
dibandingkan dengan teknik bedah katarak lain (Nishino dkk., 2008). Kelemahan
fakoemulsifikasi diantaranya mesin yang mahal, learning curve lebih lama, dan
biaya pembedahan yang tinggi (Khurana, 2007).
Demografi
Seiring bertambahnya usia, katarak cenderung akan terbentuk. National
Eye Institute (NEI) melaporkan dalam studi 2002 bahwa lebih dari setengah dari
14
katarak. Orang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi terkena katarak.
Peningkatan paparan sinar matahari tanpa pelindung mata juga menjadi penyebab
terjadinya katarak. Katarak juga dapat terjadi karena cedera, paparan racun, atau
penyakit seperti diabetes. Katarak kongenital disebabkan oleh cacat genetik atau
masalah perkembangan, atau paparan beberapa penyakit menular selama
kehamilan.
Menurut NEI, katarak lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria,
dan ras Kaukasia memiliki katarak lebih sering daripada ras lain. Orang-orang
yang tinggal dekat atau di daerah khatulistiwa juga berada pada risiko yang lebih
tinggi untuk terjadi katarak karena peningkatan paparan sinar matahari.
Lebih dari 1,5 juta operasi katarak yang dilakukan di Amerika Serikat
setiap tahun. Hindia melaporkan bahwa pemerintah federal, melalui Medicare,
menghabiskan lebih dari $ 3.400.000.000 setiap tahun mengobati katarak.
(www.surgeryencyclopedia.com)
5. KOMPLIKASI BEDAH KATARAK
Terdapat banyak komplikasi yang bisa terjadi dari operasi katarak dan
komplikasi ini dibagi menjadi :
a. Intraoperation
Selama fakoemulsifikasi, ruangan anterior mungkin akan menjadi
dangkal karena pemasukan yang tidak adekuat dari keseimbangan solution garam
15
bola mata, tekanan positif pada vitreus, perdarahan pada suprachoroidal (Ilyas,
2007)
b. Postoperation
Komplikasi selama postoperative dibagi dalam Early Complication Post
Operation dan Late Complication Post Operation meliputi : a) Hilangnya vitreous
yaitu jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel
vitreous dapat masuk kedalam bilik anterior, yang merupakan resiko terjadinya
glaucoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan
dengan satu instrument yang mengaspirasi dan mengeksisi gel (vitrektomi) (Ilyas,
2007). b) Endoftalmitis yaitu peradangan di bagian dalam mata, termasuk rongga
sentral mata yang berisi cairan vitreus. Peradangan juga mempengaruhi jaringan
sekitarnya yang bertanggung jawab untuk penglihatan. Dalam kebanyakan kasus,
peradangan dipicu oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau parasit.(
http://kamuskesehatan.com/arti/endoftalmitis). c) Ablasio retina. Adalah terpisah
atau terlepasnya retina dari jaringan penyokong dibwahnya. Penyebabnya adalah
retina merupakan selaput transparan di mata bagian belakang yang mengolah
gambar yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio retina bisa
bermula pada suatu area yang kecil, biasanya akibat robekan pada retina. Jika
tidak segera diobati, seluruh retina dapat ikut terlepas. Ketika retina terlepas,
maka retina terpisah dari lapisan yang mensuplai darah ke retina. Jika tidak
dilekatkan kembali, maka dapat terjadi kerusakan menetap pada retina akibat
16
adalah pembentukan ruang kista yang berisi cairan antara lapisan outer plexiform
dan lapisan inner nuclear retina yang dihasilkan dari terganggunya sawar darah
retina pada makula. Efek pada fungsi penglihatan tergantung pada derajat
keparahannya. CME dapat menyebabkan penglihatan kabur atau terganggu
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). e) edema kornea
permanen. Kornea berfungsi sebagai media pembiasan kuat, memberikan
kontribusi bagi kekuatan focus maksimum dari mata. Kornea disimpan transparan
untuk kejelasan visi maksimum dengan memasok oksigen dari air mata dan
pemompaan air dari lapisan endotelium. Ketika ada hidrasi yang berlebihan atau
akumulasi cairan di bagian kornea, maka hal itu menyebabkan pembengkakan
kornea masalah mata yang umum disebut sebagai edema kornea.
Penyebab dan gejala
Disebabkan oleh masalah yang berhubungan dengan dehidrasi, infeksi
virus, gangguan endotel, operasi mata, luka trauma, tekanan okular meningkat,
dan lain-lain. Di antaranya, distrofi Fuch endotel adalah penyebab paling umum
dari edema ini. Ada gangguan herediter, ditandai dengan hilangnya lambat dan
bertahap dari sel endotel. Perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
distrofi endotel dibandingkan pria. Infeksi oleh virus herpes dapat menyebabkan
respon inflamasi pada kornea, yang menyebabkan edema. Edema kornea juga
dapat terjadi segera atau beberapa tahun setelah dilakukan dalam setiap jenis
operasi mata. Ini dapat terjadi karena penurunan lapisan endoteloleh radiasi USG,
17
Gejala awal yang paling menonjol dari edema kornea adalah terdistorsi atau
pandangan kabur, ketidaknyamanan mata, fotofobia (sensitivitas meningkat
terhadap cahaya), dankepekaan terhadap partikel asing. Gejala dapat berkembang
menjadi rasa sakit parah di mata karena kerusakan saraf kornea. Pseudophakic
bulosa keratopati (PBK) yang menghasilkan pembentukan berisi cairan bula atau
lepuh biasanya timbul setelah operasi katarak(www.scribd.com).
6. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini memiliki kerangka konsep sebagai berikut:
Katarak
1. Hilangnya vitreous
2. Endoftalmitis
3. Ablasio retina
4. Edema macular sistoid
5. Edema kornea permanen
Operasi dengan teknik facoemulsifikasi
18
7. Hipotesis
Insiden komplikasi pasca bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah restrospektif
analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak
dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah penderita katarak yang melakukan
operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta unit I pada periode juni 2013 sampai dengan juni 2014.
2. Sampel Penelitian
a. Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien katarak yang dioperasi
menggunakan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I
20
b. Besarnya Sampel
Pada penelitian ini menggunakan sampling jenuh. Pengertian Sampling
Jenuh atau Definisi Sampling Jenuh adalah teknik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan
bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang
ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil.
(http://gerrytri.blogspot.com/2013)
Jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 106 rekam medis dari
jumlah pasien katarak periode Juni 2013 – Juni 2014.
c. Kriteria Sampel
Kriteria sampel pada penelitian ini ada dua macam, yaitu :
1) Kriteria Inklusi
- Pasien katarak senilis yang dioperasi dengan fakoemulsifikasi
- Pasien laki laki atau perempuan
- Berusia >45 tahun
2) Kriteria Eksklusi :
- Tidak datang lagi pada saat evaluasi
- Riwayat diabetes melitus
- Riwayat bedah intraokuler
- Riwayat trauma mata
21
- Riwayat infeksi intraokuler
- Riwayat glaukoma
- Rekam medis yang tidak lengkap
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
unit I.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober
2015.
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah setiap hal dalam suatu penelitian yang datanya
ingin diperoleh (Sukardi, 2005). Terdapat dua variabel pada penelitian ini, yaitu:
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah operasi menggunakan
teknik fakoemulsifikasi.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah komplikasi pasca operasi
22
E. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak dengan insisi luka di
kornea 1,5-3 mm menggunakan mesin fakoemlusifikasi dengan
implantasi LIO akrilik yang dapat dilipat (foldable).
2. Operator adalah dokter spesialis mata yang berpengalaman dalam
bedah katarak.
3. Komplikasi pasca operatif adalah komplikasi yang terjadi setelah
dilakukan operasi termasuk diantaranya hilangnya vitreus,
endoftalmitis, ablasio retina, edema makular sistoid, edema kornea
permanen.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat dan bahan yang digunakan dalam suatu
penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah rekam medis.
G. Cara Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek
dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2003). Pengumpulan data dalam penelitian ini
23
a. Tahap persiapan
Kegiatan dalam tahap persiapan ini adalah telaah masalah, penetapan topik
penelitian, telaah pustaka, penyusunan proposal, penyusunan instrumen
penelitian, dan penyelesaian ijin penelitian. Tahap persiapan ini dilaksanakan
pada bulan Maret sampai bulan April 2015.
b. Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015.
Diawali dengan pemberian surat ijin penelitian kepada pihak rumah sakit yang
akan dijadikan tempat penelitian, dalam hal ini RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Kemudian peneliti melakukan pengambilan data sekunder melalui
rekam medis.
Kriteria ekslusi Pasien Katarak Senilis
Kriteria inklusi
Semua pasien katarak senilis yang di operasi dengan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU MUHAMMADIYAH 1 Yogyakarta
Rekam medis
Sampel penelitian
24
Gambar 1. Rencana Alur Pelaksanaan Penelitian
c. Tahap akhir
Pada tahap akhir, setelah pengumpulan dan pengolahan data selesai
dilakukan, peneliti menyusun laporan penelitian dan kesimpulan dan dilanjutkan
dengan seminar hasil yang akan dilakukan pada bulan Mei tahun 2016.
2. Jenis Data
Data dalam penelitian ini didapatkan dari laporan rekam medik di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I dalam rentang waktu dari Juni 2013-
Juni 2014. Data tersebut menunjukkan jumlah pasien yang mengalami katarak.
H. Analisis Data
Analisa data adalah mengelompokkan data berdasarkan variabel dan
jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden,
menyajikan data dari tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk
menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji
hipotesis. Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian, oleh
karena itu diperlukan uji statistik yang sesuai dengan variabel penelitian
(Sudaryanto, 1993).
Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik untuk menguji
generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variabel. Uji ini
bergantung pada jenis data (nominal-ordinal-interval/rasio). Jenis teknik statistik
yang digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif harus sesuai dengan jenis data
25
berisikan jenis variabel dan teknik statistik yang dapat dan sering dipakai dalam
analisis komparasi (Hasan, 2002).
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etik,
diantaranya :
1. Informed consent (lembar persetujuan), diberikan pihak rumah sakit
yang sebelumnya telah dijelaskan terlebih dahulu tentang jalannya
penelitian .
2. Anonimity (kerahasiaan identitas), kerahasiaan identitas pasien pada
rekam medis dijaga oleh peneliti dan hanya digunakan semata-mata
untuk kepentingan penelitian.
3. Confidentiality (kerahasiaan informasi), kerahasiaan informasi pasien
dijamin peneliti hanya kelompok data yang valid yang akan dilaporkan
sebagai hasil penelitian.
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Mei sampai bulan Agustus 2015 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit 1 yang terletak di pusat kota Yogyakarta.
2. Prosedur Operatif
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American Academy of Ophthalmology Staff ).
27
(Chakrabarti A, 2000).
Penatalaksanaan Pascaoperatif sebaiknya dilakukan follow up rutin dan ketat untuk mengetahui terjadinya komplikasi berupa cystoid macular edema (CME), progresifitas retinopati diabetik pada penyulit diabetes mellitus, inflamasi dan glaukoma sekunder. Dapat diberikan steroid topikal, NSAID dan sikloplegik. Komplikasi pasca operasi dapat terjadi awal atau lebih lambat. Pada minggu-minggu awal waspada terjadinya blefaroptosis, edema kornea sedang sampai berat, peningkatan tekanan intraokular, kebocoran luka insisi, iritis ataupun endoftalmitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang dapat terjadi pseudophakic bullous keratopathy, iritis kronis, neovaskularisasi iris, posterior capsular opacification
(PCO), edema makula persisten, retinal detachment dan pedarahan vitreus (Chakrabarti A, 2000).
1. Karakteristik responden
Penelitian dilakukan dengan cara melihat data sekunder pasien berupa rekam medis pasien katarak yang di operasi menggunakan fakoemulsifikasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Semua pasien melakukan rawat jalan.
28
Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin
Pada table 1. diatas menunjukan bahwa penderita katarak yang datang ke RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada periode tersebut berjumlah 106 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi berjumlah 92 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Sedangkan daftar riwayat penyakit dan riwayat bedah dapat dilihat di table berikut:
Table 2. Riwayat bedah dan penyakit yang ditemukan
Riwayat Bedah dan Penyakit Jumlah
Diabetes Melitus 12
Bedah Intraokuler 1
Trauma Mata 0
Penyakit Pada Retina 0
Infeksi Intraokuler 0
Glaukoma 1
Total 14
Jenis Kelamin Jumlah Presentase
Laki laki 40 43,5 %
Perempuan 52 56,5%
29
Terlihat pada table 2 terdapat beberapa jenis riwayat penyakit maupun bedah yang termasuk dalam kriteria ekslusi. Diabetes Melitus merupakan riwayat penyakit yang paling banyak berjumlah 12 pasien dan ditemukan riwayat glaucoma dan riwayat bedah introkuler yang masing masing berjumlah 1 pasien. Sedangkan daftar komplikasi yang dimaksud dapat dilihat di table berikut beserta presentase terjadinya pasca bedah :
Table 3. Daftar komplikasi dan presentase terjadinya.
Komplikasi Jumlah Presentase
Hilangnya Vitreous 0 0
Endoftalmitis 0 0
Ablasio Retina 0 0
Edema Macular Sistoid 1 1,1%
Edema Kornea Permanen 0 0
TOTAL: 92 1 1,1%
Pada table 3. terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya.
B. Pembahasan
30
Hanya CME yang terjadi di karenakan Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar (Akcay dkk.2012). Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah pembedahan (Lobo, 2011; Mentes dkk., 2003).
Insiden CME klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa faktor seperti prosedur pembedahan, komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien
pasca fakoemulsifikasi (Ray & D’amico, 2002; Norregaard dkk., 1999). Insiden CME klinis pada Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2% (Mentes dkk., 2003). Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi 1% (Norregaard dkk, 1999). Angka kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar 0,1-2,35%. (Loewenstein & Zur, 2010)
31
meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien tidak mendapatkan penglihatan yang optimal (Reddy & Kim, 2011; Lu dkk., 2012).
C. Kekuatan Penelitian
Pada penelitian Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU MUHAMMADIYAH 1 Yogyakarta memiliki hasil yang sama dari penelitian sebelumnya yang menunjukan hasil yang memuaskan yaitu angka kejadian komplikasi kurang dari 5%.
D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Rekam medis yang di gunakan untuk penelitian kali ini adalah rekam medis yang berada pada era sebelum BPJS sehingga data yang didapat terbatas.
2. Pada penelitian ini, tidak diteliti gaya hidup pasien seperti pola makan, olah raga dan konsumsi rokok yang mungkin saja dapat berpengaruh terhadap komplikasi katarak.
32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.
B. Saran
Sesuai dengan hasil dan pembahasan penelitian “Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta”, maka peneliti menyarankan beberapa hal, diantaranya yaitu :
1. Klinisi dan masyarakat umum
Perlu di pertimbangkan untuk menggunakan teknik fakoemulsifikasi dalam setiap bedah katarak yang memiliki angka komplikasi pasca bedah yang sangat rendah.
2. Peneliti selanjutnya
33
DAFTAR PUSTAKA
Akcay B.I.S., Bozkurt T.K., Guney E., Unlu C., Erdogan G., Akcali G. dan Bayramlar H. 2012. Quantitative analysis of macular thickness following uneventful and complicated cataract surgery. Clinical Ophthalmology, 6: 1507-1511
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 79-81
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Retina and Vitreous.
United State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 167- 169 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012c. Lens and Cataract. United
State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 193- 195
Benitah N.R. dan Arroyo J.G. 2010. Pseudophakic cystoid macular edema. Int Ophthalmol Clin, 50: 139-153
Bobrow JC. Lens and Cataract. American Academy of Opthalmology. Section 11. Edition 2005-2006. San Francisco, USA. p. 19-23, 5-10, 91-105, 199 – 204. Chakrabarati A. (2000). Phacoemulsification in eye with white cataract. J Cataract
Refract Surg
Definisi ablasio retina di unduh dari
http://medicastore.com/penyakit/984/Ablasio_Retina.html (24 April 2015) Definisi dari sampel jenuh diunduh dari
http://gerrytri.blogspot.com/2013/06/teknik-pengambilan-sampel-dalam.html (12 April 2015)
Definisi dan demografi Fakoemulsifikasi diunduh dari
http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Phacoemulsification-for-Cataracts.html (23 maret 2015)
Definisi edema kornea diunduh dari https://www.scribd.com/doc/86625295/Edema-Kornea (24 April 2015)
Definisi endoftalmitis diunduh dari http://kamuskesehatan.com/arti/endoftalmitis/ (24 April 2015)
Departemen Kesehatan RI. (2009). Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta Dhanapal P. dan Yadalla D. 2010. Eyenet Magazine, how to perform manual small
Diah. M.,&Fitriah, H (2011, Oktober). Katarak junevil. INSPIRASI no XIV, 38-48 Guyton, A.C., & Hall, J.E., (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC:
Jakarta
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Gralia Indonesia.
Henderson B.A., Kim J.Y., Ament C.S., Ponce Z.K.F., Grabowska A. Dan Cremers S.L. (2007). Clinical pseudophakic cystoid macular edema: Risk factors for development and duration after treatment. J Cataract Refract Surg, 33 :1550-1558
Ilyas S. Penuntun ilmu penyakit mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.2006
Ilyas, S. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.200-11
Ilyas S. 2004. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. p.205-8 Khurana A.K. 2007. Comprehensive Ophthalmologi. Fourth edition. New Delhi: New Age International. p. 89-202
Kementerian Kesehatan RI. (2005). Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Untuk Mencapai Vision 2020. Keputusan Menteri Kesehatan. Jakarta
Kwon S.I., Hwang D.J., Seo J.Y. dan Park I.W. 2011. Evaluation of Changes of Macular Thickness in Diabetic Retinopathy after Cataract Surgery. Korean J Ophthalmol, 25(4): 238-242
Lobo C.L. (2011). Pseudophakic Cystoid Macular Edema. Ophthalmologica, 10:1-7
Loewenstein A. · Zur D. Coscas G (ed). 2010. Macular Edema. Dev Ophthalmol. Basel, Karger, vol 47, pp 148–159
Lu Z., Xin Q.Y., Ming L.M. dan Ling W.Y. 2012. Quantitative evaluation by optical coherence tomography of prophylactic efficiency of Praponulin on macular edema after cataract surgery. Chinese medical Journal, 125: 4523- 4525
Mentes J., Erakgun T. dan Afrashi F, Kerci G. 2003. Incidence of cystoid macular edema after uncomplicated phacoemulsification. Ophthalmologica, 217:408-412 Natchiar G. 2000. Manual Small Incision Cataract Surgery: an alternative technique
NN. 11 Klasifikasi Katarak diunduh dari http://www.news-medical.net/health/Cataract (23 maret 2015)
Norregaard J.C., Bernth P. dan Bellan L. 1999. Intraoperative clinical practice and risk of early complications after cataract extraction in the United states, Canada, Denmark, and Spain. Ophthalmology, 4: 42-48
Paramastri A., Norma D.H., Siti S.S,. (2012). Pengaruh Operasi Katarak Insisi Lebar terhadap Sensibilitas Kornea dan Kejadian Dry Eye. Medical Hospitalia vol 1 (2) :103-107
Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M. 2010.
A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51
Purnama, Mia (2014). Insiden Cystoid Macular Edema Pasca Bedah Katarak Teknik Fakoemulsifikasi Lebih Rendah Secara Klinis Daripada Teknik Manual Small Insicion Cataract. Tesis strata dua, Universitas Udayana, Denpasar
Ray S. dan D’Amico D.J. 2002. Pseudophakic cystoid macular edema. Semin Ophthalmol, 17: 167-80
Reddy R. dan Kim S.J. 2011. Critical appraisal of ophthalmic ketorolac in treatment of pain and inflammation following cataract surgery. Clinical Ophthalmology 5: 751-758
Retnaniadi, S., & Herwindo D.P. (2012, Februari). Pengaruh Jenis Insisi pada Operasi Katarak terhadap Terjadinya Sindroma Mata Kering. Jurnal Kedokteran Brawijaya,34-37
Reza. dalam http//pencegahan_katarak_sedinimungkin/Gizi.net. Diakses tanggal 24/3/2015
Richard.P., Corey., Randall.J., Olson.MD, (1998,January). Surgical outcomes of cataract extraction performed by residents using phacoemulsification. Journal of Cataract & Refractive Surgery,vol 24 p 66-72
Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-69
Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi, Langkah- langkah menguasai teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta.
Kelompok Yayasan Obor Indonesia. P1-7
Lampiran 1. Tema dan Kesimpulan KTI
JUDUL KTI: ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA BEDAH KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI RS PKU MUHAMMADIYAH 1 YOGYAKARTA
NAMA : Ichwan Putra Wijaya
NIM : 20120310245
DOSEN PEMBIMBING : dr.H.Imam Masduki,Sp.M.,MS.c
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.
Yogyakarta, Mei 2016 Mengetahui,
Dosen Pembimbing Penulis
The Incident of Postoperation Complication with Phacoemulsification at PKU Muhammadiyah
Yogyakarta 1
Angka Kejadian Komplikasi Pasca Bedah Katarak dengan Teknik Fakoemulsifikasi di RS
PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta
Ichwan Putra Wijaya*, Imam Masduki **
Intisari
Latar belakang : Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling
banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Tujuan : Untuk mengetahui komplikasi yang paling
sering muncul paska bedah katarak dengan teknik fakoemulsifikasi. Metode : Restrospektif analitik dengan melihat rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak dengan fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta pada periode Juni 2013 – Juni 2014. Analisis data yang digunakan analisis deskriptif yang merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variable. Hasil : Lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Terlihat adanya komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya. Kesimpulan: bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi.
Kata kunci : katarak, facoemulsifikasi, komplikasi pasca bedah
Abstract
Background : Cataract is the main caused of blindness and visual impairment in this
world, therefore cataract surgery become the best solution that usually done by oculist. Aim : To find out the most common complications that appear post-cataract surgery with phacoemulsification technique Method : Retrospective analytic view medical records of patients who undergo the cataract surgery with phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital in the period of june 2013-june 2014. Data analysis used descriptive analysis that is statistical procedure to test the generalizability of research result based on one variable. Result : There are more female patients (56,5%) than male patients (43,5%). Found complication of Macular Edema Cistoid in one patient (1,1%) of the total 92 medical records and not found another complication. Conclusion : Cataract surgery using phacoemulsification technique in PKU Muhammadiyah unit 1 Yogyakarta hospital produce post-cataract surgery complication rate of 1,1% of all patients in surgery.
Key words : Cataract, Phacoemulsification, Post-cataract surgery complication
*Mahasiswa Prodi Pendidikan Dokter - Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2
Pendahuluan
Angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah
penduduk dibandingkan dengan angka
kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. 5 10
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan
perkembangan ilmu kedokteran dan
teknologi, maka terjadi pula perubahan yang
evolutif maupun revolusioner dalam
pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan
perubahan paradigma oftalmologi dari
rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi
fungsi penglihatan. Optimalisasi fungsi
penglihatan akan meningkatkan kualitas kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari. 8 17
Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita.21
Banyak teknik untuk melakukan bedah katarak tetapi yang paling sering dilakukan saat ini adalah fakoemulsifikasi. Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan,
banyak faktor yang mempengaruhinya
termasuk komplikasi pembedahan. Terdapat 20 pasien dari 396 kasus bedah (5%) yang
menglami komplikasi pasca bedah
fakoemulsifikas.20 Komplikasi operasi katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya.7 17 Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss. Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (LIO), cystoid macular edema (CME), ablasio retina, uveitis,
peningkatan tekanan intra okular dan
posterior capsular opacification.2
Bahan dan Cara
Penelitian ini adalah restrospektif analitik. Populasi pada penelitian ini adalah
penderita katarak yang melakukan operasi menggunakan teknik fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode juni 2013 sampai dengan juni 2014.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan data sekunder yaitu rekam medis pasien
katarak yang dioperasi menggunakan
fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I pada periode Juni 2013 – Juni 2014.
Sebagai kriteria inklusi pada
penelitian ini pasien dengan katarak senilis yang dioperasi dengan fakoemulsifikasi, pasien laki laki atau perempuan, berusia >45 tahun.
Sebagai kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah tidak datang lagi saat evaluasi, riwayat diabetes melitus, riwayat bedah intra okuler, riwayat trauma mata, riwayat penyakit pada retina, riwayat infeksi intraokuler, riwayat glaukoma, rekam medis yang tidak lengkap.
Penelitian ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta unit I.
Tahap pelaksanaan dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2015. Diawali dengan pemberian surat ijin penelitian kepada pihak rumah sakit yang akan dijadikan tempat
penelitian, dalam hal ini RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian
peneliti melakukan pengambilan data
sekunder melalui rekam medis.
Analisa data dilakukan untuk
menjawab hipotesis penelitian, oleh karena itu diperlukan uji statistik yang sesuai dengan variabel penelitian.22
Analisis deskriptif merupakan prosedur statistik untuk menguji generalisasi hasil penelitian yang didasarkan atas satu variabel. 6
Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara melihat data sekunder pasien berupa rekam medis pasien katarak yang di operasi menggunakan fakoemulsifikasi yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Semua pasien melakukan rawat jalan.
3 Tabel 1. Jumlah dan Jenis kelamin
Pada tabel 1. diatas menunjukan bahwa penderita katarak yang datang ke RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta pada periode tersebut berjumlah 106 pasien dan yang memenuhi kriteria inklusi maupun ekslusi berjumlah 92 pasien. Dari data tersebut terlihat bahwa lebih banyak pasien Perempuan ( 56,5 %) daripada Laki-laki (43,5%). Sedangkan daftar riwayat penyakit dan riwayat bedah dapat dilihat di table berikut:
Tabel 2. Riwayat bedah dan penyakit yang ditemukan
Terlihat pada tabel 2 terdapat beberapa jenis
riwayat penyakit maupun bedah yang
termasuk dalam kriteria ekslusi. Diabetes Melitus merupakan riwayat penyakit yang paling banyak berjumlah 12 pasien dan ditemukan riwayat glaucoma dan riwayat bedah introkuler yang masing masing berjumlah 1 pasien. Sedangkan daftar komplikasi yang dimaksud dapat dilihat di table berikut beserta presentase terjadinya pasca bedah :
Table 3. Daftar komplikasi dan presentase terjadinya.
Pada tabel 3. terlihat adanya
komplikasi Edema Macular Sistoid yang berjumlah 1 orang (1,1%) dari total 92 rekam medis dan tidak di temukan komplikasi lainnya.
Diskusi
Fakoemulsifikasi adalah teknik
ekstraksi katarak menggunakan sayatan kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra okular lipat (foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan.
Cara kerja sistem fakoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound.2 Massa lensa yang sudah dihancurkan akan diaspirasi melalui rongga pada tip fakoemulsifikasi untuk kemudian dikeluarkan dari dalam mata melalui selang aspirasi pada mesin fakoemulsifikasi.9 21 Teknologi mesin
fakoemulsifikasi saat ini sudah
memungkinkan mengeluarkan lensa dengan teknik fako bimanual, sehingga insisi kornea hanya sebesar 1,5 mm saja.17
Penatalaksanaan Preoperatif
Disarankan menggunakan sikloplegik dan topikal nonsteroid (NSAID) beberapa hari sampai 1 minggu sebelum operasi katarak.
Pemberian topikal NSAID mengurangi
inflamasi dan mencegah pupil miosis
intraoperasi dan dapat mencegah terjadinya
Jenis
Riwayat Bedah dan Penyakit Jumlah
Diabetes Melitus 12
Bedah Intraokuler 1
Trauma Mata 0
Penyakit Pada Retina 0
Infeksi Intraokuler 0
Glaukoma 1
4 CME dan edema makula. Untuk persiapan lainnya sama dengan persiapan operasi fakoemulsifikasi pada umumnya seperti
pemberian tetes mata midriatyl untuk
melebarkan pupil, menjalani pembiusan
dengan anestesi lokal dengan cara
menyuntikan obat anestesi atau anestesi topikal dengan cara meneteskan obat anestesi pada mata, pemeriksaan bola mata dengan
mengukur bentuk bola mata, tekanan
bolamata.4
Penatalaksanaan Pascaoperatif
sebaiknya dilakukan follow up rutin dan ketat untuk mengetahui terjadinya komplikasi
berupa cystoid macular edema (CME),
progresifitas retinopati diabetik pada penyulit diabetes mellitus, inflamasi dan glaukoma sekunder. Dapat diberikan steroid topikal, NSAID dan sikloplegik. Komplikasi pasca operasi dapat terjadi awal atau lebih lambat.
Pada minggu-minggu awal waspada
terjadinya blefaroptosis, edema kornea sedang
sampai berat, peningkatan tekanan
intraokular, kebocoran luka insisi, iritis ataupun endoftalmitis. Sedangkan komplikasi jangka panjang dapat terjadi pseudophakic bullous keratopathy, iritis kronis,
neovaskularisasi iris, posterior capsular
opacification (PCO), edema makula persisten,
retinal detachment dan pedarahan vitreus.4
Cystoid macular edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam penglihatan. CME juga
merupakan penyebab paling umum
kehilangan penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar.1 Cystoid macular edema biasanya muncul pada 3-12 minggu pasca operasi dengan puncak insiden 4-10 minggu, namun pada beberapa kasus dapat muncul terlambat beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah pembedahan.12 15
Insiden CME klinis dilaporkan terjadi sekitar 1-12% tergantung beberapa
faktor seperti prosedur pembedahan,
komplikasi intra operatif, dan manajemen pasca operasi. Insiden CME klinis di Amerika serikat didapatkan 0,1% sampai 4% pasien pasca fakoemulsifikasi.16 18
Insiden CME klinis pada
Fakoemulsifikasi tanpa komplikasi intra operatif dengan kapsul posterior yang utuh tingkat kejadian sekitar 0-2%.15 Teknik pembedahan fakoemulsifikasi menurunkan insiden CME menjadi 1%.16 Angka kejadian CME klinis pada pembedahan katarak teknik fakoemulsifikasi sekitar 0,1-2,35%.13
Kebanyakan CME pasca operasi katarak sembuh spontan dalam 6 bulan, namun pada beberapa kasus cenderung
menetap.11 Mata dengan CME 90% akan
sembuh dalam kurun waktu 2 tahun.3 CME pasca operasi yang berlebihan atau terus menerus dapat menyebabkan sawar darah retina (SDR) terganggu sehingga menjadi berkelanjutan sehingga meningkatkan resiko terjadinya peradangan kronis sehingga pasien
tidak mendapatkan penglihatan yang
optimal.14 19
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa bedah katarak menggunakan teknik Fakoemulsifikasi di RS PKU Muhammadiyah 1 Yogyakarta menghasilkan angka komplikasi pasca bedah sebesar 1,1 % dari semua pasien yang di operasi, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu angka kejadian kurang dari 5%.
Saran
a. Perlu di pertimbangkan untuk
menggunakan teknik
fakoemulsifikasi dalam setiap bedah
katarak yang memiliki angka
komplikasi pasca bedah yang sangat rendah.
b. Perlu dilakukan penelitian lebih
jangka panjang untuk mengamati komplikasi yang terjadi pasca bedah
katarak dengan teknik
fakoemulsifikasi.
Referensi
1. Akcay B.I.S., Bozkurt T.K., Guney E., Unlu C., Erdogan G., Akcali G. dan Bayramlar H. 2012. Quantitative analysis
of macular thickness following