• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI RUMAH

TANGGA BAWANG GORENG DI KABUPATEN KUNINGAN,

JAWA BARAT

ADI ANKAFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Adi Ankafia

(4)

ABSTRAK

ADI ANKAFIA. Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN.

Produk pertanian utama dari Kabupaten Kuningan adalah bawang merah. Komoditas ini menjadikan Kabupaten Kuningan sebagai salah satu sentra produksi bawang merah di Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, pada tahun 2005 produksi bawang merah di Kabupaten Kuningan berada pada urutan pertama dengan tingkat produksi sebesar 244 456,2 ton. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakteristik usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan, (2) mengetahui kelayakan usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan, (3) mengetahui sensitivitas usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan terhadap perubahan-perubahan yang mempengaruhi usaha tersebut. Jumlah usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan ada 16 unit yang dapat dikelompokkan ke dalam enam tipe. Tipe A, B, C, D, E, dan F.

Analisis finansial menunjukkan bahwa usaha bawang goreng yang layak diusahakan adalah usaha bawang goreng Tipe D dan F. Kedua tipe tersebut memiliki nilai NPV masing-masing sebesar 75 250 000 dan 77 260 000 IRR sebesar 33.00 persen dan 32.00 persen, Net B/C Ratio sebesar 1.60 dan 1.60, dan

Payback Period selama 3.30 bulan dan 3.50 bulan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha Tipe D dan F tetap menunjukkan nilai kriteria investasi si atas batas kelayakan bila terjadi perubahan harga bawang merah dan harga produk sebesar 50.00 persen.

Kata kunci : Bawang Goreng, Industri Rumah Tangga

ABSTRACT

ADIANKAFIA.Feasibility Analysis of Onion Fried Home Industry in Kuningan district, West Java. Supervised by BURHANUDDIN

The main agricultural products of the Kuningan districtare red onion. This commodities makes Kuningan district as a center of onion production in Indonesia. Based on data from the Department of Agriculture Kuningan district, in 2005 the production of onion in Kuningan district ranks first with a production rate of 244 456.2 tons. This study aims to (1) identify the characteristics of fried onions in Kuningan district, (2) determine the feasibility of onions fried in Kuningan district, (3) determinethe sensitivity of fried onions businesses in Kuningan district to changes affecting the business. The amount of business fried onions in Kuningan district there are 16 units that can be grouped into six types. Type A, B, C, D, E, and F.

(5)

the investment criteria for eligibility in the event of changes in prices of onion and product prices for 50.00 percent.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS KELAYAKAN USAHA INDUSTRI RUMAH TANGGA

BAWANG GORENG DI KABUPATEN KUNINGAN,

JAWA BARAT

ADI ANKAFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat

Nama : Adi Ankafia NIM : H34087001

Disetujui oleh

Ir. Burhanuddin, MM Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 sampai dengan Juni 2011 ini ialah Studi Kelayakan Bisnis, dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Industri Rumah Tangga Bawang Goreng Di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Burhanuddin, MM selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 3

Studi Kelayakan Bisnis 3

KERANGKA PEMIKIRAN 7

Kerangka Pemikiran Teoritis 7

Kerangka Pemikiran Operasional 13

METODE PENELITIAN 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Pengolahan Data dan Analisis Data 16

Asumsi Dasar Penelitian 21

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 22

Aspek Non Finansial 28

Aspek Finansial 33

SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 42

(11)

DAFTAR TABEL

1 Rasio produksi bawang merah di Kabupaten Kuningan

tahun 2005 – 2007 1

2 Informasi demografi Kabupaten Kuningan tahun 2005

sampai dengan 2007 23

3 Jenis mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan

tahun 1997-2000 24

4 Karakteristik usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan 26 5 Perkembangan dan proyeksi bawang merah tahun 2009-2012 28 6 Perhitungan NPV usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan 34 7 Perhitungan IRR usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan 34 8 Perhitungan Net B/C Ratio usaha bawang goreng

di Kabupaten Kuningan 35

9 Perhitungan Payback Period usaha bawang goreng

di Kabupaten Kuningan 36

10 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe A

di Kabupaten Kuningan 37

11 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe B

di Kabupaten Kuningan 37

12 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe C

di Kabupaten Kuningan 38

13 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe D

di Kabupaten Kuningan 38

14 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe E

di Kabupaten Kuningan 39

15 Analisis sensitivitas usaha bawang goreng tipe F

di Kabupaten Kuningan 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Operasional 15

2 Jalur Pemasaran Bawang Goreng di Kabupaten Kuningan 28

3 Bagan Alir Proses Produksi Bawang Goreng 31

DAFTAR LAMPIRAN

1

Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe A

di Kabupaten Kuningan 42

2 Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe B

di Kabupaten Kuningan 46

3 Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe C

(12)

4 Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe D

di Kabupaten Kuningan 54

5 Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe E

di Kabupaten Kuningan 58

6 Cashflow industri rumah tangga bawang goreng tipe F

di Kabupaten Kuningan 62

7 Nama pengrajin usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan 66 8 Harga bawang goreng di Kabupaten Kuningan tahun 2007-2011 66

9 Karakteristik mutu pengolahan bawang merah 67

10 Ringkasan umur ekonomis, jumlah, dan nilai peralatan

investasi usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan 67 11 Produksi bawang merah di beberapa sentra produksi

di pulau Jawa 2009 68

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Kuningan merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Sampai akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 70.60 persen penduduk usia kerja di Kabupaten Kuningan hidup sebagai petani, sehingga sebagian besar wilayah Kabupaten Kuningan merupakan daerah pertanian (BPS 2012).

Sektor pertanian di Kabupaten Kuningan memberi kontribusi yang cukup signifikan dalam pembangunan perekonomian daerah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, pada tahun 2012 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kuningan mencapai Rp 2.672 trilyun, sekitar 54.56 persen atau Rp 1.458 trilyun diberikan dari sektor pertanian.

Produk pertanian utama dari Kabupaten Kuningan adalah bawang merah. Komoditas ini menjadikan Kabupaten Kuningan sebagai salah satu sentra produksi bawang merah di Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, pada tahun 2010 produksi bawang merah di Kabupaten Kuningan berada pada urutan pertama dengan tingkat produksi sebesar 244 456.2 ton.

Selama periode tahun 2010–2012, rasio produksi bawang merah di Kabupaten Kuningan rata-rata sebesar 33.33 % dari total produksi bawang merah nasional.

Tabel 1 Rasio produksi bawang merah Kabupaten Kuningan tahun 2010–2012 Tahun Produksi Kabupaten Kuningan Kuningan terhadap total produksi bawang merah nasional pada tahun 2010 adalah sebesar 36.98 persen. Pada tahun 2011 rasio produksi turun menjadi 30.24 persen seiring dengan turunnya harga bawang merah dari Rp 9000 per kg menjadi Rp 925 per kg pada bulan Januari 2011. Sedangkan pada tahun 2012, rasio produksi naik kembali menjadi 32,78 persen.

(14)

produksi dan kebutuhan bahan baku masing-masing sebesar 15 ton dan 45 ton per tahun.

Perumusan Masalah

Harga bawang merah cenderung bersifat fluktuatif, terutama di sentra-sentra produksi seperti Kabupaten Kuningan. Pada musim hujan dan musim serangan hama penyakit, harga bawang merah cenderung naik karena jumlahnya yang terbatas. Sedangkan pada saat musim panen harga bawang merah cenderung menurun karena ketersediaan yang berlimpah.

Bawang merah merupakan komoditas holtikultura yang mempunyai sifat mudah rusak (perishable) dan setelah panen dapat mengalami perubahan yang cenderung merugikan akibat kegiatan pasca panen yang kurang baik. Oleh karena itu diperlukan penanganan bawang merah melalui pengolahan lebih lanjut menjadi produk yang lebih bernilai secara ekonomi dan berdaya saing. Dalam hal ini diolah mejadi bawang goreng.

Kabupaten Kuningan menjadi tempat yang potensial untuk pengusahaan bawang goreng. Ketersediaan bawang merah sebagai bahan baku utama sangat terjamin sepanjang tahun.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang kan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan?

2. Bagaimanakah kelayakan usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan? 3. Bagaimanakah sensitivitas usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan

terhadap perubahan-perubahan yang mempengaruhi usaha tersebut?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan.

2. Mengetahui kelayakan usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan. 3. Mengetahui sensitivitas usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan

terhadap perubahan-perubahan yang mempengaruhi usaha tersebut.

Manfaat Penelitian

Hasil analisis penelitian ini dapat memiliki kegunaan : 1. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi penulis sendiri dan menjadi bahan referensi bagi penelitian berikutnya yang terkait dengan studi kelayakan usaha bawang goreng.

(15)

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi sebagai referensi untuk manajemen usaha dalam memutuskan pengusahaan yang tepat sehingga diperoleh keuntungan yang maksimal.

3. Bagi Pembaca dan Masyarakat Lainnya

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan wawasan yang bermanfaat yang terkait dengan studi kelayakan usaha bawang goreng.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai aspek finasial dan non finansial. Adapun aspek finansial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan beberapa kriteria kelayakan investasi seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio), Payback Period (PP). Disamping itu juga dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui seberapa besar kepekaan produk terhadap perubahan-perubahan yang terjadi berkaitan dengan produksi.

Analisis non finansial yang dibahas adalah aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, budaya dan ekonomi, serta aspek lingkungan. Adanya keterbatasan informasi dan daya ingat para petani maupun pengrajin bawang goreng terhadap jumlah input, jumlah output, dan harga memungkinkan akan berpengaruh terhadap perhitungan analisis kelayakan usaha atau hasil pengolahan data yang akan diperoleh penulis. Lingkup penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kuningan, Propinsi Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Studi Kelayakan Bisnis

Studi kelayakan bisnis merupakan penelaahan atau analisis tentang apakah suatu kegiatan investasi memberikan manfaat atau hasil bila dilaksanakan. Studi kelayakan bisnis merupakan dasar untuk menilai apakah kegiatan investasi atau suatu bisnis layak untuk dijalankan. Selain itu studi kelayakan bisnis ini juga secara tidak langsung akan mempunyai keterkaitan dengan kepentingan masyarakat dan pemerintah (Nurmalina, et al 2009).

(16)

kebutuhan dana investasi pendirian industri tepung bawang merah adalah Rp 450 698 100. Dana yang berasal dari dana sendiri sebesar Rp 157 744 400 atau 35.00 persen dari total modal dan dari kredit bank sebesar Rp 292 953 700. Dana tersebut digunakan untuk modal tetap pabrik sebesar Rp 138 382 500 dan modal kerja sebesar Rp 312 315 600. Kredit modal kerja diperoleh dari bank pada tahun pertama dan dikembalikan mulai tahun kedua dalam jangka waktu 3 tahun. Berdasarkan kriteria kelayakan bisnis, industri tepung bawang merah memiliki NPV sebesar Rp 204 304 630, IRR sebesar 46.44 persen, B/C sebesar 2.38 dan

payback period selama 1.98 tahun. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan kenaikan biaya eksploitasi dana penurunan harga jual produk masing-masing 5.00 persen, hasilnya masih memberikan nilai-nilai kriteria investasi di atas batas kelayakan.

Hasil penelitian yang masih relevan bisa dilihat pada Aditya Widi Nugraha (2002) dalam Evaluasi Kelayakan Usaha Bawang Goreng di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontribusi, perkembangan, karakteristik, dan penyebaran industri kecil bawang goreng di Kabupaten Brebes. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa selama periode 1996-2001, kontribusi industri bawang goreng terhadap struktur nilai agroindustri sebesar 19.50 persen dan industri kecil sebesar 7.20 persen. Dalam kurun waktu tersebut, perkembangan industri bawang goreng mulai dari jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai investasi, dan nilai produksi industri bawang goreng rata-rata meningkat secara berurutan 41.82 persen, 37.70 persen, 35.75 persen, dan 43.49 persen. Berdasarkan analisis usaha yang dilakukan selama satu tahun, usaha tersebut menghasilkan NPV sebesar Rp 30 250 550, IRR sebesar 324.50 persen, B/C Ratio sebasar 1.20 dan Payback Period selama 3 tahun. Analisa sensitivitas dilakukan terhadap perubahan kenaikan biaya produksi dana penurunan harga jual produk masing-masing 5.00 persen, hasilnya usaha tersebut masih layak untuk dijalankan.

(17)

menjadi NPV sebesar Rp 309 227.00, Net B/C sebesar 1.00 dan IRR sebesar 8.04 persen.

Hasil penelitian Atemalem (2001), yang berjudul Analisis Kelayakan Investasi Usaha Pembenihan Ikan Patin (Pangasius sutchi) di Tapos Agro Lestari, Ciawi, Bogor menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis usaha yang dilakukan selama satu tahun, usaha ini memperolah keuntungan sebesar Rp 110 604 616.70. hasil perhitungan analisis pembenihan ikan ini menguntungkan dilihat dari hasil perhitungan B/C rasio lebih dari satu yaitu sebesar 1.56. Analisis titik impas (BEP) dari usaha pembenihan ini menghasilkan nilai sebesar 742 522 ekor atau senilai Rp 82 637 703.83. Sedangkan dari hasil analisis kelayakan investasi diperoleh NPV sebesar Rp 81 629 230.06, Net B/C sebesar 2.58, dan IRR sebesar 66.77 persen. Hasil perhitungan analisis sensitivitas pada kondisi kenaikan harga pakan benih 16.00 persen diperoleh NPV sebesar Rp 8 203 815.31, Net B/C sebesar 1.11 dan IRR sebesar 27.32 persen. Penurunan harga jual benih ikan patin ukuran 1 inch (2.56 cm) sebesar 5.00 persen diperoleh NPV sebesar Rp 21 884 659.59, Net B/C 1.33, dan IRR sebesar 36.64 persen, menunjukan bahwa usaha tersebut layak diteruskan untuk jangka panjang.

Iriani (2006) dalam Analisis Kelayakan Finansial Pembenihan dan Pendederan Ikan Nila Wanayasa pada Kelompok Pembudidaya Mekarsari, Desa Tanjungsari, Kecamatan Pondok Salam, Kabupaten Purwakarta menjelaskan bahwa usaha pendederan dan pembenihan ikan nila layak dijalankan dengan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 83 009 000, dengan B/C rasio sebesar 3.21, payback period sebesar 0.21 tahun dan BEP sebesar Rp 22 462 437.69. Berdasarkan analisis kelayakan finansial terhadap usaha pembenihan dan pendederan ikan nila ini diperoleh NPV sebesar Rp 225 116 401.83, Net B/C lebih dari satu dan IRR sebesar 7.07 persen, sehingga usaha tersebut layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap kenaikan harga pakan sebesar 800.92 persen diperoleh nilai NPV sama dengan nol, Net B/C sama dengan satu, dan IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Hal ini menunjukan usaha ini masih layak untuk dijalankan sampai batas kenaikan harga pakan 800.92 persen.

Berdasarkan hasil penelitian Rohaeni (2006), yang berjudul Kelayakan Investasi Pengembangan Usaha Pembesaran Lele Dumbo di Agro Niaga Insani, Kabupaten Bogor diperoleh hasil perhitungan analisis usaha sebesar Rp 58 451 900, B/C rasio sebesar 1.39 dan payback period sebesar 2.98. Sedangkan perhitungan analisis kelayakan usaha menghasilkan NPV sebesar Rp 118 976 123.41, Net B/C sebesar 1.89 dan IRR sebesar 34.80 persen. Analisis sensitivitas dilakukan sampai pada persentase perubahan harga yang menyebabkan usaha tidak layak adalah pada kenaikan harga pakan sebesar 25.50 persen dan penurunan harga jual sebesar 9.80 persen. Hasil analisis menunjukan bahwa usaha ini menguntungkan, serta layak untuk dilakukan dan dikembangkan.

(18)

yang diproduksi tanpa alat tersebut. Dilihat dari aspek pemasaran dapat memenuhi permintaan kacang dengan cepat. Secara finansial penambahan mesin vacuum frying pada usaha pengolahan layak untuk diusahakan. Hasil perhitungan analisis kelayakan finansial usaha pengolahan kacang pada tingkat diskonto 12.00 persen diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 1 405 678 570, Net B/C sebesar 1.98, IRR sebesar 32.22 persen dan Payback Period selama tiga tahun 10 bulan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha ini sensitif terhadap perubahan harga jual produk. Berbeda dengan perubahan kenaikan harga bahan baku tidak terlalu berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Kenaikan maksimal harga adalah sampai 114.06 persen dan 266.36 persen. Usaha cukup stabil meski dengan kenaikan harga yang ekstrem sekalipun.

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Investasi

Investasi merupakan keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapat kemanfaatan (benefit) atau suatu kegiatan dengan mengeluarkan sumber-sumber untuk memperoleh hasil pada waktu yang akan datang, dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai suatu unit. Kegiatan suatu usaha selalu ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (objective) dan mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik akhir (ending point) baik biaya maupun hasilnya yang dapat diukur (Kadariah, 1988).

Menurut Gittinger (1986) dalam Nurmalina et al. (2009), kegiatan pertanian adalah suatu kegiatan investasi yang mengubah sumber-sumber finansial menjadi barang-barang kapital yang dapat menghasilkan keuntungan-keuntungan atau manfaat setelah beberapa periode waktu. Sementara itu Gray et al. (1992) dalam Nurmalina et al. (2009) mendefinisikan suatu kegiatan investasi sebagai kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan mempergunakan sumber-sumber untuk mendapatkan benefit.

Pengolahan Bawang Goreng

Agroindustri menurut Soekartawi (2000) adalah pengolahan hasil pertanian dan merupakan bagian dari subsistem agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani, pengolahan hasil, pemasaran, sarana dan pembinaan. Sedangkan menurut Soeharjo (2000) agroindustri mempunyai definisi sebagai salah satu cabang industri yang mempunyai kaitan erat dan langsung dengan pertanian, yakni keterkaitan antara subsistem primer dengan subsistem lainnya dalam sistem agribisnis, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage). Keterkaitan ke depan (forward linkage) berlangsung karena produk pertanian bersifat musiman, mudah rusak, dan memerlukan ruang penyimpanan yang besar. Sedangkan keterkaitan ke belakang (backward linkage) berlangsung karena produksi pertanian memerlukan sarana produksi yang langsung dipakai. Industri yang menghasilkan sarana produksi seperti pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian disebut industri hulu. Sedanglan industri yang melakukan kegiatan pengolahan produk pertanian disebut agroindustri hilir.

Bawang merah (Allium cepa L. Kelompok Aggregatum) adalah sejenis tanaman yang menjadi bumbu berbagai masakan Asia Tenggara dan dunia. Orang Jawa mengenalnya sebagai brambang. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan adalah umbi, meskipun beberapa tradisi kuliner juga menggunakan daun serta tangkai bunganya sebagai bumbu penyedap masakan. Tanaman ini diduga berasal dari daerah Asia Tengah dan Asia Tenggara (Tindal, 1986).

(20)

Senyawa alliin oleh enzim alliinase selanjutnya diubah menjadi asam piruvat, amonia, dan alliisin sebagai anti mikoba yang bersifat bakterisida. Bawang merah akan mempunyai pertumbuhan terbaik jika lama penyinaran matahari lebih dari 12 jam pada ketinggian 30 dpl dengan suhu rata-rata 30 derajat celcius (Wibowo, 1999).

Menurut Shintania (1999) Bawang goreng adalah bawang merah yang diiris tipis dan digoreng dengan minyak goreng yang banyak. Pada umumnya, masakan Indonesia berupa soto dan sup menggunakan bawang goreng sebagai penyedap sewaktu dihidangkan. Adapun teknik agar bawang goreng lebih renyah dan tahan lama. Sebelum digoreng, rendam irisan bawang merah dalam air garam, banyaknya garam bisa diatur, bisa juga direndam dengan air kapur sirih jika ingin hasil yang tawar. Ada bawang yang memang khusus dipergunakan untuk membuat bawang goreng menjadi renyah, biasanya dinamakan varietas bawang Sumenep. Belakangan diketahui ada varietas yang endemik di Palu, Sulawesi Tengah.

Dilihat dari prospek pasarnya, bawang goreng mempunyai kontribusi terhadap struktur nilai agroindustri di Kabupaten Kuningan rata-rata 9.09 persen dan terhadap industri kecil sebesar 21.12 persen. Tenaga kerja pada industri bawang goreng di Kabupaten Kuningan rata-rata menghasilkan Rp 49 045 800 per tahun dan nilai investasi yang ditanam untuk seorang tenaga kerja rata-rata Rp 1 191 560 (Hapidin, 1997).

Kriteria Kelayakan Bisnis

Aspek yang perlu diperhatikan dalam studi kelayakan bisnis terbagi ke dalam dua kelompok yaitu aspek finansial (keuangan) dan aspek non finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen-hukum, aspek sosial-ekonomi-budaya, aspek lingkungan (Nurmalina et al. 2009). Banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu studi kelayakan bisnis sangat tergantung kepada karakteristik dari masing-masing bisnis.

1. Aspek Pasar

Aspek pasar dan pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun kepada pembeli potensial (Hakim, 2005). Menurut Kadariah (1999), aspek komersial menganalisa penawaran input (barang dan jasa) yang diperlukan usaha, baik pada waktu membangun usaha, maupun pada waktu usaha sudah berproduksi, dan menganalisa pasaran output yang dihasilkan dari kegiatan usaha.

(21)

2. Aspek Teknis

Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan usaha secara teknis dan pengoperasiannya setelah usaha tersebut selesai dibangun. Berdasarkan analisis ini pula dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi termasuk biaya eksploitasinya (Nurmalina,et al, 2009). Menurut Gittinger (1986), analisis secara teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu usaha yang diusulkan, misalnya keadaan tanah di daerah usaha dan potensinya bagi pembangunan usaha, ketersediaan air baik secara alami (hujan dan penyebaran hujan) serta pengadaan (kemungkinan-kemungkinan untuk membangun irigasi), varietas bawang merah yang cocok. Atas dasar pertimbangan–pertimbangan ini analisis secara teknis akan dapat menentukan hasil-hasil yang potensial. Analisis secara teknis juga berhubungan dengan input usaha (penyediaan) dan output (produksi) berupa barang dan jasa. Kerangka kerja usaha harus dibuat secara jelas agar analisis secara teknis dapat dilakukan dengan teliti. Aspek-aspek lain dari analisis usaha akan dapat berjalan bila analisis secara teknis dapat dilakukan.

3. Aspek Manajemen dan Hukum

Aspek manajemen mempelajari tentang manajemen dalam masa pembangunan usaha dan manajemen dalam masa operasi. Dalam masa pembangunan usaha hal yang dipelajari adalah siapa pelaksana usaha, bagaimana jadwal penyelesaian usaha tersebut, dan siapa yang melakukan studi masing-masing aspek kelayakan usaha. Sedangkan manajemen dalam operasi mempelajari bagaimana bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, bagaimana struktur organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan, berapa banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan menentukan siapa-siapa anggota direksi dan tenaga inti (Nurmalina,et al, 2009).

Aspek hukum mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan (dikaitkan dengan kekuatan hukum dan konsekuensinya), dan mempelajari jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin. Disamping hal tersebut aspek hukum dari suatu kegiatan usaha diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan usaha pada saat menjalin jaringan kerjasama dengan pihak lain.

4. Aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Aspek sosial, budaya, dan ekonomi akan menilai seberapa besar usaha mempunyai dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat keseluruhan. Pada aspek sosial yang dipelajari adalah penambahan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran. Selain itu aspek ini mempelajari pemerataan kesempatan kerja dan bagaimana pengaruh usaha tersebut terhadap lingkungan sekitar lokasi usaha. Aspek sosial memperhatikan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat di sekitar lokasi usaha.

(22)

ditolak oleh masyarakat sekitar bila secara sosial budaya diterima dan secara ekonomi memberikan kesejahteraan (Nurmalina et al. 2009).

5. Aspek Lingkungan

Merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan bagaimana suatu usaha berpengaruh terhadap lingkungan. Apakah dengan adanya kegiatan usaha lingkungan dapat menjadi lebih baik atau bahkan bertambah buruk. Dalam merancang atau menganalisis kegiatan investasi harus mempertimbangkan pula dampak terhadap lingkungan.

Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas lingkungan dalam analisis suatu usaha justru akan menunjang kelangsungan suatu usaha itu sendiri. Tidak akan ada usaha yang dapat bertahan lama apabila tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitar (Hufschmidt et al. 1987 dalam Nurmalina et al. 2009).

6. Aspek Finansial

Menurut Kadariah (1988), analisis aspek finansial suatu usaha dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya dalam usaha atau yang berkepentingan langsung dalam usaha. Dalam analisis ini yang diperhatikan adalah hasil untuk modal yang ditanam dalam suatu usaha. Analisis finansial ini penting dalam memperhitungkan rangsangan bagi mereka yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan usaha. Sebab tidak ada gunanya melaksanakan usaha yang menguntungkan dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan, jika mereka yang menjalankan kegiatan produksi tidak bertambah baik keadaanya.

Aspek-aspek finansial dari persiapan dan analisis usaha menerangkan pengaruh-pengaruh finansial dari suatu usaha yang diusulkan terhadap peserta yang tergabung di dalamnya. Dalam usaha-usaha pertanian para peserta terdiri dari petani, perusahaan swasta, koperasi dan lembaga-lembaga lainnya. Tujuan utama dari analisis finansial adalah menentukan insentif bagi orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan usaha (Gittinger, 1986)

Analisis usaha pertanian adalah untuk membandingkan biaya-biaya dengan manfaatnya dan menentukan usaha yang mempunyai keuntungan yang layak. Dalam analisis usaha diperlukan kriteria investasi yang merupakan metode yang digunakan untuk menyatakan layak atau tidaknya suatu usaha. Adapun beberapa kriteria sebagai tolak ukur kelayakan investasi diantaranya :

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara manfaat dan biaya atau yang disebut dengan arus kas. Suatu bisnis dikatakan layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan (Nurmalina et al.

2009). Terdapat tiga kriteria ukuran kelayakan investasi menurut metode Net Present Value (NPV) yaitu :

a. NPV sama dengan nol (NPV = 0) artinya, bisnis yang dijalankan tidak menguntungkan atau tidak merugikan.

b. NPV lebih besar dari nol (NPV > 0) artinya, bisnis yang dijalankan menguntungkan atau memberikan manfaat dan layak untuk dijalankan.

(23)

2. Net Benefit – Cost Ratio (Net B/C Ratio)

Net Benefit – Cost Ratio (Net B/C Ratio) adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif, atau disebut juga manfaat bersih yang menguntungkan bisnis yang dihasilkan terhadap setiap satu satuan kerugian dari bisnis tersebut. Suatu kegiatan investasi atau bisnis dapat dikatakan layak jika Net B/C lebih besar dari satu dan dikatakan tidak layak bila Net B/C lebih kecil dari satu (Nurmalina et al. 2009). Terdapat tiga kriteria ukuran kelayakan investasi menurut metode Net Benefit – Cost Ratio

(Net B/C Ratio) yaitu :

a. Net B/C Ratio sama dengan satu (Net B/C = 1) artinya, bisnis tersebut tidak menguntungkan atau tidak merugikan. bisnis dapat dikatakan layak dilihat dari seberapa besar pengembalian bisnis terhadap investasi yang ditanamkan, ditujukan dengan mengukur besarnya

Internal Rate of Return. Sedangkan Gittinger (1986) mendefinisikan Internal Rate of Return adalah tingkat rata-rata keuntungan interval tahunan bagi perusahaan yang melakukan kegiatan investasi dan dinyatakan dalam bentuk persentase. Umumnya untuk penghitungan tingkat IRR digunakan metode interpolasi diantara tingkat discount rate yang lebih rendah (menghasilkan NPV positif) dengan tingkat discount rate yang lebih tinggi (menghasilkan NPV negatif).

4. Payback Period (PP)

Payback Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang diperlukan dalam melunasi seluruh pengeluaran investasi. Menurut Nurmalina et al. (2009) Payback Period

merupakan suatu analisis yang berfungsi untuk mengukur seberapa cepat investasi yang ditanam pada suatu bisnis dapat kembali. Bisnis yang Payback Period-nya cepat pengembaliannya memiliki kemungkinan untuk dijalankan. Kelemahan dari metode ini adalah sulitnya menentukan periode Payback Period

maksimum yang diisyaratkan untuk digunakan sebagai angka pembanding, selain itu diabaikannya konsep nilai waktu uang (time value of money) dan cashflow

setelah Payback Period.

Analisis Sensitivitas

(24)

ini diperlukan karena analisis usaha didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidakpastian tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang. Pada sektor-sektor pertanian, usaha biasanya dapat berubah-ubah yang disebabkan karena fluktuasi harga-harga input dan output maupun perubahan pada volume produksi (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh penurunan harga dan kenaikan biaya yang terjadi terhadap kelayakan suatu usaha, yaitu layak ataupun menjadi tidak layak untuk dijalankan.

Gittinger (1986) mengatakan bahwa untuk menghitung nilai pengganti maka terlebih dahulu harus menentukan berapa banyak elemen yang kurang baik dalam suatu usaha yang akan diganti agar dapat memenuhi tingkat minimum yang masih dapat diterima. Oleh karena itu perubahan jangan melebihi tingkat minimum tersebut. Analisis dengan nilai pengganti mengacu kepada berapa besar perubahan yang terjadi sampai dengan NPV sama dengan nol.

Perbedaan mendasar antara analisis sensitivitas dengan switching value

adalah pada analisis sensitivitas perubahan sudah diketahui secara empirik dan dapat dilihat bagaimana dampaknya terhadap hasil analisis kelayakan. Sedangkan pada perhitungan switching value justru perubahan tersebut dicari, berapa besar perubahan yang masih dapat ditoleransi agar bisnis masih tetap layak untuk dijalankan.

Umur Bisnis

Menurut Nurmalina, et al (2009), ada beberapa pedoman untuk menentukan panjangnya umur bisnis berdasarkan tingkat kemampuan kegiatan bisnis, antara lain :

1) Umur ekonomis suatu bisnis ditetapkan berdasarkan jangka waktu (periode) yang kira-kira sama dengan umur ekonomis dari aset terbesar yang ada pada suatu bisnis, yaitu jumlah tahun selama pemakaian aset tersebut dapat meminimumkan biaya tahunan dari pemakaiannya.

2) Untuk usaha besar bergerak (diberbagai bidang) lebih mudah menggunakan umur teknis dari unsur-unsur investasi. Umur teknis umumnya lebih panjang dari umur ekonomis. Tetapi hal ini tidak berlaku apabila adanya keusangan teknologi (Absolence) dengan adanya penemuan teknologi baru.

3) Untuk usaha yang umurnya lebih lama dari 25 tahun, biasanya umur usaha ditentukan selama 25 tahun karena nilai-nilai setelah itu jika di discount rate

dengan tingkat suku bunga lebih besar dari 10 persen maka present value-nya akan kecil sekali, karena nilai discount factor nya kecil mendekati nol.

Konsep Time Value of Money (Nilai Waktu Uang)

(25)

adanya inflasi, kesempatan konsumsi yang berbeda, dan produktivitas yang dihasilkan pada waktu yang berbeda.

Teori Biaya dan Manfaat

Menurut Nurmalina et al (2009), secara umum biaya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi tujuan bisnis, dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu suatu tujuan. Manfaat terdiri dari tiga macam yaitu, manfaat yang dapat diukur (tangible benefit), manfaat yang dirasakan di luar usaha itu sendiri (indirect or secondary benefit), dan manfaat yang secara nyata ada tapi sulit diukur (intangible benefit). Periode waktu analisis yang direncanakan seringkali ditetapkan dalam satuan waktu yang panjang, sehingga mengakibatkan arus biaya maupun manfaat tidak terjadi pada waktu yang sama, melainkan sepanjang umur usaha. Berdasarkan kenyataan tersebut komponen-komponen biaya dan manfaat diidentifikasi berdasarkan kapan komponen-komponen tersebut muncul, sehingga diukur berdasarkan arus riil dari dana dan biaya usaha.

Biaya dan manfaat yang digunakan dalam melakukan analisis usaha, biasanya adalah yang bersifat tangible (dapat dinilai dengan uang), sedangkan biaya dan manfaat yang bersifat intangible (tidak dapat dinilai dengan uang) seperti halnya sebagai masukan tambahan yang digunakan sebagai pertimbangan subyektif untuk pengambilan keputusan. Pada analisis kelayakan usaha secara finansial, biaya dan manfaat yang digunakan adalah yang berpengaruh langsung terhadap usaha yang bersangkutan (biaya investasi, biaya operasional dan lain-lain), sedangkan yang termasuk manfaat antara lain nilai produksi total, penerimaan pinjaman, bantuan, nilai sewa dan nilai sisa. Komponen-komponen biaya pada dasarnya terdiri dari barang-barang fisik, tenaga kerja, tanah, biaya tak terduga (contingency allowance), dan sunk cost.

Kerangka Pemikiran Operasional

Industri bawang goreng adalah suatu usaha yang dilakukan oleh rumah tangga tertentu dalam mengolah bawang merah sebagai bahan baku utama menjadi bawang goreng sebagai produk untuk dipasarkan sehingga memperoleh nilai tambah secara materi. Adanya permintaan pasar yang dihadapi industri bawang goreng dan belum dapat dipenuhi seluruhnya menjadi penghambat dalam menjalankan usahanya selama ini.

(26)

Penilaian mengenai aspek finansial dilakukan dengan menggunakan NPV, IRR, Net B/C, dan Payback Period dengan kriteria penilaian yang digunakan adalah jika NPV>0, maka investasi dikatakan layak atau bermanfaat karena dapat menghasilkan manfaat lebih besar dari modal opportunity cost faktor produksi modal. Jika nilai NPV<0, maka investasi tidak layak untuk dilakukan karena pengusahaan tidak dapat menghasilkan manfaat senilai biaya yang digunakan. Menurut Umar (2005), NPV merupakan selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang. Untuk menentukan nilai sekarang itu diperlukan tingkat suku bunga yang relevan.

Nilai Net B/C ratio menunjukan besarnya tingkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah. Investasi dikatakan layak untuk dilakukan apabila nilai Net B/C ratio menunjukan angka lebih dari satu, sebaliknya apabila Net B/C ratio menunjukan angka kurang dari satu maka investasi tidak layak dilakukan. Untuk mengetahui periode pengembalian modal dapat menggunakan payback period. Analisis sensitivitas digunakan dalam penelitian ini untuk menguji kepekaan suatu perubahan keadaan terhadap kelayakan investasi.

(27)

Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Kelayakan Usaha

Aspek Non Finansial Terdiri dari:

1. Analisis Aspek Pasar 2. Analisis Aspek Teknis 3. Analisis Aspek Hukum

dan Manajemen 4. Analisis Aspek Sosial

Aspek Finansial

Analisis Sensitivitas 1. Perubahan harga bawang

merah sebagai bahan baku utama sebesar 50 % 2. Perubahan harga bawang

goreng sebesar 50 % Kriteria Kelayakan Investasi:

1. NPV 2. IRR 3. Net B/C

4. Payback Period

Rekomendasi

Layak Tidak Layak

Permasalahan yang dihadapi:

1. Harga bawang merah yang fluktuatif

(28)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel dari industri bawang goreng di beberapa desa yang menjadi sentra industri bawang goreng. Diantaranya desa Ciawigebang, Cidahu, Cigugur, Cilimus, Garawangi, Kramat Mulya, Kuningan, Luragung. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan April 2011 sampai dengan Juni 2011.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara dan observasi dengan pelaku industri bawang goreng, wawancara dilakukan guna memperoleh informasi mengenai teknis pengusahaan bawang goreng dan selanjutnya informasi dan data yang diperoleh digunakan sebagai acuan dalam perhitungan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kuningan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. Informasi tambahan untuk mendukung penelitian ini digunakan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.

Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis aspek teknis, aspek pasar, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lingkungan. Sedangkan analisis kuantitatif yang dilakukan meliputi analisis kelayakan finansial. Perhitungan yang dilakukan menggunakan kriteria investasi yaitu, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit CostRatio (Net B/C Ratio), Payback Period (PP), serta analisis sensitivitas.

Data kuantitatif yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer yaitu Software Microsoft Excel. Hasil pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi dengan cara memasukan data primer ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami. Data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian deskriptif serta dalam bentuk tabel, bagan atau gambar.

Analisis Aspek Pasar

(29)

dilakukan juga dengan menggunakan bauran pemasaran, yaitu seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasarannya (Kotler et al, 1997).

Adapun alat-alat bauran pemasaran diklasifikasikan menjadi empat unsur, yaitu :

1) Produk, merupakan sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk dibeli, digunakan atau dikonsumsi dalam rangka memenuhi suatu keinginan atau kebutuhan yang mencakup kualitas, rancangan, bentuk, merek, dan kemasan produk.

2) Harga, adalah jumlah nilai yang dikeluarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa tersebut. Harga adalah satu-satunya unsur dalam bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan, sedangkan unsur lainnya menghasilkan biaya.

3) Distribusi, meliputi berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk menjadikan produk tersedia dan mudah didapat oleh konsumen sasaran melalui pengidentifikasian saluran pemasaran yang efisien. Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap digunakan.

4) Promosi, meliputi semua kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mengkomunikasikan dan memperkenalkan produknya kepada pasar sasaran.

Analisis Aspek Teknis

Analisis teknis dikaji secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai lokasi pengusahaan bawang goreng, besarnya skala usaha atau jumlah produksi yang dihasilkan, proses kegiatan produksi yang dilakukan serta peralatan produksi yang digunakan dalam kegiatan pengusahaan bawang goreng di Kabupaten Kuningan. Dalam aspek teknis ini dinilai lokasi usaha, tata letak atau

layout tempat produksi, kegiatan produksi, serta teknologi yang akan digunakan. Penilaian kelayakan aspek teknis dapat dikatakan layak apabila hal-hal tersebut dapat memberikan kemudahan dalam distribusi dan pemeliharaan.

Menurut Gittinger (1986), analisis secara teknis ini akan menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu usaha yang diusulkan, seperti keadaan tanah di daerah usaha dan potensinya bagi pengembangan usaha, ketersediaan air baik secara alamiah maupun pengadaan (kemungkinan untuk membangun irigasi), serta varietas yang cocok. Atas dasar pertimbangan- pertimbangan inilah analisis secara teknis akan dapat menentukan hasil-hasil yang potensial.

Analisis Aspek Manajemen dan Hukum

(30)

kebutuhan serta implementasi pekerjaan yang dapat mendukung pencapaian tujuan dan target perusahaan. Aspek hukum dari suatu usaha sangat diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan usaha pada saat menjalin kerjasama dengan pihak lain.

Analisis Aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Analisis aspek sosial, budaya, dan ekonomi dilakukan secara deskriptif dengan menilai seberapa besar usaha mempunyai dampak sosial, budaya, dan ekonomi terhadap masyarakat keseluruhan. Usaha ini dikatakan layak apabila perusahaan mampu menciptakan dampak positif bagi perekonomian secara keseluruhan.

Aspek sosial, budaya, dan ekonomi ini perlu dikaji untuk melihat bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan industri bawang goreng, terhadap kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat sekitar. Menurut Nurmalina et al. (2009) suatu bisnis dapat diterima oleh masyarakat sekitar apabila secara sosial, budaya, dan ekonomi memberikan kesejahteraan.

Analisis Aspek Lingkungan

Analisis aspek lingkungan yang dilakukan secara deskriptif ini menilai suatu dampak atau pengaruh yang ditimbulkan terhadap lingkungan berkenaan dengan bagaimana suatu kegiatan usaha dijalankan. Menurut Nurmalina et al.

(2009) aspek ini mempelajari bagimana pengaruh bisnis terhadap lingkungan, apakah dengan adanya pengusahaan bawang goreng yang dilakukan perusahaan membuat lingkungan menjadi lebih baik atau bahkan bertambah buruk. Aspek ini menunjang keberlangsungan suatu bisnis. Kegiatan ini dikatakan layak jika perusahaan dapat mengantisipasi dengan meminimalkan kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai akibat dari kegiatan usahanya.

Analisis Aspek Finansial

Analisis aspek finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria investasi untuk menyatakan layak atau tidaknya suatu usaha. Kriteria investasi yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Payback Period (PP).

Pelaksanaan analisis finansial dari suatu usaha dapat menggunakan metode atau kriteria penilaian investasi. Kriteria kelayakan investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan dari suatu kegiatan usaha. Melalui metode-metode ini dapat diketahui apakah suatu kegiatan usaha layak untuk dilaksanakan atau tidak. Selain itu, setiap kriteria kelayakan dapat dipakai untuk menentukan urutan-urutan berbagai alternatif usaha dari suatu investasi.

1. Net Present Value (NPV)

(31)

n

NPV =

Bt-Ct ... (1) t=1 (1+i)t

Dimana :

Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t

t = Tahun kegiatan usaha (t= 1,2,3,..., 10) i = Tingkat Discount Rate(DR) (%)

n = Umur ekonomis usaha Kriteria Penilaian :

a. Jika NPV >0, maka kegiatan investasi layak untuk dilaksanakan karena manfaat lebih besar dari pada biaya.

b. Jika NPV < 0, maka kegiatan investasi tidak layak untuk dilaksanakan. c. Jika NPV = 0, maka kegiatan investasi tidak untung dan tidak rugi.

2. Net Benefit - Cost Ratio (Net B/C Ratio)

Net B/C ratio adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Dengan kata lain, manfaat bersih yang menguntungkan suatu kegiatan usaha yang dihasilkan terhadap setiap satu satuan kerugian dari usaha tersebut.

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur kegiatan usaha. Suatu kegiatan investasi dikatakan layak bila Net B/C lebih besar dari satu. Adapun rumus Net B/C adalah sebagai berikut :

n Bt-Ct

(1 + i)t

t =1 (Bt – Ct) >0 ... (2) Net B/C = n Bt-Ct (Bt – Ct)<0

(1 + i)t t =1

Dimana :

Bt = Manfaat pada tahun ke t Ct = Biaya pada tahun ke t i = Tingkat DR (%)

(32)

Kriteria Penilaiaan :

a. Investasi dinilai layak dan dinyatakan menguntungkan jika, Net B/C>1. b. Investasi dinilai tidak layak dan dinyatakan tidak menguntungkan jika, Net

B/C<1.

c. Investasi ini dinilai tidak untung dan tidak rugi jika, Net B/C = 0.

3. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini adalah dalam satuan persentase (%). IRR menunjukan rata-rata tingkat keuntungan internal tahunan perusahaan selama umur usaha. Investasi dapat dikatakan layak apabila mempunyai nilai IRR lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (OCC).

Tingkat IRR mencerminkan tingkat bunga maksimal yang dapat dibayar oleh suatu kegiatan usaha untuk sumberdaya yang digunakan. Adapun rumus yang digunakan dalam menghitung IRR adalah :

NPV1

IRR = i1 + (i2- i1)... (3)

NPV1– NPV2

Dimana :

i1 = DR yang menghasilkan NPV positif

i 2 = DR yang menghasilkan NPV negatif

NPV1 = NPV yang bernilai positif

NPV 2 = NPV yang bernilai negatif

Kriteria Penilaian :

a. Usaha layak jika IRR lebih besar dari tingkat diskonto yang ditetapkan oleh bank.

b. Usaha tidak layak jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto yang ditetapkan oleh bank.

4. Payback Period (PP)

Payback Period merupakan metode yang mencoba mengukur seberapa cepat investasi pada suatu kegiatan usaha dapat kembali. Perhitungan dilakukan dengan cara mengkumulatifkan nilai manfaat bersih yang terdapat pada cashflow. Semakin kecil angka yang dihasilkan berarti semakin cepat tingkat pengembalian dari suatu investasi, sehingga usaha yang dijalankan semakin baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung PP adalah sebagai berikut :

Payback Period= I ... (4) AB

Dimana :

I = Biaya investasi yang diperlukan

(33)

Kriteria penilaian :

Lamanya periode waktu pengembalian biaya investasi harus lebih cepat dibandingkan umur usaha yang diproyeksikan dalam cashflow, semakin cepat pengembalian biaya investasi maka semakin baik usaha tersebut untuk dijalankan.

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat dampak dari suatu keadaan yang berubah-ubah terhadap hasil suatu analisis. Tujuannya adalah untuk melihat kembali hasil analisis suatu kegiatan usaha. Variabel-variabel yang digunakan untuk analisis ini adalah perubahan volume produksi dan kenaikan biaya produksi. Variabel-variabel tersebut berpengaruh besar terhadap pendapatan atau keuntungan karena keduanya merupakan output dan input utama dalam kegiatan produksi bawang goreng.

Asumsi Dasar Penelitian

1) Harga yang digunakan adalah harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung pada bulan April 2011 sampai dengan Juni 2011.

2) Sumber modal seluruhnya adalah modal sendiri.

3) Umur proyek adalah satu tahun didasarkan pada umur dua peralatan utama yaitu penggorengan dan kompor.

4) Produksi bawang goreng adalah konstan setiap tahunnya.

5) Proses produksi yang dilakukan pengrajin bawang goreng adalah sama. 6) Pengrajin bawang goreng adalah pemilik usaha bawang goreng.

7) Usaha bawang goreng skala kecil rumah tangga adalah usaha bawang goreng yang memiliki tenaga kerja paling banyak empat orang termasuk pengrajin. 8) Harga produk adalah harga yang disepakati pengrajin bawang goreng dan

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis dan Pembagian Administratif

Kabupaten Kuningan terletak pada titik koordinat 108° 23 - 108° 47 Bujur Timur dan 6° 47 - 7° 12 Lintang Selatan. Sedangkan ibu kotanya terletak pada titik koordinat 6° 45 - 7° 50 Lintang Selatan dan 105° 20 - 108° 40 Bujur Timur. Bagian timur wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian barat berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Ceremai (3.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka.Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.

Dilihat dari posisi geografisnya, Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat berada pada lintasan jalan regional yang menghubungkan kota Cirebon dengan wilayah Priangan Timur dan sebagai jalan alternatif jalur tengah yang menghubungkan Bandung-Majalengka dengan Jawa Tengah. Secara administratif berbatasan dengan

1 Sebelah Utara : Kabupaten Cirebon

2 Sebelah Timur : Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)

3 Sebelah Selatan : Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah)

4 Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka

Kabupaten Kuningan mempunyai luas 1 178.58 km2 dengan ketinggian rata-rata 0 meter sampai dengan 700 meter di atas permukaan laut. Luas daerah terdiri dari 63 376 Ha lahan sawah, 18 469 Ha bangunan, 17 757 Ha tegalan, 7 984 Ha tambak, 4 400 Ha hutan rakyat, 49 050 Ha hutan Negara, 774 Ha perkebunan swasta, dan 4 307 Ha untuk fasilitas lain-lain seperti jalan dan lapangan. Curah hujan rata-rata bulanan menurut Balai Klimatologi di Kabupaten Kuningan sebesar 18.94 mm.

Demografi

(35)

menanggung sebanyak 50 penduduk usia belum atau tidak produktif. Untuk lebih lengkapnya data penduduk serta beberapa informasi demografi kami sajikan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2 Informasi demografi Kabupaten Kuningan tahun 2010-2012

Informasi Demografi 2010 2011 2012

Jumlah Penduduk

Total 1 069 448 1 089 620 1 102 354

Laki-Laki 534 415 542 645 549 118

Perempuan 535 033 546 975 553 236

Laju Pertumbuhan Penduduk 2.80 % 1.89 % 1.17 %

Sex Ratio 99.80 % 99.20 % 99.30 %

Komposisi Umur

0 - 14 287 288 280

15 - 54 714 727 735

55+ 68 75 87

Angka Beban Tanggungan 0,50 % 0,49 % 0,50 %

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2012

Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan tahun 2012, persentase penduduk dewasa yang melek huruf di Kabupaten Kuningan mencapai 98.03 persen sedangkan hasil Suseda 2012 menunjukan adanya perbaikan menjadi 98.27 persen. Begitu pula rata-rata lama sekolah, pada tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Kuningan sekitar 8.33 tahun meningkat menjadi 8.68 tahun di tahun 2012.

Persentase penduduk Kabupaten Kuningan usia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 72.66 persen, tamat SMP sebesar 13.73 persen, tamat SMU/SMK sebesar 10.88 persen, dan sebanyak 2.72 persen yang tamat pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi). Berarti dari 1 000 orang penduduk 10 tahun ke atas hanya 27 orang yang berkesempatan menyelesaikan pendidikan tinggi (Diploma, Akademi, Perguruan tinggi) (BPS 2012). Adapun Pendidikan Luar Biasa untuk siswa berkebutuhan khusus kini telah banyak ditampung di sebuah lembaga pendidikan siswa berkebutuhan khusus, diantaranya SLBN Kuningan.

(36)

Tabel 3 Jenis mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan tahun 1999-2012.

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, 2012

Produk Unggulan Daerah

Komoditi holtikultura dan tanaman pangan yang menjadi produk unggulan Kabupaten Kuningan adalah bawang merah, cabe merah, kentang, kubis, dan jamur. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, produksi bawang merah pada tahun 2001 mencapai 244 456.2 ton. Jumlah tersebut menyumbang 36.96 persen dari total produksi bawang merah di Indonesia. Sedangkan produk unggulan tanaman perkebunan di Kabupaten Kuningan adalah teh dengan produksi per tahun mencapai 1 257.051 ton dengan luas lahan 81.936 ha. Di bidang perikanan, produksi ikan bandeng di Kabupaten Kuningan mampu mencapai 300 ton per tahun dengan luas lahan 6.915 ha. Selain itu, teri nasi mampu mencapai produksi sebesar 5 ton per tahun dan telah mampu menembus pasar ekspor ke Taiwan.

Usaha Bawang Goreng di Kabupaten Kuningan

Usaha bawang goreng telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan sebagai produk unggulan daerah. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kuningan tahun 2010, usaha bawang goreng terdiri dari 11 unit usaha dengan kapasitas produksi sebesar 15 ton per tahun dan kebutuhan bahan baku sebesar 45 ton per tahun atau hanya 0.03 persen dari total produksi rata-rata bawang merah di Kabupaten Kunigan yaitu 167 669.94 ton per tahun. Lokasi usaha bawang goreng terkonsentrasi di Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan. Akses pengrajin bawang goreng terhadap transportasi, telekomunikasi, dan pasar cukup dekat mudah. Jarak pasar yang dituju dengan lokasi usaha berkisar antara 0,5 km sampai dengan 6 km. Kebutuhan listrik dan air juga mudah untuk dipenuhi.

(37)

tahun dengan pengalaman menjalankan usaha bawang goreng berkisar mulai dari 3 tahun sampai 15 tahun. Usaha bawang goreng tersebut berdiri antara tahun 1999 dan 2010. Modal dialokasikan untuk pembelian peralatan, bahan baku, bahan penolong, serta untuk mengupah tenaga pengupas.

Produk bawang goreng yang dihasilkan pengrajin bawang goreng di Kabupaten Kuningan berkisar antara 20 kilogram hingga 420 kilogram per bulan. Teknologi yang digunakan masih sederhana. Hanya ada dua peralatan produksi yang digunakan secara elektrik, yaitu alat pengiris dan alat penurun kadar minyak. Bahan baku utama untuk memproduksi bawang goreng adalah bawang merah. Bahan baku pendukungnya antara lain minyak goreng dan tepung terigu. Proses produksi bawang goreng meliputi pengupasan bawang merah, pencucian, pengirisan, penepungan, penggorengan, penurunan kadar minyak, dan pengemasan. Dari satu kilogram bawang merah mampu menghasilkan rata-rata 0.3 kilogram bawang goreng.

Pemasaran bawang goreng di Kabupaten Kuningan saat ini telah mencapai berbagai kota seperti Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, bahkan hingga Jakarta, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya. Pengrajin bawang goreng menjual produknya ke pedagang pengumpul dan ke pengecer, serta sebagian kecil dijual langsung ke konsumen. Harga bawang goreng di tingkat pengrajin berkisar antara Rp 10 000 dan Rp 25 000 per kilogram. Sedangkan harga di tingkat konsumen berkisar antara Rp 12 500 dan Rp 30 000 per kilogram. Produk yang dijual ke pengecer biasanya mempunyai harga yang lebih tinggi.

Usaha rumah tangga bawang goreng di Kabupaten Kuningan rata-rata membutuhkan 2 hingga 4 tenaga kerja. Tenaga kerja tersebut sebagian besar adalah untuk pekerjaan mengupas yang jumlahnya dapat mencapai 3 orang. Tenaga kerja ini biasanya diperoleh dari masyarakat sekitar. Untuk kegiatan selain mengupas cukup dilakukan oleh dua hingga empat orang yang biasanya diambil dari anggota keluarga.

Organisasi yang mewadahi para pengrajin bawang goreng di Kabupaten Kuningan masih belum ada. Pengrajin beraktivitas sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi. Beberapa tahun sebelumnya pernah dibentuk organisasi bagi pengrajin bawang goreng, namun kini tidak beroperasi karena tidak ada pengurusnya.

Karakteristik Usaha Bawang Goreng di Kabupaten Kuningan

Usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan saat penilitian berlangsung berjumlah 16 unit. Usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan dapat dikelompokkan ke dalam enam tipe. Dasar dari pengelompokkan ini pada skala usaha, penggunaan alat pengiris bawang merah, dan jalur pemasaran yang dilakukan.

(38)

Berdasarkan hal tersebut, usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan dapat dikelompokkan menjadi enam tipe. Pertama adalah usaha bawang goreng Tipe A yaitu usaha skala kecil rumah tangga. Tenaga kerja yang digunakan sebanyak empat orang dan menggunakan alat pengiris manual. Produknya dipasarkan melalui pedagang pengumpul dengan harga Rp 10 000 per kilogram. Rata-rata produksi per bulan sebesar 100 kilogram dengan frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan.

Usaha bawang goreng yang kedua adalah tipe B yang merupakan usaha skala kecil rumah tangga. Tenaga kerja yang digunakan sebanyak dua orang. Sedangkan alat pengiris yang digunakan adalah alat pengiris manual. Produknya dipasarkan melalui pengecer dengan harga Rp 20 000 per kilogram. Rata-rata produksi per bulan adalah sebesar 20 kilogram dengan frekuensi produksi sebanyak 8 kali dalam satu bulan.

Usaha bawang goreng yang ketiga adalah Tipe C yang merupakan usaha skala kecil rumah tangga. Tenaga kerja yang digunakan sebanyak tiga orang. Sedangkan alat pengiris yang digunakan adalah alat pengiris manual. Produknya dipasarkan melalui pedagang pengumpul dengan harga rata-rata Rp 10 714 per kilogram. Rata-rata produksi per bulan sebesar 188.57 kilogram dengan frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan.

Usaha bawang goreng yang keempat adalah Tipe D yang merupakan usaha skala kecil rumah tangga. Tenaga kerja yang digunakan sebanyak empat orang. Sedangkan alat pengiris yang digunakan adalah alat pengiris manual. Produknya dipasarkan melalui pengecer dengan harga Rp 25 000 per kilogram. Rata-rata produksi per bulan adalah sebesar 320 klogram dengan frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan.

Usaha bawang goreng yang kelima adalah tipe E yang merupakan usaha skala kecil rumah tangga. Tenaga kerja yang digunakan sebanyak empat orang. Sedangkan alat pengiris yang digunakan adalah alat pengiris elektrik. Produknya dipasarkan melalui pedagang pengumpul dengan harga rata-rata Rp 10 600 per kilogram. Rata-rata produksi per bulan adalah sebesar 420 kilogram dengan frekuensi produksi sebanyak 20 kali dalam satu bulan.

(39)

Tabel 4 Karakteristik usaha bawang goreng di Kabupaten Kuningan

4. Produk dipasarakan melalui pedagang pengumpul dengan harga Rp 10 000 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 100 kilogram

6. Frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan

B

1. Skala kecil rumah tangga

2. Jumlah tenaga kerja 2 orang

3. Menggunakan alat pengiris manual

4. Produk dipasarkan melalui pengecer dengan harga Rp 20 000 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 20 kilogram

6. Frekuensi produksi sebanyak 8 kali dalam satu bulan

C

1. Skala kecil rumah tangga

2. Jumlah tenaga kerja 3 orang

3. Menggunakan alat pengiris manual

4. Produk dipasarkan melalui pedagang pengumpul dengan harga Rp 10 714 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 188.57 kilogram

6. Frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan

D

1. Skala kecil rumah tangga

2. Jumlah tenaga kerja 4 orang

3. Menggunakan alat pengiris manual

4. Produk dipasarkan melalui pengecer dengan harga Rp 25 000 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 120 kilogram

6. Frekuensi produksi sebanyak 12 kali dalam satu bulan

E

1. Skala kecil rumah tangga

2. Jumlah tenaga kerja 4 orang

3. Menggunakan alat pengiris elektrik

4. Produk dipasarkan melalui pedagang pengumpul dengan harga Rp 10 600 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 420 kilogram

6. Frekuensi produksi sebanyak 20 kali dalam satu bulan

F

1. Skala kecil rumah tangga

2. Jumlah tenaga kerja 4 orang

3. Menggunakan alat pengiris elektrik

4. Produk dipasarkan melalui pengecer dengan harga Rp 18 000 per kilogram

5. Rata-rata produksi per bulan sebesar 400 kilogram

(40)

Aspek Non Finansial

Aspek Pasar

Bawang goreng merupakan produk olahan dari bawang merah yang digunakan untuk penyedap rasa makanan. Sumber permintaan dari dalam negeri datang dari rumah tangga, pedagang makanan keliling, rumah makan, hotel, dan pabrik mie instan. Permintaan dari luar negeri berasal dari negara Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi.

Meskipun permintaan bawang goreng datang dari banyak sumber, namun bawang merah di Kabupaten Kuningan belum mampu memenuhi permintaan sepenuhnya. Produksi bawang goreng di Kabupaten Brebes tiap bulan adalah sebesar 4 260 kilogram atau 51 120 kilogram dalam satu tahun. Jumlah ini masih sangat kecil.

Permintaan bawang goreng di dalam negeri sulit untuk diketahui, namun perkembangan permintaan bawang goreng secara tidak langsung dapat dilihat dari perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia. Perkembangan dan proyeksi konsumsi bawang merah tahun 2009-2012 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perkembangan dan proyeksi bawang merah tahun 2009–2012

Tahun Konsumsi (Ton) Pertumbuhan (%)

2009 356 538

2010 374 941 2.34

2011 384 151 2.34

2012 390 380 2.34

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan, 2012

Perkembangan konsumsi bawang merah cenderung terus meningkat tiap tahunnya sebesar 2.34 persen. Diperkirakan total konsumsi bawang merah penduduk Indonesia pada tahun 2012 mencapai 390 380 ton. Perkembangan konsumsi bawang merah ini memberi gambaran adanya perkembangan yang meningkat juga pada konsumsi bawang goreng di Indonesia.

Pemasaran bawang goreng dari Kabupaten Kuningan telah mencapai kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta melalui pedagang pengumpul. Pemasaran di dalam wilayah Kabupaten Kuningan secara umum dilakukan pengrajin sendiri. Jalur pemasaran bawang goreng Kabupaten Kuningan dapat dilihat di Gambar 2.

Gambar 2. Jalur Pemasaran Bawang Goreng di Kabupaten Kuningan Pengrajin

Bawang Goreng

Pedagang

(41)

Jalur pemasaran yang dilakukan pengrajin bawang goreng di Kabupaten Kuningan secara umum terbagi menjadi dua. Jalur pertama pemasaran melalui pedagang pengumpul. Dari pedagang pengumpul, bawang goreng disalurkan ke pengecer yang selanjutnya dijual kepada konsumen. Jalur kedua pemasaran melalui pengecer secara langsung. Dari pengecer, bawang goreng dijual ke konsumen. Konsumen kadang datang langsung ke pengrajin, biasanya dari masyarakat sekitar.

Pengrajin usaha bawang goreng Tipe A, C, dan E menjual sebagian besar hasil produksinya kepada pedagang pengumpul. Pembayaran dilakukan secara kas. Karena modal yang dimiliki pengrajin terbatas, maka sistem pembayaran ini disukai ketiga tipe pengrajin di atas. Dengan dibayar secara kas, maka modal yang dimiliki pengrajin bisa cepat kembali. Modal yang telah kembali digunakan untuk melakukan produksi berikutnya. Produk yang dihasilkan usaha bawang goreng Tipe A, C, dan E dikemas dalam plastik berukuran 5 kilogram hingga 15 kilogram tanpa menggunakan merek dagang.

Usaha bawang goreng Tipe B, D, dan F memasarkan hasil produksinya ke pengecer seperti toko dan supermarket. Pembayaran dilakukan secara konsinyasi. Pengecer yang dituju adalah toko-toko sekitar yang mudah dijangkau. Untuk pengrajin Tipe D, toko yang dituju adalah toko di daerah Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Produk dikemas dalam kemasan kecil biasanya berukuran satu ons dengan mencantumkan merek dagang, tanggal produksi dan kadaluarsa. Bawang goreng yang disukai konsumen adalah bawang goreng yang berwarna kuning atau coklat muda, bersih, dan tidak remuk.

Harga bawang goreng biasanya mengikuti harga bawang merah. Harga bawang goreng pada tingkat pengrajin yang diproduksi usaha bawang goreng Tipe A, C, dan E berkisar antara Rp 10 000 dan Rp 13 000 per kilogram dan di tingkat konsumen harga menjadi Rp 1 250 sampai dengan Rp 2000 per ons. Pada usaha bawang goreng tipe B, D, dan F harga di tingkat pengrajin dapat mencapai Rp 18.000 hingga Rp 25 000 dan di tingkat konsumen mencapai Rp 2 200 hingga Rp 3000 per ons. Kegiatan promosi hampir tidak pernah dilakukan oleh pengrajin. Promosi sejauh ini dilakukan oleh sebagian pengrajin dengan cara menitipkan produknya kepada petugas pemerintah daerah pada saat ada pameran.

Aspek Teknis

Seluruh pengrajin bawang goreng mempunyai lokasi usaha yang menyatu dengan rumahnya. Pengrajin memanfaatkan dapur di rumahnya untuk dapat melakukan kegiatan produksi. Peralatan yang digunakan pengrajin dalam kegiatan produksi bawang goreng secara umum hampir sama. Perbedaan peralatan terdapat pada penggunaan alat pengiris bawang merah dan alat untuk menurunkan kadar minyak. Usaha bawang goreng Tipe A, B, C, dan D menggunakan alat pengiris manual, sedangkan usaha bawang goreng Tipe E dan F menggunakan alat pengiris elektrik. Alat pengiris bawang merah manual dapat mengiris bawang merah sebesar 10 hingga 20 kilogram per jam. Sedangkan alat pengiris bawang merah elektrik mampu mengiris sebanyak 200 kilogram per jam.

Gambar

Tabel 1 Rasio produksi bawang merah Kabupaten Kuningan tahun 2010–2012
Gambar 1  Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 2 Informasi demografi Kabupaten Kuningan tahun 2010-2012
Tabel 3 Jenis mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan tahun 1999-2012.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini digunakan untuk mengetahui kelayakan finansial industri rumah tangga sosis tempe di Perusahaan ZOPE, untuk mengetahui tingkat sensitivitas setiap komponen yang diteliti

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk menganalisis besarnya biaya, penerimaan, dan pendapatan dalam usaha industri tahu skala

Penerimaan total yang diperoleh industri rumah tangga Sofie dalam memproduksi bawang putih goreng selama Bulan Januari Tahun 2013 sebesar Rp. Setelah dikurangi dengan

Seluruh hasil dari analisis akan menghasilkan informasi/rekomendasi terhadap kemajuan UBH-KPWN Kabupaten Bogor dan dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat

5.7 Hasil Analisis Sensitivitas Budidaya Ikan Lele Dumbo di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Kabupaten Jember dengan Adanya Kenaikan Harga Pakan Sebesar

Untuk mengetahui analisis kelayakan usaha tersebut yaitu dilakukan dengan cara membandingkan antara total penerimaan (TR) dengan jumlah total biaya (TC) Apabila

Analisis sensitivitas digunakan untuk mengganalisis kelayakan usaha perkebunan serta pengolahan karet jika terdapat perubahan dalam biaya atau penerimaan. Perubahan

Hasil analisis untuk melihat dampak kredit terhadap perilaku ekonomi rumah tangga nelayan tradisional menunjukkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) masing- masing