• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Finansial dan Dampak Ekonomi Usaha Jati Unggul Nusantara (Studi Kasus Unit Usaha Bagi Hasil - Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Finansial dan Dampak Ekonomi Usaha Jati Unggul Nusantara (Studi Kasus Unit Usaha Bagi Hasil - Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta hektar (ha) dengan luas daratan sekitar 187.91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan data statistik Kementerian Kehutanan tahun 2011 luas kawasan hutan mencapai 130 609 014.98 ha. Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan, yaitu berupa manfaat langsung yang dirasakan dan manfaat yang tidak langsung. Manfaat hutan tersebut dapat dirasakan apabila hutan terjamin eksistensinya, sehingga dapat berfungsi secara optimal. Manfaat yang diperoleh masyarakat dengan adanya hutan yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Manfaat tidak langsung dari hutan yaitu sebagai pengatur tata air, menciptakan kualitas udara yang bersih, dan sebagai penyerap emisi karbondioksida (CO2) sehingga dapat meredam pemanasan global (Asdak, 1995).

Hutan memiliki banyak fungsi salah satunya fungsi ekonomi. Fungsi hutan jika ditinjau dari sisi ekonomi, hutan dapat berpengaruh dalam penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Selain itu hutan berfungsi sebagai penggerak sektor ekonomi lainnya dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian (Awang, 2002). Peran hutan dalam perekonomian dapat dilihat dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan pada tahun 2001-2010 mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan perubahan sebesar Rp 7 503.9 milyar atau 33.26 persen dari PDB tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat pada

(2)

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Indonesia untuk Sektor Kehutanan atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2010

No Tahun PDB Sektor Kehutanan (Milyar Rupiah)

1 2001 16 962.1

2 2002 17 602.4

3 2003 18 414.6

4 2004 20 290.0

5 2005 22 561.8

6 2006 30 065.7

7 2007 35 734.1

8 2008 40 668.4

9 2009 44 952.1

10 2010 48 085.5

Sumber: Kementerian Kehutanan (2011)

Kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Adapun hasil hutan kayu meliputi kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan kayu olahan. Hasil hutan non kayu meliputi rotan, getah, sirlak, terpentin, minyak kayu putih, damar, sagu, dan kopal.

Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas pula dari peran sektor kehutanan dalam menghasilkan devisa. Pengusahaan sektor kehutanan salah satunya dilakukan dengan pengembangan industri hasil hutan berbahan dasar kayu. Pengembangan industri hasil hutan berupa kayu ini didorong oleh upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, diantaranya adalah penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah serta peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor. Ekspor produksi hasil hutan berupa kayu olahan mencakup kayu gergajian, kayu lapis, wood charcoal, pulp, veneer sheets, particle board, dan

(3)

Tabel 2. Volume Ekspor Produk Hasil Kayu Olahan Indonesia Tahun 2010

Pengembangan industri kayu olahan terus dilakukan mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara, namun perkembangannya mengalami hambatan karena ketersediaan kayu yang semakin langka khususnya kayu jati. Menurut Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO), permintaan kayu jati di pasar global mencapai 230 juta m3/tahun, sementara perusahaaan mebel dan kerajinan Indonesia membutuhkan kontinuitas pasokan bahan baku kayu jati rata-rata sebesar 2.5 juta m3/tahun. Namun saat ini baru bisa dipenuhi sebesar 700 ribu m3/tahun (Tobing, 2011). Kendala lain yang dihadapi dalam pemenuhan bahan baku kayu jati adalah umur tanam yang relatif lama karena semakin lama tanaman jati ditanam, maka kualitasnya semakin baik.

(4)

Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani dan dilaksanakan dengan pola penanaman secara intensif. Jati Unggul Nusantara dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul Perum Perhutani yang bersertifikat. JUN menggunakan metode bioteknologi mutakhir dengan pola usahatani yang ramah lingkungan dalam memanfaatkan pupuk organik.

1.2 Perumusan Masalah

Kegiatan penanaman Jati Unggul Nusantara dalam rangka menunjang pengembangan budidaya jati unggul, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem usaha ini diharapkan dapat memenuhi permintaan jati yang berkesinambungan sehingga memberikan dampak ekonomi dan dampak lingkungan bagi masyarakat sekitar. Salah satu pelaku usaha budidaya jati unggul yang memiliki sistem usaha yang terpadu dan ramah lingkungan adalah UBH-KPWN (Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara). UBH-KPWN merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN). Unit Usaha Bagi Hasil ini dibentuk oleh dan berada di bawah KPWN untuk melaksanakan usaha yang bergerak di bidang budidaya jati unggul dengan pola bagi hasil. UBH-KPWN dalam melakukan usaha kegiatan penanaman JUN tersebar di Pulau Jawa salah satunya di daerah Kabupaten Bogor.

(5)

masyarakat sekitar karena akan menciptakan lapangan pekerjaan dan menambah penghasilan masyarakat. Pembangunan kegiatan usaha JUN merupakan salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di sekitar hutan tersebut. Keberadaan kegiatan JUN diharapkan dapat meningkatkan pendapatan tambahan kepada petani JUN karena kebutuhan hidup yang terjadi secara terus-menerus. Oleh karena itu, masyarakat mengikuti kegiatan JUN untuk mendapatkan upah.

Kegiatan penanaman JUN di Kabupaten Bogor secara umum menggunakan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Lahan tersebut dioptimalkan oleh UBH-KPWN Bogor dengan cara menanam kayu jati. Tanaman jati dapat berfungsi sebagai pengatur tata air dan menjaga kualitas udara bersih. Kegiatan penanaman JUN diharapkan dalam jangka panjang mampu menjaga kondisi iklim mikro yaitu penyerapan emisi karbondioksida (CO2) yang menyebabkan pemanasan global. Hutan (jati) mampu menyerap karbondioksida di udara dalam jumlah besar dan waktu yang relatif pendek dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih produktif (Anwar, 2011). Kegiatan usaha JUN diharapkan berdampak langsung dan positif terhadap masyarakat sekitar khususnya dalam perlindungan ketersediaan air dan kualitas udara.

(6)

dikehendaki. Sebaliknya bagi seseorang yang mempunyai sikap menerima lingkungan hutan maka mereka dapat memanfaatkan hutan sekaligus menjaga dan menyelamatkan hutan dari kerusakan, sehingga hutan memberikan manfaat yang terus-menerus.

Usaha UBH-KPWN Bogor diharapkan dapat direplikasi di daerah lain untuk memenuhi pasokan kayu jati domestik bahkan untuk kebutuhan eksport yang masih tinggi. Oleh karena itu, perlu diketahui analisis kelayakan finansial dari usaha JUN UBH-KPWN Bogor layak tidaknya usaha tersebut untuk dilanjutkan. Selain itu, guna memberikan gambaran/contoh kepada proyek lain yang ingin mendirikan suatu usaha. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kelayakan finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana dampak ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar? 3. Bagaimana persepsi para pihak terhadap kegiatan unit usaha Jati Unggul

Nusantara?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Menganalisis kelayakan finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis dampak ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar. 3. Mengidentifikasi persepsi para pihak terhadap kegiatan unit usaha Jati Unggul

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada pihak pengusaha atau pemilik modal (investor) sebagai masukan pengambilan keputusan dalam memilih investasi usaha. Penelitian ini pun diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dampak ekonomi dan lingkungan keberadaan Jati Unggul Nusantara (JUN) terhadap masyarakat sekitar. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai persepsi para pihak terhadap kegiatan JUN. Bagi civitas akademik, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam pelaksanaan penelitian-penelitian selanjutnya serta menjadi bahan rujukan. Bagi penulis diharapkan penelitian ini dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dipelajari selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jati Unggul Nusantara

Kayu jati sangat terkenal untuk berbagai penggunaan karena kekuatan dan keawetannya, namun karena pertumbuhannya sangat lambat menyebabkan keseimbangan antara penyediaan kayu jati dengan kebutuhan industri tidak seimbang. Upaya pemenuhan kebutuhan kayu jati yang telah dilakukan untuk mengatasi kontinuitas pasokan kayu jati, yaitu:

1. Melakukan penelitian untuk menghasilkan klon unggul tanaman pohon jati yang lebih cepat.

2. Membudidayakan klon unggulan tersebut untuk dapat dipanen dalam masa daur pendek.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perum Perhutani sejak tahun 1990 telah melakukan penelitian untuk menghasilkan benih jati unggul asli Indonesia. Pengembangan benih unggul berasal dari pohon plus tanaman jati Perum Perhutani di Pulau Jawa. Hasil pengembangan ini disebut klon Jati Plus Perhutani (JPP). Benih pohon Jati Plus Perhutani (JPP) yang dikembangkan Perum Perhutani, kemudian dilanjutkan pengembangannya oleh pihak PT Setyamitra Bhakti Persada bekerjasama dengan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara di bawah pengawasan Kementerian Kehutanan.

(9)

menghasilkan bibit tanaman jati dengan akar tunggang majemuk pada usia dini. Sesuai hasil penelitian tersebut menunjukkan sifat klon jati baru, yang kemudian disebut klon Jati Unggul Nusantara (JUN).

Tanaman JUN diperhitungkan dapat dipanen pada umur antara 5-15 tahun. Sesuai sifatnya, tanaman JUN memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dan kondisi pertumbuhan relatif seragam pada saat usia tahun kedua. Pada umur tanaman antara 3-5 tahun, diameter tanaman dapat mencapai rata-rata 23 cm dan tinggi pohon 10 m. JUN memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah memiliki perakaran tunjang majemuk, cepat besar, kokoh, sehingga tidak mudah roboh, dan memiliki daya serap yang tinggi terhadap nutrisi. Keunggulan lainnya adalah JUN dapat di panen pada tahun ke lima dengan memiliki kualitas kelas awet III-V, kelas kuat III, dan persentase teras 26-27 persen (UBH-KPWN, 2012). Pola pengelolaan intensif tanaman JUN lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Produktivitas potensi rata-rata JUN pada tahun kelima diperhitungkan dapat mencapai 0,235 m3/pohon. Penanaman JUN akan lebih baik ditanam pada daerah ketinggian antara 50-600 m dpl. Iklim yang baik bagi pertumbuhan tanaman JUN pada kisaran curah hujan antara 1500-2000 mm/tahun, dan sebaiknya ditanam pada area yang memiliki sistem drainase yang baik (UBH-KPWN, 2012).

2.2 Evaluasi Proyek

(10)

saling berkaitan dan secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut (Gittinger, 1986).

Dilihat dari kapan evaluasi dilakukan pada proyek, dapat dibedakan 4 jenis evaluasi proyek:

1. Evaluasi terhadap usulan proyek yang akan didirikan (pre project evaluation). 2. Evaluasi terhadap proyek yang sedang dibangun (on construction project

evaluation).

3. Evaluasi terhadap proyek yang telah dioperasionalisasikan (on going project evaluation).

4. Evaluasi terhadap proyek yang telah berakhir (post project evalution study).

2.2.1 Analisis Kelayakan Finansial

(11)

a. Perhitungan Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakan manfaat bersih yang diterima selama umur proyek pada tingkat diskonto tertentu. Ukuran ini bertujuan untuk menghasilkan alternatif yang dipilih karena adanya kendala biaya modal, dimana usaha ini memberikan NPV biaya yang sama atau NPV penerimaan yang kurang lebih sama setiap tahun. Jika NPV menghasilkan nilai positif maka investasi tersebut dapat dilanjutkan, sedangkan jika NPV tersebut bernilai negatif maka sebaiknya investasi tersebut dihentikan (Kasmir dan Jakfar, 2003).

b. Perhitungan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah besarnya manfaat tambahan pada setiap tambahan biaya sebesar satu satuan. Net B/C merupakan perbandingan antara nilai sekarang (present value) dari net benefit yang positif dengan net benefit yang negatif. Proyek layak dilanjutkan bila Net B/C lebih besar dari satu (Gray et al.,1986).

c. Perhitungan Internal Rate of Return (IRR)

Investasi dikatakan layak dilanjutkan jika IRR lebih besar dari tingkat diskonto, sedangkan jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek tersebut tidak layak dilanjutkan. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dinyatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku (Ibrahim, 2003).

d. Payback Period (PBP)

(12)

arus nilai netto produksi tambahan mencapai jumlah keseluruhan investasi yang ditanamkan (Gittinger, 1986).

Husnan dan Suwarsono (1994), mengungkapkan bahwa analisis payback period mengukur seberapa cepat investasi kembali, sehingga satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Jika

payback period ini lebih pendek dari umur proyek, maka proyek dikatakan layak dan baik untuk dilanjutkan, sedangkan jika umur proyek lebih lama maka proyek tidak layak dilanjutkan.

Dasar perhitungan yang digunakan adalah aliran kas bukan laba. Perhitungan tingkat pengembalian dilakukan dengan metode payback period, dimana nilai manfaat bersih yang terdapat pada cash flow didiskontokan dan diakumulatifkan dari tahun ke tahun (Gittinger, 1986).

2.2.2 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas (sensitivity analysis) dilakukan untuk melihat kepekaan /pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya manfaat (Kadariah, 2001). Analisis sensitivitas adalah suatu analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Menurut Gittinger (1986), proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, yaitu: 1. Perubahan harga jual produk.

2. Keterlambatan pelaksanaan proyek. 3. Kenaikan biaya.

(13)

2.3 Sistem Bagi Hasil

Pola bagi hasil antara pemilik modal (investor) dan pengusaha (entrepreneur) dalam kegiatan ekonomi banyak diterapkan untuk mengatasi keterbatasan modal individu dalam memenuhi pembiayaan usaha. Sebagian besar masyarakat meyakini pola bagi hasil merupakan merupakan model kerjasama usaha yang dianggap lebih memenuhi nilai agama dengan model pembagian resiko kegagalan usaha atau pembagian keuntungan yang lebih adil dan terbuka (Jusmaliani, 2006). Terdapat dua jenis perhitungan bagi hasil, yaitu: profit/loss sharing dan revenue sharing. Pada profit/loss sharing jumlah pendapatan bagi hasil yang diterima tergantung keuntungan usaha, sedangkan pada revenue sharing penentuan bagi hasil tergantung pendapatan kotor usaha (harga jual dikalikan dengan jumlah barang yang dijual). Pada umumnya di Indonesia menerapkan sistem revenue sharing (Jusmaliani, 2006).

Pengelolaan usaha pola bagi hasil yang dilaksanakan UBH-KPWN, mencakup pengelolaan dana investor yang digunakan untuk biaya operasional kegiatan penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman dan biaya pemanenan tegakan pohon jati. Saat pemanenan pada tahun kelima yang telah disepakati, manajemen UBH-KPWN akan membayarkan kembali dana hasil penjualan pohon jati kepada para pihak sesuai proporsi bagi hasil yang telah disepakati.

2.4 Manfaat Ekonomi

(14)

kombinasi biaya berwujud yang akan timbul dimana keduanya sama penting dengan manfaat yang tidak berwujud. Mengukur manfaat suatu proyek lebih sulit daripada mengukur biayanya. Menurut Gray et al (1986), masalah-masalah yang dihadapi dalam pengukuran manfaat ini dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Mengukur jumlah manfaat

Hasil produksi dari sebuah proyek adalah adanya penambahan jumlah barang dalam masyarakat setelah adanya proyek tersebut. Dengan kata lain, hasil produksi suatu proyek adalah perbedaan jumlah persediaan barang yang terdapat dalam masyarakat dengan adanya proyek dan seandainya tidak ada proyek.

2. Penentuan harga hasil produksi

Hasil suatu proyek terdiri dari berbagai barang yang berbeda. Berbagai jenis produk suatu proyek dapat berbeda dengan barang yang berada dalam masyarakat baik dari segi mutu dan kualitasnya yang menyebabkan harganya menjadi berbeda. Suatu harga barang yang sama dapat berbeda pada tempat dan waktu yang berbeda. Suatu proyek yang menciptakan produk dalam jumlah yang besar dapat mempengaruhi tingkat harga. Oleh karena itu, kesalahan dalam perhitungan manfaat suatu proyek dapat terjadi karena terjadinya kesalahan dalam memberikan nilai kepada harga dari produk proyek tersebut.

3. Adanya eksternalitas

(15)

tetapi perlu dipertimbangkan dalam penentuan pilihan proyek tersebut. Kesulitan dalam mengukur hasil proyek terjadi, antara lain:

1. Hasil tidak langsung atau akibat sampingan proyek itu justru berada di luar proyek itu sendiri, seperti hasil tidak langsung dari peningkatan pangan dapat terjadi kepada peningkatan perbaikan pendidikan.

2. Akibat sampingan dari suatu proyek dapat merupakan biaya masyarakat secara keseluruhan, seperti intensifikasi pertanian dalam suatu wilayah yang menggunakan pestisida dapat menambah produksi padi, tetapi hal tersebut turut berpengaruh kepada terjadinya penuruan produksi ikan pada wilayah tersebut. 3. Hasil yang tidak langsung menyebabkan sukar diukur dan dinilai dengan uang

(intangible), seperti terjadi penurunan keamanan setelah pelaksanaan proyek.

2.5 Manfaat Lingkungan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Jasa lingkungan dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung, seperti rekreasi, sedangkan secara tidak langsung, seperti perlindungan tata air, kualitas udara bersih, dan penyerapan karbondioksida (CO2).

(16)

menggunakan lingkungan tersebut. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa, seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, dan bunyi. Komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa, seperti tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroorganisme (Lingkungan, 2012)1.

Aspek lingkungan dalam kegiatan usaha penanaman JUN adalah eksternalitas positif terhadap kualitas lingkungan. Kegiatan JUN bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dengan cara pengelolaan yang ramah lingkungan dan mempertahankan eksistensinya sehingga fungsi hidrogis dan penyerapan karbon akan berfungsi secara optimal.

2.6 Persepsi

Kartono (1987) mengatakan persepsi sebagai proses dimana seseorang menjadi sadar segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera yang dimiliki, pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui intersepsi data indera. Persepsi tentang kesejahteraan hidup manusia terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka. Terbangunnya persepsi tersebut mendorong manusia dalam usaha mendekati atau mencapai suatu kondisi kehidupan sesuai dengan gambaran hidup sejahtera yang ada dalam konsep manusia.

Persepsi sebagai proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan merupakan suatu pencaharian yang

1

(17)

sebenarnya dari situasi tersebut. Definisi ini secara implisit menyebutkan bahwa informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walaupun informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa situasi tertentu (tidak harus berupa rangkaian kalimat atau isyarat lain) (Sutisna, 2001). Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungan. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungannya, kemungkinan orang tersebut akan berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan dan sebaliknya (Harihanto, 2001).

2.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berfungsi sebagai pendukung untuk melakukan penelitian dan membandingkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan hasil-hasil yang telah dilakukan oleh orang lain yang menunjang atau memperkuat. Banyak penelitian yang menggunakan metode analisis kelayakan finansial terhadap suatu proyek, akan tetapi proyek kegiatan JUN UBH-KPWN Kabupaten Bogor memiliki perbedaan dari segi lokasi penelitian.

(18)

2.7.1 Penelitian Analisis Kelayakan Finansial

Beberapa penelitian yang dilakukan untuk analisis kelayakan finansial dilakukan oleh Abdurrohman (2005) dan Puspitasari (2009). Hasil dari penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penelitian Analisis Kelayakan Finansial

No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian

(19)

2.7.2 Penelitian Manfaat Ekonomi

Penelitian yang melihat manfaat ekonomi dilakukan oleh Dewi (2011) dan Putro (2011). Hasil penelitian tersebut dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penelitian Manfaat Ekonomi

No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Devita Ayu Dewi

(20)

Tabel 5. Penelitian Dampak Lingkungan

No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Agung B.

Berdasarkan hasil penelitian tata air (hidrologi) selama tujuh tahun, dapat disimpulkan secara umum sub DAS kawasan hutan jati lebih baik dibandingkan sub DAS non kawasan hutan dalam mengendalikan hujan untuk aliran permukaan maupun aliran dasar seperti ditunjukkan oleh nilai rata-rata koefisien limpasan yang lebih kecil dengan fluktuasi yang stabil. Cadangan air tanah yang dikeluarkan pada musim kering sebagai aliran dasar lebih stabil pada sub DAS

Stok karbon yang dihasilkan tegakan saat ini sebesar 16.207 tonC atau 7.704 tonC/ha yang diduga dengan persamaan terbaik berdasarkan analisis, yakni C = 1445.4 D2,82. Potensi karbon hutan rakyat berdasarkan perhitungan riap diameter tahunan jika umur daur sepuluh tahun sebesar 214.732 ton.

2.7.4 Penelitian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat

Penelitian persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat telah dilakukan oleh Sultika (2010) dan Dewi (2011). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Penelitian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat

No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Lalis

Persepsi petani terhadap hutan rakyat berdasarkan Skala Likert adalah tinggi dengan nilai sebesar 2,72. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi persepsi adalah kerjaan pokok. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan,

(21)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Tanaman jati pada mulanya merupakan tanaman hutan yang tidak sengaja ditanam dan tumbuh liar di dalam hutan bersama jenis tanaman lain. Tanaman jati tumbuh sebagai tanaman campuran, serta tumbuh di daerah yang mempunyai perbedaan musim basah dan kering yang jelas. Menurut Sumarna (2008) tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke sembilan dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi.

Kayu jati merupakan jenis kayu mewah yang memiliki profil garis lingkar tumbuh yang indah, bernilai artistik tinggi, awet, tahan terhadap hama dan penyakit, serta mudah pengerjaannya (Pratiwi, 2010). Oleh karena itu, permintaan terhadap jati tetap tinggi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk sehingga memberi tekanan pada hutan. Di sisi lain, jati memiliki kelemahan yaitu umur tanam yang relatif lama, sehingga laju permintaan jati tidak sama dengan laju penawarannya.

(22)

Usaha ini telah berdiri selama lima tahun, namun rencana usaha jangka menengah telah dipersiapkan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan usaha adalah kontinuitas. Usaha ini memerlukan evaluasi proyek yang sedang berjalan terhadap kelayakan finansial. Kelayakan finansial UBH-KPWN Kabupaten Bogor dianalisis dengan indikator NPV, Net B/C, IRR, dan

Payback Period. Apabila usaha tersebut layak, maka usaha tersebut dapat terus dilanjutkan dan dikembangkan, namun apabila tidak layak usaha tersebut membutuhkan pengefisienan biaya. Setelah itu, analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kepekaan apakah UBH-KPWN Kabupaten Bogor masih layak dilanjutkan jika terjadi perubahan-perubahan.

Jati dengan daur lebih singkat tersebut diharapkan mampu mencukupi permintaan kayu di pasaran dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. JUN merupakan salah satu sarana dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberikan peluang kesempatan kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar JUN. Besar kecilnya pengaruh kegiatan usaha JUN terhadap pendapatan masyarakat sekitar dianalisis menggunakan analisis pendapatan.

(23)

Keberadaan JUN berpengaruh langsung terhadap kualitas lingkungan karena sesuai dengan fungsi hutan sebagai perlindungan ketersediaan air, menyediakan kualitas udara bersih, dan dapat menyerap (rosot) karbondioksida (CO2) dari udara. Dampak lingkungan dari kegiatan JUN kepada masyarakat sekitar dipaparkan secara deskriptif.

Keberadaan kegiatan JUN menimbulkan dampak ekonomi dan lingkungan di Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir. Dampak ekonomi dan lingkungan yang dirasakan para pihak (petani JUN, pemilik lahan, dan aparat desa) memiliki persepsi yang berbeda-beda. Persepsi sangat mempengaruhi perilaku para pihak terhadap sesuatu hal yang mereka pikirkan dan rasakan manfaatnya. Para pihak yang menyetujui adanya kegiatan JUN, memungkinan berperilaku positif serta mendukung kegiatan JUN. Para pihak yang tidak menyetujui adanya kegiatan JUN, kemungkinan berperilaku negatif terhadap kegiatan JUN. Tingkat persepsi masyarakat dapat diukur dengan pemberian nilai (skor) menggunakan Skala Likert.

(24)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

dan Deskriptif Deskriptif Skala Likert

Keberlanjutan Kegiatan Usahatani Jati Unggul Nusantara Kegiatan Usaha JUN

Dampak Ekonomi dan Lingkungan Menurut

(25)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lokasi penanaman JUN Unit Usaha Bagi Hasil-Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) Kabupaten Bogor (Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir), Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan bahwa Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir memiliki umur tanaman jati empat tahun dan lima tahun sehingga dampak positif yang diberikan kegiatan JUN sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan penelitian mencakup penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, serta penulisan laporan.

Waktu yang diperlukan untuk pengumpulan referensi, data primer, dan data sekunder hingga kegiatan pengumpulan data lapangan adalah kurang lebih dua bulan. Pelaksanaan kegiatan pengambilan data dimulai dari bulan Maret-Mei tahun 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer yang berupa cross section

(26)

instansi-instansi terkait, yaitu: UBH-KPWN, Kementerian Kehutanan, Badan Pusat Statistik, situs-situs internet, serta literatur-literatur atau kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini seperti laporan penelitian sebelumnya dan buku mengenai kelayakan finansial, persepsi, serta manfaat ekonomi dan lingkungan.

4.3 Metode dan Analisis Data

Data yang diperoleh dapat berupa jawaban secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Matriks Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Menganalisis kelayakan berdasarkan kriteria NPV, Net

B/C, IRR, Payback Period, dan

Pengolahan data secara kuantitatif dengan menggunakan perhitungan kriteria-kriteria investasi, yaitu: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio

(Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (PBP). Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat kepekaan UBH-KPWN Bogor dalam mengantisipasi apabila kenaikan harga pupuk sebesar 32 persen terjadi kembali.

(27)

kualitatif dijelaskan secara deskriptif mengenai dampak ekonomi dan dampak lingkungan. Dampak ekonomi dan dampak lingkungan menurut para pihak terhadap dari kegiatan JUN dilakukan dengan Skala Likert. Pengolahan dan analisis data dilakukan menggunakan komputer.

4.3.1 Analisis Kriteria Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial digunakan untuk melihat dampak dari adanya usaha kegiatan JUN dari sisi pelaku usaha yaitu UBH-KPWN Bogor. Analisis kelayakan finansial juga dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan penanaman JUN. Data arus penerimaan dan pengeluaran yang disajikan dalam bentuk cashflow. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan bantuan komputer.

a. Net Present Value (NPV)

NPV adalah selisih antara total net present value dengan total net present

(Gray et al., 2007). NPV dari proyek JUN diperoleh dari selisih antara total net present value dari manfaat proyek JUN dengan total net present dari biaya proyek JUN. Secara matematis, NPV proyek JUN dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Keterangan:

NPV = Net Present Value dari proyek JUN

Bt = Manfaat proyek JUN pada tahun ke t

Ct = Biaya proyek JUN pada tahun ke t

i = 12%

t = 1,2,3,...,5

(28)

Kriteria penilaian:

Proyek JUN layak dilanjutkan jika NPV ≥ 0. Jika NPV < 0, maka proyek JUN ditolak artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek JUN.

b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C merupakan perbandingan sedemikian rupa, sehingga pembilangnya terdiri atas present value (PV) total dari benefit bersih proyek JUN dalam tahun dimana benefit bersih tersebut bersifat positif. Penyebutnya terdiri atas present value (PV) total dari biaya (cost) bersih proyek JUN dalam tahun dimana benefit bersih (Bt-Ct) bersifat negatif, yaitu biaya kotor lebih besar dari

benefit kotor (Gray et al., 2007). Secara matematis, Net B/C dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Net

=

Keterangan:

= untuk Bt– Ct > 0, (PV positif)

= untuk Bt– Ct < 0, (PV negatif)

i = 12%

t = 5 tahun Kriteria penilaian:

(29)

c. Internal Rate of Return (IRR)

IRR adalah nilai discount rate (i) yang membuat NPV dari suatu proyek sama dengan nol atau dapat membuat B/C sama dengan satu (Gray et al., 2007). IRR yang diperoleh dari proyek JUN dengan cara mendiskonto seluruh net cash flow JUN, sehingga akan menghasilkan jumlah present value yang sama dengan investasi proyek JUN. Secara matematis, IRR dari proyek JUN dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

IRR =

i

1

+

(

i

2

-

i

1

)

Keterangan:

i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif dari kegiatan JUN

i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif dari kegiatan JUN NPV1 = NPV positif dari kegiatan JUN

NPV2 = NPV negatif dari kegiatan JUN

i2-i1 = selisih i

Proyek JUN layak untuk dilanjutkan jika IRR ≥ discount rate. Jika IRR =

discount rate, maka NPV proyek JUN tersebut = 0. Jika IRR < discount rate, maka NPV < 0 dan proyek JUN ditolak.

d. Payback Period (PBP)

Payback Period (PBP) merupakan teknik menentukan jangka waktu (masa) pengembalian modal dari suatu investasi kegiatan usaha. Payback period

(30)

waktu maksimum yang ditetapkan dengan hasil perhitungan proyek JUN. Jika hasil perhitungan menunjukkan waktu yang lebih pendek atau sama dengan waktu maksimum yang ditetapkan, investasi terhadap JUN dinyatakan layak untuk dilanjutkan. Jika hasil perhitungan menunjukkan waktu yang lebih lama dari umur proyek, investasi JUN sebaiknya ditolak.

e. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil proyek jika terjadi suatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan manfaat atau biaya. Analisis sensitivitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah kenaikan harga pupuk sebesar 32 persen. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kenaikan harga pupuk pada kegiatan JUN yang telah berlangsung selama lima tahun.

4.3.2 Analisis Pendapatan

Data penerimaan dan biaya yang dikeluarkan digunakan untuk mengetahui besar pendapatan yang diterima oleh petani JUN.

Pendapatan Petani JUN

a) Pendapatan dari pengelolaan JUN selama lima tahun.

P = ∑Pi - ∑Ci

Keterangan:

P = Pendapatan dari pengelolaan JUN selama lima tahun (Rp)

Pi = Jumlah penerimaan dari suatu jenis kegiatan ke-i dari usaha pengelolaan JUN selama lima tahun (Rp)

(31)

b) Pendapatan Rumah Tangga Petani JUN. Prt = Pa + Pb + Pc +...+ Pn

Keterangan:

Prt = Pendapatan rumah tangga petani JUN (Rp/tahun)

Pa-Pn = Pendapatan dari masing-masing bidang usaha (Rp/tahun) c) Persentase Pendapatan dari Pengelolaan JUN terhadap Pendapatan Total.

Pi % = (Pi/Prt) x 100% Keterangan:

Pi % = Persentase pendapatan dari usaha pengelolaan JUN (%)

4.3.3 Skala Likert

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial (Riduwan, 2009). Skala Likert dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur persepsi petani JUN dengan adanya kegiatan penanaman JUN. Instrumen penelitian yang menggunakan Skala Likert dapat dibuat dalam bentuk multiple choice atau

checklist. Tanggapan petani JUN dari Skala Likert, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan nilai 4, 3, 2, dan 1. Penentuan batas bawah dan batas atas tergantung dari jumlah pernyataan yang ditanyakan kepada petani JUN. Dalam penelitian ini dampak ekonomi terdapat enam pernyataan, sedangkan untuk dampak lingkungan ada lima pernyataan. Batas bawah dan batas atas untuk dampak ekonomi yaitu 6-24, sedangkan untuk dampak lingkungan 5-20.

(32)

pengolahan data. Sistem scoring dibuat konsisten yaitu semakin tinggi skor semakin tinggi kategorinya. Setelah dijumlahkan, selanjutnya dikategorikan dengan menggunakan teknik scoring secara normatif berdasarkan interval kelas sebagai berikut:

Keterangan:

n : Batas selang tingkat persepsi petani JUN

Max : Nilai maksimum yang diperoleh dari jumlah skor petani JUN Min : Nilai minimum yang diperoleh dari skor petani JUN

∑ : Jumlah pernyataan yang ditanyakan kepada petani JUN

Interval nilai tanggapan untuk setiap tingkat persepsi dapat dilihat pada

Tabel 8, yaitu:

Tabel 8. Tingkat Persepsi Petani JUN dengan Adanya Kegiatan JUN

No Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi

Dampak Ekonomi Dampak Lingkungan

1 21-24 17-20 Sangat Setuju

2 16-20 13-16 Setuju

3 11-15 9-12 Tidak Setuju

(33)

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Profil dan Kelembagaan UBH-KPWN

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) merupakan koperasi yang dibina oleh Kementerian Kehutanan. Koperasi ini didirikan pada tahun 1989. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan hidup, khususnya wilayah pedesaan, KPWN merancang konsep tentang pengembangan usaha budidaya jati unggul dengan pengelolaan secara intensif. Pengelolaan intensif tersebut dikembangkan melalui pola bagi hasil. Pengembangan usaha budidaya jati unggul perlu didukung dengan ketersediaan sumberdaya manusia, kemampuan pendanaan, dan kemampuan pengelolaan sehingga usaha yang dikembangkan dapat menguntungkan baik dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

KPWN membentuk Unit Usaha Bagi Hasil-Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN). Kantor pusat UBH-KPWN berlokasi di Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt. 5 R. 504-A Jakarta. UBH-KPWN dibentuk dengan Keputusan Pengurus (KPWN) No. 62/Kpts/KPWN/XII/2006 Tanggal 21 Desember 2006, sebagaimana telah diperbaharui dengan Keputusan Pengurus KPWN No. 45/Kpts/KPWN/V/2007 Tanggal 10 Mei dan disahkan dengan Akta 39 Notaris Sigit Siswanto, SH. No. 12 Tanggal 24 Mei 2007.

(34)

dalam perbaikan lingkungan hidup. Adapun dalam mengembangkan usahanya, UBH-KPWN membuat kantor cabang sebagai sarana berjalannya kegiatan pola bagi hasil di berbagai daerah, salah satunya di Kabupaten Bogor yang berlokasi di Komplek Perumahan Akasia No. 1, Sindang Barang.

Pada pengelolaan semua kegiatan JUN pihak UBH-KPWN memiliki kelembagaan yang terstruktur agar dalam pelaksanaanya terlaksana dengan baik dan sesuai dengan pekerjannya masing-masing. Berikut merupakan bagan kelembagaan UBH-KPWN pada Gambar 2.

Sumber: UBH-KPWN (2012)

Gambar 2. Bagan Struktur Kelembagaan UBH-KPWN.

5.2 Pola Bagi Hasil UBH-KPWN

(35)

Tabel 9. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha JUN

1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi calon lokasi dan pemilik lahan serta petani penggarap peserta budidaya JUN.

2. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan usaha budidaya JUN.

3. Melaksanakan pendampingan kepada

petani penggarap.

4. Menarik calon investor usaha JUN.

5. Mengelola dana dari investor untuk kegiatan usaha budidaya JUN.

6. Memasarkan pohon jati siap panen. 7. Melaksanakan pembagian hasil sesuai

dengan perjanjian.

8. Bila terjadi kematian/kehilangan, bagian hasil UBH-KPWN dikurangi sebanyak 0.3 bagian dari jumlah yang mati/hilang.

Investor 1.Memperoleh bagian hasil

panen sebanyak 40 persen dari jumlah pohon yang ditanam.

2.Tidak menanggung resiko bila terdapat tanaman yang mati/hilang yang disebabkan karena kelalaian.

1. Berkontribusi dengan menanamkan modal, dimana jumlah minimal investasi adalah 100 pohon.

Pemilik Lahan

1.Memperoleh bagian hasil

panen sebanyak sepuluh

persen dari jumlah pohon yang ditanam.

2.Tidak menanggung resiko bila terdapat tanaman yang mati/hilang yang disebabkan kelalaian.

1. Memberi ijin lahannya untuk ditanami JUN dalam jangka waktu kerjasama lima tahun.

Petani

1. Melaksanakan pengolahan lahan,

penanaman, pemeliharaan, dan

pengamanan tanaman JUN.

2. Bila terjadi kematian/kehilangan, bagian hasil petani dikurangi sebanyak 0.5 bagian dari jumlah yang mati atau hilang.

Perangkat Desa

1.Memperoleh bagian hasil panen sebanyak sepuluh persen dari jumlah pohon yang ditanam.

1. Membuktikan keabsahan kepemilikan

lahan yang akan ditanami JUN.

2. Berperan dalam menggerakkan masyarakat calon peserta JUN.

3. Mengawasi dan mengamankan tanaman

JUN dari gangguan, pencurian, dan kebakaran.

(36)

Berdasarkan Tabel 9, penetapan bagi hasil pihak-pihak yang terlibat dalam budidaya JUN didasarkan atas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban ini merupakan hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan karena dalam usaha kegiatan JUN harus saling melengkapi dan tidak dapat berjalan sendirian sehingga membutuhkan kelima pilar yang terkait. Skema kontribusi dan bagian hasil masing-masing pihak yang terlibat dalam usaha JUN dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: UBH-KPWN (2012)

Gambar 3. Bagan Kontribusi dan Bagian Hasil Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha JUN.

Berdasarkan bagan tersebut dapat diuraikan bahwa:

(37)

mendapat bagian hasil panen sebanyak 15 persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada tanaman JUN yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut dikurangi 0.3 bagian dari jumlah yang mati atau hilang. 2. Investor berperan sebagai pihak yang menanamkan modal untuk digunakan

dalam pelaksanaan usaha. Dana tersebut digunakan untuk biaya pengadaan bibit, pupuk, obat-obatan, peralatan, upah petani, dan biaya manajemen. Imbal jasa atas peranannya tersebut, investor akan mendapat bagian hasil panen sebanyak 40 persen dari jumlah pohon yang ditanam. Bila terjadi kehilangan atau kematian pohon, investor tidak menanggung resiko.

3. Pemilik lahan berperan untuk menyediakan lahan yang akan ditanami JUN. Hubungan pemilik lahan dan UBH-KPWN bukan sewa menyewa, melainkan kerja sama, sehingga atas peranannya menyediakan lahan, pemilik lahan akan mendapat bagian hasil panen sebanyak sepuluh persen dari jumlah pohon yang ditanam dan tidak menanggung resiko bila ada yang mati atau hilang.

4. Petani penggarap berperan dalam melaksanakan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan tanaman JUN. Imbal jasa yang akan diperoleh oleh petani penggarap disamping mendapat upah juga mendapat bagian hasil panen sebesar 25 persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut dikurangi sebanyak 0.5 bagian dari jumlah yang mati atau hilang.

(38)

peranannya tersebut, pemerintah desa akan mendapat bagian hasil panen. untuk pembangunan desa sebesar sepuluh persen dari jumlah pohon yang ditanam, tetapi apabila ada yang mati atau hilang maka bagian hasil panen tersebut dikurangi sebanyak 0.2 bagian dari jumlah yang mati atau hilang.

Bagian hasil panen masing-masing pihak dikaitkan dengan tingkat kematian atau kehilangan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Bagian Hasil dan Beban Resiko Para Pihak yang Terlibat dalam pihak desa, dan fasilitator tidak mendapatkan bagian.

Sumber: UBH-KPWN (2012)

Semakin besar kematian pada tanaman JUN maka bagi hasil yang diperoleh petani penggarap, aparat desa, dan UBH KPWN akan berkurang, sedangkan bagi investor dan pemilik lahan tidak berpengaruh karena mereka tidak berhubungan langsung dengan tanaman. Apabila kematian mencapai 50 persen maka ketiga pihak tidak akan mendapatkan bagi hasil karena pihak-pihak tersebut menanggung resiko yang telah ditentukan, oleh karena itu harus adanya kerjasama yang baik antar semua pihak untuk meminimalisir kematian tanaman JUN.

5.3 Pemilihan Lokasi Tanam UBH-KPWN

(39)

strategis, antara lain: ketersediaan bahan baku utama dan pembantu, ketersediaan tenaga kerja langsung, ketersediaan sarana transportasi, ketersediaan sarana telekomunikasi, dan kedekatan dengan pasar yang dituju. Jika usaha bergerak di bidang budidaya, kesesuaian kondisi lahan dan iklim juga menjadi pertimbangan yang penting. Lokasi yang dinilai layak sebagai lahan tanam JUN harus memiliki persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

a. Bukan lahan persawahan.

b. Tidak tergenang air atau banjir setelah hujan. c. Tidak terkena naungan pohon atau bangunan.

d. Ketinggian lokasi maksimum 400 m dari permukaan laut.

e. Diprioritaskan di daerah dimana terdapat tanaman jati tumbuh dengan baik. Persyaratan lokasi penanaman ini ditetapkan oleh UBH-KPWN berdasarkan literatur penanaman tanaman jati unggul. Selain karakteristik lahan, aksesibilitas lokasi tanaman menjadi pertimbangan pula, selain memudahkan pengadaan input, akses lokasi yang mudah juga mendorong minat investor untuk melihat lokasi tanam, memudahkan pemasaran hasil panen, dan pelaksanaan pengawasan.

Salah satu penetapan lokasi yang dilakukan oleh UBH-KPWN adalah di daerah Kabupaten Bogor karena secara karakteristik Kabupaten Bogor memiliki persyaratan yang ditetapkan UBH-KPWN. Selain itu, Kabupaten Bogor masih banyak memiliki lahan yang tidak digunakan secara maksimal untuk memperoleh pendapatan bagi masyarakat sekitar.

(40)

Kabupaten Bogor. Penyebaran tanaman JUN di wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Penyebaran Perkembangan Tanaman JUN UBH-KPWN Bogor

Kecamatan Desa Jumlah Tanaman

Parung Cogrek 8 927

Cibungbulang Ciaruteun Ilir 52 231

Leweung Kolot 26 035

Cisauk Suradita 2 302

Rancabungur Rancabungur 1 070

Cimulang 940

(41)

5.4 Keadaan Umum Desa Cogreg dan Ciaruteun Ilir

Letak Desa Cogreg secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data potensi Desa Cogreg mempunyai luas wilayah 511 856 ha, di atas permukaan laut 100 m dan tinggi curah hujan 200 mm/thn, dan memiliki suhu udara kisaran 220-340 C. Desa Cogreg terbagi dalam 5 Dusun, 8 Rukun Warga (RW) dan 39 Rumah Tangga (RT). Jarak Kantor Desa ke Ibukota Kecamatan sejauh 6 km, untuk ke Ibukota Kabupaten Bogor sejauh 30 km, untuk ke Ibukota Provinsi Jawa Barat sejauh 120 km dan untuk ke Ibukota negara sejauh 45 km. Adapun batas-batas geografisnya adalah sebagai berikut:

Utara : Desa Cibinong dan Desa Cibadung - Kecamatan Gn. Sindur Barat : Desa Cihowe dan Desa Kuripan - Kecamatan Ciseeng Timur : Desa Waru Jaya - Kecamatan Parung

(42)

Utara : Desa Cidokom - Kecamatan Rumpin Barat : Desa Cijujung - Kecamatan Cibungbulang Timur : Desa Ciampea - Kecamatan Ciampea

Selatan : Desa Leuwi Kolot - Kecamatan Cibungbulang

5.4.1 Kependudukan Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir

Menurut Data Potensi Desa Cogreg tahun 2010, jumlah penduduk yang tercatat yaitu sebanyak 10 461 jiwa yang terdiri dari 2 329 KK. Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 5 312 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 5 149 jiwa. Data Potensi Desa Ciaruteun Ilir tahun 2010, jumlah penduduk yang tercatat yaitu sebanyak 10 259 jiwa yang terdiri dari 2 705 KK. Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 5 232 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 5 027 jiwa.

Tabel 12. Mata Pencaharian Penduduk Desa Cogreg Tahun 2010

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 616 19.97

2 Pedagang 462 14.98

3 PNS 154 4.99

4 TNI/Polri 113 3.66

5 Pensiunan/Purnawiraman 31 1.00

6 Swasta 985 31.93

(43)

dengan Desa Cogreg. Struktur mata pencaharian masyarakat berdasarkan jumlah angkatan kerja Desa Ciaruteun Ilir dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Mata Pencaharian Penduduk Desa Ciaruteun Ilir Tahun 2010

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 206 14,58

2 Buruh tani 114 8,07

3 PNS 20 1,42

4 TNI/Polri 3 0,21

5 Pensiunan/Purnawiraman 15 1,06

6 Swasta 12 0,85

7 Pedagang 922 65,25

8 Pengrajin 5 0,35

9 Pembantu rumah tangga 30 2,12

10 Peternak 10 0,71

11 Montir 76 5,38

Total 1 413 100

Sumber: Potensi Desa Ciaruteun Ilir (2010)

Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13, mata pencaharian penduduk Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir yang bekerja sebagai petani menduduki urutan kedua dengan persentase sekitar 19.97 persen atau sebanyak 616 jiwa dari angkatan kerja untuk Desa Cogreg, sedangkan pada Desa Ciaruteun Ilir sekitar 14.58 persen atau sebanyak 206 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa di kedua desa tersebut masih menggantungkan hidupnya pada bidang pertanian.

5.5 Karakteristik Responden Petani JUN di Desa Cogreg dan Desa

Ciaruteun Ilir

(44)

5.5.1 Usia

Tingkat usia responden petani JUN cukup bervariasi pada Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir dengan distribusi usia pada rentan antara kurang sama dengan dari 30 tahun dan lebih besar dari 60 tahun. Perbandingan distribusi usia responden dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Usia Responden Petani JUN Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir A. Desa Cogreg

Jumlah responden di Desa Cogreg yang tertinggi terdapat pada dua kelas pada rentang usia 51-60 tahun dan > 60 tahun yaitu berjumlah 7 orang (30.43%), sedangkan pada Desa Ciaruteun Ilir pada rentang usia 41-50 tahun yaitu berjumlah 22 orang (28.21%). Hal ini menunjukkan petani JUN di kedua desa bekerja pada usia produktifnya.

5.5.2 Jenis Kelamin

(45)

dan dalam pengelolaan JUN dibutuhkan tenaga yang sangat besar sehingga hampir tidak memungkinkan untuk dikerjakan oleh perempuan. Berbeda pada Desa Ciaruteun Ilir yang terdapat tiga orang (3.85%) petani JUN berjenis kelamin perempuan. Hal ini dilakukan untuk membantu suaminya dalam pengelolaan JUN, dan memberikan kontribusi menambah penghasilan rumah tangganya. Sebagian besar pengelolaan JUN di Desa Ciaruteun Ilir tetap dilakukan oleh laki-laki yang berjumlah 75 orang (96.15%).

5.5.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan responden petani JUN pada Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir bervariasi mulai dari yang tidak pernah mengemban pendidikan sampai tingkat sarjana. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pendidikan Petani JUN Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir A. Desa Cogreg

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 Tidak Sekolah 1 4.35

2 SD 21 91.30

3 SMP 1 4.35

Total 23 100

B. Desa Ciaruteun Ilir

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 64 82.05

2 SMP 5 6.41

3 SMA 7 8.97

4 Sarjana 2 2.56

Total 78 100

Sumber: Data primer 2012 (diolah)

(46)

pendidikan penting bagi mereka. Hal ini mempengaruhi dalam kualitas kerja yang semakin baik dibandingkan dengan petani JUN di Desa Cogreg.

5.5.4 Jenis Pekerjaan

Responden petani JUN di Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir tidak hanya mempunyai pekerjaan di JUN saja karena upah yang didapat dari JUN untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari tidak akan terpenuhi. Pekerjaan sebagai petani JUN pada dasarnya dijadikan tabungan untuk masa depan karena hasil panen dari penjualan jati akan memperoleh hasilnya setelah lima tahun.

Tabel 16. Jenis Pekerjaan Petani JUN di Luar JUN Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir

A. Desa Cogreg

No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1 Peternak 6 26.09

No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

(47)

Berdasarkan Tabel 16, jenis pekerjaan petani JUN bervariasi antara Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir. Pada Desa Cogreg petani JUN yang bekerja pada bidang pertanian menempati urutan ketiga dan keempat yaitu sebanyak empat orang (19.39%) sebagai petani dan buruh tani. Hal ini disebabkan lahan yang biasa petani JUN garap untuk bertani diubah menjadi lahan JUN, sedangkan para petani JUN tidak mempunyai lahan garapan lain. Banyak petani JUN yang mempunyai pekerjaan lain selain dari JUN yaitu beternak. Berbeda dengan Desa Ciaruteun Ilir dimana pekerjaan petani JUN selain dari JUN tetap pada bidang pertanian karena petani JUN mempunyai lahan garapan lain yang dapat menghidupi kehidupan sehari-hari. Petani JUN di Desa Ciaruteun Ilir tidak terlalu menggantungkan hidupnya pada program kegiatan JUN. Hal ini dapat dilihat pada

Tabel 16 dimana pekerjan petani dan buruh tani menempati urutan pertama pada Desa Ciaruteun Ilir sebanyak 16 orang (20.51%).

5.5.5 Jumlah Tanggungan Keluarga

(48)

tanggungan keluarga petani JUN di Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Jumlah Tanggungan Keluarga Petani JUN Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir

A. Desa Cogreg

No Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Persentase (%)

1 Tidak Ada Tanggungan 2 8.70

2 1 4 17.39

3 2 2 8.70

4 3 7 30.43

5 4 6 26.09

6 5 1 4.35

7 > 6 1 4.35

Total 23 100

B. Desa Ciaruteun Ilir

No Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah Persentase (%)

1 Tidak Ada Tanggungan 15 19.23

2 1 23 29.49

3 2 17 21.79

4 3 15 19.23

5 4 5 6.41

6 5 1 1.28

7 6 2 2.56

Total 78 100

(49)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jati Unggul Nusantara (JUN) UBH-KPWN Kabupaten Bogor

Analisis kelayakan finansial bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan usaha JUN UBH-KPWN Bogor yang telah berjalan selama lima tahun. Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan menggunakan kriteria-kriteria penilaian investasi, seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Periode (PBP). Analisis kriteria tersebut menggunakan arus kas untuk mengetahui besarnya manfaat dan biaya yang dikeluarkan selama periode tertentu. Arus kas membutuhkan penentukan asumsi-asumsi yang terkait dengan usaha UBH-KPWN Bogor serta melakukan analisis terhadap inflow dan outflow.

6.1.1 Analisis Inflow Usaha JUN UBH-KPWN Bogor

Komponen inflow usaha JUN UBH-KPWN Bogor diterima dari penerimaan penjualan jasa investasi dan penerimaan penjualan pohon JUN. Jasa investasi merupakan penerimaan yang didapat dari investor dalam menanamkan modalnya kepada UBH-KPWN Bogor untuk membiayai kegiatan JUN sedangkan penerimaan penjualan diperoleh dengan mengalikan harga jual dengan total penjualan kayu yang siap panen.

a. Penerimaan Penjualan Jasa Investasi

(50)

investor mulai dari tahun 2007-2012 dengan jumlah tanaman 132 708 pohon. Tanaman sebanyak 24 755 pohon yang belum laku akan dipasarkan kepada investor. Apabila sampai batas penebangan tanaman belum laku, maka pohon jati akan dikembalikan kepada pihak UBH-KPWN. Investasi per pohon merupakan ketetapan yang diberikan dari UBH-KPWN karena dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan JUN dari awal penanaman sampai pohon tersebut siap panen. Biaya kebutuhan pemeliharaan tanaman JUN yang semakin mahal menyebabkan investasi yang dikeluarkan investor akan mengalami kenaikan. Rincian penerimaan penjualan jasa investasi dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Penerimaan Penjualan Jasa Investasi

(51)

b. Penerimaan Penjualan Pohon JUN Siap Panen

Pohon JUN baru dapat dipanen pada tahun 2012, yaitu saat umur JUN lima tahun. Rincian estimasi penerimaan penjualan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Estimasi Penerimaan Penjualan Tanaman JUN

Tahun pohon dari tahun 2012-2014, sedangkan mulai tahun 2015-2017 pada saat panen diproyeksikan Rp 550 000. Hal ini merupakan asumsi dari harga kayu jati yang selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga pihak UBH-KPWN Bogor menjanjikan harga jual kayu jati pada tahun 2015 akan meningkat sebesar Rp 50 000 dengan volume per pohon 0.2 m3. Pada saat ini jumlah pohon yang siap panen berjumlah 152 760 pohon, dari tanaman awal sebanyak 157 463 pohon. Hal ini dikarenakan kematian yang berbeda-beda pada setiap tahunnya. Total penerimaan dari penjualan 152 760 pohon JUN sebesar Rp 80 569 800 000.

6.1.2 Analisis Outflow Usaha JUN UBH-KPWN Bogor

(52)

a. Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada saat awal proyek yaitu pada tahun pertama. Pada kasus ini terdapat perbedaan dimana biaya investasi tidak hanya dikeluarkan pada tahun pertama saja. Biaya investasi dapat dikeluarkan kapan saja sesuai dengan keperluan UBH-KPWN Bogor. Biaya investasi pada usaha JUN terdiri dari biaya investasi perlengkapan kantor dan peralatan mesin. Biaya investasi perlengkapan kantor merupakan biaya yang dikeluarkan pada barang yang digunakan di dalam membantu menyelesaikan urusan kantor. Total biaya investasi perlengkapan kantor sebesar Rp 48 635 000. Rincian biaya investasi perlengkapan kantor dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Biaya Investasi Perlengkapan Kantor

Total Biaya Investasi Perlengkapan Kantor 48 635 000

Keterangan: (*) = Komputer 1 dan Printer 1 merupakan barang bekas sehingga memiliki umur ekonomis yang cepat dan tidak ada reinvestasi.

(53)

Kegiatan JUN UBH-KPWN Bogor tidak hanya mengeluarkan biaya investasi perlengkapan kantor karena dalam pelaksanaannya JUN merupakan kegiatan yang sebagian besar di lapangan. Perlengkapan mesin dibutuhkan guna mempercepat dan membantu kegiatan JUN agar berjalan lancar sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Biaya investasi peralatan mesin merupakan biaya yang dikeluarkan pada alat-alat yang digunakan di lapang sesuai dengan kebutuhan JUN. Total biaya investasi yang diperlukan untuk peralatan mesin sebesar Rp 49 600 000. Rincian biaya investasi peralatan mesin dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Biaya Investasi Peralatan Mesin

No Uraian Tahun Jumlah

Total Biaya Investasi Peralatan Mesin 49 600 000

Keterangan: (*) = Drum hanya digunakan pada awal tahun 2007 di Desa Cogreg sebagai penampung air dan tidak ada reinvestasi.

Sumber: UBH-KPWN 2012 (diolah)

(54)

reinvestasi dari tahun 2009-2017 sebesar Rp 27 150 000. Biaya reinvestasi dikeluarkan karena umur ekonomis suatu barang tidak sampai proyek selesai. Barang-barang yang membutuhkan biaya reinvestasi antara lain, yaitu: dispenser, galon, komputer 2, mesin fax, pemanas air, printer 2, timbangan, timbangan peer, dan traktor tangan. Rincian biaya reinvestasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Biaya reinvestasi menghasilkan nilai sisa sebesar Rp 22 881 500.

b. Biaya Operasional

Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan secara berkala selama pelaksanaan usaha. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

b.1 Biaya Tetap

Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan. Biaya tetap yang dikeluarkan usaha JUN UBH-KPWN Bogor yaitu menyangkut biaya manajemen kantor. Rincian biaya manajemen kantor dapat dilihat pada Tabel 22.

5 Rapat & Keperluan harian kantor 960 000 960 000

6 Pemeliharaan kendaraan roda dua - 3 600 000

7 Koran 900 000 900 000

8 Internet 1 800 000 1 800 000

9 Upah kebersihan kantor & jaga malam 4 200 000 4 200 000

10 Pemeliharaan SAPROTAN 900 000 900 000

11 Pengawasan dan Pengendalian 480 000 480 000

12 Pembinaan SDM 800 000 800 000

13 Upah pengamanan lahan 12 000 000 12 000 000

14 Sewa kantor 9 040 000 9 040 000

(55)

Pada tahun 2007 biaya tetap yang dikeluarkan hanya sebesar Rp 165 120 000 karena usaha belum berjalan baik. Pada tahun 2008-2017 usaha

dinilai berjalan optimal, sehingga total biaya yang dikeluarkan relatif konstan yaitu sebesar Rp 168 720 000.

b.2 Biaya Variabel

Biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah produk yang dihasilkan dalam proses produksi. Biaya variabel pada usaha ini meliputi biaya sosialisasi, biaya pengadaan input untuk pembuatan tanaman (bibit, pupuk dasar, upah), pemeliharaan tanaman (pemupukan lanjutan, upah), dan penebangan tanaman.

Biaya sosialisasi dilakukan sebelum adanya pengadaan kegiatan JUN di suatu daerah kepada petani, pemilik lahan, dan perangkat desa. Biaya sosialisasi dibutuhkan oleh pihak UBH-KPWN karena sebelum adanya kegiatan JUN semua pihak yang terkait harus mengetahui aturan main yang ada dalam proyek sehingga apa yang akan dilakukan oleh UBH-KPWN jelas dan tidak ada kesalahan pada akhir pembagian bagi hasil yang akan diterima pada tiap-tiap pihak. Biaya sosialisasi pada tahun 2006-2011 membutuhkan biaya sebesar Rp 19 012 500.

(56)

Tabel 23. Biaya Pembuatan Tanaman

Pada pembuatan tanaman dilakukan dua periode dimana pihak UBH-KPWN Bogor mengadakan penanaman pohon JUN pada awal tahun yaitu antara bulan Januari-Februari yang diberi kode “I”, sedangkan periode kedua dilakukan antara bulan November-Desember yang diberi kode “II”. Pihak UBH-KPWN Bogor dalam satu siklus dengan jangka waktu lima tahun dapat melakukan penanaman sebanyak sebelas kali yaitu dari 2007/I-2012/I. Total pembuatan tanaman (bibit, pupuk dasar, dan upah) JUN sebesar Rp 2 942 578 600.

(57)

Tabel 24. Biaya Pemeliharaan Tanaman Selama Satu Siklus (5 Tahun)

No Pemeliharaan Pemupukan (Rp) Upah (Rp)

1 Tanaman 2007/I 219 749 948 151 573 800

Total Pemeliharaan Tanaman Rp 8 075 951 378

Sumber: UBH-KPWN 2012 (diolah)

Biaya pemeliharaan dikeluarkan mulai tahun 2007 karena setelah selesai penanaman pohon JUN pemupukan akan terus dilakukan agar pohon jati menghasilkan kayu yang kokoh. Selain itu, dalam pengerjaan pemeliharaan akan dilakukan oleh petani JUN yang bersangkutan karena mereka mempunyai tugas menjaga pohonnya masing-masing. Petani JUN akan diberikan upah oleh pihak UBH-KPWN Bogor atas andilnya dalam memelihara pohon JUN agar tanaman bebas dari gangguan seperti pencurian dan kematian pohon. Total pemeliharaan (pemupukan, upah) dari tahun 2007-2012 sebesar Rp 8 075 951 378.

Proses penebangan dilakukan setelah lima tahun pohon ditanam. Proses penebangan UBH-KPWN bekerja sama dengan pihak lain. Rincian biaya penebangan tanaman dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Biaya Penebangan Tanaman

Tahun Penebangan Biaya Penebangan (Rp)

2012 Tanaman 2007/I 18 074 680

Total Biaya Penebangan Tanaman 352 846 800

Sumber: UBH-KPWN 2012 (diolah)

(58)

per pohon. Biaya penebangan tanaman dari tahun 2012-2017 membutuhkan biaya sebesar Rp 352 846 800. Adapun biaya pembuatan sertifikat dibutuhkan oleh investor untuk memperkuat kepemilikan atas tanaman JUN karena mereka telah berinvestasi dalam proyek UBH KPWN Bogor. Total biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan sertifikat oleh UBH KPWN Bogor sebesar Rp 192 600 000. Selain itu, UBH KPWN Bogor harus mengeluarkan pajak pendapatan setiap tahunnya. Pajak pendapatan yang digunakan adalah pajak progresif berdasakan UU No. 23 Tahun 2000 Tentang Tarif Umum PPh Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap. UBH-KPWN Bogor harus mengeluarkan biaya untuk pajak pendapatan sebesar Rp 2 692 000/tahun.

c. Bagi Hasil

Pihak-pihak yang terlibat dalam usaha budidaya JUN UBH-KPWN, antara lain: investor, petani penggarap, pemilik lahan, pemerintah desa, dan UBH-KPWN Bogor. Pihak-pihak ini akan mendapat imbal jasa berupa bagian hasil dari penjualan tanaman JUN tersebut. Bagian hasil ini dapat diperoleh mulai tahun 2012. Rincian bagi hasil tanaman dapat dilihat pada Tabel 26.

(59)

Imbal jasa yang akan diterima petani penggarap, pemilik lahan, investor, perangkat desa, dan UBH-KPWN Bogor adalah sebesar 25, 10, 40, 10, dan 15 persen dari jumlah pohon tanaman awal yang ditanam. Harga jual tanaman pada tahun 2007-2009 yaitu sebesar Rp 500 000 per pohon dengan jumlah pohon 67 974, sedangkan harga jual tanaman pada tahun 2010-2012 yaitu sebesar Rp 550 000 dengan jumlah pohon 84 696. Pihak petani penggarap, perangkat desa, dan UBH-KPWN Bogor menanggung resiko sebesar 50, 20, dan 30 persen jika ada kematian pada tanaman JUN. Investor dan pemilik lahan tidak dikenakan beban resiko kematian karena mereka tidak secara langsung berhubungan dengan tanaman JUN. Rincian perhitungan bagi hasil dapat dilihat pada Lampiran 2.

Berdasarkan Tabel 26, pembagian hasil yang paling besar diperoleh oleh investor sebesar Rp 33 189 600 000. Hal ini wajar diperoleh oleh investor karena investor memberikan kontribusi yang besar terhadap berjalannya kegiatan JUN. Investor juga merupakan tulang punggung dari pihak UBH-KPWN Bogor. Ketiadaan investor berpengaruh terhadap usaha kegiatan JUN sehingga usaha ini tidak akan berjalan. Selain itu, investor tidak diberikan beban resiko walaupun kegiatan JUN mengalami kerugian.

Gambar

Tabel 3. Penelitian Analisis Kelayakan Finansial
Tabel 4. Penelitian Manfaat Ekonomi
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran PenelitianPermintaan Kayu Jati  Penawaran Kayu Jati Rendah  Persepsi Dampak Ekonomi
Tabel 7. Matriks Metode Analisis Data
+7

Referensi

Dokumen terkait