• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KELAYAKAN USAHA JATI UNGGUL NUSANTARA DENGAN POLA BAGI HASIL (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KELAYAKAN USAHA JATI UNGGUL NUSANTARA DENGAN POLA BAGI HASIL (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS KELAYAKAN USAHA JATI UNGGUL NUSANTARA

DENGAN POLA BAGI HASIL

(Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)

SKRIPSI

RATNA PUSPITASARI H34052518

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ii RINGKASAN

RATNA PUSPITASARI. H34052518. 2009. Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANDRIYONO KILAT ADHI).

Sektor kehutanan memiliki peran yang penting, tidak hanya bagi kelestarian lingkungan melainkan juga terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Pengusahaan sektor kehutanan salah satunya dilakukan dengan pengembangan industri hasil hutan. Pengembangan industri kayu olahan mengalami hambatan pada empat tahun terakhir karena ketersediaan kayu hutan alam yang semakin menipis. Penipisan ketersediaan kayu hutan alam menyebabkan pemerintah membatasi jumlah izin pemanfaatan kayu hutan alam untuk industri khususnya kayu keras seperti kayu jati. Kebijakan pembatasan penebangan kayu jati, mengurangi ketersediaan bahan baku kayu untuk industri kayu olahan karena sebagian besar industri kayu olahan menggunakan jenis kayu tersebut.

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan pemenuhan permintaan kayu jati, dilakukan pengembangan teknologi untuk memperpendek usia tanam jati menjadi 5-20 tahun. Tanaman ini di beri nama Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Meskipun JUN dapat di panen pada tahun ke lima, namun kualitas yang dihasilkan hampir sama dengan tanaman jati yang berusia 15 tahun. Oleh karena itu, banyak pengusaha yang mulai tertarik membudidayakan JUN. Salah satu lembaga yang membudidayakan JUN adalah Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN). Koperasi ini membantuk Unit Usaha Bagi Hasil KPWN (UBH-KPWN) pada tahun 2007 sebagai pelaksana usaha budidaya jati unggul dengan pola bagi hasil.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis kelayakan usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ditinjau dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen, dan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, (2) menganalisis kelayakan finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN yang menerapkan pola bagi hasil, (3) menganalisis kepekaan (sensitivitas) usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN terhadap perubahan biaya operasional dan jumlah produksi.

Penelitian dilakukan di Unit Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN). Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kegiatan usaha baru berjalan dua tahun, sedangkan rencana proyek adalah 10 tahun, sehingga menarik untuk dilakukan analisis kelayakan pada usaha tersebut. Selain itu, sistem manajemen usaha yang diterapkan memiliki keunikan, yaitu pola bagi hasil dan manajemen pohon (trees management). Penelitian ini dilakukan mulai April hingga Juli 2009. Jenis data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur. Analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif,

(3)

iii sedangkan analisis data finansial pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan kalkulator dan komputer dengan program Microsoft Excel.

Berdasarkan hasil penelitian, baik aspek non finansial maupun aspek finansial menunjukkan bahwa usaha JUN UBH-KPWN layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis terhadap aspek-aspek non finansial, yaitu aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen, serta aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, pengusahaan Jati Unggul Nusantara (JUN) layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan aspek pasar dan pemasaran, peluang pasar masih terbuka karena masih adanya gap yang cukup besar antara permintaan dan penawaran. Berdasarkan aspek teknis dan teknologis, usaha ini menggunakan teknologi dan peralatan yang relatif sederhana seperti budidaya pertanian pada umumnya. Berdasarkan aspek manajemen, pengusahaan JUN ini telah melakukan fungsi manajemen dengan cukup baik mulai dari perencanaan hingga pengawasan, serta sudah ada pembagian kerja yang jelas. Selain itu, penerapan pola bagi hasil dan manajemen pohon menjadi pembeda dan daya tarik usaha ini. Berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, usaha ini turut serta melestarikan lingkungan dan menyerap tenaga kerja.

Hasil analisis terhadap aspek finansial yang meliputi NPV, IRR, Net B/C, PP, dan BEP, usaha JUN ini layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari analisis finansial yang menunjukkan NPV lebih besar dari nol yaitu Rp 42.714.598.081, IRR sebesar 48 persen, dimana lebih besar dari discount rate

sebesar 9 persen. Nilai Net B/C lebih besar dari satu, yaitu enam. Payback Period

(PP) yang diperoleh adalah sebesar 5,555 tahun atau sama dengan 5 tahun 6 bulan 20 hari dimana masih lebih kecil dari umur proyek, serta nilai break even point

(BEP) usaha JUN ini adalah sebanyak 30.510 pohon.

Berdasarkan analisis switching value, penurunan jumlah produksi tanaman JUN lebih berpengaruh dibandingkan dengan peningkatan biaya operasional. Batas penurunan jumlah produksi tanaman JUN agar usaha ini tetap layak dilaksanakan adalah sebesar 12,739980852730 persen, sedangkan batas peningkatan biaya operasional adalah sebesar 65,5400500494 persen. Hal tersebut menunjukkan usaha ini sensitif terhadap perubahan jumlah produksi.

(4)

iv

ANALISIS KELAYAKAN USAHA JATI UNGGUL

NUSANTARA DENGAN POLA BAGI HASIL

(Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)

RATNA PUSPITASARI H34052518

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

v Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)

Nama : Ratna Puspitasari

NIM : H34052518

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi NIP. 19600611 198403 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002

(6)

vi PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

Ratna Puspitasari H34052518

(7)

vii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 2 Agustus 1987. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak Ir. Mohammad Nasrun, M.Si dan Ibu Tri Ratmini.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor pada tahun 1999 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 1 Bogor. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 1 Bogor diselesaikan pada tahun 2005.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui seleksi umum yang dilakukan terhadap seluruh mahasiswa TPB-IPB angkatan 42. Penulis mengambil minor Ilmu Konsumen dari Departemen Ilmu Konsumen dan Keluarga (IKK) Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis tercatat sebagai pengurus

Sharia Economics Student Club (SES-C) periode 2006-2008 dan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Kabinet IPB Gemilang. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan yang dilaksanakan di dalam IPB dan di luar IPB.

Penulis juga tercatat sebagai asisten responsi mata kuliah Ekonomi Umum untuk empat masa jabatan yaitu semester ganjil Tahun Ajaran 2007/2008 hingga semester genap Tahun Ajaran 2008/2009. Pada tahun 2008, penulis bersama dengan empat rekan mahasiswa lainnya memperoleh hibah DIKTI untuk Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Kewirausahaan. Selain itu, pada tahun 2008 penulis masuk dalam sepuluh besar pada lomba Bussiness Plan 3rd BGTC (Banking Goes to Campus) yang dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis FEM ke-7.

(8)

viii KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara)”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan usaha jati unggul nusantara dengan pola bagi hasil, baik dari aspek non finansial maupun aspek finansial.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, baik dari aspek teknis penulisan maupun substansi, karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan sehingga penulis dapat menyusun penelitian yang lebih baik di masa mendatang. Kekurangan-kekurangan maupun kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalam skripsi ini juga dapat dijadikan pembelajaran oleh peneliti yang menjadikan skripsi ini sebagai referensi, agar kekurangan maupun kesalahan tersebut tidak terulang lagi.

 

Bogor, September 2009 Ratna Puspitasari

(9)

ix UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Orang tua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan, kasih sayang dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi salah satu persembahan terbaik. 2. Dr. Ir. Andriyono Kilat Adhi selaku dosen pembimbing atas bimbingan,

arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama proses pra-penelitian hingga penyusunan skripsi.

3. Etriya, SP. MM selaku dosen penguji utama dan Yeka Hendra Fatika, SP selaku dosen penguji Departemen yang telah meluangkan waktu pada ujian sidang penulis serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 4. Ibu Yayah K. Wagiono yang telah menjadi pembimbing akademik dan

seluruh dosen Departemen Agribisnis selama penulis menjadi mahasiswa Departemen Agribisnis.

5. Pihak UBH-KPWN atas penerimaan, waktu, kesempatan, informasi, dan seluruh bantuan yang diberikan untuk kelancaran proses penelitian.

6. Staf pelayanan akademik (Ibu Ida dan Mbak Dian) yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi serta seluruh staf Departemen Agribisnis. 7. Suci Nurani Diah Palupi yang telah meluangkan waktu dan menyumbangkan

pikiran melalui pertanyaan, kritik, serta saran yang diberikan saat menjadi pembahas seminar penulis.

8. Aditya Putri, Hening, Dita, Ira, Dyna, dan Teh Tina atas persaudaraan yang indah, nasihat, semangat, dan teladan yang diberikan.

9. Wening, Aqsa, Dho-dho, Nurul, Rifi, Njoez, Iwiw, Hepi, Anna, dan teman-teman Agribisnis angkatan 42 atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi

10. Janri Wolden, rekan satu bimbingan atas semangat dan sharing selama penelitian.

11. Tia, Septi, Faisal dan Debie, rekan-rekan Gladikarya Desa Cikole dan Desa Cibodas atas kebersamaan dan pelajaran hidup yang diberikan.

(10)

x 12. Pejuang Ekonomi Syariah (SES-C) dan sahabat ‘Gemilang’, khususnya

Pejuang Lingkungan (KLH) atas kesempatan mengembangkan diri dalam berorganisasi serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas seluruh bantuan yang diberikan.

Bogor, September 2009 Ratna Puspitasari

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Penelitian Terdahulu ... 10

2.2 Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu ... 12

2.3 Hasil Analisis Berdasarkan Penelitian Terdahulu ... 14

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

3.1 Gambaran Komoditas ... 15

3.1.1 Tanaman Jati ... 15

3.1.2 Jati Unggul Nusantara (JUN) ... 19

3.2 Studi Kelayakan Bisnis ... 21

3.2.1 Aspek-Aspek Studi Kelayakan ... 22

3.2.2 Analisis Nilai Pengganti ... 26

3.3 Sistem Bagi Hasil ... 26

3.4 Kerangka Pemikiran Operasional ... 28

IV METODOLOGI PENELITIAN ... 31

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4.2 Desain Penelitian ... 31

4.3 Jenis Data dan Sumber Data ... 31

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 32

4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 32

4.5.1 Analisis Kriteria Kelayakan Non Finansial ... 32

4.5.2 Analisis Kriteria Kelayakan Finansial ... 33

4.6 Definisi Operasional ... 36

V GAMBARAN UMUM USAHA ... 38

5.1 Sejarah Pendirian UBH-KPWN ... 38

5.2 Profil UBH-KPWN ... 38

5.3 Kegiatan Pokok UBH-KPWN ... 39

5.4 Gambaran Umum Sistem Agribisnis Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ... 39

5.4.1 Subsistem Agribisnis Hulu ... 41

5.4.2 Subsistem Usahatani ... 42

5.4.3 Subsistem Agribisnis Hilir ... 43

(12)

xii

VI ANALISIS ASPEK NON FINANSIAL ... 45

6.1 Aspek Pasar dan Pemasaran ... 45

6.1.1 Peluang Pasar ... 45

6.1.2 Bauran Pemasaran (Marketing Mix) ... 47

6.1.3 Pesaing ... 52

6.1.4 Hasil Analisis Aspek Pasar ... 54

6.2 Aspek Teknis dan Teknologis ... 54

6.2.1 Lokasi ... 55

6.2.2 Input dan Peralatan ... 56

6.2.3 Teknik Budidaya ... 57

6.2.4 Lay Out ... 62

6.2.5 Hasil Analisis Aspek Teknis ... 62

6.3 Aspek Manajemen ... 64

6.3.1 Bentuk Usaha ... 66

6.3.2 Struktur Organisasi ... 67

6.3.3 Sistem Manajemen Usaha JUN UBH-KPWN ... 69

6.3.4 Hasil Analisis Aspek Manajemen ... 73

6.4 Aspek Sosial Ekonomi dan Lingkungan ... 73

6.4.1 Peningkatan Kesempatan Kerja dan Berusaha ... 73

6.4.2 Peningkatan Pendapatan Masyarakat ... 74

6.4.3 Peningkatan Pembangunan Desa ... 74

6.4.4 Memperkokoh Hubungan Sosial Kemasyarakatan ... 74

6.4.5 Perbaikan Kondisi Lingkungan ... 75

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL ... 76

7.1 Asumsi-Asumsi Dasar dalam Analisis Finansial Usaha JUN UBH-KPWN ... 76

7.2 Analisis Inflow Usaha JUN UBH-KPWN ... 78

7.2.1 Penerimaan Penjualan Jasa Investasi ... 78

7.2.2 Penerimaan Penjualan Pohon JUN Siap Panen ... 78

7.3 Analisis Outflow Usaha JUN UBH-KPWN ... 79

7.3.1 Biaya Investasi ... 79

7.3.2 Biaya Operasional ... 82

7.3.3 Bagi Hasil ... 85

7.4 Laporan Laba Rugi Usaha JUN UBH-KPWN ... 87

7.5 Analisis Finansial Usaha JUN UBH-KPWN ... 88

7.6 Analisis Switching Value Usaha JUN UBH-KPWN ... 89

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

8.1 Kesimpulan ... 91

8.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(13)

xiii DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Penyebaran Hutan pada Tujuh Kelompok Pulau Besar

Indonesia ... 1

2 Produk Domestik Bruto Sektor Kehutanan Tahun 2000-2007 atas Dasar Harga Berlaku ... 2

3 Perkembangan Produksi Hasil Hutan berupa Kayu di Indonesia Tahun 2003-2007 ... 3

4 Perkembangan Produksi Hasil Hutan non Kayu di Indonesia Tahun 2003-2004 ... 3

5 Devisa Ekspor Hasil Hutan Tahun 2001-2006 ... 4

6 Lokasi dan Jumlah Tanaman Jati UBH-KPWN tahun 2007-2008 ... 56

7 Peralatan Budidaya JUN ... 57

8 Jenis Pupuk dan Dosis pada Pemupukan Lanjutan Tanaman JUN ... 61

9 Rencana Penanaman JUN Tahun Pertama hingga Kelima ... 64

10 Realisasi Penanaman JUN Tahun Pertama dan Kedua ... 65

11 Penyesuaian Rencana Penanaman JUN Tahun Ketiga hingga Kelima ... 66

12 Deskripsi Pekerjaan Direksi UBH-KPWN ... 68

13 Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Budidaya JUN UBH-KPWN ... 70

14 Bagian Hasil dan Beban Risiko Para Pihak yang Terlibat dalam Usaha JUN ... 72

15 Penerimaan Penjualan Jasa Investasi JUN UBH-KPWN ... 78

16 Penerimaan Penjualan Tanaman JUN UBH- KPWN ... 79

17 Biaya Investasi Perlengkapan Kantor UBH-KPWN ... 80

18 Biaya Investasi Peralatan Produksi UBH-KPWN ... 80

19 Biaya Pengadaan Bibit ... 81

20 Biaya Reinvestasi Usaha JUN UBH-KPWN pada Tahun Keenam UBH-KPWN ... 81

21 Biaya Reinvestasi Usaha JUN UBH-KPWN pada Tahun Ketiga, Kelima, Ketujuh, dan Kesembilan ... 82

22 Biaya Manajemen Kantor UBH-KPWN ... 83

23 Biaya Input Penanaman dan Perawatan Tanaman JUN dalam Lima Tahun (per Pohon) ... 84

(14)

xiv 24 Biaya Upah Tenaga Kerja Penanaman, Perawatan, dan

Pengawasan Tanaman JUN dalam Lima Tahun ... 84 25 Bagi Hasil kepada Petani, Pemilik Lahan, Investor,

Pemerintah Desa, dan UBH-KPWN ... 87 26 Hasil Analisis Finansial Usaha JUN UBH-KPWN ... 88 27 Hasil analisis switching value usaha JUN UBH-KPWN ... 90

(15)

xv DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Kerangka Pemikiran Operasional ... 30

2 Sistem Agribisnis JUN ... 40 3 Perakaran Jati Unggul Nusantara ... 41 4 Grafik Volume dan Nilai Ekspor Kayu Jati tahun 1998-2004 ... 47 5 Tata Waktu Penyiapan Lahan, Pupuk, dan Bibit ... 59 6 Lay Out Kantor Pusat ... 63 7 Pengaturan Tanam JUN ... 63 8 Bagan Kontribusi dan Bagian Hasil Pihak-Pihak yang

Terlibat dalam Usaha JUN ... 71

(16)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Hasil Penelitian Terdahulu ... 96

2 Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu ... 100

3 Aktifitas Usaha JUN ... 101

4 Struktur Organisasi UBH-KPWN ... 107

5 Laporan Laba Rugi UBH-KPWN ... 108

6 Analisis Cashflow Usaha JUN UBH-KPWN ... 109

7 Analisis Switching Value dengan Peningkatan Biaya Operasional sebesar 65,54 persen pada Usaha JUN UBH-KPWN ... 112

8 Analisis Switching Value dengan Penurunan Jumlah Produksi JUN sebesar 12,74 persen pada Usaha JUN UBH-KPWN ... 115

(17)

1 I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki luas wilayah 750 juta ha dengan luas daratan sekitar 187,91 juta ha. Sebesar 70 persen dari daratan tersebut merupakan kawasan hutan. Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan tahun 2008 luas kawasan hutan mencapai 133.694.685,18 ha.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kawasan hutan cukup luas dan tersebar hampir di seluruh pulau. Kawasan hutan terluas terdapat di Pulau Kalimantan yaitu seluas 40,89 juta ha atau 31 persen dari total luas hutan Indonesia. Pulau Papua menempati urutan kedua dengan luas kawasan hutan sebesar 40,54 juta ha dan urutan ketiga ditempati oleh Pulau Sumatera dengan luas sebesar 27,63 juta ha, sedangkan pulau lainnya memiliki luas kawasan hutan kurang dari 15 persen dari total luas hutan Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Penyebaran Hutan pada Tujuh Kelompok Pulau Besar Indonesia

No. Pulau Luas Hutan (Juta ha)

1. Papua 40,54 2. Kalimantan 40,89 3. Sumatera 27,63 4. Sulawesi 11,73 5. Maluku 7,14 6. Jawa 3,040 7. Bali Nusa 2,69

Sumber : Statistik Departemen Kehutanan (2008)

Hutan memiliki banyak fungsi antara lain fungsi lingkungan, fungsi estetika, fungsi pelestarian plasma nutfah, serta fungsi ekonomi. Peran hutan dalam fungsi lingkungan, khususnya sebagai daerah resapan dan tangkapan air dapat mencegah kekeringan, banjir, serta tanah longsor. Selain itu, tanaman khususnya pepohonan yang terdapat di hutan juga berfungsi sebagai penyerap emisi karbondioksida (CO2), sehingga dapat meredam pemanasan global.

Jika dilihat dari fungsi estetika, hutan membentuk pemandangan yang indah, sehingga dapat dijadikan daerah wisata alam. Dalam pelestarian plasma

(18)

2 nutfah, hutan berfungsi sebagai pelestari flora maupun fauna jenis tertentu yang memungkinkan dapat dikembangkan di luar kawasan hutan. Sedangkan fungsi hutan jika ditinjau dari sisi ekonomi, hutan turut serta pula memberikan kontribusi terhadap perekonomian.

Peran hutan dalam perekonomian dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan pada tahun 2000 hingga 2007 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan perubahan sebesar Rp 7.456 milyar atau 33,04 persen dari PDB tahun sebelumnya (Tabel 2).

Tabel 2. Produk Domestik Bruto Indonesia untuk Sektor Kehutanan Tahun 2000-2007 atas Dasar Harga Berlaku

No. Tahun PDB Sektor Kehutanan

(Milyar Rupiah) 1. 2000 16.343,0 2. 2001 16.962,1 3. 2002 17.602,4 4. 2003 18.414,6 5. 2004 20.290,0 6. 2005 22.561,8 7. 2006* 30.065,7 8. 2007** 35.734,1 Keterangan : * : Angka sementara **

: Angka sangat sementara

Sumber : Statistik Departemen Kehutanan (2008)

Kontribusi hasil hutan terhadap Produk Domestik Bruto berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Adapun hasil hutan kayu meliputi kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan produksi kayu olahan lainnya, seperti wood working, block board, veneer, particle board, chipwood, pulp, moulding, dan

dowel. Sedangkan hasil hutan non kayu meliputi rotan (rotan bulat), gondorukem, terpentin, minyak kayu putih, damar, sagu, dan kopal. Perkembangan produksi hasil hutan kayu dan non kayu di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

(19)

3 Tabel 3. Perkembangan Produksi Hasil Hutan berupa Kayu di Indonesia

Tahun 2003-2007

Jenis Komoditas Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 Kayu bulat (m3) 11.423.501 13.548.938 24.222.638 21.792.144 30.163.535 Kayu lapis (m3) 6.110.556 4.514.392 4.533.749 3.811.794 3.454.350 Kayu gergajian (m3) 762.604 432.967 1.471.614 679.247 587.402 Wood working (m3) 161.814 387.503 131.297 39.100 -Block board (m3) 436.418 277.396 403.160 189.007 204.066 Veneer (m3) 289.191 155.374 1.012.205 255.759 299.202 Particle board (m3) 93.642 244.070 124.768 40.655 -Chipwood (m3) 127.377 316.673 352.078 556.967 1 .103.506 Pulp (ton) 4.662.337 2.593.926 988.192 3.370.600 4.881.966 Moulding (m3) 321.653 238.743 272.668 119.396 -Dowel (m3) - - 3.680 152

-Sumber : Statistik Departemen Kehutanan (2008)

Pada tabel diatas, terlihat bahwa antara tahun 2003 hingga 2007 produksi hasil hutan kayu cenderung mengalami fluktuasi. Namun, produksi terbanyak tetap berasal dari kayu bulat, dengan produksi terbesar dicapai pada tahun 2005. Sedangkan produksi hasil hutan non kayu, antara tahun 2003 hingga 2007 cenderung mengalami penurunan, kecuali produksi minyak kayu putih saja yang mengalami peningkatan di tahun 2007 (Tabel 4).

Tabel 4. Perkembangan Produksi Hasil Hutan non Kayu di Indonesia Tahun 2003-2007

Jenis Komoditas Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 Rotan (ton) 127.295 1.880.503 221.381 24.554 3.153 Gondorukem (ton) 4.592 38.435 27.098 3.210 850 Damar (ton) 4.401 2.722.866 9.131 11.087 648 Terpentin (ton) 544 7.684 36.958 5.152 -Kopal (ton) 403 7.684 36.958 5.152

-Minyak Kayu Putih

(liter) 28.138 31.978 275.192 20.010 324.019

(20)

4 Pembangunan ekonomi Indonesia tidak terlepas pula dari peran sektor kehutanan dalam menghasilkan devisa. Pengusahaan sektor kehutanan salah satunya dilakukan dengan pengembangan industri hasil hutan berupa kayu. Pengembangan industri hasil hutan berupa kayu ini didorong oleh upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, diantaranya adalah penciptaan lapangan kerja, peningkatan nilai tambah serta peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor.

Berdasarkan data devisa ekspor hasil hutan, dapat dilihat bahwa kayu olahan memberikan kontribusi devisa yang lebih besar dibandingkan dengan kayu bulat dan kayu gergajian (Tabel 5). Hal tersebut dikarenakan devisa yang berasal dari kayu olahan merupakan penjumlahan dari jenis kayu olahan, seperti wood working, block board, veneer, particle board, chipwood, pulp, moulding, dan

dowel. Selain itu, salah satu penyebab penurunan devisa ekspor kayu bulat adalah mulai diberlakukannya pelarangan ekspor kayu bulat (log), akibat maraknya kegiatan penyelundupan kayu bulat ke luar negeri (illegal logging). Oleh karena itu, pengembangan pengusahaan kayu olahan dirasa dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan devisa negara.

Tabel 5. Devisa Ekspor Hasil Hutan di Indonesia Tahun 2001-2006

Tahun Kayu Bulat

(juta US $) Kayu Gergajian (juta US $) Kayu Olahan (juta US $) 2001 5,62 89,48 2.486,26 2002 2,59 124,75 2.540,86 2003 0,24 85,84 2.535,03 2004 0,33 26,88 2.277,15 2005 0,19 3,41 2.401,66 2006 0,17 37 2.089,44

Sumber : Statistik Departemen Kehutanan (2008)

Pengembangan industri kayu olahan terus dilakukan mengingat kontribusinya yang cukup besar dalam perekonomian negara, namun perkembangannya mengalami hambatan pada beberapa tahun terakhir karena ketersediaan kayu yang semakin menipis. Penipisan ketersediaan kayu tersebut disebabkan oleh adanya gap yang cukup besar antara kebutuhan dengan

(21)

5 kemampuan pemenuhannya. Selain itu, kebakaran hutan dan penebangan hutan secara liar (illegal logging) juga menjadi faktor penyebab penipisan ketersediaan kayu.

Kebutuhan terhadap kayu relatif besar, namun dihadapkan dengan ketersediaan kayu yang semakin menipis. Hal ini dapat dilihat dari jatah potensi tebangan kayu. Jatah potensi tebangan pada tahun 2008 sebesar 9,1 m3, sedangkan kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan kayu mencapai 36.268.586,25 m3 (Statistik Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan 2008). Porsi hutan tebang yang diberikan ini masih jauh dari kebutuhannya. Kebijakan pembatasan penebangan ini, mengurangi ketersediaan bahan baku kayu untuk industri kayu olahan karena sebagian besar industri kayu olahan menggunakan jenis kayu tersebut. Menurut informasi dari ASMINDO (2008), permintaan kayu jati di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 7.000.000 meter kubik, namun penawaran yang dapat dipenuhi hanya sebesar 700.000 meter kubik saja, sehingga terjadi kekurangan penawaran sekitar 90 persen. Kendala lain yang dihadapi dalam pemenuhan bahan baku kayu jati adalah umur tanam yang relatif lama. Semakin lama tanaman jati di tanam, maka kualitasnya dipercaya semakin baik.

Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan pemenuhan permintaan kayu jati, dilakukan pengembangan teknologi untuk memperpendek usia tanam jati menjadi 5-20 tahun. Tanaman ini di beri nama Jati Unggul Nusantara (JUN). Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. JUN dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir (UBH-KPWN 2009). Meskipun JUN dapat di panen pada tahun ke lima, namun kualitas yang dihasilkan hampir sama dengan tanaman jati konvensional yang berusia 15 tahun, yaitu memiliki kelas awet III-V, kelas kuat III, dan persentase teras 26-27 (UBH-KPWN 2009). Oleh karena itu, banyak pengusaha yang mulai tertarik membudidayakan JUN. Salah satu lembaga yang tertarik membudidayakan JUN adalah Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN).

(22)

6 1.2 Perumusan Masalah

Kayu jati (Tectona grandis L.F) merupakan salah satu komoditas hasil hutan yang memiliki nilai ekonomis yang bernilai tinggi namun memiliki kelemahan yaitu umur tanam yang relatif lama, bahkan dapat mencapai delapan puluh tahun. Disisi lain, kayu jati merupakan salah satu bahan baku industri perkayuan yang populer karena berbagai keunggulannya.

Kayu jati memiliki banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan baku pembuat rumah dan mebel. Beberapa kalangan masyarakat merasa bangga apabila tiang dan papan bangunan rumah serta perabotannya terbuat dari kayu jati. Selain itu, berbagai konstruksi pun terbuat dari kayu jati seperti bantalan rel kereta api, tiang jembatan, balok dan gelagar rumah, serta kusen pintu dan jendela. Pada industri kayu lapis, jati digunakan sebagai vinir muka karena memiliki serat gambar yang indah. Pada industri perkapalan, kayu jati sangat cocok dipakai untuk papan kapal yang beroperasi di daerah tropis. Namun, beberapa tahun belakangan ini, kayu jati lebih banyak digunakan untuk bahan baku perumahan dan mebel.

Meskipun pada akhir-akhir ini trend penggunaan kayu lain sebagai bahan baku perumahan dan mebel mulai meningkat, namun jati masih tetap menjadi pilihan utama. Beberapa jenis kayu lain yang banyak digunakan pula sebagai bahan baku perumahan dan mebel adalah kayu sengon laut dan kayu kanver. Kedua jenis kayu ini memiliki harga yang relatif lebih murah dibanding dengan jati. Namun, jika dilihat dari kualitas dan keawetan, kedua jenis kayu ini masih kalah dibandingkan dengan jati. Selain itu, dari serat yang dihasilkan kayu jati juga masih labih unggul sehingga jika digunakan untuk mebel atau furnitur, kayu jati akan menghasilkan tekstur yang indah.

Jika dilihat dari respon masyarakat, terlihat bahwa jati masih tetap menjadi pilihan utama. Hal ini dapat dilihat pula dari kebutuhan kayu jati baik dalam negeri maupun luar negeri yang relatif mengalami peningkatan. Menurut informasi dari ASMINDO (2008), permintaan kayu jati di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 7.000.000 meter kubik, namun penawaran yang dapat dipenuhi hanya sebesar 700.000 meter kubik saja, sehingga terjadi kekurangan penawaran sekitar 90 persen. Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan agar dapat

(23)

7 memenuhi kekurangan pasokan tersebut, salah satunya adalah pengembangan penggunaan teknik budidaya bibit unggul hasil rekayasa genetika tanaman jati. Beberapa pengusaha bibit jati menamakan jati unggul ini dalam beberapa nama dagang seperti Jati Super, Jati Prima, dan Jati Emas. Sedangkan Perhutani sebagai BUMN Departemen Kehutanan yang secara historis telah mengembangkan tanaman jati sejak masa penjajahan Belanda juga telah mengembangkan tanaman jati dengan daur tebang lebih singkat dari jati konvensional. Jati produksi Perhutani tersebut diberi nama Jati Plus Perhutani (JPP).

Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. Jati Plus Perhutani ini diinduksi perakarannya menjadi akar tunggang majemuk, sehingga perakarannya menjadi kokoh dan batang cepat besar namun tidak mudah roboh (UBH-KPWN 2009). Salah satu hal yang menjadi pembeda antara JUN dengan jati unggul lainnya, seperti Jati Emas adalah pelaku budidayanya. Jati Emas dikembangkan oleh Thailand, sehingga jika dilihat dari kesesuaian dengan agroklimat atau tempat tumbuh dengan iklim di Indonesia perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu. Sedangkan JUN merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh Perum Perhutani Indonesia, sehingga secara agroklimat sudah sesuai dengan kondisi di Indonesia. Meskipun dikembangkan oleh pihak yang berbeda, namun pengembangan bibit jati unggul ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menghasilkan jati dalam umur yang tidak terlalu lama.

Penggunaan teknik budidaya jati unggul ini dapat memperpendek umur tanam, sehingga masa panen dapat lebih cepat. Masa panen yang relatif cepat ini diharapkan tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan kayu jati saja, tetapi juga dapat menarik pemilik modal untuk berinvestasi pada sektor kehutanan, khususnya tanaman jati.

Dalam rangka menunjang pengembangan budidaya jati unggul, maka diperlukan sistem usaha yang dilaksanakan secara terpadu dan berkelanjutan agar dapat memenuhi permintaan jati secara berkesinambungan. Salah satu pelaku usaha budidaya jati unggul yang memiliki sistem usaha yang terpadu adalah Unit Usaha Bagi Hasil Jati Unggul Nusantara KPWN.

(24)

8 Tanaman Jati Unggul Nusantara yang dibudidayakan oleh Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusamtara (UBH-KPWN) dapat dipanen pada tahun ke lima dengan kualitas hasil yang baik pula. Selain itu, UBH-KPWN menerapkan pola bagi hasil kepada para mitra usahanya serta manajemen pohon (treesmanagement) dalam pelaksanaan usaha. Usaha ini baru dilaksanakan selama dua tahun, sehingga memerlukan pengkajian terhadap kelayakan usaha. Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa hal yang menarik untuk di analisis secara lebih detail.

1. Bagaimana kelayakan usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ditinjau dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis, aspek manajemen, dan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

2. Bagaimana kelayakan secara finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN yang menerapkan pola bagi hasil.

3. Bagaimana kepekaan (sensitivitas) usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan, seperti perubahan biaya operasional dan jumlah produksi.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN ditinjau dari aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologis dan aspek manajemen, dan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

2. Menganalisis kelayakan secara finansial usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN yang menerapkan pola bagi hasil.

3. Menganalisis kepekaan (sensitivitas) usaha Jati Unggul Nusantara UBH-KPWN terhadap perubahan biaya operasional dan jumlah produksi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pemerintah atau pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan sektor untuk berinvestasi terkait upaya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan negara.

2. Pihak pengusaha atau pemilik modal (investor) sebagai masukan pengambilan keputusan dalam memilih investasi usaha.

(25)

9 3. Bagi penulis sebagai peningkatan kemampuan dalam menganalisis masalah

dan menerapkan ilmu yang telah dipelajari.

4. Bagi peneliti dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki batasan pada pengkajian terhadap kelayakan usaha yang dilakukan oleh UBH-KPWN, dimana kelayakan yang dianalisis hanya pada perencanaan jangka menengah, yaitu penanaman 2000.000 tanaman JUN dalam waktu lima tahun. Kelayakan usaha yang dianalisis meliputi kelayakan secara finansial maupun non finansial. Selain itu, dikaji pula secara deskriptif gambaran umum kemitraan UBH-KPWN dengan subsektor lainnya (pengada input, pengolah hasil, dan lembaga ekolabel).

(26)

10 II TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini berjudul Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil. Di dalam penelitian ini, digunakan empat penelitian terdahulu sebagai bahan acuan. Penelitian terdahulu menjadi referensi bagi penulis dalam melaksanakan penelitian. Adapun penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain: (1) Monitoring Serangan Hyblaea puera Cramer pada Tanaman Jati Unggul Nusantara di UBH-KPWN Desa Ciruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang oleh Aggarawati (2009), (2) Studi Kelayakan Investasi Usaha Jati Emas (Kasus di PT. Bukaka Teknik Utama Tbk, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat) oleh Seto (2004), (3) Analisis Kelayakan Finansial Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f.) dengan Metode Kultur Jaringan pada PT. Dafa Teknoagro Mandiri, Ciampea, Bogor oleh Abdurrohman (2005) dan (4) Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara oleh Setyadi (2009) (lampiran 1).

2.1 Penelitian Terdahulu

Anggarawati (2009) menganalisis mengenai serangan H. puera pada tanaman jati unggul nusantara di UBH-KPWN. Peneliti menyatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase, intensitas dan pengaruh serangan H. puera pada pertumbuhan tanaman jati. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan di lapangan (observasi lapang) untuk mengukur tinggi dan keliling pohon yang terserang H. puera. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa serangan H. puera tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling batang, sehingga bila hama ini menyerang tanaman JUN, maka serangannya tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling batang JUN.

Studi Kelayakan Investasi Usaha Jati Emas pada PT Bukaka Teknik Utama oleh Seto (2004) menganalisis tingkat kelayakan investasi usahatani jati emas jika dilakukan pada lahan sempit, yaitu dua hektar dengan total populasi 4000 bibit. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa usaha ini layak untuk dikembangkan. Hasil analisis aspek finansial menunjukkan NPV untuk usahatani 

(27)

11 jati emas lahan sempit sebesar Rp 900.011.970, IRR sebesar 13,42 persen, Net

B/C sebesar 1,97 dan PBP selama 14 tahun 4 bulan. Sedangkan analisis sensitivitas yang dianalisis yaitu pada penurunan harga jual output sebesar 20 persen, peningkatan biaya yang dikeluarkan sebesar 20 persen dan perubahan tingkat suku bunga menjadi 10 dan 13 persen. Hampir semua asumsi perubahan menunjukkan usaha ini tetap layak dilaksanakan. Namun, usaha ini menjadi tidak layak pada asumsi keempat (peningkatan biaya 20 persen yang diiringi pula penuurunan harga jual 20 persen dan suku bunga 10 pesen), asumsi kelima (peningkatan biaya 20 persen yang namun harga jual tetap dan suku bunga 13 pesen), dan asumsi keenam (peningkatan biaya 20 persen yang diiringi pula penuurunan harga jual 20 persen dan suku bunga 13 pesen).

Abdurrohman (2005) menganalisis kelayakan finansial produksi bibit jati dengan metode kultur jaringan pada PT. Dafa Teknoagro Mandiri, Bogor. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis tingkat kelayakan finansial usaha produksi bibit jati dan menganalisis tingkat kepekaan kelayakan finansial usaha produksi bibit jati. Berdasarkan kriteria kelayakan finansial yang diamati, usaha ini dapat dikatakan layak, dimana NPV bernilai positif sebesar Rp 301.751.403,00, IRR lebih besar dari tingkat diskonto (14 persen) yaitu sebesar 23,8967 persen, Net B/C lebih besar dari satu yaitu 1,695 dan Waktu pengembalian pada periode 5 tahun 4 bulan. Hasil analisis sensitivitas usaha ini sangat peka terhadap perubahan harga output. Berdasarkan dua skenario yaitu dengan kenaikan biaya produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output sebesar 28,57 persen, hanya pada skenario pertama investasi layak secara finansial dilaksanakan, sedangkan pada skenario kedua tidak layak secara finansial dilaksanakan. Hasil analisis dengan menggunakan switching value menunjukkan bahwa perubahan yang dapat ditolerir sehingga proyek masih dikatakan layak ketika biaya produksi variabel naik sebesar 59,80293 persen dan harga output turun sebesar 20,1824 persen.

Setyadi (2009) menganalisis kelayakan usaha dan kontribusi pengelolaan hutan rakyat koperasi hutan jaya lestari, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan usaha pada pengelolaan hutan rakyat di Konawe Selatan. Hasil penelitian menunjukkan

(28)

12 bahwa hutan rakyat di Kabupaten Konawe Selatan pada periode pembenahan ini strata I impas, sedangkan strata II dan III tidak layak diusahakan secara finansial. Nilai NPV masing-masing strata sebesar –Rp 27.501,00; –Rp 4.231.546,00 dan – Rp 9.254.448,00. Nilai BCR sebesar 1,00; 0,78 dan 0,67. Sedangkan nilai IRR berturut-turut 17,94 persen; 12,37 persen dan 10,00 persen. Status hutan pada strata I,II dan III dapat menjadi layak jika ada kenaikan harga kayu masing-masing 10 persen, 30 persen, dan 50 persen. Apabila diusahakan selama daur pertama pembenahan, hutan tersebut menjadi layak dengan nilai NPV berturut-turut Rp 7.704.499,00; RP 4.485.191,00 dan RP 3.241.314,00. Nilai BCR masing-masing strata yaitu 1,59; 1,24 dan 1,11. Sedangkan IRR masing-masing-masing-masing strata sebesar 25,08 persen; 20,77 persen dan 19,23 persen. Pola kemitraan antara KHJL dengan petani termasuk kemitraan jangka panjang, namun hutan rakyat merupakan pekerjaan tambahan atau dikatakan pekerjaan waktu luang saja bagi petani.

2.2 Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian Anggarawati pada tahun 2009 memiliki kesamaan dalam hal lokasi, namun berbeda dalam topik penelitian. Penelitian Anggarawati memberikan gambaran kepada penulis mengenai keadaan usaha yang penulis teliti. Selain itu, memberikan informasi terkait dengan hama yang menyerang pada tanaman jati. Berdasarkan penelitian Anggarawati, disimpulkan bahwa hama

H. puera tidak mempengaruhi pertumbuhan tinggi dan keliling jati, sehingga keberadaan hama tersebut tidak terlalu mengganggu pelaksanaan usaha.

Penelitian Seto memiliki kesamaan dalam hal topik penelitian dan jenis komoditas, namun berbeda lokasi dan sistem manajemen. Jenis komoditas yang diteliti adalah Jati Emas. Jati Emas merupakan salah satu nama dagang jati unggul, dimana jati emas ini dikembangkan oleh Thailand sejak beberapa tahun yang lalu. Baik Jati Emas maupun Jati Unggul Nusantara (JUN), keduanya merupakan jenis jati unggul yang dapat dipanen pada umur yang lebih pendek dibandingkan dengan jati konvensional, namun tetap menghasilkan kualitas yang sama baik dengan jati konvensional. Dalam hal teknik budidaya, Jati Emas dan JUN tidak terlalu berbeda, keduanya sama-sama membutuhkan perawatan yang intensif.

(29)

13 Jika dilihat dari sistem manajemen, penelitian yang dilaksanakan ini menggunakan sistem bagi hasil sedangkan penelitian Seto pada tahun 2004 menggunakan sistem manajemen pada umumnya (konvensional). Selain itu, penelitian yang penulis lakukan mendasarkan perhitungan dengan sistem manajemen pohon (trees management) sedangkan penelitian yang dilakukan Seto menggunakan perhitungan luas lahan. Penelitian Seto dilakukan pada lahan sempit yaitu dua hektar dengan total populasi 4000 bibit. Penelitian Seto ingin melihat sejauh mana kelayakan usaha budidaya tanaman jati jika dilakukan pada lahan sempit, padahal pada umumnya usaha budidaya tanaman kehutanan biasanya dilakukan pada lahan yang luas.

Penelitian Abdurrahman (2005) memiliki kesamaan topik, sedangkan lokasi, jenis komoditas dan sistem manajemen yang diteliti berbeda. Penelitian Abdurrahman bertujuan melihat kelayakan finansial produksi bibit jati. Bibit jati merupakan input dalam usaha budidaya jati, sehingga menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui sejauh mana kelayakan usaha bibit jati ini. Berdasarkan penelitian Abdurrahman, dapat terlihat bahwa usaha ini sensitif terhadap perubahan biaya produksi. Bila harga input untuk produksi bibit mengalami kenaikan, maka hal tersebut berpotensi menyebabkan kenaikan harga jual bibit. Kenaikan harga jual bibit ini tentu akan berpengaruh terhadap kelayakan usaha budidaya jati. Oleh karena itu, studi literatur terhadap penelitian yang dilakukan Abdurrahman dibutuhkan untuk membantu menganalisis dalam penelitian usaha jati unggul nusantara ini.

Penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Setyadi pada tahun 2009 memiliki kemiripan dalam hal topik dan sistem kemitraan yang dilakukan, namun lokasi penelitian berbeda. Sistem kemitraan yang dilakukan yaitu bekerjasama dengan petani. Hal tersebut sama halnya dengan kemitraan yang dilakukan dalam penelitian JUN ini, dimana salah satunya juga bekerja sama dengan petani. Pada analisis yang dilakukan oleh Setyadi, terlihat bahwa pola kemitraan antara KHJL dengan petani termasuk kemitraan jangka panjang, namun hutan rakyat merupakan pekerjaan tambahan atau dikatakan pekerjaan waktu luang saja bagi petani, sehingga petani dapat melakukan aktifitas yang lainnya. Pada penelitian Setyadi juga menunjukkan bahwa usaha budidaya jati layak untuk dilaksanakan

(30)

14 baik secara finansial maupun non finansial. Jika dilihat dari aspek pasar,masih terdapat gap antara permintaan dan penawaran, sehingga keberadaan usaha ini diharapkan dapat berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan jati. Jika dilihat secara teknis, usaha budidaya jati yang dilakukan KHJL hampir sama dengan teknik budidaya pertanian pada umumnya.

2.3 Hasil Analisis Berdasarkan Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian-penelitian terdahulu diperoleh hipotesis sementara bahwa jika dilihat dari aspek pasar, usaha budidaya jati dinilai layak, karena pasar untuk jati masih terbuka lebar. Saat ini, permintaan jati masih belum dapat terpenuhi seluruhnya oleh penawaran yang ada, sehingga terdapat

gap antara permintaan dan penawaran yang cukup besar.

Jika dilihat dari teknik budidaya, tanaman jati merupakan tanaman yang dapat tumbuh secara alami, sehingga teknik budidaya yang dilakukan relatif sederhana. Peralatan yang digunakan merupakan peralatan budidaya pertanian pada umumnya. Berdasarkan penelitian Setyadi, diperoleh pula kesimpulan bahwa petani yang melaksanakan budidaya tanaman hutan, dalam hal ini tanaman jati tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk melaksanakan budidaya tanaman ini. Disela-sela waktu kosong, petani dapat melakukan aktifitas lainnya.

Jika dilihat dari aspek manajemen, usaha yang dilakukan dengan pola bagi hasil dirasa akan lebih aman bagi pihak-pihak terkait karena didasarkan atas kondisi aktual (riil) serta keadilan dalam pembagian keuntungan dan risiko kerugian. Sedangkan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, dengan keberadaan usaha JUN ini dapat menyerap tenaga kerja sehingga dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu juga turut berkontribusi dalam kelestarian lingkungan.

Berdasarkan hasil analisis finansial pada penelitian terdahulu dengan kriteria-kriteria yang digunakan seperti NPV, IRR, Payback Period, dan Net B/C terlihat bahwa usaha budidaya jati layak secara finansial. Secara finansial, usaha ini sensitif terhadap perubahan biaya produksi dan perubahan harga output.

(31)

15 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Gambaran Komoditas

3.1.1 Tanaman Jati (Tectona grandis L.F)

Tanaman jati pada mulanya merupakan tanaman hutan yang tidak sengaja ditanam dan tumbuh liar di dalam hutan bersama jenis tanaman lain. Di alam, tanaman jati tumbuh sebagai tanaman campuran, serta tumbuh di daerah yang mempunyai perbedaan musim basah dan kering yang jelas (Tini 2002).

Menurut Sumarna (2008) tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Tanaman jati merupakan tanaman tropika dan subtropika yang sejak abad ke sembilan dikenal sebagai pohon yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Di Indonesia, jati digolongkan sebagai kayu mewah (fancy wood) dan memiliki kelas awet tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur, bahkan tanaman ini dapat bertahan hingga 500 tahun.

Sumarna (2008) mengemukakan bahwa kondisi kelas kuat dan kelas awet yang tinggi menyebabkan kayu jati hingga saat ini banyak dibutuhkan dalam industri properti, selain itu dengan profil yang ditujukkan oleh garis lingkar tumbuh yang unik dan bernilai artistik tinggi, jati dibutuhkan para seniman pahat dan pengrajin industri furniture untuk dijadikan berbagai bentuk barang jadi, misalnya mebel dan berbagai jenis barang kerajinan rumah tangga. Selain itu juga digunakan sebagai bahan untuk bak pada angkutan truk, tiang, balok, gelagar, jembatan, maupun bantalan kereta api. Tanaman jati juga memiliki daya tahan terhadap bahan kimia maka secara teknis kayu jati dapat digunakan sebagai wadah bagi berbagai jenis produk industri kimia.

Menurut Sumarna (2008) tanaman jati tergolong pula sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, billiousness, dan obat untuk melancarkan serta membersihkan kantung kencing. Bagian buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretik. Adapun ekstrak daunnya dapat menghambat kinerja bakteri tuberkolosa. Selain berfungsi sebagai bahan obat, daun jati dapat digunakan sebagai bahan pewarna kain. Tidak hanya

(32)

16 bagian tanaman saja yang berguna, limbah produksi berupa cabang dan serbuk gergaji pun dapat diproses menjadi briket arang yang memiliki kalori tinggi . 3.1.1.1 Daerah Penyebaran Jati (Tectona grandis L.F)

Jati merupakan tanaman asli di sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina, sebagian Jawa, serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna (Sulawesi Tenggara). Jika dilihat dari persebarannya di Asia, tanaman jati tersebar di sebelah Utara pada 2505’ Lintang Utara sampai di Burma, sedangkan di sebelah Selatan sampai 90 Lintang Selatan yaitu pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Namun, demikian antara 100 Lintang Utara dan beberapa derajat Lintang Selatan tidak terdapat tanaman jatinya.

Penyebaran tanaman jati di Asia Tenggara terdapat di Burma, India, Thailand dan Vietnam, sedangkan di Indonesia selain terdapat di Jawa, terdapat pula di pulau Buton, pulau Muna, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Penanaman jati di luar daerah sentra jati sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini disebabkan banyak daerah yang memiliki kondisi tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman jati.

Penduduk Indonesia sudah mengenal tanaman jati ini sejak lama. Perkembangan tanaman jati di Indonesia dalam sejarahnya dikaitkan dengan perkembangan peradaban budaya masyarakat dan pemerintahan kerajaan Hindu. Di Indonesia, jati mengalami proses naturalisasi di Pulau Jawa dan berkembang sampai ke Kangean, Muna (Sulawesi Tenggara), Sumba, dan Bali. Selanjutnya jati menyebar ke beberapa pulau lainnya. Namun, pada umumnya tanaman jati di Indonesia yang paling luas dikembangkan adalah di Pulau Jawa. Pada masa penjajahan Belanda perkebunan jati secara besar-besaran dilakukan di sebagian besar wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tini 2002).

3.1.1.2 Sifat Botanis Tanaman Jati

Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-45 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Sumarna (2008) mengemukakan bahwa dalam klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

(33)

17 Kerajaan : Plantae Divisio : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Familia : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectonagrandis Linn. f.

Tanaman jati banyak tumbuh di tanah datar dan berbukit rendah dengan ketinggian kurang lebih 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Di atas ketinggian tersebut, pohon jati jarang ditemukan. Meskipun demikian, dilaporkan bahwa di Myanmar jati dapat tumbuh dan ditemukan pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Bahkan di India pohon jati ditemukan di daerah dengan ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut (Tini 2002).

Jati di daerah subur dan iklim yang sesuai dapat mencapai ketinggian 45 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-20 meter dan mempunyai diameter sampai 220 cm. Bila tumbuh di daerah yang subur bentuk batangnya dapat bulat lurus akan tetapi bila tumbuh di tempat yang tidak subur bentuk batangnya kurus melengkung dan penampangnya tidak merata.

3.1.1.3 Fenotipe Jati di Indonesia

Penampilan jati di Indonesia khususnya di pulau Jawa, relatif seragam bahkan sangat serupa satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya atau dalam prakteknya sehari-hari, orang-orang membedakan bentuk jati berdasarkan fenotipenya yang menunjukkan adanya perbedaan morfologi bentuk pohon, batang dan sifat kayunya. Perbedaan penampilan jati tersebut masih menjadi bahan kajian apakah karena perbedaan varietas, ras lahan, serangan penyakit atau kemampuan beradaptasi yang berbeda antar individu pohonnya. Hal ini disebabkan dalam satu populasi ditemukan beberapa penampilan yang beragam.

Berdasarkan sifat-sifat kayu dan bentuk pohonnya, jenis-jenis jati dibedakan sebagai berikut (Hardjodarsono diacu dalam Tini 2002):

(34)

18 1. Jati lengo atau jati malam, kayunya keras dan berat. Jika diraba terasa halus

seperti minyak.

2. Jati sungu hitam, kayunya padat dan berat. 3. Jati werut, kayunya keras dan seratnya berombak. 4. Jati doreng, kayunya berlorang hitam.

5. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena banyak mengandung kapur.

6. Jati kembang, kayunya memiliki pola seperti kembang.

Sedangkan penggolongan berdasarkan penampakan bentuk batang, tanaman jati dibedakan menjadi:

1. Jati tipe belimbing 2. Jati tipe knobel 3. Jati tipe boleng 4. Jati tipe mulus

Dalam keseharian, tanaman jati yang terdapat di Indonesia dibedakan dengan sebutan jati Muna, jati Jawa, jati Thailand atau nama daerah (negara) asalnya. Penamaan ini lebih didasarkan pada daerah tempat tumbuhnya. Selain itu mulai populer pula jenis jati genjah atau jati unggul.

3.1.1.4 Jati Unggul

Jati unggul merupakan bibit unggul hasil dari perbanyakan kultur jaringan yang dikembangkan pertama kali dalam laboraturium, dimana tanaman induknya berasal dari Myanmar. Jati unggul sudah sejak tahun 1980 ditanam secara luas di Myanmar dan Thailand. Klonal unggul ini memiliki keunggulan genetik sama dengan induknya dan waktu panen relatif cepat yaitu antara 15-20 tahun.

Jati unggul memiliki beberapa keunggulan seperti sangat baik ditanam dengan sistem tumpangsari, baik dengan tanaman perkebunan maupun pertanian. Tumpang sari yang dapat dilakukan dengan tanaman perkebunan antara lain terhadap tanaman karet, kakao, kopi, dan kelapa. Selain itu, jati ungul dapat ditumpangsarikan tanaman palawija dengan jagung, kedelai, kacang tanah, cabai, dan ubi kayu.

Bibit jati unggul dapat tumbuh dimana saja dengan catatan, lahan tidak tergenang air, PH tidak asam (6,0-7.5), tanah lempung berpasir, ketinggian tidak

(35)

19 lebih dari 400 meter dpl, dan curah hujan 1000-2.500 mm/tahun dengan temperatur 22-38 derajat celcius (Wuryan 2008).

Beberapa trade mark jati unggul telah diketahui dan banyak ditanam oleh pengebun jati di Indonesia. Menurut Sumarna (2008), jenis jati unggul yang informasinya telah tersebar luas di masyarakat antara lain:

a. Jati Unggul b. Jati Super c. Jati Emas d. Jati Biotropika

3.1.2 Jati Unggul Nusantara (JUN)

Jati Unggul Nusantara adalah hasil kloning dari Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah diseleksi selama 70 tahun oleh Perum Perhutani. JUN dibiakkan secara vegetatif dengan stek pucuk dari pohon/klon unggul dari Perum Perhutani yang bersertifikat dengan metode bioteknologi mutakhir (Wuryan 2008).

Bibit JUN dihasilkan dari proses pengembangan genetik dari bibit-bibit jati terbaik seluruh Indonesia (PT. Setyamitra Bhaktipersada 2008). Proses penelitian dan pengembangan genetik dari bibit JUN ini memerlukan waktu lebih dari tujuh tahun. Pohon jati unggul dibuatkan kloningnya agar menghasilkan bibit jati unggul yang memiliki sifat seperti induknya. Perlakuan tambahan juga diterapkan untuk menghasilkan akar tunjang majemuk, cepat tumbuh, kokoh dan seragam.

JUN memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah memiliki perakaran tunjang majemuk, cepat besar, kokoh, sehingga tidak mudah roboh dan memiliki daya serap yang tinggi terhadap nutrisi. Keunggulan lainnya adalah masa panen yang relatif singkat 5-20 tahun namun tetap menghasilkan kayu berkualitas. Hasil kayu yang dapat diharapkan minimal mencapai 200 m3 per hektar, berbatang lurus seperti pinsil (10 meter tanpa cabang).

3.1.2.1 Karakteristik Jati Unggul Nusantara

Jati Unggul Nusantara dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang memiliki ketinggian sampai 400 meter dpl, drainase yang baik, PH tanah 6.0-7.5 dan bukan merupakan lahan yang becek atau tergenang. Penggunaan teknologi induksi perakaran, dihasilkan akar tunjang majemuk dan akar serabut, sehingga

(36)

20 bibit JUN menyerap banyak zat hara. Hal inilah yang menyebabkan JUN tumbuh cepat dan kokoh. Jika dibandingkan dengan bibit Jati biasa, JUN memiliki kecepatan tumbuh mencapai empat kali lipat (PT. Setyamitra Bhaktipersada 2008).

3.1.2.2 Penanaman dan Pemeliharaan Jati Unggul Nusantara

Pada umumnya JUN ditanam dengan jarak 5 x 2 m (1000 pohon per hektar), ukuran lubang tanam 40 x 40 x 40 cm. Pupuk dasar yang diberikan terdiri dari pupuk kandang yang sudah matang 3 kg, pupuk kimia ZA atau NPK 200 g per lubang tanam. Bagi tanah yang asam, ditambahkan kapur pertanian sebanyak 100 g per lubang tanam. Bibit JUN ditanam tegak lurus dan ditimbun dengan tanah galian yang telah diremahkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim hujan.

Pemupukan dilakukan setelah penyiangan dan pendangiran. Pemupukan NPK dilakukan sekali dalam satu tahun pada permulaan musim hujan dengan ketentuan:

a. Umur 1 tahun : 250 g NPK per pohon b. Umur 2 tahun : 400 g NPK per pohon c. Umur 3 tahun : 600 g NPK per pohon d. Umur 4 tahun : 800 g NPK per pohon e. Umur 5 tahun : 1000 g NPK per pohon

Wiwilan segera dilakukan pada awal pertumbuhan sampai dengan tanaman berumur 1-2 tahun. Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh yang memadai bagi tanaman. Penjarangan dilakukan dilakukan tiap 5 tahun sekali dengan intensitas yang berbeda.

a. Penjarangan 1 (umur 5 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal sebanyak 500 pohon/ha

b. Penjarangan 2 (umur 10 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal sebanyak 350 pohon/ha

c. Penjarangan 3 (umur 15 tahun) untuk memperoleh tegakan tinggal sebanyak 200 pohon/ha. (Wuryan 2008)

(37)

21 3.1.2.3 Pemanenan Jati Unggul Nusantara

Pemanenenan dilakukan pada umur tebang (daur) 20 tahun. Jumlah pohon yang ditebang sebanyak 200 pohon per ha dan diperkirakan dapat menghasilkan 200 m3 kayu per ha. Namun, Jati Unggul Nusantara dengan segala keunggulannya dapat dipanen dalam jangka waktu 5 tahun (Wuryan 2008).

3.2 Studi Kelayakan Bisnis

Studi kelayakan merupakan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu ide usaha yang direncanakan. Pengertian layak dalam penelitian ini adalah kemungkinan dari ide suatu usaha yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), baik dalam arti financial benefit maupun dalam arti socialbenefit. Layaknya suatu ide usaha dalam arti social benefit tidak selalu menggambarkan layak dalam arti financial benefit, hal ini tergantung dari segi penilaian yang dilakukan.

Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), tahap-tahap untuk melakukan investasi usaha adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi

Pengamatan dilakukan terhadap lingkungan untuk memperkirakan kesempatan dan ancaman dari usaha tersebut.

2) Perumusan

Tahap perumusan merupakan tahap untuk menerjemahkan kesempatan investasi ke dalam suatu rencana proyek yang kongkrit, dengan faktor-faktor yang penting dijelaskan secara garis besar.

3) Penilaian

Penilaian dilakukan dengan menganalisa dan menilai aspek pasar, teknik, manajemen, dan finansial.

4) Pemilihan

Pemilihan dilakukan dengan mengingat segala keterbatasan dan tujuan yang akan dicapai.

5) Implementasi

Implementasi yaitu menyelesaikan proyek tersebut dengan tetap berpegang pada anggaran.

(38)

22 3.2.1 Aspek-Aspek Studi Kelayakan

Studi kelayakan bisnis merupakan gambaran kegiatan usaha yang direncanakan, sesuai dengan kondisi, potensi, serta peluang yang tersedia dari berbagai aspek. Dengan demikian dalam menyusun sebuah studi kelayakan bisnis, harus meliputi sekurang-kurangnya aspek-aspek sebagai berikut:

a) Aspek pasar dan pemasaran b) Aspek teknis dan teknologis c) Aspek manajemen

d) Aspek sosial ekonomi dan lingkungan e) Aspek finansial

3.2.1.1 Aspek Non Finansial a) Aspek Pasar dan Pemasaran

Pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, atau saling bertemunya antara kekuatan permintaan dan penawaran untuk membentuk suatu harga. Salah seorang ahli pemasaran, Stanton, mengemukakan pengertian lain tentang pasar, yakni merupakan kumpulan orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk belanja, dan kemauan untuk membelanjakannya. Jadi, ada tiga faktor utama yang menunjang terjadinya pasar, yaitu orang dengan segala keinginannya, daya beli, serta tingkah laku dalam pembeliannya.

Pengkajian aspek pasar dan pemasaran penting untuk dilakukan karena tidak ada proyek yang berhasil tanpa adanya permintaan atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh proyek tersebut dan jika pasar yang dituju tidak jelas, prospek, bisnis ke depan pun tidak jelas, maka risiko kegagalan menjadi besar. Analisis aspek pasar dan pemasaran bertujuan untuk memahami berapa besar potensi pasar yang tersedia, berapa bagian yang dapat diraih oleh perusahaan atau usaha yang diusulkan, serta strategi pemasaran yang direncanakan untuk memperebutkan konsumen tersebut (Husnan dan Suwarsono 2000).

Pada pemasaran produk barang, manajemen pemasaran akan dibagi menjadi empat kebijakan pemasaran yang biasa disebut sebagai bauran pemasaran (marketing mix). Bauran pemasaran atau 4P dalam pemasaran terdiri dari produk (product), harga (price),distribusi (place), dan promosi (promotion). Bauran

(39)

23 pemasaran untuk produk jasa lebih luas daripada bauran pemasaran produk barang. Pada bauran pemasaran untuk jasa, baurannya dapat diperluas lagi dengan menambah tiga elemen lagi, yaitu orang (people), bukti fisik (physical evidence) dan proses jasa (process) (Kotler 1997).

b) Aspek Teknis dan Teknologis

Aspek teknis dan teknologi berkaitan dengan aktifitas mempelajari bagaimana secara teknis proses produksi dilaksanakan. Aspek teknis bertujuan untuk meyakini apakah secara teknis dan pilihan teknologi, rencana bisnis dapat dilaksanakan secara layak atau tidak layak, baik saat pembangunan atau operasional secara rutin (Umar 2005).

Beberapa pertanyaan utama yang perlu mendapatkan jawaban dari aspek teknis ini adalah:

1) Lokasi proyek, yakni di mana suatu proyek akan didirikan baik untuk pertimbangan lokasi dan lahan pabrik maupun lokasi bukan pabrik.

2) Seberapa besar skala operasi atau luas produksi ditetapkan untuk mencapai suatu tingkatan skala ekonomis.

3) Kriteria pemilihan mesin dan equipment utama serta alat pembantu mesin dan

equipment.

4) Bagaimana proses produksi dilakukan dan layout pabrik yang dipilih, termasuk juga layout bangunan dan fasilitas lain.

5) Apakah jenis teknologi yang diusulkan cukup tepat, termasuk didalamnya pertimbangan variabel sosial. (Husnan dan Suwarsono 1994)

Pemilihan mesin, peralatan, serta teknologi yang akan diterapkan dewasa ini hampir tidak dapat dipisahkan. Beberapa kriteria yang tidak dapat dipisahkan dalam pemilihan teknologi antara lain kesesuaian dengan bahan mentah yang dipakai, keberhasilan teknologi di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam pengoperasian teknologi, dan kemampuan antisipasi terhadap teknologi lanjutan (Umar 2005).

c) Aspek Manajemen

Manajemen berfungsi untuk aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian (Umar 2005). Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), analisa manajemen operasional meliputi deskripsi

(40)

24 pekerjaan, yang akan dilakukan, persyaratan untuk melakukan pekerjaan tersebut, serta struktur organisasi perusahaan.

Aspek manajemen operasional juga perlu mengkaji mengenai legalitas atau aspek yuridis dari suatu perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk meyakini apakah secara yuridis perencanaan usaha yang telah dibuat dapat dinyatakan layak atau tidak layak dihadapan pihak yang berwajib dan masyarakat.

d) Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Analisis terhadap aspek sosial dan lingkungan merupakan suatu analisis yang berkenaan dengan implikasi sosial yang lebih luas dari investasi yang diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan sosial tersebut harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan ketanggapan suatu usaha terhadap sosial yang terjadi (Gittinger 1986). Beberapa manfaat proyek terhadap kondisi sosial dan lingkungan antara lain perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan petani, serta dampak usaha terhadap kelestarian lingkungan.

3.2.1.2Aspek Finansial

Aspek finansial bertujuan untuk menghitung kebutuhan dana baik kebutuhan dana untuk aktiva tetap, maupun dana untuk modal kerja. Studi aspek finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas usaha, sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya rencana usaha yang dimaksud.

Studi kelayakan terhadap aspek keuangan perlu menganalisis bagaimana perkiraan aliran kas akan terjadi. Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, Payback Period dan Break Even Point.

a) Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakan salah satu metode perhitungan kelayakan investasi yang banyak digunakan karena mempertimbangkan nilai waktu uang (Arifin 2008). NPV yaitu selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekararng dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang. Untuk

(41)

25 menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan (Umar 2005).

b) Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mencari tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang, atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal (Umar 2005). Sedangkan menurut Arifin (2008), metode IRR dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menjadikan jumlah nilai sekarang dari proceed

(keuntungan bersih sesudah pajak ditambah dengan depresiai) yang diharapkan akan diterima (PV of future proceeds) sama dengan jumlah sekarang dari pengeluaran modal (PV of capital outlays).

c) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Ukuran berdiskonto manfaat proyek yang lainnya adalah rasio manfaat terhadap biaya (B/C Ratio). Rasio ini diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Dalam prakteknya, B/C Ratio jarang menggunakan manfaat dan biaya bruto, akan tetapi lebih baik membandingkan nilai sekarang manfaat neto dengan nilai sekarang dari biaya investasi ditambah biaya operasi dengan pemeliharaan. Rasio ini tidak sering digunakan di negara-negara yang sedang berkembang, karena nilai rasio ini berubah tergantung kepada selisih arus-arus manfaat dan biaya. Namun, suatu keuntungan dari Net B/C adalah bahwa ukuran tersebut secara langsung dapat mencatat berapa besar tambahan biaya tanpa mengakibatkan proyek secara ekonomis tidak menarik (Gittinger 1986).

d) Payback Period (PP)

Payback Period atau periode pengembalian investasi adalah suatu periode atau jangka waktu yang diperlukan untuk dapat menutup kembali investasi menggunakan aliran kas neto (Arifin 2008). Metode Payback Periode ini cukup sederhana sehingga mempunyai kelemahan. Kelemahan utamanya yaitu metode ini tidak memperhatikan konsep nilai waktu dari uang di samping juga tidak memeperhatikan aliran kas masuk setelah payback. Jadi, pada umumnya metode ini digunakan sebagai pendukung metode lain yang lebih baik (Umar 2005).

(42)

26 e) Break Even Point (BEP)

Analisis pulang pokok atau Break Even Point adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antarbeberapa variabel di dalam kegiatan perusahaan, seperti luas produksi atau tingkat produksi yang dilaksanakan, biaya yang dikelurkan, serta pendapatan yang diterima perusahaan dari kegiatannya (Umar 2005). BEP merupakan keadaan di mana penerimaan pendapatan perusahaan (Total Revenue atau TR) adalah sama dengan biaya yang ditanggungnya (Total Cost atau TC).

3.2.2 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value Analysis)

Pada saat kita menganalisis perkiraan arus kas di masa datang, kita berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya, hasil perhitungan di atas kertas dapat menyimpang jauh dari kenyataannya. Ketidakpastian itu dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan suatu proyek usaha dalam beroperasi untuk menghasilkan laba bagi perusahaan.

Suatu variasi pada analisis sensitifitas adalah switching value. Dalam analisis sensitivitas secara langsung kita memilih sejumlah nilai yang dengan nilai tersebut kita melakukan perubahan terhadap masalah yang dianggap penting pada analisis usaha dan kemudian kitadapat menentukan pengaruh perubahan tersebut terhadap daya tarik usaha. Sebaliknya, bila ingin menghitung switching value

maka kita harus menanyakan berapa banyak elemen yang kurang baik dalan analis usaha yang akan diganti agar usaha dapat memenuhi tingkat minimum diterimanya usaha sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran kemanfaatan proyek (Gittinger 1986).

3.3 Sistem Bagi Hasil

Sistem bagi hasil dewasa ini mulai menjadi alternatif pilihan bagi pelaku bisnis atau usaha. Bagi hasil atau biasa dikenal dengan istilah ‘Profit Sharing’

diartikan sebagai distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan (Barus 2005). Bagi hasil ini dilaksanakan berdasarkan norma-norma Islam diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Perdagangan barang yang halal. 2. Bersikap benar, amanah, dan jujur.

Gambar

Tabel 1.  Penyebaran Hutan pada Tujuh Kelompok Pulau Besar Indonesia
Tabel 2. Produk Domestik Bruto Indonesia untuk Sektor Kehutanan   Tahun 2000-2007 atas Dasar Harga Berlaku
Tabel 4.   Perkembangan Produksi Hasil Hutan non Kayu di Indonesia   Tahun 2003-2007
Tabel 5.  Devisa Ekspor Hasil Hutan di Indonesia Tahun 2001-2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan arti komponen kata diatas, maka dapat disimpulkan pengertian dari “Mountain Resort dengan Penerapan Arsitektur Berkelanjutan di Kecamatan Ngargoyoso

Untuk “rule” dengan “premis” majemuk yang dihubungkan dengan operator ‘dan’ atau ‘atau’ dimana masing-masing memiliki nilai faktor kepastian sendiri- sendiri, maka

Seperti yang telah di uraikan di atas salah satu faktor yang kerap menimbulkan masalah dalam proses interaksi sosial yaitu tentang masalah bahasa, di Masama

Bahwa terhadap jaminan hutang Pelawan kepada Terlawan-I berdasarkan Perjanjian Kredit No.0314/AKS/BMD/2010 tanggal 12 Maret 2010, yang telah dikenai Hak Tanggungan

Regresi merupakan salah satu analisis yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap variabel lain .Dalam analisis regresi ,variabel yang mempengaruhi

lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan.. komunikasi, pemantauan secara bersama- sama dapat berpengaruh dan signifikan terhadap

Kedua hal inilah (fenomena empiris dan research gap) yang kemudian mendorong dilakukannya penelitian ini untuk mengenalisis data penelitian yang menggabungkan aspek