KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP
NAFKAH KELUARGA
(Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambarawa)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I
Dalam Ilmu Syari'ah
Disusun Oleh : DEDY SULISTIYANTO
NIM : 211 05 009
JURUSAN SYARI'AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
MOTTO
ﺎﻬِﻠﻫَﺃ
ﻰَﻟِﺇ
ِﺕﺎَ�ﺎﻣَﺄْﻟﺍ
ﺍﻭﺩﺆُﺗ
ﻥَﺃ
ﻢُﻛﺮﻣْﺄﻳ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
ﻥِﺇ
ِﻝﺪﻌْﻟﺎِﺑ
ﺍﻮﻤُﻜﺤَﺗ
ﻥَﺃ
ِﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻦﻴﺑ
ﻢُﺘﻤَﻜﺣ
ﺍَﺫِﺇﻭ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil
(Q.S. An-Nisa : 58)PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada pihak-pihak yang penulis anggap
mempunyai peran penting dalam hidupnya
1.
Ayahanda yang selalu menyayangi dan kusayangi
2.
Ibunda yang selalu menemani dalam kesaharianku yang telah
mengorbankan banyak hal untuk kebutuhan hidup, baik doa maupun
materi sampai berakhirnya masa studi Strata I
3.
Istri tercinta yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan pendidikan strata I
KATA PENGANTAR
ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ
ﻦﲪﺮﻟﺍ
ﺍ
ﻢﺴﺑ
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat
serta hidayah-Nya. Dengan rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA
TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Beteng Ambawara)”.
Penulisan skripsi ini bertujuan memenuhi persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syrai'ah Program Studi Ahwal Al
Syakhsiyyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) salatiga.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal mugkin
mencurahkan fikiran yang dimiliki. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
tidak akan dapat diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua STAIN
2. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah STAIN Salatiga.
3. Bapak Farkhani, S.H.I, S.H., M.H. selaku Kepala Program Studi Ahwal Al
Syakhsiyyah STAIN Salatiga.
4. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang telah berkenan secara ikhlas dan sabar meluangkan
waktu serta mencurahkan pikiran dan tenaganya memberi bimbingan dan
pengarahan yang sangat berguna sejak awal proses penyusunan dan penulisan
ABSTRAK
SULISTIYONO, DEDY. 211 05 009. KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambawara). Skripsi Jurusan Syariah, Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
Kata kunci : Kewajiban Suami Narapidana dan Nafkah Keluarga
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Apakah Bagaimanakah cara suami narapidana terhadap pemenuhan nafkah keluarga di lembaga pemasyarakatan kelas IIA beteng Ambarawa?, Adakah faktor-faktor yang menghambat / mendukung terhadap pemenuhan nafkah suami terhadap istri? Adakah solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh kepala keluarga (suami)? Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Sedang metode yang digunakan, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan metode analisis data. Subyek penelitian yang mewakili dari macam tindak pidana yang dilakukan sebanyak 8 responden, menggunakan teknik populasi dan dilakukan secara acak (random sampling). Data penelitian yang terkumpul di analisis dengan menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis. Sedangkan jenis penelitian (field research), tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian.
Adapun hasil analisis dari penelitian diperoleh kesimpulan kewajiban suami (narapidana) terhadap nafkah keluarga, masih tetap bisa diberikan sesuai dengan kemampuan, cara menafkahi keluarga adalah ikut dalam pembinaan kemandirian dan mendapat upah, memberikan wewenang untuk mengelola barang yang ditinggalkan kepada keluarga sebelum mendekam di penjara.
Faktor pendukung pemenuhan nafkah keluarga oleh narapidana yaitu: adanya komunikasi yang baik dengan keluarga, adanya dukungan dari pihak lembaga pemasyarakatan yang berupa pembinaan kemandirian, kesadaran keluarga terhadap kondisi narapidana tidak memenuhi. Sedangkan faktor penghambat yaitu tidak bisa bebas beraktifitas karena terikat pada peraturan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan.
Solusi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi, pemberian wewenang mengelola barang-barang yang ditinggalkan untuk dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat meninggalkan istri/keluarga mendekam di balik penjara berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf j UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atas persetujuan lembaga yang terkait.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN BERLOGO... ii
HALAMAN DEKLARASI... iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING... v
HALAMAN PENGESAHAN... vi
HALAMAN MOTTO... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN... viii
KATA PENGANTAR... ix
ABSTRAK... xi
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Penegasan Istilah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian... 9
F. Telaah Pustaka ... 9
G. Kerangka Teori... 11
H. Metode Penelitian... 14
I. Sistematika Penulisan... 18
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG NAFKAH A. Pengertian Nafkah Keluarga Dalam Islam ... 20
B. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Keluarga Dalam Islam ... 23
C. Hak dan Kewajiban Suami-Istri Menurut Perundang-undangan ... 32
D. Ketentuan Nafkah Menurut Fiqh... 35
BAB III DATA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Kelas II-A Beteng Ambarawa ... 46
1. Demografi ... 46
2. Struktur Bangunan ... 46
3. Kepegawaian... 47
4. Struktur Organisasi ... 48
5. Sarana dan Prasarana ... 49
6. Denah Lapas... 50
B. Data Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II-A Beteng Ambarawa ... 51
C. Cara-Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri ... 55
D. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pemenuhan Nafkah ... 63
E. Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah Ditinggal Oleh Suami... 64
BAB IV ANALISA DATA A. Analisis Terhadap Cara Pemenuhan Nafkah Suami Kepada Istri ... 67
B. Analisis Terhadap Faktor Pendukung dan Penghambat Pemenuhan Nafkah ... 73
C. Analisis Terhadap Solusi Bagi Keluarga Narapidana Yang Kesulitan Ekonomi Setelah ditinggal oleh Suami ... 75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 89
B. Saran... 90
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi
hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seseorang laki-laki dan
seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahrom (Rasjid, 1994:374).
Pernikahan merupakan salah satu pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan sebagai jalan yang sangat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga sekaligus sebagai jalan untuk
melanjutkan keturunan. Sebab kalau tidak dengan nikah tidak jelas siapa yang
akan mengurusi dan siapa yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Dengan
demikian, perkawinan merupakan suatu hal yang dianjurkan oleh Agama
maupun Negara. Begitu juga setiap individu pasti menginginkan adanya
sebuah perkawinan untuk meciptakan keluarga yang bahagia dan kekal antara
suami dan isteri. Namun dari pada itu, kebahagiaan hanya akan tercapai
apabila setiap orang mematuhi peraturan perundangan yang berlaku serta
terpenuhinya kewajiban dan hak antara suami dan isteri tersebut serta anggota
keluarga yang lain.
Segala sesuatu yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur secara
terperinci oleh hukum Islam dan Negara. Salah satu hal yang di atur oleh
aturan agama dan undang-undang ialah mengenai nafkaf seorang suami
terhadap isteri dan anggota keluarganya. Apabila terjadi suatu perkawinan
yang dilakukan, sedangkan hak-hak yang ada tidak terpenuhi dan kewajiban
tersebut. Karena begitu pentingnya pernikahan, maka Islam memberi banyak
peraturan untuk menjaga keselamatan dari perkawinan sekaligus hak dan
kewajiban suami istri dalam perkawinan itu sendiri. Dengan mengetahui
tentang hak dan kewajiban suami istri tadi diharapkan pasangan suami istri
akan saling menyadari akan pentingnya melaksanakan hak dan kewajibannya,
sehingga tidak mendholimi satu sama lain dan dapat bekerja sama menggapai
keluarga sakinah, mawadah, dan rohmah.
Selain itu perkawinan merupakan sebagai wujud perbuatan hukum
antara suami dan istri, perkawinan tidak hanya dimaknai untuk merealisasikan
ibadah kepada Allah SWT saja, tetapi disisi lain dengan adanya sebuah
perkawinan maka menimbulkan akibat hukum keperdataan antara keduanya.
Melihat tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga
bahagia, kekal, abadi berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, maka disini
ada pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri masing-masing.
Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri terpenuhi maka
dambaan suami istri dalam kehidupan berumah tangga akan dapat terwujud
didasari rasa cinta dan kasih sayang (A.Rofiq, 2003:181).
Sebagaimana dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 19 disebutkan :
ﲔِﺗْﺄـﻳ
ﻥَﺃ
ﺎـﱠﻟِﺇ
ﻦﻫﻮـﻤُﺘﻴَﺗﺍﺀ
ﺎـﻣ
ِﺾﻌﺒـِﺑ
ﺍﻮﺒﻫْﺬَﺘِﻟ
ﻦﻫﻮُﻠُﻀﻌَﺗ
ﺎَﻟﻭ
ﺎﻫﺮَﻛ
ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
ﺍﻮُﺛِﺮَﺗ
ﻥَﺃ
ﻢُﻜَﻟ
ﱡﻞِﺤﻳ
ﺎَﻟ
ﺍﻮﻨﻣﺍﺀ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﺎﻬﻳَﺃﺎﻳ
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".(Departemen Agama RI, 2000:119)
Ayat di atas merupakan petunjuk yang bersifat umum dalam pergaulan
antara suami dan istri, agar diantara mereka dapat bergaul secara ma'ruf (baik)
pergaulan tersebut bukan hanya meliputi aspek fisik, tetapi juga aspek psikis
atau perasaan, dan juga aspek ekonomi yang menjadi penyanga tegaknya
bahtera rumah tangga (A.Rofiq, 2003:182).
Adanya ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban suami istri
dalam sebuah rumah tangga tersebut bertujuan agar pasangan suami istri bisa
saling mengerti, memahami tentang mana yang menjadi wewenang dari
masing-masing. Di antara keduanya dapat mengetahui mana yang menjadi hak
suami atau hak istri dan mana yang menjadi kewajiban suami atau kewajiban
istri. Karena apa yang menjadi hak istri adalah kewajiban suami untuk
memenuhinya dan hak suami adalah kewajiban istri untuk memenuhinya.
Dengan adanya hak kewajiban suami istri tersebut tampak sekali hubungan
antara keduanya, yaitu antara suami dan istri itu harus saling melengkapi
dalam berbagai persoalan di dalam rumah tangga.
Pada dasarnya konsep hubungan suami istri yang ideal menurut Islam
adalah konsep kemitrasejajaran atau hubungan yang setara antara keduanya
namun konsep kesetaraan atau kemitrasejajaran dalam hubungan suami istri
tidak begitu saja mudah diterapkan dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Buktinya sering dijumpai banyak berbagai hambatan untuk mewujudkan nilai
dengan manusia yang lain juga berbeda, oleh karena itu, wajar bila pada suatu
waktu kaum laki-laki yang diunggulkan, karena memang dia berhak
menyandang posisi sebagai pemimpin. Laki-laki yang mempunyai kelebihan
kekayaan dan kemampuan berburu, sehingga memungkinkan bagi kaum
laki-laki untuk mencari nafkah. Sementara kaum perempuan dalam kondisi yang
sebaliknya (Munti, 1999:56-58). Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228 :
...
ِﺬﱠﻟﺍ
ُﻞْﺜِﻣ
ﻦﻬَﻟﻭ
ٌﺔﺟﺭﺩ
ﻦِﻬﻴَﻠﻋ
ِﻝﺎﺟﺮﻠِﻟﻭ
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎِﺑ
ﻦِﻬﻴَﻠﻋ
ﻱ
....
Artinya : "… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya…." (Departemen Agama RI, 2000:55)
Membina sebuah rumah tangga memang bukan hanya untuk saling
menguasai dan memiliki antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena
pernikahan bukan hanya sebagai sarana pemuas nafsu seksual semata. Di
dalamnya terdapat banyak tugas dan kewajiban yang besar bagi kedua belah
pihak termasuk tanggung jawab ekonomi.
Nafkah merupakan satu hak yang wajib dipenuhi oleh seorang suami
terhadap istrinya, nafkah ini bermacam-macam, bisa berupa makanan, tempat
tinggal, pelajaran (perhatian), pengobatan, dan juga pakaian meskipun wanita
itu kaya (Kisyik, tth:128). Firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat 233:
...
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎِﺑ
ﻦﻬُﺗﻮﺴِﻛﻭ
ﻦﻬُﻗْﺯِﺭ
ﻪَﻟ
ِﺩﻮُﻟﻮﻤْﻟﺍ
ﻰَﻠﻋﻭ
....
Artinya : "…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.….." (Departemen Agama RI, 2000:57)
Memberikan nafkah itu wajib bagi suami sejak akad nikahnya sudah
sah dan benar, maka sejak itu seorang suami wajib menanggung nafkah
menjadi tidak bebas lagi setelah dikukuhkannya ikatan perkawinan (Kisyik,
tth:134).
Berbagai alasan yang bisa menyebabkan suatu perkawinan diakhiri
dengan perceraian, antara lain: Pasal 19 huruf (c) PP No 9 Tahun 1975
perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung. Memang kesannya betapa tidak manusiawinya seorang isri jika
suaminya dipenjara kemudian si istri mengajukan perceraian. Harus juga
diingat bahwa selama mendekam di penjara, suami atau istri juga tidak bisa
menjalankan kewajiban-kewajibannya, seperti seorang suami yang tidak bisa
member nafkah bagi istri dan keluarganya. Tapi tentu juga di sadari, yang
berada di luar penjara beban tidak lebih ringan, karena harus menanggung
beban sosial, juga menanggung beban ekonomis. Kalau suami yang dipenjara
sebelum mendiami bilik penjara telah meninggalkan harta yang cukup untuk
menghidupi keluarganya saat dia dipenjara, tentu tak masalah. Tapi jika
keadaan sebaliknya, tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi harus menunggu
waktu yang tidak sedikit. Mendasarkan pada fakta yang terjadi apakah setiap
kepala keluarga yang masuk ke penjara, rumah tangganya harus berakhir
dengan perceraian? dan apakah hanya dengan perceraian masalah tersebut
dapat diatasi.
Perkembangan zaman dan semakin sempurnanya UU No 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan, rasanya alasan ini perlu ditinjau kembali.
menanggung beban baru lagi, jika pasangannya mengajukan perceraian.
Melihat Pasal 14 ayat (1) huruf j UU No. 12 Tahun 1995, sebenarnya alasan
ini perlu ditinjau karena seorang narapidana mempunyai hak cuti untuk
mengunjungi keluarga, sehingga kebutuhan biologis (jika memang bisa
disebutkan begitu) dapat terpenuhi, juga masalah ekonomi, seorang
narapidana dapat meminta penangguhan untuk mencari nafkah saat ditinggal
mendekam di balik penjara. Menurut saya, undang-undang ini memang masih
cukup efektif jika masalah pidana umum yang korbannya adalah kerabat istri
atau suami. Sehingga ada rasa sakit hati yang dalam dampaknya untuk
meneruskan rumah tangga hal yang sangat sulit. Hal ini bisa kita kiaskan
dalam hukum Islam, dimana seorang ahli waris tidak berhak mendapat
warisan dari pewaris, jika ahli waris tersebut membunuh pewaris.
Namun secara realita, undang-undang tersebut belum pernah
diterapkan, sehingga seorang napi dalam keterbatasannya di dalam penjara
tetap menanggung nafkah terhadap keluarganya yang tidak dapat terpenuhi,
serta konsekwensi perceraian dari isteri apabila tidak terima dengan keadaan
yang dialaminya.
Melihat kenyataan tersebut, penulis tertarik ingin meneliti mengenai
kehidupan narapidana yakni kewajiban nafkah yang ditanggungnya serta
kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Dengan maksud untuk mengetahui
yang dilakukan oleh seorang narapidana untuk menghidupi keluarga dan
mengetahui kehidupan keluarga yang ditinggal agar tetap dapat bertahan tanpa
mengkaji tentang "KEWAJIBAN SUAMI NARAPIDANA TERHADAP NAFKAH KELUARGA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Beteng Ambarawa)" sebagai bahan penulisan skripsi.
B. Penegasan Istilah
1. Kewajiban suami
Kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang mendapat dimbuhan ke-
dan akhiran -an berarti keharusan/sesuatu yang harus dilakukan
(
http:www.wikipedia.com//id.shvoong.com/writingandspeaking/2077878-pengertian-hak-dan-kewajiban/ dicopy pada 5 Juni 2012). Jadi yang
dimaksud kewajiban suami adalah beban untuk memberikan sesuatu yang
semestinya dibiarkan atau diberikan terus menerus oleh pihak tertentu
tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut
secara paksa oleh yang berkepentingan.
2. Narapidana
Narapidana adalah orang hukuman/orang yang sedang
menjalani hukuman karena tindak pidana; terhukum
(http:www.google.com//blogtentangpengertian.info/pengertiannarapidana/
dicopy pada 5 Juni 2012). Menurut kamus istilah aneka hukum,
narapidana merupakan orang yang sedang menjalani pidana atau hukuman
dalam penjara (di lembaga pemasyarakatan).
3. Nafkah Keluarga
Nafkah keluarga terdiri dari dua suku kata “nafkah” dan “keluarga”.
sehari-hari, uang belanja yang diberikan kepada istri. Keluarga artinya
sanak saudara;, kaum kerabat, sanak saudara yang bertalian oleh
perkawinan. orang seisi rumah; anak dan istri (W.J.S Poerwadarminta,
1985). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan nafkah keluarga membelanjakan atau mempergunakan
(uang) untuk keperluan hidupnya atau keperluan lain dalam keluarga.
C. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan dalam latar belakang, mengenai
keterbatasan seorang narapidana di dalam penjara dan kewajiban yang harus
dipenuhi maka batasan rumusan masalah yang menjadi fokus penellitian,
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah cara suami narapidana terhadap pemenuhan nafkah
keluarga di lembaga pemasyarakatan kelas IIA beteng Ambarawa?
2. Adakah faktor-faktor yang menghambat / mendukung terhadap
pemenuhan nafkah suami terhadap istri?
3. Adakah solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah
ditinggal oleh kepala keluarga (suami)?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini
tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pola pemberian nafkah bagi keluarga narapidana ketika
ditinggal oleh kepala keluarga di dalam penjara.
2. Untuk mengetahui dampak dan solusi bagi keluarga narapidana yang
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan terhadap kewajiban suami narapidana dalam
memberikan nafkah untuk keluarga.
E. Kegunaan Penelitian
1. Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan adanya pemikiran terhadap nasib
keluarga narapidana yang membutuhkan kelayakan perekonomian. .
2. Praktis
a. Bagi Masyarakat
Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat memperhatikan nasib
keluarga narapidana di sekitar mereka.
b. Bagi Lembaga Pemasyarakatan
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Lembaga Pemasyarakatan
dalam meningkatkan pelayanan, sehingga terwujudnya penerapan
Pasal 14 Undang-undang pemasyarakatan (UU No 12 Tahun 1995).
c. Bagi STAIN Salatiga
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata
pelaksanaan hukum di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat
menjadi bahan pertimbangan bagi STAIN sebagai sebuah lembaga
pendidikan dalam menentukan kurikulum agar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
F. Telaah Pustaka
Hal yang membedakan studi ini berbeda adalah berusaha mengupas
nafkah kepada istri dan anak dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga
sehari-hari selama suami menjalankan sanksi pidana di lembaga
pemasyarakatan.
Penelitian serupa telah dilakukan oleh Jumiyati dalam skripsinya yang
berjudul Hak dan Kewajiban Suami Istri (Studi Komparasi Antara Fiqh
dengan Kesetaraan Gender). Dari karya ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
hak suami istri itu telah ditentukan sendiri-sendiri kekuasaannya, sedangkan
kewajiban suami istri itu menuntut antara keduanya harus mengerjakan.
Kewajiban itu harus saling dihormati, sedang perbandingan antara fiqh dan
kesetaraan gender sudah jelas ditetapkan bahwa menurut fiqh suami adalah
kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Lain halnya dengan
fenomena yang terjadi saat ini, istri keluar rumah atau berkarir untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, tetapi disisi lain nafkah itu tetap
merupakan kewajiban suami.
Perlu penulis tegaskan, bahwa permasalahan yang penulis teliti ini
belum pernah diteliti, akan tetapi perspektif atau tinjauan yang digunakan
berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Di sini, penulis mencoba
meneliti lebih dalam dengan mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu
mengadakan penelitian di lingkungan lembaga pemasyarakatan beteng
Ambarawa dengan tinjauan hukum Islam dan UU No. 12 Tahun 1995. Lokasi
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki perbedaan secara
Perbedaan yang lain adalah terletak pada obyek penelitiannya,
penelitian ini membatasi dengan ketentuan yang berbeda. Responden dalam
penelitian ini adalah narapidana lembaga pemasyarakatan yang telah
berkeluarga dengan penjatuhan pidana antara 1-3 tahun lebih.
G. Kerangka Teori
Dalam rumah tangga ada peran-peran yang dilekatkan pada
anggotanya, seperti seseorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga,
sedang seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut
muncul biasanya karena ada pembagian tugas antara mereka di dalam rumah
tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena
itu, ia mendapat bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk
seluruh anggota keluarganya. Disamping itu, ia sebagai kepala rumah tangga
juga diberi tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi rumah
tangganya, sehingga rumah tangga tersebut dapat berjalan sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Karena kedua hal tersebut, yakni sebagai suami dan sebagai
kepala rumah tangga, maka ia memiliki kekuasaan lebih dibandingkan
anggota lainnya, terutama dalam pengambilan keputusan untuk urusan
keluarganya. Sementara pada sisi yang lain, istri biasanya bertanggung jawab
untuk mengurus rumah tangga sehari-hari. Pembagian peran dan fungsi suami
istri tersebut tidak lain bersumber pada penafsiran atas ajaran agama dan
nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Yakni sebuah nilai-nilai yang menempatkan
laki-laki sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan
rekannya dari jenis kelamin lain, yakni perempuan (Munti, 1999:2-3). Firman
ﻢِﻬِﻟﺍﻮـﻣَﺃ
ﻦـِﻣ
ﺍﻮـُﻘَﻔْ�َﺃ
ﺎـﻤِﺑﻭ
ٍﺾـﻌﺑ
ﻰـَﻠﻋ
ﻢﻬَﻀـﻌﺑ
ﻪـﱠﻠﻟﺍ
َﻞﱠﻀـَﻓ
ﺎـﻤِﺑ
ِﺀﺎﺴـﻨﻟﺍ
ﻰَﻠﻋ
ﻥﻮﻣﺍﻮَﻗ
ُﻝﺎﺟﺮﻟﺍ
Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (Departemen Agama RI, 2000:34).
Ibnu Katsir berkata, “maksudnya : para istri mempunyai hak diberi
nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh
istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan
cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah
istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya” (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272).
Rasululllah bersabda:
ﻦﻬُﻟﻭ
ﻢُﻜﻤﻴُﻠﻋ
ﻦﻬُﻗْﺯِﺭ
ﻦﻬُﺗﻮﺴِﻛﻭ
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎِﺑ
Artinya : “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami)”. (HR. Muslim 2137).
Selain itu, para ulama bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi
nafkah istrinya, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu
Ijma’ hlm.79, al-Washith karya al-Ghozali 6/203, dan al-Mughni karya Ibnu
Qudamah 9/229, lihat juga Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/267-268).
Suami sebagai penanggung jawab utama keluarga, baik meliputi aspek
ekonomi dan perlindungan terhadap keutuhan rumah tangganya maka ia harus
melaksanakan secara tanggung jawab penuh. Aspek ekonomi meliputi
pemenuhan belanja yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan tempat
tinggal.
Kewajiban memberikan nafkah oleh suami kepada istrinya yang
berlaku dalam fiqh didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami
dan istri, prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rizki,
rizki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk
selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya istri
bukan pencari rizki dan untuk memenuhi keperluan keluarganya ia
berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu, kewajiban nafkah
tidak relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip penggabungan harta
dalam rumah tangga (Syarifudin,2006:165-166).
Hukum membayar nafkah untuk istri baik dalam bentuk belanja,
pakaian, tempat tinggal adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh
karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga, tetapi kewajiban
yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Ulama
Syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang kaya dan tidak memerlukan
bantuan biasa dari suami, namun suami tetap wajib membayar nafkah
(Syarifudin,2006: 166). Dasar kewajiban tersebut terdapat dalam Al- Qur’an
ّﻦﻬُﻗْﺯِﺭ
ﻪَﻟ
ِﺩﻮُﻟﻮﻤْﻟﺍ
ﻰَﻠﻋﻭ
َﺔﻋﺎَﺿّﺮﻟﺍ
ّﻢِﺘﻳ
ﻥَﺃ
ﺩﺍﺭَﺃ
ﻦﻤِﻟ
ِﻦﻴَﻠِﻣﺎَﻛ
ِﻦﻴَﻟﻮﺣ
ّﻦﻫﺩﻻﻭَﺃ
ﻦﻌِﺿﺮﻳ
ﺕﺍﺪِﻟﺍﻮْﻟﺍﻭ
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan pendekatan sosiologis. Pendekatan normatif yaitu cara
mendekati masalah yang sedang diteliti apakah sesuatu itu baik/buruk,
benar/salah berdasarkan norma yang berlaku (Sumitro, 1990:54).
Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat
fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk
memahami hukum yang berlaku di masyarakat. (Soekanto,1988:4-5)
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (field research)
yaitu suatu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna mengadakan
Tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku dan tindakan (Moleong, 2007:6)
2. Subjek Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian
penulis menggunakan subyek penelitian berupa responden (Arikunto,
1997:115). Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah
narapidana lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa. Yang
akan diteliti adalah narapidana yang posisinya sebagai kepala keluarga
telah menjalankan pidana 3 tahun lebih.
3. Pengumpulan Data
a. Observasi
Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan
pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap
fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Dalam observasi
penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan yang akan diteliti.
Yaitu datang langsung ke lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng
Ambarawa.
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk menperoleh beberapa jenis data
dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad, 1990:174).
Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai
pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran wawancara adalah
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Beteng Ambawara.
Untuk mendapatkan data mengenai realita pemenuhan nafkah
c. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa catatan, data
monografi lembaga pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa,
jumlah narapidan dan lain sebagainya. Metode ini digunakan sebagai
salah satu pelengkap dalam memperoleh data.
d. Studi pustaka
Yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis, berupa:
catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya (Amirin,
1990:135).
4. Analisis Data
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka
dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai
sumber yaitu wawancara, dokumentasi dan data yang diperoleh dari
pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh
dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok
serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam hal
ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut:
a. Deduktif
Apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam
suatu kelas antar jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang
termasuk dalam kelas/jenis itu. Dalam arti apa yang berlaku pada suatu
yang bersifat umum berlaku juga pada sesuatu yang sejenis (Hadi,
1991:42).
Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisis
perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu
pengertian/kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada
hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara
suatu faktor dengan faktor yang lain (Surachmad, 1978:135).
c. Kualitatif
Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2002:45).
Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga
komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses
siklus.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 yakni:
a. Sumber data primer
Sumber data primer yang dipakai dalam penulisan ini adalah
penjelasan yang didapat dari wawancara terhadap narapidana, keluarga
narapidana serta petugas yang bekerja di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Sumber data sekunder
Yakni bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, antara lain rancangan undang-undang, hasil
penelitian, putusan pengadilan dll (Soekanto & Namudji, 1985:13).
Data-data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah
UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai
6. Pengecekan Keabsahan Data
Setelah terkumpulnya data-data yang telah diperoleh dari buku dan
dokumen maupun data dari lapangan, maka peneliti melakukan
pengecekan data yaitu dengan cara mengadakan perbandingan antara buku
dengan buku, buku dengan wawancara atau sebaliknya maupun
wawancara dengan wawancara. Tujuannya ialah untuk mendapatkan
kevalidan data dan meminimalkan resiko kekeliruan.
7. Tahap-Tahap Penelitian
Sebelum penelitian dilakukan penulis mencari tema yang hendak
diteliti dan mengumpulkan data-data berupa dokumen yang diperlukan
untuk dipelajari. Kemudian mengembangkannya menjadi suatu
permasalahan yang menarik untuk diteliti. Dengan bermodalkan data yang
ada, dilanjutkan dengan observasi dan wawancara di lapangan yang
bertujuan mensinkronkan data yang ada dengan fakta yang terjadi di
lapangan. Setelah data dokumen dan data lapangan terkumpul maka
dilanjutkan dengan penyusunan hasil penelitian yang telah dilakukan
untuk menjadi sebuah karya tulis/skripsi.
I. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah proses pembahasan dan pencapaian ide, maka
penulis merangkai pembahasan dan sistematika dalam lima bab sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, penegasan istilah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka,
Bab II Gambaran Umum Tentang Nafkah, berupa pengertian nafkah
keluarga dalam Islam, hak dan kewajiban memberi nafkah keluarga dalam
Islam, fenomena tanggungjawab nafkah keluarga pada zaman modern.
Bab III Data Hasil Penelitian, berisi tentang gambaran umum lembaga
pemasyarakatan kelas IIA Beteng Ambarawa, data-data narapidana, cara-cara
pemenuhan nafkah suami kepada istri, faktor-faktor pendukung dan
penghambat pemenuhan nafkah dan p solusi bagi keluarga narapidana yang
kesulitan ekonomi setelah ditinggal oleh suami.
Bab IV Analisis Data, berisi tentang cara-cara pemenuhan nafkah
suami kepada istri, faktor-faktor pendukung dan penghambat pemenuhan
nafkah, solusi bagi keluarga narapidana yang kesulitan ekonomi setelah
ditinggal oleh suami.
Bab V Penutup, berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG NAFKAH
A. Pengertian Nafkah Keluarga Dalam Islam.
Nafkah keluarga terdiri dari dua suku kata “nafkah” dan “keluarga” ,
nafkah berarti belanja untuk memelihara kehidupan, rezeki; makanan sehari
hari, uang belanja yang diberikan kepada istri. Sedangkan keluarga berarti
sanak saudara; kaum kerabat, sanak saudara yang bertalian oleh perkawinan,
orang seisi rumah; anak dan istri. Jadi yang dimaksud dengan nafkah keluarga
adalah membelanjakan atau mempergunakan (uang) untuk keperluan
hidupnya atau keperluan lain lain dalam keluarganya (Poerwadarminto, 1985).
Nafkah dari segi etimologi berasal dari bahasa arab yaitu al-Infaq yang
berarti pengeluaran (
ﺝﺍﺮﺧﻹﺍ
) (Yahya bin Syarf bin Marw al-Nawawiy, 1408H:288), ada juga yang mengatakan bahwa ia berasal dari akar kata al-nufuq
yang berarti hancur (
ﻙﻼﳍﺍ
) (Qasim, 1406 H:168). Kata infaq ini tidak dipakaikecuali dalam hal kebaikan. Ibn Bakar (tth:188) menjelaskan bahwa nafkah
yang dimaksud di sini bukanlah berasal dari akar kata al-nufuq, nafaq atau
nifaq. Akan tetap ia merupakan nama bagi sesuatu yang dinafkahkan
seseorang terhadap keluarganya. Sedangkan menurut terminologi nafkah
adalah segala bentuk perbelanjaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi,
seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga
(al-ahwal al-syakhshiyah). Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab
yakni dari suku kata anfaqa-yunfiqu-infaqan (
ﺎﻗﺎﻔ�ﺍ
-
ﻖﻔﻨﻳ
-
ﻖﻔ�ﺍ
). Dalam kamusArab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan
“pembelanjaan”. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah
dipakai dengan arti pengeluaran. Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad
al-Khatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan sesuatu yang
dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik.
Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama
fiqh, misalnya Badruddin al-Aini mendefinisikan nafkah ibarat dari
mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya. Dalam
kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah,
karena nafkah merupakan konsekwensi terjadinya suatu aqad antara seorang
pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah
tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi : ukuran
makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap
isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai
dengan kebutuhannya. Definisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas
belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah
Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah, sebagai berikut
mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan,
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami,
bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh
seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi
kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya
dengan sesuatu yang baik. Maka dari itu, para ulama memberikan satu batasan
tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul
Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya. Nafkah ini juga
mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau
dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk
juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri. Nafkah terbagi
2 (dua), antara lain
(http://manisnyaiman.com/agar-nafkah-keluarga-menjadi-berkah/030612):
1. Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap dirinya sendiri
ketika dia mampu, nafkah ini harus didahulukan sebelum ia menafkahi
orang lain. Rasulullah SAW bersabda : (
ﻌُﻞ
َﺗ
ﻦ
ﻤ
ﻤِﺒ
ُﺛ
ﻚ
ِﺴ
ﻨْﻔ
ِﺑ
ﺪ
ِﺍﺑ
) artinya :mulailah dari dirimu kemudian keluargamu.
2. Nafkah yang diwajibkan kepada seorang manusia terhadap orang lain.
kewajiban nafkah terhadap orang lain ini disebabkan karena adanya tiga
faktor yaitu: hubungan pernikahan, hubungan keturunan dan hubungan
perbudakan (al-milk) . Perbudakan yang sebenarnya sudah diharamkan
saja hukum fiqh selalu membahas perbudakan sebagai kontrol terhadap
sistem perbudakan yang masih eksis dalam sebuah masyarakat, agar tidak
terjadi kesewang-wenangan. karena sistem perbudakan tidak terhapus
begitu saja setelah datangnya Islam. Hal ini disebabkan sistem perbudakan
sudah menjadi tradisi sosial masyarakat yang sudah mengakar dimasa jauh
sebelum Islam datang.
B. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Keluarga Dalam Islam
Islam telah menetapkan ketentuan yang seimbang antara hak dan
kewajiban, bukan hanya dalam rumah tangga, tetapi juga dalam setiap
permasalahan dan ketentuan yang ada. Hanya Islam yang mampu mengatur
hukum yang berkenaan dengan umatnya pada penempatan masalah secara adil
dan proporsional, tidak ditambah atau dikurangi, karena setiap hamba
memiliki hak dan kewajiban yang sama (Kimsyik, 2000:120).
Keluarga merupakan dasar dalam membina sebuah masyarakat, dasar
pembentukannya yaitu atas unsur ketakwaan hamba kepada Allah SWT. Hal
ini merupakan perantara menuju jalan kebahagiaan dan kemuliaan Islam
menganjurkan umatnya untuk mendirikan sebuah keluarga atas dasar iman,
Islam dan ihsan yang mana unsur tersebut didasari rasa cinta, kasih dan
sayang, yang pada akhirnya hal ini akan menumbuhkan kerja sama yang baik
antara suami istri dengan modal utamanya yaitu rasa cinta, kasih dan sayang,
saling percaya juga saling menghormati karena setiap muslim itu bersaudara
Dalam sebuah keluarga apabila akad nikah telah berlangsung secara
sah, maka konsekwensi yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami istri
adalah memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.
1. Bentuk-bentuk hak dan kewajiban suami istri
Jika aqad nikah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat
hukum, dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban
selaku suami istri. Hak dan kewajiban itu ada tiga macam yaitu :
a. Hak istri atas suami
Hak istri yang harus dipenuhi oleh suami terdiri dari hak kebendaan
dan hak rohaniah (Sabiq, 1999:53).
1) Hak kebendaan
a) Mahar
Diantara hak material istri adalah mahar (mas kawin).
Pemberian mahar dari suami kepada istri adalah termasuk
keadilan dan keagungan Hukum Islam. Jika seorang wanita
diberi hak miliknya atas mahar tersebut.
Firman Allah dalam Surat An-Nisa' (4) : 4
ﺎـًﺌﻴِﻨﻫ
ﻩﻮـُﻠُﻜَﻓ
ﺎﺴْﻔَ�
ﻪﻨِﻣ
ٍﺀﻲﺷ
ﻦﻋ
ﻢُﻜَﻟ
ﻦﺒِﻃ
ﻥِﺈَﻓ
ًﺔَﻠﺤِ�
ﻦِﻬِﺗﺎَﻗﺪﺻ
ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
ﺍﻮُﺗﺍﺀﻭ
b) Belanja (nafkah)
Yang dimaksud dengan belanja (nafkah) di sini yaitu
memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian,
pengobatan istri dan pembantu rumah tangga jika ia seorang
kaya. Hukum memberi belanja terhadap istri adalah wajib
(Sabiq, 1999:77). Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) :
233 disebutkan:
...
ﺎـــﱠﻟِﺇ
ﺲـــْﻔَ�
ﻒـــﱠﻠَﻜُﺗ
ﺎـــَﻟ
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎـــِﺑ
ﻦﻬُﺗﻮﺴـــِﻛﻭ
ﻦـــﻬُﻗْﺯِﺭ
ﻪـــَﻟ
ِﺩﻮـــُﻟﻮﻤْﻟﺍ
ﻰـــَﻠﻋﻭ
ﺎﻬﻌﺳﻭ
....
Artinya : "…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya (Departemen Agama RI,
2000:57).
Mengenai kadar nafkah pada dasarnya berapa besar
yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya adalah dapat
mencukupi keperluan secara wajar.
2) Hak bukan kebendaan (rohaniyah)
Diantara hak istri sebagaimana yang telah disebutkan yang
berupa kebendaan itu ada dua macam yaitu mahar dan nafkah.
Sedangkan hak istri yang lainnya adalah berwujud bukan
kebendaan adapun hak tersebut yaitu:
a) Mendapat pergaulan secara baik dan patut (Syarifudin,
2006:160). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
...
َﻞـﻌﺠﻳﻭ
ﺎًﺌﻴـﺷ
ﺍﻮﻫﺮْﻜَﺗ
ﻥَﺃ
ﻰﺴﻌَﻓ
ﻦﻫﻮﻤُﺘﻫِﺮَﻛ
ﻥِﺈَﻓ
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎِﺑ
ﻦﻫﻭﺮِﺷﺎﻋﻭ
ﺍﲑِﺜَﻛ
ﺍﺮﻴﺧ
ِﻪﻴِﻓ
ﻪﱠﻠﻟﺍ
Artinya : "…pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Departemen Agama RI, 2000:119).
Yang dimaksud dengan pergaulan secara khusus di sini
adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkenaan
dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Selain itu suami juga
harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai
merusak atau menyakiti hatinya.
b) Mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin
melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau
ditimpa oleh suatu kesulitan dan mara bahaya. Mendapatkan
rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suami
(Syarifudin, 2006:161).
c) Pembatasan kelahiran
Dalam Islam disebutkan menyukai banyak anak karena
hal ini sebagai tanda dari adanya kekuatan daya pertahanan
terhadap umat-umat dan bangsa lain. Sebagaimana dikatakan
bahwa kebesaran adalah terletak pada keturunan yang banyak,
karena itu Islam mensyari'atkan kawin (Sabiq, 1999:121).
Namun dalam keadaan istimewa Islam tidak
menghalangi pembatasan kelahiran dengan cara pengobatan
kelahiran ini dibolehkan bagi laki-laki yang sudah banyak
anaknya dan tidak sanggup lagi memikul beban pendidikan
anaknya dengan sebaik-baiknya begitu pula kalau istri
keadaannya lemah atau mudah hamil atau suami dalam
keadaan miskin.
b. Hak suami atas istri
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak-hak yang
sifatnya bukan benda, mengapa demikian? Sebab menurut ketentuan
Hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang
diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga. Bahkan
lebih diutamakan istri tidak bekerja mencari nafkah, jika suami
memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.
Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk
melaksanakan serta membina keluarga. Kewajiban ini cukup berat
bagi istri yang memang benar-benar akan melaksanakannya dengan
baik.
Sesuatu yang menjadi hak suami merupakan kewajiban bagi
istri untuk melaksanakannya adapun kewajiban istri terhadap
suaminya yaitu:
1) Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya
2) Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan
memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam
3) Taat dan patuh pada suami selama suaminya tidak menyuruhnya
untuk melakukan perbuatan maksiat kewajiban ini sesuai dengan
firman Allah Surat An-Nisa' ayat 34.
...
ﻪﱠﻠﻟﺍ
َﻆِﻔﺣ
ﺎﻤِﺑ
ِﺐﻴَﻐْﻠِﻟ
ﺕﺎَﻈِﻓﺎﺣ
ﺕﺎَﺘِ�ﺎَﻗ
ﺕﺎﺤِﻟﺎﺼﻟﺎَﻓ
....
Artinya : "…perempuan-perempuan yang saleh ialah perempuan yang taat kepada Allah (dan patuh kepada suami) memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka…" (Departemen Agama RI, 2000:123).
4) Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya
sedang tidak berada di rumah.
5) Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak
disenangi oleh suaminya.
6) Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak
dipandang dan suara yang tidak enak didengar (Syarifudin,
2006:162-163).
c. Hak bersama suami istri
1) Halal saling bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya
2) Haram melakukan perkawinan
Setelah akad nikah di sini terjadi hubungan suami dengan keluarga
istrinya dan sebaliknya hubungan istri dengan keluarga suaminya,
akibatnya istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, datuknya,
anaknya, cucunya begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya dan
3) Hak untuk saling mendapat warisan
Akibat dari ikatan perkawinan yang sah adalah bila salah seorang
meninggal dunia sesudah sempurnanya ikatan perkawinan maka
akan mendapatkan warisan (Sabiq, 1999:52).
Selain hak bersama antara suami istri, dalam fiqh juga
disebutkan mengenai tanggung jawab diantara keduanya secara
bersama-sama setelah terjadinya perkawinan. Kewajiban itu ialah:
1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari
perkawinan tersebut.
2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
rohmah (Syarfudin, 2006:163-164).
2. Kewajiban nafkah suami menurut fuqaha
Keempat Imam madzhab yaitu Maliki, Hanafi, Shafi'i dan Hambali
sepakat bahawa memberikan nafkah itu hukumnya wajib setelah adanya
ikatan dalam sebuah perkawinan. Akan tetapi keempat imam madzhab
memiliki perbedaan mengenai kondisi, waktu dan tempat, perbedaan
tersebut terletak pada waktu, ukuran, siapa yang wajib mengeluarkan
nafkah dan kepada siapa saja nafkah itu wajib dberikan. Keempat imam
madzhab sepakat bahawa nafkah meliputi sandang, pangan dan tempat
tinggal (Al-Jaziri, 1969:553).
Adapun pendapat dari masing-masing fuqaha sebagai berikut :
a. Madzhab Maliki
Menurut Imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan
berlaku adil kepada istri. Kalau terjadi perpisahan antara suami dan
istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta asli istri tetap
menjadi milik istri dan harta asli milik suami tetap menjadi milik
suami, menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah
wajib apabila suami sudah mengumpuli istrinya. Jadi nafkah itu tidak
wajib bagi suami sebelum ia berkumpul dengan istri (Muhammad,
t.th:41).
Sedangkan mengenai ukuran atau banyaknya nafkah yang
harus dikeluarkan adalah disesuaikan dengan kemampuan suami.
Nafkah ini wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz. Jika suami
ada atau masih hidup tetapi dia tidak ada ditempat atau sedang
bepergian suami tetap wajib mengeluarkan nafkah untuk istrinya
(Muhammad, t.th:42).
b. Madzhab Hanafi
Menurut Imam Hanafi mencukupi nafkah istri merupakan
kewajiban kedua dari suami setelah membayar mahar dalam sebuah
pernikahan. Nafkah diwajibkan bagi suami selama istri sudah baligh
(Muhammad, t.th:42).
Mengenai jumlah nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami
terhadap istri disesuaikan dengan tempat kondisi dan masa. Hal ini
dikarenakan kemampuan antar satu orang dengan orang yang lain
berbeda. Pembedaan jumlah nafkah itu berdasarkan pada pekerjaan
keluarga yang satu dengan yang lain. Pendapat Imam Hanafi
menyebutkan bahwa nafkah wajib diberikan kepada istri yang tidak
nusuz. Tetapi jika suami masih hidup dia tidak berada ditempat maka
suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri (Muhammad,
t.th:42).
c. Madzhab Syafi'i
Menurut Imam Syafi'i hak istri sebagai kewajiban suami
kepada istrinya adalah membayar nafkah. Nafkah tersebut meliputi,
pangan, sandang, dan tempat tinggal. Nafkah wajib diberikan kepada
istrinya yang sudah baligh. Sedangkan mengenai ukuran nafkah yang
wajib diberikan kepada istri berdasarkan kemampuan masing-masing.
Adapun perinciannya yakni jika suami orang mampu maka nafkah
yang wajib dikeluarkan setiap hari adalah 2 mud, menengah 1 1/2
mud, dan jika suami orang susah adalah 1 mud (Muhammad, t.th:42).
Nafkah tersebut wajib diberikan kepada istri yang tidak nusuz selama
suami ada dan merdeka.
d. Madzhab Hambali
Menurut Hambali suami wajib membayar atau memenuhi nafkah
terhadap istrinya jika pertama istri tersebut sudah dewasa dan sudah
dikumpuli oleh suami, kedua, istri (wanita) menyerahkan diri
sepenuhnya kepada suaminya. Nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami
meliputi makanan, pakaian, dan tepat tinggal (Al-Jaziri, 1969:553).
yang berwujud pakaian itu disesuaikan dengan kondisi perekonomian
suami. Bila istri memakai pakaian yang kasar maka diwajibkan bagi
suami memberi kain yang kasar juga untuk tempat tinggal kewajiban
disesuaikan menurut kondisi suami (Al-Jaziri, 1969:562).
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri Menurut Perundang-undangan
Pembahasan tentang hak dan kewajiban, suami istri menurut
perundang-undangan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam
BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34, sedangkan dalam KHI diatur dalam
BAB XII Pasal 77 sampai Pasal 84.
1. Hak dan Kewajiban Suami Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pembahasan hak dan kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI
Pasal 30 sampai Pasal 34.
Pasal 30, berbunyi :
“suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Pasal 31, menyatakan:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
Pasal 32, menegaskan:
(1)Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2)Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
Pasal 33, menegaskan:
“suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”.
Pasal 34 UU, disebutkan :
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
a. Kewajiban suami
Pasal 80 mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya.
Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut (H.Abdurrahman,
1995:132-133) :
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berrumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
(a)Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri
(b)Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi istri dan anak
(c) Biaya pendidikan anak
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat
kediaman, kompilasi mengaturnya tersendiri dalam Pasal 81 sebagai
berikut (H.Abdurrahman, 1995:133) :
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram, tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
b. Kewajiban istri
Adapun kewajiban istri terhadap suami yang secara garis besar
terdapat dalam KHI diatur secara lebih rinci dalam Pasal 83 dan
Pasal 84 (H.Abdurrahman, 1995:134) :
Pasal 83 :
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 :
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan bukti yang sah.
c. Kewajiban bersama antar suami istri
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi
Hukum Islam diatur dalam Bab XII Pasal 77 sampai Pasal 84
(H.Abdurrahman, 1995:132), sebagai berikut:
Pasal 77 ayat (1) berbunyi :
"Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat".
Selanjutnya dalam pasal 77 ayat (2), (3), (4), (5) berturut-turut dikutip
dibawah ini:
“Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, dan pendidikan agamanya. Suami istri wajib memelihara keharmonisannya. Jika suami/istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama”.
Pasal 79 :
(1) Suami adalah kepala rumah tangga keluarga dan istri ibu rumah
tangga.
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
D. Ketentuan Nafkah Menurut Fiqh
Secara harfiah nafkah artinya belanja. Adapun pengertian nafkah ialah
uang atau harta yang dikeluarkan untuk suatu keperluan atau untuk membayar
adalah semua macam belanja yang dikeluarkan oleh seseorang untuk
memenuhi keperluan hidup suami, istri, dan anak-anaknya (M. Thalib,
2000:19).
Adapun dasar kewajiban suami menafkahi istri yaitu dalam firman
Allah Surat al Baqarah (2) ayat 233 yang berbunyi (Departemen Agama RI,
2000:57) :
ّﻦـﻬُﻗْﺯِﺭ
ﻪـَﻟ
ِﺩﻮـُﻟﻮﻤْﻟﺍ
ﻰـَﻠﻋﻭ
َﺔﻋﺎـَﺿّﺮﻟﺍ
ّﻢِﺘـﻳ
ﻥَﺃ
ﺩﺍﺭَﺃ
ﻦـﻤِﻟ
ِﻦﻴَﻠِﻣﺎـَﻛ
ِﻦﻴَﻟﻮـﺣ
ّﻦـﻫﺩﻻﻭَﺃ
ﻦﻌِﺿﺮﻳ
ﺕﺍﺪِﻟﺍﻮْﻟﺍﻭ
ِﻑﻭﺮﻌﻤْﻟﺎِﺑ
ّﻦﻬُﺗﻮﺴِﻛﻭ
....
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf….”
Ayat tersebut menegaskan bahwa ayah diwajibkan menanggung segala
kebutuhan makan dan pakaian ibu yang menyusi anaknya sekalipun telah
diceraikan oleh ayah anaknya. Jika terhadap mantan istri yang masih
menyusui anaknya seorang laki-laki diwajibkan menafkahinya, apalagi
terhadap perempuan yang masih menjadi istrinya, sudah tentu lebih patut
untuk dinafkahi (M. Thalib, 2000:21).
Kewajiban suami menafkahi istri bukanlah didasarkan pada tradisi,
budaya, adat istiadat masyarakat, atau warisan kebudayaan. Islam menetapkan
kewajiban memberi nafkah kepada istri sebagai suatu perintah illahiah. Yaitu
perintah yang dikeluarkan sendiri oleh Allah kepada hamba-Nya. Oleh karena
itu, seorang suami yang tidak menunaikan kewajiban memberi nafkah kepada
istrinya telah berdosa kepada istri dan berdosa kepada Allah (M. Thalib,
Kewajiban membelanjai istrinya dimulai sejak adanya ikatan
perkawinan yang sah. Seorang istri menjadi terikat semata-mata kepada
suaminya, dan tertahan sebagai miliknya. Kewajiban ini berlaku selama ikatan
suami istri masih berjalan dan istri tidak durhaka atau karena ada hal-hal lain
yang menghalangi penerimaan belanja. Adapun bentuk-bentuk tindakan istri
yang dapat dikategorikan durhaka (nusyuz) antara lain istri membangkang
terhadap suami, tidak mematuhi ajakan suami atau perintahnya, keluar rumah
tanpa izin suami (A. Rofiq, 2003:191).
Jumlah nafkah yang berhak diterima istri tidak ada ketetapan yang
pasti. Jumlah (kadar) sandang dan pangan yang wajib ditunaikan suami
disesuaikan dengan kemampuan suami (K. Nasution, 2004:181). Sebagaimana
Allah berfirman dalam surat At Thalaq 65:7 (Departemen Agama RI,
2000:946):
÷
ﺎﻣ
ﻻِﺇ
ﺎﺴْﻔَ�
ﻪَّﻠﻟﺍ
ﻒِّﻠَﻜﻳ
ﻻ
ﻪَّﻠﻟﺍ
ﻩﺎَﺗﺁ
ﺎّﻤِﻣ
ﻖِﻔﻨﻴْﻠَﻓ
ﻪُﻗْﺯِﺭ
ِﻪﻴَﻠﻋ
ﺭِﺪُﻗ
ﻦﻣﻭ
ِﻪِﺘﻌﺳ
ﻦِﻣ
ٍﺔﻌﺳ
ﻭُﺫ
ﻖِﻔﻨﻴِﻟ
ﺍﺮﺴﻳ
ٍﺮﺴﻋ
ﺪﻌﺑ
ﻪَّﻠﻟﺍ
ُﻞﻌﺠﻴﺳ
ﺎﻫﺎَﺗﺁ
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
Pada ayat tersebut di atas suami diperintahkan untuk memberikan
nafkah kepada istri sesuai dengan kemampuan atau pendapatan yang
dimilikinya. Disamping itu, ayat tersebut di atas juga mengingatkan istri agar
Masing-masing orang tentu memiliki kemampuan serta pendapatan
ekonomi yang berlainan, maka dari itu besarnya nafkah untuk istri dan
anak-anak dapat menjadi perbedaan setiap keluarga. Oleh karena itu, jika suami
memiliki kemampuan lebih maka ia berkewajiban untuk memberikan makan
dan pakaian yang layak kepada istri dan anak-anaknya.
E. Fenomena Tanggungjawab Nafkah Keluarga Pada Zaman Modern
Keluarga merupakan unit terkecil di masyarakat yang terdiri dari
suami, istri dan anak-anak yang tinggal dalam satu atap, bahkan terkadang
ditambah dengan kerabat dekat lainnya, semisal:kakek-nenek, adik-kakak dan
lainnnya (Purwanti Brotowarsito, 1997:2). Kewajiban nafkah itu ada pada
laki-laki, dalam hal ini suami terhadap isteri, ayah terhadap anak (demikian
sebaliknya_anak kepada ayah dan/atau ibu saat ayah sudah tak lagi sanggup
menafkahi sementara anak telah mapan). Dengan demikian suami dan/atau
ayah itu akan berdosa jika dalam kenyataannya tidak menjalankan kewajiban
nafkah tersebut. Terhadap kondisi ini, banyak isteri yang menggugat suami
atas dasar kondisi kesempitan suami memberi nafkah (mu’sir/dzu ‘usratin).
Kendati ketidaksanggupan (i’sar) suami membayar nafkah isteri,
memunculkan hak bagi isteri untuk mengajukan faskh nikah sebagaimana
akan dijelaskan berikutnya, namun dalam kenyataannya tidak sedikit pula
yang tetap mempertahankan rumah tangga dengan banyak pertimbangan,
misalnya sanksi sosial jika bercerai, dan terutama pertimbangan masa depan
anak-anak mereka. Konsekuensi dari mempertahankan rumah tangga itu,
menafkahi isteri, maka isteri pun akhirnya terjun dalam upaya mengumpulkan
pundi-pundi rezeki yang selanjutnya pundi-pundi itu diperankan sebagai alat
pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari (Kimsyik, t.th:120)
Apa yang dilakukan kaum isteri itu, secara tidak langsung telah
mengambil alih fungsi suami yang seharusnya berkewajiban nafkah.
Modernisasi kehidupan saat ini menghadirkan situasi tersebut sebagai
kenyataan, dimana kaum isteri berperan besar dalam memenuhi kebutuhan
kehidupan rumah tangganya, dengan menjalankan profesi-profesi tertentu
sebagai jalur kariernya. Istilah wanita karier pun semakin populer untuk
menggambarkan kenyataan tersebut. Banyak motivasi yang melatarbelakangi
kemunculan kenyataan itu di antaranya: (Erfani, Makalah:Implikasi Nafkah
dalam Konstruksi Hukum Keluarga, Calon Hakim PA. Tangerang, 2011)
1. Suami sudah tidak mampu lagi untuk bekerja dengan alasan tertentu guna
mencari nafkah.
2. Suami masih sanggup bekerja mencari nafkah, namun karena tuntutan
pemenuhan hal-hal sekunder diperlukan penghasilan tambahan. Atau
penghasilan suami dianggap kurang.
3. Suami berpenghasilan cukup untuk kebutuhan primer dan sekunder,
namun isteri merasa perlu berkarier atas pertimbangan memiliki
pendidikan dan keahlian dan kesempatan yang memadai, sehingga sayang
jika tidak dimanfaatkan.
4. Penghasilan cukup dan kebutuhan terpenuhi secara wajar, sementara