• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONFLIK PENGATURAN EKSPOR MINERAL DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 DENGAN ATURAN PELAKSANANYA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETIDAKSESUAIAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2014

TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009

1. Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri

Dalam rangka meningkatkan mutu mineral serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan maka dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri terhadap hasil tambang. Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ini bertujuan untuk:17

1) Meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk; 2) Tersedianya bahan baku industri;

3) Penyerapan tenaga kerja; dan 4) Peningkatan penerimaan Negara.

Definisi pengolahan dan pemurnian tidak ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, hanya disebutkan bahwa pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaaatkan dan memperoleh mineral ikutan.18 Menurut pengamat pertambangan Kurtubi, pemurnian adalah pekerjaan pengolahan atau pengilangan untuk memurnikan atau meninggikan kadar bahan galian dengan memisahkan mineral berharga dan yang tidak berharga, selanjutnya membuang mineral yang tidak berharga tersebut yang dapat dilakukan dengan cara kimia.19 Sedangkan pengolahan (treatment) adalah

17

Salim HS, Op.cit, hlm. 4. 18

Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 19

Rangga Prakoso, Wahyu Sudoyo, Definisi Pengolahan dan Pemurnian Perlu Diperjelas,

(2)

proses untuk menyiapkan bahan mentah mineral untuk diolah lebih lanjut sekaligus diolah untuk produk akhir.20

Definisi pengolahan dan pemurnian dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Energi, Sumber Daya dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa pengolahan adalah upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang dipoles.21 Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses pengingkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan.22

Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, antara pengolahan dan pemurnian memiliki makna yang berbeda yang menunjukan bahwa antara pengolahan dan pemurnian adalah proses yang saling berkaitan. Pengolahan merupakan langkah awal sebelum dilakukan pemurnian, dimana pengolahan adalah proses mempersiapkan mineral mentah dengan memisahkan antara mineral yang berharga dan mineral yang tidak berharga, mengingat mineral mentah yang ditemukan pada umumnya masih bercampur dengan kotoran atau mineral bawaan, maka dari itu perlu dilakukannya pemisahan. Pemurnian sebagai langkah lanjut dari proses pengolahan yang mana dalam proses

20

Ibid

21

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

22

(3)

pemurnian ini hasil pemisahan dari proses pengolahan yang menghasilkan mineral berharga kemudian ditingkatkan kadarnya hingga mencapai kadar maksimal yang diinginkan, sehingga menghasilkan produk akhir dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal.

Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian ditegaskan dalam Pasal 102, dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan / atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara, Berdasarkan ketentuan tersebut berarti bagi pemegang IUP dan IUPK operasi produksi berkewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Sedangkan bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pertambangan batubara kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ditegaskan dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.

Pengolahan dan pemurnian, dapat dilakukan dengan membangun unit pengolahan sendiri atau menggunakan unit pengolahan dan pemurnian yang terdapat di daerah lainnya atau dapat pula dilakukan dengan kerjasama dengan pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus lainnya.23 Bagi pengusaha yang benar-benar berkomitmen untuk melakukan pembangunan unit pengolahan dan

pemurnian yang dikenal dengan “smelter” di dalam negeri harus dilakukan selambat

-lambatnya lima tahun semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,24 yang berarti bahwa seluruh perusahaan tambang yang telah berproduksi harus telah

23

Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 24

(4)

memiliki atau membangun unit pengolahaan dan pemurniaan atau menggunakan unit pengolahan dan pemurnian milik perusahaan tambang lainnya pada tahun 2014.

1.1. Komoditas Tambang Mineral Yang Dapat Ditingkatkan Nilai Tambahnya

Pengolahan dan pemurnian merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan nilai tambah hasil tambang. Dimana golongan komoditas tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya, yaitu mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan.25 Mineral logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.26 Yang termasuk dalam mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, pasir besi, timah, mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium.27

Mineral bukan logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam.28 Yang termasuk mineral yang bukan logam yaitu zircon, kaolin, zeolit, bentonit, silica (pasir kuarsa), kalsit (batu kapur atau gamping), felspar, dan intan.29 Sedangkan yang dimaksud dengan batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat (massive) maupun

25

Pasal 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

26

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

27

Lampiran I Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

28

Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

29

(5)

lepas (loose).30 Yang termasuk dalam komoditas tambang batuan, yaitu marmer, granit, onik, opal, giok, agat, topas, perlit, toseki, batu sabak (slate), granodiorit, gabro, peridotit, basalt, kalsedon, rijang (chert), jasper, krisopras, dan garnet.31

Pengolahan dan pemurnian sebagai kegiatan peningkatan nilai tambah tidak dilakukan untuk seluruh komoditas tambang mineral. Pengolahan dilakukan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan. Sedangkan pengolahan dan pemurnian dilakukan untuk komoditas tambang mineral logam. Dengan ini berarti bahwa komoditas tambang mineral yang wajib untuk dilakukan pengolahan dan pemurnian sebelum dilakukan ekspor adalah mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, pasir besi, timah, mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium. Sedangkan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan dapat ekspor sekalipun hanya dengan dilakukan proses pengolahan.

1.2. Pihak-Pihak yang Berkewajiban Melakukan Pengolahan dan Pemurnian

Pemerintah sebagai badan publik sudah tidak lagi bersanding sejajar secara perdata atau sebagai mitra bisnis dengan pelaku usaha di dalam kontrak pertambangan.32 Sebelumnya dengan menundukkan diri sebagai pihak di dalam kontrak, hanya akan mengganggu imunitas dan kedaulatan negara.33 Terlebih jika dikaji secara historis,

30

Pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

31

Lampiran III Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.

32

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, Hlm. 113. 33

(6)

kontrak pertambangan dengan pemerintah sebenarnya tidak pernah diatur di dalam Undang-Undang Pertambangan Umum.34

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, sudah tidak lagi menggunakan kontrak namun diberlakukan Perizinan, dimana pemerintah sebagai pihak pemberi izin dalam proses pemberian izin. Objektivitas dominasi negara terlihat pada sistem perizinan usaha pertambangan (IUP) yang mengikuti kaidah hukum pertambangan internasional melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel serta simple secara administratif.35 Negara yang menentukan pihak yang layak diberikan izin pengelolaan atau pengusahaan mineral batubara, tanpa membedakan status domestik atau asing.36

Bentuk izin pertambangan yang diberikan adalah Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Diantara ketiga jenis izin pertambangan hanya ada dua izin yang dibebani kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana diatur dalam Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.37 Yang berwenang memberikan IPR, yaitu Bupati atau Walikota.38 Namun, demikian Bupati atau Walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian

34

Ibid.

35

Ibid.

36

Ibid.

37

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 38

(7)

IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.39 Sebelum IPR diberikan, maka Bupati atau Walikota menetapkan wilayah pertambangan rakyat (WPR).40 Sedangkan yang dapat mengajukan IPR, yaitu penduduk setempat.41 Ada tiga klasifikasi penduduk setempat, yaitu:42

1. Perorangan;

2. Kelompok masyarakat; dan/atau 3. Koperasi.

Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.43 Usaha pertambangan atau mining business merupakan kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan (feasibility study), kontruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.44 Pejabat yang memiliki wewenang untuk menetapkan IUP, yaitu:45

1. Bupati/Walikota; 2. Gubernur; dan 3. Menteri.

Pihak yang berhak mengajukan permohonan atas IUP, adalah:46 1. Badan usaha;

2. Koperasi; dan 3. Perorangan.

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.47 Pejabat yang berwenang

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 44

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 45

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 46

(8)

menetapkan IUPK, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.48 Pihak yang dapat mengajukan permohonan IUPK, yaitu badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, meliputi:49

1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); 2. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau 3. Badan Usaha Swasta (BUS).

Selain pemegang IUP dan IUPK, pemegang kontrak karya dan PKP2B yang telah melakukan kegiatan produksi juga berkewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.50 Kewajiban ini adalah hal baru bagi pemegang kontrak karya dan PKPB2. Mengingat hal ini adalah ketentuan yang baru bagi pemegang Kontrak Karya dan PKPB2 yang sebelumnya bukan merupakan bagian dari isi kontrak karya dan PKPB2, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap isi kontrak karya dan PKPB2.51

2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Sebagai Aturan Turunan

Sebagai wujud tindak lanjut dari ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Pemerintah membuat aturan turunan. Beberapa dari aturan turunan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksana Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.

47

Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 48

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 49

Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 50

Salim HS, Op.cit., Hlm. 4 51

(9)

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 adalah perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan kewajiban kepada pemegang IUP operasi produksi untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.52 Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang- Undang. Di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hierarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang.

Fungsi dari Peraturan Pemerintah adalah menyelenggarakan:53

1. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang yang tegas-tegas menyebutnya.

2. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam undang-undang

yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

Umumnya, Peraturan Pemerintah ditetapkan karena diminta secara tegas oleh undang-undang, karena Peraturan Pemerintah itulah yang pada dasarnya merupakan pelaksana langsung ketentuan undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, yaitu peraturan untuk menjalankan undang-undang.54

Pertimbangan hukum dari ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 adalah:

52

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

53

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan - jenis, fungsi, dan materi muatan, kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 221-223.

54

(10)

a. Bahwa dalam rangka meningkatkan manfaat mineral bagi rakyat dan untuk kepentingan pembangunan daerah, maka perlu peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sumber daya mineral di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009;

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

2.1. Ketentuan Pengolahan dan Pemurnian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dibuat oleh Pemerintah bagi para pengusaha komoditas tambang untuk pelaksanaan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan unit pengolahan dan pemurnian (smelter) sebagai salah satu upaya guna meningkatkan nilai tambah bagi komoditas tambang mineral tersebut yang juga tentunya mempengaruhi besaraan penerimaan bagi negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dikeluarkan sebagai perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tepatnya Pasal 112 ayat (4) huruf c, disebutkan bahwa adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Yang berarti bahwa jangka waktu paling lambat jatuh pada tahun ini, yakni 2014.

Namun kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri menjadi menarik ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Peraturan Pemerintah pengganti ini, Pasal 112 ayat (4) poin c dalam Peraturan

(11)

Peraturan Pemerintah ini dimungkinkan melakukan penjualan mineral ke luar negeri sekalipun tanpa dilakukan pemurnian.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, terdapat Pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 112B dan 113, yaitu Pasal 112C. Pasal 112C tersebut berbunyi:

1. Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

2. Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a Peraturan Pemerintah ini wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

3. Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.

4. Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta

batasan minimum pengolahan dan pemurnian diaturan dengan Peraturan Menteri. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah menegaskan adanya kewajiban untuk dilakukan pengolahan dan pemurnian terhadap hasil penambangan di dalam negeri yang diatur dalam Pasal 102, dan Pasal 103. Namun Pasal 112 C justru memberi kelonggaran bagi pengusaha komoditas tambang mineral yang seharusnya diberi kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum melakukan penjualan ke luar negeri. Hal ini tepatnya diatur dalam Pasal 112 C angka (4)

(12)

melakukan penjualan komoditas tambang mineral logam yang hanya dilakukan pengolahan sesuai dengan batasan minimum kadar pengolahan komoditas tambang mineral logam yang diatur dalam lampiran I Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Nomor 1 Tahun 2014.

2.2. Mineral Logam Yang Dikecualikan

Pasal 112 C angka (4) memberi celah bagi Pemegang IUP Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan, untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Hal ini berarti hanya mineral logam sajalah yang dimungkinkan dilakukan penjualan ke luar negeri tanpa harus dilakukan pemurnian terlebih dahulu.

Jenis-jenis mineral logam dapat ditemui di dalam Lampiran Peraturan Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Yang termasuk dalam mineral logam, yaitu tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, pasir besi, timah, mangan, timbal, seng, emas, perak, dan kromium.55

Namun ternyata tidak semua jenis mineral logam dapat dijual ke luar negeri dengan hanya dilakukan pengolahan di dalam negeri. BAB VI Ketentuan Peralihan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Energi, Sumber Daya, dan Mineral Nomor 1 Tahun 2014

menyatakan bahwa, “Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 112 C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat melakukan penjualan ke luar

55

(13)

negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan termasuk hasil pemurnian setelah memenuhi batasan minimum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini”.

Penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada Pasal diatas tidak berlaku bagi komoditas tambang mineral logam, sebagai berikut:56

1. Nikel; 2. Bauksit; 3. Timah; 4. Emas; 5. Perak; dan 6. Kromium.

Dengan ini berarti bahwa, jenis mineral logam yang diperbolehkan dilakukan penjualan ke luar negeri dengan hanya dilakukan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yakni:

1. Tembaga; 2. Pasir besi; 3. Bijih besi; 4. Seng; 5. Timbal; dan 6. Mangan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Bicara tentang hierarki norma hukum, maka tidak terlepas dalam benak kita dengan Hans Kelsen yang mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum

Stufentheorie”. Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu

berjenjang-jenjang berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang

56

(14)

lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).57

Teori Hans Kelsen tersebut diilhami oleh seorang muridnya, yaitu Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz).58 Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya.59 Apabila norma hukum hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, pada dasarnya norma-norma hukum yang berada di bawahnya akan tercabut atau terhapus pula.60

Stufentheorie dari Hans Kelsen diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang yaitu undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum. Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Undang-Undang yang pertama kali mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

57

Maria Farida Indrati S, Op.Cit, Hlm. 41, dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1945, hal 113.

58

Ibid.

59

Maria Farida, Op,cit, Hlm. 41-42 60

(15)

Peraturan Perundang-Undangan. Seiring berkembangnya zaman, undang-undang ini dianggap masih memiliki kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu undang-undang yang baru. Sebagai gantinya lahirlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang-Undangan (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang terdiri atas :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kajian tentang hierarki perundang-undangan, tidak lepas dengan asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana kepatuhan terhadap hierarki merupakan bagian dari pada asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik, meliputi:61

1. Kejelasan tujuan;

2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 4. Dapat dilaksanakan;

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6. Kejelasan rumusan; dan

7. Keterbukaan.

61

(16)

Mengacu pada ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 yang mana letak Peraturan Pemerintah berada di bawah Undang-Undang, hendaknya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tidak menyimpangi materi muatan aturan yang ada di atasnya, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.

Pasal 112 C angka (4) memberi kesempatan bagi pemegang IUP Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Selain itu, Pemegang IUP Operasi Produksi untuk dapat melakukan penjualan keluar negeri terhadap hasil penambangan mineral logam yang hanya telah dilakukan pengolahan di dalam negeri dikenakan tarif bea keluar progresif.

Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang mengenai kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor.62 Pengenaan tarif bea keluar terhadap hasil pengolahan mineral logam diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, yakni dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d. Pasal tersebut menyatakan bahwa barang ekspor yang dikenakan bea keluar, adalah:63

1. kulit dan kayu; 2. biji kakao;

3. kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya; dan 4. produk mineral hasil pengolahan.

Pengenaan bea keluar hanya untuk jenis mineral logam hasil pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 C angka 4, yaitu tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal,

62

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor.

63

(17)

dan mangan. Besaran tarif bea keluar untuk keenam jenis mineral logam tersebut diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK/011/2014.

Peraturan Pemerintah tersebut telah melanggar asas pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang dilanggar oleh Peraturan Pemerintah tersebut yaitu asas kesesuaian materi muatan. Yang dimaksud dengan kesesuaian materi muatan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar- benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.64 Dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 nampaknya kurang memperhatikan materi muatan yang tepat agar sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Ditinjau dari fungsinya, fungsi dari pada Peraturan Pemerintah adalah untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam Undang-Undang, maka seharusnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tidak menyimpangi apa yang sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 seharusnya menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut mengenai upaya peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sumber daya alam mineral di dalam negeri oleh pemegang IUP dan IUPK sebagimana dimaksud dalam Pasal 102, dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 mengamanatkan untuk dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebelum dilakukan penjualan ke luar negeri, berarti bahwa tidak hanya sampai pada proses pengolahan saja, tetapi juga

64

(18)

harus sampai pada proses pemurnian. Pasal 112 C Angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 ditinjau dari materi muatannya tidak sesuai dengan apa yang telah ditegaskan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009.

Menurut Pasal 112 C Angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, pemegang IUP Operasi Produksi yang melakukan kegiatan penambangan mineral dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu, berarti bahwa hanya dengan dilakukan pengolahan saja pemegang IUP Operasi Produksi sudah dapat melakukan penjualan ke luar negeri.

Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 102 dan Pasal 103 yang mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, antara pengolahan dan pemurnian merupakan proses yang berbeda namun saling berkaitan. Pengolahan adalah sebagai langkah awal yang merupakan bagian dari proses pemurnian guna memisahkan antara mineral yang berharga dan mineral yang tidak berharga, sedangkan pemurnian merupakan proses selanjutnya setelah dilakukan pengolahan guna meningkatkan kadar mineral berharga hingga diperoleh hasil akhir.

(19)

Padahal apabila ketentuan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana yang ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 benar-benar ditegakkan, akan menghasilkan nilai tambah yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Nilai tambah tersebut bukan hanya berasal dari bijih mineral mentah yang berubah menjadi mineral olahan yang telah meningkat kadarnya, namun juga dapat membuka lapangan kerja baru dari adanya pembangunan unit pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri dan meningkatnya penerimaan negara.

Dengan mempertimbangkan potensi logam di Indonesia, maka dengan adanya kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kewajiban untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, maka bijih besi, pasir besi, bijih tembaga, bauksit (aluminium), bijih nikel dapat dijadikan bahan baku dasar yang strategis untuk menopang industri strategis nasional yang berbasis mineral.65 Mengingat selama ini ekspor bahan mentah mineral yang selama ini dilakukan membuat struktur industri nasional menjadi kropos. Selain itu, Indonesia kehilangan nilai tambah yang besar dan menjadi bangsa yang bergantung dengan bangsa lain.66

65

Julkifli Marbun, Pemerintah: UU Minerba Tidak Mengandung Larangan Ekspor,

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/14/03/12/n2bapv-pemerintah-uu-minerba-tidak-mengandung-larangan-ekspor, 2014 66

Agustina Melani, Pemerintah Dinilai Melanggar UU Minerba,

Referensi

Dokumen terkait

Alat - alat yang digunakan di pada tabel 6, masih memerlukan beberapa alat tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan sari buah jambu biji dalam kemasan botol plastik PET.

Tahapan dalam metode ini adalah menentukan factor terkendali, menentukan level factor terkendali, pelaksanaan eksperimen, uji ANOVA, melakukan uji newman keuls dan

Dari hasil plot kurva eksisting ganggguan fasa ke tanah tipikal 1 pada Gambar 4.9 dapat kita lihat bahwa koordinasi kurva proteksi ini tidak tepat, karena saat terjadi

dasarnya. Morfem akar tersebut boleh menerima huruf imbuhan. Justeru , pengimbuhan huruf yang terdapat dalam KK kala lepas, KK kala kini dan KK perintah adalah

Rumusan etika politik pancasila dengan demikian dapat di susun sebagai berikut : etika politik pancasila merupakan cabang dari filsafat politik pancasila sedangkan

Penggunaan minyak jelantah secara berulang-ulang dengan lama pemanasan yang berbeda menyebabkan stres oksidatif pada sel yang dapat mengakibatkan disfungsi endotel

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa aktivitas yang dilakukan guru yang memiliki jumlah rata-rata terendah adalah pada pertemuan pertama siklus pertama yaitu sebesar 57,14

Pada pagi hari, suhu ruang yang menggunakan material foam concrete lebih panas dari material batu bata pada tiga ruang objek uji, yaitu pada ruang tamu dan ruang tidur objek uji