• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap tahunnya pemerintah daerah membuat rencana keuangan tahunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perencanaan dan Penganggaran APBD tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Berdasarkan undang-undang tersebut Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD yang berpedoman pada rencana kerja SKPD. Recana kerja dan anggaran dan rencana kerja SKPD akan disampaikan kepada DPRD sebagai bahan pertimbangan penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) untuk disahkan menjadi APBD. Anggaran yang telah disahkan diharapkan dapat diserap oleh pemerintah daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 16 ayat 2 APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Anggaran belanja terdapat proporsi belanja untuk pengadaan barang/jasa yang menggunakan akun belanja barang/jasa dan belanja modal serta direncanakan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang dibuat oleh Kepala SKPD selaku pengguna anggaran setiap tahun. Menurut Indonesia Procurement Watch [IPW] (2011) lebih dari 30-40 persen anggaran belanja dialokasikan untuk pengadaan

(2)

barang/jasa. Proporsi pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ) yang cukup besar sebaiknya harus diserap oleh pemerintah daerah agar tidak hilangnya manfaat belanja. Jika manfaat belanja hilang, maka rencana pembangunan dan pelayanan publik untuk masyarakat tidak akan optimal.

Reformasi birokrasi melalui desentralisasi, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya memberikan kesempatan kepada provinsi, kota, dan kabupaten untuk mensejahterakan rakyatnya melalui pelayanan publik yang terbaik. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah merupakan bentuk desentralisasi, struktur desentralisasi memungkinkan manajer untuk lebih inovatif dalam mengembangkan organisasinya (Dutta dan Fan, 2012). Oleh karena itu, Otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyerapan anggaran yang maksimal karena setiap daerah dapat memanfaatkan segala potensi yang ada.

Berdasarkan PMK Nomor 249/PMK.02/2011 penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator evaluasi kinerja atas aspek implementasi. Evaluasi kinerja atas aspek implementasi dilakukan dalam rangka menghasilkan informasi kinerja mengenai pelaksanaan kegiatan dan pencapaian keluaran [PMK No.249/PMK.02/2011 pasal 4 ayat (2)]. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah pasal 2

(3)

menyatakan bahwa dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap entitas pemerintah harus mempertanggungjawabkan segala penggunaan dan pelaksanaan anggaran.

Salah satu unsur akuntabilitas pada laporan kinerja berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah penyerapan anggaran yang termasuk pada akuntabilitas keuangan. Akuntabilitas keuangan adalah mempertanggungjawabkan dan memberikan penjelasan atas efisiensi keuangan yang telah dilakukan oleh pegawai publik. Setiap SKPD berkewajiban menyusun penyerapan anggaran dan menyampaikan laporan pemantauan (monitoring) dan evaluasi penyerapan anggaran secara berkala (bulanan) untuk meningkatkan layanan keuangan (LAKIP Provinsi D. I. Yogyakarta, 2012). Oleh karena itu, penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa menjadi kajian yang penting karena setiap keluaran yang dihasilkan dari penganggaran yang telah dilakukan dipertangungjawabkan untuk kepentingan dan pemenuhan pelayanan publik.

Penganggaran adalah suatu sistem pengendalian yang penting di hampir semua organisasi (Ekholm dan Wallin, 2000) dan ditujukan untuk memahami cara kerja organisasi (Hansen dan Van der Stede, 2004). Penganggaran pada sektor publik cenderung hanya sebagai legitimasi karena adanya tuntutan institusional (Moll dan Hoque, 2011). Penganggaran sebagai legitimasi menyebabkan berbagai permasalahan dalam praktiknya khususnya dalam penyerapan anggaran. Pola

(4)

penyerapan anggaran umumnya menunjukkan pola ‘santai di awal, kebut di belakang’ atau ‘hurry up spending’ atau ‘year end rush’.

Pada umumnya, penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa rendah. Hal ini terjadi karena berbagai permasalahan administrasi maupun teknis yang terjadi. Proses tender yang lambat, terlambatnya pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, kurangnya pembinaan dari pemerintah pusat, keengganan pegawai untuk ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan sulitnya mendapatkan pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa (Laporan Tim Warta BPKP, 2011). Penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa juga menjadi ‘ladang subur’ kasus korupsi, sebagaimana pantauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekitar 70% terjadi pada pengadaan barang/jasa (Jasin,et al., 2007; Budi, 2012).

Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa salah satunya disebabkan peraturan terkait pengadaan barang/jasa. Salah satunya adalah kekurangan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres Nomor 95 Tahun 2007. Pada tahun 2011 telah dilakukan revisi yang pertama atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menjadi Perpres Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

(5)

Revisi Perpres tersebut hanya untuk mengatasi satu masalah khusus saja, yaitu memasukkan jasa konsultasi di bidang hukum dalam rangka mendampingi instansi pemerintah apabila menghadapi tuntutan dari pihak ketiga.

Pada kenyataannya, rendahnya penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa masih terjadi. Oleh karena itu, pada Juli 2012 presiden menerbitkan perubahan kedua atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menjadi Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Tujuan dikeluarkan Perpres tersebut untuk mempercepat penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa dengan melakukan perubahan yang menyeluruh terhadap sistem pengadaan barang/jasa menjadi lebih sederhana, mudah untuk dilaksanakan, dan mengurangi penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa.

Percepatan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa menjadi prioritas pemerintah yang dimaksudkan untuk tersampainya pelayanan publik sebagaimana yang diamanahkan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dampak percepatan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa dapat dirasakan oleh masyarakat dengan menikmati hasil pembangunan lebih cepat, pembangunan jalan lebih baik, rumah sakit yang lebih baik, dan juga Net Present Value (NPV) dari APBD yang lebih baik (UKP4, 2012).

Pemerintah melakukan perbaikan untuk mempercepat penyerapan anggaran, namun dalam praktiknya distribusi penyerapan anggaran yang

(6)

proporsional sepanjang tahun tidak terwujud dan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa masih rendah. Menurut Kuntoro dalam Rmol.co (2012) menyatakan bahwa evaluasi realisasi belanja sepanjang semester I tahun 2012 menunjukkan hanya pos belanja pegawai yang lancar karena tidak mungkin belanja pegawai terlambat dicairkan, tetapi belanja barang dan belanja modal masih rendah. Pelaksanaan pembangunan di daerah juga masih mengalami kendala karena keterlambatan dan rendahnya penyerapan belanja modal.

Penyejahteraan rakyat salah satunya diupayakan melalui penyerapan anggaran yang telah ditetapkan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, membangun segala prasarana dan sarana bagi masyarakat, khususnya dalam pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa setiap tahunnya telah direncanakan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) untuk mencapai program setiap satuan kerja pemerintah. Pada prakteknya, pelaksanaan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa mengalami berbagai permasalahan sehingga penyerapan anggaran tidak maksimal.

Penelitian-penelitian penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa menjadi subjek penelitian yang relatif baru dalam penelitian akademis (Brulhart dan Trionfetti, 2004), walaupun praktik pengadaan barang/jasa sudah berlangsung sejak dahulu, baik pada organisasi swasta maupun publik. Penelitian yang banyak dilakukan cenderung meneliti tentang penggunaan anggaran sebagai evaluasi kinerja dengan variabel tingkat penekanan anggaran (Hopwood, 1972; Otley, 1978; Hansen dan Van der Stede, 2004), partisipasi penganggaran (Becker dan Green, 1962; Ronen dan Livingstone, 1975; Jermias dan Setiawan, 2008),

(7)

kesulitan target anggaran (Kenis, 1979; Simons, 1988; Merchant dan Manzoni, 1989; Dunk, 1993; Hansen dan Van der Stede, 2004), strategi organisasi (Hansen dan Van der Stede, 2004), struktur organisasi (Kinget al., 2010; Hansen dan Van der Stede, 2004), dan ketidakpastian lingkungan (Raith, 2003 dalam Hansen dan Van der Stede, 2004).

Penelitian ini ingin menguji fenomena yang terjadi di sektor publik seperti komitmen manajemen (Babakus et al., 2003; UKP4, 2012), pengatahuan peraturan (love et al., 2008; Al Weshah, 2013; Kuswoyo, 2011), lingkungan birokrasi, dan pengawasan keluaran (Ouchi, 1978) akan mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa. Komitmen manajemen dapat mempengaruhi kinerja organisasi (Babakus et al., 2003), intervensi (Rodgers et al., 1993), tersampainya kualitas pelayanan publik yang terbaik (Hartline dan Ferrell, 1996; Reeves dan Hoy, 1993) dan dibutuhkan dalam pelaksanaan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa (UKP4, 2012). Pengetahuan menjadi faktor penting dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa (Love et al., 2008). Pengetahuan terkait peraturan yang berlaku dapat menerapkan praktek terbaik dalam pengadaan barang/jasa (Al Weshah, 2013) dan pemahaman mengenai mekanisme pengadaan barang/jasa yang kurang akan menghambat penyerapan anggaran (Kuswoyo, 2011).

Birokrasi sebagai sebuah lambang rasionalitas dan implementasi yang efisien dari tujuan dan penyediaan layanan (Eisenstadt, 1959). Lingkungan birokrasi yang baik dan stabil akan mempengaruhi kinerja organisasi. Pengawasan keluaran akan relatif berhasil untuk beberapa pengukuran kinerja (Ouchi, 1978).

(8)

Teori pengharapan akan menjelaskan bagaimana komitmen manajemen dan pengawasan keluaran pada penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa. Teori institusional akan menjelaskan bagaimana pengetahuan peraturan dan lingkungan birokrasi terjadi pada penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memberikan kontribusi dalam perbaikan penelitian penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa di pemerintahan khususnya pemerintah daerah.

1.2. Rumusan Masalah

Berbagai permasalahan muncul pada saat pelaksanaan penyerapan anggaran khususnya penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa. Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi pada praktiknya mengindikasikan berbagai faktor yang mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa. Proses tender yang lambat, terlambatnya pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, kurangnya pembinaan dari pemerintah pusat, keengganan pegawai untuk ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan sulitnya mendapatkan pegawai yang memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa (Laporan Tim Warta BPKP, 2011). Berbagai fenomena yang terjadi pada praktiknya memberikan indikasi bahwa faktor komitmen manajemen, pengetahuan peraturan, lingkungan birokrasi, dan pengawasan keluaran mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa.

(9)

Komitmen manajemen mendorong bawahan untuk mencapai tujuan organisasi (Cooper, 2006). Komitmen manajemen dibutuhkan dalam pelaksanaan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa (UKP4, 2012). Komitmen manajemen dari kepala SKPD untuk melakukan penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa sangat diperlukan untuk memaksimalkan penyerapan anggaran yang telah dialokasikan dalam rencana umum pengadaan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu, komitmen manajemen dibutuhkan untuk mendorong penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa secara maksimal dan proporsional.

Berbagai sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam memberikan pemahaman atas peraturan yang sedang berlaku akan mempengaruhi pengetahuan pegawai publik atas peraturan yang berlaku terkait pengadaan barang/jasa. Peraturan yang berlaku sangat penting diketahui pegawai publik yang terlibat dalam proses pengadaan barang/jasa untuk menerapkan dan melaksanakan pengadaan barang/jasa sesuai dengan prosedur dan legalitas yang berlaku. Pengetahuan terkait peraturan yang berlaku dapat menerapkan praktek terbaik dalam pengadaan barang/jasa (Al Weshah, 2013). Sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan pemerintah pusat khususnya TEPPA (Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran) ke daerah-daerah harus terus ditingkatkan agar memberikan kekinian terhadap peraturan yang berlaku agar mendapatkan praktek pengadaan yang terbaik sehingga penyerapan angggaran terkait pengadaan barang/jasa maksimal. Oleh karena itu, pengetahuan peraturan dibutuhkan untuk

(10)

mendorong penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa secara maksimal dan proporsional.

Birokrasi sebagai sebuah lambang rasionalitas dan implementasi yang efisien dari tujuan dan penyediaan layanan (Eisenstadt, 1959). Birokrasi yang telah diatur dalam pemerintahan tentunya akan dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya baik lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan birokrasi yang mempengaruhi birokrasi pemerintah akan mempengaruhi berjalan lancar atau tidak kegiatan operasional pemerintah. Aturan dan prosedur yang mengikat dan sumber daya manusia mempengaruhi praktik birokrasi. Aturan dan prosedur yang lebih mudah dan sederhana, sumber daya manusia yang kompeten dan memadai, serta kondisi di lingkungan SKPD akan mempermudah kerja pegawai publik. Lingkungan birokrasi yang baik dan stabil akan mempengaruhi kinerja organisasi. Oleh karena itu, lingkungan birokrasi sangat mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa secara maksimal dan proporsional.

Pengawasan adalah masalah utama dalam organisasi hierarikal karena kesempatan untuk kesalahan komunikasi dan penyimpangan (Ouchi, 1978) akan terjadi jika tidak diawasi. Pengawasan dapat digambarkan sebagai proses memantau, mengevaluasi, dan menyediakan umpan balik (Dornbusch dan Scott, 1975 dalam Ouchi, 1978). Sistem pengawasan dapat dilakukan dengan pengawasan keluaran (Ouchi dan Maguire, 1975; Ouchi, 1978). Pengawasan keluaran melibatkan manajer mengawasi perilaku yang tidak diketahui dengan merepresentasikan pada pencapaian tujuan (Ouchi, 1978).

(11)

Data akuntansi sebagai pengukuran keluaran memiliki dampak yang besar terhadap perilaku manajer ketika data ini dengan sadar digunakan untuk evaluasi kinerja (Hopwood, 1972). Penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa dijadikan sebagai salah satu indikator kinerja juga akan menyebabkan organisasi berusaha secara maksimal meningkatkan penyerapan anggaran. Oleh karena itu, pengawasan keluaran akan mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa secara maksimal.

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah komitmen manajemen berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa?

2. Apakah pengetahuan peraturan berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa?

3. Apakah lingkungan birokrasi berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa?

4. Apakah pengawasan keluaran berpengaruh positif terhadap penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk menguji pengaruh komitmen manajemen, pengetahuan peraturan, lingkungan birokrasi, dan pengawasan keluaran terhadap penyerapan anggaran pemerintah daerah terkait proses pengadaan barang/jasa.

(12)

1.4. Kontribusi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai berikut:

a. Keterkaitan dengan tinjauan literatur, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan literatur akuntansi sektor publik khususnya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa.

b. Penelitian ini dapat memberikan bukti empiris fenomena penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed method).

c. Penelitian ini dapat memberikan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk penyerapan anggaran terkait pengadaan barang/jasa yang lebih efektif dan efisien.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiswa FKM USU Angkatan 2015 , diperoleh data yang menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering melakukan sarapan pagi

Ketika penurunan nilai wajar atas aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual telah diakui secara langsung dalam pendapatan komprehensif lainnya

Gambar 4.10 Kromatogram GC-MS biodiesel dengan katalis kitosan-sulfat Hasil konversi biodiesel penelitian pada minyak berkandungan asam lemak tinggi seperti CPO dapat mencapai

Hal ini berarti peningkatan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah yang dilakukan Badan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Padang akan berdampak pada

Dalam penelitian ini, dilakukan teknik asimilasi data nudging FDDA untuk memperbaiki akurasi model cuaca skala meso WRF di lepas pantai selatan Jawa Barat

Pererencanaan sambungan las pada konstruksi rangka mesin disc tinja kambing merupakan kebutuhan dasar yang sangat di perlukan dalam perencanaan ini, dilakukan

Rekayasa rekaman vibrasi suara berbagai binatang, bunyi genta dan gamelan blaganjur yang dilakukan dengan modifikasi frekuensi, intensitas dan waktu treatment sebagai upaya

Penyediaan jasa surat menyurat 39.000.000 Penyediaan jasa administrasi keuangan 115.100.000 Penyediaan Jasa Kebersihan Kantor 30.000.000 Penyediaan Komponen I