BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pakan merupakan unsur yang sangat menunjang suatu kegiatan usaha
budidaya perikanan, sehingga pakan yang tersedia harus memadai dan memenuhi
kebutuhan ikan tersebut.Pakan yang berkualitas tergantung dari jenis beberapa
bahan baku pakan yang memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh ikan. Menurut
Agustono et al. (2007), bahwa kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikan pada umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin. Salah satu
pakan ikan buatan yang paling banyak dijumpai dipasaran adalah pelet.Pelet
adalah bentuk makanan buatan yang dibuat dari beberapa macam bahan yang
diramu dan dijadikan adonan kemudian dicetak, sehingga berbentuk batangan atau
bulatan kecil-kecil dengan ukuran berkisar antara 1-2 cm (Zaenuriet al., 2014). Permasalahan pada budidaya ikan yang sering terjadi adalah sekitar
60-70% biaya produksi digunakan untuk biaya pakan (Afrianto & Liviawaty, 2005).
Upaya untuk mengurangi biaya pakan, dapat dilakukan dengan cara membuat
bahan pakan alternatif sebagai pengganti bahan pakan. Pemilihan bahan pakan
sebaiknya dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan bahan pakan yang mudah
didapat, harganya murah, dan kandungan nutrisinya tinggi (Handajani & Widodo,
2010). Pada umumnya, bahan pakan alternatif untuk ikan berasal dari berbagai
limbah yang kandungan nutrisinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ikan.
Salah satu bahan pakan alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan
tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk pembuatan pakan ikan, sehingga
dengan bahan baku limbah tersebut dapat dijadikan pakan yang dapat memenuhi
kebutuhan protein ikan.
Bulu ayam merupakan limbah dari rumah pemotongan ayam (RPA)
dengan jumlah berlimpah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi
ayam dan tingkat pemotongan sebagai akibat meningkatnya permintaan daging
ayam di pasar. Bulu ayam sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan dan hanya
sebagian kecil saja yang dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kemoceng,
pengisi jok, pupuk tanaman, kerajinan tangan/hiasan (Adiatiet al., 2004). Sebagian besar lainnya dibuang begitu saja, sehingga dapat mencemari
lingkungan sekitar. Dampak yang ditimbulkan dari limbah bulu ayam begitu besar
terutama bagi kesehatan masyarakat, karena limbah bulu ayam yang berserakan di
lingkungan rumah potong ayam menimbulkan bau yang tidak sedap dan
merupakan sumber penyebaran penyakit. Selain itu juga menimbulkan dampak
penurunan kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di
lingkungan atau proses dekomposernya memakan waktu cukup lama.
Salah satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk meminimalisasi
dampak limbah bulu ayam di lingkungan yaitu dengan metode pemanfaatan
limbah sebagai pakan ternak (Imansyah, 2006). Hal tersebut telah dilaporkan oleh
Tarmizi (2001), yang menggunakan tepung bulu ayam sebagai ransum ayam
Broiler. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan tepung bulu ayam
terfermentasi sebesar 5% dan 10% berpengaruh nyata terhadap pertambahan
tingginya kadar protein kasar pada bulu ayam sebesar 74,4 – 91,8% dari bahan
kering. Protein bulu ayam sebagian besar terdiri atas keratin yang digolongkan ke
dalam protein serat dengan daya cerna hanya sebesar 5,8% sehingga bulu ayam
menjadi kendala untuk sumber protein (Achmad, 2001). Metode yang dapat
dilakukan untuk mendegradasi keratin bulu ayam yaitu dengan cara fermentasi
dengan memanfaatkan mikroorganisme (Puastuti, 2007). Mikroorganisme yang
dapat mendegradasi keratin pada bulu ayam adalah Bacillus licheniformis. Bakteri tersebut memiliki kemampuan mendegradasi keratin yang terdapat pada bulu
ayam karena adanya enzim keratinolitik yang dihasilkannya. Penelitian yang
dilakukan Desi (2002), menggunakan B. licheniformis dalam fermentasi bulu ayam dengan konsentrasi sebesar 6,5 x 109 koloni/ml dengan inokulum sebesar 10
ml dapat meningkatkan kadar protein kasar sebesar 2,95% dari 95,17% menjadi
97,12%.
Selain bulu ayam, ampas tahu dapat dijadikan alternatif bahan baku pakan
buatan ikan yang sering digunakan oleh masyarakat. Ampas tahu adalah limbah
industri yang berbentuk padatan darikedelai yang diperas sebagai sisa dalam
pembuatan tahu yang keberadaannya ditanah air cukup banyak, murah dan mudah
didapat. Ampas tahu dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein karena
mengandung protein kasar yang cukup tinggi berdasarkan bahan kering yaitu
28,36% dan kandungan nutrien lainnya adalah lemak 5,52%, serat kasar 17,06%
dan BETN 45,44% (Nurainiet al.,2011).
Ampas tahu yang digunakan sebagai bahan pakan ternak, dapat
perombakan struktur secara fisik, kimia dan biologi sehingga bahan dari struktur
yang komplek menjadi sederhana, sehingga daya cerna ternak menjadi lebih
efisien (Nista, 2007). Pada fermentasi terjadi proses yang menguntungkan,
diantaranya dapat mengawetkan, menghilangkan bau yang tidak diinginkan,
meningkatkan daya cerna, menghilangkan daya racun yang terdapat pada bahan
mentahnya dan menghasilkan warna yang diinginkan (Lestari, 2001). Salah satu
pengolahan yang dapat dilakukan adalah fermentasi menggunakan kapang
Aspergillus niger. Kapang A. niger merupakan organisme proteolitik yang dapat mendegradasi serat kasar dan menghasilkan enzim protease. Berdasarkan hasil
penelitian Melati et al. (2010), tentang pemanfaatan ampas tahu terfermentasi sebagai substitusi tepung kedelai dalam formulasi pakan ikan yang menggunakan
A. niger menunjukkan terjadinya kenaikan protein yang cukup signifikan dari 15,40% menjadi 35,36% yang diduga kenaikan protein tersebut disebabkan karena
jumlah massa A. niger.
Selain pemanfaatan limbah dari bulu ayam dan ampas tahu, ikan rucah
juga dapat dijadikan alternatif bahan baku pakan ikan.Ikan rucah (trash fish) merupakan ikan hasil tangkapan sampingan atau sisa hasil pengolahan ikan.
Ikan rucah juga sering didefinisikan sebagai ikan yang tidak layak dikonsumsi
oleh manusia karena penanganan yang kurang tepat atau tidak diolah sehingga
tidak hieginis. Ikan rucah tidak dapat dimanfaatkan atau diolah lagi sebagai
produk untuk dikonsumsi manusia tetapimasih dapat dimanfaatkan sebagai
dalam pakan ikan ialah tepung ikan.Tepung ikan mengandung protein, abu,
lemak, serat kasar, dan phosphor (Wibowo, 2006).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pembuatan pakan, yaitu kondisi
kerusakan pelet yang dapat terjadi karena tidak digunakan bahan perekat. Bahan
perekat akan mempengaruhi kualitas pakan dan bentuk pelet secara fisik. Bahan
perekat atau binder adalah bahan tambahan yang digunakan untuk menyatukan
semua bahan baku dalam pembuatan pakan yang sangat menentukan stabilitas
pakan dalam air. Bahan perekat diperlukan untuk mengikat komponen-komponen
bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur
dan mudah dibentuk pada proses pembuatannya. Beberapa bahan perekat pelet
yang dapat digunakan sebagai bahan perekat yaitu tepung gaplek, agar-agar,
tepung terigu, maupun tapioka (Mudjiman, 2004).Penggunaan bahan perekat
tepungtapioka sangat membantu dalammempertahankan kualitas sifat fisik pakan
peletdan diharapkan pakan pelet yang dihasilkanmenjadi lebih padat dan tidak
mudah hancur.
Tepung tapioka disebut juga dengan tepung kanji. Tepung tapioka adalah
pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan (Suprapti, 2005).
Tepung tapioka memiliki kandungan pati yang lebih tinggi (88,01% pati)
dibandingkan dengantepung maizena (54,1% pati), tepung beras (25% pati), dan
tepung ketan (17-32% pati) (Jayanaet al., 2011 dalam Zulkarnain, 2013).Pati memegang peranan penting dalam menentukan tekstur makanan. Campuran
granula pati dan air apabila dipanaskan akan membentuk gel. Pati yang berubah
membentuk suatu gumpalan yang menyebabkan vikositasnya semakin meningkat
(Maharaja, 2008).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wikantiasi (2001), bahwa dengan
penambahan 4% tepung tapioka sebagai perekat dapat menghasilkan sifat fisik
pelet ikan yang optimal pada tingkat kekerasan, stabilitas dalam air, dan berat
jenis pelet yang dihasilkan lebih kompak, tidak mudah pecah, rapuh maupun
patah. Penelitian lain dilakukan oleh Dewi (2010), menunjukkan bahwa
penambahan 4% tepung tapioka dan penyemprotan 5% air panas menghasilkan
komposisi pelet pada ransum Broiler yang optimum. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Syamsu (2007), bahwa penambahan 5% tepung tapioka dalam
ransum pelet menghasilkan sifat fisik terbaik yaitu kerapatan tumpukan sebesar
549 kg/m3 dan kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 746 kg/m3.
Berdasarkan uraian latar belakang, pembuatan pakan ikan dapat
memanfaatkan limbah, yaitu bulu ayam, ampas tahu, dan ikan rucah yang masih
memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kualitas
pakan ikan. Bahan pakan yang berasal dari hasil fermentasi memiliki kandungan
protein dan daya cerna yang lebih tinggi. Selain itu, dengan penambahan tepung
tapioka sebagai bahan perekat dalam pembuatan pakan dapat mempermudah
pencetakan, penampakkan pelet menjadi kompak, tekstur dan kekerasannya baik.
Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Perekat
Tepung Tapioka pada Pembuatan Pakan (Bulu ayam, Ampas tahu, dan Ikan
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang,dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian yaitu apakah penggunaan perekat tepung tapioka dalam pembuatan
pakan kombinasi dari fermentasi bulu ayam, fermentasi ampas tahu dan tepung
ikan rucah berpengaruh terhadap kualitas pakan ikan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji penggunaan bahan perekat tepung
tapioka dalam pembuatan pakan kombinasi dari fermentasi bulu ayam dan ampas
tahu serta ikan rucah terhadap kualitas pakan ikan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi aplikatif,
khususnya petani ikan mengenai penggunaan tepung tapioka yang digunakan
sebagai bahan perekat dalam pembuatan pakan ikan dari bahan baku limbah bulu
ayam dan ampas tahu yang telah difermentasi serta ikan rucah sebagai bahan baku
untuk tepung ikan yang memiliki nilai ekonomis dengan kandungan protein yang