• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

9 A. Definisi Usaha Kecil.

Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan. Adapun usaha kecil tersebut meliputi usaha kecil formal, usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kecil formal adalah usaha yang telah terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, antara lain industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun dan berkaitan dengan seni dan budaya.

Dalam UU nomor 9 tahun 1995 juga ditetapkan beberapa kriteria usaha kecil, antara lain :

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak 1 (satu) milyar rupiah. 3. Memiliki warga negara Indonesia.

(2)

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar.

5. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usaha pedagang kaki lima adalah bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal atau dikenal dengan istilah PKL.

B. Pengertian Sektor Informal.

Sektor informal diperkenalkan pertama kali oleh organisasi buruh internasional (ILO) pada tahun 1973, dalam laporan resmi mengenai misi tenaga kerja di kenya. Sektor ini disebut sektor informal sebab pada kenyataannya berbeda dari karakteristik sektor formal.

Menurut Kuncoro (dalam Priyandika, 2015) ada beberapa pendapat yang mencoba untuk mendefinisikan tentang sektor informal. Berikut ini beberapa pengertian tentang sektor informal.

1. Sektor Informal, merupakan unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi secara resmi dari pemerintah.

2. Sektor informal terdiri dari unit usaha berskala kecil (modal kecil, tenaga rumah tangga, dan teknologi sederhana) yang memproduksi serta mendistribusi barang dan jasa dengan tujuan pokok untuk menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya masing-masing dan dalam

(3)

usahanya itu sangat dibatasi oleh kapita, baik fisik, maupun manusia dan keterampilan.

Dari berbagai pendapat tentang sektor informal, maka dapat disimpulkan bahwa sektor informal adalah suatu unit kegiatan usaha berskala kecil dengan menggunakan teknologi sederhana dengan dibantu oleh anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap yang mempunyai pendidikan yang rendah. Mereka bekerja dengan jam kerja yang tidak teratur, dengan pendapatan tidak tetap dan rata-rata dari mereka adalah para imigran atau urbanisator.

Menurut Samosir (2015) ciri‐ciri sektor informal di Indonesia yaitu: 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul

tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia secara formal.

2. Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha.

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja.

4. Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini.

5. Unit usaha berganti-ganti darisubsektor ke subsektor lain. 6. Teknologi yang digunakan masih tradisional.

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil.

(4)

8. Dalam menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.

9. Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau memiliki pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri.

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak resmi.

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah.

C. Definisi Pedagang Kaki Lima.

Sumerta dkk ( dalam Petty dan Rita, 2011), Menyatakan pedagang kaki lima adalah orang yang dalam kegiatan usahanya menggunakan perlengkapan sederhana yang sifatnya sementara atau menetap yang memanfaatkan pinggir jalan, trotoar dan fasilitas umum untuk tempat berjualan. Sementara menurut Sethurahman (dalam dan Simatupang, 2008) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan, antara lain:

1. Pedagang kaki lima yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya.

(5)

2. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.

3. Pedagang kaki lima di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar.

D. Ciri-Ciri Pedagang Kaki Lima.

Menurut Wirosardjono (dalam Hariningsih dan Simatupang, 2008) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, adapun ciri-ciri pedagang kaki lima :

1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya.

2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan liar).

3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian.

4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu.

5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha yang lain.

(6)

6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.

8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan

sebagainya.

10.Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari sumber utamanya yaitu produsennya.

Menurut widjajanti (2009) bidang usaha pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Pedagang Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan makanan dan minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa pulang.

2. Pedagang Pakean, tektil dan kelontong. Pola pengelompokan komoditas ini cenderung berbaur aneka ragam dengan komoditas lain. Pola penyebarannya sama dengan pola penyebaran pada makanan dan minuman. 3. Pedagang Buah-buahan, jenis buah yang diperdagangkan berupa buah-buah segar. Komoditas perdagangkan cenderung berubah- ubah sesuai dengan musim buah. Pengelompokkan komoditas cenderung berbaur

(7)

dengan jenis komoditas lainnya. Pola sebarannya berlokasi pada pusat keramaian.

4. Pedagang Rokok/obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok juga berjualan makanan ringan, obat, permen. Jenis komoditas ini cenderung menetap. Lokasi sebarannya di pusat-pusat keramaian atau dekat dengan kegiatan-kegiatan sektor formal.

5. Pedagang Barang cetakan, jenis dagangan adalah majalah, koran, dan buku bacaan. Pola pengelompokkannya berbaur dengan jenis komoditas lainnya. Pola penyebarannya pada lokasi strategis di pusatpusat keramaian. Jenis komoditas yang diperdagangkan relatif tetap.

6. Pedagan Jasa perseorangan, terdiri dari tukang membuat kunci, reparasi jam, tukang gravier/stempel/cap, tukang pembuat pigura. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan. Pola pengelompokannya membaur dengan komoditas lainnya.

E. Pengertian Pendapatan.

Menurut Irawan dan Suparmoko (dalam Hariningsih dan Simatupang, 2008), pendapatan adalah pendapatan yang telah diperoleh dari suatu kegiatan jenis usaha yang menghasilkan suatu keuntungan. Definisi lain dari pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari hasil pekerjaan dan biasanya pendapatan seseorang dihitung setiap tahun atau setiap bulan. Dengan demikian pendapatan merupakan gambaran terhadap posisi ekonomi keluarga dalam masyarakat.

(8)

Tujuan pokok dilakukannya proses usaha perdagangan adalah untuk memperoleh pendapatan, dimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup usaha perdagangannya. Pendapatan terdiri dari upah, penerimaan tenaga kerja, pendapatan dari kekayaan, serta pembayaran atau penerimaan tunjangan sosial. Pendapatan dapat menjadi tolak ukur kondisi perekonomian seseorang atau rumah tangga, dimana pendapatan berupa uang untuk bertahan hidup selama jangka waktu tertentu harus direncanakan pengeluaran pada saat di konsumsi agar menghasilkan tabungan seseorang atau rumah tangga.

Pendapatan dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan seseorang atau perusahaan dalam memanfaatkan faktor-faktor produksi untuk mendapatkan hasil berupa laba atau keuntungan. Seluruh kegiatan seseorang atau perusahaan yang menghasilkan pendapatan menimbulkan dua akibat yaitu pengaruh positif (laba atau keuntungan) dan pengaruh negatif (beban dan kerugian). Selisih keduanya akan menghasilkan laba atau rugi pada kegiatan seseorang atau perusahaan dalam proses memperoleh pendapatan. Besaran pendapatan PKL dapat dilihat melalui penerimaan total (total revenue) yang diperoleh PKL. Penerimaan total (Total Revenue) merupakan penerimaan total produsen dari setiap penjualan yang dihasilkannya. Penerimaan ini dapat dihitung dengan cara mengalikan jumlah seluruh barang yang terjual dengan harga jual barang per unit. Menurut Fernando (2016) sebagai berikut:

TR = Px.Q di mana

(9)

TR = Penerimaan Total P = Harga Barang Per Unit Q = Jumlah Barang yang Terjual

Dari hasil penjualan barang dagangannya dapat diketahui besaran pendapatan PKL sebesar TR. Pengukuran besar kecilnya pendapatan PKL sesuai persamaan diatas berdasarkan jumlah barang yang terjual nantinya.

F. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Pedagang Kaki Lima.

Pada bagian ini menjelaskan tentang pengaruh variabel independen modal awal, jumlah karyawan, tingkat pendidikan, lama usaha dan lama jam kerja terhadap pendapatan pedagang kaki lima adalah sebagai berikut :

1. Modal awal.

Modal awal merupakan salah satu elemen yang penting yang harus mendapat perhatian oleh pihak manajemen perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Sutrisno (dalam Dewi, Setyawina dan Indrajaya, 2012) menyatakan bahwa Modal awal adalah dana yang diperlukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan sehari-hari, seperti pembelian bahan baku, pembayaran upah buruh, membayar hutang dan pembayaran lainnya.

Menurut Kasmrin (2007), bahwa Modal awal merupakan faktor penting dalam kegiatan usaha. Semakin besar modal awal, maka semakin luas kesempatan untuk mengembangkan usaha. Modal awal terdiri dari

(10)

modal sendiri dan modal bukan milik sendiri yang biasanya berupa pinjaman. Modal awal tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan usahanya sehari-hari, seperti pembelian barang dagangan, pembayaran tenaga kerja dan pesediaan barang dagangannya. Beberapa penelitian terdahulu terhadap sektor informal menunjukkan terdapat keterkaitan langsung antara modal awal dengan tingkat pendapatan.

2. Jumlah karyawan.

Jumlah karyawan adalah banyaknya orang yang melakukan bekerja di warung tersebut. Jumlah karyawan merupakan faktor yang menunjang kelangsungan hidup perusahaan, karena produktivitas usaha sangat ditentukan oleh jumlah karyawan yang ada (Imron dan Widodo 2008), sedangkan menurut Soetomo (dalam Nurani, 2010) jumlah karyawan adalah seseorang yang mampu melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja untuk menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Menurut Imoron dan Widodo (2008), bahwa jumlah karyawan merupakan faktor yang penting dalam kegiatan produksi dan melayani pembeli, semakin banyak jumlah karyawan maka akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada pembeli sehinga pembeli akan merasa puas dengan pelayanan yang diberikan dan pelanggan akan semakin banyak sehinga akan meningkatkan pendapatan.

(11)

3. Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan yaitu jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah dijalani oleh responden (tidak termasuk kursus-kursus). Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang diduga akan mempengaruhi pendapatan yang diterimanya dalam bekerja, pendidikan memberikan pengetahuan bukan hanya dalam pelaksanaan kerja, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri dalam memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada disekitar demi kelancaran pekerjaan (Artianto, 2010).

Menurut Fernando (2016), bahwa tingkat pendidikan merupakan hal terpenting dalam hidup seseorang, dengan pendidikan seseorang yang berusia produktif dapat berkompetisi dalam pasar kerja. Semakin tinggi pendidikan semakin banyak pengetahuan, pemahaman serta wawasan yang luas sehinga menambah pendapatan pedagang.

4. Lama usaha.

Menurut pendapat Woodworth dan Marquis (dalam Nurani, 2010), dalam hal lama usaha ternyata tidak hanya menyangkutjumlah masa kerja saja tapi juga perlu diperhitungkan jenis pekerjaan yang pernah dihadapinya. Sejalan dengan bertambahnya pengalaman kerja maka akan bertambah pula pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, karena pengusaaan situasi dan kondisi dalam menghadapi calon pelanggan yang bervariasi semakin baik.

Menurut Patty dan Rita (2010), menyatakan bahwa lama usaha adalah jangka waktu pengusaha dalam menjalankan usahanya atau masa kerja

(12)

seseorang dalam menekuni suatu bidang pekerjaan. Sedangkan menurut pendapat Priyandika (2015), lama usaha adalah lamanya seorang pelaku usaha atau bisnis menekuni bidang usahanya. lama usaha sebagai lamanya seorang pelaku bisnis menekuni bidang usahanya. Sehingga definisi lama usaha dalam penelitian ini adalah jangka waktu atau lamanya waktu seorang PKL dalam menjalankan usahanya sejak mulai dijalankan usahanya .

Menurut Priyandika (2015), bahwa lamanya suatu usaha dapat menimbulkan pengalaman berusaha, dimana pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan seseorang dalam bertingkah laku. Lama usaha akan mempengaruhi produktivitasnya (kemampuan profesionalnya atau keahliannya), sehingga akan menambah efisiensi dan mampu menekan biaya produksi lebih kecil dari pada hasil penjualan. Semakin lama menekuni bidang usaha perdagangan maka akan meningkatkan pengetahuan tentang selera ataupun perilaku konsumen dan pendapatan. 5. Lama jam kerja.

Secara umum lama jam kerja menunjukkan rata-rata jumlah jam kerja dalam satu hari dan diukur dalam jam. Menurut Nasir (dalam Patty dan Rita, 2010), menyatakan bahwa lama jam kerja adalah jumlah atau lamanya waktu yang dipergunakan oleh pedagang kaki lima untuk berdagang atau membuka usaha mereka untuk melayani konsumen setiap harinya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan jam kerja dalam penelitian ini adalah

(13)

waktu yang digunakan oleh pedagang kaki lima untuk melakukan aktivitas operasional usahanya dalam satu hari kerja.

Menurut McGee dan Yeung (dalam Witjajanti, 2009), menyatakan bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Dimana perilaku kegiatan cenderung sejalan, walaupun pada saat tertentu kaitan aktivitas keduanya lemah atau tidak ada hubungan langsung antara keduanya.

Menurut Fernando (2016), bahwa lama jam kerja merupakan lamanya waktu untuk menjalankan suatu usaha. Semakin lama pedagang kaki lima menjajakan barang dagangannya maka akan semakin banyak kesempatan untuk menjual barang dagangannya dan secara tidak langsung akan membuka peluang untuk menambah pendapatan.

G. Peran Pedagang Kaki Lima Terhadap Pembangunan Ekonomi.

Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan hal-hal positif, tetapi juga hal-hal negatif. Sebagian para urbanit telah tertampung di sektor formal, namun sebagian urbanit lainnya yang tanpa bekal ketrampilan cukup tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para urbanit yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari

(14)

pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang masalah sektor informal (Hariningsih dan simatupang, 2008).

Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Berkebalikan dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah.

Salah satu sektor informal yang banyak diminati para pengangguran yaitu pedagang kaki lima. Kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya. Mereka yang masuk dalam kategori pedagang kaki lima ini mayoritas berada dalam usia

(15)

kerja utama. Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Meskipun dalam era terbatasnya kesempatan kerja saat ini, orang dengan pendidikan tinggipun tidak menutup kemungkinan juga masuk dalam sektor informal.

Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat. Usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Pedagang kaki lima pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana ilegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan, sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978).

H. Penelitian Terdahulu

Fatmawati, Yolamalinda dan Natassia (2014) dengan judul “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima di pasar Raya Padang”. variabel independennya adalah modal, jam kerja dan lama

(16)

usaha. variabel dependenya adalah pendapatan pedagang kaki lima. Metode analisis data mengunakan metode regresi linier berganda. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa modal, jam kerja dan lama usaha berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di pasar Raya Padang.

Firdaus dan Ariyanti (2013) dengan judul “Pengaruh modal awal, lama usaha dan jam kerja terhadap pendapatan pedagang kios di pasar Bintoro Demak”. variabel independennya modal awal, lama usaha dan jam kerja. variabel dependennya adalah pendapatan pedagang kios di pasar Bintoro Demak. Metode analisis data mengunakan (Ordinary Least Square) OLS. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa modal awal, lama usaha dan jam kerja berpengaruh terhadap pedagang kaki lima di pasar Bintiro Demak.

Imron dan Wibowo (2008) dengan judul ”Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha (studi pada warung nasi kucing di kabupaten Jepara)”. variabel independennya modal, jumlah tenaga kerja, tingkat pendidikan, pengalaman dan lama jam kerja.variabel dependennya tingkat keberhasilan usaha. Metode analisis data mengunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel modal dan variabel jam kerja berpengaruh terhadap pedagang kaki lima. Serta jumlah tenaga kerja, tingkat pendidikan dan pengalaman tidak berpengaruh signifikan terhadap pedagang kaki lima di kabupaten Jepara.

Dewi Setyawina dan Indirajaya (2012) dengan judul “Analisis pendapatan pedagang canang di kabupaten Badung”. variabel independennya jam kerja, jumlah tenaga kerja, modal usaha dan lokasi usaha. Variabel

(17)

dependennya pendapatan pedagang canang di kabupaten bandung. Metode analisis data mengunakan uji asumsi klasik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja modal usaha dan lokasi berpengaruh terhadap pendapatan pedagang kaki lima di Canang Bandung.

Asakdiyah, Sulistiyani dan Ismanto (2015) dengan Judul “Analisis pendapatan usaha perdagangan informal (studi pada usaha pedagang angkringan di kota Yogyakarta)”. Variabel independennya modal, jam kerja dan jumlah tenaga kerja. variabel dependennya pendapatan angkringan. Metode analisis data mengunakan ragresi linier berganda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel modal, jam kerja dan jumlah tenaga kerja berpengaruh terhadap pendapatan usaha pedagang informal di Yogyakarta.

I. Hipotesis Penelitian.

Hipotesis dalam penelitian ini merupakan dugaan sementara terhadap hasil penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga variabel modal awal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima.

2. Diduga variabel jumlah karyawan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima.

3. Diduga variabel tingkat pendididkan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima.

4. Diduga variabel lama usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima.

(18)

5. Diduga variabel lama jam kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima.

Referensi

Dokumen terkait

Opera Ular Putih memberikan tantangan yang cukup besar bagi sutradara untuk dapat mempersembahkan karya pertujukan teater yang kaya akan pesan moral secara tersirat dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan rekomendasi peningkatan kualitas layanan penjualan online pada website Esgotado yang sesuai dengan True Customer Needs (TCN)..

Mitra Usaha yang telah memperoleh tanda daftar dari Perwakilan, dapat melakukan kerja sama penempatan TKI dengan PPTKIS untuk menempatkan TKI pada Pengguna

Fungsi utama hati dalam metabolisme lemak adalah untuk memecah asam lemak menjadi senyawa kecil yang dapat dipakai untuk energi, untuk mensintesis trigliserida,

Cikal bakal Sistem Jaminan Sosial (SJS) atau di Jerman dikenal sebagai Kesejahteraan Sosial (social welfare) dan jaminan sosial (social security) yang dimulai

embatan dibuat dengan mengurangi gigi pada dua sisi gigi yang hilang atau satu sisi gigi yang hilang dengan pola preparasi ditentukan oleh lokasi gigi dan bahan jembatan yang

Dokumen Rencana Strategis (Renstra) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Mojokerto tahun 2019-2023, disusun untuk menjabarkan visi, misi, tujuan strategi

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan Perencanaan dan Perancangan sebuah Kawasan Glamor Camping di Baru Bolang – Bogor yang memenuhi segala kebutuhan