• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Total Mikroorganisme

Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu yang diperiksa adalah 2 087 731.0 + 3 666 559.0 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 1 928 889 + 14 559 cfu/ml pada sampel susu sore. Hal tersebut (100%) melebihi batas jumlah mikroorganisme yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yaitu sebesar 1 000 000 cfu/ml. Sampel susu pagi memiliki kandungan mikroorganisme lebih besar dari sampel susu sore. Sampel susu dari peternak 3 menunjukkan jumlah rata-rata mikroorganisme tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah rataan hasil pengujian jumlah total mikroorganisme dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju

Peternakan

Pemerahan Pagi Pemerahan Sore

Rataan + simpangan baku (cfu/ml)

Jumlah sampel yang

melebihi BMCM

Rataan + simpangan baku (cfu/gml) Jumlah sampel yang melebihi BMCM 1 (n=2,2) 74 500.0 + 21 213.2 0 (0.%) 545 000.0 + 247 487 0 (0%) 2 (n=4,2) 850 750.0 + 777 072.8 2 (50.0%) 3 115 000.0 + 139 300.3 2 (100%) 3 (n=3,5) 6 973 333.3 + 4 712 126.2 3 (100%) 2 008 000 .0 + 1 438 912.7 4 (80.0%) 4 (n=4) 215 000.0 + 74 864.3 0 (0%) - 0 5 (n=12) 2 295 583.3 + 4 154 583.0 5 (41.7%) - 0 6 (n=1) 61 000 0 (0%) - 0 Rata-rata (n=35) 2 087 731.0 + 3 666 559.0 9 (34.6%) 1 928 889 + 14 559 6 (66.7%)

BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

BMCM pada susu segar = 106 cfu/ml

Rataan nilai pengujian jumlah mikroorganisme yang tinggi pada semua sampel susu yang diperiksa menunjukkan gambaran populasi mikroorganisme yang tumbuh sangat tinggi. Jumlah mikroorganisme yang diperoleh hanya

(2)

merupakan estimasi dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih banyak dari pada mikroorganisme sesunguhnya (Lukman 2009). Secara normal susu yang baru dikeluarkan dari ambing mengandung mikroorganisme dalam jumlah yang sedikit yaitu berkisar ratusan sampai ribuan cfu/ml. Namun jumlah mikroorganisme akan bertambah dengan adanya kontaminasi yang berasal dari tanah, air, udara, debu, peralatan pemerahan, dan pekerja (Magadan et al. 2010).

Rataan jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada susu sore. Hal tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan susu di pabrik keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore dan susu tidak disimpan pada suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme tumbuh secara cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua sel dalam waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).

Menurut Hayes dan Boor (2001), sumber kontaminasi mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lingkungan yang meliputi air, tanah, tanaman, dan kandang, tubuh sapi, dan juga peralatan pemerahan. Sumber kontaminasi dari hewan dapat berasal dari puting yang tidak dibersihkan sebelum pemerahan, yaitu meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu mencapai 300-400 koloni/ml (Sanjaya et al. 2007). Kontaminasi tersebut dapat berupa sedimen susu yang merupakan debris atau reruntuhan kotoran yang bisa melewati saringan susu dan ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan jumlah total mikroorganisme yang tinggi. Sumber kontaminasi dari hewan juga dapat berasal dari ambing yang sakit, kondisi tersebut dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu mencapai 25 000 koloni/ml (Jørgensen et al. 2005). Selain itu, tingginya jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi juga dapat disebabkan adanya kontaminasi udara dalam kandang. Menurut Sanjaya et al. (2007), kontaminasi udara di dalam kandang dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme dalam susu sekitar 100-1 500 koloni/ml.

Sumber kontaminasi mikroorganisme pada susu juga dapat berasal dari peralatan pemerahaan yang kontak dengan susu seperti ember, milk can, tabung penghisap dari mesin pemerahan, milk pipelines, dan bulk tanks. Peralatan pemerahan yang tidak dibersihkan dengan benar dapat meninggalkan residu

(3)

sehingga menjadi media pertumbuhan mikroorganisme mencapai > 106 koloni/ml (Hayes dan Boor 2001). Menurut Chambers (2002), kontaminasi mikroorganisme lainnya dapat berasal dari air yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan kontainer pengangkut susu. Sumber kontaminasi dapat berasal dari air sumur, danau, dan sungai yang digunakan tanpa mendapat perlakuan terlebih dahulu. Mikroorganisme yang dapat mengontaminasi susu karena penggunaan air yang tercemar yaitu koliform, Clostridium, dan Streptococcus. Anderson et al. (2009) menambahkan bahwa pakan juga dapat menjadi sumber kontaminasi potensial karena beberapa patogen dapat bertahan beberapa bulan pada pakan yang kering seperti Salmonella.

Susu segar dapat mengandung mikroorganisme seperti Salmonella sp., Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, Lactobacillus sp., Streptococcus sp., Stapylococcus sp., dan Micrococcus spp. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit dan menurunkan kualitas susu yang berakibat perubahan dan penyingkiran susu karena terjadi pengasaman dan penggumpalan susu (Chye et al. 2004). Mikroorganisme yang mengontaminasi susu dikelompokkan menjadi dua, yaitu mikroorganisme patogen dan mikroorganisme pembusuk. Mikroorganisme patogen meliputi Stapylococcus aureus, Escherichia coli, dan,

Salmonella sp., sedangkan mikroorganisme pembusuk antara lain adalah

Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. (Oliver et al. 2005).

Mikroorganisme patogen dan apatogen dapat berkembang dalam susu karena susu memiliki kandungan zat gizi yang tinggi dan lengkap. Mikroorganisme patogen dapat menjadi sumber zoonosis dan menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat (foodborne illnes) bila mikroorganisme tersebut mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu. Mikroorganisme apatogen bila mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu akan menjadi cepat rusak, bau tengik, dan kualitasnya menurun (Sanjaya et al. 2007).

Susu segar dapat menjadi sumber terjadinya foodborne illness yang terkait dengan konsumsi susu segar atau tidak dipasteurisasi, susu yang tidak dipanaskan dengan baik atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan. Tahun 1998-2005 di Amerika Serikat terjadi 45 wabah foodborne illness dan 1007 orang sakit yang disebabkan mengonsumsi susu yang tidak dipasteurisasi atau keju yang

(4)

dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi. Susu yang tidak dipasteurisasi dan produk berbahan dasar susu yang dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat dan kematian, seperti Shiga toksin yang dihasilkan oleh Escherichia coli (Omiccioli et al. 2009).

Jumlah Koliform pada Susu

Jumlah rata-rata koliform pada sampel susu yang diperiksa adalah 213 114.2 + 419 045.3 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 144 077.7 + 136 168.7 cfu/ml pada sampel susu sore. Jumlah tersebut melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Koliform pada susu segar yaitu 20 cfu/ml. Sampel susu pagi memiliki jumlah koliform lebih besar dari sampel susu sore. Sampel susu dari peternak 5 menunjukkan jumlah rata-rata koliform tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju

Peternakan

Pemerahan Pagi Pemerahan Sore

Rataan + simpangan baku (cfu/ml) Jumlah sampel yang melebihi BMCM Rataan + simpangan baku (cfu/gml) Jumlah sampel yang melebihi BMCM 1 (n=2,2) 14 300.0 + 9 475.2 2 (100%) 87 000.0 + 25 455.8 2 (100%) 2 (n=4,2) 113 574.0 + 217 623.1 4 (100%) 148 000 0 + 16 970.0 2 (100%) 3 (n=3,5) 71 800.0 + 94 382.8 3 (100%) 165 340.0 + 186 140.1 5 (100%) 4 (n=4) 3 450.0 + 1 347.8 4 (100%) - 0 5 (n=12) 321 139.2 + 4 177 723.8 12 (100%) - 0 6 (n=1) 2 200.0 1 (100%) - 0 Rata-rata (n=35) 213 114.2 + 419 045.3 26 (100%) 144 077.7 + 136 168.7 9 (100%)

BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

(5)

Tingginya rata-rata kontaminasi koliform pada semua sampel susu dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan dalam peternakan dan kurangnya kebersihan di dalam kandang. Air yang terkontaminasi koliform dapat terjadi karena air terkontaminasi dengan feses hewan atau manusia. Menurut Manning (2010), air yang terkontaminasi koliform merupakan sumber kontaminasi yang paling penting di sebuah peternakan karena bakteri ini dapat bertahan hidup dalam sedimen air selama enam bulan, bahkan dapat bertahan hidup sepanjang musim dingin. Air yang telah terkontaminasi dapat bercampur dengan air tanah dan menjadi sumber penularan ke tanaman dan rumput yang dimakan oleh ternak melalui sistem irigasi serta mengontaminasi sumber air yang berada di sekitar peternakan.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya jumlah koliform pada semua sampel susu (100%) yaitu jarak peternakan yang dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga meningkatkan penyebaran dan kontaminasi pada air yang berasal dari pembuangan dan penampungan kotoran manusia yang terlalu dekat dengan sumur, danau atau sungai sebagai sumber air (Winarno 1993). Tingginya jumlah koliform pada enam peternakan tersebut menunjukkan tingkat kontaminasi fekal yang tinggi pada susu. Hal ini disebabkan karena bakteri ini merupakan mikroflora normal yang hidup pada saluran pencernaan mahluk hidup berdarah panas dan dapat berada di lingkungan melalui feses (Ayu et al. 2005). Kesalahan dalam pemerahan dan penyimpanan susu yang tidak menggunakan rantai dingin.juga dapat meningkatkan jumlah bakteri di tempat penampungan susu atau kendaraan penampung susu (Altalhi dan Hassan 2009).

Escherichia coli sebagai salah satu anggota dari koliform akan tumbuh aktif dalam suhu sekitar 37 °C. Organisme ini dapat menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu melakukan fermentasi laktosa pada suhu sekitar 35 °C. Escherichia coli dapat mengakibatkan penurunan kualitas susu dan produk berbahan dasar susu sebagai sumber protein karena mampu mendegradasi protein (Donnenberg 2002). Susu atau produk olahan susu yang terkontaminasi oleh Escherichia coli bila dikonsumsi akan menyebabkan gejala gastritis seperti muntah, diare, dan dapat disertai demam. Escherichia coli O15:H7 merupakan salah satu serotipe dari Escherichia coli yang menghasilkan Shiga toksin. Toksin

(6)

tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada lapisan usus, diare berdarah, dan sindrom hemolitik uremik yang ditandai dengan anemia hemolitik, serta gagal ginjal (Johnson 2002).

Escherichia coli juga dapat mengontaminasi sayur dan buah-buahan akibat penggunaan manur sebagai pupuk (Bhunia 2008). Menurut Armstrong (2008), saat dalam pencernaan bakteri ini akan melintasi perut dan bagian pencernaan yang pada akhirnya akan masuk pada bagian paling bawah dari saluran gastrointestinal terutama pada bagian hubungan antara ileum dan kolon.

Kontaminasi dan infeksi Escherichia coli juga dapat terjadi secara langsung dari manusia ke manusia melalui kontak dengan manusia yang telah terinfeksi. Sebuah penelitian di Bangladesh menemukan 11% dari kontak individu yang terinfeksi dapat menimbulkan infeksi kepada individu lain khususnya anak-anak. Sumber infeksi Escherichia coli dapat berasal dari feses. Menurut Manning (2010), 1 gram feses mengandung 10 juta bakteri. Escherichia coli dalam jumlah 10-100 sel saja dapat menimbulkan penyakit klinis sehingga praktik kebersihan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi faktor terjadinya penularan.

Escherichia coli dapat menimbulkan penyakit intestinal atau ekstraintestinal dari hasil ekspresi multiplikasi faktor virulensi (VFs), yaitu adhesion, toksin, siderophores, dan sistem ekskresi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam menurunkan imunitas, menimbulkan inflamasi, dan juga luka pada permukaan saluran pencernaan tetapi tidak berperan dalam proses replikasi (Johnson 2002). Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi sistemik (koliseptikemia) dan infeksi pada saluran pencernaan (kolibasilosis enterik). Bakteri ini menyerang secara sistemik melalui aliran darah, paru-paru, dan umbilikal. Tingkat keparahan penyakit akan sesuai dengan rendahnya tingkat gamaglobulin dalam darah. Infeksi pada saluran pencernaan terjadi melalui oral, kemudian berkolonisasi pada usus serta menghasilkan toksin yang dapat menimbulkan diare, gangguan absorbsi pada usus kecil, dan pada mukosa kolon (Atlas 2006). Selain Escherichia coli, anggota dari koliform yang menimbulkan gastritis yaitu Hafnia dan Edwardsiella (Sides 2006).

(7)

Anggota koliform yang lain yang dapat mencemari susu dan menimbulkan kerugian pada peternak yaitu seperti Serratia. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan warna merah atau merah jambu pada susu, Pseudomnas synxantum menyebabkan susu menjadi kuning dan juga bau yang tidak enak pada lapisan krim, dan Pseudomnas syncyanea dapat menimbulkan warna biru pada susu. Hal ini dapat mengakibatkan penyingkiran terhadap susu (Sanjaya et al. 2007). Selain pada susu, perubahan warna juga dapat terjadi pada produk olahan berbahan dasar susu, karena mikroorganisme tersebut membentuk pigmen yang merubah warna produk berbahan dasar susu seperti keju (Dwidjoseputro 1994).

Koliform dapat membuat susu berlendir, tengik, susu pecah, asam, dan menimbulkan bau (Winarno 1993). Hal tersebut membuat susu sebagai bahan keju tidak layak digunakan karena akan menghasilkan keju yang memiliki aroma dan rasa yang tidak baik serta menimbulkan rekahan atau lubang pada keju. Hal tersebut terjadi karena koliform dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas (Ayu et al. 2005).

Kadar koliform pada air yang digunakan untuk usaha peternakan maksimal 1 cfu/ml atau dapat dilakukan klorinasi dengan konsentrasi 50 ppm bila jumlah koliform melebihi batas tersebut (Effendi 2003). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, memenuhi syarat kesehatan, dapat diminum bila sudah dimasak, maksimal total koliform adalah 0 MPN/100 ml, dan fekal koliform maksimal 0 MPN/100 ml.

Jumlah Staphylococcus aureus pada Susu

Jumlah rata-rata Staphylococcus aureus pada sampel susu yang diperiksa adalah 3 009.2 + 10 240.7 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 1 960 + 743.1 cfu/ml pada sampel susu sore, yang berarti melebihi jumlah Batas Maksimum Cemaran (BMCM) yang ditetapkan SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Staphylococcus aureus pada susu segar yaitu 100 cfu/ml. Sampel susu pagi memiliki jumlah Staphylococcus aureus lebih besar daripada sampel susu sore. Sampel susu dari peternak 5 menunjukkan jumlah rata-rata Staphylococcus aureus tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata

(8)

mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju

Peternakan

Pemerahan Pagi Pemerahan Sore

Rataan + simpangan baku (cfu/ml) Jumlah sampel yang melebihi BMCM Rataan + simpangan baku (cfu/gml) Jumlah sampel yang melebihi BMCM 1 (n=2,2) 1950.0 + 636.4 2 (100%) 2275.0 + 601.0 2 (100%) 2 (n=4,2) 1237.5 + 944.0 4 (100%) 2175.0 + 997.0 2 (100%) 3 (n=3,5) 1920.0 + 1794.7 3 (100%) 1748.0 + 797.9 5 (100%) 4 (n=4) 387.0 + 229.2 4 (100%) - 0 5 (n=12) 5165 + 15081.8 12 (100%) - 0 6 (n=1) 100 0 (0%) - 0 Rata-rata (n=35) 3009.2 + 10240.7 25 (96.1%) 1960 + 743.1 9 (100%)

BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor SNI 01-3141-2011 tentang batas maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

BMCM Staphyloccus aureuspada susu segar = 102 cfu/ml

Kontaminasi Staphylococcus aureus yang tinggi pada sampel susu dapat disebabkan adanya kontaminasi yang berasal dari pekerja, sehingga bakteri ini bertambah jumlahnya dan menimbulkan kontaminasi pada susu. Rataan jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada susu sore. Hal tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan susu di pabrik keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore, dan susu tidak disimpan pada suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme tumbuh secara cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua sel dalam waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).

Tingginya kontaminasi Staphylococcus aureus pada semua sampel susu dapat disebabkan kurangnya higiene personal pekerja saat melakukan pemerahan, seperti pemerah tidak mencuci tangan sebelum melakukan pemerahan atau mencuci tangan tidak menggunakan sabun. Menurut Cretenet et al. (2011), keberadaan Staphylococcus aureus pada susu dan produk susu menunjukkan

(9)

praktik higiene personal yang tidak baik dari pekerja saat pemerahan, buruknya kebersihan lingkungan sekitar kandang, dan dikaitkan dengan penanganan yang tidak tepat oleh pekerja.

Sumber kontaminasi pada sampel susu dapat juga berasal dari intramamari karena Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang dapat menginfeksi intramamari. Menurut James et al. (2003), kontaminasi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus secara umum berasal dari ambing yang mengalami mastitis klinis atau mastitis subklinis. Susu yang berasal dari ternak yang mengalami mastitis akan mengandung Staphylococcus aureus dalam jumlah yang tinggi. Peningkatan jumlah sel somatik pada kasus mastitis dan Staphylococcus aureus pada susu akan mempengaruhi kualitas susu serta hasil produk berbahan dasar susu, seperti keju. Keju mengalami perubahan rasa dan bau. Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan aktivitas enzim proteolitik dan lipolitik yang dihasilkan oleh sel somatik dan Staphylococcus aureus (Arques et al. 2005). Protein dan lemak dalam susu merupakan komponen yang membentuk rasa dan bau susu, sehingga jika protein dan lemak dipecah oleh mikroorganisme akan mengakibatkan susu atau produk berbahan dasar susu seperti keju menjadi tawar dan bau tengik (Rahman et al. 1992).

Staphylococcus aureus secara normal hidup pada manusia dan hewan. Bakteri yang hidup secara anaerobik fakultatif ini 30-50% hidup pada saluran hidung, tenggorokan, kulit manusia serta merupakan sumber kontaminasi terbesar ke dalam susu, produk olahan susu, dan bahan pangan lainnya (James et al. 2003). Menurut Soriano et al. (2002), manusia merupakan salah satu pembawa utama bakteri Staphyloccous aureus. Bakteri ini dapat bertahan hidup di lingkungan yang hangat dan basah seperti membran hidung manusia. Oleh sebab itu, kontaminasi Staphylococcus aureus yang terjadi pada sampel susu peternakan sebagian besar berasal dari pekerja, baik dari saluran pernapasan, kulit, dan baju pekerja. Kontaminasi juga dapat berasal dari udara, air, dan kotoran di lingkungan peternakan.

Keracunan pangan atau produk olahan yang disebabkan Staphylococcus aureus menimbulkan gejala yang cepat seperti muntah, diare, dan sakit perut namun jarang menimbulkan kematian. Keracunan ini disebabkan oleh

(10)

enterotoksin yang diproduksi Staphylococcus aureus (Ses) yang tahan terhadap pemanasan 100 °C selama 30 menit. Toksin tersebut akan menimbulkan gejala 2-6 jam setelah mengonsumsi susu atau produk susu yang terkontaminasi (Kousta et al. 2010). Enterotoksin merupakan eksotoksin berupa protein rantai tunggal yang bersifat antigenik (Cretenet et al. 2011). Enterotoksin digolongkan sebagai neurotoksin berbahaya dan dapat menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis, sehingga dapat menimbulkan respon muntah yang diawali dengan rasa mual (Adams dan Moss 2008). Menurut Malheiros et al. (2010), jumlah Staphylococcus aureus untuk menyebabkan keracunan pada manusia harus sudah mencapai minimum 1 000 cfu/g atau ml. Menurut Forsythe dan Hayes (1998), untuk menimbulkan gejala klinis pada orang dewasa Staphylococcus aureus harus menghasilkan 1 µg enterotoksin pada orang dewasa dan anak-anak 0.2 µg enterotoksin.

Staphylococcus aureus juga memproduksi eksoprotein lainnya seperti toxic shock syndrome toxin 1, the exfoliative toxin, dan leukocisin, namun hanya enterotoksin yang dapat menimbulkan penyakit (Garcia dan Heredia 2009). Menurut Lancette dan Bennet (2001), enterotoksin pada bahan pangan yang terkontaminasi dapat teridentifikasi apabila jumlah Staphylococcus aureus >106 sel/g. Hal ini menyebabkan identifikasi enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus dalam susu sulit ditemukan karena kadar enteroksin pada bahan pangan yang terkontaminasi jumlahya sangat kecil.

Keberadaan sejumlah besar Staphylococcus aureus dalam susu dalam jumlah yang tinggi bukan berarti bahwa enteroktosin juga dihasilkan dalam jumlah yang tinggi pula, karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin seperti jenis makanan, nilai pH, suhu, keberadaan oksigen, dan keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enteroktosin (Forsythe dan Hayes 1998). Normanno et al. (2005) menambahkan bahwa hanya sekitar 30% dari galur Staphylococcus aureus yang dapat menghasilkan enterotoksin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh enterotoksin Staphylococcus aureus adalah: (1) galur Staphylococcus aureus penghasil enterotoksin berada pada makanan selama produksi, pengolahan, atau

(11)

penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan Staphylococcus aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar Staphylococcus aureus atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh Staphyloccous aureus, kondisi makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan Staphylococcus aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).

Pencegahan dan Pengendalian Staphyloccous aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat mengontaminasi susu, produk berbahan dasar susu, dan menimbulkan keracunan pangan. Perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi dan menghilangkan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh Staphyloccous aureus, dalam proses pemerahan dan juga dalam proses pengolahan susu segar menjadi produk olahan.

Pencegahan terhadap Staphylococcus aureus ditujukan pada kebersihan kandang termasuk peralatan kandang, kebersihan sapi, dan pengelolaan peternakan secara rutin. Kandang yang selalu bersih akan mengurangi kemungkinan kontaminasi pada susu, karena itu kepedulian peternak dan pekerja kandang mengenai kebersihan harus ditingkatkan (Saleh 2004). Pencegahan juga dilakukan dengan menjaga kebersihan tubuh sapi karena Staphylococcus aureus akan selalu dapat diisolasi dari kulit sapi yang secara klinis tampak normal. Selain itu, di kulit juga terdapat mikroorganisme patogen lain yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Menjaga kebersihan sapi dapat dilakukan dengan memandikan sapi setiap hari untuk menghilangkan mikroorganisme secara langsung.

(12)

Kontaminasi dapat dicegah dengan menjaga kebersihan ambing yaitu dengan membersihkan ambing dengan kain lap bersih dan penggunaan sisi berbeda dari kain lap untuk tiap puting (Handayani et al. 2010). Pencegahan kontaminasi Staphylococcus aureus juga dapat dilakukan menjaga kebersihan pada peralatan kandang yang digunakan, peralatan harus mudah dibersihkan, dan semua bahan yang kontak dengan susu tidak bersifat toksik serta tidak menimbulkan perubahan bau.

Higiene personal merupakan salah satu cara yang penting dalam pencegahan terhadap kontaminasi Staphylococcus aureus yaitu pemerah mencuci tangan dengan sabun dan air yang bersih sebelum pemerahan. Mencuci tangan dengan cara yang benar dapat mengurangi dan menghilangkan penyebaran mikroorganisme melalui tangan. Oleh karena itu, metode mencuci tangan yang benar sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Higiene personal juga dapat dilakukan dengan tidak memperkenankan pekerja yang sakit kontak dengan sapi, susu, peralatan, dan fasilitas kandang karena manusia merupakan sumber penyakit yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada susu melalui napas, rambut, dan keringat (Marriott 1999).

Cara lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan terhadap kontaminasi

Staphylococcus aureus yaitu dengan pemberian pakan dilakukan setelah

pemerahan, karena Staphylococcus aureus dapat berasal dari tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak (Jørgensen et al. 2005).

Pengendalian terhadap Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan melakukan pemeliharan kebersihan selama perjalanan dan saat pendistribusian susu, pemanasan susu yang optimal sebelum dikonsumsi, dan penerapan rantai dingin pada susu (Shekhar et al. 2010). Gustiani (2009) menambahkan bahwa pengendalian Staphylococcus aureus dapat dilakukan melalui penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui penerapan good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacturing practices (GMP). Pengendalian juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan kepedulian masyarakat tentang akibat cemaran Staphylococcus aureus sehingga dapat mengurangi dan menghilangkan dampak yang ditimbulkan oleh Staphylococcus aureus pada susu.

Gambar

Tabel 3  Jumlah  rataan  hasil  pengujian  jumlah  total  mikroorganisme  dan  persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik  keju
Tabel 4  Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel  susu pemasok untuk pabrik keju
Tabel 5  Jumlah  rataan  Staphylococcus  aureus  dan  persentase  cemaran  mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengalaman 7 orang ibu bersalin tersebut, 5 (62,5%) orang mengatakan bahwa selama kontraksi ibu memperoleh tindakan pijat di punggung dan pinggang yang

The author opens the theme by explaining why gender issues still matter; the fact that, in spite of their favorable position compared to women in Middle Eastern countries, “women in

Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kendaraan (arus lalu lintas) yang melewati ruas jalan Sam Ratulangi Manado. Untuk sampel diambil arus lalu lintas yang

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Shoommuangpak (2011) yang menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa implementasi akuntansi manajemen berpengaruh positif signifikan

Apabila dilihat dari hasil khi- kuadratnya, keenam faktor risiko tersebut juga memang menunjukkan hasil bahwa belum ada cukup bukti yang signifikan untuk menunjuk- kan

Pelajaran tentang ija>rah terkait customer dan driver pada surat al- Baqarah ayat 223 yaitu dalam hal ini samahalnya dengan transaksi antra customer dan

Jika energi kinetik elektron itu sama dengan atau lebih besar dari pada energi eksitasi atom-atom di dalam anoda maka pada saat elektron-elektron tersebut menumbuk anoda,

Pembahasan dalam hal ini dibatasi pada masalah perencanaan desain fisik dan fungsi kawasan yang berkaitan dengan disiplin ilmu arsitektur, dan juga disiplin ilmu lain