• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Lokasi Penelitian

Daerah penelitian secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis Kabupaten Bogor dan Kota Depok terletak pada 6°19' - 6°47' lintang selatan dan 106°21' - 107°13' bujur timur, dengan luas wilayah 334.378 hektar (Setda Kabupaten Bogor, 2000).

Lokasi penelitian (Gambar 5) terletak pada kaki lereng G. Salak dan G. Pangrango yang berbahan induk volkanik (pedon TA1 - TA6) meluas ke utara menuju Bogor yang merupakan daerah kipas aluvial volkanik hingga ke Jakarta (pedon TA7, TA8, TA12, TA13 dan TA14). Daerah penelitian terletak pada ketinggian antara 650 – 90 m dpl., dan tercakup dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000 lembar Cisarua, Ciawi, Bogor, Leuwiliang, dan Cibinong (Bakosurtanal, 2000).

Topografi dan Bentuk Wilayah

Bentuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok bervariasi dari datar sampai berbukit dan bergunung. Ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar dari 15 m di bagian utara sampai 2500 m di bagian selatan pada dataran tinggi G. Salak dan G. Pangrango (Setda Kabupaten Bogor, 2000).

Fisiografi Kabupaten Bogor dan Kota Depok didominasi oleh bahan volkan. Daerah penelitian yang terletak di daerah Cijeruk dan Ciawi (pedon TA2 – TA5) pada ketinggian 400 sampai 650 m dpl. merupakan lereng bawah volkan dengan topografi bergelombang (lereng 8 – 15 %); kecuali pedon TA6 dengan topografi berbukit (lereng 15 – 30 %), dan pedon TA1 dengan topografi berombak (lereng 3 – 8 %). Di daerah Kemang, Bojonggede, Depok (pedon TA7, TA8, TA9, TA12, dan TA13) pada ketinggian 90 – 155 m dpl. merupakan dataran volkan dengan topografi datar (lereng 0 – 3 %); kecuali pedon TA14 dengan topografi berombak (lereng 3 – 8 %). Topografi wilayah tempat masing-masing pedon berada disajikan pada Gambar 6, 7, dan 8.

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Geologi dan Batuan Induk

Wilayah Kabupaten Bogor mempunyai struktur geologi berupa struktur lipatan, sesar, volkanik, dan sedimentasi (van Bemmelen, 1949). Struktur lipatan terdapat pada batuan sedimen berumur Miosen tengah. Batuan ini terdapat pada formasi Jatiluhur. Struktur sesar terdapat dalam bentuk sesar mendatar arah timur laut dan barat daya memotong sumbu lipatan, membujur melalui daerah G. Hambalang, Pasir Menteng, Pasir Gombong, dan Pasir Kutawesi. Struktur volkanik terdapat pada batuan berumur Pleistosen. Struktur volkanik dapat dijumpai pada deretan G. Salak, G. Gede, dan G. Pangrango. Struktur sedimentasi berkaitan dengan proses sedimentasi pada cekungan Bogor yang dicirikan oleh adanya endapan marin.

Menurut Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 (Effendi et al., 1998) di daerah penelitian terdapat tiga macam batuan induk, yaitu: (1) daerah sekitar Cijeruk (pedon TA5, TA4 dan TA3) batuan induknya Qvsb (Quarternary breksi

Salak volcanic); (2) daerah sekitar Ciawi (pedon TA6, TA2, dan TA1) dengan

batuan induk Qvpo (Quarternary older volcanic Pangrango); (3) daerah sekitar Kemang (pedon TA14, TA8, dan TA7) berupa endapan permukaan Qav

(Quarternary aluvium volcan). Menurut Peta Geologi Teknik Jakarta – Bogor

skala 1:50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1970) daerah Depok dan Bojonggede (pedon TA13, TA12, dan TA9) berbatuan induk volkan muda (V).

Secara geologi keempat lokasi penelitian tersebut disusun oleh dua batuan utama, yaitu endapan permukaan dan batuan gunung api G. Salak dan G. Pangrango.

Endapan Permukaan

Endapan permukaan merupakan endapan resen berumur Holosen (kuarter muda), terdiri dari aluvium (Qa) dan kipas aluvium (Qav). Effendi et al. (1998) menyatakan aluvium (Qa) terdiri dari liat, debu, kerikil, dan kerakal terutama berupa endapan sungai. Namun Direktorat Geologi Indonesia (1970) menyatakan aluvium tersebut berupa aluvium sungai dan aluvium lembah, yang terdiri dari

(7)

liat, pasir, dan kerakal serta bongkah-bongkah batuan andesit-basal. Endapan permukaan ini sebagian besar terdapat di daerah Bojonggede dan Depok.

Menurut Direktorat Geologi Indonesia (1970) kipas aluvium digolongkan sebagai batuan volkanik muda (V) berupa tufa liat dan tufa pasir. Sedangkan menurut Effendi et al. (1998) kipas aluvium (Qav) terutama terdiri dari lanau, batu pasir, kerikil, dan kerakal dari batuan gunung api berumur kuarter dan diendapkan kembali sebagai kipas aluvium. Kipas aluvium disusun oleh bahan yang terdiri dari batuan volkanik bersifat andesitik. Bahan ini berasal dari G. Pangrango dan G. Salak. Pada lokasi penelitian kipas aluvium ditemukan di daerah Depok, Bojonggede, dan Kemang (Gambar 9 dan 10).

Batuan Gunung Api (Batuan Volkanik)

Hampir seluruh daerah Ciawi dan Cijeruk tertutup oleh batuan volkanik. Effendi et al. (1998) menyatakan batuan volkanik di daerah ini dapat digolongkan ke dalam batuan volkanik muda yang berumur Holosen dan volkanik tua yang berumur Pleistosen.

Menurut Effendi et al. (1998) batuan volkanik dari G. Pangrango (Qvpo) tergolong muda berumur Holosen awal yang menutupi daerah Ciawi. Qvpo menyebar dari puncak G. Pangrango ke arah utara dan berujung di Kota Bogor. Batuan volkanik G. Pangrango berupa endapan lebih tua yang terdiri dari lahar dan lava, basalt andesit dengan hornblende, oligoklas, andesin, labradorit, olivin, dan piroksin. Di sebelah barat formasi Qvpo terdapat formasi Qvsb yang berasal dari G. Salak. Formasi Qvsb terdiri dari lahar, breksi bertufa dan lapili bersusunan andesit basal umumnya lapuk sekali (Gambar 11).

Keadaan Iklim

Wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, rata-rata antara 2500 mm – 5000 mm/tahun, hampir merata sepanjang tahun. Schmidt dan Ferguson (1951) yang mencatat data iklim selama 20 tahunan (1930 – 1950) mendapatkan, tipe hujan di Kab. Bogor tergolong tipe A (sangat basah) di bagian Selatan dan tipe B (basah) di bagian Utara.

(8)
(9)
(10)
(11)

Tipe hujan A mempunyai rasio rata-rata jumlah bulan kering dan bulan basah sekitar 0 -14,3 %; sedangkan tipe hujan B relatif lebih kering, mempunyai rasio jumlah bulan kering dan bulan basah 14,3 – 33,3 %. Kelembaban udara tergolong lembab (> 70 %). Koppen (1931 dalam Schmidt dan Ferguson, 1951) menggolongkannya ke dalam tipe iklim Afa yaitu tipe iklim hujan tropika dengan periode kering tidak nyata, curah hujan bulanan di musim kemarau masih > 60 mm dengan suhu udara bulan terdingin > 18° C, dan suhu udara rata-rata bulan terpanas > 22° C.

Berdasarkan kriteria Schmidt dan Ferguson (1951) nilai Q di daerah penelitian, yaitu persentase antara jumlah rata-rata bulan kering dan bulan basah adalah 0 %, hal ini disebabkan karena bulan basah (> 100 mm) terdapat sebanyak 12 bulan dan tidak terdapat bulan kering (< 60 mm). Dengan demikian semua lokasi di daerah penelitian termasuk tipe hujan A (Tabel 2). Walaupun demikian total curah hujan tahunan rata-rata meningkat dari Ciawi (3103 mm/tahun), hingga ke Semplak (3239 mm/tahun).

Tabel 2 memperlihatkan bahwa iklim pada pedon TA1 – TA6 di sekitar Ciawi (480 m dpl.) dicirikan oleh curah hujan yang cukup tinggi yaitu 3103 mm dan curah hujan bulanan hampir merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang nyata. Suhu udara rata-rata bulanan sebesar 21.3° C. Curah hujan tahunan pada pedon TA7 – TA9 dan TA12 – TA14 di sekitar Semplak (180 m dpl.), sebesar 3239 mm. Baik pada daerah sekitar Ciawi maupun sekitar Semplak curah hujan terendah jatuh pada bulan Juni, Juli, dan Agustus namun semuanya masih di atas 60 mm.

Suhu tanah dihitung berdasarkan konversi dari suhu udara dengan rumus Newhall (1972, dalam van Wambeke, 1985) yaitu: suhu tanah = suhu udara + 2,5° C.

Suhu tanah di daerah penelitian bervariasi mulai dari 22.9 – 29.6° C. Selisih suhu tanah rata-rata musim panas dan musim dingin pada kedalaman 50 cm dari permukaan dihitung dengan mengalikan faktor 0,33 terhadap perbedaan rata-rata musim panas dan musim dingin udara. Perbedaan suhu tanah antara musim panas dan musim dingin di daerah penelitian < 6° C. Untuk tanah-tanah dengan perbedaan suhu tanah rata-rata musim panas dan musim dingin < 6° C, dengan

(12)

Tabel 2 Data rata-rata curah hujan, suhu udara, dan suhu tanah di stasiun Ciawi dan Semplak dari tahun 1994 sampai tahun 2004 di daerah penelitian

Tipe Stasiun/ Data Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah Rata- hujan

pedon tahunan rata Schmidt

tahunan dan Ferguson Ciawi (TA5, CH 499 495 354 300 203 109 102 108 115 220 289 309 3103 - A TA4, (mm)¹. TA3, SU 20.4 20.5 21.4 21.6 21.7 21.6 21.2 21.3 21.8 21.6 21.4 21.2 - 21.3 - TA6, (°C)²· TA2, ST 22.9 23 23.9 24.1 24.2 24.1 23.7 23.8 24.3 24.1 23.9 23.7 - 23.8 - TA1) (°C)³· Semplak (TA14, CH 372 330 386 298 302 192 160 104 188 267 371 269 3239 - A TA8, (mm)¹. TA7, SU 25.8 25.4 26.8 26.3 26.5 26.2 26 26.3 26.5 26.4 26.6 27.1 - 26.3 - TA13, (°C)²· TA12, ST 28.3 27.9 29.3 28.8 29 28.7 28.5 28.8 29 28.9 29.1 29.6 - 28.8 - TA9) (°C)³·

¹· Curah hujan (CH) diamati selama 11 tahun (Balai Penelitian Klimatologi, 1994 - 2004) ²· Suhu udara (SU) diamati selama 11 tahun (Balai Penelitian Klimatologi, 1994 - 2004) ³· Suhu tanah (ST) dihitung dengan metode van Wambeke (1985).

(13)

suhu tanah rata-rata tahunan > 22° C dimasukkan ke dalam regim suhu

isohipertermik (Soil Survey Staff, 2003).

Berdasarkan perhitungan neraca air metode Donker (1986 dalam Sukarman, 2005), kedua stasiun pengamatan tidak mengalami defisit air pada tahun-tahun normal > 3 bulan (90 hari) kumulatif. Berdasarkan perhitungan Newhall

Simulation Model (NSM), daerah sekitar Ciawi digolongkan ke dalam perudik,

sedangkan daerah sekitar Semplak digolongkan ke dalam udik (Lampiran 1 dan 2), kecuali untuk tanah-tanah yang sering jenuh air yang termasuk regim kelembaban akuik.

Menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) regim kelembaban

akuik ditunjukkan oleh tanah yang sering jenuh air, sehingga terjadi reduksi. Hal

ini ditunjukkan oleh adanya karatan atau massa tanah dengan kroma rendah (kroma ≤ 2; value ≥ 4). Sedangkan regim kelembaban tanah perudik adalah regim kelembaban tanah yang mempunyai curah hujan setiap bulan selalu melebihi evapotranspirasi; atau dengan kata lain lebih basah dari udik (lebih lembab) selama 90 hari kumulatif dalam setahun. Dalam klasifikasi tanah, regim kelembaban perudik jarang digunakan, hanya terdapat pada subordo dari Oxisol. Sedangkan pada ordo Inceptisol digunakan udik sebagai regim kelembaban tanah, yaitu tanah-tanah yang tidak pernah kering selama 90 hari (kumulatif) setiap tahun mempunyai regim kelembaban udik.

Vegetasi dan Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor secara umum terbagi dalam lima jenis penggunaan lahan, yaitu: pertanian lahan sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, kehutanan, pemukiman, dan kawasan industri. Sebagian besar lahan digunakan terutama untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Selama 10 tahun terakhir telah terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri, sementara hutan-hutan yang ada semakin menyempit akibat penebangan liar (Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Jenis dan luas penggunaan lahan di Kabupaten Bogor tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.

Pada lahan persawahan di lokasi penelitian, pola tanam yang diterapkan petani berupa sawah 2x atau sawah 1x padi dalam setahun, tergantung dari

(14)

Tabel 3 Luas dan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Bogor tahun 2003

No Jenis Penggunaan Lahan Luas

Ha %

1.

2.

Lahan Sawah

- Pengairan Teknis

- Pengairan Setengah Teknis - Pengairan Sederhana PU - Pengairan Non PU - Tadah Hujan

Lahan Kering

- Bangunan dan Pekarangan - Tegalan/Kebun

- Ladang/Huma (Padi Gogo) - Pengembalaan/Padang Rumput - Rawa yang Tidak Ditanami - Kolam/Empang

- Lahan Kering yang Tidak Diusahakan - Hutan Rakyat Tanaman kayu-kayuan - Hutan Negara - Perkebunan - Penggunaan Lain-lain 48.177 4.106 6.402 14.441 14.919 8.309 220.831 36.616 52.172 7.352 300 361 2.580 483 13.193 37.317 19.454 48.003 17,9 1,5 2,3 5,4 5,6 3,1 82,1 13,7 20,6 2,7 0,1 0,1 0,9 0,1 4,9 14,0 7,2 17,8

Jumlah Penggunaan Lahan 269.008 100,0

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004)

ketersediaan air. Setelah ditanami padi, lahan biasanya ditanami palawija dan tanaman sayur-sayuran yaitu: jagung, kacang tanah, singkong, ubi, dan talas; tomat, terong, oyong, kacang panjang, bayam, kangkung, dan genjer. Di samping itu di lahan persawahan tersebut ditumbuhi tanaman tahunan seperti pisang, pepaya, jambu biji, kelapa, pinang, kapuk, dan sengon.

Tanaman utama pada lahan kering (kebun) di lokasi penelitian adalah durian, nangka, karet, dan bambu. Khusus pada kebun karet yang tidak produktif lagi (pedon TA14) ditumbuhi pakis, rumput liar, pandan liar, salak, dan kopi.

Vegetasi alami di daerah penelitian hanya dijumpai pada elevasi tinggi yaitu pada pedon TA4 (500 m dpl.) dan TA6 (650 m dpl.) berupa harendong

(Melastoma malabatricum), kirinyuh (Eupathorium odoratum), dan alang-alang (Imperata cylindrica).

Keadaan Tanah

Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor skala 1:250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966), tanah-tanah di daerah Bogor cukup beragam, sejalan

(15)

dengan keragaman bahan induknya. Menurut klasifikasi tanah Dudal dan Soepraptohadjo (1957) jenis tanah yang mempunyai penyebaran luas di Kabupaten Bogor adalah tanah-tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Litosol, Rendzina, Grumosol, Podsolik Merah Kuning, Laterit air tanah, dan Latosol. Sedangkan jenis tanah yang mempunyai penyebaran sempit terdiri dari Hidromorf Kelabu, Mediteran, dan Brown Forest Soil (Gambar 12).

Selanjutnya Dudal dan Soepraptohardjo (1957) menambahkan bahwa tanah

Aluvial yang terbentuk dari bahan aluvium, penyebarannya sempit dan terbatas di

sepanjang jalur aliran sungai, antara lain sungai Cisadane, Ciliwung, Cimandiri, Cikeas, dan Cihoe-Cibeet. Regosol dan Andosol dijumpai pada lereng atas volkan G. Salak dan G. Pangrango pada ketinggian di atas 1000 m dpl. Rendzina, Brown

Forest Soil, Grumosol, dan Mediteran yang berkembang dari batuan sedimen basa

(batu gamping dan napal) terdapat di daerah perbukitan lipatan/angkatan di sekitar Jonggol dan Cariu. Podsolik Merah Kuning yang berkembang dari batuan sedimen masam banyak dijumpai di daerah perbukitan lipatan di sekitar Leuwiliang dan Jasinga. Laterit Air Tanah dan Hidromorf Kelabu adalah tanah-tanah yang banyak dipengaruhi oleh air tanah-tanah. Laterit Air Tanah berasosiasi dengan Latosol Merah dan Latosol Coklat Kemerahan, dijumpai mulai daerah Bojonggede, Cibinong, dan Depok. Hidromorf Kelabu penyebarannya sempit, dijumpai di sebelah utara Jasinga. Litosol merupakan tanah dangkal di atas batuan keras, belum ada perkembangan profil, umumnya akibat erosi yang kuat. Litosol ditemukan pada aneka macam bahan induk, iklim, dan ketinggian; umumnya di lereng yang curam. Sedangkan Latosol yang berkembang dari bahan volkanik mempunyai penyebaran paling luas di daerah Bogor, yaitu 67 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor (Gambar 12, legenda nomor 7 – 14).

Semua tanah di lokasi penelitian yang berkembang dari bahan volkanik termasuk ke dalam tanah Latosol. Latosol Coklat Kekuningan (pedon TA5, TA4, dan TA3/Gambar 12, legenda nomor 9) dan Latosol Coklat (pedon TA6, TA2, dan TA1/Gambar 12, legenda nomor 7) berkembang dari tufa volkan intermedier, sedangkan Latosol Coklat Kemerahan (pedon TA14, TA8, dan TA7/Gambar 12, legenda nomor 8) dan Latosol Merah (pedon TA13, TA12, dan TA9/Gambar 12, legenda nomor 12) berkembang dari bahan aluvium volkanik.

(16)

Gambar

Gambar 5  Peta lokasi penelitian.
Tabel 2  Data rata-rata curah hujan, suhu udara, dan suhu tanah di stasiun                      Ciawi dan Semplak dari tahun 1994 sampai tahun 2004 di daerah penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, le château de Versailles tidak dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis metafora yang telah ditentukan sebelumnya yaitu metafora antropomorfis, metafora

Kelompok bahan pencampur gliserin menggunakan teknik irigasi agitasi ultrasonik pasif terhadap kelompok bahan pencampur khlorheksidin diglukonat 2% menggunakan teknik

Simpulan dari hasil penelitian ini dapat meningkatkan komunikasi antar pribadi siswa setelah diberi layanan penguasaan konten teknik bermain peran pada siswa kelas A kecil

Di antara ulama – ulama yang berasal dari indonesia yang kitab karangan banyak digunakan sebagai referensi di pesantren adalah Syaikh Nawawi Al Bantani hal ini

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi Strata Satu (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia di Fakultas

Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP) dalam daerah yang terletak pada jaringan jalan daerah.. Penetapan tarif jasa pelabuhan Sungai, Danau,

Gambar di bawah menunjukkan berbagai macam elusi untuk mengambil uranium pada kolom yang berisis silika-TBP: Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan eluen

DR.RUPNATHJI ( DR.RUPAK NATH )... DR.RUPNATHJI ( DR.RUPAK