• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengentasan kemiskinan (poverty allevation) telah menjadi komitmen dan kesepakatan bagi semua pihak. Secara global kesepakatan merujuk pada Tujuan-tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dengan sasaran indikator yang ingin dicapai yaitu mengurangi setengah angka kemiskinan pada tahun 2015. Di Indonesia urusan penanggulangan kemiskinan dijamin secara tegas dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengentasan kemiskinan secara terinci dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2005), dengan target untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.

Pengentasan kemiskinan memiliki tantangan yang sangat besar untuk dicapai, karena permasalahan dan fenomena kemiskinan memiliki sifat dan karakteristik yang sangat beragam. Kemiskinan bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, politik dan dimensi wilayah (spatial) serta rentan terhadap eksternalitas (RPJM 2004-2009 dan Smeru 2008). Standing (2006) memandang sebab-sebab kemiskinan tidak berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan masalah struktural yang disebutnya “kerentanan ekonomi” (economic insecurity), yang dipengaruhi oleh risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian serta kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan memulihkan diri (to recover).

Di Indonesia terdapat pergerakan yang signifikan keluar masuknya penduduk di bawah garis kemiskinan. Contohnya, 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 ternyata tidak miskin pada tahun 2003 (Bank Dunia 2006). Di Kabupaten Barru juga terjadi pergerakan keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, sekitar 14 persen rumah tangga miskin pada tahun 2006 tidak miskin pada tahun 2005. Guncangan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga seperti kehilangan pekerjaan, gagal usaha, gagal panen, krisis moneter, kenaikan

(2)

2 harga BBM, bencana alam dan hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh sakit dan biaya pengobatan, atau naiknya harga bahan pokok makanan seperti beras, dapat menyebabkan perubahan-perubahan mendadak dalam tingkat kemiskinan rumah tangga miskin (Smeru, 2008). Sedangkan Islam (2001), menyebutkan bahwa kerentanan dapat terjadi karena adanya guncangan pada tingkat mikro seperti pencari nafkah sakit atau meninggal dunia, pada tingkat meso seperti adanya gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan, dan pada tingkat makro karena krisis moneter atau finansial.

Bank Dunia (2006) melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional “menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh penduduk Indonesia hidup diantara garis kemiskinan US$1 – dan US$2 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan rumah tangga untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Dengan demikian, maka penelitian dan pemahaman tentang kerentanan dalam penanggulangan kemiskinan dianggap sangat penting, mengingat bahwa risiko sebagian besar rumah tangga di Indonesia akan jatuh ke bawah garis kemiskinan ketika terjadi ketidakpastian ekonomi atau guncangan (shock).

Dalam kebijakan pengentasan kemiskinan aspek makro ekonomi yang sering dianggap perlu adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, merupakan syarat perlu tapi belumlah cukup, artinya perlu kebijakan lain seperti pengendalian tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Kebijakan yang terkait dengan individu atau rumah tangga dalam tataran mikro serta aspek spasial perlu menjadi perhatian khusus, karena terkait dengan kemampuan internal dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kemiskinan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan hasil yang berbeda antara satu lokasi dan waktu.

Dari aspek makro beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun

magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil (Wahyuniarti dan Siregar 2007; Ravallion, 2001; dan Adams 2004). Peningkatan share sektor pertanian dan share

(3)

3 sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan adalah pendidikan.

Fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah menunjukkan karakteristik dan penciri yang berbeda sebagaimana dilaporkan beberapa penelitian terdahulu, terutama di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Harniati (2007) di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada setiap agroekosistem dimana hutan memiliki insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumah tangga miskin di lahan kering dan dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan pesisir/pantai. Selanjutnya disebutkan bahwa, kerentanan terhadap kemiskinan di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Usman et al. (2005) di Indonesia menemukan bahwa pada sisi karakteristik wilayah, daerah pegunungan ternyata memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah pantai dan dataran rendah. Sementara itu, daerah pantai memiliki risiko kemiskinan paling rendah. Daerah pegunungan dengan potensi yang terbatas seperti lahan tandus, berada pada kemiringan, terisolir serta terbatasnya infrastruktur fisik dan sosial ekonomi. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan penduduk dalam melakukan aktivitas ekonominya membutuhkan biaya tinggi sehingga produktivitasnya rendah sebagai penyebab tingginya risiko penduduk terhadap kemiskinan.

Di samping itu, perbedaan potensi dan kondisi infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi antar wilayah menyebabkan perbedaan peluang-peluang ekonomi rumah tangga antar wilayah pula. Selanjutnya, hal ini berpengaruh pula pada perbedaan peluang atau kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Sejalan dengan itu,

(4)

4 pemahaman tentang karakteristik wilayah dan keluarga miskin pada tataran mikro secara lokalitas dianggap penting dan strategis dalam konteks pendalaman permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat miskin, serta diagnosis dalam perumusan intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan.

Dalam studi ini karakteristik wilayah disesuaikan dengan demografi dan tipologi Kabupaten Barru sebagai lokasi penelitian. Kabupaten Barru mempunyai tiga tipologi wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Lima kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Barru merupakan wilayah kecamatan yang memiliki pantai/pesisir dan dua kecamatan lainnya tidak memiliki wilayah pesisir dan pantai. Dari 54 desa/kelurahan yang ada, 29 diantaranya berada pada lokasi pesisir/pantai dan 13 desa/kelurahan berada pada daerah pegunungan serta 12 desa/kelurahan merupakan daerah dataran rendah.

Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bahkan melibatkan lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization/NGO) dengan waktu dan biaya yang tidak terhitung jumlahnya. Hal ini seiring dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan publik melalui APBD termasuk dalam alokasi anggaran pengentasan kemiskinan.

Berdasarkan pada berbagai program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut dan semakin meningkatnya atau membaiknya asumsi-asumsi makroekonomi, maka seyogyanya jumlah penduduk miskin dapat ditanggulangi secara signifikan dan permanen. Namun demikian, upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal sesuai dengan yang telah ditetapkan. Secara nasional target penurunan jumlah kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 seperti dijelaskan sebelumnya sudah dapat dipastikan tidak akan tercapai. Realitas di sebagian besar daerah Kabupaten/Kota di Indonesia menunjukkan bahwa hal ini belum terpenuhi (Hirawan 2007).

Indikasi menguatnya permasalahan atau melemahnya kinerja penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari naik-turunnya jumlah penduduk miskin, baik antar waktu maupun antar wilayah. Pada periode 2003-2004 proporsi penduduk miskin mengalami penurunan dari 20,23 persen menjadi 20,11 persen

(5)

5 pada daerah perdesaan, dan di perkotaan menurun dari 13,57 persen menjadi 12,13 persen. Dalam periode 2005-2006, proporsi penduduk miskin mengalami peningkatan yang relatif signifikan, dimana pada daerah perdesaan meningkat dari 19,5 persen menjadi 21,9 persen dan di perkotaan dari 11,4 persen menjadi 13,4 persen. Sedangkan pada periode 2007-2008 secara proporsional terjadi penurunan kembali yaitu dari 20,37 persen menjadi 18,93 persen di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan menurun dari 12,52 persen menjadi 11,65 persen (BPS 2008).

Secara umum perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada periode 2000-2008 menunjukkan hasil yang berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat ada kecenderungan menurun pada periode 2000-2005 sebagaimana dilihat pada Tabel 1 berikut (BPS 2008).

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, periode 2000-2008.

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (juta)

Persentase Penduduk Miskin (%)

Kota Desa Kota+ Desa Kota Desa Kota+ Desa

20002) 20012) 20021) 20033) 20043) 20053) 20063) 20073) 20083) 12,30 8,60 13,30 12,20 11,40 12,40 14,49 13,56 12,77 26,40 29,30 25,10 25,10 24,80 22,70 24,81 23,61 22,19 38,70 37,90 38,40 37,30 36,10 35,10 39,30 37,17 34,96 14,60 9,76 14,46 13,57 12,13 11,68 13,47 12,52 11,65 22,38 24,84 21,10 20,23 20,11 19,98 21,81 20,37 28,93 19,14 18,41 18,20 17,42 16,66 15,97 17,75 16,58 15,42 Catatan:Dihitung dengan metode 1998

1)

Dihitung berdasarkan data Susenas Kor 2000 dan 2001

2)

Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Feb 2003, 2004, dan 2005

3)

Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007, dan 2008

Sedangkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Barru tahun 1990-2008, juga menunjukkan hasil yang berfluktuasi pada tiga dimensi wilayah.Tingkat persentase rumah tangga miskin di Barru yang tertinggi adalah pada wilayah pesisir, disusul wilayah pegunungan dan paling rendah pada wilayah dataran rendah. Pada periode yang sama kecenderungan terjadinya fluktuasi pada semua wilayah sebagaimana digambarkan Tabel 2.

Dari Tabel 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah kemiskinan baik di Indonesia maupun di Kabupaten Barru belum berhasil dengan baik dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, di samping disebabkan oleh ketidakmampuan

(6)

6 untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang melilitnya, juga dipengaruhi oleh adanya eksternalitas seperti kebijakan pengentasan kemiskinan dan gejolak atau guncangan ekonomi. Artinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini masih bersifat universal terhadap rumah tangga di satu sisi, padahal di sisi lain rumah tangga miskin memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda antara satu dengan lainnya (individu dan rumah tangga) serta antar waktu dan antar wilayah. Di samping itu, sebagian besar program pengentasan kemiskinan masih bersifat top-down, parsial dan tidak berkelanjutan serta kurangnya inovasi baru dari pemerintah daerah dalam kebijakan pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan lokal yang dihadapi (Smeru 2008 dan Hardojo et al, 2008).

Tabel 2. Tingkat Perkembangan Rumah Tangga Miskin (RTM) berdasarkan karakateristik wilayah di Kabupaten Barru (1990-2008)

Tahun Jumlah RTM RTM Pesisir Persentase (%) Jumlah RTM D. Rendah Persentase (%) Jumlah RTM Pegunungan Persentase (%) 1990 5715 3473 60.77 1040 18.19 1202 21.03 1991 5886 3567 60.60 1076 18.28 1243 21.12 1992 6054 3661 60.47 1107 18.29 1348 22.27 1993 6222 3756 60.36 1143 18.37 1323 21.26 1994 6388 3849 60.25 1172 18.35 1367 21.39 1995 5949 2861 48.09 1143 19.21 1945 32.70 1996 5912 2977 50.35 1035 17.51 1900 32.14 1997 4980 2795 56.12 837 12.79 1638 32.89 1998 4337 2049 47.24 930 21.45 1358 31.31 1999 6225 3932 59.06 1258 19.21 1045 21.73 2000 8962 5049 56.34 1618 18.05 2297 25.63 2001 11960 6406 53.56 2481 20.74 3073 25.69 2002 13010 6964 54.53 2708 20.81 3338 25.66 2003 11864 6914 58.28 2410 20.31 2540 21.41 2004 12244 6609 53.98 2465 20.13 3170 25.89 2005 10802 6008 55.62 1906 17.64 2888 26.74 2006 13284 6986 54.98 2422 19.06 3298 25.96 2007 13266 7397 53.43 2571 18.57 3876 27.99 2008 13364 7247 54.23 2635 19.72 3482 26.05

Sumber : Diolah dari data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Barru 1990-2008.

Mengacu pada uraian dan beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan kompleksitas permasalahan kemiskinan baik dari segi penyebab, lokasi dan hirarki penanganannya. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat

(7)

7 besar dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, karena pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang besar pada keberlangsungan suatu negara (Tambunan 2003). Bahkan, Smeru (2001) mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek utama mengapa upaya pengentasan kemiskinan menjadi penting bagi daerah maupun secara nasional, yaitu aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan.

Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, maka dalam penelitian ini di fokuskan pada kerentanan dan determinan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan mikro dan makro yang dikaitkan dengan karakteristik wilayah pada lokasi dan unit analisis yang lebih kecil di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.

1.2. Perumusan Masalah

Kemiskinan identik dengan ketidakadilan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan, ketidakadaan akses, dan keterbelakangan. Serba ketidakadaan ini mengepung orang miskin dan menjadi perangkap kemiskinan “poverty trap”

sehingga orang miskin sulit untuk keluar dari garis kemiskinan. Munandar (2003) menyebutkan bahwa penduduk menjadi miskin karena terbatasnya sumberdaya yang mereka miliki, pendidikan rendah, kekurangmampuan mereka dalam hal teknis dan manajemen, keterbatasan akses pada sumber permodalan, ketimpangan distribusi lahan, ketimpangan jender, bencana alam, dan kealpaan pemerintah melalui kebijakan yang kurang berpihak pada penduduk miskin. Kondisi kemiskinan tidak hanya membuat mereka memiliki pendapatan rendah, melainkan juga menghadapi kerentanan yang tinggi, suara mereka kurang didengar, keberadaan mereka luput diperhatikan, dan mereka tersingkir dari komunikasi global.

Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan sangat beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah dengan wilayah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu lain. Karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat universal dan sifatnya memberi santunan tidak terlalu tepat. Secara umum permasalahan kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor

(8)

8 yang terkait dengan aspek mikro-makro ekonomi dan aspek wilayah sebagai berikut (Menko Kesra 2007; Smeru 2006; Todaro dan Smith 2003; dan Rustiadi

et al. 2009) :

1. Ketidakadilan dalam memperoleh akses di bidang permodalan, pendidikan, kesehatan, pangan dan insfrastruktur serta peluang usaha dan

peluang kerja yang berakibat kegagalan kepemilikan terhadap tanah dan modal. Ketidakadilan tersebut berdampak pada tingkat pendidikan, derajat kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan rendahnya produktivitas masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh kepada tingkat pendapatan masyarakat karena upahnya pun rendah

2. Ketidakadilan pertumbuhan dalam strata ekonomi, antar daerah dan antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan variabel utama yang digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara atau wilayah serta digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Namun demikian, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penanggulangan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan masyarakat. Artinya, pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan ketika ketimpangan awal tidak terlalu lebar, dan juga terjadi secara signifikan pada negara-negara maju atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara pada negara yang pertumbuhan ekonominya rendah dengan ketimpangan pendapatan yang lebar pengaruh pertumbuhan ekonomi tidak signifikan dalam menanggulangi kemiskinan. Blank (2003) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung pada waktu dan tempat.

3. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi guncangan karena: krisis ekonomi, kegagalan panen, PHK, konflik sosial politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam dan musibah. Ketidakmampuan menghadapi guncangan atau eksternalitas karena kekurangmampuan atau keterbatasan sumberdaya sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada rumah tangga miskin tanpa memerhatikan secara mendalam klasifikasi atau kategori kemiskinan, seperti kemiskinan kronik, miskin serta rumah tangga yang rentan

(9)

9 atau berada sedikit di atas garis kemiskinan memicu pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang tidak optimal yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan keluar masuknya rumah tangga dalam kemiskinan tanpa terkendali.

4. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruknya ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena: tidak ada kepastian hukum, kebijakan publik yang tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan serta rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.

5. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor. Kebijakan pembangunan yang berfokus pada perkotaan tanpa memerhatikan keterkaitan antara kota dan desa yang baik memicu timbulnya eksploitasi yang saling merugikan, di perkotaan muncul fenomena berupa polusi, pengangguran, kemacetan, kriminalitas dan lainnya. Sementara di perdesaan memicu matinya inovasi dan kreasi yang diakibatkan oleh adanya backwash effect yang massif dan terjadinya brain drain.

6. Adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi antar wilayah. Perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi antar wilayah menyebabkan produktivitas dan tingkat pembentukan modal berbeda. Di samping itu, perbedaan tersebut menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa intervensi program penanggulangan kemiskinan harusnya berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

7. Keterbelakangan dan keterisolasian secara geografis. Keterbelakangan dan keterisolasian menyebabkan produktivitas yang tidak maksimal yang diakibatkan dengan tingginya biaya produksi dan biaya mobilitas tenaga kerja dan produksi. Perbedaan biaya produksi antar wilayah menyebabkan perbedaan kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi antar wilayah, sehingga berdampak pada perbedaan dalam tingkat kesejahteraan.

Dalam penelitian ini beberapa permasalahan kemiskinan tersebut di atas, dijadikan sebagai rujukan untuk melihat fenomena kemiskinan yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru. Kabupaten

(10)

10 Barru merupakan salah satu dari 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/2005). Dalam kurun waktu 1990-2008 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru selalu positif, kecuali tahun 1998 (-5,97%). Demikian halnya dengan indikator indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan hasil yang semakin baik selama lima tahun terakhir.

Diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berimplikasi juga pada meningkatnya secara signifikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu dari Rp. 6.165.778.857 pada tahun 1990 meningkat menjadi Rp. 329.189.948.546 pada tahun 2007. Jumlah investasi juga mengalami

peningkatan dari Rp. 2.885.575.000,- pada tahun 2004 menjadi Rp. 5.278.999.000,- pada tahun 2007. Di samping itu, jumlah kredit investasi dan

modal kerja yang disalurkan oleh perbankan juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 13.992.000.000,- pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp. 36.993.000.000, pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan sebesar 62.18 persen (BPS Kabupaten Barru 2008).

Angka kemiskinan di Kabupaten Barru memperlihatkan kecenderungan yang berfluktuasi dan masih berada di atas rata-rata kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan dan nasional. Proporsi atau persentase rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan bahwa rumah tangga miskin yang terbesar persentasenya berada pada wilayah pesisir, kemudian disusul oleh wilayah pegunungan dan terkecil pada wilayah dataran rendah (Grafik 1).

Dari Grafik dapat ditunjukkan bahwa pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 terjadi peningkatan kemiskinan di Kabupaten Barru dan mencapai puncaknya pada tahun 2002. Demikian halnya pada wilayah pesisir pada awalnya mengalami penurunan pada tahun 1998, hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditi perikanan pada awal resesi ekonomi. Di sisi lain, peningkatan harga komoditi perikanan yang memiliki nilai ekspor sifatnya hanya sementara, karena dengan terjadinya krisis moneter juga berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi yang berdampak menurunnya sisi permintaan. Di samping

(11)

11 itu, peningkatan harga komoditi perikanan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Hal tersebut dibuktikan oleh meingkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1999, yang diindikasikan bukan hanya disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 1997/1998, akan tetapi juga dipengaruhi oleh terjadinya bencana alam berupa banjir yang melanda Kabupaten Barru khususnya pada wilayah pesisir dan dataran rendah pada tahun 1998. Banjir yang melanda Kabupaten Barru pada tahun 1998, menyebabkan penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir dan dataran rendah mengalami gagal panen (sawah dan tambak). Di samping kegagalan panen yang terjadi pada wilayah pesisir dan dataran rendah akibat banjir juga berdampak pada rusaknya rumah penduduk pada kedua wilayah. Kedua kondisi ini berperan dalam mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin terutama pada wilayah pesisir dari 47,24 persen pada tahun 1998 menjadi 59,06 persen pada tahun 1999.

Grafik 1. Perkembangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru Berdasarkan Karakteristik Wilayah (1990-2008).

Sumber : Diolah dari Data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan BPS Kabupaten Barru, 1990-2008.

Selanjutnya, di wilayah pegunungan pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 pada awalnya mengalami penurunan jumlah penduduk miskin, akan tetapi berangsur-angsur mengalami peningkatan, tetapi tidak sebesar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk miskin pada wilayah pesisir. Penurunan penduduk miskin pada wilayah pegunungan disebabkan oleh beberapa

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Per sen tase R TM th d p To tal R T Kab B ar ru (% )

(12)

12 hal seperti meningkatnya harga produk pertanian yang memiliki nilai eksport tinggi seperti coklat, kemiri, kopi dan jambu mete. Di samping itu, fluktuasi kemiskinan di wilayah pegunungan juga disebabkan oleh adanya bencana alam berupa angin puting beliung (Angin Barubu) yang secara siklus terjadi dan terparah pada tahun 2004.

Dari uraian dan data tersebut di atas menunjukkan bahwa, adanya eksternalitas seperti bencana alam dan krisis moneter berdampak pada meningkatnya penduduk miskin. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab gagalnya program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Selain penyebab tersebut, menurut Prihatini (2008) bahwa pada dasarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program penanggulangan kemiskinan serta program-program-program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal dan waktu.

Sementara itu Sumodiningrat 2005; Ritonga 2003; dan Mega 2003; menyatakan bahwa kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memerhatikan pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan.

(13)

13 Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru?

2. Bagaiamana pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi dalam proses pembangunan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru?.

3. Apakah kerentanan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berbeda magnitutnya berdasarkan karakteristik wilayah (pesisir, dataran rendah, dan pegunungan?.

4. Apakah pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, inflasi, share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru.

2. Menganalisis pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangungan, serta aspek kewilayahan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru.

3. Menganalisis tingkat kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru.

4. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, peningkatan harga barang dan jasa (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru.

(14)

14 1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia akademik dalam memperkaya khasanah pengetahuan tentang pengentasan kemiskinan di Indonesia, terutama yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan pada wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan percepatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada umumnya dan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.

1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian.

Penelitian ini difokuskan pada analisis kerentanan rumah tangga miskin yang terkait dengan aspek mikro atau aspek internal rumah tangga dan individu. Dalam aspek mikro variabel yang terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin meliputi jenis kelamin, umur, jumlah anggota/tanggungan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan/aset, akses ke pelayanan publik, tingkat partisipasi dalam proses pembangunan, dan aspek kewilayahan. Sedangkan dalam aspek makro, faktor determinan yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah variabel yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita), belanja pemerintah (yang diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian), pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan harga barang dan jasa secara keseluruhan (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dummy

desentralisasi fiskal dan dummy krisis moneter.

Dalam menganalisis karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan dengan pendekatan deskriptif berupa tabel dan grafik. Namun, untuk mempertegas perbedaan karakteristik rumah tangga berdasarkan wilayah dilakukan analisis atau uji beda nilai tengah (Anova). Sementara dalam menganalisis kerentanan rumah tangga miskin dilakukan dengan pendekatan ekonometrika dengan persamaan regresi logit (Binary Logistic Regression). Sedangkan untuk menganalisis determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan aspek makro dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square atau OLS).

(15)

15 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian.

Kebaruan “novelty” dari penelitian analisis kerentanan dan determinan

kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat dilihat dari dua aspek sebagai berikut :

1. Mengkonfirmasi atau mengkonfrontir beberapa hasil penelitian terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah. Usman (2005) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada wilayah pegunungan, demikian halnya dengan insiden kemiskinan terbesar pada wilayah pegunungan. Sedangkan Harniati (2007) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada agroekosistem lahan basah dan rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibanding agroekosistem lainnya.

2. Pendekatan kebijakan tidak bisa dilakukan secara universal atau homogen pada seluruh wilayah Indonesia, maka diperlukan penelitian atau pengkajian fenomena dan karakteristik kemiskinan secara lokalitas, dimana Di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan belum ada penelitian yang mengkaji tentang kerentanan dan determinan kemiskinan.

Gambar

Tabel  2.  Tingkat  Perkembangan  Rumah  Tangga  Miskin  (RTM)  berdasarkan  karakateristik wilayah di Kabupaten Barru (1990-2008)

Referensi

Dokumen terkait

pelajaran Instalasi Listrik Komersial yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja, dihapus dari GBPP Kurikulum 1984 SMKTA. Sejalan dengaxi uraian pada sub bab

Pengembangan Horizontal adalah pembangunan usaha baru yang bertujuan memperkuat bisnis utama untuk mendapatkan keunggulan komparatif yang secara line produk tidak memiliki

Based on their research, in this research we use tax planning, earnings pressure; debt to equity ratio; and corporate size to test whether these variables are earnings

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kelapa sangrai dapat menggantikan fungsi darah ayam sebagai bahan pengental pada masakan khas suku Batak

Dapat meningkatkan motivasi belajar bagi para siswa karena dengan adanya sistem ini dapat menampilkan benda-benda seperti kuman,bakteri dan masih banyak lagi yang lainnya2. Dalam

Penelitian ini berguna untuk sinkronisasi kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa dengan kurikulum yang berlaku di Jurusan Ilmu Agama Islam.. Penelitian ini

Dari hasil uji signifikansi regresi sederhana ternyata F hitung <F tabel , atau 2,712< 4,35 maka hipotesis ditolak, dengan demikian, dapat disimpulan bahwa

when a person had underwent dilatation for several WLPHVWRWUHDWWKHVWULFWXUHLVLWQHFHVVDU\WRFKDQJHWKH modality of mid or long term treatment such as placing stent in the stricture