• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar Belakang Topik & Tema

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar Belakang Topik & Tema"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Latar Belakang Topik & Tema

Penggunaan energi sangat penting di pusat perkotaan untuk transportasi produksi industri, dan kegiatan rumah tangga dan kantor. Ketergantungan di sebagian besar pusat kota pada sumber energi non-terbarukan dapat menyebabkan perubahan iklim, polusi udara dan permasalahan bagi lingkungan dan kesehatan manusia, dan mungkin merupakan ancaman serius bagi pembangunan berkelanjutan. Produksi dan penggunaan energi yang berkelanjutan dan dapat ditingkatkan dengan mendorong efisiensi energi dengan cara seperti kebijakan harga, penggantian bahan bakar energi alternatif, angkutan massal dan kesadaran publik. Pemukiman manusia dan kebijakan energi harus secara aktif dikoordinasikan. (UN Documents, 1996)

Sustainable architecture (arsitektur berkelanjutan), adalah sebuah konsep terapan dalam bidang arsitektur untuk mendukung konsep berkelanjutan, yaitu konsep mempertahankan sumber daya alam agar bertahan lebih lama, yang dikaitkan dengan umur potensi vital sumber daya alam dan lingkungan ekologis manusia. (Burhanuddin). Bangunan hijau atau bangunan yang berkelanjutan dirancang untuk mengurangi keseluruhan dampak lingkungan binaan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan alam dengan cara sebagai berikut (Avinash, 2012:1) :

− Efisien menggunakan energi, air, dan sumber daya lainnya

− Melindungi kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas karyawan.

− Mengurangi sampah, polusi dan lingkungan degradasi

Air merupakan sumber daya alam yang sangat strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bagi manusia, air diperlukan sebagai kebutuhan dasar untuk tetap hidup,

(2)

disamping sebagai sarana penunjang aktivitasnya sehari-hari. Dari 40 juta mil-kubik air yang berada di planet bumi, baik berupa air yang berada di dalam atau permukaan, ternyata tidak lebih dari 0,5% atau 0,2 juta mil-kubik yang secara langsung dapat dipergunakan untuk kepentingan manusia. Karena dari 40 juta mil-kubik, sekitar 97% berbentuk air laut yang berkadar garam tinggi, serta 2,5% berbentuk salju dan es abadi yang dalam keadaan mencair baru akan dapat digunakan secara langsung oleh manusia ( Ni Luh Putu Manik Widiyanti, 2004 )

Kebutuhan air bersih yang terus menerus meningkat berjalan tidak seimbang dengan kemampuan penyediaannya. Mengutip catatan World Water Forum yang diselenggarakan di Den Haag (Maret, 2000), hingga tahun 2025 sekitar 2,7 miliar atau lebih dari sepertiga penduduk dunia akan kekurangan air bersih, jika keterancaman ini tidak segera diakhiri, Indonesia akan termasuk dalam salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada 2025. Terkait dengan penyediaan air bersih di Indonesia umumnya dikelola oleh suatu perusahaan milik daerah yang dikenal dengan nama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, pelayanan penyediaan air minum yang disediakan oleh PDAM seringkali masih dikeluhkan oleh masyarakat pelanggannya. Keluhan tersebut terutama karena air sering tidak mengalir dalam jumlah yang cukup, tidak kontinyu, dan kualitas air buruk. (Kemenpu, 2010). Mengingat prediksi yang ada dan kondisi persediaan air bersih yang terus berkurang, maka dalam mendesain bangunan harus tetap mempertimbangkan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, diperlukan upaya konkret untuk mencegah terjadinya kelangkaan air, salah satunya adalah konservasi air.

Konservasi air adalah perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui metode teknologi atau perilaku sosial. (Diptya, 2012). Hal ini dapat ditinjau dari upaya penghematan air bersih gedung melalui pengadaan teknologi alat keluaran air yang efisien, serta pemanfaatan sumber air alternatif, seperti penggunaan air daur ulang hingga pada penggunaan air alternatif seperti air hujan. Maka dari itu, untuk lebih lanjut penulis akan meneliti tentang pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif yang akan diterapkan pada bangunan guna mengurangi dampak krisis air khususnya di DKI Jakarta.

(3)

Latar Belakang Lokasi

Kelangkaan air bersih kini juga dirasakan oleh warga DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia. Padahal seharusnya air bersih merupakan kebutuhan dasar setiap warga yang harus terpenuhi. Hal tersebut juga tercantum di dalam konstitusi dasar Republik Indonesia, yakni UUD 1945 pasal 33 ayat 3, dimana dinyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Pada Tabel 1.1, secara makro terlihat bahwa defisit air baku di wilayah DKI Jakarta sebesar 11,028 l/dt pada tahun 2010 akan terus membengkak menjadi 39,008 l/dt pada akhir tahun 2025. Hal ini tentu saja membuat sebagian warga harus mencari sumber air secara mandiri, baik itu membeli eceran, mengambil air tanah, menampung air hujan, menggunakan air aliran sungai, sampai mendaur ulang limbah cair.

Sementara itu¸ dari 5 kotamadya di DKI Jakarta, akan dilakukan pengkajian lebih lanjut daerah mana yang mengalami keadaan terparah mengenai kelangkaan air. Hal ini dinilai dari aspek keadaaan geografis wilayah, kualitas air tanah, cara mendapatkan air, dan berdasarkan jumlah rumah tangga miskin di daerah tersebut.

No. Design Parameter Satuan Tahun Catatan 2010 2015 2020 2025

1. Total Penduduk (1000) Capita 11,437 12,333 13,272 14,258 Termasuk Komuter 2. Target Cakupan Layanan % 70 80 90 100

3. Target Pend Terlayani (1000) Capita 8,006 9,866 11,945 14,258 4. Non-Revenue Water (NRW) % 40 35 30 25 5. Total Kebutuhan Air Baku l/dt 27,028 35,138 44,440 55,008 6. Air Baku Tersedia Saat Ini l/dt 16.000 16.000 16.000 16.000 7. Defisit Air Baku l/dt 11,028 19,138 28,440 39,008 8. Potensi Reklamasi L. Cair l/dt 9,730 13,703 18,665 24,754

60% Konsumsi

AB 9. Potensi Cadangan Air

Hujan l/dt 47,500 47,500 47,500 47,500

Rata2 Tahunan Tabel 1.1 Neraca Air dan Kebutuhan Air Baku PAM DKI Jakarta 2010-2025

(4)

Berdasarkan Keadaan Geografis

Gambar 1.1 menunjukan kualitas air tanah dangkal berdasarkan kode wilayah I-V. Yang dimana wilayah Jakarta Utara memiliki endapan rendah sekitar 0-3m yakni air yang ada terasa asin karena secara geografis wilayah Jakarta Utara dekat dengan laut, sehingga kemungkinan air tanah yang ada pada daerah tersebut telah terintrusi air laut. Hal ini juga berpengaruh terhadap sumber air potensial yang bisa digunakan oleh penduduk di wilayah tersebut. Seperti yang telah dirangkum oleh BPLHD DKI Jakarta tahun 2013 pada table 1.2 berikut.

No. Kabupaten/Kota Ledeng Sumur Sungai Hujan Kemasan Lainnya

1. Kepulauan Seribu 342 64 0 0 3,536 1,149 2. Jakarta Selatan 10,474 167,592 0 0 379,592 0 3. Jakarta Timur 43,582 150,917 0 0 521,771 1,583 4. Jakarta Pusat 60,067 11,409 0 0 164,537 639 5. Jakarta Barat 187,700 40,597 0 0 415,201 0 6. Jakarta Utara 95,125 0 0 0 358,417 607 DKI Jakarta 397,290 370,579 0 0 1,843,054 3,977

Gambar 1.1 Lokasi Pemantauan Kualitas Air Tanah Dangkal

Tabel 1.2 Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum DKI Jakarta 2013

Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2013 Sumber: BPLHD Provinsi DKI Jakarta, 2013

(5)

Berdasarkan sumber air minum yang berpotensi sebagai sumber air minum di wilayah DKI Jakarta, wilayah Jakarta Utara tidak memiliki potensi untuk menggunakan air sumur dikarenakan air telah terintrusi air laut. Sementara memanfaatkan 13 aliran sungai yang melintas di DKI Jakarta juga tidak memungkinkan karena kualitasnya sangat buruk. Wilayah Jakarta Utara hanya mampu mengandalkan air ledeng dan air kemasan.

Namun ironisnya wilayah Jakarta Utara pula yang kerap mengalami hambatan dalam distribusi air ledeng (PAM). Menurut Direktur Operasional PT Aetra, Lintong Hutasoit. “Pasokan air untuk wilayah di Jakarta lain, masih cukup. Sepanjang ini, warga di Jakarta Utara yang sudah mengeluh, karena itu wilayah paling jauh, jadi distribusi sedikit terganggu," ujarnya.

Berdasarkan Kualitas Air Tanah

Menurut BPLHD DKI Jakarta, wilayah yang mempunyai kualitas air paling buruk adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup baik adalah Jakarta Selatan. Di wilayah ini umumnya digunakan untuk permukiman teratur.

Berdasarkan Cara Memperoleh Air Minum

No. Kabupaten/Kota Membeli Berlangganan Tidak

Membeli Jumlah 1. Kepulauan Seribu 75,01 0,54 24,36 100,00 2. Jakarta Selatan 67,79 2,11 30,11 100,00 3. Jakarta Timur 74,44 5,04 20,53 100,00 4. Jakarta Pusat 79,95 18,82 4,23 100,00 5. Jakarta Barat 74,62 17,81 7,57 100,00 6. Jakarta Utara 85,81 13,28 0,91 100,00 DKI Jakarta 75,42 10,37 14,21 100,00

Tabel 1.3 Presentase Rumah Tangga Menurut Cara Memperoleh Air Minum DKI Jakarta 2013

(6)

Apabila dibandingkan antar wilayah lain terlihat bahwa kota administrasi Jakarta Utara mempunyai jumlah terbesar rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara membeli, kondisi ini tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun. Hampir seluruh rumah tangga (99,45 persen) di Kota Jakarta Utara pada tahun 2012 memperoleh air minum dengan cara membeli, jumlah ini terdiri dari 86,27 persen membeli tanpa langganan dan sisanya sebanyak 13,18 persen membeli air minum secara langganan.

Hal ini dapat dimaklumi mengingat Kota administrasi Jakarta Utara merupakan wilayah yang paling dekat dengan laut lepas sehingga air tanahnya sudah kurang bersih dan kurang sehat karena sebagian besar air tanahnya sudah terintrusi oleh air laut dan menjadi terasa payau. Akibat kondisi ini sebagian besar rumah tangga memilih untuk mengkonsumsi air ledeng atau air kemasan yang umumnya diperoleh dengan cara membeli.

No. Sumber Air Harga

1. PAM Rp7,025/m³

2. Galon/Isi Ulang Rp5,000/galon = Rp265,000/m³

3. Eceran/Gerobak Rp35,700 - Rp75,000/m³

Masyarakat pada wilayah Jakarta Utara pada umumnya mengandalkan PAM sebagai sumber air utama untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, bila terjadi gangguan, para warga harus membeli air galonan maupun eceran dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan PAM per-m³ nya, seperti yang tertera pada tabel 1.4. Hal seperti ini tentu akan semakin memberatkan warga miskin pada wilayah tersebut.

Berdasarkan Jumlah Rumah Tangga Miskin

Pada faktor jumlah rumah tangga miskin, wilayah Jakarta Utara merupakan jumlah rumah tangga miskin terbanyak kedua setelah kepulauan seribu, dimana pada wilayah ini merupakan wilayah yang mempunyai potensi air paling sedikit dan jumlah terbesar rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara membeli dibandingkan dengan wilayah lain di DKI Jakarta. Terlihat pada tabel 1.5 berikut.

Tabel 1.4 Harga Air per Tahun 2009

(7)

No. Kabupaten/Kota Jumlah Rumah Tangga

Jumlah Rumah

Tangga Miskin Presentase

1. Kepulauan Seribu 5,091 1,737 34% 2. Jakarta Selatan 557,658 47,158 8% 3. Jakarta Timur 717,852 71,463 10% 4. Jakarta Pusat 236,652 31,671 13% 5. Jakarta Barat 643,498 59,599 9% 6. Jakarta Utara 454,149 74,447 16% DKI Jakarta 2,557,287 286,075 11%

Hal yang dapat disimpulkan dari data-data diatas dari mulai letak geografis, kualitas air, tingkat kemiskinan, dan sumber air di setiap wilayah menunjukan bahwa wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah yang paling kesulitan dalam mendapatkan air, dimana potensi sumber air yang sedikit memaksa warga nya yang dominan miskin harus tetap membeli air untuk keperluan sehari-hari.

Hal yang sama juga telah diakui oleh PAM sebagai pemasok utama sumber air di Jakarta Utara, yakni baru 50 % warga Jakarta Utara menikmati air Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Sisanya, walau sudah menggunakan air ledeng, mereka masih membeli per galon. Sejumlah warga di Jakarta Utara malah tidak mungkin menggunakan air sumur karena kawasan mereka telah terintrusi air laut. (sumber : Kompas.com). Menurut Walikota Kotamadya Jakarta Utara, sebenarnya sempat berpikir untuk membuat sumur artesis. Namun, dalam 10 tahun terakhir penurunan tanah di wilayah itu sudah mencapai 80 cm. Memaksakan diri membuat sumur artesis malah akan lebih membahayakan lingkungan.

Krisis air bersih di Jakarta Utara jelas akan makin mempersulit kehidupan warga masyarakat miskin. Survei dari Bank Dunia yang berlabel Livable Cities for the 21st Century menunjukkan, penduduk miskin di Jakarta harus membayar 20 kali lebih mahal dibandingkan dengan penduduk yang kaya.

Tabel 1.5 Jumlah Rumah Tangga dan Rumah Tangga Miskin di DKI Jakarta Tahun 2013

(8)

Lebih spesifik lagi, beberapa daerah di Jakarta Utara yang dinyatakan mengalami kendala distribusi air bersih terparah adalah wilayah di kawasan Ancol, Penjaringan, dan Pluit. (Vivanews.com, 2009).

Wilayah Penjaringan, merupakan salah satu wilayah di Jakarta Utara yang kerap diberitakan mengalami krisis air bersih. Bahkan, berdasarkan wawancara yang telah dihimpun oleh okezone.com, Atikah, warga Rusun Penjaringan, Jakarta Utara mengaku, sudah tidak mengherankan hal tersebut. Air bersih merupakan barang langka di sekitar tempat tinggalnya. "Sudah mati setengah bulan. Di sini sering mati air kok," ujar Atikah. Secara geografis, wilayah Penjaringan berada dekat dengan laut, air sumur tidak bisa diharapkan untuk air minum karena telah terkontaminasi air limbah dan air laut.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan air bersih, penduduk setempat menggunakan berbagai macam cara. Sebagian besar membeli air pergerobak setiap hari, ada yang membeli air galonan, yang lain berlangganan air perpipaan atau biasa disebut air ledeng (PAM), dan beberapa lainnya masih terpaksa menggunakan sumur. Setiap hari orang-orang masih harus merasa kesulitan mendapatkan air bersih.

Warga yang cukup mampu berlangganan air PAM pun tak menjadi lebih mudah mendapatkan air. Seorang ibu rumah tangga di wilayah Penjaringan, Yiyin, mengaku air hanya mengalir antara jam 2 hingga jam 3 malam. Alirannya pun sangat kecil. Dalam satu malam ia hanya bisa mendapat dua ember air bersih. Itupun tiga hari sekali ( KRuHa, 2011).

Gambar 1.2 Sumur Keruh di Penjaringan, Jakarta Utara Sumber : Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), 2011.

(9)

Pengolahan air laut menjadi air bersih atau yang biasa disebut desalinasi air laut sempat menjadi gagasan dalam mengatasi masalah penyediaan air bersih di Penjaringan, Jakarta Utara dikarenakan wilayah ini dekat dengan laut. Prinsip kerja metode ini adalah dengan mendesak air laut melewati membran-membran semi-permeabel untuk menyaring kandungan garamnya. Jenis sistem Reverse Osmosis (RO) merupakan jenis desalinasi yang paling efektif dalam melakukan desalinasi dalam skala besar. Juga dikarenakan biaya pengadaan alat dan maintenance yang dianggap paling ‘murah’. Rincian biaya pengadaan satu unit instalasi “RO Mobile” kapasitas 10.000 liter/hari yaitu seharga Rp645.300.000,- (Sumber : Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan). Dengan kebutuhan listrik 4,72 kilowatt/jam/m³ untuk menghasilkan air bersih dari laut, dan dengan rata-rata tarif listrik Rp1.000,-/kw/m³ maka membutuhkan biaya sekitar Rp4.700,-/kw/jam/m³ (1m³=1000 l). Perakitan modul pun mudah dan tidak membutuhkan ruang banyak.

Namun, sistem RO pun juga memiliki kelemahan. Kelemahan pada proses desalinasi yang menggunakan teknologi RO diantaranya adalah adanya kemungkinan penyumbatan pada selaput membran oleh bakteri, kerak kapur atau fosfat dari air laut. Sistem RO pun juga tidak bisa mengolah air laut yang keruh/kotor. Sehingga, jika penggunaaan bahan baku semacam ini dipaksakan tentu akan berpotensi untuk menyumbat membran. (Republika.com). Dengan keadaan pantai di sekitar wilayah

Gambar 1.3 RO Mobile

(10)

Penjaringan, Jakarta Utara yang relatif kotor dan tercemar sampah, sistem desalinasi ini dianggap tidak cocok. Diantaranya terdapat Pantai Sunda Kelapa, dan Pantai Muara Angke.

Dengan biaya pengadaan alat desalinasi dan biaya operasional yang dianggap terlalu mahal untuk dibebankan kepada penduduk di wilayah Penjaringan yang didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dan mengingat kondisi pantai di sekitar lokasi Penjaringan sudah tercemar, maka sistem desalinasi dianggap tidak cocok diterapkan pada lokasi ini.

Pengolahan kembali air hujan dirasa mampu menjadi solusi dalam mendapatkan sumber air alternatif di wilayah Penjaringan mengingat sulitnya mendapatkan sumber air bersih pada wilayah Penjaringan. Turunnya air hujan yang seharusnya bisa ditampung atau mengisi air tanah yang telah diambil, ternyata justru menjadi air larian ( run off ). Menyusutnya ruang terbuka hijau dan maraknya pembangunan menjadi pemicu meningkatnya air larian (Firdaus, 2011).

Berdasarkan data BPLHD Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, hanya 26,6% air hujan yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4% menjadi air larian yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan.

Gambar 1.4 Kondisi pantai Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Sumber : nationalgeographic.co.id, diakses pada 1 April 2014.

Gambar 1.5 Kondisi pantai Muara Angke, Jakarta Utara. Sumber : VivaNews.co.id, diakses pada 1 April 2014.

(11)

Buruknya upaya memanen air hujan membuat bencana kekeringan di musim kemarau dan banjir saat musim penghujan. Padahal air hujan yang telah tertampung dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, salah satunya yaitu bilas toilet. Dalam kondisi seperti ini, alternatif sumber air seperti pemanfaatan air hujan perlu dipertimbangkan sehingga dapat mengurangi konsumsi air bersih (pottable water) (Zhang et al., 2009).

Maka dari itu, untuk lebih lanjut penulis akan meneliti tentang sistem pemanenan air hujan yang akan diterapkan pada bangunan di daerah Penjaringan, Jakarta Utara.

Latar Belakang Proyek

Jumlah penduduk DKI Jakarta menurut proyeksi Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 adalah 9,9 juta jiwa. Dengan luasan 662,3 km², kepadatan penduduk DKI Jakarta mencapai 14.947 jiwa/km². Seperti yang tertera pada Tabel 1.6, bertambahnya laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta setiap tahunnya ini perlu dicermati karena dapat menimbulkan permasalahan, salah satu nya adalah masalah permukiman.

TAHUN JUMLAH PENDUDUK

( ribu orang ) LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK ( persen ) 1961 2.906,5 6,65 1971 4.546,5 4,58 1980 6.503,4 4,02 1990 8.259,3 2,41 2000 8.385,6 0,14 2010 9.607,8 1,43 2012 9.932,1 1,67

Dari 9,9 juta jiwa penduduk Jakarta, 5 juta penduduk nya tidak memiliki rumah (sumber: Kompas.com, 2012). Mereka umumnya masyarakat berpenghasilan rendah atau penduduk miskin. Berdasarkan penelitian The World Bank di tahun 2003, kurang lebih 20-25% dari penduduk Jakarta tinggal di perkampungan, dimana 4-5% nya tinggal secara ilegal di pinggiran kali, tanah kosong, dan sebagainya. Namun,

Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2012

(12)

permukiman yang ditempati oleh masyarakat berpendapatan rendah biasanya berkualitas buruk. (Hoffman dkk, 1991:181) atau lazimnya berada di permukiman kumuh.

Pertambahan penduduk di kota-kota besar terus meningkat, sementara keterbatasan lahan yang ada mengarah kepada fasilitas hunian masal yang disusun secara vertikal (Aswito, 2004). Penyediaan rumah susun merupakan salah satu solusi untuk menampung penduduk miskin ini. Selain bangunan ini merupakan bangunan resmi, rumah susun juga merupakan solusi yang tepat untuk kota Jakarta yang lahannya sudah semakin sempit.

Penyediaan rumah susun yang sudah digalangkan sejak 1984, sayangnya tidak dibarengi dengan maintenance fasilitas yang baik. Salah satu nya adalah penyediaan fasilitas air bersih. Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, salah satu kriteria perumahan yang layak huni adalah bebas dari polusi dan tersedia akses air bersih. (Surtiani, 2006:41). Namun, hal ini tidak terjadi pada beberapa Rumah Susun yang ada di Jakarta Utara, contohnya Rumah Susun Penjaringan. Pada kasus ini, penyediaan akses air bersih di rusun tersebut kerap terhenti.

Menurut Kartina (50), warga Rusun Penjaringan Blok H, krisisnya air di Rusun Penjaringan ini sudah sering dan sudah terbiasa akan itu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk mencuci, memasak, dan mandi, Kartina pun terpaksa membeli air dari pedagang berkeliling di sekitar tempat tinggalnya. Tagihan air pun juga semakin mahal, tergantung pemakaian. Bisa mencapai Rp24,000,- , Rp70,000,-. Namun, walaupun air mati, tagihan tetap terus berjalan. Aliran air PDAM di Rusun Penjaringan selalu kecil. Warga terpaksa mengumpulkan dana untuk membeli pompa (okezone.com).

Gambar 1.6 Pipa-Pipa Saluran Air pada Rumah Susun Penjaringan. Sumber : Tempo,2014.

(13)

Bukan hanya masalah penyediaan air bersih, keadaan Rumah Susun Penjaringan saat ini sudah dikatakan tua karena berdiri sejak 1988 dan belum pernah mengalami peremajaan. Juga adanya beberapa komponen bangunan tidak memenuhi persyaratan, seperti rapuhnya tangga untuk sirkulasi vertikal, tidak adanya listplank/talang untuk air hujan, luasan hunian yang overloaded yakni masih terdapat unit rusun yang mempunyai luas 18 m², dan dihuni oleh 4-5 anggota keluarga. Rumah susun sebagai bangunan publik yang mengakomodir fungsi tempat tinggal sudah selayaknya diperhatikan kelayakan bangunannya. Sesuai dengan rencana dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Rumah Susun Penjaringan dinyatakan tidak layak dan akan dilakukan peremajaan.

Berdasarkan faktor-faktor diatas, maka di dalam penulisan tugas akhir ini akan dilakukan perancangan peremajaan bangunan Rumah Susun Penjaringan dengan menerapkan sistem pemanenan air hujan.

Keterkaitan Seluruh Latar Belakang

Pada masa kini, begitu banyak rumah-rumah susun yang telah dibangun oleh pemerintah maupun instasi-instasi yang bekerja sama dengan Pemda DKI di wilayah DKI Jakarta. Namun, dilihat dari segi pemeliharaan nya, rumah susun yang telah dibangun kurang diperhatikan keberlangsungannya, khususnya ketersediaan air bersih. Banyak dari sejumlah rusun yang terbangun tidak memiliki sumber air bersih yang berkelanjutan. Sehingga warga harus mencari sumber air bersih lain yang dapat diandalkan. Padahal air merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Arti kata diperbaharui yakni kita dapat mengolah air yang ada disekitar menjadi air yang dapat dipergunakan kembali.

Salah satu jenis air yang dapat dimanfaatkan adalah air hujan. Bukan hanya dapat mengurangi dampak banjir yang mungkin terjadi yang disebabkan oleh kurangnya lahan resapan, tetapi sumber air alternatif ini dapat digunakan sebagai keperluan sehari-hari yang digunakan untuk kebutuhan air baku dan tidak untuk diminum (non pottable water). Hal ini dikarenakan air hujan khususnya yang dekat dengan pantai mengandung toksik logam yaitu plumbum (lead) melebihi garis panduan World Health

(14)

Organization (WHO) (sumber: Kajian Penyelidikan NAHRIM, 2014), maka air hujan yang dipanen akan digunakan untuk membilas toilet saja, sehingga dengan begitu dapat mengurangi konsumsi air bersih (pottable water) yang ada serta tentu saja mampu mengurangi beban ekonomi yang dikeluarkan untuk memperoleh air bersih.

Di sisi lain, penerapan sistem pemanenan air hujan yang diterapkan pada rumah susun Penjaringan ini dianggap cocok dikarenakan dengan penerapannya pada bangunan hunian, sistem ini dipilih untuk diharapkan memenuhi kebutuhan air manusia primer terlebih dahulu yakni kebutuhan air domestik atau kebutuhan air pada rumah tangga.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperlukan suatu sistem yang dapat mengatasi masalah kelangkaan air bersih di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Sistem pemanenan air hujan merupakan solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karena itu, dalam tugas akhir ini, penulis akan melakukan perancangan Rumah Susun Penjaringan dengan menerapkan sistem pemanenan air hujan, sehingga dengan sistem ini, diharapkan mampu menjadi alternatif sumber air untuk bilas toilet para penghuni Rumah Susun Penjaringan, sehingga penggunaan air bersih pada rumah susun ini dapat berkurang.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang didapatkan adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana merancang sistem pemanenan air hujan pada rumah susun Penjaringan agar memenuhi kebutuhan air untuk bilas toilet para penghuni rumah susun Penjaringan, Jakarta Utara?

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang akan diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1. Rumah Susun

Perancangan bangunan rumah susun pada wilayah Penjaringan, Jakarta Utara beserta fasilitas penunjangnya berdasarkan standar dan undang-undang yang telah ditetapkan yang disesuaikan dengan tema dan topik. Variabel yang mempengaruhi : - Penghuni

(15)

2. Sistem Pemanenan Air Hujan

Pembahasan cara pengaplikasian sistem pemanenan air hujan terhadap bangunan rumah susun Penjaringan, Jakarta Utara. Sistem pemanenan air hujan dipilih karena dianggap sebagai solusi yang tepat dalam pengadaan sumber air alternatif pada bangunan rumah susun Penjaringan. Variabel yang mempengaruhi sistem ini adalah sebagai berikut : - Kebutuhan air yang diperlukan

- Curah hujan

- Luasan tangkapan air hujan

- Luasan tangki penampung air hujan

1.4 Tujuan Penelitian

a. Untuk menciptakan sistem pemanenan air hujan pada rumah susun Penjaringan yang mampu memenuhi kebutuhan air untuk bilas toilet para penghuni rumah susun Penjaringan, Jakarta Utara.

1.5 State Of The Art

State of the art berisi jurnal-jurnal yang berkaitan tentang penerapan sistem pemanenan air hujan serta jurnal mengenai pengembangan hunian vertikal rumah susun.

No. Jurnal Penulis Kesimpulan

1.

Teknik Pemanenan Air Hujan ( Rain Water Harvesting) Sebagai Alternatif Upaya

Penyelamatan Sumber Daya Air Di Wilayah DKI Jakarta (2010)

Budi Harsoyo

Penelitian ini menjelaskan tentang

pengaplikasian sistem pemanenan air hujan dan perhitungan jumlah debit air yang dapat dihemat dengan sistem ini. Dan jurnal ini sangat menyarankan sistem PAH sebagai solusi pemecahan terhadap masalah terkait dengan pengelolaan sumberdaya air di daerah perkotaan secara terintegrasi, efektif dan efisien.

2.

Pemanfaatan dan Konservasi Sumber Air dalam Keadaan Darurat (2009)

Seno Adi

Penelitian ini menjelaskan tentang solusi-solusi mendapatkan air bersih dengan memanfaatkan berbagai sumber air yang ada, yaitu air permukaan, air tanah dan air hujan. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai kondisi hidrologi dan hodro geologi setempat sehingga dapat dilakukan upaya penyediaan air secara darurat yang paling tepat dan efisien. Tabel 1.7 State Of The Art

(16)

16 3. Cost-efficiency of rainwater harvesting strategies in dense Mediterranean Neighbourhoods. (2011) Elsevier B.V

Penelitian ini mengevaluasi bahwa strategi yang paling tepat dan hemat biaya adalah sistem panen air hujan (RWH) di lingkungan perkotaan yang padat di Kondisi Mediterania di Spanyol.

4. Pemanenan Air Hujan Sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air Di Perkotaan (2011) Anie Yulistyorini

Penelitian ini menjelaskan tentang solusi-solusi mendapatkan air bersih dengan pemanenan air hujan, beserta sistem dan pengaplikasian nya dalam hunian di wilayah perkotaan.

5. Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan. (2009) Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Sale.

Penelitian ini menjelaskan tentang

pengembangan hunian vertikal di Kota Depok merupakan salah satu alternatif strategi

memenuhi kebutuhan perumahan bagi

masyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), mengurangi backlog, dan mengoptimalkan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Serta analisa pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, air hujan yang sangat melimpah di Indonesia sudah selayaknya dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan air hujan ini terutama sangat bermanfaat di wilayah yang mengalami kekurangan air bersih. Sedangkan di perkotaan, air hujan dapat digunakan agar tinggi permukaan tanah tetap terjaga dan volume limpahan air hujan yang dapat menimbulkan banjir dapat dikurangi. Cara ini merupakan suatu tindakan positif dalam rangka pengelolaan sumber daya air.

Gambar

Tabel 1.1 Neraca Air dan Kebutuhan Air Baku PAM DKI Jakarta 2010-2025
Tabel 1.2 Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum DKI Jakarta 2013
Tabel 1.3 Presentase Rumah Tangga Menurut Cara Memperoleh Air Minum  DKI Jakarta 2013
Tabel 1.5 Jumlah Rumah Tangga dan Rumah Tangga Miskin di DKI Jakarta  Tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah Safety Valve (katup pengaman) adalah mekanisme katup untuk melepas suatu fluida secara otomatis dari HRSG, bejana tekanan, atau sistem lain ketika tekanan atau

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus

Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan visi adalah suatu pandangan jauh tentang perusahaan, tujuan-tujuan perusahaan dan apa yang harus dilakukan untuk

Metode yang digunakan dalam penelitian, selain melakukan pengamatan gerakan dan pergeseran jembatan dengan menggunakan GPS, maka pada saat yang bersamaan dari pengamatan

Logo merupakan lambang yang dapat memasuki alam pikiran/suatu penerapan image yang secara tepat dipikiran pembaca ketika nama produk tersebut disebutkan (dibaca),

Bagian ini mengemukakan apa saja tugas dan fungsi PERANGKAT DAERAH yang terkait dengan visi, misi, serta program kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Selanjutnya