• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Indigenousasi Ilmu ilmu Sosial di (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review Indigenousasi Ilmu ilmu Sosial di (2)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

oleh:

NUR HESTININGSIH, S.E. NIM 12705259001

Ditulis untuk memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Filsafat Ilmu Semester Gasal Tahun Ajaran 2012/2013

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PROGRAM PASCASARJANA – UNY

(2)

I. PENGANTAR

Ketika membaca buku “Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia” sungguh merupakan hal yang berat bagi saya. Tantangan awal adalah ketika menemukan kata-kata asing yang belum pernah saya dengar antara lain “indigenousasi” dan “prophetic education”. Di dalam pengantar buku tersebut, tidak saya temukan definisinya yang akan mengarahkan pemikiran saya ketika membaca kelanjutannya.

Tetapi hal ini saya maklumi sebagai akibat dari keterbatasan saya yang sama sekali tidak pernah berada dalam lingkungan akademik dengan pembahasan yang falsafati. Tentu saja, menurut saya buku ini memang ditujukan bagi kaum akademik yang telah familiar dengan istilah tersebut. Sangat dimungkinkan, penulis sudah menganggap bahwa pembaca pasti mengerti dengan maksud penggunaan istilah-istilah tersebut.

Yang menarik dari judul buku ini adalah “Sebuah Gugatan atas Penjajahan Akademik”. Jadi, apakah yang menjadi penyebab bahwa kita selama ini ternyata mengalami penjajahan akademik? Sejak kapan kesadaran tersebut muncul dan apa yang harus dilakukan sebagai pihak terjajah? Judul ini cukup mendorong saya untuk terus membaca demi mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Tulisan ini bermaksud mereview buku tersebut meskipun review saya adalah review yang masih dangkal. Keawaman saya terhadap materi mungkin akan menyebabkan ketidakcocokan pemahaman dengan maksud sang penulis. Saya telah berusaha menambah literatur dengan membaca makalah Bapak Nasiwan dan Grendi Hendrastomo berjudul “Prophetic Political Education” dan juga tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra tentang Paradigma Propheticnya Kuntowijoyo.

(3)

sekedar pengalaman mereview sebuah buku yang bermutu. Harapan kami, review ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

II. TENTANG BUKU

Buku “Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial di Indonesia Sebuah Gugatan atas Penjajahan Akademik” merupakan kumpulan tulisan yang berasal dari hasil diskusi FISTRANS (Forum Ilmu Sosial Transformatif) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (FIS UNY). Prof. Dr. Ajat Sudrajat dalam sambutannya mengatakan bahwa forum ini diadakan setiap bulan dengan mendatangkan para ilmuwan sosial baik di lingkungan FIS UNY maupun dari luar dengan berbagai gagasan ataupun solusi-solusi terhadap permasalahan terkait dengan ilmu sosial dalam upaya untuk membumikan ilmu sosial.

Prof. Dr. Ajat Sudrajat, Dekan FIS UNY, juga mengatakan bahwa buku ini merupakan wujud usaha ilmuwan sosial untuk mengembangkan ilmu sosial yang bercorak ke-Indonesiaan sehingga akan melahirkan sebuah teori, konsep, keilmuan sosial yang mampu menjadi acuan penyelenggaraan Pendidikan Ilmu Sosial yang bercorak Indonesia.

Ketua FISTRANS, Nasiwan, dalam pengantarnya mengatakan bahwa kondisi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Asia telah sangat lama dalam pengaruh dominasi ilmu-ilmu sosial Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan dilukiskan bahwa perkembangan ilmu sosial di Asia berada dalam kondisi ketergantungan (captive mind) dengan ilmu-ilmu sosial Barat. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan ilmuwan-ilmuwan non Barat antara lain Ismail Raji Al Faruqi dan Naquib Al-Attas. Juga ilmuwan Indonesia seperti Prof. Selo Sumarjan dan Prof. Kuntowijoyo.

(4)

mampu menjelaskan fenomena sosial, namun juga mentransformasikan fenomena sosial tersebut, memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan untuk apa dan oleh siapa?

Solusi untuk mengatasi kemandekan tersebut diantaranya adalah membangun diskursus alternatif di luar diskursus ilmu-ilmu sosial Barat. Dari sinilah munculnya gagasan-gagasan kritis Indigenousasi, Islamisasi ilmu-ilmu sosial dan Ilmu Sosial Prophetic (ISP). ISP digagas pertama kalinya oleh Prof. Kuntowijoyo. Buku ini merupakan salah satu wujud dari ikhtiar untuk membangun teori-teori sosial dengan perspektif alternatif tentang berbagai dimensi ilmu sosial di Indonesia. Sungguh merupakan usaha yang patut mendapatkan apresiasi yang positif dan perlu terus didorong agar dapat memberikan kemanfaatan yang luas bagi bangsa Indonesia.

Buku ini terdiri atas 11 tulisan hasil dari diskusi FISTRANS yang terbagi dalam 3 Bab. Bab 1 membahas tentang teori dan konsep ilmu sosial khususnya yang terkait dengan gagasan perlunya melakukan proses indigenousasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah gugatan dan kritikan terhadap kemandekan kalangan akademisi di universitas. Bab 2 membahas tentang pendekatan dan metodologi. Bab ini mengandung pembahasan penting tentang usaha untuk menemukan pendekatan dalam studi ilmu sosial yang lebih cocok untuk memahami fenomena sosial di Indonesia. Bab 3 berisi tentang kasus dan fenomena sosial di Indonesia. Pada bagian ini terdapat contoh bagaimana menggunakan teori-teori ilmu sosial yang berbasis pada kearifan lokal dan masyarakat yang multikultural, serta upaya untuk melakukan teoritisasi pendidikan politk yang berbasis pada kondisi masyarakat Indonesia. Ditinjau dari isinya, pembagian ini didasarkan menurut kajian filsafat yaitu tentang Ontologi (Bab 1), Epistemologi (Bab 2) dan Axiologi (Bab 3).

(5)

Pengertian istilah indigenousasi justru saya temukan pada tulisan Yanuardi di halaman 23. Dikatakan menurut Syed Farid Alatas, masyarakat Dunia Ketiga perlu didorong untuk mengembangkan pengetahuan menurut sudut pandangnya sendiri (nativisme). Indigenousasi merupakan istilah terhadap upaya untuk mengangkat sudut pandang native dalam pengembangan ilmu sosial.

Kemudian dalam tulisan Purwo Santoso di halaman 79 disebutkan bahwa gerakan-gerakan keilmuan tersebut menggunakan jargon yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah pribumisasi atau indigenousasi ilmu sosial, ada pula yang menggulirkan ilmu profetik, ilmu sosial nusantara, dekolonialisasi riset dan sebagainya.

IV. STAGNASI ILMU SOSIAL DAN HARAPAN KEPADA KALANGAN AKADEMISI

Buku ini memberikan angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih membumi. Kaum pendidik adalah orang-orang yang ditunjuk dalam buku ini untuk dapat mentransformasi ilmu-ilmu dan bukan hanya sekedar copy paste dari ilmu-ilmu Barat. Stagnasi ilmu sosial dikritisi karena kalangan pendidik banyak yang belum memiliki keyakinan diri dan masih mengalami xenophilia. Dalam bab 1, tulisan lebih banyak menyoroti peran universitas yang tumpul dan perlunya diskursus-diskursus ilmiah di luar universitas.

(6)

yang diciptakan oleh orang-orang dalam kelompok-kelompok di mana ciri-ciri sosiologis kelompok tersebut menentukan isi dan bentuk pengetahuan.

Peran universitas juga disampaikan oleh Cholisin yang berpendapat bahwa universitas sebagai produsen ilmu pengetahuan harus mengurangi perannya sebagai konsumen (ilmu-ilmu Barat) yang selama ini lebih mendominasi. Ilmu pengetahuan yang diproduksi tidak seharusnya bebas nilai (value free) – menurut klaim Barat – tetapi berdasarkan nilai dan kepentingan (atau ideologi) yang dianut bangsa Indonesia (value based). Cholisin mengambil contoh kemajuan Korea Selatan karena mereka memiliki nilai-nilai pribuminya. Indonesia sendiri memiliki nilai-nilai-nilai-nilai pribumi yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang dapat dikembangkan dengan kombinasi berbagai pendekatan yaitu transformatif – emansipasi, kritis, dan obyektif yang rasional.

Ketiga tulisan pada Bab 1, kiranya menggantungkan harapan perubahan sosial Dunia Ketiga kepada kaum akademisi dan universitas. Peran tersebut yang secara skeptis oleh Cahyo dikatakan telah didominasi kepentingan kekuasan dan kapital maka perlu melibatkan juga peran masyarakat di luar universitas. Untuk itu, akademisi hendaknya lebih memperbanyak dialektika dengan ormas-ormas di Indonesia misalnya NU dan Muhammadiyah yang betul-betul menangani masalah sosial pada tingkat grassroot. Menanggapi Cholisin, dalam hal menggali nilai-nilai asli Indonesia maka hendaknya lebih dipikirkan lagi bagaimana cara memantapkan kembali ideologi Pancasila dan UUD 1945 sehingga menjadi sebuah fondasi yang dapat diterima seluruh rakyat sehingga kokoh bagi sebuah bangunan. Sementara konter kita terhadap orientalisme tentunya bergantung kepada kemampuan kita mengkritisi ilmu dan kepekaan menangkap fenomena. Juga bergantung kepada keyakinan bahwa kita mampu untuk membuat teori-teori sendiri yang lebih memiliki kemungkinan untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial kita.

(7)

Bab 2 terdiri atas 3 tulisan yaitu tentang teori pembangunan, analisis kontekstual dan pandangan baru institusi di Indonesia. Ketiganya mencerminkan usaha untuk menemukan pendekatan dalam studi ilmu sosial yang lebih cocok untuk memahami fenomena sosial di Indonesia. Membaca tulisan tentang teori pembangunan yang indigenous – oleh Yanuardi – sejauh pemahaman saya, belum bisa didapatkan gambaran yang jelas tentang bagaimana cara ilmu-ilmu sosial yang indigenous itu terlahir, karena baru berupa wacana. Bagaimana metodenya, kemudian dasar-dasar nilai pribumi mana yang hendak diambil belum dikupas. Mengingat Indonesia mempunyai beragam kultur yang berbeda di setiap daerah. Bila dikembalikan kepada nilai universal ke-Indonesia-an tentu harus berpegang kepada Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, metode yang diambil tentu saja harus memiliki dasar fondasi yang kuat misalnya Pancasila. Pada prinsipnya saya mendukung indigenous dan menaruh harapan akan lebih baiknya Indonesia dengan itu. Namun, mungkin pada terbitan mendatang sudah muncul tulisan yang lebih lengkap tentang metodologi terhadap ide indigenousasi ilmu sosial di Indonesia.

Dalam tulisan kedua, Pembudayaan Analisis Kontekstual di Indonesia, Purwo Santoso justru memperlihatkan bahwa universitas belum sepenuhnya dapat melaksanakan dharma penelitian, menjadi world class research yang berperan sebagai driving force bagi kegiatan komunitas keilmuan di dalamnya. Kelemahan lain adalah proses pengajaran sosial belum cukup dikaitkan dengan konteks Indonesia. Contohnya dalam pengajaran tentang good governance belum banyak yang menyadari bahwa penjabaran konsep tersebut adalah penjabaran pemerintah liberal. Menurut saya, pendapat ini cukup penting karena ternyata banyak kebijakan-kebijakan yang dijalankan merupakan produk dari faham-faham Barat yang tidak selalu sesuai bagi konteks ke-Indonesia-an.

(8)

yang menganggap perilaku individu bersifat otonom dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Pendekatan baru yang muncul adalah berdasarkan kenyataan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh institusi. Sedangkan institusi sendiri diciptakan untuk menjaga struktur dalam masyarakat. Maka, untuk menghasilkan institusi yang baik, struktur harus diisi dengan individu-individu yang berkompeten dan berpihak kepada masyarakat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang paling penting adalah membangun individu itu sendiri. Ini merupakan salah satu sudut pandang dalam epistemologi indigenous yang menyatakan pentingnya komponen individu yang memiliki nilai moral dan kognisi.

VI. TINJAUAN ILMU-ILMU SOSIAL YANG INDIGENOUS

Tulisan Zulkarnain berjudul Konsepsi Negara Dalam Perspektif Historis memperlihatkan pendapat-pendapat ilmuwan Indonesia seperti Koentjaraningrat, Kansil dan juga Moh. Hatta tentang kenegaraan. Bahkan Hatta memiliki pandangan integralistik yang berbeda dengan pandangan integralistik Jerman. Hastuti berbicara tentang Pembelajaran Geografi. Pendapat Hastuti bahwa pembelajaran geografi seharusnya mampu menumbuhkan rasa cinta tanah air dan harapannya tentang pengembangan pembelajaran geografi yang “Indonesia banget” merupakan ide yang patut dikembangkan.

(9)

Tulisan Nasiwan berjudul Memperkuat Indonesia Baru melalui Pendidikan Politik menunjukkan kesalahan kebijakan pembangunan pendidikan, kebijakan ekonomi, prioritas pembangunan dan persoalan moralitas mengakar pada persoalan mendasar tentang bangunan politik Indonesia yang belum mantap (floating-state). Nasiwan menyoroti bahwa hal ini diakibatkan karena bangunan politik Indonesia sebagai nation-state belum mendapatkan dukungan dari mayoritas unsur bangsa Indonesia. Buktinya adalah munculnya GAM, gejolak Riau, OPM yang dinilai menunjukkan masih adanya resistensi terhadap negara Indonesia.

Nasiwan menjelaskan secara teoritis mengapa Indonesia termasuk sebagai negara mengambang (floating State), bagaimana cara pendekatan untuk konstruk struktur politik Indonesia, dilema yang dihadapi, dan bagaimana karakter bangunan politik Indonesia Baru. Kemudian dijelaskan pula perlunya merefleksikan nilai-nilai religius ke dalam model pendidikan politik yaitu usul untuk memadukan aspirasi masyarakat yang religius dan dinamika global. Ini adalah ikhtiar yang perlu mendapat dukungan luas demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Referensi

Dokumen terkait

Perusahaan yang sahamnya aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2010-2013... HASIL

APLIKASI KARAKTER MONSTER DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK CROCHET PADA PRODUK TAS REMAJA PUTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

Tas ini berbentuk sederhana dan simpel hanya ditambahkan dengan boneka-boneka monster, warna-warna yang dipilih juga warna-warna yang cerah sehingga cocok digunakan untuk

Adam, W. Boneka & Aksesori Rajut Anak. Jakarta: Kriya Pustaka. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur Organisasi Penguatan kelembagaan Pemerintah Kampung Tualang Baro telah terbentuk dan berjalan sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Seni

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. Sari