35
WANITA KARIR PERSPEKTIF MUBĀDALAH A. Hak dan Kewajiban Suami Istri
1. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Islam
Perkawinan dapat menimbulkan berbagai hak dan kewajiban antara suami istri, sebagai pelaksanaan bagi prinsip keseimbangan, kesetaraan,
dan persamaan berbagai pihak yang melaksanakan akad.1 Dengan adanya
suatu perkawinan, maka seorang suami memperoleh berbagai hak begitupun seorang wanita yang mengikatkan diri menjadi istri dalam suatu
perkawinan memperoleh berbagai hak pula.2 Di samping itu, mereka pun
memikul kewajiban-kewajiban sebagai implikasi perkawinan.3
Ahmad Tholabi Kharlie memaparkan terkait hak dan kewajiban
suami istri yang memiliki dua pandangan mengemuka.4 Pandangan yang
pertama merupakan pandangan tradisional seperti halnya yang ada dalam kitab-kitab klasik, sementara pandangan kedua, lebih diwarnai oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang semakin hari semakin
mementingkan hak-hak perempuan.5 Salah satu contoh tentang konsepsi
perempuan yang terkategori dalam pandangan tradisional adalah sebagaimana yang diuraikan Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya
‘Uqud al-Lujjayn. Dalam kitab ini dia menjelaskan secara gamblang
tentang hak dan kewajiban suami-istri dalam Islam.6
1 Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu: Pernikahan, Talak, Khulu, Meng-illa’
Istri, LI’an, Zhihar, Masa Idah, Penerjemah Abdul Illayyieal-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani,
2011), 294.
2 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 2014), cet.5, 73. 3 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63. Lihat juga pada Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, 73.
4 Para pemikir yang berusaha mengaitkan tradisi islam dengan konteks saat ini seringkali
mengkritik dan mereformasi pemahaman yang selama ini diyakini sebagai doktrin Islam, terutama fikih yang cenderung patriarki. Lihat Heidah Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam. Penerjemah M. Maufur , 53; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
5 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
6 Teks diambil dari terjemahan Forum Kajian Kitab Kuning. Lihat, Sinta Nuriyah, dkk.,
Menurut Nawawi, kewajiban suami terhadap istrinya adalah berlaku adil dalam mengatur waktu untuk para istri jika ia berpoligami, memberi nafkah, dan lemah lembut dalam berbicara dengan mereka. Tak hanya itu, suami pun wajib memberikan kasih sayang kepada istrinya. Tentu saja, konsepsi yang diberikan oleh Nawawi ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, kewajiban ini muncul karena suami telah memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya, lalu perempuan pun pada hakikatnya lemah dan membutuhkan perlindungan, serta perempuan yang telah bersuami,
maka dia telah terkurung dalam penjara suami.7
Adapun tentang kewajiban istri terhadap suami yang telah disebutkan oleh Nawawi adalah menaati suami, melaksanakan kewajiban ketika suami tidak berada di rumah, menjaga kehormatan, serta
memelihara rahasia dan harta suami sesuai dengan ketentuan Allah SWT.8
Selain itu, Sayyid Sabiq juga menguraikan tentang hak dan
kewajiban suami-istri.9 Kewajiban timbal balik antara suami istri, yaitu:
(1) saling memberikan kenikmatan (al-istimta’) satu sama lain dengan pergaulan yang baik; (2) keharaman karena mushaharah; (3) adanya hak saling mewarisi; (4) ketetapan nasab bagi anak-anak; (5) pergaulan yang baik. Sedangkan hak yang melekat pada istri, terbagi atas dua hal: Pertama, hak yang bersifat materi, yaitu mahar dan nafkah hidup; dan kedua, hak yang bersifat imateri, misalnya hak untuk mendapatkan keadilan di antara para istri jika suami tersebut melakukan poligami atau
hak istri untuk tidak dipaksa menikah.10 Sementara hak suami terhadap
istri menurutnya adalah ketaatan istri dalam hal yang tidak mengandung
didasarkan pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, dalam Jami’ Shahih Sunan
al-Tirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, juz III, 466; Lihat, Muhammad bin Zayid ibn ‘Abd
Allah, Sunan Ibn Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, juz I, 591. Hadis nomor 1851; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249.
7 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 249 8
Sinta Nuriyah, dkk., Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, 47. Nawawi mendasarkan pendapatnya ini pada satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai. Namun, menurut Abu Daud, Hadis ini dhaif. Lihat Sulaiman bin Ays’ats Abu Daud al-Sijistani al-Azdy, Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, tth), tahqiq Muhammad Muhyiuddin Abdul Hamid, juz I, 522, hadis nomor 1664,
9
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat, Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga
Indonesia, 250.
10 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 135; Lihat juga pada Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum
maksiat, menjaganya baik diri atau hartanya, dan diberikan senyuman oleh istri.11
Hal ini juga ditegaskan baik dalam Al-Qur’an12 maupun hadis Rasul.
Al-Qur’an menjelaskan mengenai kewajiban suami-istri yakni (a) saling
menghormati dan menjaga rahasia satu sama lain,13 (b) pergaulan dengan
cara yang makruf,14 (c) suami adalah kepala keluarga,15 (d) istri wajib
11 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, 250. 12 QS. An-Nisa [4]: 19, ….
Allah berfirman a)... b)“Hai suami janganlah kamu mencari-cari kesalahan istri kamu
itu dengan maksud hendak mengambil sesuatu harta benda yang telah pernah kamu berikan kepadanya”. Kemudian c) “Hai suami, bergaulah kamu dengan istri kamu secara pergaulan yang makruf (baik-baik). Lalu d) “Seandainya kamu telah merasa tidak senang kepada istri kamu itu, hendaklah kamu sadari bahwa boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu hal sedangkan Allah menjadikan sesuatu hal tersebut kebaikan yang banyak”. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. V, 63.
13
Demikian pula kita temui pernyataan-pernyataan kemarahan Tuhan kepada suami istri yang saling membuka rahasia mereka masing-masing kepada pihak ketiga, yang dijelaskan oleh Rasul dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Sabda Rasul “Bahwa sesungguhnya di
antara yang paling dimarahi Tuhan nanti di hari kiamat (akhirat), (yaumil mahsyar), ialah seorang suami yang diberi tahu oleh istrinya tentang rahasia istri itu, sedangkan oleh suami tadi rahasia itu disiarkannya”. Begitupun seorang istri yang diberi tahu oleh suaminya tentang rahasia
suami itu, kemudian oleh istri itu dibukakannya kepada pihak lain; Lihat Sulaiman Rasyid, Fiqh
Islam, 365; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 64.
14
Istilah makruf tersebut adalah istilah pokok yang dipakai untuk menerangkan itikad baik dalam suatu kejujuran (tergoeder trouw) atau sebagai ayah yang baik (the good father), yang biasa kita temui dalam istilah Hukum Perdata baik mengenai hubungan orang dengan orang maupun mengenai orang dengan orang di mana tersangkut di dalamnya benda (harta kekayaan). Dalam pengertian makruf (baik-baik) ialah antara suami istri harus saling menghormati dan wajib menjaga rahasia masing-masing, dikatakan wajib karena haram hukumnya bagi suami membuka rahasia istrinya, demikian pula sebaliknya haram bagi si istri membuka rahasia suaminya. Dan amat terpuji suami istri yang menjaga rahasia mereka masing-masing, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa [4] : 34 a) Mengenai musyrik, b) hak suami menghukum istri yang nusyuz, lalu c) istri yang baik-baik ialah istri yang tunduk kepada Tuhan dan memelihara rumah tangganya dan rahasia suami serta rahasia keluarganya; Sayuti Thalib, Kuliah Hukum Islam II pada Fakultas Hukum UI Jakarta 1979/1980, 50; Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, 51; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 63-64.
15 Dalam hubungan suami istri, kita temui dalam QS. An-Nisa [4]: 34, secara garis
hukum: a)..., b)..., c)..., d) suami adalah kepala keluarga didasarkan kepada kelebihan tubuh
(fisik) yang diberikan Tuhan kepadanya dan berdasarkan ketentuan Tuhan bahwa suami berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga; Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta: PT Bumi Restu, 1978), 644; Lihat juga pada Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengurus rumah tangga dan memelihara anak-anak,16 (e) suami wajib
dalam memberikan nafkah.17 Dan berikut merupakan hak-hak dan
kewajiban suami istri dalam hukum Islam pada umumnya: a. Hak-hak Istri
Hak istri merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Hak-hak istri pun terbagi menjadi dua macam hak yakni hak-hak materi dan non-materi, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Hak-hak Materi
Hak istri terhadap suaminya seperti hak materi atau juga yang
dikenal sebagai hak kebendaan, seperti mahar dan nafkah,18
a) Mahar
Mahar atau dalam istilah lainnya mas kawin merupakan salah satu hak yang harus diberikan suami kepada istrinya. Hal ini sebagaimana yang juga disebutkan oleh ulama fikih bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah harta yang wajib
16 Pengurusan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak sehari-hari menjadi kewajiban
istri berdasarkan hadis Rasul yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, bahwa “Bahwa istri adalah
penanggung jawab dalam rumah tangga suami istri yang bersangkutan”; Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, 367.; Lihat pula Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 66-67.
17 Kelebihan fisik laki-laki dari wanita dilihat dari kenyataan. Karena kelebihan fisik ini
maka suami diberi kewajiban untuk memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya seperti ditegaskan Tuhan dalam QS. At-Talaq [65]: 6,
(a) berilah tempat istrimu itu di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupan kamu, (b)
dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dari surat ini
terlihatlah ketentuan agar dalam menentukan tempat tinggal dipakai cara semacam patrilokal. Patrilokal disini adalah semacam patrilokal dalam arti si istri bertempat tinggal di tempat suami bukan berarti bertempat tinggal di tempat keluarga si suami dan pindah menjadi keluarga dari keluarga suami. Menurut Hazairin, patrilokal dalam Islam ialah patrilokal dalam arti si iatri wajib mengikuti suami. Jadi, perintah dalam surat tersebut ditujukan kepada suami untuk memberi tempat tinggal kepada istri dan tempat tinggal itu bersama suami sendiri. Namun demikian janganlah penentuan tempat tinggal oleh suami itu memberatkan istrinya. Begitupun si istri harus melihat kemampuan suami mengenai tempat tinggal ini. Jadi, sebaiknya haruslah persetujuan kedua belah pihak antara suami dan istri. Lihat Tim Penerjemah Departemen Agama, Al-Qur’an
dan Terjemahan, 946; Lihat juga pada Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis darim Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, 67.
18 Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim
diberikan oleh seorang lelaki kepada perempuan karena
pernikahan atau persetubuhan.19 Hal ini berdasarkan pada:
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan..” (QS. An-Nisa [4]: 4).20 b) Nafkah
Menurut bahasa nafkah berasal dari kata Arab ”infaq” artinya membelanjakan. Sementara nafakah berasal dari kata
nafakah, yang berarti nafkah barang yang dibelanjakan.21
Adapun secara terminologi terdapat beberapa rumusan. Menurut Imam Syafi’i, nafkah adalah pemberian yang harus dilakukan seorang suami untuk istrinya dengan ketentuan bila suami termasuk golongan miskin maka ia hanya wajib memberi nafkah satu mudd, bila termasuk golongan menengah, maka wajib memberi nafkah 1,5 mudd, sebaliknya bila kondisinya termasuk orang yang mampu maka mampu memberi nafkah 2
mudd.22
Menurut Sayyid Sabiq, nafkah itu seperti memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan
juga pengobatan istri jika ia seorang yang kaya.23
Sedangkan menurut Djamaan Nur, nafkah merupakan sesuatu yang diberikan oleh seseorang suami kepada istri,
19 Kifayatul Akhyar, Karya Tqiyuddin Muhammad Al-Husni, Juz 2, 37. Lihat juga pada
Muhammad Ra’fat ‘Utsman, Fikih Khitbah dan Nikah (Depok: Fathan Media Prima, 2017), 127.
20
Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid (Bandung: Sygma Media Inovasi, 2014), 77.
21
Abdul bin Nuh, ed.an., Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Mutiara, 1983), 254.
22
Al-imam abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5 (Jakarta: Faizan, t.th), 95.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib, Juz 7 (Bandung: Al Ma’arif, 1996), cet.12, 1273.
kerabat, dan kepada miliknya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka yang berupa makanan, pakaian dan tempat
tinggal.24 Hal ini juga serupa dengan yang dinyatakan oleh
Zakiah Daradjat.25
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, yang dimaksud dengan nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan
untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.26
Tak hanya itu, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid pun dijelaskan bahwasanya para ulama sepakat seorang istri berhak untuk mendapatkan nafkah dan hak pakaian yang dibebankan
kepada suami. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT:27
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu (dari anak-anaknya) dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah [2]: 233).
Selain itu, Nabi juga pernah ditanya oleh Hindun ra terkait boleh tidaknya dalam mencuri harta suaminya, (mengingat suaminya tak pernah memberi nafkah terhadapnya). Lalu beliau pun menjawab: “Ambillah harta (milik suamimu)
untuk mencukupimu dan anakmu.”
Perihal kewajiban nafkah, mayoritas ulama sepakat atas hal tersebut. Hanya saja, mereka berselisih pendapat tentang empat masalah, yakni tentang waktu kewajiban memberi nafkah, tentang besarannya, tentang orang yang berhak
24
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Toha Putra, cet. I, 1993), hlm. 101
25
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, 141
26
Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 1281
27 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, Penerjemah Imam
menerimanya, dan tentang orang yang wajib
mengeluarkannya.28
Adapun terkait waktu kewajiban nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa suami tidak wajib memberi nafkah sampai ia berhubungan badan dengan istri atau mengajak istrinya untuk berhubungan badan dan saat itu istri termasuk kepada perempuan yang bisa disetubuhi (sudah dewasa). Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i juga berkata meski suami belum dewasa ia tetap wajib memberi nafkah jika istrinya adalah orang dewasa. Sementara jika suaminya dewasa sedangkan istri masih anak kecil maka Imam Syafi’i mempunyai dua qoul (pendapat) yakni, pendapat pertama seperti qoul Imam Malik dan pendapat kedua suami tetap harus membayar nafkah. Alasan dari perbedaan pendapat mereka adalah karena perbedaan alasan wajibnya nafkah. Apakah nafkah wajib karena bisa berhubungan badan atau karena istri yang waktunya tercurahkan untuk suami (sehingga meskipun tidak bisa berhubungan badan, suami tetap wajib memberi nafkah)
seperti orang yang sedang ditinggal pergi atau sakit.29
Adapun terkait ukuran nafkah, menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tidak ada ukuran pasti dalam nafkah, hal tersebut dikembalikan pada keadaan pasangan suami istri, dan tentu saja menyesuaikan tempat, waktu dan keadaan. Sedang menurut Imam Syafi’i nafkah itu memiliki ukuran pasti di mana bagi
suami yang kaya harus memberi makanan pokok dua mud,30
lalu jika suami miskin maka harus memberi nafkah satu mud, sedangkan apabila suami merupakan orang-orang menengah, maka nafkahnya adalah minimal 1,5 mud. Sebab perbedaan pendapat mereka adalah perbedaan dalam memandang apakah
28
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, penerjemah Abdul Rasyad Shiddiq (Jakarta: Akbarmedia, 2015), cet.5, 140.
29 Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519. 30
nafkah disamakan dengan membayar kafarah atau disamakan dengan nafkah pakaian. Jika disamakan dengan kafarah maka ukurannya pasti. Sedangkan nafkah pakaian seluruh ulama
sepakat tidak dibatasi (sesuai kebutuhan).31
2) Hak-hak Rohaniah atau Non Materi
Hak-hak rohaniah32 atau hak-hak non materi yang dimaksud
dalam hal ini adalah seperti hubungan baik atau mendapat
perlakuan yang baik dari suami,33 adil di antara para istri jika
suami memiliki istri lebih dari satu (berpoligami), tidak melakukan
tindakan yang membahayakan istri,34 suami melindungi istri dan
anak-anaknya dari segala sesuatu yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan sebagaimana suami berkewajiban memberi tempat kediaman, lalu suami juga harus memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, dan berkewajiban untuk menggauli istrinya
dengan cara yang baik dan benar.35
Para ulama sepakat bahwa salah satu hak istri adalah diperlakukan adil dalam mendapatkan jatah giliran jika ia berpoligami. Alasannya karena Rasulullah selalu adil dalam memberikan jatah giliran terhadap istri-istrinya.
Beliau juga pernah bersabda: jika seorang lelaki punya dua
istri kemudian dia condong (pilih kasih) terhadap salah satu istrinya maka dia akan bangkit di hari kiamat dalam keadaan condong (miring) sebelah badannya. Diriwayatkan juga: Jika
Rasulullah akan bepergian beliau selalu mengundi (siapa yang akan beliau ajak pergi). Namun para ulama berbeda pendapat
31 Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid,
519-520.
32 Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
68.
33 Wahbah Az Zuhaili, Fikih Islam wa Adillatuhu, 294. Lihat juga pada Huzaenah Tahido
Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), 72.
34
Sulaiman Al Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah: Sayyid Sabiq (Jakarta: Beirut, 2017), cet-3, 495.
35 Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
berapa lama suami boleh menetap di kediaman istri barunya, baik istri baru tersebut gadis atau janda, dan apakah (waktu yang dihabiskan bersama istri baru tersebut) dihitung sebagai jatah giliran atau tidak. Imam Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa suami boleh menetap selama tujuh hari jika istri barunya adalah gadis, tiga hari jika janda, dan tidak masuk hitungan jatah giliran (sehingga tidak perlu mengqodho’ jatah istri yang lain). Imam Abi Hanifah pun berpendapat, baik istri baru tersebut gadis ataupun janda, maka hukumnya adalah sama. Waktu menetap pun masuk
hitungan jatah giliran jika ia punya istri lain.36
Hak-hak istri terhadap suami yang lain sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikh Ibnu Fauzan bahwasanya suami tidak berhak melarang kedua orang tua istrinya untuk mengunjungi istrinya di rumah sang suami, kecuali jika ia khawatir dari kedua orang tuanya itu mudarat yang dapat merusak sikap istrinya terhadapnya karena kunjungan mereka, maka sang suami berhak
melarangnya.37
b. Hak-Hak Suami
Istri berkewajiban untuk melayani kebutuhan suaminya secara lahir maupun batinnya, menjaga nama baik dan kehormatan suami serta harta bendanya, dan mengabdi dengan taat pada ajaran agama dan kepemimpinan suami sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Suami sebagai kepala keluarga yang berkewajiban membiayai semua kebutuhan rumah tangganya pun memiliki hak untuk mengatur dengan baik terhadap masalah-masalah yang dialami oleh keluarganya
dengan cara bermusyawarah.38
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, dijelaskan bahwa hak suami yang menjadi kewajiban istri adalah seperti menyusui dan mengurus
36 Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 519. 37
Khalid al-Husainan, Fikih Wanita: Menjawab 1001 Problematika Wanita (Jakarta: Darul Haq, 2018), cet.x, 184.
38 Boedi Abdullah dan Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Perceraian Keluarga Muslim,
rumah, maka ulama juga berbeda pendapat. Sebagiannya, ada yang mewajibkan istri menyusui anaknya dan sebagian lain mengatakan bahwa istri tidak wajib menyusui. Ada juga yang berpendapat jika istri orang biasa-biasa saja wajib menyusui dan jika istri termasuk orang yang mulia (punya derajat tinggi) maka tidak wajib menyusui kecuali jika anaknya tidak mau selain kepadanya. Dan pendapat ini adalah pendapat masyhur Imam Malik. Sebab perbedaan pendapat ini berasal dari pemahaman terhadap ayat radha’ (tentang menyusui) dalam Al-Qur’an. Apakah ayat tersebut mewajibkan ibu menyusui atau hanya menyuruh saja yang tak bersifat wajib. Yang menafsiri ayat tersebut hanya perintah (non wajib), mengatakan bahwa menyusui bukan kewajiban seorang ibu. Dan ulama yang menafsiri ayat tersebut sebagai perintah wajib, maka wajib bagi ibu menyusui anaknya. Adapun ulama yang membedakan antara perempuan biasa dan
perempuan mulia maka beliau melihat adat arab zaman dahulu.39
2. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Hukum Positif
a. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)40 Di dalam KUH Perdata (BW) yang dahulu hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing Cina tentang Hak-hak dan Kewajiban suami dan istri diatut dalam bab kelima Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur tentang hak dan
kewajiban suami istri dalam pasal 103-118, yakni:41
Pasal 103
Suami dan istri, mereka harus setia-mensetiai, tolong-menolong,
dan bantu-membantu.42
39 Lihat juga pada Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, 525. 40 Tim Redaksi, Kitab Lengkap KUHPer, KUHAPer, KUHP, KUHAP, KUHD (Jakarta:
Penerbit Pustaka Setia, 2012), Cet.II, 34-36.
41 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2007), cet.3, 102.
42
Pasal 104
Suami dan istri, dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itu pun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal-balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak
mereka.43
Pasal 105
Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri. Sebagai kepala berwajiblah ia, dengan tak mengurangi beberapa, pengecualian teratur di bawah ini, akan memberi bantuan kepada istrinya, atau menghadap untuknya di muka Hakim.
Setiap suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali kiranya tentang hal ini telah diperjanjikan sebaliknya.
Ia harus mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah yang baik, dan karenanya pun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu.
Ia tak diperbolehkan memindahtangankan, atau membebani harta
kekayaan tak bergerak milik istrinya, tanpa persetujuan si istri.44
Pasal 106
Setiap istri harus tunduk patuh kepada suaminya.
Ia berwajib tinggal bersama dengan si suami dalam satu rumah, dan berwajib pula mengikutinya barang di manapun si suami
memandang berguna, memusatkan tempat kediamannya.45
Pasal 107
Setiap suami berwajib menerima diri istrinya dalam rumah yang ia diami.
Berwajiblah ia pula, melindunginya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan berpatutan dengan kedudukan dan
kemampuannya.46
43 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34. 44 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 34. 45
Pasal 108
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tak bolehlah ia mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta atau dengan izin tertulis dari suaminya.47
Seseorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang
tegas dari suaminya.48
Pasal 109
Terhadap segala perbuatan atau perjanjian yang dilakukan atau diangkat setiap istri guna keperluan segala sesuatu berkenaan dengan perbelanjaan rumah tangga yang biasa dan sehari-hari, seperti pun terhadap segala pejanjian kerja yang diangkatnya sebagai pihak majikan dan untuk keperluan rumah tangga pula, terhadap kesemuanya itu undang-undang menganggap, bahwa sudahlah si istri memperoleh izin yang dimaksudkan di atas dari
suaminya.49
Pasal 110
Seorang istri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah bepisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia
menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.50
46 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
47
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35.
48 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35. 49 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35. 50
Pasal 111
Bantuan si suami kepada istrinya taklah perlu:
1e. apabila si istri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pidana;
2e. dalam sesuatu tuntutan akan perceraian perkawinan, akan pemisahan meja dan ranjang atau akan pemisahan harta
kekayaan.51
Pasal 112
Jika si suami menolak memberi kuasa kepada istrinya, untuk membuat suatu akta, atau menolak menghadap di muka Hakim, maka bolehlah si istri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat
tinggal mereka bersama, supaya dikuasakan untuk itu.52
Pasal 113
Seorang istri yang mana dengan izin yang tegas, atau izin secara diam-diam dari suaminya, atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata pencaharian, boleh mengikat dirinya, dalam segala perjanjian berkenaan dengan usaha itu, tanpa bantuan si suami.
Jika istri itu kawin dengan suaminya dengan persatuan harta kekayaan, maka si suami pun terikatlah karena perjanjian-perjanjian itu.53
Pasal 114
Apabila si suami menarik kembali izinnya, maka ia harus terang-terangan mengumumkan penarikan kembali itu. Jika si suami, disebabkan keadaan tak hadir, atau karena alasan-alasan lain terhalang memberi bantuan kepada istrinya, atau terhalang menguasakannya, atau jika ia mempunyai kepentingan yang bertentangan, maka Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri boleh mengizinkan kepada istri itu, untuk menghadap di muka
51 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 35. 52 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.. 53
Hakim, mengangkat perjanjian-perjanjian, menyelenggarakan
pengurusan dan membuat segala akta lainnya.54
Pasal 115
Suatu pemberian kuasa umum, pun jika ini dicantumkan dalam perjanjian kawin, tak akan berlaku lebih daripada suatu penguasaan untuk menyelenggarakan pengurusan atas harta kekayaan si istri sendiri.55
Pasal 116
Kebatalan suatu perbuatan disebabkan ketiadaan kuasa, hanya
dapat dituntut oleh si istri, si suami atau para ahli waris mereka.56
Pasal 117
Apabila seorang istri, setelah perkawinannya dibubarkan, telah melaksanakan seluruhnya, atau untuk sebagian, akan suatu perjanjian, atau perbuatan yang telah ia angkat atau ia lakukan tanpa penguasaan yang diharuskan, maka ia tak lagi berhak
menuntut pembatalan perjanjian atau perbuatan itu.57
Pasal 118
Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya.58
b. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Apabila KUH Perdata bertitik tolak dari hubungan perdata
suami istri semata, maka lain halnya dengan UU No. 1-1974.59
Masalah hak dan kewajiban suami istri dalam UUP diatur dalam
Bab VI Pasal 30 sampai dengan Pasal 34.60
54 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.. 55 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.. 56 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.. 57
Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36..
58 Tim Redaksi, Kitab Lengkap, 36.
59 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, 102. 60
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.61
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga;62
Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap; (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal
ini ditentukan oleh suami istri bersama;63
Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.64
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baknya; (3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.65
61 Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11. 62
Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11.
63 Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 11. 64 Tim Penyusun, Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974, 12. 65
c. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam lebih sistematis dibandingkan dengan UUP. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena Kompilasi Hukum Islam dirumuskan 17 tahun sejak UUP dikeluarkan. Sementara dalam UUP pengaturan hak suami dan istri lebih bersifat umum. Di bawah ini dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih terperinci dari
Kompilasi Hukum Islam.66
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga, dan istri ibu rumah tangga; (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum;67
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama; (2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa;
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biata rumah tangga, biaya perawatan, dan biata pengobatan bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak;
66 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, 24. 67
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya;
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b; (7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
istrinya nuzyuz;68
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah;
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat;
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya;69
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada
perjanjian perkawinan;70
68 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 25-26. 69
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 26-27.
70 Menurut Khazin Nasuha yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah adil
dalam soal materi, adil dalam mebagi waktu, adil dalam memberi nafkah, yang berkaitan dengan nafkah adalah sandang, pangan, dan papan, dan juga adil dalam memperlakukan keperluan
(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
istrinya dalam satu tempat kediaman;71
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya;72
Pasal 84
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya;
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri nusyuz;
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
didasarkan atas bukti yang sah;73
B. Konsepsi Wanita Karir
Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan sosial. Fenomena ini diklaim sebagai simbol equality (keadilan) antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan
menuntut keadilan dan persamaan hak di segala bidang.74
batiniah istri-istrinya. Dalam hal keadilan batinlah, menurut Khazin Nasuha tidak dituntut oleh hukum Islam, karena masalahnya berada di luar kemampuan manusia, sebagaimana Rasulullah SAW ynag lebih cenderung rasa cintanya kepada Aisyah dibandingkan dengan istri-istri lainnya. Lihat pada Aulia Muthiah, Hukum Islam, 93.
71 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27. 72
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27.
73 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, 27-28.
74 Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta:
1. Pengertian Wanita Karir
Bedasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata wanita karir merupakan kata yang terdiri dari kata wanita dan memiliki arti perempuan dewasa. Sedangkan karir sendiri berasal dari arti kata “karir” (Belanda) yang berarti jabatan dan pekerjaan yang memberikan
harapan untuk maju.75 Sementara menurut Peter dan Yeni dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kontemporer (1991) bahwa kata karir selalu dihubungkan dengan tingkat atau jenis pekerjaan seseorang. Adapun yang dimaksud dengan wanita karir adalah wanita-wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha dan
perusahaan).76
Istilah “karir” atau career (Inggris) dalam definisi yang lain dapat juga berarti “a job or profesiion for which one is trained and
which one intends to follow for part or whole of one’s life” (suatu
pekerjaan atau profesi, di mana seseorang perlu pelatihan untuk melaksanakan tugasnya, dan berkeinginan untuk menekuninya dalam kehidupannya). Oleh karena itu, dalam hemat lain, yang dimaksud dengan wanita karir adalah wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi seperti bidang usaha, perkantoran, dan lain-lain, dengan dilandasi oleh pendidikan dan keahlian, keterampilan, kejujuran dan
sebagainya yang menjajikan untuk kemajuan dan jenjang karir.77
Pada umumnya karir ditempuh oleh wanita di luar rumah, sehingga wanita karir tergolong mereka yang bekerja di sektor publik yang membutuhkan kemampuan serta keahlian tertentu juga telah
menempuh pendidikan tertentu.78
75 SC Utami Munandar, Wanita Karir: Tantangan dan Peluang: Wanita dalam
Maysarakat Indonesia, Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan (Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001), 301. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir (Malang: UB Press, 2017), 93.
76 Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta:
English Press, 1991), 1125. Lihat juga pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 93.
77 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 93.
78 Siti Muri’ah, Nilai-Nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir (Semarang: Rasail Media
Alifiulahtin pun memaparkan bahwa pengertian wanita karir adalah wanita yang menekuni pekerjaan (profesi) yang menghasilkan uang dan memungkinkannya untuk dapat berkembang, baik jabatan, peran maupun kepribadiannya, ditekuni dalam waktu yang lama, secara penuh (full time), demi mencapai prestasi tinggi yang berupa
gaji maupun status tertentu.79
2. Wanita Karir dalam Islam
Menurut Quraish Shihab, terdapat perbedaan antara pria dan wanita, tidak pada bentuk fisiknya saja, tetapi juga dalam bidang psikis. Perbedaan seperti pembagian kerja, hak, dan kewajiban, yang ditetapkan agama terhadap masing-masing inilah yang menjadi dasar lainnya. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dari tuntunan dan tuntunan minimal
dari segi moral dalam membantu pasangannya.80 Menurutnya, Islam
membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai aktivitas, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam ataupun di luar rumahnya. Cara bekerjanya itu dapat dilakukan baik secara mandiri, bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, terhindar dari dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Seorang istri dapat melakukan hal tersebut selama
tugas pokoknya sebagai istri tidak terabaikan.81
Bekerja selain ibadah82 juga dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup secara jasmani maupun rohani. Islam mengatur adanya kewajiban untuk bekerja sekaligus hak untuk mendapatkan
79 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
80 M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta:Lentera
Hati, 2014), cet.14, 648.
81
M Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, 649.
82 QS. Al-Jumu’ah [62] : 10 “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi, dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”. Lihat pada Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 94.
pekerjaan yang dapat berlaku baik kepada laki-laki maupun
perempuan. Sebagaimana QS. An-Nisa [4] : 29:83
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu” (QS. An-Nisa [4] : 29).84
Berdasarkan firman tersebut, maka setiap manusia dituntut untuk dapat memperjuangkan kebutuhan hidupnya, agar mampu hidup mandiri. Bahkan berdasarkan kitab Fikih, Jamaluddin Muhammad Mahmud menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang, dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, perempuan juga mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan tertinggi dalam karirnya.85
Muhammad Quthb juga menyatakan bahwa perempuan pada zaman Nabi pun bekerja, ketika kondisi menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja melainkan karena Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya
tidak mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhannya.86
Secara hukum Islam, Qardhawi mengkategorikan hukum perempuan bekerja di luar rumah atau aktivitas berkarir adalah jaiz (dibolehkan), yang dapat dimaknai sunnah atau wajib karena tuntutan (membutuhkan), misalnya pada seorang janda yang telah dicerai oleh
83
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
84 Tim Penerjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid, 83. 85 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 95.
86
suaminya atau untuk membantu ekonomi suami maupun keluarga. Dalam fikih Hambali yang ditulis oleh Faqihuddin Abdul Kodir, juga tidak ditemukan larangan perempuan bekerja (berkarir), selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja merupakan hak setiap orang, sehingga suami tidak berhak melarang istri bekerja
mencari nafkah disebabkan karena ia sakit, miskin atau sebab lain.87
Adapun menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan berbisnis, karena Allah mensyariatkan dan memerintahkan hamba-Nya untuk bekerja,
sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah [9] : 105:88
Artinya: Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat
pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang
mukmin” (QS. At-Taubah [9] : 10):89
3. Ciri-ciri Wanita Karir
Alifiulahtin dalam bukunya yang berjudul Wanita dan Gender,
menyatakan terkait ciri-ciri wanita karir yakni:90
a. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah ataupun ranah publik, untuk mencapai suatu kemajuan secara ekonomi maupun sebagai aktualisasi dirinya;
b. Kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional yang membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu atau sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, pertahanan dan kemanan sosial, budaya, pendidikan, maupun di bidang yang lainnya.
c. Bidang yang ditekuni merupakan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian atau kompetensinya, serta dapat mendatangkan materi
87
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 96.
88 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97. 89 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97. 90
atau mendapat imbalan uang untuk kemajuan dalam kehidupan,
pekerjaan maupun jabatannya.91
4. Syarat-syarat Wanita Karir dalam Islam
Pada dasarnya Islam tidak melarang wanita untuk bekerja, dalam arti wanita boleh bekerja apabila memenuhi syarat-syaratnya, serta tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat seperti: a. Terbebas dari hal-hal yang akan menyebabkan masalah,
kemungkaran, membahayakan agama dan kehormatannya.
b. Pekerjaannya tidak menganggu kewajiban utamanya dalam urusan rumah, karena mengurus rumah adalah kewajiban utama, sedangkan pekerjaan di luar rumah bukan kewajiban baginya (dibolehkan).
c. Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib menaati suaminya. d. Menerapkan adab-adab Islami.
e. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya92
C. Konsepsi Mubādalah 1. Pengertian Mubādalah
Mubādalah berasal dari kata Arab
ةَلَداَبُم
dan suku kata“ba-da-la”
(
ل
-
د
-
ب
)
, yang berarti mengganti, mengubah, dan menukar. Akarkata ini pun digunakan Al-Qur’an sebanyak 44 kali dalam berbagai bentuk kata dengan makna seputar hal tersebut. Sementara, kata
mubādalah sendiri merupakan bentuk kesalingan (mufā’alah) dan
kerja sama antar dua pihak (musyārakah) untuk makna tersebut, yang berarti saling mengganti, saling mengubah, atau saling menukar satu sama lain.93
91
Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 97.
92 Alifiulahtin Utaminingsih, Gender dan Wanita Karir, 98-99.
93 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender
Baik kamus klasik94 maupun kamus modern,95 mengartikan kata mubādalah dengan tukar menukar yang bersifat timbal balik antara dua pihak. Dan di dalam kedua kamus tersebut, kata
“bādala-mubādalatan” digunakan ketika seseorang mengambil sesuatu dari
orang lain dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain. Kata ini sering digunakan untuk hal-hal ataupun aktivitas pertukaran,
perdagangan, dan bisnis.96 Sedangkan dalam kamus modern lain,97
mubādalah diartikan sebagai muqābalah al-mitsl yang berarti
menghadapkan sesuatu dengan padanannya. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan beberapa makna seperti reciprocity,
reciprotation, repayment, requital, paying back, returning in kind or degree. Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“kesalingan” (terjemahan dari mubādalah dan reciprocity) digunakan
untuk hal-hal yang menunjukkan makna timbal balik.98
Dari makna-makna tersebut maka istilah mubādalah akan dikembangkan untuk sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi tertentu antara dua pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan prinsip resiprokal, baik digunakan untuk relasi antara manusia secara umum, negara dan rakyat, majikan dan buruh, orang tua dan anak, guru dan murid, maupun untuk mayoritas dan minoritas. Tak hanya itu, istilah
mubādalah juga digunakan antara laki-laki dengan laki-laki, antara
perempuan dengan perempuan, individu dengan individu, atau antara masyarakat, baik skala lokal maupun global, bahkan antara generasi manusia dalam bentuk komitmen dan tindakan untuk kelestarian lingkungan, yang harus diperhatikan oleh orang-orang sekarang untuk
generasi yang jauh ke depan.99
94 Seperti Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur (w. 711/1311). 95 Seperti Al-Mu’jam al-Wasith.
96
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59.
97 Al-Mawrid, untuk Arab-Inggris, karya Dr. Rohi Baalbaki. 98 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 59. 99
2. Dasar Hukum Mubādalah
a. Gagasan Mubādalah dalam Al-Qur’an
Dalam kosmologi Al-Qur’an, manusia adalah khalifah yang amanahnya ada di pundak manusia dalam rangka menjaga, merawat, dan melestarikan segala isinya. Hal ini ditujukan untuk laki-laki dan perempuan, dan bukan salah satunya saja. Sehingga dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan keduanya harus bekerja sama, saling menopang, dan saling tolong menolong untuk melakukan dan menghadirkan segala kebaikan untuk kemakmuran bumi dan seisinya. Kesalingan ini pun menegaskan bahwa salah satu jenis kelamin tidak diperkenankan melakukan kezhaliman dengan mendominasi dan menghegemoni yang lain. Tidak diperkenan juga ketika salah satu hanya melayani dan mengabdi pada yang lain karena, hal-hal tersebut bertentangan dengan amanah kekhalifahan yang diemban bersama, dan akan menyulitkan tugas memakmurkan bumi jika tanpa kerja sama dan
tolong menolong.100 Berikut adalah ayat-ayat yang berkaitan
dengan mubādalah:101
1) Ayat-ayat yang menggunakan redaksi umum, yang
menginspirasikan kesalingan dan kerja sama dalam relasi
antara manusia seperti QS. Al-Hujurāt [49] : 13,102 QS.
Al-Mā’idah [5] : 2,103
QS. An-Nisa [4] : 1,104 QS. Al-Anfāl [8] :
100
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-82.
101 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 60-61. 102 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 61.
Artinya: “Wahai manusia, Kami telah ciptakan kalian semua dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dan Maha Mengerti.” (QS. Al-Hujurat [49] : 13).
103 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 61.
Artinya: “…Saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah saling tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan…” (QS. Al-Mā’idah [5] : 2)
72.105 Keempat ayat tersebut adalah contoh bagaimana relasi kesalingan, kemitraan, dan kerja sama dianjurkan oleh al-Qur’an. Dalam ayat pertama (QS. Al-Hujurāt [49] : 13), terdapat kata “tā’arafū”, sebuah bentuk kata kesalingan
(mufā’alah) dan kerja sama (musyārakah) dari kata ‘arafa,
yang berarti saling mengenal satu sama lain. Artinya, satu pihak mengenal pihak lain, dan begitu pun sebaliknya. Ayat kedua (QS. Al-Mā’idah [5] : 2) juga menggunakan bentuk yang sama, yaitu kesalingan, “ta’āwanū”, berarti; “saling tolong-menolonglah kalian semua”. Ayat ketiga juga (QS. An-Nisa [4] :1) menyebutkan kata “tasā’alūn”, yang menurut disiplin ilmu sharaf disebut “musyārakah baina itsnain” atau kerja sama antara dua pihak. Yang bermakna: saling meminta satu sama lain. Sementara, ayat keempat (QS. Al-Anfāl [8] : 72) memiliki frasa “ba’dhuhum awliyā’bā’dh” (satu sama lain adalah
penolong) yang juga memiliki makna kesalingan.106
2) Ayat-ayat yang lebih tegas menyebut laki-laki dan perempuan dalam relasi kemitraan dan kerja sama adalah seperti:
104 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan atas nama-Nya kamu saling berbagi dan saling menjaga hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”. (QS. An-Nisa [4] : 1).
105
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 62.
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah (kaum Muhajirin), dan orang-orang yang memberikan melindungi dan menolong (kaum Anshar), mereka semua adalah penolong satu sama lain….” (QS. Al- Anfāl [8] : 72).
106
a) QS. At-Taubah [9] : 71,107 ayat ini adalah ayat yang paling tegas dan jelas mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Yang satu adalah penolong, penopang, penyayang, dan pendukung bagi yang lain. Berbagai kitab tafsir klasik menjadi rujukan, baik dari mazhab tekstual (bi
al-ma’tsūr) maupun rasional (bi al-ra’yi), mengartikan
frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh dengan saling tolong-menolong (tanāshur), saling menyayangi (tarāhum), saling mencintai (tahābub), saling menopang (ta’ādhud). Yang
satu adalah wali108 bagi yang lain. Dengan makna
kesalingan dalam frasa ba’dhuhum awliyā’bā’dh, ini menunjukkan adanya kesejajaran dan kesederajatan antara
satu dengan yang lain.109
b) QS. Ali’ Imran [3]:195,110 merujuk pada pernyataan
al-Qurthubi (w. 671/1273) dalam tafsirnya, Al-Jami’li Ahkam
al-Qur’an, dengan frasa “ba’dhuhum min ba’dh”, ayat ini
107
Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63.
Artinya: “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah [9] : 71).
108 Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu dan penguasa. Lihat
pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64.
109 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 63-64. 110 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 64-65.
Artinya: “Dan Tuhan mereka menjawab (kegelisahan) mereka,: "Aku sama sekali tidak akan menyia-nyiakan setiup amal perbuatan kalian, baik laki-laki maupun perempuan, satu sama lain adalah sama. Maka mereka yang berhijrah, dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka dan disiksa karena memilih jalan-Ku, juga mereka yang berperang dan dibunuh (karena jalan-Ku), akan Aku hapuskan dosa-dosa mereka dan Aku masukkan mereka ke surga yang penuh dengan sungai yang mengalir, sebagai balasan dari Allah. Dan Allah memiliki sebaik-baik balasan". (QS. Ali’ Imran [3] : 195).
tidak hanya mengajarkan prinsip kesalingan, tetapi juga kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Dua ayat tersebut menegaskan perspektif kesalingan dan kerja sama antara laki-laki dan perempuan dengan sangat eksplisit, tegas, dan jelas.
3) Ayat yang secara eksplisit mengajarkan prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan:
a) Tentang relasi rumah tangga secara umum terdapat pada
ayat QS. An-Nisa [4] : 19.111 Dalam ayat ini, secara bahasa,
sudah menggunakan bentuk kesalingan (shīghat mufā’alah) dalam kalimat “Wa ‘āshirūhunna bi al-ma’rūf”. Sehingga arti kalimat tersebut tidak sekadar “perlakukanlah istrimu dengan baik”, tetapi “saling memperlakukan satu sama lain dengan baik, suami kepada istri dan istri kepada suami”. Jika terjemahan literal dari kalimat ini adalah “perlakukan
(wahai suami) istri-istrimu dengan baik”,112 maka
terjemahan resiprokalnya adalah “perlakukanlah
pasanganmu dengan baik”. Terjemahan yang kedua lebih mencakup kedua jenis kelamin dan menyiratkan makna timbal balik sekaligus kesederajatan. Dibandingkan yang pertama, terjemahan kedua sesungguhnya lebih tepat jika mengacu pada bentuk kalimat kesalingan (mufā’alah). Sehingga ayat ini tidak hanya mengarah kepada laki-laki
111 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66.
Artinya: “…..dan Perlakukanlan mereka (perempuan) dengan baik. Sekiranya kalian tidak suka pada mereka, bisa jadi (pada) sesuatu yang tidak kalian sukai (dari mereka) itu, Allah menjadikan di dalamnya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa [4] : 19).
112 Terjemahan versi Kemenag atas QS. An-Nisa [4] : 19 secara lengkap adalah sebagai
berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. Dalam terjemahan ini, kalimat “wa
‘āsyirūhunna” tidak diterjemahkan dengan kesalingan (shīghat musyārakah), secara struktur
bahasa adalah demikian. Seharusnya: “saling bergaullah satu sama lain”. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67.
untuk memperlakukan istri dengan baik, tetapi juga kepada
istri untuk memperlakukan suami dengan baik pula.113
b) Tentang relasi seksual secara khusus antara suami istri
terdapat pada ayat QS. Al-Baqarah [2] : 187.114 Dalam frasa
“hunna libāsun lakum wa antum libāsun laḫunna”, juga
secara eksplisit menyebut bahwa istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian bagi istri. Ini pernyataan kesalingan yang paling eksplisit antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Memang, secara literal, ayat ini ditujukan kepada laki-laki sebagai orang kedua yang diajak bicara oleh ayat, sehingga kalimatnya adalah “Mereka (istrimu) adalah pakaian bagi kamu dan kamu
adalah pakaian mereka”.115
Tetapi secara resiprokal, ia juga bisa dibaca dengan membalik perempuan sebagai orang kedua dan laki-laki sebagai objek pembicaraan. Sehingga, ayat tersebut, jika ditujukan kepada perempuan, bisa berarti: “Suamimu adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian baginya.” Ayat ini adalah dasar yang paling jelas dan kuat mengenai kesalingan antara suami dan istri. Satu sama lain adalah pasangan dan bagaikan pakaian yang melindungi, memberi kehangatan ketika dingin, dan
menghadirkan kesejukan ketika suasana panas.116
c) Terkait ketenangan dan cinta kasih sebagai tujuan dan
manfaat pernikahan terdapat pada QS. Ar-Rūm [30] : 21.117
113 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67. 114 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 66.
Artinya: “Dihalalkan bagi kalian pada malam Ramadhan untuk berhubungan intim dengan istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka….” (QS. Al-Baqarah [2] : 187).
115 Terjemahan versi Kemenag atas kalimat “Hunna libāsun lakum wa antum libāsun
laḫunna” dalam QS. Al-Baqarah [2] : 187 adalah “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu
adalah pakaian bagi mereka”. Yang dimaksud “mereka” adalah istri, dan “kamu” adalah suami. Lihat pada Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 68.
116 Faqihuddin Abdul Kodir, Qirā’ah Mubādalah, 67-68. 117